• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN BIODIVERSITAS DAN BIOGEOGRAFI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETERKAITAN BIODIVERSITAS DAN BIOGEOGRAFI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN BIODIVERSITAS DAN BIOGEOGRAFI

Shoffatil Imamah

1

, Setyadi Gumaran

2

1

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, shoffatil17@gmail.com

2

Universitas PGRI Wiranegara, setyadigumaran@gmail.com

Abstrak: Komponen biodiversitas yang meliputi keanekaragaman genetik, keaneka ragaman tingkat populasi dan keragaman tingkat spesies menjadi menarik untuk dianalisis dengan keadaan biogeografi di alam saat ini. Pemahaman yang komprehensif menghasilkan pola biogeografis dari kekayaan spesies dan pada prinsipnya ahli biogeografi dari hasil tiga faktor meliputi laju spesiasi, laju kepunahan dan penyebaran spesies ke lokasi lain. Terdapat keterkaitan antara biodiversitas dengan biogeografi yang memberikan kecenderungan yang terjadi di antaranya adalah beberapa tempat mengandung lebih banyak spesies dari pada yang lain. Banyak pola dalam distribusi spasial spesies telah diidentifikasi oleh ahli biogeografi. Studi tentang faktor-faktor sejarah yang membentuk kekayaan dan distribusi spesies dibagi menjadi dua kategori utama yakni perwakilan dan disperal. Salah satu pola geografis utama dalam keanekaragaman hayati adalah gradien lintang dalam kekayaan spesies. Semakin dekat ke khatulistiwa, untuk sebagian besar taksa, jumlah spesies menurun. Pola berulang lainnya dalam teori biogeografi adalah gradien ketinggian dalam kekayaan spesies. Semakin tinggi suatu tempat, jumlah spesies menurun, atau, dalam banyak kasus, mencapai puncak di ketinggian menengah. Kata kunci: biodiversitas, biogeografi, keterkaitan

67

bersifat asli dan tidak ditemukan di tempat lain, namun sangat erat hubungan kekerabatannya dengan spesies daratan utama terdekat atau di pulau-pulau sekitarnya. Dua pulau-pulau dengan lingkungan yang sangat mirip di tempat yang berbeda di bumi ini dihuni bukan oleh spesies yang memiliki hubungan kekera-batan yang sangat erat, tetapi oleh spesies yang secara taksonomi terkait dengan tumbuhan dan he-wan pada daratan terdekat yang lingkungannya seringkali sangat berbeda. Jadi G Carleton Ray ( 1996) mengulas tentang biodiversitas adalah biogeo-grafi dan Nelson dan Ladiges (1990) mengatakan apa diluar biogeografi adalah keanekaragaman hayati, maka penjelasan mengenai pengantar biodi-versitas dan biogeografi ini ini sangat perlu untuk dipaparkan.

Komponen biodiversitas yang meliputi keane-karagaman genetik, keaneka ragaman tingkat popu-lasi dan keragaman tingkat spesies menjadi menarik untuk dianalisis dengan keadaan biogeografi dialam. Pemahaman yang komprehensif menghasilkan pola biogeografis dari kekayaan spesies dan pada prinsip-nya ahli biogeografi dari hasil tiga faktor meliputi laju spesiasi, laju kepunahan dan penyebaran spesies ke lokasi lain( A.M. Womack et al, 2010). Penjelasan dari latar belakang diatas maka artikel ini akan PENDAHULUAN

Biodiversitas atau yang lebih dikenal dengan keaneka ragaman hayati merupakan salah satu aspek lingkungan yang sangat penting untuk diles-tarikan. Indonesia merupakan salah satu negara dengan biodiversitas yang tinggi dan merupakan sebuah tantangan besar untuk tetap menjaga kesta-bilan biodiversitas ini. Biodiversitas yang tinggi dan stabil berperan dalam menjaga stabilitas siklus biogeokimia yang ada dialam.Keunikan dan tingginya keanekaragaman hayati tidak terlepas dari latar bela-kang iklim, sejarah geologi, unit biogeografi, proses spesiasi, bentuk (serta jumlah dan ukuran) pulau, jumlah ekosistem dan seterusnya. Maka diperlukan pemaparan lebih lanjut tentang ontologi biodiversitas. Biogeografi memiliki sejarah yang difokuskan pada pemahaman variasi biologis, dengan demikian dalam memahami variasi biologis dalam ekosistem mem-buka kemungkinan untuk benar benar dalam satu pandangan tentang biogeografi yang menghubung-kan keanekaragaman hayati dalam setiap komponen biosfer, litosfer, hidrosfer dan juga atmosfer ( A M womack et al , 2010). Penyebaran georafis spesies (biogeografi) adalah hal yang pertama kali memberi ide akan adanya evolusi kepada Darwin. Pulau-pulau memiliki banyak spesies tumbuhan dan hewan yang

(2)

menganalisis keterkaitan antara biodiversitas dan biogeografi.

METODE

Kajian ini merupakan review pustaka yang akan menghasilkan rumusa n pemahaman tentang keterkaitan antara biodiversitas dan biogeografi. Menurut Arikunto (2003), review pustaka juga dapat disebut sebagai analisis informasi yang didokumen-tasikan dalam bentuk rekaman, berupa gambar, suara, tulisan, atau bentuk lainnya. Dalam penelitian ini, tim peneliti akan mendeskripsikan pendapat para ahli tentang keterkaitan antara biodiversitas dan biogeografi lalu kemudian menarik benang merah atau kesimpulannya.

Review pustaka juga merupakan teknik atau cara

yang sistematis untuk mengungkap pesan dan makna guna memahami keterkaitan yang lebih luas tentang proses dan dampak dari fenomena tentang biodiver-sitas dan biogeografi (Budd dkk, 1976 dalam Prast-owo, 2011). Dengan dasar ini, maka peneliti akan melakukan beberapa langkah yang sistematik dan objektif yaitu

1. Mendapatkan beberapa informasi ahli terkait biodiversitas dan biogeografi

2. Membaca dokumen informasi ahli terkait biodi-versitas dan biogeografi

3. Membuat catatan hasil membaca dokumen informasi ahli tentang keterkaitan biodiversitas dan biogeografi

4. Menghasilkan inferensi isi yang dapat mendes-kripsikan keterkaitan biodiversitas dan biogeo-grafi secara

Dalam melakukan review pustaka ini, tim peneliti menggunakan dirinya sebagai instrumen untuk mengumpulkan data berupa informasi ahli tentang keterkaitan biodiversitas dan biogeografi kemudian merumuskan hasil yang tepat. Dan untuk validitas hasil kajian ini, tim peneliti juga melaksanakan

Fo-cus of Group DisFo-cussion untuk mereduksi rumusan

yang bias.

HASIL DAN PEMBAHASAN Diversitas

Keanekaragaman (diversitas) adalah istilah untuk menunjukkan variasi atau variabilitas makhluk hidup. Keanekaragaman yang tinggi dari suatu sumber daya tidak akan selamanya terkait dengan keunggulan baik kuantitatif maupun kualitatif. Keanekaragaman hayati (biological diversity) atau sering disebut dengan biodiversity adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumber daya

alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari ekosistem, jenis dan genetik. Dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan, yaitu: (1)keanekaragaman ekosistem, (2) keanekaragaman jenis, dan (3) keanekaragaman genetik. Oleh karena itu, biodiversity meliputi jenis tumbuhan dan hewan, baik yangmakro maupun yang mikro termasuk sifat-sifat genetik yang terkandung di dalam individu setiap jenis yang terdapat pada suatu ekosistem tertentu (Brockerhoff et al.,2009). Keanekaragaman merupakan ukuran integrasi komunitas biologi dengan menghitung dan memper-timbangkan jumlah populasi yang membentuknya dengan kelimpahan relatifnya. Keanekaragaman atau keberagaman dari makhluk hidup dapat terjadi akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan (Kristanto, 2002). Keanekaragam hayati (biological-diversity atau

biodiversity) adalah semua makhluk hidup di bumi

(tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme) termasuk keanekaragaman genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman ekosistem yang dibentuknya (DITR 2007). Biodiversitas adalah keseluruhan gen, spesies dan ekosistem di suatu kawasan (“totality

of genes, species and ecosystems in a region”)

(Behera dan Das 2008). Biodiversitas merupakan bidang kajian yang sangat menarik karena memiliki banyak aspek pembahasan. Indonesia sangat kaya biodiversitas, baik di daratan maupun di lautan. Selama ini, diskusi mengenai kekayaan biodiversitas umumnya hanya didasarkan pada spesies daratan, namun dengan semakin banyaknya penelitian mari-tim, maka biodiversitas di lautan juga mulai terungkap. Hal ini berdampak pada rangking Indonesia sebagai Negara utama biodiversitas, karena negeri ini adalah negara kepulauan terbesar di dunia (Schroeder 2011). Keanekaragaman hayati (biodiversitas) itu sendiri terdiri atas tiga tingkatan (Purvis dan Hector 2000), yaitu: (a) keanekaragaman spesies yaitu keanekaragaman semua spesies makhluk hidup di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler), (b) keanekara-gaman genetik yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individuindividu dalam satu populasi, (c) keanekaragaman ekosistem yaitu komunitas biologi yang berbeda serta asosiasi-nya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing, dan (d) keanekaragaman hayati

(biodi-versity) merupakan dasar dari munculnya beragam

jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk barang/produk maupun dalam bentuk jasa

(3)

lingkungan yang sangat diperlukan oleh perikehi-dupan makhluk hidup, khususnya manusia (Kusmana, 2015).

Keanekaragaman jenis dapat menunjukkan jenis pada seluruh ekosistem dan keanekaragaman jenis juga dapat sebagai jumlah jenis dan jumlah individu dalam satu komunitas. Jadi keanekaragaman jenis adalah jumlah jenis dan jumlah individu setiap jenis. Sedangakan menurut penelitian Odum (1993), me-nyatakan bahwa ada dua komponen keanekaragam-an jenis yaitu kekayakeanekaragam-an jenis dkeanekaragam-an kesamaratakeanekaragam-an. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas.

Kekayaan jenis dapat dihitung dengan indeks jenis atau area yakni jumlah jenis per satuan area. Kesamarataan atau akuitabilitas adalah pembagian individu yang merata diantara jenis. Namun pada kenyataan setiap jenis itu mempunyai jumlah individu yang tidak sama. Dalam suatu struktur komunitas terdapat lima karakteristik yang dapat diukur, yaitu keanekaragaman, keseragaman, dominansi, kelim-pahan dan pertumbuhan. Menurut sifat komunitas, keanekaragaman ditentukan dengan banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan. Semakin besar nilai suatu keanekara-gaman berarti semakin banyak jenis yang didapatkan dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masingmasing jenis atau genera. Keane-karagaman (H’) mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal dari genus atau spesies yang ber-beda- beda, sedangkan nilai terkecil jika semua individu berasal dari satu genus atau satu spesies saja (Odum, 1993 dalam Kusnadi, 2016).

Biodiversitas memiliki banyak banyak manfaat baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yaitu: (i) Jasa ekosistem, seperti: air minum yang bersih, pembentukan dan perlindungan tanah, pe-nyimpanan dan daur hara, mengurangi dan menerap polusi, berkontribusi terhadap stabilitas iklim, peme-liharaan ekosistem, dan penyerbukan tanaman. (ii) Sumber daya hayati, seperti: makanan, obat-obatan, bahan baku industri, tanaman hias, stok untuk pemu-liaan dan penyimpanan populasi. (iii) Manfaat sosial, seperti: pendidikan, rekreasi dan penelitian, serta budaya Biodiversitas telah memberi berbagai bahan pangan untuk kehidupan umat manusia, namun keberlanjutannya terancam (FAO 2013).

Indonesia memiliki beragam sumber genetik yang berpotensi sebagai bahan pangan. Beberapa jenis hewan kini menjadi sumber pangan lokal Indo-nesia, misalnya sapi bali (banteng), ayam kampung dan beberapa jenis unggas lainnya. Indonesia juga memiliki beragam tumbuhan lokal yang berpotensi

sebagai suplemen atau komplemen beras, yang meru-pakan makanan pokok utama rakyat Indonesia. Konsep diversifikasi terhadap ketergantungan beras dapat dimulai dengan mengenalkan dan menghapus pandangan nilai-nilai lama yang menempatkan pala-wija sebagai pangan masyarakat kelas bawah dan dengan mengangkat kembali potensi-potensi pangan yang dimiliki oleh masingmasing daerah. Beberapa ragam jenis pangan lokal yang dapat menjadi pengganti beras, misalnya: singkong, garut, sukun, jagung, sagu, kentang, ubi jalar, dan talas (Cahyanto et al. 2012).

Di seluruh dunia, dalam 100 tahun terakhir, kegiatan pemuliaan tumbuhan dan hewan telah menyebabkan lahirnya beragam varietas tanaman dan hewan peliharaan. Peningkatan jumlah varietas ini, kini, umumnya mencapai sekitar 10 kali lipat dari sebelumnya (NGM 2011).

Biogeografi

Biogeografi berasal dari kata “Bios” yang berarti makhluk hidup dan “Geografi” yang merupakan studi mengenai fenomena di bumi yang mencakup faktor pengubah permukaan bumi, termasuk sifat-sifat fisiknya, iklim dan hasil, baik yang bersifat hidup atau tidak. Biogeografi dapat diartikan sebagai ilmu biologi yang mengkaji mengenai pola distribusi serta keane-karagaman spesies dan keterkaitannya antar proses biologi-ekoligi, evolusi serta kejadian geologis yang saling mendukung dalam skala ruang dan waktu (Crisci, 2001). Secara spesifik biogeografi mem-pelajari sebaran makhluk hidup pada saat lalu atau lampau dan sekarang. Dalam mempelajari sebaran makhluk hidup biogeografi mendiskripsikan mengenai perbedaan fenomena distribusi vegetasi di bumi termasuk semua faktor yang mengubah permukaan bumi oleh faktor fisik, iklim atau interaksi makhluk hidup dengan lingkungannya (Campbell et al., 2004). Biogeografi dibagi atas geografi tumbuhan (fito-geografi) dan geografi hewan (zoo(fito-geografi). Fito-geografi dan zooFito-geografi membahas mengenai persebaran geografi, habitat, sejarah serta faktor-faktor biologi yang terlibat dalam kehidupan tum-buhan dan hewan (Campbell et al, 2004). Persebaran flora dan fauna di dunia dipelajari dalam ilmu biogeografi dengan dua pendekatan yang merupakan kajian yang fundamental dalam ilmu biogeografi, yaitu pendekatan biogeografi sejarah (Historical biogeog-raphy) dan pendekatan biogeografi ekologi (Ecologi-cal biogeography) (Cox et al., 2016).

Biogeografi ekologi mempelajari penyebaran organisme berdasarkan beberapa tema diantaranya

(4)

spesies dan jangkauannya pada suatu ruang lingkup, faktor-faktor yang mempengaruhi spesies tersebut hidup dalam suatu wilayah, faktor yang mencegah spesies tersebut berkembang kewilayah lain. Selain itu peran tanah, iklim, lintang, topografi, dan interaksi dengan organisme lain dalam membatasi distribusi-nya. Pembagian spesies dan cirikhasnya pada setiap wilayah seperti wilayah pengunungan dan laut, serta pada sebuah iklim yang berbeda merupakan kajian pada biogeografi ekologi. Biogeografi ekologi ber-kaitan dengan periode waktu jangka pendek pada skala yang lebih kecil di dalam suatu habitat atau di dalam benua yang secara utama mengkaji spesies atau subspecies hewan atau tumbuhan yang hidup (Cox et al., 2016).

Biogeografi sejarah sebaliknya berkaitan dengan hal yang berbeda diantaranya membahas mengenai bagaimana pembatasan takson pada jangkauan sekarang, kapan pola distribusi sampai pada batasnya sekarang. Selain itu mempelajari peristiwa geologis atau iklim yang dapat membentuk distribusi tersebut, serta mempelajari sejarah dan kerabat mengenai suatu kelompok hewan atau tumbuhan. Dalam biogografi sejarah juga dikaji mengenai mengapa beberapa spesies yang berkerabat dekat terbatas pada kawasan yang sama. Oleh karena itu biogeograi sejarah berkaitan dengan periode waktu evolusi jangka panjang, dengan area yang lebih besar, seringkali secara global dan dengan taksa diatas tingkat spesies dan dengan taksa-taksa yang mungkin sekarang sudah punah (Cox et al., 2016).

Karena sifat tumbuhan dan hewan yang berbe-da, cara-cara pendekatan biogeografi sejarah dan ekologi yang diselidiki dan dipahamipun berbeda. Tumbuhan bersifat statis, bentuk serta pertumbuhan-nya jauh lebih terkondisikan oleh lingkungan dan kondisi ekologi daripada hewan. Jauh lebih mudah untuk mengumpulkan dan mengawetkan tumbuhan daripada hewan, tetapi sisa-sisa fosil tumbuhan lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan hewan.

Proses intrepertasi pada tumbuhan juga lebih susah dibandingkan pada hewan kerana beberapa alasan. Jumlah tumbuhan berbunga lebih banyak daripada mamalia, 450 famili yang hidup dan 17.000 genera tumbuhan, dibandingkan dengan 150 famili hidup dan 1.250 genera mamalia. Daun, kayu, biji, buah dan butiran serbuk sari dari tanaman berbuga dapat diawetkan namun sulit untuk ditemukan. Selain itu taksonomi tumbuhan berbunga didasarkan pada karakteristik bunga yang jarang diawetkan. Sebalik-nya tulang dan fosil mamalia sering diasosiasikan sebagai kerangka utuh yang memberikan catatan

rinci tentang evolusi dan penyebaran family didalam dan diantar benua (Cox et al., 2016).

Keterkaitan antara Biodiversitas dan Biogeografi

Kecenderungan yang terjadi adalah beberapa tempat mengandung lebih banyak spesies daripada yang lain. Banyak pola dalam distribusi spasial spesies telah diidentifikasi oleh ahli biogeograf, dan banyak mekanisme telah diusulkan untuk menjelas-kan pola-pola ini. Suatu spesies muncul di tempat dan waktu tertentu karena anggota spesies ini (atau nenek moyangnya) berevolusi di lokasi ini atau ber-pencar ke sana di masa lampau (Aggemyr et al. 2018).

Ahli biogeograf berusaha menemukan pola baru dalam distribusi spesies di seluruh ruang dan menggunakan metode penelitian yang beragam untuk mempelajari faktor-faktor historis dan ekologi yang dapat menjelaskan pola-pola ini. Beberapa tempat mengandung lebih banyak spesies daripada yang lain, misalnya, Antartika memiliki spesies yang lebih sedikit daripada hutan gugur beriklim sedang, yang pada gilirannya memiliki lebih sedikit spesies di hutan hujan tropis. Selama lebih dari 150 tahun, para peneliti telah berusaha untuk memahami pola spasial skala kasar dan halus dalam keanekaragaman hayati, dan untuk menjelaskan penyebab langsung dan akhir dari pola-pola ini (McGlynn, 2010).

Beberapa pola geografis utama dalam kekayaan spesies, serta proses dan teori yang dianggap menje-laskan pola-pola ini yang bertumpuh pada karya luar biasa dari seorang ilmuwan, Alfred Russel Wallace yang secara luas dianggap sebagai “Bapak Biogeo-grafi”. Selain menjadi asal mula proses seleksi alam dengan Charles Darwin, Wallace menghabiskan banyak waktu mempelajari distribusi dan keanekara-gaman tumbuhan dan hewan di Amazonia dan Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1800-an.Banyak pola spasial dalam keanekaragaman hayati yang terlihat jelas, yang lainnya tidak kentara, namun pola tambahan tetap tidak terdeteksi (Aggemyr et al. 2018).

Meskipun keberadaan pola-pola ini mungkin terlihat jelas dan perubahan lingkungan yang dipa-sangkan dengan pola-pola ini mungkin juga terlihat jelas - mekanisme yang menyebabkan perbedaan keanekaragaman hayati di sepanjang gradien ling-kungan masih menjadi bahan perdebatan ilmiah. Karena pola skala besar adalah hasil yang muncul dari interaksi kompleks pada banyak skala spasial dan temporal, tidak ada jawaban tunggal yang

(5)

mungkin akan muncul, tetapi dengan penelitian lan-jutan, pemahaman kita tentang proses yang mem-bentuk pola ini meningkat (McGlynn, 2010).

Semua spesies yang muncul di tempat dan waktu tertentu baik datang dari tempat lain atau berasal dari lokasi itu dari spesies leluhur. Fakta ini berlaku untuk spesies punah yang merupakan nenek moyang dari semua spesies yang masih ada. Kekayaan spesies di lokasi tertentu adalah hasil dari tiga faktor -laju spesiasi, -laju kepunahan, dan penyebaran spesies dari lokasi lain. Pada prinsipnya lingkungan saat ini dan masa lalu telah membentuk ketiga faktor ini(McGlynn, 2010).

Menurut McGlynn (2010), faktor sejarah yang membentuk kekayaan dan distribusi spesies sering kali dibagi menjadi dua kategori utama: perwakilan dan disperal. Spesies dapat muncul di suatu lokasi karena nenek moyang mereka menetap di sana se-cara pasif saat lingkungan bergerak di sekitar mereka (perwakilan). Atau, suatu spesies atau nenek mo-yangnya mungkin telah tiba di suatu lokasi melalui perpindahan dari lokasi lain (penyebaran). Vicariance menggambarkan gangguan kisaran biogeografi sekelompok organisme oleh perubahan lingkungan. Peristiwa perwakilan dapat terjadi ketika daratan bergerak terpisah melalui aksi tektonik, atau ketika gunung muncul untuk membagi rentang geografis spesies. Vicariance biasanya mengarah pada mun-culnya spesies baru melalui spesiasi alopatrik, di mana satu spesies leluhur akan menghasilkan pro-duksi dua spesies baru yang berevolusi terpisah satu sama lain dalam isolasi geografis, seringkali oleh penyimpangan genetik daripada seleksi alam.

Pola berulang lainnya dalam teori biogeografi adalah gradien ketinggian dalam kekayaan spesies (Heads, 2014). Semakin tinggi suatu tempat, jumlah spesies menurun, atau, dalam banyak kasus, men-capai puncak di ketinggian menengah. Selain meka-nisme lingkungan yang mendorong gradien kera-gaman ini, terdapat fenomena yang didasarkan pada geografi distribusi rentang spesies yang disebut efek domain-tengah (Richardson & Whittaker, 2010).

Efek domain-tengah memprediksi puncak kera-gaman di titik tengah di sepanjang domain apa pun hanya dengan fakta bahwa rentang lebih banyak spesies tumpang tindih di tengah domain (seperti gunung atau pulau) daripada di tepinya, dan efek ini berfungsi. bersama dengan faktor penentu ling-kungan untuk mempengaruhi distribusi bersih spesies di sepanjang banyak gradien ketinggian(McGlynn, 2010).

Pola lain adalah gradien lintang dalam kekayaan spesies. Semakin dekat ke khatulistiwa, untuk

seba-gian besar taksa, jumlah spesies menurun (Lomolino, 2001). Pola umum ini berlaku untuk sebagian besar taksa dan tipe ekosistem di lingkungan laut dan darat. Ada kesepakatan luas bahwa pola ini disebabkan oleh perbedaan abiotik, lingkungan iklim, tetapi meka-nisme atau mekameka-nisme khusus yang menyebabkan pola ini terus menjadi topik diskusi dan penyelidikan. Satu set teori, yang secara luas dikelompokkan bersama sebagai “teori energi spesies” didasarkan pada fakta bahwa jumlah energi radiasi dari matahari yang ditangkap oleh ekosistem dikaitkan secara negatif dengan garis lintang (Lomolino, 2001).

Karena energi didistribusikan ke seluruh ekosis-tem melalui proses trofik, diperkirakan bahwa keka-yaan spesies akan melacak energi mengikuti satu atau lebih mekanisme. Model teori energi spesies memasukkan variabel seperti suhu, produktivitas primer bersih, spesiasi, dan kepunahan. Gagasan lain yang telah diajukan untuk menjelaskan gradien lintang terkait dengan respons fisiologis hewan terhadap kondisi iklim dan efek lingkungan abiotik pada proses historis. Sebagian besar teori ini tidak eksklusif satu sama lain(McGlynn, 2010).

Habitat yang lebih besar secara biogeografis cenderung mempromosikan keanekaragaman hayati lebih baik daripada habitat yang lebih kecil (lebih banyak relung yang tersedia = lebih sedikit per-saingan). Ekologi di tepi ekosistem berbeda dengan kawasan pusat (misalnya lebih banyak sinar mata-hari, lebih banyak angin). Ini dikenal sebagai efek tepi, di mana distribusi spesies dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berbeda (Heads, 2014).

Tepi cenderung memiliki keanekaragaman hayati yang lebih besar, karena habitat yang berbeda dengan faktor abiotik yang berbeda terdapat dalam jarak fisik yang dekat. Namun tepi cenderung memiliki lebih banyak persaingan daripada wilayah tengah, yang mungkin membatasi prospek kelang-sungan hidup spesies tertentu. Koridor habitat antar bagian dari habitat yang terfragmentasi dapat meng-hubungkan daerah yang berbeda untuk meningkatkan keragaman genetic (Ray, 1996).

Prinsip-prinsip tersebut secara rutin diterapkan saat menyisihkan lahan sebagai cagar alam untuk meningkatkan pelestarian keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati sebuah pulau biasanya se-banding dengan ukuran pulau (yaitu pulau yang lebih besar memiliki keanekaragaman hayati yang lebih besar). Pulau-pulau yang lebih besar mendukung lebih banyak habitat (dan karenanya lebih banyak relung yang tersedia untuk ditempati spesies).

Pulau-pulau yang lebih besar dapat memperta-hankan jumlah populasi yang lebih tinggi untuk setiap

(6)

spesies (meningkatkan kemerataan spesies). Pulau yang lebih besar memiliki produktivitas yang lebih tinggi di setiap tingkat trofik, yang mengarah pada rantai makanan yang lebih panjang dan lebih stabil (Ray, 1996).

KESIMPULAN

Terdapat hubungan antara biodiversitas dengan biogeografi yang memberikan kecenderungan yang terjadi adalah beberapa tempat mengandung lebih banyak spesies dari pada yang lain. Banyak pola dalam distribusi spasial spesies telah diidentifikasi oleh ahli biogeograf. Studi tentang faktor-faktor seja-rah yang membentuk kekayaan dan distribusi spesies dibagi menjadi dua kategori utama yakni perwakilan dan disperal. Salah satu pola geografis utama dalam keanekaragaman hayati adalah gradien lintang dalam kekayaan spesies. Semakin dekat ke khatulistiwa, untuk sebagian besar taksa, jumlah spesies menurun. Pola berulang lainnya dalam teori biogeografi adalah gradien ketinggian dalam kekayaan spesies. Semakin tinggi suatu tempat, jumlah spesies menurun, atau, dalam banyak kasus, mencapai puncak di ketinggian menengah.

Fakta bahwa beberapa spesies memiliki efek yang lebih besar pada kekayaan spesies daripada yang lain dapat diperoleh dari mempelajari biologi spesies invasif,yaitu salah satu yang diangkut di luar jangkauan geografis aslinya ke habitat baru, di mana kepadatannya meningkat, dan dapat menyebabkan efek merugikan pada spesies asli di daerah itu, seringkali mengurangi keanekaragaman hayati. Maka faktor biogeografi sangat mempengaruhi ke-anekaragaman hayati dalam ekosistem tertentu. DAFTAR PUSTAKA

Aggemyr E, Auffret AG, Jadergard L, Cousins SAO. Spe-cies richness and composition differ in responseto landscape and biogeography. Landscape Ecol.

2018;33:2273–2284. https://doi.org/10.1007/s10980-018-0742-9.

Cahyanto, SS., Bonifasius, SP., & Muktaman, A. 2012. Penguatan kearifan lokal sebagai solusi permasa-lahan ketahanan pangan nasional. Prosiding the 4th

International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity, dan Future. Bali, 9-10 Februari 2012.

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas In-donesia, Depok.

Campbell, N. A., Jane . B. R., and Lawrence. G. M. 2004.

Biologi. Edisi Kelima Jilid Dua. Erlangga, Jakarta.

Cox C. B., Peter D. M., and Richard J. L. 2016.

Biogeogra-phy: An Ecological and Evolutionary Approach.

Wiley, Hoboken, New Jersey.

Crisci, J. V. The voice of historical biogeography.

Jour-nal of Biogeography. 2001; 28(2): 157-168.

Heads M. The relationship between biogeography and ecology: envelopes, models, predictions.

Biologi-cal Journal of the Linnean Society. 2015;115:456–

468.

Kusmana, C. 2015. Keanekaragaman hayati (biodiversitas) sebagai elemen kunci ekosistem kota hijau. Jurnal Biodiv Indon, 1(8), 1749.

Lomonilo, MV. The species–area relationship: new chal-lenges for an old pattern. Progress in Physical

Ge-ography. 2001;25(1);11–21.

McGlynn, T. 2010 Effects of Biogeography on Commu-nity Diversity. Nature Education Knowledge. 2010;1(8):32.

Purvis A, Hector A. 2000. Getting the measure of biodiversity. Nature 405: 212- 219.

Richardson D, & Whittaker RJ. Conservation biogeogra-phy – foundations, concepts and challenges.

Di-versity and Distributions. 2010;16:313–320. https://

doi.org/10.1111/j.1472-4642.2010.00660.x.

Womack AM, Bohannan JM, Green JL. Biodiversity and biogeography of the atmosphere. Phil. Trans. R. Soc. B. 2010;365:3645–3653. https://doi.org/10.1098/ rstb.2010.0283. November 2014

http://ngm.nationalgeographic.com/2011/07/food-ark/ foodvariety-graphic

Referensi

Dokumen terkait

Ada tiga alasan utama untuk melindungi keanekaragaman hayati tanah, yaitu: (a) secara ekologi; dekomposisi dan pembentukan tanah merupakan proses kunci di alam yang dilakukan

Memuat definisi diantaranya Konservasi, Keanekaragaman Hayati, Konservasi Keanekaragaman Hayati, Materi Genetik, Sumber Daya Genetik, Spesies, Ekosistem, Spesimen, Tumbuhan,

Keanekaragaman jenis adalah segala perbedaan yang ditemui pada makhluk segala perbedaan yang ditemui pada makhluk hidup antar jenis atau antar spesies.. hidup antar jenis atau

diharapkan dapat memahami materi Keanakearagaman hayati dalam konsep tingkatan (gen, jenis, ekosistem) keanekaragaman hayati serta mengidentifikasi keanekaragman

Pemeliharaan fungsi keanekaragaman hayati hutan kerangas dan menjaga kelestarian pemanfaatannya melalui bioprospeksi (prospek biodiversitas) merupakan dua faktor

P erlindungan keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang tercakup dalam komunitas hayati yang utuh dalam habitat yang asli merupakan cara yang paling efektif

Konservasi Keanekaragaman Hayati: Perlindungan keanekaragaman hayati, baik di tingkat gen, spesies, maupun ekosistem, penting untuk menjaga keseimbangan alam dan kelangsungan hidup

Konservasi Keanekaragaman Hayati: Perlindungan keanekaragaman hayati, baik di tingkat gen, spesies, maupun ekosistem, penting untuk menjaga keseimbangan alam dan kelangsungan hidup