61
BAB IV
Mekanisme Perdamaian Dalam Ritual Simbolik Sabung Ayam
4.1 Pengantar
Dari penjabaran pada bab sebelumnya, dapat dilihat bagaimana upaya orang Sabu terkhususnya Sabu Liae untuk tetap menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, sesama, alam semesta dan para leluhur mereka. Upaya ini dibungkus dalam tradisi yang setiap tahun terus dilaksanakan dan salah satunya ialah ritual sabung ayam, untuk mengingatkan mereka bahwa perdamaian harus terus dijaga dan dijunjung tinggi demi kemakmuran seluruh ciptaan. Dalam hal ini ayam menjadi simbol pengganti manusia yang menampung semua emosi, dendam dan amarah yang diluapkan dalam ritual sabung ayam sehingga tidak ada lagi masalah atau dendam diantara mereka. Dengan demikian, sabung ayam merupakan sebuah ritual budaya yang mengisyaratkan atau melambangkan sebuah makna perdamaian yang abadi. Untuk itu dalam pembahasan ini, penulis akan memulai dengan menguraikan tentang sabung ayam dalam konteks sejarah kemudian dilanjutkan dengan menguraikan sabung ayam sebagai ritual simbolik dan melihat sabung ayam sebagai pengalihan kekerasan. Selanjutnya penulis akan menguraikan mekanisme perdamaian dalam ritual simbolik sabung ayam dan menunjukan dimensi-dimensi perdamaian yang ada dalam ritual tersebut.
4.2 Makna Sabung Ayam
4.2.1 Sabung Ayam Dalam Konteks Sejarah
Dalam pembahasan pada bab III halaman 43, penulis telah menjabarkan tentang asal mula ritual sabung ayam yang muncul dari kisah para leluhur yaitu dibuat dengan
62
tujuan untuk mencari anak yang hilang. Dari sejarah ini dapat diketahui bahwa permainan sabung ayam sudah dikenal dan dimainkan sejak dahulu kala yaitu zaman para leluhur orang Sabu. Permainan ini bersifat hiburan dan lebih banyak dilakukan oleh kaum lelaki karena biasanya laki-laki gemar memelihara ayam jantan. Permainan ini juga disebut permainan rakyat karena merupakan salah satu permainan yang cukup sering dilakukan oleh orang Sabu pada umumnya dan memiliki daya tarik yang cukup tinggi sehingga mampu mengundang banyak orang untuk hadir baik untuk ikut secara langsung maupun hanya sekedar menyaksikan. Atas dasar inilah sehingga Dida Miha menggunakan permainan sabung ayam sebagai sarana untuk mencari anaknya yang hilang. Pada akhirnya, sang anak berhasil ditemukan lewat permainan tersebut. Beberapa waktu kemudian, di Sabu Liae terjadi perang berkepanjangan yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Tidak ingin terus ada dalam situasi tersebut, dua orang leluhur Sabu Liae yaitu Mangngi Lay dan Hari Judda memutuskan untuk membuat ritual sabung ayam sebagai pengganti peperangan antar manusia. Jadi yang berperang bukan lagi manusia melainkan ayam, sehingga tidak ada lagi pertumpahan darah manusia karena telah dialihkan pada ritual sabung ayam. Peperangan antara manusia yang kemudian dialihkan dalam ritual sabung ayam memberi jalan perdamaian pada manusia karena semua emosi, dendam dan amarah yang tertuang dalam peperangan telah dialihkan penuh pada ayam sebagai pengganti manusia. Dengan demikian, masyarakat memiliki kesadaran untuk terus memelihara perdamaian dalam kehidupan mereka.
Kisah ini terus dijaga dan dilestarikan oleh orang Sabu karena merupakan sebuah cerita penting tentang asal mula sebuah ritual yang terus dilakukan sampai saat ini. Kosmologi orang Sabu mengatakan bahwa setiap tindakan maupun keputusan yang mereka ambil selalu didasarkan pada mitos yang bagi mereka penting untuk dijaga
63
karena merupakan asal mula dari segala sesuatu. Mereka meyakini bahwa ketika mitos itu mereka jaga maka relasi antara mereka, dewa (Tuhan) dan para leluhur akan terus harmonis.1 Eliade dalam penjelasannya tentang mitos mengatakan bahwa mitos bisa juga disebut kisah "ciptaan" karena berkaitan langsung dengan bagaimana sesuatu diproduksi atau mulai menjadi. Mitos hanya menceritakan apa yang benar-benar terjadi, yang memanifestasikan diri sepenuhnya. Aktor dalam mitos adalah Makhluk Supranatural yang dikenal melalui apa yang mereka lakukan pada masa "permulaan". Karena itu, mitos mengungkapkan aktivitas kreatif mereka dan mengungkapkan kesucian atau "kesaktian" karya-karya mereka.2 Dengan kata lain, mitos menceritakan bagaimana sebuah kenyataan itu muncul dan betapa pentingnya kisah tersebut bagi masyarakat setempat. Sama halnya dengan ritual sabung ayam yang memiliki sejarah penting dalam keberlangsungan hidup masyarakat Sabu Liae sehingga sampai dengan saat ini ritual tersebut masih terus dilakukan. Ritual ini penting karena menyimpan aktivitas kreatif dan kesaktian para pelaku sejarah yang mengemas sabung ayam dengan nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya. Semua itu terus dipelihara sampai saat ini agar pesan penting dari ritual sabung ayam akan terus hidup pada generasi-generasi berikutnya. Untuk mewujudkan hal ini, masyarakat harus bisa berperan sebagai aktor di masa kini yang berusaha menjaga dan memelihara sejarah tersebut lewat ritual yang dilakukan setiap tahun.
Mitos bukan sekedar dongeng, melainkan mitos memberikan model yang dijadikan sebagai referensi tindakan dan sikap hidup manusia. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan spiritual religius, bukan tindakan profan sehari-hari.3 Definisi ini sejalan dengan ritual sabung ayam, dimana ritual ini merupakan sebuah tindakan
1
Lihat bab III halaman 41. 2
Mircea Eliade, Myth and Reality, (USA: Harper & Row Publishers , 1963), 5-6. 3 Mircea Eliade, Myth and... 6.
64
spiritual religius yang berbeda dari tindakan sehari-hari dan memiliki peran penting bagi masyarakat Sabu Liae yaitu menjadi pengingat sekaligus petunjuk bagi masyarakat agar terus mempertahankan suasana damai di antara mereka. Jika tidak demikian maka peperangan dan pertumpahan darah sebagaimana yang ditampilkan dalam ritual sabung ayam akan terus mewarnai kehidupan mereka dan nilai-nilai perasaudaraan yang dinjunjung tinggi akan semakin memudar. Mitos mengandung kebenaran yang membentuk kekuatan-kekuatan religius magis bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan masyarakat, mitos mempunyai ciri bersifat sakral atau disucikan oleh masyarakat pemilik, kadang bersifat imajiner sehingga cenderung tidak bisa dijumpai dalam dunia nyata, dan merupakan sumber tata nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat pemilik mitos dan nyata-tidaknya mitos bukanlah menjadi persoalan penting.4 Jika pengertian ini ditarik ke dalam ritual sabung ayam masyarakat Sabu Liae maka dapat dilihat bagaimana masyarakat begitu mensakralkan ritual ini karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sehingga nyata atau tidaknya sebuah mitos bukanlah suatu hal yang penting karena yang utama ialah nilai-nilai dan pesan yang dapat berperan penting dalam kehidupan masyarakat.
Dalam penjelasan selanjutnya, Eliade menegaskan bahwa apa yang terjadi di masa lampau dapat diulang melalui ritual dan untuk itulah diperlukan pengetahuan atas mitos-mitos dari peristiwa yang pernah terjadi. Hal ini penting bukan hanya karena mitos memberinya penjelasan tentang dunia dan caranya “berada” di dunia, melainkan dengan mengingat dan memberlakukan kembali mitos-mitos itu, maka dia dapat mengulangi apa yang dikatakan oleh Dewa (Tuhan), para Pahlawan, atau Leluhur di balik peristiwa sejarah tersebut. Mengetahui mitos adalah mempelajari rahasia asal-muasal sesuatu. Dengan kata lain, seseorang tidak hanya belajar bagaimana sesuatu
65
menjadi ada tetapi juga di mana menemukannya dan bagaimana membuatnya muncul kembali ketika mereka menghilang.5 Dengan pemahaman ini maka dapat dikatakan bahwa melalui ritual sabung ayam masyarakat dapat terus memelihara pengetahuan akan sejarah yang memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat Sabu Liae. Sehingga jikalau dalam perkembangannya, ada gesekan yang menyebabkan peperangan di antara masyarakat maka ritual ini mampu menghadirkan kembali memori tentang perdamaian yang telah diupayakan oleh para nenek moyang mereka.
Merujuk dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa mitos menjadi pusat dari setiap tindakan manusia yang dengannya pesan-pesan baik dari Tuhan maupun leluhur akan terus dihidupkan. Dalam hal ini, ritual sabung ayam di Sabu Liae merupakan sebuah tradisi atau warisan budaya yang terus dilakukan setiap tahun sebagai upaya dari orang Sabu untuk menjaga dan melestarikan warisan leluhur sekaligus menjaga relasi mereka dengan Tuhan dan sesama. Dengan melaksanakan ritual tersebut maka mereka dapat terus menghidupkan pesan-pesan penting dari ritual itu dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan di antara mereka.
4.2.2 Sabung Ayam Sebagai Ritual Simbolik
Berbicara tentang mitos artinya berbicara tentang tindakan pelestarian mitos itu sendiri. Eliade menegaskan bahwa apa yang terjadi di masa lampau dapat diulang melalui ritual dan untuk itulah diperlukan pengetahuan atas mitos-mitos dari peristiwa yang pernah terjadi.6 Pernyataan Eliade jelas menunjukkan bahwa lewat ritual, mitos dari kisah masa lampau dapat diulang dan dihidupkan kembali. Durkheim menegaskan bahwa melalui ritual masyarakat secara berulang menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman mereka, membentuk persepsi mereka terhadap yang Ilahi dan manusia
5
Eliade, Myth and..., 13. 6 Eliade, Myth and..., 13.
66
serta pandangan dan pengalaman tersebut dalam komunitas dan dirinya sendiri.7 Respons terhadap yang sakral dalam membangun hidup bersama kemudian berwujud dalam bentuk-bentuk ritus yakni perayaan-perayaan, festival dan acara budaya dalam masyarakat.8
Pernyataan Eliade dan Durkheim di atas nampak dalam ritual sabung ayam sebagai respons terhadap yang sakral yaitu keharmonisan hubungan dengan Tuhan dan para leluhur yang berdampak besar bagi kemakmuran hidup masyarakat Sabu Liae. Yang mana awalnya sabung ayam hanyalah sebagai permainan hiburan kemudian dijadikan sebagai sebuah ritual sakral yang bermakna. Begitu sakralnya ritual ini sehingga benar-benar dijaga seluruh tahapan pelaksanaannya agar dilakukan dengan benar dan hati-hati. Selain itu, ada juga pantangan atau pamali yang semakin mempertegas bahwa ritual ini tidak sembarang dilakukan.
Sebagaimana yang telah penulis jabarkan dalam bab III halaman 45, ritual sabung ayam dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Pertama disebut tali manu dabba karena dilakukan pada bulan dabba yang berlangsung selama dua hari penuh antara bulan Maret-April dengan aturan-aturan yang cukup banyak dan bersifat wajib. Sabung ayam yang kedua tidak memiliki nama atau julukan yang spesifik, namun karena dilaksanakan pada bulan bangaliwu sehingga sering disebut sabung ayam (pe’iu manu
bangaliwu) yang berlangsung antara bulan April-Mei. Ritual ini dilakukan hanya satu
hari namun terbagi dalam dua tempat yang berbeda dengan aturan-aturan yang sedikit lebih longgar dibandingkan pada tali manu dabba. Sabung ayam yang ketiga juga tidak memiliki nama atau julukan yang spesifik, namun dilaksanakan dalam rangkaian ritual adat hole yang berlangsung dalam bulan bangaliwu yaitu antara bulan Mei-Juni. Sabung ayam dalam ritual adat hole hanya berlaku satu kali pada ayam pertama yang
7
Durkheim dalam Pals, Seven Theories...,145. 8 Durkheim dalam Bell, Ritual, Perspectives..., 24.
67
dilepaskan untuk diadu tanpa ada tahapan ritual seperti tali manu dabba dan sabung ayam bangaliwu. Perhitungan jarak pelaksanaan ritual ini yaitu ritual sabung ayam
bangaliwu dilaksanakan 30 hari sesudah tali manu dabba dan ritual sabung ayam hole
dilakukan tujuh hari setelah sabung ayam bangaliwu.
Dari ketiga jenis pelaksanaan ritual di atas, tali manu dabba lah yang memiliki peran paling penting dan sakral karena ritual inilah yang menjadi titik awal terjadinya kesepakatan perdamaian antar manusia. Menurut penulis, ini juga yang menjadi alasan mengapa dua ritual sabung ayam setelah tali manu dabba tidak memiliki nama atau sebutan khusus dan memiliki tahapan pelaksanaan yang berbeda meskipun tetap memiliki makna yang sama. Penting dan sakralnya ritual tali manu dabba dapat dilihat dari rangkaian tahapan juga pantangan yang wajib ditaati oleh setiap peserta ritual maupun masyarakat yang hadir untuk menyaksikan jalannya ritual tersebut. Mulai dari kesediaan untuk berpisah dari keluarga dan berkumpul di rumah adat sampai aturan-aturan untuk mandi tanpa menggunakan sabun dan dilarang untuk mengucapkan kata-kata kotor selama masa persiapan sampai ritual berlangsung. Semua tahapan dan aturan tersebut bersifat wajib untuk ditaati karena hal ini dilakukan secara berkelompok yang jika tidak ditaati maka akan berdampak buruk bukan hanya bagi satu orang atau satu kelompok tetapi bagi seluruh masyarakat Sabu Liae.
Victor Turner dalam penjelasannya mengatakan bahwa ritual adalah suatu perilaku tertentu yang sifatnya formal sehingga bukan sekedar rutinitas yang bersifat teknis saja melainkan tindakan yang didasarkan pada keyakinan religius terhadap suatu kekuasaan atau kekuatan mistis. Menurut Turner, ritus-ritus yang dilakukan mendorong orang-orang untuk melakukan dan menaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam.9 Menurutnya,
68
ritual merupakan wadah untuk mengungkapkan perasaan, untuk berdamai, dan untuk melepaskan pengaruh sosial yang tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu.10 Ritus juga merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral.11
Dalam hal ritual sabung ayam, tentu saja ini bukan hanya sekedar rutinitas melainkan keyakinan dan keinginan bersama sejak zaman para leluhur yang mau terus dijaga karena memiliki peran penting dalam kehidupan mereka. Ketika mereka percaya bahwa ritual ini merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu dan menyadari nilai-nilai yang ada dalam ritual ini maka mereka akan terus melestarikan ritual tersebut. Selain itu, ritual sabung ayam juga menjadi wadah bagi masyarakat Sabu Liae dan masyarakat wilayah lain untuk saling menghargai aturan atau tatanan sosial tertentu. Seperti saat ritual tali manu dabba berlangsung, masyarakat benar-benar menyadari akan kesakralan ritual tersebut sehingga baik masyarakat Sabu Liae maupun masyarakat luar tidak melakukan kegiatan jual beli atau perjudian di sekitar arena ritual. Begitu pun dengan ritual sabung ayam yang dilakukan saat bulan bangaliwu di
kolo rame dan saat ritual hole berlangsung.
Adapun sabung ayam secara bebas disediakan arena dan waktu khusus saat bulan
bangaliwu dan ritual hole berlangsung sehingga tidak mengganggu jalannya ritual.
Selain itu ketaatan masyarakat Liae maupun masyarakat luar dapat dilihat melalui kesediaan mereka untuk tidak berada di arena ritual tertentu, seperti aturan dalam masyarakat Sabu Liae, yaitu saat berlangsungnya ritual sabung ayam bangaliwu, masyarakat Sabu Barat, Sabu Timur, Sabu Tengah, Sabu Mesara dan Sabu Raijua dilarang untuk menyaksikan jalannya ritual di kolo rame. Alasannya karena tempat itu hanya khusus bagi masyarakat Sabu Liae. Bagi mereka disediakan tempat lain di bagian
10
Mark Franko, Ritual and..., 28. 11
69
bawah dari kolo rame yaitu kepakka horo. Karena telah menjadi aturan maka hal ini tentu ditaati oleh masyarakat di luar Sabu Liae. Dari beberapa hal ini, masyarakat Sabu
Liae dapat mengetahui sekaligus mengatur bagaimana cara mereka menghormati yang
sakral itu.
Menurut Durkheim, ritual diadakan secara kolektif dan tetap agar pengetahuan dan makna-makna kolektif masyarakat dapat disegarkan kembali.12 Hal ini jelas dalam ritual sabung ayam yang dilakukan secara kolektif yaitu oleh seluruh masyarakat Sabu
Liae baik yang berpartisipasi aktif maupun tidak. Meskipun yang paling berperan aktif
hanya para peserta ritual, namun masyarakat Sabu Liae secara umum juga bersama menghormati dan menjaga waktu pelaksanaan ritual tersebut dengan turut hadir menyaksikan juga memastikan seluruh rangkaian ritual sabung ayam berjalan dengan baik. Dengan kehadiran mereka di arena ritual, hubungan kekerabatan akan semakin kuat karena mereka saling bertegur sapa dan berbagi cerita. Dengan demikian, ritual ini memungkinkan relasi yang harmonis dan kuat antara masyarakat oleh karena keinginan untuk terus menjaga hubungan yang saling mendukung satu dengan yang lain. Melalui keinginan untuk menjaga hubungan yang baik dengan sesama, maka mereka juga melaksanakan apa yang menjadi perintah Tuhan sebagaimana yang tertuang dalam konsep dasar kepercayaan masyarakat Sabu. Selain itu, yang paling utama ialah pesan penting dari ritual tersebut yaitu untuk terus mengkumandangkan perdamaian dalam relasi dengan masyarakat yang lain.
Dalam ritual sabung ayam, yang memainkan peran penting ialah ayam itu sendiri karena pelaku utama dari ritual tersebut merupakan ayam. Meskipun manusia yang menyiapkan dan membawa ayam serta mengikuti setiap tahapan ritual namun ayamlah yang menjadi sorotan dan menjadi sarana untuk menggantikan peperangan antar
12
70
manusia. Lisa Scrich menegaskan bahwa ritual adalah tindakan simbolik yang merupakan tindakan fisik dan membutuhkan interpretasi, mampu mengubah ruang, mengubah identitas dan pandangan dunia melalui komunikasi nonverbal. Pesan dalam tindakan simbolis bersifat tidak langsung membahas orang atau kejadian yang ada, namun berkomunikasi melalui simbol, mitos dan metafora yang memungkinkan banyak penafsiran. Baginya, masyarakat adat seringkali menggunakan simbol ritual sebagai sarana untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dan mampu memberi jalan menuju rekonsiliasi.13
Menurut penulis, pernyataan Lisa Schrich sesuai dengan ritual sabung ayam, yang mana merupakan ritual simbolik karena bukan manusia yang berperang secara langsung tetapi manusia digantikan dengan ayam sebagai simbol yang memainkan peran penting dalam berlangsungnya ritual. Dalam hal ini ayam menjadi pengganti manusia yang menampung semua amarah, emosi, dendam dari manusia yang pada akhirnya dituangkan dalam tindakan perkelahian antar ayam. Dengan perkelahian yang dilakukan oleh ayam maka semua emosi, amarah dan dendam telah punah dan yang terjadi ialah perdamaian di antara manusia. Jadi dalam hal ini, ayam menjadi pusat perhatian karena merupakan pelaku utama yang di dalamnya telah ditransfer semua dendam masa lalu, semua amarah, semua sumpah serapah atau kata-kata kutukan yang pernah diucapkan sehingga pada manusia tidak ada lagi kebencian dan telah berganti menjadi perasaan lega, dan damai. Memang semua perasaan tersebut tidak secara langsung direspon oleh setiap orang namun tindakan atau perubahannya dapat dirasakan sepanjang kehidupan masyarakat Sabu Liae itu sendiri di mana mereka tidak lagi bermusuhan dan akan bersama-sama menjaga wilayah mereka. Pemahaman ini
71
sejalan dengan pernyataan Dillistone14 dari beberapa pemikiran tokoh-tokoh yang dirangkumnya yaitu simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian tertentu, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama.
Jadi, berdasarkan penjabaran di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ritual simbolik sabung ayam dapat menjadi jalan bagi tercapainya rekonsiliasi karena mampu menjadi sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama yang dapat menyatukan. Meskipun dalam hal ini manusia tidak terlibat secara langsung, akan tetapi manusialah yang berperan sebagai penggagas dan pelaku pelestarian tradisi yang dilakonkan oleh hewan. Melalui ritual ini, manusia akan lebih menjaga relasi mereka dengan sesama dan berusaha menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan peperangan atau perpecahan di antara mereka. Dengan demikian, ritual ini tidak semata-mata hanya dapat dinilai sebagai sebuah bentuk permainan atau sarana perjudian, karena ritual ini memiliki pesan penting yang ingin dipelihara oleh masyarakat Sabu Liae yaitu perdamaian yang berdampak besar dalam kehidupan mereka.
4.3 Mekanisme Perdamaian Dalam Ritual Sabung Ayam
Secara umum, di dalam masyarakat tentunya memiliki sistem atau mekanisme untuk mengendalikan konflik. Beberapa sosiolog menyebutnya sebagai katup penyelamat (safety valve), yaitu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik.15 Dalam hal ini, masyarakat Sabu Liae juga memiliki mekanisme pengendalian konflik sebagai cara untuk menghentikan peperangan yang terjadi di antara mereka. Mekanisme tersebut ialah mekanisme ritual yang di jumpai dalam ritual sabung ayam.
14
Dillistone, The Power Of...,15. 15 Coser, The Function of..., 43.
72
Dalam ritual ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat Sabu Liae yang sedang bergumul dengan konfliknya saat itu berupaya untuk menghentikan konflik yang terjadi di antara mereka. Meskipun demikian, diantara mereka masih ada kerinduan untuk mengakhiri perang dan memperbaiki relasi kekerabatan sambil terus menjaga landasan hidup bersama yang diwariskan oleh leluhur mereka.16 Keinginan tersebut akhirnya terwujud melalui dua tokoh penting di Sabu Liae saat itu, Mangngi Lay dan Hari Judda yang berinisiatif untuk menghentikan peperangan tersebut dengan tindakan perdamaian. Pada akhirnya, mereka sampailah pada sebuah kesepakatan untuk menghentikan peperangan saat itu dan mengalihkannya pada ritual sabung ayam agar semangat berperang dapat terus dipelihara tanpa pertumpahan darah manusia.
Dalam ritual sabung ayam inilah muncul mekanisme perdamaian yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Liae. Sebagaimana telah dibahas dalam bab III halaman 45 tentang tahapan sabung ayam maka mekanisme perdamaian ini dapat dilihat dalam keseluruhan tahapan ritual yang dijalankan. Adapun tahapan-tahapan tersebut meliputi, tahapan pertama, semua peserta ritual akan berkumpul untuk mempersiapkan diri di rumah adat masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan tahap persiapan semua senjata yang akan digunakan dalam ritual mulai dari pisau ayam (dara manu), tombak dan parang. Setelah tahap ini selesai dilanjutkan dengan persiapan diri yaitu mandi dan mengenakan pakaian adat kemudian memberikan persembahan sesajian yang diletakkan di tiang induk dalam rumah adat “tarru duru” dan mulai berdoa. Setelah prosesi dalam rumah adat yang pertama selesai, seluruh peserta ritual akan keluar menuju rumah adat yang besar. Tahapan selanjutnya ialah uri puloko dengan tujuan supaya pihak lawan dalam ritual keesokan harinya mengalami kekalahan (melemahkan
73
mereka). Sekitar jam 12 malam, semua peserta duduk di halaman rumah adat dan mulai melakukan hoda. Setelah tahapan hoda selesai, semua peserta ritual akan beristirahat.
Keesokan harinya dimulai dengan persiapan menuju “dara nada” yang dimulai dengan dengan memasuki rumah adat utama, makan sirih pinang bersama-sama, mandi tanpa menggunakan sabun dan tanpa membasahi kepala serta wajib mandi telanjang seluruh badan di sungai. Setelah mandi, kembali ke rumah adat untuk mengenakan pakaian adat dan dilanjutkan dengan makan minum bersama di dalam rumah. Setelah makan, seluruh peserta akan keluar untuk buang air karena ketika dalam perjalanan menuju dara nada, para peserta dilarang untuk makan, minum maupun buang air. Setelah itu peserta akan masuk kembali ke rumah adat untuk berdoa memohon keselamatan dan kemenangan serta makan sirih pinang bersama lalu keluar menuju rumah adat yang besar.17 Tahap berikut ialah kerei yaitu ritual untuk bertanya atau meminta petunjuk kepada leluhur apakah mereka akan mengalami kekalahan atau kemenangan dari sabung ayam yang akan dilangsungkan. Setelah ritual memohon petunjuk selesai, Rohi Lodo keluar dan bergabung dalam barisan peserta ritual untuk berangkat menuju dara nada. Saat hendak berangkat, seorang wanita paruh baya (Piga
Rai) akan membakar kemenyan sehingga semua anggota kelompok secara bergantian
akan memanaskan kaki pada kemenyan yang dibakar untuk memberi efek panas dan sebagai lambang arwah leluhur yang mengikuti perjalanan mereka. Setelah peserta kembali ke rumah adat, Piga Rai akan menyambut dan menyiram dengan air dan kapas untuk mendinginkan suasana panas waktu petarung hendak berangkat.18
Jam 12 siang, para peserta pun berangkat menuju dara nada. Ketika tiba di dara
nada, setiap kelompok harus menunggu hingga seluruh kelompok peserta ritual lengkap
17
Lihat bab III halaman 46. 18
74
dan mereka belum diperbolehkan duduk sampai Deo Rai beserta Dohe tiba.19 Sebelum pertandingan dimulai, dilakukan pekaka manu oleh mone pekaka dari masing-masing kelompok yang berlari maju sambil bernyanyi dengan memegang ayam kecil menuju kelompok lawan. Setelah itu pertandingan pun dimulai dengan melepas ayam yang sudah diikatkan pisau pada masing-masing kakinya. Pertandingan dilanjutkan sampai ada kelompok pihak lawan menyerah dengan kekalahan yang ditandai dengan banyak ayam yang sudah mati. Pertandingan pun selesai dan masing-masing kelompok pulang ke rumah adat dengan membawa ayam-ayam yang kalah.20
Di dalam seluruh rangkaian ritual sabung ayam memuat unsur kolektivitas dan
pamali yang semakin mempertegas bahwa ritual yang dilaksanakan sebagai sebuah
bentuk mekanisme perdamaian yang diusung bagi masyarakat Sabu Liae. Dimana dalam unsur kolektivitas dapat menunjukan bahwa ritual ini dijalankan secara bersama-sama oleh masyarakat yang menginginkan untuk terus memelihara perdamaian dalam kehidupan mereka. Masyarakat berkumpul dan mulai membagi tugas untuk dapat melaksanakan serangkaian tahapan ritual dari awal hingga akhir. Selain kolektivitas, dengan unsur pamali pun semakin membuktikan bahwa ritual yang dijalankan merupakan sesuatu yang sakral dan tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Pamali yang berlaku selama proses ritual semakin mempertegas posisi ritual sabung ayam sebagai sebuah bentuk perdamaian yang ingin terus di pelihara oleh masyarakat sabu
Liae.
4.4 Ayam Sebagai Korban Pengalihan Kekerasan
Pada ritual sabung ayam (pe’iu manu) di Pulau Sabu, ayam dijadikan sebagai objek pengganti manusia dalam pertarungan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
19
Lihat bab III halaman 49. 20 Lihat bab III halaman 50.
75
secara tidak langsung dalam ritual tersebut menjadikan ayam sebagai tumbal demi pemuasan nafsu manusia. Bagi orang Sabu, ayam merupakan hewan yang paling mudah ditemui sebab hampir seluruh masyarakat di Sabu memelihara ayam. Dari faktor ekonomi, hewan tersebut cukup murah dan mudah untuk di dapatkan karena dapat berkembang biak dengan cepat. Selain itu, hewan tersebut juga bersifat multi fungsi karena dapat digunakan dalam berbagai hal dan mudah untuk diolah jika sewaktu-waktu dibutuhkan, seperti kebiasaan untuk menyajikan daging ayam sebagai hidangan untuk menyambut tamu yang berkunjung.
Fungsi lainnya yaitu ayam juga dipakai sebagai sarana untuk mengetahui penyakit atau masalah yang terjadi pada seseorang dengan menggunakan hati ayam. Biasanya hal ini dapat diketahui melalui tanda-tanda yang tidak lazim pada hati ayam yang dapat dijadikan sebagai informasi atau petunjuk. Selain itu, ayam juga dipakai sebagai media untuk memanggil kembali jiwa orang yang sakit untuk kembali ke rumah. Kehidupan orang Sabu masih sangat melekat pada adat sehingga hampir setiap persoalan yang terjadi selalu diselesaikan secara adat, seperti untuk mengetahui penyakit atau masalah dan untuk memanggil kembali jiwa orang sakit.
Berdasarkan filosofinya, ayam bagi orang Sabu merupakan hewan yang sangat penting. Dasar atau pokok kehidupan mereka diibaratkan seperti ayam jantan dengan jambul berwarna merah yang melambangkan pemberani, pekerja keras dan dapat bertahan hidup di mana saja. Bukan hanya untuk kesenangan bersama atau untuk berkembang biak seperti babi, kerbau, kuda atau sapi. Istilah pemberani, pekerja keras dan dapat bertahan hidup di mana saja merujuk pada kondisi iklim di Sabu yang sangat panas dan kering karena memiliki curah hujan yang sedikit sehingga dalam situasi tertentu cukup sulit untuk bercocok tanam. Dalam kondisi seperti itu mereka akan berusaha untuk mempertahankan hidup dengan mencari alternatif-alternatif yang lain
76
seperti memasak gula yang terbuat dari air nira untuk persediaan makanan di musim kemarau. Alternatif lainnya ialah setelah masa panen, mereka akan merantau ke kota seperti daerah Kupang, Ende dan Sumba untuk berdagang sambil mengumpulkan uang. Jika sudah memasuki musim hujan maka mereka akan kembali ke Sabu untuk mempersiapkan lahan tanaman. Hal ini berlangsung setiap tahun saat pergantian musim tiba.
Ada juga julukan sebagai ayam jantan yang tangguh dan siap lepas di arena. Ungkapan ini biasanya ada dalam suatu tradisi yang dilakukan oleh orang Sabu saat keluarga atau kerabat meninggal. Tradisi ini dilakukan dengan cara melantunkan kisah hidup atau perjuangan dari orang yang meninggal tersebut tepat di samping jenazahnya sambil menangis. Jika yang meninggal adalah laki-laki maka dalam lantunan tertuang kata-kata “saya mengharapkan engkau seperti ayam jantan tangguh yang siap lepas di arena luas dan ketika engkau menang saya bersenang gembira namun ketika engkau meninggal saya bersedih hati”. Menurut penulis, ungkapan tersebut juga terkandung dalam ritual sabung ayam karena ayam yang biasanya dilepas untuk disabung adalah ayam-ayam jantan dengan kualitas yang baik. Hal ini sesuai jika ayam jantan diibaratkan sebagai lelaki Sabu karena yang biasanya pergi berperang ialah laki-laki. Jadi setiap ada bayi laki-laki di Sabu yang lahir diharapkan dapat tumbuh menjadi lelaki yang kuat, tangguh dan dapat bertahan hidup di mana saja.
Dalam perspektif Rene Girard, korban adalah wujud dari kekerasan dan penyaluran kemarahan. Menurutnya manusia dikuasai oleh berbagai macam nafsu atau gairah dan gampang menjadi marah serta mengamuk. Ketika sedang marah, semua orang sama, tidak tergantung dari budaya atau agamanya. Mereka seakan menjadi buta, dalam artian tidak bisa lagi berpikir jernih.21 Menurut penulis, pendapat Girard ini
77
dapat dilihat dalam ritual sabung ayam yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Liae, yang mana ritual tersebut dipakai untuk menggantikan peperangan yang terjadi di antara manusia. Pada manusia yang awalnya menyimpan kemarahan, dendam, kebencian, kemudian semua itu ditransfer kepada ayam sehingga ayamlah yang berperang dengan membawa semua amarah dan dendam dari manusia. Dalam hal ini maka ayam menjadi wujud dari penyaluran kemarahan manusia. Penyaluran kemarahan manusia ini kemudian diwujudkan melalui ritual sabung ayam yang memperhadapkan ayam-ayam untuk disabung sampai pihak lawan menyatakan kekalahan mereka. Meskipun demikian, tindakan ini bukanlah tindakan membabi buta atau tanpa pemikiran secara matang namun tindakan ini dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama para leluhur dan masyarakat saat itu.
Sebagaimana dalam hasil penelitian penulis di bab III halaman 44, secara jelas mengatakan bahwa tindakan ini disepakati karena pada saat itu di Pulau Sabu belum ada pembagian wilayah adat yang tetap dan sistem pemerintahannya pun belum jelas sehingga timbul keinginan untuk menguasai wilayah-wilayah yang pada akhirnya menghancurkan keharmonisan relasi masyarakat Sabu akibat peperangan untuk mempertahankan wilayah kekuasaan. Melihat keadaan tersebut, dua tokoh terkenal dalam generasi mereka yaitu Mangngi Lay dan Hari Judda berinisiatif untuk membuat
tali manu dabba (ritual sabung ayam) untuk mengakhiri semua konflik yang ada.
Inisiatif dari Mangngi Lay dan Hari Judda tersebut dapat terlaksana karena dukungan dari masyarakat pada saat itu. Dukungan ini nampak dari kesediaan masyarakat untuk membentuk dua kelompok yang mewakili kelompok “eiko” dan kelompok “dabba” yang bertugas memegang ayam untuk diperhadapkan saat ritual sabung ayam berlangsung. Dari hal ini dapat dilihat bahwa keputusan untuk mengakhiri konflik dengan mengalihkannya pada ritual sabung ayam merupakan keputusan bersama atau
78
kesepakatan bersama yang artinya tindakan tersebut dilakukan karena telah disetujui oleh masyarakat Sabu Liae saat itu.
Selanjutnya, Rene Girard menggunakan istilah “korban” untuk menyebut objek pengganti atau wujud dari penyaluran kekerasan tersebut. Menurut Girard, ritual korban selalu berhubungan dengan kekerasan. Korban bersifat substitusi: ada yang menggantikan sesuatu yang seharusnya dikorbankan dan fungsi korban adalah untuk menyalurkan kekerasan.22 Pada ritual sabung ayam, jelas bahwa ayam dijadikan sebagai korban pengganti untuk menyalurkan kekerasan yang terjadi di antara manusia. Hal ini jelas karena awalnya yang berperang ialah manusia namun karena tidak ingin semakin banyak manusia yang dikorbankan maka peperangan tersebut dialihkan kepada ayam. Kekerasan harus disalurkan, maka korban adalah penyaluran kekerasan. Objek kekerasan atau korban inilah yang disebut si kambing hitam. Jadi dalam hal ini ayam menjadi kambing hitamnya manusia yang berperang agar tidak lagi terjadi peperangan di antara mereka. Karena jika hal ini tidak dilakukan maka perdamaian di antara manusia tidak dapat diwujudkan.
Dalam ritual sabung ayam di Sabu Liae, tindakan melakukan korban dikemas dalam ritual yang setiap tahun selalu dilakukan dengan tujuan untuk terus mengingatkan mereka akan upaya memperjuangkan perdamaian yang pernah dilakukan oleh para leluhur. Sehingga dengan adanya ritual tersebut, masyarakat akan berupaya menjaga relasi yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika melihat pada penjelasan Godfrey Ashby23 tentang tiga unsur pembentuk makna korban maka sabung ayam yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Liae memenuhi kriteria “korban” yang dimaksud. Alasannya karena pertama, sabung ayam yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Liae bukanlah permainan hiburan melainkan
22 Girard dalam Singgih, Korban dan Pendamaian..., 29-30. 23
79
dibuat dalam bentuk ritual yang sakral dan seluruh alur tahapannya harus dilaksanakan dengan benar. Jika tidak maka akan terjadi bencana atau malapetaka yang akan menimpa seluruh masyarakat Sabu Liae. Menurut Ashby, dalam tindakan mengorbankan juga terdapat unsur magis yang bersifat positif, sehingga bukan tidak mungkin jika dalam ritual sabung ayam di Sabu Liae juga mengandung unsur magis karena dapat menghasilkan hal-hal yang baik. Alasan kedua, perubahan pada objek pengorbanan dari yang awalnya hidup menjadi mati. Dalam ritual sabung ayam, yang mana ayam berperan sebagai pelaku utama tentunya ayam-ayam itulah yang akan dipertarungkan sampai salah satu pihak mengalami kekalahan. Ayam yang kalah ditandai dengan bagian tubuh yang terluka dan tidak bisa berdiri kembali untuk bertarung. Ini menunjukkan bahwa korban mengalami perubahan dari yang sempurna atau hidup menjadi lemah sampai menuju kematian. Alasan ketiga, bahan atau material korban biasanya binatang yang dilakukan dengan salah satu tujuannya yaitu untuk mengatasi kekerasan dalam masyarakat. Pada bagian ini sudah jelas bahwa ayam yang digunakan sebagai korban demi mengatasi kekerasan dalam masyarakat.
Merujuk dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ayam dipakai sebagai korban karena sangat mudah didapatkan dan paling sering dipakai dalam ritual-ritual di Pulau Sabu. Selain itu, sesuai dengan filosofi orang Sabu, hanya ayamlah yang dapat menggantikan manusia karena lelaki Sabu selalu diidentikan dengan ayam. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Liae lewat ritual sabung ayam, dengan menjadikan ayam sebagai korban yang menyalurkan kemarahan dari manusia dalam bentuk kekerasan merupakan bentuk upaya mereka untuk terus menjaga harmoni relasi dengan Deo Ama, para leluhur dan alam ciptaan. Ketika harmoni relasi ini dapat terjalin dengan baik maka manusia dapat hidup dengan aman dan damai.
80 4.5 Dimensi Perdamaian dalam Ritual Sabung Ayam
Johan Galtung, dalam teorinya mengatakan bahwa menciptakan perdamaian sama dengan upaya mengurangi kekerasan (pengobatan) dan menghindari kekerasan (pencegahan).24 Dalam hal ini, masyarakat Sabu Liae menggunakan ritual simbolik sabung ayam sebagai cara untuk mengurangi sekaligus mencegah terjadinya konflik atau tindakan kekerasan di antara mereka. Dalam ritual sabung ayam tersebut, ada begitu banyak ulasan yang di dalamnya mengandung dimensi-dimensi perdamaian. Untuk menganalisa dimensi-dimensi perdamaian tersebut penulis membuat penjabaran beberapa dimensi untuk melihat dimensi apa saja dalam ritus sabung ayam yang dapat dijadikan sebagai simbol perdamaian.
Pertama, dimensi pribadi. Dalam hal ini penulis menitikberatkan pada para
petarung atau peserta ritual sabung ayam yang mau memberi diri untuk dikhususkan guna mengikuti ritual sabung ayam baik dalam bulan dabba yaitu ritual tali manu
dabba maupun dalam bulan bangaliwu. Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam
bab sebelumnya, mereka yang menjadi peserta ritual sabung ayam akan bertugas sebagai pemegang ayam, yang melepas ayam dan yang mengikatkan pisau pada kaki ayam. Mereka ini akan dipersiapkan secara khusus baik batin maupun fisik sehingga benar-benar layak dan tidak akan menyebabkan malapetaka bagi semua orang. Kesediaan mereka menjadi peserta ritual, berpisah dari keluarga maupun kerabat untuk mempersiapkan diri di rumah adat bersama seluruh peserta ritual akan dilakukan hingga ritual sabung ayam selesai. Dalam persiapan yang dilakukan, ada beberapa aturan yang harus ditaati oleh para peserta mulai dari makanan yang dikonsumsi, cara mandi, dan kata-kata yang tidak boleh sembarang diucapkan. Semua
81
aturan ini wajib untuk ditaati oleh setiap peserta ritual karena kesakralan dan dampak besar bagi orang Sabu Liae. Jika ada salah satu dari peserta ritual yang melanggar aturan-aturan tersebut maka akan terjadi bencana atau malapetaka yang tidak hanya menimpa mereka secara pribadi tetapi juga seluruh masyarakat Sabu Liae. Bencana tersebut bisa berupa kematian manusia dan ternak, gagal panen, perselisihan diantara masyarakat yang berujung pada peperangan. Oleh sebab itu, setiap peserta harus benar-benar siap tanpa adanya paksaan ketika hendak bergabung menjadi peserta ritual karena apa yang mereka lakukan tersebut bukanlah sebuah ritual yang tidak berdampak melainkan sebuah tindakan dengan penuh kesadaran untuk memelihara apa yang telah diperjuangkan oleh para leluhur. Secara tidak langsung, hal ini menunjukan bahwa mereka menghargai dan memanfaatkan dengan baik perjuangan para leluhur sebagai bagian penting dalam kehidupan.
Dari ulasan di atas, dapat dilihat bagaimana para peserta ritual harus mengorbankan waktu mereka bersama keluarga dan mengorbankan kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dalam aturan ritual sabung ayam seperti tidak mengucapkan kata-kata kotor, mandi dan tanpa menggunakan sabun. Semua hal itu mereka korbankan demi mengikuti ritual sabung ayam. Dengan berbagai persiapan yang dilakukan menunjukan bahwa ritual tersebut merupakan sesuatu yang sakral dan melaluinya harapan untuk mencapai sebuah perdamaian akan terus terpelihara. Selain itu, dari dimensi pribadi ini juga dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai sebuah perdamaian, ada pengorbanan yang harus dilakukan.
Kedua, dimensi kelompok. Dari dimensi kelompok ini, penulis mengkhususkan
pada setiap peserta ritual yang terhimpun dalam beberapa kelompok terkhususnya dua kelompok inti yaitu “dabba” dan “eiko” yang bertugas untuk mempersiapkan dan membawa ayam ke dara nada. Kelompok-kelompok tersebut hanyalah simbol untuk
82
membagi peserta dalam dua kubu atau lebih untuk saling berkelahidan sifatnya “wajib ada” setiap kali ritual berlangsung. Dua kelompok tersebut dibuat untuk mewakili pihak laki-laki dan perempuan namun peserta dari setiap kelompok harus laki-laki. Menurut penulis hal ini berhubungan erat dengan filosofi ayam bagi orang Sabu yang diidentikan sebagai laki-laki petarung yang siap lepas di arena. Namun, perempuan dalam ritual ini juga tetap diikutsertakan yaitu Banni Pana dan Piga Rai untuk menyiapkan dan mendampingi laki-laki namun tidak ikut memegang ayam untuk berperang. Hal ini sesuai dengan tanggung jawab seorang istri atau perempuan pada umumnya, ketika suami atau saudara laki-laki hendak pergi berperang maka sebagai perempuan mereka akan mempersiapkan apa yang menjadi kebutuhan anggota keluarganya dan terus menyemangati dengan cara ikut mendampingi menuju medan perang.
Untuk menjadi peserta ritual sabung ayam, terdapat beberapa aturan yang wajib ditaati oleh setiap peserta. Karena setiap peserta akan tergabung dalam kelompok maka aturan tersebut menjadi aturan bersama untuk saling dijaga satu dengan yang lain. Setiap peserta harus melepaskan setiap amarah, dendam dan emosi dari diri mereka sendiri sehingga ikatan emosional di antara mereka dapat terjalin dengan baik dan mereka akan sama-sama berusaha untuk menjaga kesakralan dari ritual tersebut. Jika ada salah satu dari peserta yang masih menyimpan dendam atau kemarahan maka jalannya ritual tersebut akan terganggu dan dampaknya akan berpengaruh pada seluruh masyarakat Sabu Liae. Jadi setiap anggota kelompok harus bersatu dan sama-sama sepakat untuk mulai menciptakan relasi yang harmonis dan suasana damai dari diri mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat yang hadir dan melihat jalannya ritual tersebut dapat merasakan energi positifnya.
83 Ketiga, dimensi seksual. Dalam dimensi ini, penulis memfokuskan pada aspek
seksualitas yaitu laki-laki dan perempuan yang sama-sama terlibat dalam berlangsungnya ritual sabung ayam. Filosofi orang Sabu yang menggambarkan bahwa lelaki Sabu sama seperti ayam jantan tangguh dan siap lepas di arena, menurut penulis, menjadi alasan kuat mengapa laki-laki yang diwajibkan untuk ikut sebagai peserta dalam ritual sabung ayam. Walaupun laki-laki yang memiliki kewajiban untuk mengikuti ritual ini, namun perempuan juga tetap dilibatkan. Dalam hal ini perempuan terlibat sebagai penolong bagi laki-laki yaitu memasak untuk kebutuhan makanan setiap peserta dan ikut mendampingi menuju arena sabung ayam, sebagai bentuk semangat bagi para lelaki yang hendak berperang.
Aspek seksualitas berikutnya dapat dilihat dalam pembagian peserta ritual ke dalam dua kelompok inti berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan/betina dan laki-laki/jantan. Meskipun nama kelompoknya berdasarkan jenis kelamin namun seluruh pesertanya adalah laki-laki. Penulis menduga bahwa hal ini dilakukan untuk mencegah keterlibatan perempuan dalam berperang sehingga perempuan mampu untuk fokus pada tugasnya. Dari dua hal ini, dapat dilihat bahwa perempuan juga memiliki peran yang cukup penting dalam hal menyeimbangkan peran laki-laki. Sehingga dari ritual ini kita dapat melihat bahwa perempuan tidak hanya sebagai pelengkap melainkan memiliki peran yang sangat penting dalam hal menyeimbangkan peran laki-laki. Melalui ritual sabung ayam, peran perempuan semakin dinampakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan sekaligus menunjukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki peran yang penting dalam menciptakan perdamaian. Dengan demikian, harapan untuk terus mempertahankan perdamaian dalam masyarakat akan terus diupayakan secara bersama.
84 Keempat, dimensi waktu. Dalam dimensi ini, penulis akan memfokuskan pada
waktu pelaksanaan ritual sabung ayam. Ritual sabung ayam dilakukan secara berulang setiap tahun sebanyak tiga kali dalam setahun. Pertama, ritual ini disebut tali manu
dabba yang merupakan titik awal adanya kesepakatan perdamaian antar manusia.
Ritual ini dilakukan pada bulan dabba yaitu sekitar bulan maret-april dan dilakukan selama dua hari, masing-masing di tempat yang berbeda yaitu kolo gopo dan kolo rame.
Kedua, dilakukan pada bulan bangaliwu yaitu sekitar bulan april-mei yang seringkali
disebut pe’iu manu bangaliwu. Ritual ini dilaksanakan hanya satu hari namun berlangsung di dua tempat yang berbeda yaitu kolo rame dan kepakka horo. Ketiga, dilakukan dalam rangkaian ritual adat hole pada bulan bangaliwu yaitu tujuh hari setelah pe’iu manu bangaliwu dilakukan. Semua perhitungan waktu ini telah ditentukan sesuai kalender adat orang Sabu Liae sehingga waktu-waktu pelaksanaannya harus dilakukan tepat sesuai dengan kelender yang ada.
Dari waktu pelaksanaan ritual yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun menunjukkan bahwa betapa pentingnya ritual ini bagi masyarakat Sabu Liae sehingga perlu untuk terus dikumandangkan sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Hal ini didukung dengan budaya orang Sabu yang kehidupannya sangat melekat pada ritual-ritual adat sehingga mulai dari kelahiran sampai kematian dan kegiatan musiman pun selalu dilakukan dengan ritual adat. Akan tetapi, dari semua ritual adat yang ada, hanya ritual sabung ayam yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Penetapan waktu pelaksanaan ritual yaitu pada bulan dabba dan bangaliwu menurut penulis dipilih dengan alasan karena bagi orang Sabu, kedua bulan tersebut merupakan bulan yang penuh dengan sukacita dan kegembiraan. Dengan intensitas pelaksanaan yang dilakukan sebanyak tiga kali, menunjukan bahwa ritual ini memiliki makna yang sangat besar untuk masyarakat Sabu Liae. Makna perdamaian yang ada dalam ritual ini akan
85
terus disampaikan sehingga dapat menjadi pengingat dan terus dipelihara oleh masyarakat Sabu Liae.
Selain itu, dalam kalender orang Sabu, ritual hole merupakan ritual puncak yang dilaksanakan paling akhir dalam urutan kalender adat. Sehingga waktu pelaksanaan ritual sabung ayam diurutkan mulai dari bulan dabba, bangaliwu dan berakhir di hole. Dengan berakhirnya ritual hole maka berakhir juga seluruh ritual-ritual yang dilakukan dalam tahun itu terkecuali jika terjadi wabah penyakit, pelanggaran adat atau kematian maka akan kembali dilakukan ritual. Dari ulasan ini, dapat disimpulkan bahwa dimensi waktu juga berperan dalam mempertahankan perdamaian dalam masyarakat.
Kelima, dimensi spiritual. Dalam dimensi ini, penulis memusatkan pada aspek
spiritual dalam kaitan hubungan manusia dan Tuhan dalam ritual sabung ayam. Ritual sabung ayam yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Liae merupakan bagian dari upaya mereka untuk terus memelihara hubungan yang harmonis dengan Deo Ama (Tuhan) yang adalah sumber dari segala ciptaan dan terus menghidupkan tradisi turun temurun yang pernah dilakukan oleh para leluhur mereka. Hal ini nampak dalam dalam tiga konsep dasar kepercayaan orang Sabu (jingitiu), mereka meyakini bahwa Pertama, percaya akan adanya satu Zat Ilahi yang disapa sebagai Deo Ama (Tuhan/Allah Bapa asal dari segala sesuatu), kedua, kepercayaan bahwa alam semesta diciptakan oleh Deo
Ama melalui satu proses yang panjang dan ketiga, Deo Ama menghendaki agar manusia
senantiasa memelihara harmoni relasi dengan-Nya dan alam semesta. Jika ketiga hal ini tidak dilakukan dengan baik maka akan mendatangkan malapetaka atau mengganggu kehidupan orang Sabu dan jika dilakukan dengan baik maka kehidupan akan menjadi harmonis. Selain itu, dalam konsep dasar kepercayaan berikutnya, diyakini bahwa mereka yang masih hidup harus menghormati arwah leluhur dan anggota keluarga yang
86
sudah meninggal karena mereka akan tetap ada dan berhubungan dengan yang masih hidup.
Dari ulasan di atas, dapat dilihat bagaimana orang Sabu Liae menyadari karya dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka sehingga mereka terus berupaya untuk merancang dan menjalankan kehidupan sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Mereka tidak ingin hidup dalam malapetaka dan permusuhan sehingga ritual sabung ayam menjadi salah satu wujud dari spiritualitas masyarakat Sabu Liae. Meskipun sebagian besar penduduknya telah menjadi Kristen, namun hal-hal yang berkaitan dengan tata aturan dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap mereka pegang dan lakukan sampai saat ini karena baik kepercayaan jingitiu maupun Kristen sama-sama memusatkan keyakinan mereka pada satu pribadi yang transenden yang manusia sebut sebagai Tuhan pencipta semesta.
Dimensi keenam, dimensi ekologi. Dalam dimensi ini penulis memusatkan pada hubungan antara alam dan manusia dalam ritual sabung ayam. Melalui ritual ini, perdamaian di antara manusia dapat dicapai dengan menggunakan ayam sebagai tumbal. Biasanya manusia dengan manusia berdamai tanpa tumbal apapun namun di Sabu Liae manusia berdamai dengan menjadikan ayam sebagai tumbalnya. Dengan adanya ritual ini, dampak positif yang didapat ialah hubungan antara manusia dan lingkungan yang berperan dalam menciptakan perdamaian. Jika biasanya dalam perdamaian hanya melibatkan individu atau pun kelompok, namun dalam hal ini aspek lingkungan pun turut berperan. Akan tetapi dampak buruknya ialah perdamaian yang dilakukan oleh masyarakat Sabu Liae akan cenderung menggunakan tumbal sebagai korban pengalihan konflik yang terjadi. Secara tidak langsung dengan adanya ritual ini akan menjadikan hewan sebagai korban untuk mencapai sebuah perdamaian yang mana seharusnya perdamaian dapat tercipta tanpa adanya tumbal atau korban. Dalam hal ini
87
manusia seharusnya dapat menjadi agen perdamaian tanpa menjadikan hewan sebagai korban atau tumbal. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa manusia dan hewan sama-sama ikut berperan dalam menciptakan perdamaian.
4.6 Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ritual sabung ayam merupakan tradisi turun temurun yang dilaksanakan di Sabu Liae. Ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengingat perdamaian yang telah diciptakan oleh para leluhur yang perlu untuk terus dijaga serta di pelihara oleh masyarakat Sabu Liae. Ritual ini bersifat sakral karena tidak hanya berhubungan dengan sesama manusia, alam semesta dan leluhur tetapi juga berhubungan dengan Tuhan pencipta semesta sehingga dalam pelaksanaannya pun terdapat banyak aturan atau pamali yang harus ditaati. Ritual sabung ayam juga menjadi bukti bahwa manusia sebagai ciptaan akan terus berupaya mendekatkan diri dan menjalin relasi yang harmonis dengan Penciptanya namun tidak melupakan para leluhur sebagai pendahulu mereka yang meskipun sudah tiada, tetapi hubungan kekerabatan dengan mereka akan terus dipelihara. Ritual yang ingin menyampaikan pesan perdamaian ini memiliki dimensi-dimensi yang turut berperan untuk menciptakan perdamaian.