• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Waduk

Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai daerah tangkapan air yang akan dipergunakan untuk pembangkit listrik tenaga air , kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan dan untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau dan 162 waduk buatan besar dan kecil untuk kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan PLTA. Sekitar 500 danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat pengelolaan yang tidak optimal, mulai dari hulu hingga hilir.

Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di Jawa Barat, waduk ini selesai di bangun pada tahun 1988. Waduk tersebut dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang sebesar 1008 MW atau energi per tahun 1.426 GW jam sebagai pemasok tenaga listrik Jawa dan Bali (BPWC,2004). Volume air pada waktu normal adalah sekitar 2.160.000.000 m3, dengan luas permukaan sekitar 6.200 ha, kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m, dan kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC, 2004). Waduk Cirata merupakan waduk yang mendapat sumber air utama dari daerah aliran sungai Citarum. Pada awal dibangun, luas Waduk Cirata mencapai 6.200 hektar, adapun daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung.

(2)

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Waduk Cirata

Waduk Cirata adalah salah satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Citarum sendiri merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat, dengan luas 6.080 km2

Beberapa anak sungai yang masuk ke Waduk Cirata diantaranya Sungai Cikundul, Cibalagung, Cisokan, Cihea, Cimeta dan Cilangkap (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perairan, 1999). Waduk Cirata termasuk dalam badan air yang memiliki fungsi utama sebagai pembangkit tenaga listrik dengan kekuatan 1008 MW (Tjokrokusumo 2000). Namun dengan berjalannya waktu Waduk Cirata memiliki manfaat lain yaitu sebagai media transportasi, rekreasi, dan perikanan. Dalam bidang perikanan terutama perikanan budidaya, Waduk Cirata sangat

dan panjang 269 km. Karena banyaknya debit air yang dialirkan oleh sungai yang bermuara di ujung Karawang, pemerintah membangun tiga bendungan untuk pembangkit listrik, yakni PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.

(3)

dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan sistem Karamba Jaring Apung (KJA).

Salah satu permasalahan yang dihadapi waduk di Indonesia saat ini adalah tingginya sedimentasi sehingga sedimentasi telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem waduk. Waduk Cirata telah mengalami permasalahan seperti halnya waduk lainnya di Indonesia yaitu pendangkalan dan penurunan luasan perairan akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan beban sedimentasi ini diduga disebabkan oleh peningkatan laju erosi akibat aktivitas-aktivitas di daratan , buangan limbah industri dan rumahtangga di DAS , serta aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan. Jumlah sedimen yang masuk ke waduk yang melebihi daya dukung akan mengurangi daya tampung air waduk sehingga dapat memperpendek usia fungsional waduk tersebut. Turunnya daya tampung air menyebabkan waduk tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik untuk keperluan irigasi maupun pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata di DAS Citarum volumenya tinggal 57,6 persen dari volume pada saat baru dibangun.

Salah satu penyebab dari sedimentasi di Waduk Cirata adalah akibat aktivitas budidaya perikanan yang meningkat dari tahun ke tahun. Dengan teknik budidaya intensif di keramba jaring apung, petani memberikan pakan buatan secara berlebihan (sistem pompa), sehingga sisa pakan dan feses ikan banyak yang masuk ke perairan. Menurut BPWC (2004), pada awal pembangunan waduk jumlah petakan KJA yang dianjurkan 12.000 petak dengan jumlah pemilik 2472 , pada kenyataannya sampai tahun 2003 tercatat 39.690 petak dari jumlah pemilik 3899. Perkembangan KJA di perairan waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai tahun 1988--1994 meningkat 140% per tahun. Akibat dari pertambahan KJA yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan perairan serta sedimentasi yang meningkat dari tahun ke tahun. Dampak negatif dari aktivitas budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk adalah adanya buangan limbah budidaya selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan

(4)

yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Dalam budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan dibuang dalam bentuk feses. Kartamiharja dan Krismono (1996) mengemukakan bahwa pada budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan terakumulasi di bawah KJA yang berasal dari pakan yang tidak dikonsumsi dan kotoran ikan.

2.2. Karamba Jaring Apung (KJA)

Karamba jaring apung merupakan salah satu bentuk usaha bidang perikanan yang banyak diusahakan di Waduk Cirata (Gambar 2). KJA merupakan tempat upaya pembesaran ikan dengan menggunakan wadah budidaya berupa jaring yang diapungkan di permukaan air. Semua bagian sisinya diselubungi material jaring sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi air dan mempermudah pembuangan sisa pakan (Budiman et al 1991 dalam Prawita 2004). Sistem KJA di Waduk Cirata merupakan sistem usaha budidaya yang menerapkan pola intensif, yaitu menggunakan pakan buatan berupa pellet dengan kandungan protein tinggi (Krismono dan Poernomo, 1992).

Dalam pemanfaatannya, KJA memiliki fungsi sebagai sumber pendapatan, pemasok ikan, dan sarana yang menunjang perkembangan lokasi di sekitar waduk (Prawita 2004). Pemanfaatan tersebut sesuai dengan tujuan awal pengembangan jaring apung di Waduk Cirata yaitu memberikan lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitar Waduk Cirata yang terkena proyek pembangunan PLTA.

Berdasarkan data yang tercatat, jumlah KJA di Waduk Cirata pada tahun 2006 telah mencapai 50.000 kolam atau 12.500 unit dan dari seluruh jumlah KJA tersebut, 60% KJA-nya atau 30 ribu kolam berada di wilayah Cianjur (Dadang dan Selamet 2008). Padahal berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 41 tahun 2002, jumlah KJA yang diperbolehkan di perairan Waduk Cirata sebanyak 12.000 kolam (1% dari luas perairan Waduk).

(5)

Gambar 2. Karamba Jaring Apung (KJA) yang digunakan dalam penelitian

2.3. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) 2.3.1.Klasifikasi Ikan Nilem

Menurut Saanin (1968), ikan nilem di klasifikasikan sebagai berikut: • Kingdom : Animalia • Phylum : Chordata • Subphylum : Craniata • Class : Pisces • Subclass : Actinopterygi • Ordo : Ostariophysi • Subordo : Cyprinoidae • Famili : Cyprinidae • Genus : Osteochillus

• Species : Osteochillus hasselti

(6)

Gambar 3. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)

2.3.2. Struktur Morfologis Ikan Nilem

Ikan nilem (Osteochillus hasselti) merupakan ikan endemik (asli) Indonesia yang hidup di sungai – sungai dan rawa – rawa. Ciri ikan nilem hampir serupa dengan ikan mas. Ciri – cirinya yaitu pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba. Sirip punggung disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras dan 12 – 18 jari – jari lemah. Sirip ekor bercagak dua bentuknya simetris, sirip dubur disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras dan 5 jari – jari lunak. Sirip perut disokong oleh 1 jari – jari lemah mengeras dan 13 – 15 jari – jari lemah. Jumlah sisik gurat sisi ada 33 – 36 keping, bentuk tubuh ikan nilem agak memanjang dan pipih, ujung mulut runcing dengan moncong (rostral) terlipat, serta bintik hitam pada ekornya merupakan ciri utama ikan nilem. Ikan ini termasuk kelompok omnivora, makanannya berupa ganggang penempel yang disebut epifiton dan perifiton (Djuhanda dan Tatang, 1985).

2.3.3.Budidaya Ikan Nilem

Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V), adalah salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di Wilayah Priangan, sementara sekarang pembudidayaan ikan tersebut hampir dilupakan/ditinggalkan. Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan bahwa produksi ikan nilem terhadap produksi ikan budidaya lainnya dari tahun 1996 sampai 2000 persentasinya cenderung menurun berturut-turut 11,96; 7,28;

(7)

7,28; 6,78 dan 6,96%. Padahal ikan tersebut mempunyai potensi cukup besar dalam pengembangannya dimasa yang akan datang karena memiliki keunggulan komparatif.

Budidaya ikan nilem pada umumnya saat ini masih bersifat tradisional, bahkan hanya berupa produk sampingan dari hasil budidaya ikan secara polikultur dengan ikan mas, mujaer atau nila dan gurame. Dari kelompok Ciprinidae ikan nilem termasuk ikan yang tahan terhadap serangan penyakit, diduga karena ikan nilem termasuk dalam kelompok omnivora yang mengkonsumsi pakan alami dari kelompok ganggang yang disinyalir banyak mengandung anti bodi. Dengan mayoritas makanannya berupa perifiton dan tumbuhan penempel dengan demikian ikan nilem dapat berfungsi sebagai pembersih jarring (Jangkaru, 1980).

2.4. Ikan Mas (Cyprinus carpio) 2.4.1.Klasifikasi Ikan Mas

Menurut Saanin (1968) ikan mas diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Chordata

Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Cyprynoidea Family : Cyprinidae Sub Family : Cyprininae Genus : Cyprinus

Species : Cyprinus carpio Linn

2.4.2. Struktur Morfologis Ikan Mas

Berdasarkan Djuhanda (1981), ikan mas memiliki ciri-ciri antara lain ukuran panjang tubuh lebih panjang dari tinggi tubuhnya (perbandingan panjang total dan tinggi badan 3,5 : 1), mulut di ujung kepala dan pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba, badan ditutupi oleh sisik sikloid, ekor bercagak dua dan simetris. Ikan mas merupakan ikan yang hampir memakan

(8)

berbagai jenis pakan termasuk plankton (Lagler, 1972). Sumantadinata (1983) menyatakan bahwa ikan mas termasuk kelompok ikan omnivora yang lebih mudah memakan makanan yang berasal dari hewani.

2.4.3. Budidaya Ikan Mas

Ikan mas (Cyprinus carpio, Linn) merupakan ikan air tawar yang sudah dikenal di dunia, dibudidayakan mulai dari negara-negara tropis sampai dengan negara sub tropis. Ikan mas memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sehingga merupakan salah satu ikan yang relatif banyak dibudidayakan oleh pembudidaya. Sifat-sifat itu antara lain dapat mentolerir kisaran temperatur yang luas (20-30 oC) dan mudah memijah serta memiliki adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan (Webb, 1981). Budidaya ikan mas di Indonesia sudah tersebar diseluruh propinsi yang ada. Tingkat kesuksesan budidaya ikan mas berkaitan dengan teknologi budidaya ikan mas yang sudah lama dikenal oleh masyarakat serta ikan mas dikenal sebagai ikan yang mudah untuk memijah (Bardach et al., 1972). Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan bahwa produksi ikan mas menunjukkan tren yang semakin meningkat. Di Wilayah Jawa Barat ikan mas banyak dibudidayakan di keramba jaring apung, kolam air deras, dan kolam tanah.

Sebagian besar usaha budidaya ikan mas menggunakan sistem budidaya semiintensif dan intensif. Budidaya ikan mas secara intensif dilakukan di kolam air deras dan keramba jaring apung (KJA). Usaha budidaya intensif ikan mas umumnya berupa monokultur atau terkadang polikultur dengan beberapa jenis ikan seperti ikan nila, tembakang, dan nilem (Sumantadinata, 1983). Usaha pembesaran ikan mas di KJA yang menggunakan jaring ganda biasanya menggunakan sistem polikultur dimana ikan mas berada di jaring dalam sedangkan ikan nila berada di jaring luar.

(9)

2.5. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Kandungan Bahan Organik di Perairan

Limbah yang berasal dari budidaya intensif mengandung bahan organik yang tinggi. Limbah organik ini berasal dari sisa pakan yang terlarut dan tersuspensi dalam air , sisa metabolit, eksresi hewan budidaya berupa feses dan urin, pupuk, obat-obatan dan bahan perlakuan lainnya. Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi aerobik, berlangsung sebagai bagian rantai makanan di alam, sebagai bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan untuk membangun substansi vital dari jenis-jenis mikroba (Mara, 1976 dalam Bachrianto, 1994)

Bahan organik total atau total organik matter (TOM) menggambarkan kandungan bahan organik total di suatu perairan yang terdiri atas bahan organik terlarut, tersuspensi (particulate) dan koloid (Hariyadi et al, 1992). Bahan organik dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari sisa pakan, sisa metabolisme, pupuk, plankton yang mati dan beberapa sumber lainnya. Dalam perairan bahan organik secara tidak langsung berpengaruh pada organisme budidaya karena keberadaannya dapat mempengaruhi parameter kimia air lainnya sebagai bahan yang akan terdekomposisi baik secara aerob dan anaerob. Selain itu bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan bakteri yang bersifat patogen.

Berdasarkan fungsinya, bahan organik menurut Goldman dan Horne (1983) dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu : 1) bahan organik yang dapat mengalami proses dekomposisi, contohnya N-organik, P-organik dan humus; 2) bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme, contohnya asetat, glukosa dan glikolat; 3) bahan organik yang dihasilkan oleh alga dan beberapa hewan yang berperan penting dalam pigmentasi darah dan klorofil, antara lain asam humik dan sitrat; 4) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan yang dapat mempercepat atau menghambat pertumbuhan dirinya atau pesaingnya; 5) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan dirinya, sering kali bahan organik ini merupakan racun

(10)

bagi organisme lain, contohnya lendir yang dihasilkan oleh alga biru-hijau (blue green algae).

Berdasarkan sumbernya, Metcalf dan Eddy (1991) membedakan bahan organik menjadi tiga macam, yaitu 1) bahan organik yang berasal dari limbah domestik, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; 2) bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; 3) bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida. Lebih lanjut dikatakan bahwa , nilai kandungan bahan organik diperairan dapat diukur sebagai karbon organik total (TOC, Total Organic Carbon), kebutuhan oksigen untuk proses kimia (COD, Chemichal Oxygen Demand), kebutuhan oksigen untuk proses biokimia (BOD, Biologychal Oxygen Demand).

Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat dalam agregar besar atau organisme mati yang bersumber baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allocthonous) perairan. Secara umum bahan organik mengandung 40 – 60 % protein, 25 – 50 % karbohidrat dan 10 % lemak dan minyak, serta urea (APHA, 1985). Menurut Sladeck, 1979 dalam Taurusman, (1999), bahan organik dalam ekosistem perairan akan terbentuk karena adanya proses anabolisme unsur hara oleh organisme primer dengan bantuan sinar matahari, lalu diikuti proses kehidupan organisme sekunder dan adanya masukan bahan organik dari ekosistem lainnya. Kandungan bahan organik dalam perairan dapat diukur secara langsung dengan cara mengukur kandungan bahan organik total (Total Organic Matter, TOM), (Wetzel dan Likens, 1991).

Seiring dengan penambahan jumlah pakan dalam kegiatan budidaya, beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya semakin meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan kualitas media budidaya (Rosenbery, 2006). ).Peningkatan bahan organik dan unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik utuk memanfaatkannya akan timbul permasalahan serius. Permasalahan yang

(11)

timbul antara lain : tingkat kekeruhan menjadi tinggi sehingga menurunkan tingkat penetrasi sinar matahari dan proses fotosintesis di kolom air akan terhambat; makin meningkatnya jumlah tanaman berakar pada bagian litoral dan menghilangkan jenis plankton dan benthos tertentu serta jenis organisme akuatik lainnya; serta munculnya jenis organisme baru yang biasanya merugikan kepentingan perikanan (Jorgensen, 1980). Soeriatmaja (1981) menambahkan bahwa peningkatan bahan organik berlebihan akan membawa akibat-akibat seperti meningkatnya unsur kimia yang berlebihan, menurunkan pH dan oksigen terlarut, serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses dekomposisi.

Menurut Huisman (1987) dalam Harris (1996) menyatakan bahwa bila konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg, sehingga akan menghasilkan limbah organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg, yang selanjutnya akan terbuang ke perairan sekitarnya.

2.6. Perifiton

Perifiton adalah suatu komunitas kompleks dari mikrobiota yang menempel pada substrat, baik substrat organik, an-organik, hidup atau pun mati (Wetzel, 1983 dalam Hany 2009). Menurut Welch (1980) perifiton merupakan asosiasi organisme akuatik yang menempel pada batang dan daun tanaman berakar atau permukaan substrat lainnya yang berada di bawah permukaan air. Sedangkan menurut Odum (1971) perifiton adalah komunitas organisme yang hidup di atas atau sekitar substrat yang tenggelam (Gambar 4).

(12)

Gambar 4. Posisi perifiton dalam suatu ekosistem perairan Sumber : http://jmarcano.com/graficos/images/65.gif.

Perifiton selain berperan sebagai produsen primer di perairan eufotik, juga dapat berperan sebagai biofilter dan akumulator senyawa-senyawa konsentrat tinggi di perairan. Peran-peran ini menjadikan perifiton sebagai bioconditioner atau penyeimbang sistem ekologis .

Proses pertumbuhan komunitas perifiton melalui empat tahap, yaitu kolonisasi awal perifiton pada permukaan substrat, pertumbuhan diatom, kolonisasi algae berfilamen hingga membentuk komunitas perifiton yang dapat tumbuh hingga maksimal, dan pelepasan fragemen perifiton sehingga menyebabkan adanya kolonisasi perifiton yang baru atau suksesi. Perkembanagan perifiton dapat dipandang sebagai proses akumulasi hasil kolonisasi dengan proses biologi yang menyertainya dan berinteraksi dengan faktor fisika dan kimia perairan (Nuraiani 2005dalam Hany 2009).

Pelepasan perifiton terjadi setelah perifiton mengalami kematian akibat telah mencapai titik puncak pertumbuhan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kemampuan untuk memproses nutrien, dan komposisi perifiton yaitu, ketersediaan cahaya, kualitas air, dan tipe substrat. Pertumbuhan perifiton dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya untuk proses fotosintesis (Stokes et al. 1970; Weitzel 1979 dalam Hany 2009).

(13)

Gambar 5. Proses Pertumbuhan Perifiton

Jenis-jenis perifiton didominasi oleh golongan plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton. Beberapa jenis yang sering ditemui di perairan tawar adalah Spirogyra, Cymbella, Zygnema, Navicula, Pinularia, Synedra, Oscillatoria, Cosmarium, Merismopedia, Nitzschia, Spirulina, Diatom, dan sebagainya , contoh gambar perifiton dapat dilihat pada gambar 6.

(A) (B) ©

Gambar 6. (A). Spyrogyra (B). Merismopedia (C). Zygnema (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Periphyton

Struktur komunitas merupakan pola kelimpahan suatu jenis dan pola keterikatan antar jenis dalam sebuah komunitas (Barnes dan Mann 1993). Pada

)

Dominansi perifiton pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan, kandungan nutrien perairan, dan musim. Tidak semua jenis perifiton menempel secara permanen pada suatu substrat. Ada beberapa jenis perifiton yang hanya menempel sementara, misalnya hanya pada saat bereproduksi atau terbawa arus sehingga terjebak dalam koloni perifiton permanen.

(14)

perairan danau dan waduk, fitoplankton yang kodominan (dominan lebih dari satu) biasanya meliputi kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan Cyanophyceae (Boney 1975 dalam Prasetiya 2007).

Pertumbuhan dan perkembangan perifiton biasanya didukung oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perifiton diantaranya tipe perairan (sungai, waduk, atau laut), intensitas cahaya (lama penyinaran) kecerahan, kekeruhan, tipe substrat (kondisi, lokasi, kedalaman, ketersediaan dan lama perendaman), pergerakan air (arus dan kecepatan), pH, alkalinitas, unsur hara, bahan terlarut, suhu, oksigen dan CO2

• Epipelik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen. .

Selain faktor-faktor diatas, perkembangan perifiton menuju kemantapan komunitasnya tergantung pada kemantapan substratnya. Berdasarkan penelitian Suparlina (2003) dengan menggunakan kolam berkonstruksi beton jumlah biota perairan menjadi lebih banyak. Hal ini karena kolam berkonstruksi beton dapat menahan air lebih baik, sehingga membuat kondisi perairan kolam lebih stabil dan terkontrol.

Berdasarkan substrat tempat menempelnya Weitzel (1979) membedakan perifiton menjadi beberapa jenis, yaitu:

• Epilitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan batuan. • Epifitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan tumbuhan. • Epizoik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan hewan.

Epipsamik, mikroorganisme yang hidup dan bergerak diantara

butiran-butiran pasir.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Waduk Cirata
Gambar 2. Karamba Jaring Apung (KJA) yang digunakan dalam penelitian
Gambar 3. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)
Gambar 4. Posisi perifiton dalam suatu ekosistem perairan  Sumber : http://jmarcano.com/graficos/images/65.gif.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam

DAFTAR KEGIATAN-KEGIATAN YANG BELUM DISELESAIKAN SAMPAI AKHIR TAHUN DAN DIANGGARKAN KEMBALI DALAM TAHUN ANGGARAN BERIKUTNYA. TAHUN ANGGARAN 2015 1 2 REALISASI TAHUN 2013 REALISASI

Penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang mengalami kerugian akibat informasi iklan barang dan jasa yang menyesatkan berdasarkan Pasal 43 ayat

(Suatu hal yang dapat diterapkan secara umum untuk semua persaingan tidak jujur atau curang dalam perdagangan dan bisnis, tetapi terutama diterapkan pada praktik berusaha

akan dianalisis dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan (kata, frasa, kalimat naratif, maupun dialog), yang berkaitan dengan tubuh dan penubuhan yang digambarkan

 Kendala alamiah yakni adanya wilayah rawan bencana di Kabupaten Lamongan, yaitu wilayah yang secara topografis mempunyai ketinggian o-7 m diatas permukaan

Berdasarkan hasil kerja praktik yang dilaksanakan di Dinas Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Jawa Timur (DISPORA JATIM), ditemukan permasalahan yang terjadi yaitu pengelolaan

Pertanian organik adalah system budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami, tanpa menggunakan bahan kimia sintesis. Prinsip pertanian organik