• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Citra Digital

Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut.

2.1.1 Definisi citra digital

Menurut Sachs (1999, hal:1), citra digital merupakan suatu gambar yang tersusun dari pixel, dimana tiap pixel merepresentasikan warna (tingkat keabuan untuk gambar hitam putih) pada suatu titik di gambar.

Sedangkan menurut Fahmi (2007, hal:7), citra digital adalah gambar dua dimensi yang dapat ditampilkan pada layar monitor komputer sebagai himpunan berhingga (diskrit) nilai digital yang disebut dengan pixel (picture elements).

Fahmi (2007, hal:7) menyatakan bahwa citra digital (diskrit) dihasilkan dari citra analog (kontinu) melalui digitalisasi. Digitalisasi citra analog terdiri atas penerokan (sampling) dan kuantisasi (quantization). Penerokan (sampling) adalah pembagian citra ke dalam elemen-elemen diskrit (pixel), sedangkan kuantisasi (quantization) adalah pemberian nilai intensitas warna pada setiap pixel dengan nilai yang berupa bilangan bulat.

(2)

2.1.2 Klasifikasi citra digital

Berdasarkan cara penyimpanan atau pembentukannya, citra digital dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Gambar Bitmap (raster), yaitu gambar yang terbentuk dari sekumpulan titik penyusun gambar (pixel). Gambar bitmap dipengaruhi oleh banyaknya pixel, sehingga semakin banyak jumlah pixel maka kualitas gambar semakin baik dan halus, begitu pula sebaliknya. Gambar bitmap biasanya diperoleh dari scanner, kamera digital, kamera handphone, dan sebagainya.

2. Gambar vektor, yaitu gambar yang terbentuk dari garis, kurva, dan bidang yang masing-masing merupakan suatu formulasi matematik. Jika gambar vektor diperbesar, maka kualitas gambarnya masih tetap baik dan tidak berubah. Gambar vektor biasanya dibuat dengan menggunakan aplikasi – aplikasi gambar vektor seperti Corel Draw, Adobe Illustrator, Macromedia Freehand, dan sebagainya (Alinurdin, 2006).

Sedangkan berdasarkan warna-warna penyusunnya, menurut Fahmi (2007, hal:8) citra digital dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

1. Citra biner, yaitu citra yang hanya terdiri atas dua warna, yaitu hitam dan putih. Oleh karena itu, setiap pixel pada citra biner cukup direpresentasikan dengan 1 bit. Contoh citra biner adalah pada gambar 2.1 berikut.

(3)

2. Citra grayscale, yaitu citra yang nilai pixel-nya merepresentasikan derajat keabuan atau intensitas warna putih. Nilai intensitas paling rendah merepresentasikan warna hitam dan nilai intensitas paling tinggi merepresentasikan warna putih. Pada umumnya citra grayscale memiliki kedalaman pixel 8 bit (256 derajat keabuan), tetapi ada juga citra grayscale yang kedalaman pixel-nya bukan 8 bit, misalnya 16 bit untuk penggunaan yang memerlukan ketelitian tinggi. Contohnya adalah pada gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Citra Grayscale

3. Citra berwarna, yaitu citra yang nilai pixel-nya merepresentasikan warna tertentu. Banyaknya warna yang mungkin digunakan bergantung kepada kedalaman pixel citra yang bersangkutan. Citra berwarna direpresentasikan dalam beberapa kanal (channel) yang menyatakan komponen-komponen warna penyusunnya. Banyaknya kanal yang digunakan bergantung pada model warna yang digunakan pada citra tersebut. Contoh model warna yang biasa digunakan pada citra digital adalah RGB dan YCbCr.

Dari klasifikasi citra tersebut, maka penelitian dilakukan pada gambar bitmap karena citra digital termasuk gambar bitmap dan terbentuk dari pixel – pixel yang akan dimanfaatkan dalam teknik penyisipan watermark.

(4)

2.1.3 Pixel (picture element)

Gambar yang bertipe bitmap tersusun dari pixel-pixel (dot). Pixel adalah titik penyusun gambar yang berkumpul dan bergabung membentuk seperti mozaik yang memanipulasi mata sehingga pada jarak pandang tertentu akan tampak kesan gambar utuh (Alinurdin, 2006).

Banyaknya pixel tiap satuan luas tergantung pada resolusi yang digunakan. Menurut Alinurdin (2006, hal:2) resolusi adalah banyaknya pixel dalam setiap satuan panjang yang dinyatakan dalam satuan dpi (dot per inch). Keanekaragaman warna pixel tergantung pada bit depth yang dipakai. Bit depth menentukan banyaknya informasi warna yang tersedia untuk ditampilkan dalam setiap pixel. Misalkan suatu gambar memiliki bit depth = 24. Berarti ada 16 juta (224)

1. bmp (Windows Bitmap).

kemungkinan warna pada gambar tersebut. Oleh karena itu, semakin tinggi resolusi dan bit depth suatu citra, maka semakin bagus kualitas gambar yang dihasilkan dan tentu saja ukuran file-nya juga semakin besar.

2.1.4 Format file citra

Format file menentukan bagaimana informasi data direpresentasikan dalam suatu file. Informasi tersebut meliputi ada tidaknya kompresi, program aplikasi (feature) yang didukung (support), penggunaan enkripsi, dan lain-lain. Tiap format file memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.

Dalam sistem operasi Windows, format file dapat dibedakan dari namanya yaitu diakhiri titik dan diikuti dengan tiga atau empat huruf terakhir sebagai penanda format. Untuk file citra (image), format yang umum digunakan adalah :

Merupakan representasi dari citra grafis yang terdiri dari susunan titik-titik yang tersimpan di memori komputer. Format ini dikembangkan oleh Microsoft dan nilai setiap titik diawali oleh satu bit data untuk gambar hitam putih atau

(5)

lebih bagi gambar berwarna. Format bmp menggunakan kompresi tipe lossless, berarti tidak ada data yang dibuang selama proses kompresi (Hajar, 2007).

2. gif (Graphics Interchange Format)

Merupakan format gambar yang mampu menayangkan maksimum 256 warna dan mendukung warna transparan dan animasi sederhana. Format ini mengkompresi gambar dengan sifat lossless, berarti terdapat data yang hilang selama proses kompresi (Hajar, 2007).

3. jpg / jpeg (Joint Photographic Experts Group)

Format ini mampu menayangkan warna dengan kedalaman 24 bit true color dan menggunakan kompresi tipe lossy. Kompresi jpeg berbasis DCT (Discrete Cosine Transform). Kualitas jpeg bisa bervariasi tergantung setting kompresi yang digunakan (Hajar, 2007).

4. png (Portable Network Graphics)

Merupakan salah satu format penyimpanan citra dengan kompresi tipe lossless. Format png diperkenalkan untuk menggantikan format gif dan umumnya dipakai untuk citra web (Hajar, 2007).

5. tiff (Tagged Image File Format)

Merupakan format yang sering digunakan, mendukung citra compressed berbagai metode dan uncompressed (Paryono et al, 2008).

2.2 Digital Watermarking

Masalah kepemilikan memang suatu masalah yang sangat pelik, bahkan lebih parah dari masalah pembajakan. Jika suatu pihak membajak suatu software misalnya, maka pihak tersebut hanya akan merugikan dari sisi keuangan saja. Tetapi jika pihak itu mengganti string pada suatu program sehingga seakan akan menjadi miliknya dan memasarkannya, maka pembuat aslinya akan mengalami kerugian dua kali. Kesulitan pemberian hak cipta akan jauh lebih sulit jika kita berurusan dengan benda-benda

(6)

digital seperti file, gambar, suara atau semacamnya. Benda-benda semacam ini tidak dapat dengan mudahnya diberi stempel atau diberi tanda lainnya.

Salah satu cara yang banyak digunakan saat ini adalah dengan memberikan suatu tanda kepemilikan yang dapat dengan mudah dilihat oleh semua orang. Tapi bagi yang sedikit mengerti tentang penggunaan program pengolah citra digital seperti Adobe Photosop, Paint Shop Pro, ataupun program lainnya, maka penghilangkan label tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Bahkan tidak hanya menghilangkan, karena label yang telah diberikan juga dapat diganti dengan mudah. Penggunaan data digital selain dikarenakan kemudahannya dalam penyebaran menggunakan jaringan Internet, juga dikarenakan kemudahan dan kemurahannya dalam penggandaan (peng-copy-an) serta penyimpanan untuk digunakan dikemudian hari.

2.2.1 Asal usul watermarking

Metode watermarking sudah dikenal ribuan tahun yang lalu, dimana yang cukup dikenal adalah sejarah di jaman Herodotus. Pada saat tersebut, Histiaeus membuat pesan rahasia dengan mentato kepala ajudannya, kemudian membiarkan rambutnya tumbuh sebelum diutus ke Aristagoras, yang harus mencukur kepala ajudan tersebut sebelum mengetahui pesan yang dikirim. Sampai saat ini watermarking digunakan

Adanya permintaan akan jaminan hak cipta dalam bentuk perangkat lunak ataupun perangkat keras menyebabkan teknologi digital watermarking sangat diperlukan. Dalam bentuk digital, penyebaran dokumen secara tidak sah dapat dilakukan lebih mudah. Karena dengan kemajuan komunikasi data yang semakin baik, penduplikasian dan penyebaran dokumen akan menjadi lebih cepat dan murah dibandingkan dengan dokumen berupa kertas. Berbeda dengan hasil duplikasi sebagai metode untuk melindungi hak cipta suatu karya yang dipublikasikan dalam bentuk digital, mengingat proses duplikasi sebuah digital copy yang hasilnya sangat identik dengan aslinya dan menyebarkan hasil copy-an tersebut dengan sangat mudah, untuk kemudian digunakan kembali ataupun dimanipulasi datanya (Rodiah, 2004).

(7)

pada dokumen kertas, hasil duplikasi pada dokumen digital tidak akan berbeda dengan dokumen aslinya.

2.2.2 Watermark dan watermarking

Watermark didefinisikan sebagai data tersembunyi yang ditambahkan pada sinyal pelindung (cover signal) sedemikian rupa sehingga penambahan tersebut tidak terlihat (Watermarking World, 2002). Lebih jauh lagi, watermark juga berupa kode yang membawa informasi mengenai pemilik hak cipta, pencipta, pembeli yang sah, dan segala sesuatu yang diperlukan untuk menangani hak kepemilikan digital. Watermark sengaja ditanamkan secara permanen pada data digital sedemikian hingga pengguna yang berwenang dapat dengan mudah membacanya, di sisi lain watermark tersebut haruslah tidak mengubah isi media kecuali sedikit atau perubahan tersebut tidaklah tampak atau kurang begitu tampak bagi indera manusia (Barni et al, 1998).

Watermark (tanda air) ini agak berbeda dengan tanda air pada uang kertas. Tanda air pada uang kertas masih dapat kelihatan oleh mata telanjang manusia (mungkin dalam posisi kertas yang tertentu), tetapi watermarking pada media digital disini dimaksudkan tak akan dirasakan kehadirannya oleh manusia tanpa alat bantu mesin pengolah digital seperti komputer, dan sejenisnya.

Jika watermark merupakan sesuatu yang ditanamkan, maka watermarking merupakan proses penanaman watermark tersebut. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa watermarking adalah suatu cara penyembunyian atau penanaman data atau informasi ke dalam suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui kehadirannya oleh indera manusia (indera penglihatan atau pendengaran) dan mampu menghadapi proses-proses pengolahan sinyal digital sampai pada tahap tertentu (Supangkat et al, 2000).

(8)

2.2.3 Tujuan watermarking

Menurut Rodiah (2004, hal:4), beberapa tujuan watermarking adalah :

1. Menjaga sedemikian rupa agar dokumen-dokumen elektronik yang berisi transaksi elektronik yang otentik tetap terjaga kualitas legal dan bobot buktinya.

2. Untuk aplikasi perlindungan hak cipta, tanda yang disisipkan pada dokumen (gambar, teks, atau audio) digunakan sebagai identifier yang menunjukkan hak kepemilikan. Jenis tanda air mempengaruhi keefektifan tanda air itu sendiri dalam setiap aplikasinya, apakah bersifat tampak oleh mata ataupun tidak.

3. Dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan, namun dengan cara yang berbeda. Tanda air digital digunakan untuk memberikan identifikasi sebuah dokumen atas informasi sumber daya, penulis, kreator, pemilik, distributor, dan konsumer yang berhak atas dokumen tersebut.

2.2.4 Karakteristik watermarking

Menurut Sirait (2006, hal:43), mutu dari metode watermarking meliputi beberapa parameter-parameter utama berikut ini :

1. Fidelity

Perubahan yang disebabkan oleh tanda (watermark) seharusnya tidak mempengaruhi nilai isi, idealnya tanda harusnya tidak dapat dilihat sehingga tidak dapat dibedakan antara data yang ter-watermark dan data yang asli. Salah satu trade-off antara karakteristik watermarking yang sangat kelihatan adalah antara robustness dengan fidelity. Dalam beberapa literatur, fidelity kadang disebut dengan invisibility untuk jenis data citra dan video. Yang dimaksud dengan fidelity di sini adalah derajat degradasi host data sesudah diberi watermark dibandingkan dengan sebelum diberi watermark. Biasanya bila

(9)

robustness dari watermark tinggi, maka memiliki fidelity yang rendah, sebaliknya robustness yang rendah dapat membuat fidelity yang tinggi. Jadi sebaiknya dipilih trade-off yang sesuai sehingga keduanya dapat tercapai sesuai dengan tujuan aplikasi. Untuk host data yang berkualitas tinggi, maka fidelity dituntut setinggi mungkin sehingga tidak merusak data aslinya. Sedangkan untuk host data yang memiliki noise (kualitas kurang), maka fidelity-nya dapat rendah seperti pada siaran radio, suara pada telepon, ataupun broadcast acara televisi.

2. Robustness

Watermark di dalam host data harus tahan terhadap beberapa operasi pemrosesan digital yang umum seperti pengkonversian dari digital ke analog dan dari analog ke digital, dan manipulasi data. Pada robust watermark, data disisipkan dengan sangat kuat sehingga jika ada yang berusaha menghapusnya maka gambar atau suara yang disisipi akan ikut rusak dan tidak punya nilai komersil lagi.

3. Security

Watermarking harus tahan terhadap segala usaha sengaja memindahkan atau men-copy watermark dari satu multimedia data ke multimedia data lainnya. Dari ketiga kriteria ini, fidelity merupakan kriteria paling tinggi.

2.2.5 Attack (serangan)

Menurut Ferdian (2006, hal:5), beberapa attack (serangan) dasar terhadap citra ter-watermark yaitu :

1. Horizontal Flip

Serangan ini dilakukan hanya dengan membalikkan gambar secara horizontal. Metode ini tampak sangat sederhana, namun beberapa skema watermarking tidak lolos dari serangan ini

(10)

2. Rotasi

Rotasi dilakukan biasanya dengan derajat perputaran yang sangat kecil, sehingga citra tampak tidak berubah. Namun karena perputaran yang kecil tersebut, watermark tidak dapat terdeteksi lagi.

3. Cropping

Yaitu pemotongan citra menjadi bagian-bagian kecil. Hal ini mengakibatkan watermark tidak utuh dan kemudian menjadi tidak terdeteksi lagi.

4. Scaling

Penskalaan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, uniform dan non-uniform. Penskalaan uniform mengubah ukuran citra dengan faktor skala yang sama, baik vertikal maupun horizontal. Sedangkan pada non-uniform scaling, faktor skala vertikal dan horizontal berbeda.

5. Penghapusan garis atau kolom pada citra

Cara ini dilakukan dengan menghapus satu kolom atau satu baris pada citra. Cara ini sangat efektif dilakukan untuk melawan teknik spread-spectrum.

6. Random geometric distortions

Melakukan distorsi geometris secara acak. Biasanya merupakan gabungan dari teknik-teknik dasar.

Attack (serangan) ini akan menyebabkan terjadinya perubahan bit pada citra ter-watermark, sehingga apabila dilakukan ekstraksi, maka watermark yang telah dipisahkan akan tampak sangat berbeda dibandingkan dengan watermark yang disisipkan pada awalnya.

2.3. Proses Watermarking

Pada dasarnya pemberian watermarking dapat dipandang sebagai proses penggabungan dua buah informasi sedemikian rupa sehingga masing-masing

(11)

informasi hanya dideteksi oleh detector yang berbeda. Sinyal watermarking dipadukan dengan sinyal media, video, audio, atau gambar dengan watermarking inserter. Tentu saja sinyal watermarking ini disisipkan (di-encode) sehingga dapat merepresentasikan informasi tertentu. Hasil penggabungan ini adalah sinyal media yang telah ter-watermarking.

Untuk penyisipan informasi watermark pada citra, teknik-teknik penyisipan dilakukan dengan membuat modifikasi pada citra asli. Modifikasi dilakukan pada bagian-bagian yang secara persepsi tidak dapat dilihat oleh indera penglihatan. Informasi watermark didapatkan kembali dari citra ter-watermark dengan mendeteksi adanya perubahan-perubahan (modifikasi) tersebut.

Ada banyak teknik modifikasi dalam berbagai domain yang dapat digunakan untuk penyisipan data dan mendapatkan data hasil watermarking. Proses transformasi yang dikenal dalam pemrosesan sinyal digital adalah seperti Fast Fourier Transform (FFT), Discrete Cosine Transform (DCT), Wavelet Transform, dan sebagainya.

Akan tetapi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, belum ada suatu metode watermarking ideal yang bisa tahan terhadap semua proses pengolahan digital yang mungkin. Biasanya masing-masing penelitian memfokuskan pada hal-hal tertentu yang dianggap penting. Penelitian di bidang watermarking ini masih terbuka luas dan semakin menarik, salah satunya adalah karena belum ada suatu standar yang digunakan sebagai alat penanganan masalah hak cipta ini (Rodiah, 2004).

2.3.1 Penyisipan watermark (encode)

Penyisipan (encode) dalam watermarking adalah suatu proses untuk menyisipkan sinyal low-energy ke sinyal utama (cover signal) untuk menyembunyikan keberadaan sinyal low-energy tersebut (Rodiah, 2004). Sinyal low energy yaitu label watermark yang bersifat monokrom dan cover signal yaitu dokumen yang disisipkan seperti gambar, video, suara, atau teks dalam format digital.

(12)

Label watermark adalah suatu data atau informasi yang akan disisipkan ke dalam data digital yang ingin di-watermark. Menurut Rodiah (2004, hal:16), ada dua jenis label watermark yang dapat digunakan, yaitu :

1. Text biasa

Label watermark dari text biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari masing-masing karakter dalam text yang kemudian dipecahkan atas bit-per-bit. Kelemahan dari label ini adalah kesalah pada satu bit saja akan menghasilkan hasil yang berbeda dengan text sebenarnya.

2. Logo atau Citra atau Suara

Berbeda dengan text, kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan persepsi yang sama dengan aslinya oleh pendengaran maupun penglihatan kita, tetapi kerugiannya adalah jumlah data yang cukup besar.

2.3.2 Ekstraksi watermark (decode)

Ekstraksi (decode) adalah proses pemisahan watermark dengan citra asal. Hasil penelitian memberikan hasil bahwa verifikasi dengan menggunakan data aslinya akan memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan cara ekstraksi tanpa menggunakan data asli (Rodiah, 2004).

Watermarking dapat menggunakan kunci untuk meningkatkan keamanannya, dimana kunci tersebut digunakan untuk membangkitkan bilangan acak dalam penanaman watermark. Akan tetapi menurut Fahmi (2007, hal:12), proses encode dan decode juga tidak selalu menggunakan kunci. Proses decode juga tidak selalu menyertakan data asli yang belum diberi watermark. Terhadap watermark yang ter-ekstraksi dilakukan verifikasi yang dapat menghasilkan kesimpulan terhadap watermark tersebut. Proses verifikasi ini tidak selalu menyertakan citra asli.

(13)

2.4 Transformasi DCT

Cara melakukan perpindahan dari domain koordinat ke domain frekuensi yaitu dengan menggunakan DCT (Discrete Cosine Transform). Menurut Rodiah (2004, hal:19), pada dasarnya DCT merupakan suatu transformasi one-to-one mapping dari suatu array yang terdiri dari nilai pixel menjadi komponen-komponen yang terbagi berdasarkan frekuensinya. Dengan memperhatikan efek pembulatan angka pada proses pembalikan kembali transformasi, maka transformasi pembalikan ini dikenal dengan IDCT (Inverse Discrete Cosine Transform).

Menurut Fahmi (2007, hal:9), Discrete Cosine Transform adalah sebuah fungsi dua arah yang memetakan himpunan N buah bilangan real menjadi himpunan N buah bilangan real. Secara umum, DCT satu dimensi menyatakan sebuah sinyal diskrit satu dimensi sebagai kombinasi linier dari beberapa fungsi basis berupa gelombang kosinus diskrit dengan amplitudo tertentu. Masing-masing fungsi basis memiliki frekuensi yang berbeda-beda, sehingga transformasi DCT termasuk ke dalam transformasi ranah frekuensi.

Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan hasil transformasi DCT. Menurut Khayam (2003, hal:4), DCT satu dimensi didefinisikan pada persamaan berikut :

− = + = 1 0 2 ) 1 2 ( cos ) ( ) ( ) ( N x N u x x f u a u C π , 0≤uN−1 (2.1)

C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT. f(x) menyatakan anggota ke-x dari himpunan asal. N menyatakan banyaknya suku himpunan asal dan himpunan hasil a(u) dinyatakan oleh persamaan berikut :

, untuk u = 0 (2.2) , untuk 1≤uN −1

{

N 1 N 2 = ) (u a

(14)

Transformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT ke himpunan bilangan semula disebut Invers DCT (IDCT). IDCT didefinisikan oleh persamaan di bawah ini :

− = + = 1 0 2 ) 1 2 ( cos ) ( ) ( ) ( N u N u x u C u a x f π , 0≤uN−1 (2.3)

DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada masing-masing array dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan dalam array 2 dimensi, maka DCT dua dimensi dilakukan dengan cara melakukan DCT satu dimensi terhadap masing-masing baris dan kemudian melakukan DCT satu dimensi terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. Transformasi DCT dua dimensi dapat dinyatakan dengan persamaan :

N v y M u x y x f v a u a v u C M x N y 2 ) 1 2 ( cos 2 ) 1 2 ( cos ) , ( ) ( ) ( ) , ( 1 0 1 0 + + =

∑∑

− = − = π π (2.4)

Sedangkan rumus untuk IDCT (invers dari DCT) adalah sebagai berikut :

N v y M u x v u C v a u a y x f M u N v 2 ) 1 2 ( cos 2 ) 1 2 ( cos ) , ( ) ( ) ( ) , ( 1 0 1 0 + + =

∑∑

− = − = π π (2.5) Keterangan :

1. C(u,v) adalah titik koordinat dari matriks yang telah mengalami transformasi DCT 2 dimensi.

2. M dan N adalah banyak kolom dan baris. Apabila ukuran matriks adalah 8 x 8, maka nilai M dan N adalah 8.

3. a(u) dan a(v) adalah himpunan hasil yang nilainya ditentukan dari nilai koefisien u dan v.

(15)

4. f(x,y) adalah nilai pixel dari matriks pada titik (x,y).

5. π bernilai 180o.

Menurut Fahmi (2007, hal:10), pada transformasi DCT dikenal juga istilah frekuensi rendah, frekuensi menengah, dan frekuensi tinggi. Hal ini berkaitan dengan frekuensi gelombang pada fungsi basis DCT. Jika frekuensi fungsi basisnya kecil, maka koefisien yang berkorespondensi disebut koefisien frekuensi rendah. Gambar 2.3 menunjukkan contoh pembagian koefisien berdasarkan frekuensinya pada DCT 8 x 8 menurut Hernandez (2000, hal:61). LF menyatakan daerah koefisien frekuensi rendah, MH menyatakan daerah koefisien frekuensi menengah, dan HF menyatakan daerah koefisien frekuensi tinggi.

Gambar 2.3 Pembagian Koefisien Frekuensi DCT Untuk Ukuran Blok 8 x 8

2.5 Penyisipan Bit

Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC) adalah metode yang diusulkan oleh Koch dan Zao. Metode ini berdasarkan prinsip format citra JPEG, yaitu membagi citra menjadi blok-blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan transformasi DCT. Penggunaan teknik penyisipan bit pada tugas akhir ini didasarkan pada cara RSPPMC ini.

(16)

Proses penyisipan watermark dengan metode Discrete Cosine Transform (DCT) adalah metode kompresi DCT yang dimodifikasi dengan melakukan manipulasi pada kawasan frekuensi hasil DCT.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zheng et al (2008, hal:283), maka luas watermark maksimum yang dapat ditampung dalam suatu citra asli adalah :

64 max _ 2 N Luas = (2.6)

dimana N adalah panjang sisi citra asli. Dalam penelitian ini, ukuran blok yang digunakan adalah 8 x 8 sehingga luas blok adalah 64. Di setiap blok 8 x 8 citra asli disisipkan 1 bit watermark. Oleh karena itu, syarat suatu watermark dapat ditampung dalam citra asli adalah :

max _ Luas Nw Mw× ≤ (2.7) dimana Mw adalah panjang citra watermark dan Nw adalah lebar citra watermark. Dengan kata lain, luas dari citra watermark harus lebih kecil atau sama dengan luas watermark maksimum.

Teknik menyisipkan informasi bit pada matrix hasil DCT dua dimensi merupakan penyederhanaan dari teknik RSPPMC dari IEEE. Ada beberapa cara dalam menentukan pemilihan posisi penyisipan watermark. Menurut Fahmi (2007, hal:19), yang perlu diperhatikan adalah pemilihan posisi penyisipan watermark karena dapat berpengaruh pada fidelity dan robustness. Penyisipan pada koefisien berfrekuensi rendah lebih robust (tahan) terhadap modifikasi citra, tetapi lebih mudah mengakibatkan perubahan yang dapat terlihat. Sebaliknya, penyisipan pada koefisien berfrekuensi tinggi tidak mengakibatkan perubahan yang terlalu besar, tetapi kurang robust terhadap modifikasi citra. Karena itu, sebagai trade off antara fidelity dan robustness, banyak skema watermarking yang melakukan penyisipan pada koefisien frekuensi menengah. Pada matrix hasil DCT, frekuensi tengah biasanya berada daerah dengan nomor baris antara 4 sampai 7 atau nomor kolom antara 4 sampai 7. Dalam

(17)

menyisipkan bit, terlebih dahulu pilih dua lokasi matriks yang berada pada frekuensi menengah. Kedua lokasi tersebut sebaiknya memiliki jumlah baris dan kolom yang sama agar berada pada frekuensi yang dekat (Rodiah, 2004).

Dalam tugas akhir ini, kedua lokasi frekuensi menengah yang dipilih adalah blok (5,2) dan blok (4,3). Langkah-langkah yang lebih jelas dalam memodifikasi matriks transformasi DCT terdapat pada sub bab 3.3 di BAB 3.

2.6 Korelasi

Ekstraksi watermark dapat dilakukan dengan cara membandingkan koefisien DCT citra yang diduga memiliki watermark dengan koefisien DCT citra asli. Data watermark yang diekstraksi kemudian dibandingkan dengan data watermark asli.

Korelasi adalah penghitungan perbedaan antara dua matriks. Salah satu cara untuk membandingkan watermark adalah dengan menghitung koefisien korelasi dan dibandingkan sampai batas tertentu. Jika koefisien korelasi mendekati atau sama dengan nilai batas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa watermark yang diekstraksi dari citra yang diuji memiliki kemiripan dengan watermark asli (Fahmi, 2007). Dalam tugas akhir ini, batas korelasi yang ditetapkan adalah 1. Menurut Murinto (2005, hal:4), nilai korelasi dapat dihitung dengan persamaan berikut :

∑∑

∑∑

= i j ij ij i j ij W W W NC 2 ' (2.8) Keterangan :

1. Wij adalah nilai pixel pada lokasi (i,j) untuk watermark asli.

(18)

3. NC adalah korelasi atau normalized cross correlation.

2.7 Kelebihan dan Kekurangan DCT

Menurut Kurniawan (2006, hal:3), kelebihan dari metode DCT adalah kokoh terhadap manipulasi pada stego-object. Selain itu, metode DCT juga tahan terhadap kompresi. Sedangkan kelemahan dari metode ini terletak pada kesulitan dalam pengimplementasiannya karena harus melalui langkah-langkah yang panjang sehingga membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan penyisipan.

2.8 Penelitian Sejenis

Beberapa teknik watermarking yang pernah diteliti adalah :

1. LSB (Least Significant Bit).

Diperkenalkan pertama kali oleh Ayman M. Ahmed dan Dwight D. Day dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “OrthogonalTransforms for Digital Signal Processing” pada tahun 1975. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana, tetapi yang paling tidak tahan terhadap segala proses yang dapat mengubah nilai-nilai intensitas pada citra. Metode ini akan mengubah nilai LSB komponen luminansi atau warna menjadi bit yang bersesuain dengan bit label yang akan disembunyikan. Memang metode ini akan menghasilkan citra rekonstruksi yang sangat mirip dengan aslinya karena hanya mengubah nilai bit terakhir dari data. Tetapi sayang tidak tahan terhadap proses-proses yang dapat mengubah data citra, terutama kompresi JPEG. Metode ini paling mudah diserang, karena bila pihak lain tahu maka tinggal membalikkan nilai dari LSB-nya dan data label akan hilang seluruhnya.

2. Patchwork.

Metode ini diusulkan oleh W. Bender, D. Gruhl, N. Morimoto, dan A Lu pada IBM Systems Journal dengan jurnalnya yang berjudul “Techniques For Data

(19)

Hiding” di tahun 1996. Metode ini menanamkan label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan pendekatan statistik. Ketahanan metode ini terhadap kompresi JPEG dengan parameter kualitas 75 % adalah dapat dibaca dengan probabilitas kebenaran sebesar 85 %.

3. Pitas dan Kaskalis.

Diperkenalkan oleh I. Pitas dan T.H. Kaskalis pada IEEE Workshop on Nonlinear Image and Signal Processing dengan jurnalnya yang berjudul “Applying Signatures on Digital Images” di tahun 1995. Metode ini membagi citra menjadi dua subset sama besar dimana jumlah biner 1 sama dengan jumlah biner 0. Kemudian salah satu subset ditambahkan dengan faktor k (bulat positif) yang diperoleh dari perhitungan variansi kedua subset. Verifikasi dilakukan dengan menghitung perbedaan rata-rata antara kedua subset dengan nilai harapan k. Metode ini tahan terhadap kompresi JPEG dengan faktor kualitas sekitar 90 %.

4. Caroni.

Diperkenalkan oleh J. Caroni pada jurnalnya yang berjudul “Assuring Ownership Rights For Digital Images” pada tahun 1995. Metode ini membagi citra menjadi beberapa blok, kemudian setiap pixel dari blok akan dinaikkan dengan faktor tertentu apabila ingin menanamkan bit 1 dan nilai pixel akan dibiarkan apabila ingin menanam bit 0. Metode ini tahan terhadap kompresi JPEG dengan faktor kualitas 30 %.

5. Cox.

Diperkenalkan oleh J. Cox, Joe Kilian, F. Thomson Leighton, dan Talal Shamoon pada IEEE Image Processing dengan jurnalnya yang berjudul “Secure Spread Spectrum Watermarking For Multimedia” di tahun 1997. Metode ini menyembunyikan sejumlah bit label pada komponen luminansi dari citra dengan membagi atas blok-blok, kemudian setiap pixel dari satu blok akan dinaikkan dengan faktor tertentu bila ingin menanamkan bit 1 dan nilai-nilai pixel dari blok akan dibiarkan bila akan menanamkan bit 0. Jika rata-rata dari satu blok pixel melewati suatu nilai (threshold) tertentu, maka

(20)

akan dinyatakan sebagai bit 1. Bila tidak, maka akan dinyatakan sebagai bit 0. Setelah mengalami kompresi JPEG, metode ini dapat tahan terhadap faktor kualitas sebesar 30 %.

6. Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC).

Metode ini diusulkan oleh J. Zhao dan E. Koch dalam jurnalnya yang berjudul “Towards Robust And Hidden Image Copyright Labeling” pada tahun 1995. Metode ini bekerja pada domain DCT dengan membagi citra menjadi blok-blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan transformasi DCT. Setelah itu, koefisien-koefisien DCT tersebut diubah sedemikian rupa sehingga akan mengandung informasi 1 bit dari label, seperti dipilih dua atau tiga koefisien untuk disesuaikan dengan bit label yang akan ditanamkan. Contohnya, untuk menanamkan bit 1 ke dalam suatu koefisien DCT, koefisien kedua harus diubah sedemikian rupa sehingga lebih kecil dari koefisien pertama.

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode RSPPMC (Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code).

Gambar

Gambar 2.2 Citra Grayscale
Gambar 2.3 menunjukkan contoh pembagian koefisien berdasarkan frekuensinya pada  DCT 8 x 8 menurut Hernandez (2000, hal:61)

Referensi

Dokumen terkait

Pengaplikasian patah kata yang mampu mendukung kepelbagaian makna dalam puisi-puisi Usman Awang, menjadikan puisi beliau bukan sahaja indah pada indera dengar pembaca tetapi

Hasil pengukuran atas bentuk fisik dan pergerakan ikan dapat digunakan untuk membentuk persamaan bentuk fisik maupun pergerakan ikan 3D dengan memanfaatkan Polinom

Berdasarkan hasil uji hipotesis terlihat bahwa variabel independen yang berpengaruh paling besar terhadap kebijakan hutang berturut-turut adalah: ROA dengan koefisien beta

juga dilakukan pada penderita yang mengalami perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan terapi lainnya yang lebih sederhana.prinsipnya adalah eksisis

Dalam hal ini, kita memiliki 2 masalah utama, yakni mulai memudarnya keinginan untuk menuntut ilmu dari generasi muda karena tidak adanya jaminan kesuksesan yang

Pembuatan pelapis buah dari bahan dasar pati ganyong menggunakan metode (Anggarini dkk, 2016) dengan modifikasi yaitu, memanaskan aquades dengan hot plate hingga

Jika hanya diandalkan pada 1 orang tuo tari dan 4 orang penari yang mampu menarikan tarian tersebut dan tidak diturunkan kepada generasi berikutnya maka adalah

Peranan sektor pertanian adalah sebagai sumber penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang, dan papan, menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk, memberikan