• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.) Oleh Gita Septrina A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.) Oleh Gita Septrina A"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN

GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL

PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.)

Oleh Gita Septrina

A34104069

PROGRAM STUDI AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL

PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.)

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Gita Septrina

A34104069

PROGRAM STUDI AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

GITA SEPTRINA. Pengaruh Cara dan Waktu Pengendalian Gulma

terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Hibrida (Oryza sativa L.). Dibimbing oleh DWI GUNTORO dan ADIWIRMAN.

Gulma merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dapat menurunkan produksi padi di lapangan. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh cara dan waktu penyiangan gulma terhadap pertumbuhan dan hasil padi hibrida. Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi, di daerah Carang Pulang Dramaga Bogor, pada bulan Oktober 2007 hingga Februari 2008. Rancangan Kelompok Lengkap Teracak satu faktor dengan tiga ulangan digunakan dalam percobaan ini. Faktor yang digunakan adalah waktu dan cara pengendalian gulma. Perlakuan yang dicobakan terdiri atas: tanpa pengendalian sebagai kontrol (K-0), pengendalian manual pada 3 minggu setelah tanam (MST) (M-3), pengendalian manual pada 6 MST (M-6), pengendalian manual pada 3 dan 6 MST (M-36), pengendalian dengan herbisida pada 3 MST (H-3), pengendalian dengan herbisida pada 6 MST (H-6), dan pengendalian dengan herbisida pada 3 dan 6 MST (H-36).

Kondisi lahan didominansi gulma Fimbristylis milliaceae, Ludwigia

octovalvis, dan Lindernia crustaceae. Penyiangan dengan herbisida menghasilkan rata-rata bobot kering gulma per minggu yang lebih tinggi dibandingkan penyiangan manual, namun lebih rendah dari kontrol. Penyiangan manual dan herbisida pada 3 dan atau 6 MST tidak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif, hasil, dan mutu fisik dari padi hibrida. Namun, penyiangan mempengaruhi Indeks Luas Daun (ILD) tanaman. Nilai ILD tertinggi diperoleh perlakuan pengendalian manual 3 MST, sebesar 3.75. Nilai ILD terendah diperoleh perlakuan kontrol, sebesar 2.23. Hasil yang diperoleh berkisar antara 4.10 ton GKG/ha – 6.58 ton GKG/ha. Hasil terendah diperoleh petak kontrol. Petak penyiangan manual memperoleh hasil GKG 52.44% lebih besar dari kontrol. Penyiangan manual memperoleh rata-rata hasil GKG yang lebih besar 16.39% dibandingkan hasil penyiangan dengan herbisida. Terdapat kecenderungan, semakin cepat gulma dikendalikan, semakin baik hasil gabah yang diperoleh.

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL

PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.)

NAMA : Gita Septrina

NRP : A34104069

Menyetujui, Dosen Pembimbing 1

Dwi Guntoro, SP., M. Si. NIP. 132 176 851

Dosen Pembimbing 2

Dr. Ir. Adiwirman, MS. NIP. 131 669 943

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu, 3 September 1986. Sulung dari pasangan Indra Sugiarno dan Siti Rahayu Ruyati ini, mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri 01 Pagi Pekayon Pasar Rebo Jakarta Timur. Pendidikan menengah diselesaikan di SLTP Negeri 91 Jakarta dan pada tahun 2004 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Islam Terpadu Nurul Fikri, Depok. Pada tahun 2004 juga, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Program Studi Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

Semasa kuliah penulis bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A) periode 2004-2005, sebagai staf pada Biro Aplikasi Pertanian. Pada periode yang sama penulis aktif mengikuti berbagai macam kegiatan dalam rangkaian acara Bina Desa di Desa Pasarean. Pada tahun akademik 2007-2008 penulis berpartisipasi sebagai asisten mata kuliah Ilmu Tanaman Perkebunan.

(6)

KATA PENGANTAR

AlhamdulillahiRabbal‘alamiin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan energi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat meneyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Skripsi dengan judul Pengaruh Waktu dan Cara Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Hibrida (Oryza sativa L.) ini merupakan tugas akhir penulis dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dengan selesainya penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Orangtua tercinta Mama-Siti Rahayu Ruyati- dan Papa-Indra Sugiarno-, serta Adik-adik-Yundri Martiraz dan Arif Gusaseano-, atas setiap doa dan kasih sayang yang tanpa henti diberikan selama ini

2. Dwi Guntoro, SP., M. Si sebagai pembimbing skripsi dan akademik yang senantiasa memberikan bimbingan, dan motivasi selama masa pendidikan ini. 3. Dr. Ir. Adiwirman, MS sebagai dosen pembimbing skripsi kedua yang selalu

teliti dalam memberikan masukan, demi hasil skripsi yang lebih baik.

4. Ir. Sofyan Zaman yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan banyak saran untuk menambah kualitas dari skripsi ini.

5. Pak Joko, Pak Milin, dan semua pekerja yang sudah membantu dan memberikan semangat selama penelitian ini.

6. Dhini dan Fitri serta semua yang tergabung dalam Paddy’s Club, Febrian, Ichsan, Mudi, Dina, Tri, dan Sofie. Teman-teman yang selalu bisa diandalkan, Vitria, Adrinus, Ika, Cindi, Lia, Nita, Giono, Mercy, Restu, dan semua teman-teman Agronomi 41.Terimakasih atas persahabatan ini.

7. Teman-teman yang sudah memberi banyak makna tentang persahabatan ini, Vivi, Asti, Sari, Nani, Nandini, Saras, Enunk, dan Rika. Keep it Everlasting! 8. Semua kakak kelas, teman seangkatan, dan adik kelas yang tergabung dalam

Forsi-NF. Senangnya memiliki saudara seperti kalian.

Bogor, Agustus 2008 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Halaman PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Hipotesis ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Botani Tanaman Padi ... 3

Morfologi Tanaman Padi ... 3

Syarat Tumbuh Tanaman Padi ... 4

Padi Hibrida ... 4

Pengendalian Gulma ... 6

Herbisida Metilmetsulfuron ... 8

BAHAN DAN METODE ... 9

Waktu dan Tempat ... 9

Bahan dan Alat ... 9

Rancangan Percobaan ... 9

Pelaksanaan Percobaan... 10

Pengamatan ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Kondisi Umum ... 15

Pertumbuhan Gulma ... 16

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman ... 20

Pertumbuhan Generatif dan Komponen Hasil Tanaman ... 24

Pembahasan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

Kesimpulan ... 35

Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Skoring intensitas hama-penyakit pada lahan percobaan ... 15

2. Analisis vegetasi gulma pada lahan sebelum perlakuan pengendalian gulma ... 17

3. Analisis vegetasi gulma pada akhir pengamatan gulma (12 MST) ... 19

4. Indeks luas daun (ILD) padi pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 22

5. Saat heading, 50 % populasi berbunga, dan 80 % populasi siap panen pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 24

6. Tinggi tanaman padi saat panen, jumlah anakan produktif (JAP), jumlah anakan tidak produktif (JATP), dan jumlah anakan total (JAT) pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 25

7. Bobot malai per rumpun dan panjang malai pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 26

8. Jumlah gabah dan bobot gabah per malai pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 27

9. Persentase gabah isi, gabah hampa, dan bobot 1000 butir pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 27

10. Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling ubinan, dan dugaan produksi per hektar pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 28

11. Mutu fisik beras pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 29

Lampiran 1. Karakteristik Arize Hibrindo R-1 ... 39

2. Analisis ragam tinggi tanaman padi ... 40

3. Analisis ragam anakan padi ... 41

4. Analisis ragam daun padi ... 42

5. Analisis ragam indeks luas daun padi ... 43

6. Analisis ragam 50% populasi berbunga ... 43

7. Analisis ragam tinggi padi saat panen ... 43

8. Analisis ragam jumlah anakan produktif padi ... 43

9. Analisis ragam komponen hasil ... 44

(9)

11. Analisis ragam mutu fisik gabah dan beras ... 45 12. Data iklim bulan Oktober 2007-Maret 2008 ... 49

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Hama dan penyakit yang menyerang padi hibrida... 16

2. Gulma-gulma yang ada di lahan percobaan ... 17

3. Jumlah populasi gulma tiap spesies mulai 3 MST – 12 MST ... 18

4. Bobot kering gulma total pada 3 MST - 12 MST ... 20

5. Tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 20

6. Jumlah daun padi pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 21

7. Jumlah anakan padi pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 22

8. Kondisi gulma saat 9 MST pada berbagai perlakuan pengendalian gulma . 23 9. Tinggi tanaman saat panen pada berbagai perlakuan pengendalian gulma . 25 10. Panjang malai pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 26

11. Mutu fisik beras pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ... 30

12. Hasil GKG (ton/ha) ... 33

Lampiran 1. Denah letak percobaan ... 47

2. Skema pembuatan padi hibrida ... 48

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan komoditas pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Kebutuhan beras terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi beras nasional mencapai 135 kg/kapita/tahun (Deptan, 2007). Dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk tiap tahun tetap sebesar 1.5% per tahun, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mencapai 400 juta jiwa dan kebutuhan beras mencapai 54 juta ton. Padahal, produksi beras nasional selama kurun waktu 10 tahun terakhir tidak menunjukkan peningkatan hasil yang berarti. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi beras tersebut dapat menimbulkan kerawanan pangan di Indonesia.

Padi hibrida memiliki potensi produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi nonhibrida, sehingga pengembangan padi hibrida diharapkan dapat menjadi solusi dari kekurangan stok produksi padi nasional yang selama kurun waktu 10 tahun terakhir (1995-2005) terlihat stagnan. Menurut Heriyanto, et al. (2006) varietas padi hibrida mampu menghasilkan 8-10 ton gabah kering giling/ha. Keuntungan yang diterima petani karena menanam padi hibrida lebih besar dibandingkan jika menanam padi unggul biasa.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam penanaman padi hibrida di lahan sawah adalah adanya gangguan gulma. Gulma dapat menurunkan produksi tanaman padi akibat kompetisi dalam memperebutkan sarana tumbuh yaitu air, hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh (Sastroutomo, 1998). Smith (1983) mengemukakan bahwa efek gangguan gulma yang parah dan biasa terjadi adalah kehilangan hasil yang disebabkan oleh adanya kompetisi gulma dengan tanaman padi. Kehilangan hasil padi karena gulma di Filipina diperkirakan mencapai 11% pada musim kering dan 13% pada musim hujan. Menurut Tjitrosoemito (1994) penyiangan gulma untuk menurunkan tingkat kompetisi pada padi, dilakukan pada 21-42 hari setelah pindah tanam. Penelitian mengenai padi di Filipina yang dilakukan Ashton dan Crafts (1973) menunjukkan data bahwa penyiangan dengan herbisida meningkatkan hasil produksi secara signifikan melampaui hasil yang

(12)

didapatkan dari plot yang tidak disiangi. Penyiangan dengan herbisida hasil produksinya kira-kira sama dengan penyiangan secara manual.

Apabila kehilangan hasil akibat gulma dapat ditekan, maka akan ada produksi beras yang bisa terselamatkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu usaha untuk mencegah kehilangan hasil tanaman padi akibat kompetisi dengan gulma di lahan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penentuan waktu dan cara yang tepat untuk penyiangan gulma pada tanaman padi hibrida agar diperoleh produksi padi yang optimum. Menurut Susanto (2003) penelitian padi hibrida di Indonesia baru dimulai pada tahun 1980-an dengan mengintroduksi padi hibrida dari Cina, sehingga penelitian untuk mengembangkan budidaya padi hibrida di Indonesia masih diperlukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil padi hibrida di lahan sawah.

Hipotesis

Perbedaan waktu dan cara pengendalian gulma mempengaruhi pertumbuhan dan hasil padi hibrida.

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Padi

Dalam banyak spesies liar di dalam genus Oryza, ada 2 spesies yang dapat dibudidayakan, yaitu Oryza sativa, yang ditanam di seluruh areal tanam di seluruh dunia, dan Oryza glaberrima yang distribusinya terkonsentrasi di Afrika Barat Tropis (Geus, 1954). Spesies lainnya dari genus ini adalah Oryza stapffi, Oryza

fatua, Oryza minuta, Oryza rufipogon, Oryza breviligulata, dan Oryza officinalis. (Grist, 1965). Oryza sativa disebut juga white grain rice, sedangkan Oryza

glaberrima disebut red grain rice (FAO, 1966). Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman yang berasal dari divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Poales, famili Gramineae, genus Oryza.

Morfologi Tanaman Padi

Menurut Grist (1965) padi termasuk rerumputan (Graminae), akarnya bercabang-cabang dan berambut akar sangat banyak. Padi bukan termasuk tanaman air, karena struktur akarnya berbeda dengan struktur akar tanaman air. Siregar (1981) menyatakan bahwa kekhasan tumbuhan dari kelompok Graminae akan ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas tersebut merupakan bubung kosong yang ditutup oleh buku pada bagian ujungnya. Pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah menunjukkan percabangan, cabang terpendek disebut ligula (lidah daun) dan bagian terpanjang dan terbesar menjadi daun kelopak. Pada ligula terdapat auricle. Ligula dan auricle digunakan untuk mendeterminasi identitas suatu varietas. Ruas yang menjadi bulir padi muncul saat daun pelepah teratas menjadi ligula dan daun bendera (flag leaf). Daun bendera adalah daun yang terpanjang yang membalut ruas teratas dari batang. Bunga padi memiliki tangkai, perhiasan, dan daun mahkota. Daun mahkota terbesar disebut palea dan daun mahkota terkecil disebut lemma. Di dalamnya terdapat bakal buah (kariopsis). Di atas bakal buah ada 2 kepala putik. Di bawah bakal buah tumbuh 6 filamen benangsari. Bunga padi dewasa akan membuka, sehingga posisi palea dan lemma akan membentuk sudut 30o-60o. Keduanya

(14)

membuka pada pukul 10-12 pada hari cerah, dengan suhu berkisar 30o C-32o C. Ketika kondisi ini terpenuhi, penyerbukan akan terjadi.

Syarat Tumbuh Tanaman Padi

Padi dapat tumbuh pada kondisi iklim-iklim yang berbeda. Produksi tertinggi dicapai di negara yang memiliki iklim subtropis atau iklim temperate hangat. Namun kebanyakan padi ditanam di daerah beriklim tropis. Padi juga mampu beradaptasi di daerah dengan temperatur tinggi dan sinar matahari yang tinggi. Tanaman padi dapat tumbuh pada temperatur antara 68oF-100oF (Grist,1965). Selain itu menurut de Datta (1981) pertumbuhan padi dipengaruhi oleh curah hujan, panjang hari, radiasi surya, dan kelembaban relatif. Curah hujan tahunan merupakan faktor pembatas bagi lahan-lahan tadah hujan di Asia Selatan dan Tenggara khususnya. Padi merupakan tanaman hari pendek yang sensitif terhadap fotoperiodisme. Hari panjang akan menyebabkan pembungaan terlambat bahkan tidak terjadi. Radiasi energi surya merupakan faktor penting yang dibutuhkan padi saat inisiasi malai hingga menjelang panen. Setidaknya 30 - 45 hari sebelum panen tanaman yang mendapat energi surya yang cukup akan memberikan hasil yang tinggi. Kelembaban relatif mempengaruhi tanaman padi karena menyebabkan peningkatan insiden penyakit blast pada padi. Iklim sangat mempengaruhi proses fisiologi tanaman padi, sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan bulir.

Padi Hibrida

Padi hibrida mulai dikembangkan di Cina pada tahun 1964 dengan ditemukannya mandul jantan. Pada tahun 1976 padi hibrida baru dikomersilkan. Sejak akhir tahun 1980-an Cina telah berhasil menanam padi hibrida seluas 15 juta hektar. Indonesia sendiri baru merintis penelitian tentang padi hibrida pada akhir tahun 1985. Hingga kini telah dirilis 29 varietas padi hibrida, 4 varietas diantaranya merupakan hasil penelitian BALITPA dan 25 varietas lainnya merupakan hasil penelitian perusahaan benih swasta.

Padi hibrida dihasilkan melalui pemanfaatan fenomena heterosis turunan pertama (F1) dari hasil persilangan dengan dua induk yang berbeda. Fenomena

(15)

heterosis tersebut menyebabkan tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih lebat sekitar 1 ton/ha lebih tinggi daripada varietas biasa (inbrida). Namun keunggulan tersebut tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya. Ditinjau dari aspek genetik, padi hibrida memiliki potensi hasil yang lebih tinggi, tetapi membutuhkan sistem dan teknologi produksi yang berbeda dengan varietas unggul biasa (Las, Abdullah, dan Daradjat, 2003). Padi hibrida yang ada saat ini masih memiliki beberapa kelemahan, seperti rasa nasinya yang kurang enak, peka terhadap hama wereng coklat dan penyakit hawar daun (kresek). Untuk mendapatkan produksi yang maksimal, padi hibrida harus ditanam pada tanah yang subur, hara tanah cukup tersedia, dosis pupuk optimal, pengairannya cukup, OPT-nya dikendalikan, dan pengelolaan tanaman secara keseluruhan dilakukan dengan baik (Sumarno, 2006).

Penelitian padi hibrida secara intensif dimulai pada tahun 2001. Berbagai galur padi hibrida telah dihasilkan melalui persilangan dengan melibatkan galur mandul jantan sitoplasmik (Cytoplasm Male Sterile/CMS) atau galur mandul jantan, galur pelestari (Maintainer/M), dan galur pemulih kesuburan (Restorer/R) (Las, Abdullah, dan Daradjat, 2003). Teknik penyilangannya berbeda dengan pembentukan hibrida jagung, karena padi adalah tanaman menyerbuk sendiri, artinya secara alami pollen menyerbuki putik pada bunga yang sama. Sehingga, pembentukan hibrida padi hanya dimungkinkan jika bunga jantan pada tanaman betina dibuat mandul dengan menggunakan CMS. Selain itu, waktu pembungaan antara CMS dan restorer pun harus diperhatikan, agar penyerbukan dapat berhasil dengan baik. Penyerbukan antara pollen dari restorer ke stigma biasanya dilakukan dengan menggunakan blower atau tali yang dipasang memanjang pada barisan antara restorer dan CMS yang kemudian digerak-gerakkan, sehingga pollen dari restorer bertebrangan dan jatuh pada stigma CMS. Kegiatan penyerbukan biasanya dilakukan pada pukul delapan pagi hingga sepuluh pagi, ketika bunga padi membuka. Skema pembuatan hibrida padi disajikan pada Gambar Lampiran 2.

(16)

Pengendalian Gulma

Anderson (1977) menyatakan bahwa gulma dan tanaman pertanian (crops) merupakan tanaman yang secara mendasar keduanya memiliki kebutuhan yang sama untuk tumbuh dan berkembang secara normal. Keduanya juga membutuhkan pasokan yang memadai akan nutrisi-nutrisi yang sama, kelembapan, cahaya, suhu, dan karbon dioksida (CO2).

Gulma berhasil bersaing dengan tanaman budidaya dengan menjadi lebih agresif saat tumbuh. Gulma memperoleh dan menggunakan unsur-unsur essensial (nutrisi, kelembapan, cahaya, suhu, dan karbon dioksida) bagi pertumbuhan dan perkembangan dengan mengalahkan tanaman budidaya, dan pada beberapa kasus, gulma juga mengekskresikan zat-zat kimia yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman budidaya (Anderson, 1977). Lahan padi secara khusus cocok bagi perkembangan dan penyebaran gulma akuatik dan semi-akuatik. Kebanyakan gulma yang ada di lahan padi merupakan teki-tekian (Cyperaceae) baik yang semusim maupun yang tahunan. Selain itu, rerumputan air (Echinochloa) juga biasa ditemukan di setiap lahan padi (Grist, 1965).

Kompetisi merupakan kejadian khas di lahan budidaya, meski kompetisi juga terjadi di banyak habitat lain yang sumberdaya tumbuhnya tersedia dengan terbatas. Kompetisi antara gulma dan tanaman budidaya yang terhebat biasanya terjadi saat tanaman kompetitor memiliki kesamaan dalam kebiasaan vegetatif dan kebutuhan akan sumberdaya tumbuh (National Academy of Sciences, 1969). Pada umumnya, kompetisi dengan gulma terjadi selama 6 minggu pertama atau setelah

transplanting juga cenderung mengakibatkan efek yang sangat merugikan bagi hasil produksi. Kompetisi dan munculnya gulma dalam masa vegetatif atau generatif saat mendekati waktu panen akan memberikan dampak yang sangat besar bagi kualitas hasil tanaman. Kehadiran gulma di lahan pertanian menyebabkan biaya bagi kegiatan pengendalian. Karenanya penyiangan gulma perlu dilakukan, untuk menghindari kehilangan hasil yang cukup besar dari produksi padi. Jika kehilangan hasil tersebut dapat dihindari, berarti ada banyak beras yang bisa diselamatkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Smith (1983) mengemukakan bahwa efek gangguan gulma yang berat dan biasa terjadi adalah kehilangan hasil karena kompetisi gulma di lahan padi.

(17)

Kehilangan hasil dipengaruhi oleh efisiensi kompetitif dari gulma dan padi, spesies atau golongan gulma, kerapatan gulma, lama kompetisi antara gulma dan padi, cara tanam, kultivar padi, tingkat kesuburan tanah, pengelolaan air, jarak tanam padi, allelopati, dan interaksi antara faktor-faktor tersebut di atas.

Spesies-spesies gulma yang menjadi masalah di pertanian padi bervariasi, tergantung pada tanah, temperatur, posisi garis lintang tempat, ketinggian tempat, cara budidaya, perbenihan, manajemen air, tingkat kesuburan tanah, dan teknologi pengendalian gulma yang diadopsi (Smith dan Moody, 1979 dalam Smith 1983).

Echinochloa crussgalli merupakan gulma yang paling bermasalah pada lahan padi di dunia. Echinochloa colona berada pada nomor ke-2 sebagai gulma penting di padi. Gulma ini (E. colona) tumbuh di daerah sepanjang garis ekuator, sedangkan E. crussgalli memiliki daerah sebaran yang lebih luas lagi yakni, dari utara hingga ke selatan. Selain itu, gulma-gulma penting lainnya di lahan padi dunia meliputi, Cyperus difformis, Cyperus rotundus, Cyperus iria, Eleusine

indica, Fimbristylis littoralis, Ischaemum rugosum, Monochoria vaginalis, Sphenochlea zeylanica (Holm et. al., 1977 dalam Smith, 1983), Commelina

benghalensis, Dactyloctenium aegyptium, Digitaria ciliaris, Paspalum distichum, Portulaca oleracea, dan Scirpus maritimus (IRRI, 1985).

Menurut Anderson (1977) ada 4 metode pengendalian gulma, yakni secara kultural, mekanis, kimia, dan biologi. Pengendalian gulma secara kultural meliputi penggunaan benih bersertifikat bebas biji gulma, penggunaan tanaman yang lebih kompetitif dari gulma, dan rotasi tanaman. Sedangkan cara mekanis meliputi, pencabutan gulma dengan tangan-manual (hand pulling), dengan cangkul, dipotong, penggenangan, dibakar, dan dengan penggunaan alat-alat pengolahan lahan (machine tillage). Cara kimia dilakukan dengan menggunakan zat-zat kimia yang bersifat organik maupun anorganik yang diaplikasikan di lahan pada berbagai kondisi tergantung jenis herbisida dan tanamannya. Cara biologi dilakukan dengan menggunakan organisme alami yang antagonis dari gulma tertentu.

Pengendalian gulma manual efektif untuk mengendalikan bibit gulma muda, baik yang semusim maupun yang 2 musim. Tetapi tidak efektif untuk mengontrol gulma tahunan, karena bagian reproduksi vegetatif dari gulma

(18)

tersebut berada di bawah tanah, sehingga biasanya tidak akan terganggu dengan pencabutan ini. Herbisida merupakan zat kimia phytotoxic yang mampu mematikan tanaman dan beberapa mampu mematikan tanaman tertentu tanpa memberikan efek pada tanaman lainnya (Anderson, 1977). Penggunaan herbisida ini harus tepat, baik secara jenis bahan aktif, jenis gulma yang akan dikendalikan, jenis tanaman budidaya, dosis, dan waktu aplikasi. Karena kecerobohan dalam penggunaan herbisida akan mengakibatkan kerugian secara ekonomi.

Penelitian mengenai padi di Filipina menunjukkan data bahwa penyiangan dengan herbisida meningkatkan hasil produksi secara signifikan melampaui hasil yang didapatkan dari plot yang tidak disiangi. Penyiangan dengan herbisida ini pun hasil produksinya kira-kira sama dengan penyiangan secara manual (Ashton dan Crafts, 1973). Matsunaka (1970) dalam Ashton dan Crafts (1973) mengemukakan bahwa ada indikasi peningkatan biaya dari pengendalian gulma di lahan padi di Jepang dan hal ini menunjukkan penghematan yang besar ketika tenaga pekerja (pengendalian gulma secara manual) disubstitusi oleh herbisida.

Herbisida Metilmetsulfuron

Metil metsulfuron adalah herbisida golongan sulfonilurea yang dapat digunakan sebagai herbisida pratumbuh dan purnatumbuh yang bersifat sistemik dan selektif. Herbisida ini lebih efektif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan lebih efektif ketika diaplikasikan secara pre-emergence. Nama kimia bahan aktif metil metsulfuron adalah metil 2,-{{{{(4-metoksi-6-6 metil, 1-3,5, triazin-2-yl)amino}karbonil}-amino}sulfonil}benzoat. Formulasi herbisida metil metsulfuron biasanya dalam bentuk tepung atapun butiran yang dapat terdispersi dalam air. Herbisida kelas sulfonilurea bekerja dengan cara menghambat kerja enzim acetolactate synthease (ALS). ALS merupakan enzim yangg berperan dalam pembentukan rantai cabang asam amino valin, leusin, dan isoleusin. Penghambatan ini dapat menyebabkan terhentinya pembelahan sel dan pertumbuhan sel. Herbisida ini mampu mengendalikan gulma daun lebar dan famili Cyperaceae (Roshid, 2006). Penambahan surfaktan pada saat aplikasi secara post-emergence akan menaikkan tingkat efikasi (Anderson, 1977).

(19)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 hingga bulan Februari 2007 di lahan sawah desa Carangpulang Dramaga-Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi, benih padi hibrida varietas Arize Hibrindo R-1 dengan dosis 15 kg/ha, pupuk Urea dosis 300 kg/ha, KCl 200 kg/ha, dan SP-36 100 kg/ha, Ally 20 WDG, pestisida, dan Furadan dosis 25 kg/ha. Alat yang digunakan meliputi, peralatan budidaya, mistar, etiket, cat, spidol waterproof, kuadrat ukuran 0.5 m x 0.5 m, knapsack sprayer, oven, dan neraca analitik.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan tiga ulangan. Perlakuan yang dicobakan terdiri atas tujuh perlakuan, yakni tanpa pengendalian gulma sebagai kontrol (K-0), pengendalian manual pada 3 MST (M-3), pengendalian manual pada 3 dan 6 MST (M-36), pengendalian manual 6 MST (M-6), pengendalian dengan herbisida pada 3 MST (H-3), pengendalian dengan herbisida pada 3 dan 6 MST (H-36), dan pengendalian dengan herbisida pada 6 MST (H-6). Satuan percobaan berupa petak dengan ukuran 5 m x 3.5 m. Jarak antar ulangan 50 cm dan jarak antar petak 20 cm. Total terdapat 21 satuan percobaan.

Model linear rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah: Yij = µ + Bi + Cj + εij.

Yij : Pengamatan pada blok ke-i, perlakuan cara dan waktu penyiangan ke-j.

µ : Rataan umum.

Bi : Pengaruh blok ke-i ; i : 1, 2, 3.

Cj : Pengaruh perlakuan cara penyiangan ke-j ; j : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7. εij : Galat pada blok ke-i, perlakuan cara penyiangan ke-j.

(20)

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Apabila hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata, dilakukan pengujian perbedaan nilai tengah antar perlakuan dengan uji Uji Beda Nyata Jujur (Tukey) pada taraf 5 %.

Pelaksanaan Percobaan Persiapan lahan

Pengolahan tanah dan pembuatan petak dilakukan 3 dan 4 minggu sebelum penanaman. Petakan dibuat dengan ukuran 5 m x 3.5 m, sebanyak 21 satuan petak percobaan.

Persemaian

Penyemaian benih padi dilakukan dengan dosis 15 kg benih/ha. Pada percobaan ini 1 kg benih digunakan untuk penyemaian. Kebutuhan lahan persemaiannya 20 m2. Pemupukan pada saat persemaian dilakukan dengan menggunakan dosis 22 g urea/m2, 17 g SP-36/m2, dan 10 g KCl/m2. Pemupukan dilakukan saat 7 HSS (hari setelah sebar).

Penanaman dan penyulaman

Penanaman bibit padi dilakukan saat bibit berumur 21 hari. Penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam 25 cm x 25 cm dengan 1 bibit per lubang tanam. Jumlah populasi per petak percobaan adalah 280 bibit tanaman atau 5880 bibit tanaman untuk keseluruhan petak percobaan. Penyulaman dilakukan pada 1 MST - 2 MST.

Pemupukan

Pemupukan dilakukan 3 kali dengan dosis total pupuk yang diaplikasikan adalah 270 kg Urea/ha, 100 kg KCl/ha, dan 135 kg SP-36/ha. Pada saat penanaman dilakukan pemupukan dengan dosis 90 kg/ha, 80 kg/ha, dan 135 kg/ha. Pemupukan kedua dilakukan pada 2 MST dengan dosis 90 kg/ha urea. Pemupukan ketiga dilakukan pada 6 MST dengan dosis urea 90 kg/ha dan KCl 20 Kg/ha. Pemupukan dilakukan dengan cara disebar (broadcast).

(21)

Pengendalian gulma

Perlakuan pengendalian gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 3 MST dan atau 6 MST, secara manual atau dengan herbisida. Setiap minggu, sejak tanaman berumur 3 MST hingga 12 MST, dilakukan pengambilan sampel gulma (duplo) dengan kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m. Hasil kuadran ini dianalisis berdasarkan jenis gulma, kerapatan, dan bobot keringnya. Untuk mendapatkan nilai bobot kering, gulma dioven pada suhu 105o C selama 24 jam.

Panen

Pemanenan dilakukan saat umur tanaman 124 HSS. Perontokan gabah dilakukan juga pada hari panen. Lalu gabah tersebut dikeringkan. Gabah kering tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut mengenai sifat-sifat fisiknya di Balai Besar Padi Sukamandi.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap 1 minggu sekali. Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh yang ditentukan secara acak per petak. Selain itu, pengamatan juga dilakukan pada saat panen hingga pascapanen. Pengamatan terhadap peubah produksi pada saat panen dilakukan secara ubinan (2 m x 2 m).

Peubah-peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi: A. Pengamatan saat masa vegetatif padi

1. Tinggi tanaman

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada 10 tanaman contoh per petak. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ke ujung daun tertinggi. Pengamatan dilakukan tiap minggu, mulai 1 MST - 8 MST. 2. Jumlah daun

Penghitungan dilakukan pada 10 tanaman contoh per petak. Daun yang dihitung adalah daun yang telah membuka penuh. Penghitungan jumlah daun dilakukan setiap minggu, mulai 1 MST hingga 8 MST.

(22)

3. Jumlah anakan

Penghitungan jumlah anakan dilakukan pada 10 tanaman contoh per petak. Penghitungan jumlah anakan dilakukan setiap minggu, mulai 1 MST hingga 8 MST.

4. Indeks luas daun (ILD)

Pengukuran ILD dilakukan pada 1 tanaman per petak yang memiliki penampilan sama dengan tanaman contoh. Pengukuran ILD menggunakan metode Gravimetri. Pengukuran dilakukan ketika vegetatif maksimum atau pada masa awal bunting (7 MST).

B. Pengamatan saat masa generatif padi 1. Saat heading

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh per petak. Pengamatan

heading dilakukan dengan mengamati secara visual kondisi malai pada tanaman.

2. Hari saat 50 % populasi berbunga.

Satu tanaman dianggap sudah berbunga jika sudah mengeluarkan bunga, walaupun hanya dari satu anakan. Hari saat 50% populasi berbunga diamati secara visual dari setiap petak perlakuan.

3. Jumlah Anakan Produktif

Pengamatan dilakukan dilakukan saat panen pada 10 tanaman contoh per petak.

4. Hari saat 80 % populasi siap panen

Populasi 80% siap panen adalah saat sebagian besar malai sudah mulai menguning, meski masih ada malai yang belum menguning. Pengamatan hari saat 80% populasi siap panen dilakukan secara visual dari setiap petak perlakuan.

5. Tinggi tanaman saat panen

Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ke ujung malai tertinggi. Pengamatan tinggi tanaman saat panen dilakukan pada 124 HSS (saat panen) pada 10 tanaman contoh per petak.

(23)

6. Panjang malai

Panjang malai padi diukur dari titik awal muncul malai hingga ujung malai. Pengukuran panjang malai dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak. Panjang malai diamati setelah panen.

7. Jumlah bulir per malai

Penghitungan jumlah bulir per malai dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak. Jumlah bulir per malai diamati setelah panen.

8. Bobot gabah per malai

Penghitungan bobot gabah per malai dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak. Bobot gabah per malai diamati setelah panen.

9. Jumlah gabah isi

Penghitungan jumlah gabah isi dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak. Jumlah gabah isi diamati setelah panen.

10. Jumlah gabah hampa

Penghitungan jumlah gabah hampa dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak. Jumlah gabah hampa diamati setelah panen.

11. Persentase pengisian gabah

Penghitungan persentase pengisian gabah dilakukan berdasarkan jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa {∑ gabah isi/(∑ gabah isi + ∑ gabah hampa) * 100}.

12. Hasil panen

Bobot hasil panen (kg) (bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling) dihitung berdasarkan hasil ubinan berukuran 2 m x 2 m yang diambil pada setiap petak perlakuan.

13. Bobot gabah 1000 butir

Bobot gabah 1000 butir dihitung dari gabah kering giling per perlakuan.

(24)

14. Penilaian serangan hama penyakit

Penilaian serangan hama penyakit dilakukan dengan cara skoring dengan

range 1 - 9. Menurut Sudjono dan Sudarmadi (1989): Skor 1 : < 1 %; kerusakan daun sedikit.

Skor 3 : 1 % - 5 %; kerusakan daun berukuran hingga 1 cm. Skor 5 : 5 % - 25 %; kerusakan daun berukuran 1 cm.

Skor 7 : 25% - 50 %; kerusakan hampir sebagian daun dan belum robek. Skor 9 : 50 % - 100 %; kerusakan sangat berat dan menyebabkan daun mati.

C. Pengamatan mutu fisik beras

Mutu fisik beras yang diamati antara lain persentase beras setelah giling, persentase beras kepala, persentase beras menir, dan persentase pengapuran. Pengamatan dilakukan di laboratorium Balai Besar Padi Sukamandi. Peralatan pengamatan mutu fisik beras disajikan pada Gambar Lampiran 2.

D. Pengamatan gulma

1. Jenis-jenis spesies gulma

Contoh gulma yang telah diambil dari lapangan dipisahkan berdasarkan spesiesnya masing-masing.

2. Jumlah individu per spesies

Setelah gulma dipisahkan berdasarkan spesiesnya masing-masing, kemudian dihitung jumlah individu per spesies.

3. Bobot kering tiap spesies

Penghitungan bobot kering dilakukan dengan cara mengoven gulma pada suhu 1050 C selama 1 hari atau 60o C selama suhu 60o C selama 3 hari, selanjutnya ditimbang.

4. Dominansi gulma

Dominansi gulma dianalisis dengan menggunakan metode SDR (sum

dominancy ratio). Nilai SDR dicari berdasarkan rata-rata 3 nilai penting, yakni kerapatan nisbi, frekuensi nisbi, dan bobot kering nisbi. Analisis dominansi gulma dilakukan pada awal dan akhir percobaan.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Percobaan ini dilakukan mulai bulan Oktober 2007 hingga Februari 2008. Selama berlangsungnya percobaan, curah hujan berkisar antara 236 mm sampai dengan 377 mm. Curah hujan cukup tinggi terjadi selama masa menjelang panen hingga pascapanen. Lama penyinaran berkisar antara 7 % - 61 %, intensitas cahaya 254 kal/m2- 356 kal/m2, kelembaban udara berkisar antara 81 % - 90 %.

Hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi selama percobaan dan tingkat serangannya pada tanaman padi disajikan pada Tabel 1. Hama keong mas (Pomacea canaliculata) merupakan hama utama dengan intensitas serangan pada skore 5, disusul hama walang sangit (Leptocorisa acuta), penggerek batang (stem

borer) yang menyebabkan beluk, kepinding tanah (Scotinophara vermiculata), dan penyakit tungro yang disebabkan oleh N. virescens (Gambar 1).

Tabel 1. Skoring intensitas serangan hama-penyakit pada lahan percobaan

Hama-Penyakit Nilai

Keong Mas (P. canaliculata) 5

Tungro (N. virescens) 3

Beluk (Scirpophaga sp.) 1

Kepinding Tanah (S. vermiculata) 1

Walang Sangit (L. acuta) 3

Pengendalian keong mas dilakukan secara manual dengan cara mengambil individu keong mas yang ada di lahan. Pengendalian walang sangit dilakukan dengan menyemprotkan insektisida berbahan aktif deltametrin dengan konsentrasi 1 cc/l. Hama penggerek batang dan kepinding tanah tidak dikendalikan, karena intensitas serangannya relatif rendah. Intensitas penyakit tungro rendah, namun tetap dikendalikan dengan cara mencabut dan memendam tanaman agar tidak menjadi sumber penularan penyakit bagi tanaman yang lainnya.

(26)

a b c

d e

Gambar 1. Hama dan penyakit yang menyerang padi hibrida; (a) Tungro, (b) Keong Mas, (c) Beluk, (d) Walang sangit, dan

(e) Kepinding Tanah

Pertumbuhan Gulma Analisis Vegetasi Gulma Awal dan Akhir

Hasil analisis vegetasi pada awal percobaan berdasarkan perhitungan Sum

Dominancy Ratio (SDR) menunjukkan bahwa gulma yang mendominasi lahan percobaan adalah gulma spesies F. milliaceae dari golongan teki, diikuti oleh gulma spesies L. Octovalvis dan L. Crustaceae dari golongan gulma berdaun lebar dan spesies gulma lainnya dengan SDR kurang dari 1% (Tabel 2 dan Gambar 2).

Tabel 2. Analisis vegetasi gulma pada lahan sebelum perlakuan pengendalian gulma

No. Spesies Golongan SDR (%)

1 Fimbristylis milliaceae Teki 80.45

2 Ludwigia octovalvis Daun lebar 14.25

3 Lindernia crustaceae Daun lebar 4.00

4 Gulma lainnya - 1.30

(27)

a b c

Gambar 2. Gulma-gulma yang ada di lahan percobaan : (a). F. milliaceae, (b). L. octovalvis, (c). L. crustaceae

Analisis vegetasi gulma pada akhir pengamatan gulma (12 MST) menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma menyebabkan perubahan dominansi gulma pada lahan percobaan. Tabel 3 memperlihatkan bahwa pengendalian gulma secara manual dapat menekan gulma F. milliaceae, sehingga gulma yang dominan berubah menjadi gulma Eriocaulon sieboldianum. Pengendalian gulma dengan herbisida tidak menyebabkan perubahan dominansi gulma F. milliaceae. Terlihat bahwa gulma F. milliaceae masih merupakan gulma dominan pada lahan tersebut dengan SDR 81.26%. Hal ini diduga bahwa pada saat 3 MST gulma F. milliaceae sudah berkembang lebih dewasa, sehingga aplikasi herbisida metilmetsulfuron tidak dapat mengendalikan gulma tersebut.

Gulma dominan pada perlakuan kontrol pada akhir pengamatan adalah spesies F. milliaceae, diikuti L. crustaceae, E. sieboldianum, dan S. zeylanica. Gulma dominan pada pengendalian gulma manual adalah gulma E. sieboldianum,

F. milliaceae, dan L. Crustaceae. Gulma dominan pada perlakuan pengendalian dengan herbisida adalah F. milliaceae, S. zeylanica, dan L. Crustaceae.

Gulma L. octovalvis yang merupakan gulma dominan setelah gulma F.

milliaceae pada awal percobaan terlihat menurun dominansinya, baik pada petak kontrol maupun petak perlakuan pengendalian manual dan herbisida. Penurunan dominansi gulma L. octovalvis pada petak kontrol diduga disebabkan oleh persaingan gulma tersebut dengan tajuk tanaman padi. Pada pengendalian gulma secara manual, gulma L. octovalvis tertekan oleh kegiatan penyiangan manual. Sedangkan pada pengendalian dengan herbisida, gulma tersebut tertekan oleh aplikasi herbisida metil metsulfuron.

(28)

Gambar 3.

(29)

Tabel 3. Analisis vegetasi gulma pada akhir pengamatan gulma (12 MST)

Spesies Golongan SDR (%)

Kontrol

Fimbristylis milliaceae Teki 66.24

Lindernia crustaceae Daun lebar 13.17

Eriocaulon sieboldianum - 10.84

Sphenochlea zeylanica Daun lebar 9.75

Total 100.0 Penyiangan Manual

Eriocaulon sieboldianum - 46.38

Fimbristylis milliaceae Teki 40.66

Lindernia crustaceae Daun lebar 7.07

Gulma lainnya 5.89

Total 100.0

Penyiangan Herbisida

Fimbristylis milliaceae Teki 81.26

Sphenochlea zeylanica Daun lebar 4.92

Lindernia crustaceae Daun lebar 4.91

Gulma lainnya - 8.91

Total 100.0

Bobot Kering Biomassa Gulma Total

Pertumbuhan gulma pada petak percobaan berdasarkan berat keringnya disajikan pada Gambar 3. Rata-rata bobot kering gulma selama 12 minggu yang terbesar ditunjukkan oleh petak kontrol, yakni sebesar 25.6 gram, kemudian diikuti oleh perlakuan pengendalian dengan herbisida pada 3 MST sebesar 16.73 gram, 6 MST sebesar 16.73 gram, dan pengendalian dengan herbisida 3 dan 6 MST sebesar 16.58 gram. Sedangkan petak perlakuan pengendalian lainnya, manual 3 MST, 6 MST, 3 dan 6 MST, masing-masing memiliki bobot gulma berturut-turut rata-rata sebesar 5.23 gram, 4.45 gram, dan 2.26 gram. Pengendalian dengan herbisida memiliki bobot kering gulma per minggu yang lebih tinggi dari manual, namun lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.

(30)

Gambar 4. Bobot kering gulma

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Tinggi Tanaman

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pen

berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi hibrida pada saat pengamatan 1 MST 8 MST (Tabel Lampiran 2)

cm setiap minggunya. Saat pengukuran terakhir, tinggi tanaman berkisar antara 72.53 cm - 79.49 cm. Pertumbuhan tinggi tanaman padi hibrida disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Tinggi tanaman

. Bobot kering gulma total pada 3 MST – 12 MST Pertumbuhan Vegetatif Tanaman

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi hibrida pada saat pengamatan 1 MST

(Tabel Lampiran 2). Pertumbuhan tinggi tanaman rata-rata bertambah 10 cm setiap minggunya. Saat pengukuran terakhir, tinggi tanaman berkisar antara 79.49 cm. Pertumbuhan tinggi tanaman padi hibrida disajikan pada

. Tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan pengendalian gulma gulma tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi hibrida pada saat pengamatan 1 MST - rata bertambah 10 cm setiap minggunya. Saat pengukuran terakhir, tinggi tanaman berkisar antara 79.49 cm. Pertumbuhan tinggi tanaman padi hibrida disajikan pada

(31)

Jumlah Daun

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman padi hibrida mulai pengamatan 1 MST hingga 8 MST (Tabel Lampiran 4)

mulai 1 MST hingga tercapai jumlah daun maksimum pada saat 7 MST, kemudian pada pengamatan 8 MST jumlah daun terlihat menurun. Jumlah daun maksimum tanaman padi hibrida tiap rumpun berkisar antara 70

Pertambahan jumlah daun tanaman padi hibrida

Gambar 6. Jumlah daun padi pa Indeks Luas Daun

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma berpengaruh terhadap indeks luas daun (ILD)

Tabel 4, terlihat bahwa pengendalian

ILD yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan perlakuan pengendalian lainnya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan pengendalian gulma

Pengendalian gulma manual cenderung menghasilkan nilai ILD rata lebih besar dibandingkan dengan pen

3.35, sedangkan pengendali sebesar 3.05.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman padi hibrida mulai pengamatan 1 (Tabel Lampiran 4). Pertumbuhan jumlah daun meningkat MST hingga tercapai jumlah daun maksimum pada saat 7 MST, kemudian pada pengamatan 8 MST jumlah daun terlihat menurun. Jumlah daun maksimum tanaman padi hibrida tiap rumpun berkisar antara 70 daun

-han jumlah daun tanaman padi hibrida disajikan pada Gambar

. Jumlah daun padi pada berbagai perlakuan pengendalian gulma

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma berpengaruh terhadap indeks luas daun (ILD) (Tabel Lampiran 5). Berdasarka Tabel 4, terlihat bahwa pengendalian gulma manual pada 3 MST menunjukkan ILD yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan perlakuan n lainnya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. ngendalian gulma menghasilkan ILD yang lebih besar dari kontrol.

manual cenderung menghasilkan nilai ILD rata

lebih besar dibandingkan dengan pengendalian dengan herbisida, yakni sebesar ngendalian dengan herbisida menghasilkan nilai ILD rata Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman padi hibrida mulai pengamatan 1 . Pertumbuhan jumlah daun meningkat MST hingga tercapai jumlah daun maksimum pada saat 7 MST, kemudian pada pengamatan 8 MST jumlah daun terlihat menurun. Jumlah daun - 100 daun. disajikan pada Gambar 6.

gendalian gulma

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma . Berdasarkan manual pada 3 MST menunjukkan ILD yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan perlakuan n lainnya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. menghasilkan ILD yang lebih besar dari kontrol. manual cenderung menghasilkan nilai ILD rata-rata yang an dengan herbisida, yakni sebesar an nilai ILD rata-rata

(32)

Tabel 4. Indeks luas daun pengendalian gulma Perlakuan Kontrol Manual 3 MST Manual 6 MST Manual 3, 6 MST Herbisida 3 MST Herbisida 6 MST Herbisida 3, 6 MST

Keterangan : angka yang diikuti oleh huru Tukey taraf 5%

Jumlah Anakan

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pen

berpengaruh terhadap jumlah anakan pada saat pengamatan 1 MST (Tabel Lampiran 3). Pertumbuhan anakan terlihat lambat pada 1 MST fase pembentukan anakan cepat terjadi antara 4 MST

maksimum dicapai pada saat

20 anakan - 25 anakan per rumpun. Pert

disajikan pada Gambar 6. Kondisi pertumbuhan anakan tanaman padi pada saat 9 MST dari berbagai perlakuan disajikan pada Gambar

Gambar 7. Jumlah anakan padi pa

Tabel 4. Indeks luas daun (ILD) padi pada berbagai perlakuan gendalian gulma ILD 2.23b 3.75a 2.91ab 3.40ab 2.87ab 3.36ab 2.91ab

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji taraf 5%

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma berpengaruh terhadap jumlah anakan pada saat pengamatan 1 MST

. Pertumbuhan anakan terlihat lambat pada 1 MST

fase pembentukan anakan cepat terjadi antara 4 MST - 6 MST, dan jumlah anakan maksimum dicapai pada saat 7 MST. Jumlah anakan maksimum berkisar antara 25 anakan per rumpun. Pertambahan jumlah anakan padi hibrida disajikan pada Gambar 6. Kondisi pertumbuhan anakan tanaman padi pada saat 9 MST dari berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 7.

. Jumlah anakan padi pada berbagai perlakuan pengendalian gulma ILD 2.23b 3.75a 2.91ab 3.40ab 2.87ab 3.36ab 2.91ab

idak berbeda nyata pada uji

gendalian gulma tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan pada saat pengamatan 1 MST - 8 MST . Pertumbuhan anakan terlihat lambat pada 1 MST - 4 MST, 6 MST, dan jumlah anakan 7 MST. Jumlah anakan maksimum berkisar antara han jumlah anakan padi hibrida disajikan pada Gambar 6. Kondisi pertumbuhan anakan tanaman padi pada saat 9

(33)

a b c d e f g

Gambar 8. Kondisi pertumbuhan anakan tanaman pada saat 9 MST dari berbagai perlakuan pengendalian gulma; (a) kontrol,

(b) manual 3 MST, (c) manual 6 MST, (d) manual 3, 6 MST, (e) herbisida 3 MST, (f) herbisida 6 MST, dan

(34)

Pertumbuhan Generatif dan Komponen Hasil Tanaman Saat Heading, 50 % Populasi Berbunga, dan 80% Populasi Siap Panen

Perlakuan pengendalian gulma tidak mempengaruhi saat heading padi hibrida (Tabel Lampiran 6). Saat heading terjadi pada 87 HSS. Waktu 50% populasi berbunga dan 80% populasi siap panen juga tidak berbeda antar perlakuan pengendalian gulma. Waktu 50% populasi berbunga terjadi antara 95 HSS - 100 HSS. Waktu 80% populasi siap panen tercapai pada 119 HSS (Tabel 5).

Tabel 5. Saat heading, 50 % populasi berbunga, dan 80 % populasi siap panen pada berbagai perlakuan pengendalian gulma

Perlakuan Saat Heading 50% Berbunga 80% Siap Panen ---HSS--- Kontrol 87 97.7 119 Manual 3 MST 87 97.7 119 Manual 6 MST 87 100.0 119 Manual 3, 6 MST 87 97.7 119 Herbisida 3 MST 87 100.0 119 Herbisida 6 MST 87 95.3 119 Herbisida 3, 6 MST 87 97.7 119

Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan saat Panen

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada saat panen (Tabel Lampiran 7 - 8). Tinggi tanaman pada saat panen disajikan pada Tabel 5. Tinggi tanaman saat panen pada semua perlakuan berkisar antara 86.85 cm sampai dengan 92.99 cm. Pengendalian manual pada 3 MST memberikan rata-rata tinggi tanaman saat panen tertinggi. Kondisi tinggi tanaman saat panen disajikan dalam Gambar 9.

Perlakuan pengendalian tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif, jumlah anakan tidak produktif, dan jumlah anakan total pada rumpun tanaman padi hibrida. Jumlah anakan produktif dari semua perlakuan berkisar antara 10.33 anakan – 14.23 anakan, jumlah anakan tidak produktif berkisar antara 0.27 anakan - 1.00 anakan, dan jumlah anakan total berkisar antara 11.33 anakan - 16.77 anakan (Tabel 6). Jumlah anakan produktif dan total terbaik diperoleh petak perlakuan pengendalian gulma dengan herbisida pada 6 MST. Sedangkan jumlah anakan produktif terbanyak diperoleh petak kontrol.

(35)

Tabel 6. Tinggi tanaman padi saat panen, jumlah anakan produktif (JAP), jumlah anakan tidak produktif (JATP), dan jumlah anakan total

(JAT) pada berbagai perlakuan pengendalian gulma Perlakuan Tinggi Tanaman Panen (cm)

15 MST

JAP JATP JAT

Kontrol 88.00 10.33 1.00 11.33 Manual 3 MST 92.99 12.97 0.77 13.70 Manual 6 MST 88.38 12.47 0.37 12.83 Manual 3, 6 MST 91.67 13.50 0.37 13.83 Herbisida 3 MST 88.13 11.80 0.77 12.57 Herbisida 6 MST 86.85 14.23 0.83 16.77 Herbisida 3, 6 MST 87.39 12.37 0.27 12.60

Gambar 9. Tinggi tanaman saat panen pada berbagai perlakuan pengendalian gulma

Bobot Malai per Rumpun dan Panjang Malai

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian tidak berpengaruh terhadap bobot malai per rumpun dan panjang malai (Tabel Lampiran 9). Bobot malai per rumpun dari semua perlakuan berkisar antara 19.71 g – 32.84 g, sedangkan panjang malai berkisar antara 25.11 cm – 26.57 cm (Tabel 7). Bobot malai per rumpun yang terbaik diperoleh perlakuan pengendalian gulma manual 3 dan 6 MST, sedangkan panjang malai terbaik diperoleh perlakuan pengendalian gulma manual 3 MST. Gambar 10 menunjukkan kondisi malai pada berbagai perlakuan pengendalian gulma.

(36)

Tabel 7. Bobot malai per rumpun dan panjang malai pada berbagai perlakuan pengendalian gulma

Perlakuan Bobot Malai per Rumpun

(g) Panjang Malai (cm) Kontrol 19.71 25.11 Manual 3 MST 31.13 26.57 Manual 6 MST 26.61 25.29 Manual 3, 6 MST 32.84 25.10 Herbisida 3 MST 31.19 25.28 Herbisida 6 MST 23.39 25.77 Herbisida 3, 6 MST 23.89 25.65

Gambar 10. Panjang malai pada berbagai perlakuan pengendalian gulma Jumlah Gabah dan Bobot Gabah per Malai

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian tidak berpengaruh terhadap jumlah gabah total per malai, jumlah gabah isi per malai dan jumlah gabah hampa per malai (Tabel Lampiran 9). Jumlah gabah total dari semua perlakuan berkisar antara 133.5 butir - 164.9 butir per malai, jumlah gabah isi berkisar antara 87.7 butir - 114.9 butir per malai, dan jumlah gabah hampa berkisar antara 43.5 butir - 57.2 butir per malai.

Perlakuan pengendalian juga tidak berpengaruh terhadap bobot gabah total per malai, bobot gabah isi per malai, dan bobot gabah hampa per malai. Bobot gabah total per malai dari semua perlakuan berkisar antara 2.36 g - 2.71 g, bobot gabah isi per malai berkisar antara 2.15 g - 2.94 g, dan jumlah gabah hampa per malai berkisar antara 0.21 g - 0.30 g (Tabel 8).

(37)

Tabel 8. Jumlah gabah dan bobot gabah per malai pada berbagai perlakuan pengendalian gulma

Perlakuan Jumlah Gabah per Malai Bobot Gabah per Malai Total Isi Hampa Total Isi Hampa

---butir--- ---g--- Kontrol 133.48 87.72 47.38 2.39 2.16 0.24 Manual 3 MST 164.92 114.90 50.02 3.22 2.94 0.28 Manual 6 MST 140.56 97.07 43.49 2.52 2.35 0.21 Manual 3, 6 MST 146.80 97.65 49.16 2.62 2.30 0.23 Herbisida 3 MST 142.13 92.78 49.35 2.51 2.21 0.25 Herbisida 6 MST 136.30 90.67 45.63 2.36 2.15 0.21 Herbisida 3, 6 MST 157.09 99.82 57.23 2.71 2.43 0.30 Persentase Gabah Isi, Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap persentase pengisian gabah dan bobot 1000 butir (Tabel Lampiran 9). Persentase gabah isi berkisar antara 84.53% - 91.34%, sedangkan persentase gabah hampa berkisar antara 8.62% - 13.66%. Bobot gabah 1000 butir berkisar antara 25.28 g – 28.02 g (Tabel 9).

Tabel 9. Persentase gabah isi, gabah hampa, dan bobot 1000 butir pada berbagai perlakuan pengendalian gulma

Perlakuan Persentase Gabah Isi Persentase Gabah Hampa Bobot 1000 Butir ---%--- ---g--- Kontrol 86.34 13.66 25.61 Manual 3 MST 89.88 10.12 26.73 Manual 6 MST 91.34 8.62 28.02 Manual 3, 6 MST 89.37 10.63 26.17 Herbisida 3 MST 84.53 15.47 26.09 Herbisida 6 MST 89.84 10.16 25.28 Herbisida 3, 6 MST 89.12 10.88 25.95

Bobot Gabah Kering Panen (GKP) dan Giling (GKG) Ubinan dan Dugaan Hasil per Hektar

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian tidak berpengaruh terhadap bobot gabah ubinan panen (GKP), bobot gabah ubinan kering giling (GKG), dugaan bobot gabah panen per hektar dan dugaan bobot gabah kering per hektar (Tabel Lampiran 10). Bobot gabah ubinan panen berkisar antara 1.91 kg - 3.44 kg dan bobot gabah ubinan kering berkisar antara 1.27 kg –

(38)

2.63 kg. Hasil gabah kering per hektar berkisar antara 4.10 ton – 6.58 ton (Tabel 10). Hasil gabah ubinan panen maupun kering serta dugan hasil GKP dan GKG per hektar yang terbaik diperoleh perlakuan pengendalian manual 3 dan 6 MST. Hasil rata-rata bobot gabah ubinan dan dugaan hasil per hektar pada pengendalian gulma manual lebih baik dibandingkan pengendalian gulma dengan herbisida, dan pengendalian dengan herbisida memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Hasil GKG rata-rata per hektar pada penyiangan manual mencapai 6.25 ton/ha, lebih besar 16.39% dibandingkan hasil GKG rata-rata per hektar penyiangan dengan herbisida yang mencapai 5.37 ton/ha. Namun hasil GKG pengendalian dengan herbisida tersebut masih lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol yang mencapai 4.10 ton/ha.

Tabel 10. Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling ubinan, dan dugaan produksi per hektar pada berbagai perlakuan

pengendalian gulma

Perlakuan Bobot Gabah Dugaan Hasil

GKP GKG GKP GKG ---Kg/4m2--- ---Ton/ha--- Kontrol 1.91 1.27 4.77 4.10 Manual 3 MST 3.20 2.56 8.00 6.40 Manual 6 MST 2.85 2.30 7.13 5.77 Manual 3, 6 MST 3.44 2.63 8.60 6.58 Herbisida 3 MST 2.38 2.01 5.96 5.02 Herbisida 6 MST 2.64 2.17 6.60 5.44 Herbisida 3, 6 MST 2.72 2.26 6.79 5.66

Mutu Fisik Beras

Perlakuan pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap mutu fisik beras. Perlakuan pengendalian manual dan herbisida baik pada 3 MST, 6 MST, maupun 3 dan 6 MST menghasilkan persentase rendemen beras giling, beras kepala, beras pecah, menir, dan butir kapur yang sebanding dengan kontrol (Tabel Lampiran 11). Persentase rendemen beras giling berkisar antara 67.63% - 69.22%, persentase beras kepala berkisar antara 83.3% - 88.1%, persentase beras pecah berkisar antara 11.3% - 16.0%, persentase menir berkisar antara 0.6% - 0.8%, dan persentase butir kapur berkisar antara 0.8% - 1.2% (Tabel 11). Namun, berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa perlakuan pengendalian gulma baik secara

(39)

manual maupun dengan herbisida cenderung menghasilkan mutu fisik beras yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan pengendalian manual dan pengendalian herbisida menghasilkan rendemen beras giling rata-rata berturut-turut sebesar 68.96% dan 67.97%, lebih tinggi dibadingkan dengan kontrol (67.63%). Kondisi beras kepala, pecah, menir, dan butir mengapur pada berbagai perlakuan pengendalian disajikan pada Gambar 11.

Tabel 11. Mutu fisik beras pada berbagai perlakuan pengendalian gulma Perlakuan Rendemen Beras Giling Beras Kepala Beras Pecah Menir Butir Kapur ---%--- Kontrol 67.63 83.31 16.01 0.68 0.89 Manual 3 MST 69.22 86.80 12.54 0.66 1.11 Manual 3, 6 MST 68.84 88.06 11.34 0.60 1.16 Manual 6 MST 68.83 84.61 14.69 0.70 1.09 Herbisida 3 MST 67.73 85.75 13.60 0.65 0.79 Herbisida 6 MST 68.30 87.10 12.15 0.75 1.66 Herbisida 3, 6 MST 67.88 85.11 14.18 0.71 0.87 a b c d

Gambar 11. Mutu fisik beras pada berbagai perlakuan pengendalian gulma; (a) beras kepala, (b) beras pecah, (c) beras menir, dan

(40)

Pembahasan Pertumbuhan Gulma

Perlakuan pengendalian gulma manual pada 3 dan atau 6 MST menghasilkan bobot kering gulma total yang cenderung lebih rendah dari bobot kering gulma yang diambil dari petak yang disiangi dengan herbisida (Gambar 3). Petak percobaan yang dikendalikan secara manual cenderung menurunkan bobot kering gulma setelah disiangi. Hal ini disebabkan oleh cara kerja pengendalian manual yang mencabut keseluruhan tanaman selain padi yang ada di petakan, sehingga tidak ada lagi gulma di petak yang bersangkutan dan gulma yang dikendalikan dengan herbisida cenderung tidak mengalami penurunan bobot kering gulma setelah disiangi. Hal ini diduga karena herbisida berbahan aktif metil metsulfuron (golongan sulfonilurea) yang digunakan pada percobaan ini tidak mematikan gulma di lahan. Sehingga menyebabkan hasil rata-rata bobot kering gulma yang tidak berbeda antara perlakuan kontrol, manual, dan dengan herbisida. Namun, cara pengendalian gulma (kontrol, manual, dan herbisida) mempengaruhi dominansi dan komposisi gulma di lahan percobaan (Tabel 3).

Ketidakefektifan herbisida yang digunakan terlihat terutama untuk gulma spesies F. milliaceae. Hal ini diduga disebabkan oleh waktu aplikasi herbisida yang dilakukan pada saat post-emergence yaitu pada 3 MST dan atau 6 MST. Menurut Anderson (1977) herbisida berbahan aktif metil metsulfuron lebih efektif jika diaplikasikan saat pre-emergence. Pada saat aplikasi herbisida diduga kondisi gulma terutama spesies F. milliaceae berada pada stadium yang toleran terhadap aplikasi herbisida metilmetsulfuron, sehingga gulma tersebut tetap dominan pada akhir pengamatan.

Aplikasi herbisida terlihat menekan gulma L. octovalvis. Hal ini terlihat dari perubahan dominansi gulma tersebut yang pada saat awal percobaan merupakan gulma dominan kedua, namun pada akhir pengamatan dominansinya menurun. Secara umum pengendalian gulma dengan herbisida golongan sulfonilurea ini tetap memberikan efek negatif pada pertumbuhan gulma di lapangan, meskipun berat kering total gulma tidak siginifikan dengan perlakuan kontrol. Hal ini didukung oleh Ashton dan Monaco (1991) yang menyatakan bahwa aplikasi herbisida golongan sulfonilurea pada beberapa spesies gulma yang

(41)

rentan tidak menyebabkan klorosis (daun masih hijau), namun pertumbuhan gulma terhambat dan menjadi tidak kompetitif.

Pertumbuhan Padi Hibrida

Pengendalian gulma yang dilakukan selama percobaan tidak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan padi hibrida. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan vegetatif padi hibrida sejak 1 MST hingga 8 MST yang tidak berbeda antar petak perlakuan (Gambar 4 - 6). Begitupun dengan perkembangan padi hibrida, peubah-peubah pada masa generatif tidak menunjukkan perbedaan antar petak perlakuan (Tabel 6 - 11). Hal ini menunjukkan bahwa ada atau tidaknya gulma di lahan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan padi hibrida. Menurut Sukman dan Yakup (2002) pengendalian gulma diperlukan oleh sebagian besar tanaman untuk mencegah pertumbuhan gulma yang dapat meningkatkan persaingan inter-spesifik antara gulma dan tanaman, sehingga berdampak bagi penurunan hasil yang diperoleh.

Hasil yang tidak berbeda antar perlakuan pada percobaan ini diduga terjadi akibat dominansi gulma F. milliaceae yang ada di lahan selama percobaan ini berlangsung. Smith (1983) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kehilangan hasil adalah spesies atau golongan gulma yang mendominansi, selain faktor-faktor lainnya seperti efisiensi kompetitif gulma dan padi, kerapatan gulma, lama kompetisi antara gulma dan padi, cara tanam, kultivar padi, tingkat kesuburan tanah, pengelolaan air, jarak tanam padi, allelopati, dan interaksi antara faktor-faktor tersebut di atas. Percobaan yang dilakukan oleh Pons dan Kruif (1985) dalam Tjitrosoemito (1994) pun menunjukkan bahwa keberadaan gulma F. milliaceae sebanyak 4 individu tanaman yang ditanam dalam pot yang sama dengan 2 tanaman padi tidak berdampak bagi pertumbuhan padi. Pada percobaan yang sama juga, namun spesies gulmanya disubstitusi dengan Echinochloa crus-galli atau Cyperus iria, ternyata memberikan dampak pada penurunan jumlah anakan dan bobot kering tanaman padi. Hal tersebut menegaskan bahwa dominansi gulma di lapangan turut mempengaruhi hasil padi. Dalam hal ini, spesies gulma F. milliaceae tidak menurunkan hasil padi hibrida secara signifikan. Kondisi ini dapat dicapai juga dengan memperhatikan

(42)

faktor-faktor lainnya, terutama pengelolaan antara 3 cm - 5 cm.

tergenang (Galinato, et al

periode kering atau kondisi air yang kurang (Waterhouse, 1994

mengemukakan bahwa menurunkan tinggi genangan air akan mengekspos tanah terhadap udara, yang akan menyebabkan difusi oksigen ke dalam tanah meningkat. Akibatnya, konsentrasi oksigen yang tinggi di dalam tanah akan menginisiasi pertumbuhan biji-biji gulma.

Hasil Padi Hibrida

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengendalian gulma secara manual atau dengan herbisida pada 3 MST dan atau 6 MST serta kontrol (tidak disiangi) tidak mempengaruhi hasil gabah kering panen padi hibrida, begitu pula

hasil gabah kering giling dan antara 4.10 ton/ha - 6.58 ton/ha

gulma pada tanaman padi secara manual cenderung memberikan hasil yang lebih baik apabila pengendalian gulma sudah mulai dilakukan pada

ditunjukkan oleh Gambar 11, bahwa pengendalian pada 3 MST saja dan pengendalian pada 3 MST dan 6 MST cenderung

baik dibandingkan dengan

faktor lainnya, terutama pengelolaan air. Pada percobaan ini, ketinggian air dijaga 5 cm. F. milliaceae tidak tumbuh dengan baik pada kondisi

et al. , 1999), tetapi akan tumbuh dengan pesat selama periode kering atau kondisi air yang kurang (Waterhouse, 1994). Bayer (1991) mengemukakan bahwa menurunkan tinggi genangan air akan mengekspos tanah terhadap udara, yang akan menyebabkan difusi oksigen ke dalam tanah meningkat. Akibatnya, konsentrasi oksigen yang tinggi di dalam tanah akan menginisiasi

biji gulma.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengendalian gulma secara manual atau dengan herbisida pada 3 MST dan atau 6 MST serta kontrol (tidak disiangi) tidak mempengaruhi hasil gabah kering panen padi hibrida, begitu pula

hasil gabah kering giling dan dugaan hasil konversi GKG per hektar yang berkisar 6.58 ton/ha (Gambar 11), serta mutu fisik padi. Pengendalian gulma pada tanaman padi secara manual cenderung memberikan hasil yang lebih

ila pengendalian gulma sudah mulai dilakukan pada 3 MST

ditunjukkan oleh Gambar 11, bahwa pengendalian pada 3 MST saja dan pengendalian pada 3 MST dan 6 MST cenderung memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengendalian gulma secara manual pada 6 MST

Gambar 11. Hasil GKG (ton/ha)

air. Pada percobaan ini, ketinggian air dijaga tidak tumbuh dengan baik pada kondisi . , 1999), tetapi akan tumbuh dengan pesat selama ). Bayer (1991) mengemukakan bahwa menurunkan tinggi genangan air akan mengekspos tanah terhadap udara, yang akan menyebabkan difusi oksigen ke dalam tanah meningkat. Akibatnya, konsentrasi oksigen yang tinggi di dalam tanah akan menginisiasi

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengendalian gulma secara manual atau dengan herbisida pada 3 MST dan atau 6 MST serta kontrol (tidak disiangi) tidak mempengaruhi hasil gabah kering panen padi hibrida, begitu pula dengan per hektar yang berkisar , serta mutu fisik padi. Pengendalian gulma pada tanaman padi secara manual cenderung memberikan hasil yang lebih 3 MST. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 11, bahwa pengendalian pada 3 MST saja dan memberikan hasil yang lebih

(43)

Cara pengendalian gulma yang dilakukan pun turut memberikan dampak bagi hasil padi, meskipun secara statistik tidak dapat dibedakan. Berdasarkan Tabel 10, hasil yang diperoleh pada petak penyiangan manual lebih baik daripada petak penyiangan dengan herbisida dan petak penyiangan dengan herbisida memberikan hasil yang lebih baik daripada petak yang tidak disiangi. Hal ini berhubungan dengan bobot kering gulma rata-rata yang diperoleh pada tiap perlakuan. Perlakuan yang tidak disiangi memiliki rata-rata bobot kering gulma yang paling tinggi (23.19 g per minggu) dibandingkan rata-rata bobot kering gulma pada perlakuan penyiangan lainnya, hal ini menyebabkan hasil padi yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penyiangan yang lain, yakni 4.10 ton/ha. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kerapatan gulma yang mendominansi suatu lahan, maka hasil padi yang didapatkan semakin menurun.

Cara pengendalian gulma tidak hanya berkaitan dengan faktor hasil yang akan diperoleh, tetapi juga berhubungan dengan masalah tenaga kerja yang akhirnya berpengaruh terhadap faktor biaya yang harus dikeluarkan. Pengendalian gulma yang paling boros biaya dan waktu adalah pengendalian manual. Menurut Tjitrosoemito (1994) jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengendalian manual pada lahan seluas 1 hektar berkisar antara 20 HOK - 40 HOK (hari orang kerja). Syarifuddin, et al (1983) menambahkan bahwa biaya yang diperlukan untuk pengendalian manual adalah 2 – 3 kali lipat dari biaya pengendalian dengan herbisida. Oleh karena itu, waktu dan cara pengendalian gulma tidak hanya mempengaruhi hasil gabah yang akan diperoleh, namun mempengaruhi juga keefektifan dalam hal biaya dan waktu kerja.

Percobaan yang mempelajari kompetisi antara padi hibrida dan gulma masih perlu dilakukan di lahan-lahan percobaan yang berbeda. Hal ini dilakukan agar diketahui sejauh mana gulma-gulma berperan dalam menekan pertumbuhan

Gambar

Tabel 1. Skoring intensitas serangan hama-penyakit pada lahan percobaan
Gambar 1.  Hama dan penyakit yang menyerang padi hibrida; (a) Tungro,  (b)  Keong Mas, (c) Beluk, (d) Walang sangit, dan
Gambar 2. Gulma-gulma yang ada di lahan percobaan : (a). F.  milliaceae,  (b). L. octovalvis, (c)
Tabel 3. Analisis vegetasi gulma pada akhir pengamatan gulma (12 MST)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan yang digunakan adalah penelitian non eksperimental bersifat observasional dengan pendekatan cross sectional yang mengkaji hubungan kadar Hb dengan prestasi

Adanya perbedaan kualitas pelayanan yang diberikan dokter keluarga tersebut yang mendorong peneliti untuk mengetahui perbedaan kualitas pelayanan berdasar waktu tunggu dan

Pada Penelitian berikutnya dengan melihat keterbatasan yang ada, penelitian yang akan datang diharapkan dapat menggunakan lebih dari tiga obyek penelitian dan

[r]

Penelitian pernah dilakukan oleh Rocky Aji Wibowo (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Sistem Informasi Keluar Masuk Barang Pada Inside Distro Jakarta”, yang membahas tentang:

UKM yang mana pada kemudian hari sistem pencatatan tersebut dapat membantu atau mendukung usahanya dalam pengembangan usaha tersebut baik dari segi pengambilan

Pengukuran peningkatan jumlah leukosit total (limfosit, monosit dan neutrofil) setelah perlakuan dilakukan dengan cara menghitung perubahan jumlah leukosit total pada

Kajian juga mendapati bahawa tidak tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara masalah keluarga, masalah rakan sebaya dan masalah disiplin mengikut jantina dan tidak