• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Stres merupakan sebuah istilah yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Hampir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Stres merupakan sebuah istilah yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Hampir"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Stres merupakan sebuah istilah yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap orang pasti pernah mengalami stres. Tuntutan dan tekanan yang datang bertubi-tubi merupakan hal yang sangat lumrah dalam kehidupan manusia dan dapat menimbulkan stres. Beberapa orang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif. Bagi mereka, tuntutan dan tekanan merupakan hambatan atau batu sandungan dalam kehidupannya. Namun beberapa yang lain menganggap sebaliknya, yaitu bahwa pengalaman hidup yang penuh tekanan adalah kesempatan untuk “tumbuh” ke arah yang lebih positif (NG Ping-yi, 2012).

Tidak semua stres berakibat buruk bagi individu yang mengalaminya. Stres juga dapat menghasilkan konsekuensi yang baik, seperti mengakibatkan “pertumbuhan” pribadi (Greenberg, 2002). Saat ini banyak penelitian dalam bidang psikologi positif yang memfokuskan pada pertumbuhan psikologis individu ke arah yang positif sebagai konsekuesi yang diakibatkan dari peristiwa-peristiwa negatif dalam kehidupan (Schatz, 2003; Tedeschi & Calhoun, 2004; Siegel et al., 2005; Karanci & Erkam, 2007). Dalam sejumlah penelitian dibuktikan bahwa lebih dari 50% individu yang mengalami krisis dalam kehidupan mereka menunjukkan hal-hal positif dari pengalaman tersebut (Schaefer & Moos, 1998).

Dewasa ini peneliti telah mempergunakan beberapa istilah untuk menggambarkan perubahan positif sebagai hasil dari perjuangan menghadapi situasi stres dalam kehidupan, salah satunya ialah istilah Stress-Related Growth (Tedeschi & Calhoun, 2004). Dalam Stress-Related Growth, sumber potensial terjadinya pertumbuhan ialah perjuangan

(2)

menyakitkan yang dilakukan dalam menghadapi berbagai peristiwa penuh tekanan, bahkan ketidaknyamanan psikologis dalam tingkatan tertentu harus terjadi (NG Ping-yi, 2012).

Antonovsky et al. (dalam Galli, 2009) menyampaikan bahwa Stress-Related Growth ditimbulkan dari peristiwa sehari-hari dalam kehidupan. Stresor yang muncul dalam kehidupan sehari-hari dapat berasal dari berbagai macam penyebab dan dapat terjadi pada siapa saja, salah satunya pada kalangan remaja.

Masa remaja adalah masa saat manusia mengalami banyak perubahan dalam hidup. Masa ini juga sering disebut dengan “masa pubertas” atau masa masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa, di mana terjadinya lonjakan pertumbuhan fisik, munculnya karakteristik seksual sekunder, kebangkitan seksual, pencapaian kesuburan, dan perubahan psikologis yang mendalam (Lerner et al., 2003). Pada masa ini individu mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan biologis, kognitif, maupun sosio-emosional (Pratt, 2006). Mereka mengalami perubahan dari anak-anak menuju dewasa awal. Perubahan-perubahan yang dialami mereka ini dapat mengakibatkan suatu tekanan tersendiri. Berbagai perubahan yang terjadi pada masa ini dapat menjadi stresor yang mengakibatkan remaja menjadi rawan terhadap stres. Perubahan biologis yang signifikan, pembentukan identitas, pengalaman baru, dan tugas-tugas perkembangan yang baru, misalnya yang terkait dengan penyesuaian terhadap perkembangan pubertas dan munculnya seksualitas reproduksi, penyesuaian kembali terhadap peranan sosial, penyesuaian terhadap perkembangan kognitif, emosional, dan moral, serta transisi sekolah, (Lerner et al., 2003), dapat memicu terjadinya stres pada remaja (Santrock, 2011). Bahkan seorang psikolog asal Amerika yang mendalami masalah perkembangan manusia, Granville Stanley Hall, mengusulkan istilah storm-and-stress untuk mendeskripsikan pandangan bahwa masa remaja adalah masa yang bergolak dengan terjadinya berbagai konflik dan perubahan suasana hati (Lerner et al., dalam Santrock, 2011).

(3)

Harry S. Sullivan (dalam Santrock 2011) menyatakan bahwa prevalensi penderita depresi pada usia remaja dan dewasa awal menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi dibandingkan pada anak-anak. Dalam penelitian Graber & Sontag (dalam Santrock, 2011), ditemukan sebanyak 15-20% remaja mengalami gangguan depresi. Studi Marcotte (dalam Darmayanti, 2008) juga menemukan hal yang serupa terhadap populasi di Kanada dan Amerika Serikat, yaitu bahwa terdapat sekitar 20-35% remaja laki-laki dan dan 25-40% remaja perempuan mengalami mood depresi. Para peneliti di University of Oregon mengestimasi bahwa 28% dari remaja, yaitu usia 13-19 tahun akan mengalami setidaknya satu episode depresi berat dan 7% dari remaja yang mengalami gangguan depresi mayor kemungkinan pada akhirnya akan melakukan bunuh diri (Cash, 2010).

Selain perubahan hormonal yang berkontribusi memicu terjadinya konflik dan perubahan tubuh yang memicu terbentuknya citra tubuh (body image) (Santrock, 2011), stres pada remaja dapat ditimbulkan dari hubungan teman dan keluarga. Pada masa remaja teman sebaya merupakan aspek penting. Mereka lebih sering menghabiskan banyak waktu dengan teman-temannya dan berusaha agar diterima dalam lingkungan teman sebayanya. Hal ini dikarenakan para remaja ingin mandiri dan tidak lagi dihubung-hubungkan dengan orang tuanya. Dalam hal ini banyak remaja yang mulai mengalami konflik dan gangguan emosi ketika mereka mencoba untuk memutuskan apakah mereka akan mengikuti nilai-nilai teman atau keluarga mereka (Pratt, 2006).

Pada masa ini remaja mulai cenderung memiliki kebebasan dan pilihan dibandingkan saat mereka masih kanak-kanak. Namun seiring dengan kebebasan dan pilihan tersebut, mereka juga mulai memiliki kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dikarenakan pada masa remaja individu akan berpikir lebih abstrak, idealis, dan logis dibandingkan pada masa kanak-kanak (Good & Willoughby dalam Santrock, 2011).

(4)

Banyak tugas-tugas dan kewajiban yang harus individu penuhi pada masa ini, salah satunya dalam hal pendidikan.

Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU RI No.23 Tahun 2003). Orang tua dan masyarakat secara umum biasanya memiliki pandangan bahwa individu-individu yang berada pada tahap remaja haruslah memiliki pendidikan yang baik untuk masa depannya. Padahal dalam menempuh pendidikannya, tidak sedikit dari mereka yang merasa tertekan. Tekanan dapat disebabkan karena tugas yang tidak sesuai dengan kapasitasnya, permasalahan dengan teman, kejenuhan terhadap pelajaran, dan lain-lain (Savitri, 2012). Akibatnya, mereka juga merasakan banyak tekanan dalam memenuhi harapan orang-orang di sekitar mereka (Eccles et al., 2006).

Hal-hal tersebut dapat menimbulkan stres pada remaja, apalagi pada remaja yang akan menghadapi ujian akhir nasional dan tes masuk perguruan tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kinantie dkk. (2012) pada siswa yang akan menghadapi UAN, ditemukan bahwa sejumlah 49,74% mengalami stres sedang dan 30,05% mengalami stres berat. Hal ini dialami oleh para remaja yang sedang menempuh pendidikan tingkat akhir di SMA/MA. Hal yang sama juga dapat terjadi tak terkecuali para remaja yang berada di pesantren.

Pesantren adalah salah satu model pendidikan yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, pesantren merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara. Pesantren termasuk salah satu

(5)

pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari suatu pemeluk agama yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU RI No.23 Tahun 2003). Fungsi utama dari pesantren ialah menyiapkan peserta didik atau yang biasa disebut santri untuk mendalami dan menguasai ilmu agama Islam. Pesantren juga berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik atau santri menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Santri tidak hanya dididik menjadi orang yang mengerti ilmu agama dan mengamalkannya, tetapi juga mendapat tempaan kepemimpinan yang alami, kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan sikap positif lainnya (Usman, 2013).

Pondok pesantren yang modern biasanya memiliki sistem pengajaran seperti sekolah-sekolah lain pada umumnya. Pondok pesantren modern memiliki kurikulum yang tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, namun juga mengimbanginya dengan pendidikan umum (Abdullah dkk. dalam Zakiyah dkk., 2010), sehingga ada juga pesantren yang menerapkan kurikulum yang memadukan kurikulum pendidikan nasional dan kurikulum kepondokan, ditambah lagi dengan kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah pada umumnya. Pesantren biasanya juga mewajibkan santrinya untuk tinggal di asrama yang telah disediakan. Di asrama tersebut para santri harus mematuhi semua peraturan yang ada, bukan hanya peraturan dari sekolah, melainkan juga peraturan asrama dan pondok pesantren di mana ia tinggal. Hal ini dilakukan agar santri dapat belajar secara efektif dengan adanya aturan yang ketat, sehingga mereka bisa menguasai pengetahuan agama dan umum yang diterima (Zakiyah dkk., 2010). Oleh karena itu, biasanya para santri memiliki jadwal kegiatan yang sangat padat dibandingkan dengan siswa sekolah pada umumnya. Setiap hari santri dibebani oleh kegiatan-kegiatan yang tidak ringan, mulai

(6)

dari bangun tidur hingga tidur kembali diatur sedemikian rupa (Yuniar dkk. dalam Zakiyah dkk., 2010).

Selain harus mengikuti kegiatan pembelajaran umum dan juga agama, hampir seluruh kegiatan mereka sehari-hari juga diatur oleh sejumlah peraturan, baik dari sekolah maupun asramanya. Belum lagi kondisi yang mewajibkan mereka mengikuti kegiatan-kegiatan asrama, misalnya, pendidikan keagamaan yang juga diberikan saat di asrama (hafalan Al-Qur’an, mujahadah, membaca kitab, dll). Tidak sedikit para santri yang kadang mengaku terlalu lelah dengan aktivitas di luar sekolah dan banyaknya tugas yang harus diselesaikan (Zakiyah dkk., 2010). Hal ini membuat para remaja yang menjadi santri rentan terhadap berbagai macam stresor. Belum lagi stresor akan semakin besar saat para santri ini juga harus menghadapi ujian kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi.

Namun di samping berbagai tekanan yang muncul, para santri tidak hanya dapat melalui permasalahan yang dihadapinya, mereka juga dapat mencetak prestasi-prestasi gemilang. Prestasi yang mereka capai pun tidak tanggung-tanggung. Mereka dapat bersaing prestasi dalam tingkat provinsi, nasional, bahkan internasional. Hal ini dibuktikan misalnya dengan santri yang menjuarai berbagai lomba MQK (Musabaqah Qiraatul Kutub) di tingkat provinsi dan debat Bahasa Arab se-ASEAN (Mahalli, 2014). Selain itu, pada tahun 2014 yang lalu sekelompok santri dari berbagai pondok pesantren di wilayah D.I. Yogyakarta dipastikan mewakili provinsi dalam ajang MQK tingkat nasional (Humaid, 2014). Baru-baru ini sekelompok santri dari MBS Yogyakarta juga dipilih untuk mengikuti Olimpiade IPA, IPS, dan Bahasa se-DIY (MBS Yogyakarta, 2013). Beberapa santri yang lain juga tidak kalah dalam mencetak prestasi, ada santri yang mendapatkan juara di bidang karya tulis ilmiah tingkat nasional, bahkan seorang santri dapat tembus menjadi empat besar dalam Olimpiade Sains Internasional (Tebuireng, 2014).

(7)

Semua hal tersebut dikarenakan dengan kondisi penuh tekanan itu, individu mungkin melakukan usaha untuk mengatasi dan mempertahankan diri untuk tetap stabil dan seimbang yang dinamakan mekanisme koping. Mekanisme koping merupakan suatu cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah dan mengatasi perubahan yang terjadi, serta situasi yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku (Nasir & Muhith dalam Rhadiah dkk., 2013). Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan koping sebagai suatu upaya individu untuk mengelola tuntutan psikologis dari lingkungan apa pun yang mengancam sumber daya individu tersebut. Upaya mengatasi ini memiliki dua fungsi utama, yaitu mengelola masalah yang menyebabkan kesulitan (baik mengurangi, menguasai, maupun menoleransi situasi) dan mengatur emosi.

Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa koping merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh pemikiran atau pemahaman individu masing-masing tentang hubungannya dengan lingkungan. Cara tiap-tiap individu untuk mengatasi masalahnya berbeda, tergantung pada penilaian mereka terhadap hubungan individu dengan lingkungan dan juga sangat tergantung pada sumber daya yang tersedia untuk mereka serta kendala yang menghambat penggunaan sumber daya tersebut. Perilaku koping yang sesuai akan dipilih individu untuk mengelola, mengubah, atau menguasai situasi, mengatur respon emosional, atau kombinasi dari perilaku-perilaku tersebut. Individu akan melakukan koping untuk mencoba mengatasi stresor yang mereka hadapi dan memilih strategi koping yang paling baik.

Dengan melakukan strategi koping yang baik, manusia tidak hanya dapat mengatasi stres kehidupannya, namun ia juga dapat "tumbuh" dari waktu ke waktu karena peristiwa-peristiwa negatif yang dialaminya (Park et al., 1996). Hampir sebagian besar penelitian mengenai “pertumbuhan” dengan hubungannya terhadap strategi koping menunjukkan

(8)

hubungan yang positif. Pertumbuhan telah dibuktikan terkait secara positif dengan beberapa koping strategi, salah satunya dengan religious coping (Pargament, 1997).

Koping religius adalah suatu kerangka yang didasarkan pada pendekatan individu dalam pemecahan masalah dalam konteks hubungan dengan Tuhan (Pargament, 1997), yaitu bagaimana individu melakukan suatu cara dalam menggunakan keyakinannya untuk mengelola stres dan masalah-masalah dalam kehidupannya (Wong-McDonald & Gorsuch dalam Utami, 2012). Dalam hal ini keyakinan yang dimaksud ialah berkaitan dengan religi atau keagamaan.

Religi menurut Pargament (1997) dapat menjadi bagian sentral dari konstruksi koping. Pargament menyatakan bahwa agama secara signifikan memberi dampak pada proses multidimensional yang mana agama dapat mengurangi dan memberi dampak terhadap kesehatan mental seseorang. Agama dikatakan dapat mengurangi atau mencegah efek stres kehidupan, atau keduanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa agama memberi pengaruh positif terhadap konsekuesi kehidupan yang negatif seperti tekanan psikologis dan stres secara umum. Hal yang serupa juga ditemukan oleh Fabricatore dan Handal (dalam Kasberger, 2002), yaitu bahwa spiritualitas seseorang menurunkan pengaruh negatif stres pada kepuasan hidup. Mosher dan Handal (dalam Kasberger, 2002) juga menemukan bahwa religiusitas yang rendah berkorelasi dengan tingginya tingkat stres dan rendahnya tingkat penyesuaian pada remaja. Bahkan menurut Pargament (1997), koping religius mencerminkan adanya berbagai strategi yang mencakup seluruh pilihan koping. Penelitian yang dilakukan Conway et al. (dalam Pargament, 1997) menemukan bahwa agama digunakan sebagai strategi koping oleh sebagian besar peserta mereka, hingga mencapai 91%.

Di Indonesia, dari sejumlah agama yang dianut masyarakatnya, agama Islam merupakan agama dengan penganut terbanyak. Pada tahun 2000, dari total penduduk

(9)

201,24 juta jiwa, persentase umat muslim di Indonesia mencapai 88,22% atau 177,52 juta jiwa. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pemeluk Islam terbanyak di dunia (Hasbullah, 2012). Hal ini berarti bahwa Islam dipercaya sebagai tuntunan atau pedoman hidup sebagian besar umat manusia.

Sebagai agama yang menjadi tuntunan atau pedoman hidup, tidak ada satu aspek kehidupan pun yang terlepas dari pembahasannya. Banyak cara yang ditawarkan Islam untuk meyelesaikan setiap masalah dalam kehidupan umatnya. Islam mengajarkan manusia menggunakan cara-cara yang islami dalam menyelesaikan masalah kehidupan. Islami dapat berarti sesuai dengan ajaran Islam. Penggunanan cara-cara yang islami sesuai dengan ajaran Islam untuk menghadapi tuntutan, ancaman, atau masalah dalam kehidupan disebut koping religius-islami (Urbayatun, 2012).

Sumber asli dari semua ajaran dan syari’at Islam ialah Kitab Suci yang disebut Al-Qur’an (Ali, 2007). Al-Al-Qur’an dan Sunnah mengajarkan manusia untuk mengendalikan dan menguasai masalah dalam kehidupan sesuai dengan batas-batas yang diperkenankan syari’at tanpa berlebihan atau melanggar batas (Najati, 2005). Islam menggerakkan manusia menuju jalan yang benar ke arah perkembangan daya-daya batinnya, sehingga menimbulkan sikap batin yang membuat orang tabah dalam menghadapi keadaan suka maupun duka (Ali, 2007), hal yang sangat diperlukan individu untuk mengalami Stress-Related Growth.

Walaupun demikian, literatur mengenai koping religius-islami dan Stress-Related Growth ini masih sangat minim. Padahal koping religius-islami merupakan salah satu strategi koping yang dapat membawa para santri ke perubahan yang positif akibat dari stresor kehidupan yang dialaminya atau disebut juga dengan Stress-Related Growth. Oleh karena itu, hal ini menjadi landasan peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

(10)

hubungan antara kedua variabel tersebut, yaitu koping religius-islami dan Stress-Related Growth (SRG).

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mengetahui hubungan antara koping religius-islami dan SRG (Stress-Related Growth) pada santri di beberapa pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini terdiri dari dua bentuk, yaitu :

1. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam keilmuan psikologi, khususnya dalam bidang psikologi klinis, psikologi positif, dan psikologi perkembangan yaitu mengenai koping religius-islami dan Stress-Related Growth pada remaja yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu mengubah paradigma masyarakat dalam memaknai stres sebagai suatu hal yang lebih positif dan dapat memicu perkembangan psikologis individu. Peneliti juga mengharapkan bahwa penelitian ini dapat membantu tidak hanya para santri, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan dalam memberikan informasi mengenai cara menghadapi tekanan atau stres akibat permasalahan kehidupan yang dapat membawa menuju perkembangan ke arah yang positif.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini digunakan rujukan dari penelitian yang dilakukan oleh Siti Sara (2013) meneliti tingkat kepuasan konsumen terhadap gerai kopi di Kota Medan dari hasil

Airin Graha Persada, berdasarkan data pada bulan Maret 2018 persentase produk cacat yang dihasilkan mencapai 1,4% yang melebihi batas toleransi sebesar 1%, dengan nilai

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lahan rawa lebak aplikasikan bioinsektisida cair dan padat dapat mempengaruhi keanekaragaman artropoda predator (H’) di tajuk tanaman

Secara umum dengan penggunaan kos- metika anti aging wajah berpengaruh terhadap perubahan tekstur, yaitu Permukaan kulit (dapat dilihat dan diraba) permukaan pada kulit yang

Information Strategy System bertujuan untuk mengkonstruksi arsitektur informasi dan strategi yang mendukung tujuan dan kebutuhan organisasi secara menyeluruh, menyangkut

Dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas IV SDN 1 Gunung Raya dalam mengarang cerita pengalaman pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui penggunaan media

Pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat yang dikemukakan oleh Jean Jaqques Rosseau, seorang