• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI DELAPAN SPESIES BURUNG DICKY ARI WIBOWO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI DELAPAN SPESIES BURUNG DICKY ARI WIBOWO"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

DARI DELAPAN SPESIES BURUNG

DICKY ARI WIBOWO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Restriction Fragment

Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan

Spesies Burung adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Agustus 2009

Dicky Ari Wibowo

(3)

DICKY ARI WIBOWO. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari Restriction Fragment Length

Polymorphism (RFLP) delapan spesies burung lokal berdasarkan fragmen

Sitokrom b DNA mitokondria. Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar informasi untuk mengenali spesies burung. Delapan sampel jaringan burung diperoleh di sekitar Bogor dan disimpan dalam larutan NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25 %. DNA diisolasi dengan metode presipitasi amonium asetat. Primer universal Sitokrom b L14841/H15149 digunakan untuk amplifikasi fragmen gen sitokrom b DNA mitokondria dengan menggunakan metode

Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dilanjutkan dengan elektroforesis. DNA

hasil PCR (amplikon) kemudian dicerna (dipotong) dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I (2,5 unit) dan Rsa I (20 unit) masing-masing selama 2 jam dan 6 jam. Penghitungan ukuran DNA amplikon dan fragmen hasil pemotongan dilakukan dengan mengukur jarak antara migrasi DNA sampel dengan migrasi DNA ladder dalam gel agarose 2 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa delapan spesies burung lokal mempunyai amplikon yang berukuran 359 pb, serta mempunyai ukuran fragmen restriksi Hinf I yang berbeda kecuali bondol peking dan manyar jambul. Fragmen restriksi Rsa I yang dihasilkan juga berbeda kecuali manyar jambul dan dederuk jawa, serta ayam kampung dan merbah cerukcuk. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b serta pemotongan fragmen dengan enzim restriksi Hinf I dan atau Rsa I dapat digunakan untuk mengenali kedelapan spesies burung.

(4)

DICKY ARI WIBOWO. The Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) of Cytochrome b Gene Mitochondrial DNA from Eight Birds Species. Under direction of ITA DJUWITA and WWAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS

The aim of this research is to study the Restriction Fragment Length

Polyorphism (RFLP) of eight species local birds based on the cytochrome b

mitochondrial DNA fragment. The results gained from this study is expected to be used as basic information for tissue birds species recognition. Eight bird tissues collected from Bogor area were preserved in 4,5 M NaCl containing 25 % DMSO. DNA were isolated using ammonium acetat precipitation. Universal oligonucleotide cytochrome b primers L14841/H15149 were used for amplification of the cytochrome b gene mitochondrial DNA fragment using Polymerase Chain Reaction (PCR) method, followed by determination of the PCR product by electrophoresis. The amplicon were digested using restriction enzymes

Hinf I (2,5 unit) and Rsa I (20 unit) for 2 and 6 hours, respectively. The calculation of the DNA amplicon and restriction fragment is done by measuring the distance between sample DNA migration with the ladder DNA in 2 % agarose gel. The results showed that eight local birds species have 359 bp amplicon, and have different Hinf I restriction fragment size except between scaly-breasted munia and streaked weaver, and also have different Rsa I restriction fragment size except streaked weaver and javan turtle dove, and also chicken and yellow-vented bulbul. In conclusion, universal oligonucleotide cytochrome b primer followed by digestion with Hinf I and Rsa I restriction enzymes can be used for the eight birds species recognition.

(5)

Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS.

Indonesia mempunyai 1359 jenis burung yang merupakan 17 % dari jumlah total spesies burung di seluruh dunia. Namun, menurut data International

Union for Conservation of Nature and natural Resources (IUCN) red list of threatened species pada tahun 2008 telah menunjukkan bahwa Indonesia

mempunyai 133 jenis burung terancam punah, sehingga kondisi ini telah menyebabkan Indonesia masuk ke peringkat dua negara yang mempunyai burung terancam punah di dunia. Penurunan populasi dan peningkatan status keterancaman punah burung liar disebabkan oleh adanya degradasi habitat, konversi lahan serta adanya perburuan liar dan perdagangan sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Hal ini memerlukan suatu langkah penegakan hukum terkait dengan produk-produk perdagangan ilegal satwa tersebut supaya kelestarian di alam tetap terjaga. Namun, penegakan hukum sering mengalami kendala ketika morfologi satwa liar sudah tidak terlacak, sehingga diperlukan teknik identifikasi spesies melalui analisa DNA yang dapat dilakukan dengan cara sekuensing DNA, PCR dan dengan menggunakan enzim restriksi. Analisa DNA tersebut pada umumnya menggunakan gen sitokrom b dari DNA mitokondria karena daerah tersebut dapat digunakan untuk identifikasi spesies dan analisis evolusi. Identifikasi burung lokal secara molekuler dengan menggunakan gen sitokrom b DNA mitokondria belum pernah dilakukan kecuali pada ayam dan itik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi pengumpulan sampel, ekstraksi DNA genom dari jaringan otot, amplifikasi fragmen DNA mitokondria melalui PCR, pemotongan DNA dengan enzim restriksi Hinf I dan

Rsa I, pembacaan hasil dengan menggunakan elektroforesis, serta penghitungan

ukuran fragmen restriksi. Pengumpulan sampel delapan jaringan tubuh berupa otot burung lokal dilakukan di pedagang burung sekitar Bogor yang kemudian disimpan di dalam larutan DMSO 25 % dan NaCl 4.5 M sampai dilakukan ekstraksi DNA genom. Langkah selanjutnya adalah dilakukan ekstraksi DNA genom dengan menggunakan metode presipitasi amonium asetat (Sambrook et al. 1982). Kemudian DNA genom tersebut diamplifikasi pada daerah sitokrom b DNA mitokondria dengan menggunakan primer universal L14841/H15149 (Kocher et al. 1989) masing-masing 1μg, enzim taq polymerase sebanyak 2,5 unit serta DNA template sebanyak ± 100ng dalam total volume 25μl. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan hasil PCR melalui elektroforesis dengan menggunakan gel agarose 1,5% dan hasilnya dilihat di atas sinar UV transluminator (260nm). DNA hasil PCR atau amplikon kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I dengan urutan sebagai berikut; dicampurkan ddH2O sebanyak 12,25μl untuk Hinf I dan

10,5μl untuk Rsa I, buffer sebanyak 2,5μl, enzim Hinf I sebanyak 2,5 unit dan enzim Rsa I sebanyak 20 unit, serta DNA hasil PCR sebanyak 10μl dalam total volume 25μl selama 2 jam untuk Hinf I dan 6 jam untuk Rsa I pada suhu 37°C. Hasil pemotongan dibaca dengan menggunakan agarose gel elektroforesis 2% di atas sinar UV transluminator (260nm). Penghitungan ukuran DNA hasil PCR

(6)

anatara migrasi DNA sampel dengan migrasi DNA ladder dalam gel agarose (Sambrook et al. 1982).

Delapan spesies burung lokal mempunyai DNA hasil amplifikasi sebesar 359 pb. Semua amplikon delapan spesies burung lokal dapat dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I, sedangkan pemotongan amplikon dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I hanya dapat digunakan untuk memotong tujuh amplikon sampel dari delapan amplikon sampel burung. Amplikon sampel burung yang tidak dapat terpotong dengan enzim restriksi endonuklease Rsa I adalah itik (Anas domesticus).

Burung cucak kutilang dan merbah cerukcuk mempunyai ukuran frgamen restriksi Hinf I dan Rsa I yang berbeda meskipun kedua burung ini mempunyai persamaan taksonomi pada tingkat genus dan persamaan morfologi yang dekat. Burung manyar jambul dan bondol peking yang hanya mempunyai persamaan tingkat taksonomi pada tingkat famili dan mempunyai ciri morfologi yang sedikit berbeda ternyata mempunyai ukuran fragmen restriksi Hinf I yang sama, sedangkan anatara burung bondol peking dan bondol jawa yang mempunyai persamaan taksonomi pada tingkat genus dan ciri morfologi yang berdekatan ternyata mempunyai ukuran fragmen restriksi Hinf I yang berbeda, hal ini menandakan bahwa enzim restriksi Hinf I tidak mempunyai situs pemotongan yang sama anatara bondol peking dan bondol jawa. Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi Rsa I pada burung manyar jambul, bondol peking, dan bondol jawa menghasilkan ukuran fragmen restriksi yang berbeda. Burung dederuk jawa, ayam kampung dan itik yang hanya mempunyai persamaan tingkat taksonomi dengan burung lokal lainnya dan mempunyai ciri morfologi yang berbeda ternyata menghasilkan ukuran frgamen restriksi yang berbeda ketika dipotong dengan enzim restriksi Hinf I. Namun, ketika dipotong dengan enzim restriksi Rsa I diantara ketiga burung tersebut ternyata menghasilkan ukuran fragmen yang berbeda dan mempunyai persamaan fragmen, yaitu antara burung dederuk jawa dengan manyar jambul dan anatara ayam kampung dengan merbah cerukcuk, serta itik tidak mempunyai situs restriksi untuk enzim restriksi Rsa I sehingga ukuran fragmen sama dengan ukuran amplikon. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b serta pemotongan fragmen dengan enzim restriksi Hinf I dan atau Rsa I dapat digunakan untuk mengenali kedelapan spesies burung.

(7)

DARI DELAPAN SPESIES BURUNG

DICKY ARI WIBOWO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(8)

Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung

Nama Mahasiswa : Dicky Ari Wibowo

NIM : B04052081

Disetujui

Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M. phil drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Dr. Dra. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

Segala puji hanya milik Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikaruniakanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian yang berjudul Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Ibu Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M. phil selaku pembimbing skripsi pertama, ibu drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si selaku pembimbing skripsi kedua, bapak Dr. drh. Nurhidayat, MS selaku pembimbing akademik, staf Laboratorium Pendidikan dan Layanan Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, staf laboratorium Embriologi FKH IPB, bapak Harry Soebagyo, ibu Sri Redjeki, keluarga besar di Rembang, Denny Saputra, Thufeil Yunindika dan Ruli Oktoriadi, Agus Efendi, Tiara Widyaputri sebagai teman sepenelitian, Gobleters, Divisi Konservasi Burung Uni Konservasi Fauna IPB, KIBC, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009

(10)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Rembang pada 12 Januari 1987, anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis merupakan putra dari Harry Soebagyo dan Sri Redjeki. Penulis menghabiskan masa sekolah TK sampai SMA di Rembang. Lulus dari TK Pertiwi Rembang dilanjutkan ke SD Negeri Kutoharjo I Rembang. Kemudian dilanjutkan di SLTP Negeri 2 Rembang. Setelah lulus dari pendidikan lanjutan pertama, pendidikan dilanjutkan di SMU Negeri 1 Rembang. Penulis lulus dari sekolah lanjutan atas pada tahun 2005. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada tahun yang sama.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota UKM Uni Konservasi Fauna - Divisi Konservasi Burung. Selama kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis juga tercatat pernah menjadi anggota Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa akuatik serta anggota IMAKAHI. Selain itu, organisasi di luar kampus yang pernah diikuti oleh penulis adalah menjadi anggota Kutilang Indonesia Birdwatching Club (KIBC).

(11)

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Definisi Burung... 4

Beberapa Jenis Burung Lokal... 4

Kondisi dan Pemanfaatan Burung Liar Di Indonesia... 11

Peranan Studi Molekuler Dalam Kegiatan Konservasi... 13

Identifikasi Spesies... 13

Genom Mitokondria Untuk Identifikasi Spesies... 14

Gen Sitokrom b untuk Identifikasi Spesies... 17

PCR – RFLP sebagai Alat Bantu dalam Identifikasi Spesies... 17

Polymerase Chain Reaction (PCR)... 17

Primer (Oligonukleotida)... 21

DNA Polymerase (Taq Polymerase)... 22

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)... 23

BAHAN DAN METODE... 25

Tempat dan Waktu Penelitian... 25

Alat Penelitian... 25

Bahan Penelitian... 25

Metode Kerja... 26

Pengumpulan Sampel... 26

Ekstraksi DNA Genom dari Jaringan Otot... 26

Amplifikasi Fragmen DNA Mitokondria melalui PCR... 28

Pemotongan DNA dengan Hinf I dan Rsa I... 28

Pembacaan Hasil Menggunakan Elektroforesis... 29

Penghitungan Ukuran Fragmen Restriksi... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

Hasil... 31

Pembahasan... 41

Analisis Pemotongan Amplikon Sitokrom b dari DNA Mitokondria Delapan Burung Lokal dengan Menggunakan Enzim Restriksi Endonuklease... 41

Identifikasi Fragmen Restriksi Delapan Jenis Burung Lokal melalui Perbedaan Ukuran Basa Sitokrom b dari DNA Mitokondria... 41

(12)

Simpulan... 47 Saran... 47 DAFTAR PUSTAKA... 48

(13)

1 Taksonomi delapan jenis burung lokal yang digunakan dalam penelitian. 11 2 Ukuran fragmen-fragmen hasil PCR dan pemotongan dengan

menggunakan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I... 40

(14)

Halaman 1 Cucak kutilang... 5 2 Merbah cerukcuk... 6 3 Manyar jambul... 7 4 Bondol jawa... 7 5 Bondol peking... 8 6 Dederuk jawa... 9 7 Ayam kampung... 10 8 Itik... 10

9 Genom mitokondria burung (a dan b), mamalia dan Xenopus (c)... 16

10 Tahapan yang dibutuhkan untuk amplifikasi sekuen DNA dengan PCR.... 20

11 DNA ladder (a) serta amplikon delapan jenis burung lokal yaitu; bondol jawa (b), bondol peking (c), merbah cerukcuk (d), cucak kutilang (e), dederuk jawa (f), manyar jambul (g) dan itik (h)... 31

12 DNA ladder (a), fragmen restriksi merbah cerukcuk (b) dan fragmen restriksi cucak kutilang (c) yang dipotong dengan menggunakan Hinf I... 33

13 DNA ladder (a), fragmen restriksi dederuk jawa (b), fragmen restriksi cucak kutilang (c) dan fragmen restriksi merbah cerukcuk (d) yang dipotong dengan enzim Rsa I... 33

14 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi manyar jambul (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I... 34

15 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi manyar jambul (b) yang dipotong dengan enzim Rsa I... 34

16 DNA ladder (a), fragmen restriksi bondol jawa (b) dan bondol peking (c) yang dipotong dengan Hinf I... 35

17 DNA ladder (a), fragmen restriksi bondol jawa (b) dan bondol peking (c) yang dipotong dengan Rsa I... 36

18 DNA ladder (a) serta fragmen restriksi dederuk jawa (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I... 37

19 Fragmen restriksi ayam kampung yang dipotong dengan Hinf I (a) dan ukuran basa pada DNA ladder (b)... 38

(15)

21 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi itik (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I... 39

22 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi itik (b) yang dipotong dengan enzim Rsa I... 39

(16)

Halaman 1 Perhitungan manual amplikon bondol jawa, bondol peking, merbah

cerukcuk, cucak kutilang, dederuk jawa, manyar jambul dan itik... 55

2 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I ayam kampung... 56

3 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I ayam kampung... 57

4 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I bondol jawa dan bondol peking... 58

5 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I bondol jawa dan bondol peking... 59

6 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I dederuk jawa, cucak

kutilang dan merbah cerukcuk... 60

7 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I merbah cerukcuk dan

cucak kutilang... 61

8 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I dederuk jawa... 62

9 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I manyar jambul dan

itik... 63

10 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I manyar jambul... 64

11 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I itik... 65

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Data International Union for Conservation of Nature and natural

Resources (IUCN) red list of threatened species pada tahun 2008 menunjukkan

bahwa Indonesia merupakan negara yang masuk peringkat sepuluh besar negara yang mempunyai burung-burung terancam punah, yakni berada di peringkat kedua setelah Brazil. Menurut data IUCN, jumlah spesies burung di Indonesia yang terancam punah yaitu sebanyak 133 jenis. Ancaman terbesar terhadap kelestarian jenis-jenis burung antara lain peningkatan kegiatan pertanian (sebesar 73%) dan juga melalui penggunaan sumberdaya alam yang berlebihan oleh manusia, salah satunya adalah eksploitasi terhadap populasi burung secara tidak langsung misalnya dalam ilegal logging (sebesar 71%). Serta ancaman utama terhadap kelestarian burung adalah adanya degradasi lingkungan dan konversi hutan yang mengancam kelestarian jenis-jenis burung sebesar 95% secara global karena hutan merupakan habitat terpenting bagi burung-burung terancam punah (Shannaz et al. 1995).

Indonesia mempunyai 17 % spesies burung dari jumlah di seluruh dunia, juga tidak dapat menghindari ancaman terhadap kelestarian burung. Pembunuhan dan perdagangan merupakan ancaman yang berarti, khususnya bila suatu populasi telah menurun akibat perubahan habitat (Shannaz et al. 1995). Menurut Moehayat (2008), dari survei yang dilakukan oleh Burung Indonesia tahun 2007 mengenai burung peliharaan terhadap 1781 sampel di Jawa dan Bali, menyatakan bahwa burung merupakan satwa yang paling banyak dipelihara (sebanyak 35.7%) dan juga menurut hasil survei, menyatakan bahwa dari total jumlah burung dipelihara, lebih dari setengahnya (58.5%) merupakan jenis burung hasil tangkapan dari alam. Selain itu, menurut Iskandar (2000), ribuan ekor burung dari ratusan jenis burung telah diperdagangkan, dari burung-burung yang berharga murah sampai yang masuk dalam kategori dilindungi.

Beberapa jenis burung asli Indonesia yang banyak dipelihara menurut LSM Burung Indonesia diantaranya adalah cucak kutilang (Pycnonotus

(18)

yang sering diperdagangkan adalah bondol peking (Lonchura punctulata) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) (Iskandar 2000). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), kelompok burung yang paling banyak diminati di pasar global adalah bondol, pipit dan gelatik, sedangkan jenis yang diekspor terbanyak adalah jenis bondol Lonchura spp. Sedangkan menurut SNI 01-7209-2006, beberapa jenis burung non apendiks CITES yang diperdagangkan adalah bondol jawa, bondol peking, cucak kutilang, dan merbah cerukcuk.

Ancaman terhadap kelestarian satwa burung yang berasal dari Indonesia harus ditekan serendah mungkin melalui kegiatan konservasi sehingga keanekaragaman hayati Indonesia dapat dipertahankan. Salah satu kegiatan konservasi yang dapat dilakukan terhadap kelestarian satwa burung adalah dengan mengetahui data molekuler spesies burung lokal. Data molekuler merupakan alat yang ampuh untuk mempelajari ekologi dan manajemen satwa liar (Deyoung dan Honeycutt 2005). Salah satu cara untuk mengetahui data molekuler spesies hewan adalah dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction

Fragment Lenghth Polymorphism (PCR-RFLP) berdasarkan sitokrom b dari DNA

mitokondria. Metode PCR-RFLP berdasarkan sitokrom b dari DNA mitokondria sudah digunakan secara luas untuk mengetahui data molekuler hewan, misalnya adalah untuk melakukan identifikasi spesies mamalia (Malisa et al. 2005; Pfeiffer

et al. 2004), identifikasi kekerabatan ikan (Farias et al. 2001), serta identifikasi

kekerabatan burung (Leeton et al. 1994; Dodge et al. 1995; Desmon et al. 2001; Zink & Blackwell 1998; Monteros & Cracraft 1997; Klicka et al. 2001). Sedangkan selain menggunakan sitokrom b dari DNA mitokondria, data molekuler burung juga sudah pernah diidentifikasi pada burung elang dengan menggunakan daerah 12S rRNA mtDNA (Nobata et al. 2007). Walaupun metode PCR-RFLP sitokrom b dari DNA mitokondria sudah secara luas digunakan untuk mengetahui data molekuler spesies burung, tetapi identifikasi data molekuler burung-burung lokal yang berasal dari Indonesia belum pernah dilakukan sehingga belum terdapat data molekuler burung-burung lokal kecuali pada itik dan ayam kampung (Partis et al. 2000; Amin 2005).

Metode PCR-RFLP sudah sering digunakan untuk mengetahui data molekuler hewan (Pfeiffer et al. 2004). Metode PCR-RFLP dapat digunakan

(19)

untuk melakukan identifikasi terhadap sampel biologi yang tidak dikenal (Prusak

et al. 2005), produk-produk perburuan satwa liar (Malisa et al. 2005) yang banyak

beredar di pasar-pasar dan produk hewan yang digunakan sebagai pakan ternak (Martin et al. 2007) yang banyak mengalami kesulitan identifikasi karena morfologi dari hewan sudah hilang. Selain itu, metode PCR-RFLP juga digunakan untuk analisis filogeni (Shen et al. 1999). Keunggulan metode PCR-RFLP untuk mengetahui data molekuler spesies burung adalah metode PCR-RFLP membutuhkan waktu yang singkat dan tidak mahal daripada sekuensing DNA, walaupun teknik PCR-RFLP dalam mendeteksi pasangan basa hanya pada daerah khusus DNA (Pfeiffer et al. 2004; Fajardo et al. 2006 diacu dalam Nobata et al. 2007).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan identifikasi delapan spesies burung lokal berdasarkan perbedaan fragmen restriksi gen sitokrom b dari DNA Mitokondria melalui metode PCR-RFLP.

Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dasar fragmen restriksi delapan jenis burung lokal berdasarkan perbedaan fragmen restriksi gen sitokrom b dari DNA Mitokondria melalui metode PCR-RFLP.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Burung

Menurut Brotowidjoyo (1989), aves adalah vertebrata dengan tubuh yang ditutupi oleh bulu (asal epidermal). Aves adalah vertebrata yang dapat terbang karena mempunyai sayap yang merupakan modifikasi anggota gerak anterior. Sayap pada aves berasal dari elemen-elemen tubuh tengah dan distal. Sedangkan kaki pada aves digunakan untuk berjalan, bertengger, atau berenang dengan menggunakan selaput interdigital. Burung menempati semua daratan sampai ketinggian 6000m, dari lautan sampai daerah arktik dan antartika dimana semakin dingin daerah maka semakin sedikit jumlah jenis (spesies) tetapi semakin besar jumlah individu tiap spesies. Burung mempunyai temperatur tubuh berkisar antara 40.5 °C – 42.0 °C dan kecepatan terbang antara 30–75 km per jam. Sedangkan menurut Mackinnon (1990) bentuk tubuh burung telah terbukti sangat berhasil dalam penyebarannya di seluruh muka bumi. Mereka menempati setiap tipe habitat dari khatulistiwa sampai daerah kutub.

Menurut Dono (2003), keberadaan burung dapat dijadikan alat indikator/alat bantu untuk menentukan skala prioritas dalam penanganan permasalahan lingkungan di Indonesia karena burung mempunyai atribut yang mendukung, hidup di seluruh habitat di dunia, relatif mudah diidentifikasi, peka terhadap perubahan lingkungan, data penyebarannya relatif cukup diketahui dan terdokumentasi dengan baik serta taksonominya cukup lengkap. Menurut Soejoedono (1999), umumnya bangsa burung diternakkan karena keindahan bulu dan suaranya.

Beberapa Jenis Burung Lokal

Menurut MacKinnon (1990), cucak kutilang atau scooty-headed bulbul (Pycnonotus aurigaster) merupakan burung yang mempunyai ukuran sedang (20 cm). Cucak kutilang mempunyai ciri berupa topi berwarna hitam dengan tungging keputih-putihan dan perut bawah berwarna jingga, dahi dan bagian atas kepala berwarna hitam, leher dan tungging berwarna putih serta dada dan perut juga berwarna putih, punggung dan sayap serta ekor berwarna coklat, iris

(21)

berwarna merah, paruh berwarna hitam dan kaki berwarna hitam. Penyebaran cucak kutilang adalah Cina Selatan, Asia Tenggara, Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi (introduksi). Kebiasaan dari cucak kutilang adalah hidup dalam kelompok yang aktif dan ribut, sering bercampur dengan burung kutilang lainnya, hidup dalam kelompok campuran atau kelompok burung srigunting. Cucak kutilang biasanya memilih hutan terbuka atau habitat bersemak, tepi hutan sekunder, taman dan kebun bahkan di kota besar. Makanan dari burung kutilang berupa buah-buah kecil dan beberapa serangga.

Gambar 1 Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) (MacKinnon et al. 2007).

Menurut MacKinnon (1990), merbah cerukcuk atau yellow-vented bulbul (Pycnonotus goiavier) merupakan burung yang mempunyai ukuran sedang (20 cm), merbah cerukcuk mempunyai ciri-ciri berupa warna tubuhnya adalah coklat dan putih, perut bawah berwarna kuning yang tampak jelas, mahkota berwarna coklat gelap, alis mata bergaris putih, kekang bergaris hitam, tubuh bagian atas berwarna coklat, kerongkongan, dada dan perut berwarna putih dengan garis coklat terang pada bagian sisi, iris berwarna coklat, paruh berwarna hitam, kaki berwarna abu-abu agak merah muda. Penyebaran merbah cerukcuk adalah Asia Tenggara, Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Filipina, Lombok dan Sulawesi Selatan (introduksi). Kebiasaan dari merbah cerukcuk adalah membentuk kelompok sosial, sering bercampur dengan jenis kutilang lainnya, memilih habitat yang terbuka dan hutan sekunder. Merbah cerukcuk menghabiskan waktu makan di atas tanah lebih banyak daripada jenis kutilang

(22)

lainnya dan berkumpul pada tempat bertengger secara ramai-ramai pada malam hari.

Gambar 2 Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) (MacKinnon et al. 2007).

Menurut MacKinnon (1990), manyar jambul atau streaked weaver (Ploceus manyar) merupakan burung yang mempunyai ukuran sedang (14 cm). Manyar jambul mempunyai ciri-ciri berupa tutup kepala berwarna emas. Ciri-ciri yang lain adalah warna tubuh jantan yang berbeda saat musim kawin dan di luar musim kawin. Jantan pada musim kawin mempunyai mahkota berwarna kuning emas, bagian dari kepala, dagu dan kerongkongan berwarna hitam, tubuh bagian bawah berwarna putih dengan burik hitam pada dada, tubuh bagian atas berwarna coklat agak hitam dengan ujung bulu berwarna merah tua. Sedangkan jantan dan betina di luar musim kawin mempunyai ciri berupa kepala berwarna coklat dengan burik hitam pada mahkota dan alis mata berwarna kuning tua serta terdapat bercak keputih-putihan pada leher, iris berwarna coklat, paruh berwarna abu-abu hitam sampai coklat, serta kaki berwarna coklat pucat. Penyebaran dari manyar jambul adalah India, Cina, Asia Tenggara, Jawa dan Bali. Kebiasaan dari manyar jambul adalah hidup dalam koloni besar disekitar pohon tempat berbiak atau dalam kelompok yang berpindah-pindah di luar musim kawin. Manyar jambul jantan bersifat poligami dan setiap betina membuat sarangnya dengan rumit. Manyar jambul memilih habitat paya berumput dan padang rumpun bambu buluh atau sawah. Makanan dari manyar jambul adalah berupa padi, biji rumput dan beberapa serangga.

(23)

Gambar 3 Manyar jambul (Ploceus manyar) (MacKinnon et al. 2007).

Menurut MacKinnon (1990), bondol jawa atau javan munia (Lonchura

leucogastroides) merupakan burung yang bertubuh padat dan mempunyai ukuran

kecil (11 cm). Ciri-ciri dari burung bondol jawa adalah tubuhnya berwarna coklat, hitam dan putih. Ciri lain adalah tubuh bagian atas berwarna coklat, tidak berburik, pada muka dan perut serta bagian rusuk berwarna putih, tubuh bagian bawah ekor berwarna coklat gelap. Iris bondol jawa berwarna coklat, paruh berwarna berwarna coklat dan kaki berwarna abu-abu. Penyebaran bondol jawa meliputi Singapura (hasil introduksi), Sumatera Selatan, Jawa, Bali dan Lombok. Kebiasaan dari bondol jawa adalah sering mengunjungi berbagai daerah garapan dan padang rumput alami. Bondol jawa akan membentuk kelompok pada saat masa pemanenan padi. Namun, biasanya bondol jawa hidup berpasangan atau hidup dalam kelompok kecil. Bondol jawa sering melakukan aktivitas makan di atas permukaan tanah atau mengambil biji dari rumput. Makanan dari bondol jawa berupa biji, rumput dan padi.

Gambar 4 Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) (MacKinnon et al. 2007).

Menurut MacKinnon (1990), bondol peking atau scaly-breasted munia (Lonchura punctulata) merupakan burung yang berukuran kecil (11 cm). Ciri dari

(24)

bondol peking tubuh yang berwarna coklat. Tubuh bagian atas berwarna coklat burik dengan tangkai bulu putih, kerongkongan berwarna coklat kemerahan, tubuh bagian bawah berwarna berwarna putih berisik dengan coklat gelap pada dada dan rusuk. Bondol peking yang belum dewasa mempunyai warna kuning tua tanpa sisik pada tubuh bagian bawah. Iris bondol peking berwarna coklat, paruh berwarna abu-abu gelap dan kaki berwarna hitam abu-abu. Penyebaran bondol peking adalah India, China, Filipina, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan dimasukkan ke Australia. Bondol peking sering berada di tempat terbuka berumput di daerah garapan, sawah, kebun, dan vegetasi sekunder. Kebiasaan bondol peking adalah berpasangan atau berkelompok dan mudah bercampur dengan bondol jenis lain. Perilaku bondol peking aktif dan lincah serta mempunyai gerakan ekor yang bergoyang secara khas. Makanan dari bondol peking adalah padi, biji dan rumput.

Gambar 5 Bondol peking (Lonchura punctulata) (MacKinnon et al. 2007).

Menurut MacKinnon (1990), dederuk jawa atau puter atau javan turtle

dove (Streptopelia bitorquata) merupakan burung yang berukuran sedang

(39 cm). Ciri dari dederuk jawa adalah tubuh berwarna coklat merah jambu denan ekor yang agak panjang. Dederuk jawa mirip dengan tekukur biasa yang lebih umum ditemui tetapi dapat dibedakan dari warna kepala yang lebih abu-abu dan bercak hitam pada sisi leher bertepi putih, dederuk jawa tidak mempunyai totol-totol putih, bagian tengah yang membujur dari bulu ekor berwarna coklat, kedua sisi bulu ekor berwarna abu-abu dengan tepi berwarna agak putih. Iris berwarna kuning jingga, paruh berwarna hitam, kaki berwarna merah keunguan. Penyebaran dari dederuk jawa/puter adalah seluruh Filipina dan kepulauan Sunda Kecil pada dataran rendah yang terbuka. Dederuk jawa sering terdapat di pedesaan dengan

(25)

hutan terbuka termasuk perkebunan, tetapi terutama terdapat di daerah hutan bakau. Dederuk jawa sering terlihat beristirahat pada dahan-dahan kecil dan makan di daerah terbuka di atas permukaan tanah, dederuk jawa sering terlihat berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Makanan dederuk jawa adalah biji rumput-rumputan.

Gambar 6 Dederuk jawa (Streptopelia bitorquata) (MacKinnon et al. 2007).

Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) merupakan keturunan langsung dari salah satu subspesies ayam hutan yang dikenal sebagai ayam hutan merah (Gallus gallus bankiva) (Anonim 2008[1]). Sedangkan menurut MacKinnon (1990), ayam hutan merah adalah ayam yang berukuran besar (jantan : 70 cm dan betina : 42 cm) dan merupakan anggota ayam peliharaan. Ciri dari ayam hutan merah adalah pada jantan mempunyai jengger, gelambir dan muka berwarna merah. Ciri lain adalah bulu tengkuk dan penutup ekor serta bulu primer berwarna merah, bulu ekor panjang dan penutup sayap berkilau hitam kehijau-hijauan, bagian bawah berwarna keabu-abuan gelap. Sedangkan ciri ayam betina adalah berwarna coklat suram dengan coretan-coretan hitam pada leher dan tengkuk. Iris ayam jantan dan betina berwarna merah, paruh berwarna kuning gading dan kaki berwarna abu-abu kebiruan.

(26)

Gambar 7 Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) (http://id.wikipedia.org/ wiki/ayam).

Menurut anonim (2009), itik pekin (Anas domesticus) mempunyai ukuran tubuh dewasa sekitar 8 sampai 9 pound. Ciri lain dari itik adalah mempunyai bulu berwarna putih serta mempunyai paruh, kaki dan telapak berwarna kuning. Beberapa diantaranya mempunyai paruh berwana kuning. Sedangkan menurut anonim (2005[2]), itik dikenal juga dengan istilah bebek (bahasa Jawa). Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara merupakan itik liar (Anas moscha) atau

Wild mallard yang terus menerus dijinakkan oleh manusia sampai menjadi itik

yang diperlihara sekarang yang disebut Anas domesticus (ternak itik). Secara internasional ternak itik terpusat di negara-negara Amerika utara, Amerika Selatan, Asia, Filipina, Malaysia, Inggris, Perancis (negara yang mempunyai musim tropis dan subtropis). Sedangkan di Indonesia ternak itik terpusatkan di daerah pulau Jawa (Tegal, Brebes dan Mojosari), Kalimantan (Kecamatan Alabio, Kabupaten Amuntai) dan Bali serta Lombok.

(27)

Tabel 1 Taksonomi delapan jenis burung lokal yang digunakan dalam penelitian

Jenis Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Cucak kutilang

Animalia Chordata Aves Passeriformes Pycnonotidae Pycnonotus aurigaster

Merbah cerukcuk

Animalia Chordata Aves Passeriformes Pycnonotidae Pycnonotus goiavier

Manyar jambul

Animalia Chordata Aves Passeriformes Passeridae Ploceus manyar

Bondol jawa

Animalia Chordata Aves Passseriformes Passeridae Lonchura leucogastroides

Bondol peking

Animalia Chordata Aves Passeriformes Passeridae Lonchura punctulata

Dederuk jawa

Animalia Chordata Aves Columbiformes Columbidae Streptopelia bitorquata

Ayam kampung

Animalia Chordata Aves Galliformes Phasianidae Gallus gallus domesticus

Itik Animalia Chordata Aves Anseriformes Anatidae Anas domesticus

Sumber : The Bay Science Foundation (2008),http://zipcodeco.com/key/Animalia/

Kondisi dan Pemanfaatan Burung Liar di Indonesia

Kebaradaan satwa burung di Indonesia semakin hari semakin menurun populasinya. Hal ini disebabkan oleh perburuan liar sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Selain itu, penurunan kualitas habitat sebagai akibat dari aktivitas manusia, lemahnya pengamanan, pengawasan, penerapan sanksi hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi juga turut mengakibatkan penurunan populasi burung di alam. Walaupun telah berstatus dilindungi (termasuk oleh pemerintah daerah dimana habitat dan jenis burung berada), namun perburuan liar masih tetap berjalan hingga saat ini (Setio & Takandjandji 2006).

Pemanfaatan keanekaragaman jenis satwa liar secara tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis burung air termasuk salah satu yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Awal pemanfaatan dari jenis-jenis burung tersebut adalah hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan protein bagi

(28)

masyarakat setempat. Namun, dalam perkembangannya ternyata jenis-jenis burung tersebut tidak saja dimanfaatkan untuk kebutuhan protein tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada masyarakat kota untuk menambah sumber pendapatan, sehingga pengeksploitasian jenis-jenis burung tersebut secara terus-menerus tanpa adanya pengendalian dikhawatirkan akan mengancam kepunahan (Iskandar & Karlina 2004). Selain itu, pemanfaatan burung terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah masyarakat penghobi burung kicauan dengan jumlah uang yang beredar sebanyak Rp 7 triliun (Moehayat 2008).

Menurut MacKinnon (1990), perdagangan burung secara keseluruhan mempunyai nilai penting dalam perdagangan dan sampai skala tertentu akan menghabiskan populasi burung liar. Nilai penting burung dalam perekonomian di Pulau Jawa adalah sabagai hama pertanian (pipit, bondol dan manyar sebagai hama padi), jenis burung yang menguntungkan (elang), bahan makanan (mandar, ayam hutan, puyuh dan punai), serta perdagangan burung piaraan (perkutut, kucica hutan, beo, kutilang dan jalak) dan pada tahun 1980 terdapat lebih dari 340.000 burung secara ilegal diekspor dari Indonesia dimana jenis-jenis ekspor yang disukai adalah bondol, pipit benggala, gelatik, perkutut, beo, dan serindit. Menurut anonim (2002), perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangutan, penyu, beberapa jenis burung, harimau sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut maka harganya semakin mahal.

Perdagangan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan populasi suatu jenis burung, disamping akibat menghilangnya habitat dan degradasi habitat. Perusakan habitat dan eksploitasi spesies secara berlebihan menyebabkan Indonesia mempunyai daftar spesies fauna terancam punah terpanjang di dunia (Lambert 1993; Sumardja 1998 diacu dalam Widodo 2007).

(29)

Peranan Studi Molekuler dalam Kegiatan Konservasi

Kegiatan konservasi diperlukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati karena saat ini kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tidak hanya mengurangi populasi spesies hewan dan tumbuhan, tetapi juga menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah. Ilmu konservasi mempelajari individu dan populasi yang sudah terpengaruh oleh kerusakan habitat, eksploitasi, dan perubahan lingkungan. Informasi ini digunakan untuk membuat suatu keputusan yang dapat mempertahankan keberadaan suatu spesies di alam. Sudah lebih dari satu dekade ini, studi genetik digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dalam pengambilan keputusan tersebut karena dengan studi genetik, informasi tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, terutama pada spesies-spesies yang terancam punah, dapat diketahui (Damayanti 2007).

Menurut Suryanto (2003), biologi molekuler dapat digunakan untuk menunjang pengetahuan klasik (taksonomi klasik) tentang keanekaragaman hayati, dan selanjutnya biologi molekuler dapat digunakan untuk tujuan konservasi dan menjaga serta memanfaatkan berbagai organisme. Sedangkan menurut Girman (1996), penggunaan penanda molekuler untuk menyelidiki struktur populasi spesies terancam punah merupakan komponen kunci dalam manajemen genetik pada spesies terancam punah.

Identifikasi Spesies

Masalah umum dalam pelaksanaan hukum satwa liar adalah identifikasi spesies yang berasal dari karkas, daging, atau darah ketika karakter morfologi seperti rambut atau tulang tidak tersedia (Cronin et al. 1991). Analisis sekuens DNA merupakan teknik yang efektif untuk identifikasi sumber-sumber sampel yang berasal dari spesies-spesies yang terancam (Palumbi & Cipriano 1998). Identifikasi spesies melalui analisis DNA dilakukan melalui sekuensing,

polymerase chain reaction (PCR) dan enzim restriksi (Teletchea et al. 2005 diacu

dalam Nobata et al. 2007). Menurut Burgener dan Hübner (1998), gen sitokrom b telah ditentukan sebagai target untuk analisis evolusi dan identifikasi spesies. Analisis data molekuler seperti frekuensi allozyme, restriction fragment length polymorphism (RFLP), dan sekuensing langsung DNA mitokondria (mtDNA)

(30)

menghasilkan informasi tentang karakter evolusi dan hubungan filogenetik (Hillis

et al. 1990; Avise 1994 diacu dalam Dodge et al. 1995).

Genom Mitokondria untuk Identifikasi Spesies

Mitokondria berbentuk sferik atau memanjang, strukturnya seperti batang dikelilingi oleh membran dalam dan membran luar. Membran luar berbentuk halus, sedangkan membran dalam melekuk menjadi lembaran atau tubuli yang disebut dengan cristae yang memanjang menuju ruangan dalam (matrix). Mitokondria ditemukan di seluruh sitoplasma. Terdapat dalam jumlah besar sekitar 1000 buah pada sel-sel yang menggunakan sejumlah besar energi, sedangkan sel-sel yang kurang aktif mengandung lebih sedikit. Mitokondria terutama menyangkut dengan proses kimia dimana energi yang dibuat cukup untuk sel-sel dalam bentuk adenosine triphosphate (ATP) (Vander et al. 1990). Menurut Guyton dan Hall (1996), jumlah mitokondria dalam suatu sel cukup bervariasi antara ratusan hingga ribuan tergantung besarnya energi yang dibutuhkan oleh sel tersebut. Selain itu, bentuk dan ukuran mitokondria juga berbeda-beda, mulai dari yang hanya memiliki diameter beberapa ratus nanometer dan berbentuk granul, beberapa ratus milimikron dan berbentuk globular sampai yang berdiameter 1–7 mikron dalam bentuk filamen bercabang. Menurut Khan et

al. (2007), sebagian besar sel eukaryotik mengandung banyak mitokondria,

dimana dapat berpindah, menyatu dan terpisah di dalam sel.

Mitokondria terdiri dari membran ganda yang sama dengan struktur membran plasma. Beberapa protein berfungsi dalam respirasi seluler, termasuk enzim untuk membuat ATP yang berlokasi di krista membran dalam mitokondria, dan banyak tahap-tahap metabolik menyangkut respirasi terkonsentrasi di matriks. Mitokondria mengandung 70S ribosom dan beberapa DNA berfungsi sebagai mesin untuk replikasi, transkripsi dan translasi informasi yang tersandi oleh DNA (Tortora et al. 1998).

Sedangkan menurut anonim (2008[3]), mitokondria merupakan struktur di dalam sel yang dapat merubah makanan menjadi bentuk energi dimana sel-sel dapat memanfaatkannya. Walaupun kebanyakan DNA terbungkus dalam kromosom di dalam nukleus, mitokondria juga mempunyai jumlah kecil DNA.

(31)

Material genetik tersebut disebut dengan DNA mitokondria atau mtDNA. DNA mitokondria mengandung 37 gen, semuanya diperlukan untuk fungsi normal mitokondria. Tiga belas gen dari 37 gen tersebut menyediakan perintah untuk membuat enzim yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif.

DNA mitokondria inilah yang kemudian kerap dijadikan alat dalam menentukan kondisi dan keragaman genetik pada setiap organisme maupun individu yang tujuan utamanya adalah menelusuri perjalanan kolonisasi populasi, pemisahan biogeografi populasi, hubungan filogeni, dan menelusuri asal-usul hewan (Du Praw 1970; Sumartini 2001; Pereira 2000 diacu dalam Yasa 2007). Menurut Yuwono (2005), untai ganda DNA tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang berpilin. Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel) : rantai yang satu mempunyai orientasi 5’ → 3’, sedangkan rantai yang lain berorientasi 3’ → 5’. Kedua rantai tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara basa adenin (A) dengan timin (T), dan antara guanin (G) dngan sitosin (C).

Menurut Jain (2004), sekuens mtDNA telah digunakan secara luas dalam studi evolusi genetik karena mudah diperoleh, mempunyai nilai yang tinggi dalam evolusi dan secara umum mengikuti pola klonal pewarisan yang sesuai dengan rekonstruksi filogenetik. Sebagian besar studi molekuler filogenetik pada vertebrata menggunakan dasar sekuens DNA Mitokondria. DNA Mitokondria berkembang secara cepat dan secara khusus berguna untuk memecahkan hubungan diantara kelompok. Menurut Prusak et al. (2005), mtDNA mempunyai stabilitas yang lebih tinggi dan jumlah kopian yang lebih tinggi daripada DNA inti.

Menurut anonim (2000), DNA mitokondria burung mempunyai protein gen yang sangat mirip terhadap gen-gen homolog pada mamalia dan amfibi serta gen-gen tersebut ditranslasikan menggunakan kode genetik yang sama. Meskipun banyak kesamaan dengan mtDNA semua vertebrata tetapi genom burung tetap mempunyai perbedaan. Perbedaan pertama adalah urutan gen-gen burung berbeda jika dibandingkan dengan genom mamalia dan amfibi. Misalnya adalah gen ND5 (nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase subunit) diikuti oleh cytochrome b, tRNA Thrdan tRNApro, ND6 dan tRNAGlu pada arah 5’ → 3’ pada

(32)

L-strand burung. Kedua, asal replikasi L-strand yang ditemukan diantara tRNACys dan tRNAAsnpada vertebrata lain tidak terdapat pada genom burung.

Gambar 9 Genom mitokondria burung (a dan b), mamalia dan Xenopus (c). (http://herkules.oulu.fi/isbn9514255364/html/x128.html).

DNA mitokondria burung berbentuk sirkular dengan panjang genom sekitar 16.770 pb dan hampir sama dengan mtDNA mamalia (Shen et al. 1999). Perbandingan susunan gen mitokondria merupakan alat yang kuat untuk menarik kesimpulan filogeni (Boore 1999; Boore & Brown 1998 diacu dalam Lavrov & Lang 2005).

(33)

Gen Sitokrom b untuk Identifikasi Spesies

Gen sitokrom b mitokondria (cyt-b) secara luas digunakan dalam studi secara sistematik untuk memecahkan perbedaan pada banyak level taksonomi dan gen sitokrom b telah dipertimbangkan sebagai salah satu gen yang digunakan dalam kerja filogenetik (Farias 2001). Sitokrom b juga sangat berguna untuk membandingkan spesies dalam genus yang sama atau famili yang sama (Castresana 2001) .

Menurut Zehner et al. (2000); Budowle et al. (2003) diacu dalam Prusak et

al. (2005), gen sitokrom b dari DNA mitokondria merupakan indikator yang kuat

untuk identifikasi spesies melalui teknik analisis DNA, selain itu menurut Kocher

et al. (1989); Montgelard et al. (1997); Prusak et al. (2004) diacu dalam Prusak et al. (2005), gen sitokrom b dari DNA mitokondria juga digunakan untuk

mempelajari evolusi molekuler, serta untuk kedokteran (Barlett & Davidson 1992 diacu dalam Prusak et al. 2005).

Menurut Prusak et al. (2005), dalam studi saat ini, bagian sekuen gen sitokrom b telah digunakan untuk identifikasi tiga jenis sampel biologi yang belum diketahui yang mewakili bidang-bidang berbeda dalam konservasi satwa dan kesehatan, yaitu pengembangan pengetahuan tentang spesies satwa liar (ornithological trace), pengamatan terhadap peraturan perburuan (forest trace), dan kontrol perdagangan internasional terhadap spesies-spesies terancam punah (zoological trace).

PCR – RFLP Sebagai Alat Bantu dalam Identifikasi Spesies Polymerase Chain Reaction (PCR)

Menurut Rådström et al. (2004), PCR merupakan keterangan yang berharga untuk monitoring ekspresi gen, mengukur patogen food-borne, menguji kandungan virus, dan juga untuk diagnosa klinis. Menurut Guatelli (1989), PCR dapat meningkatkan jumlah kopian sekuens asam nukleat spesifik dari panjang 100 sampai 2000 pasang basa. Reaksi ini membutuhkan dua oligonukleotida primer yang komplemen kepada sekuens target beberapa ratus pasang basa yang terpisah satu sama lain. Masing-masing oligonukleotida adalah komplemen terhadap untai DNA target yang berlawanan. Tahap pertama adalah denaturasi

(34)

thermal dari untai ganda molekul DNA target dengan kehadiran primer dengan ukuran molar yang besar. Primer tersebut akan mengalami annealing pada sekuens target yang komplemen oleh reduksi temperatur. DNA polymerase yang ditambahkan akan mengkatalisasi primer dan secara langsung akan menyebabkan reaksi sintesis DNA. Hasilnya kira-kira jumlah ganda dari sekuens target. Ekstensi masing-masing primer berjalan pada sisi yang berlawanan. Sintesa DNA diawali dari satu oligonukleotida yang menghasilkan untai baru dengan daerah yang komplemen dengan primer oligonukleotida. Untai hasil tersebut tersedia sebagai template pada reaksi sintesis DNA selanjutnya. Melalui pengulangan siklus denaturasi, annealing primer dan sinesis DNA (ekstensi primer), jumlah kopian sekuens DNA target akan meningkat secara eksponensial. Karakteristik-karakteristik dari PCR adalah efisiensi, spesifitas dan nilai eror/kesalahan. Efisiensi dari amplifikasi PCR tergantung pada banyak variabel, beberapa diantaranya adalah jumlah siklus, jumlah target asli, panjang sekuens target yang diamplifikasi dan temperatur primer untuk annealing dan ekstensi. Spesifitas PCR terutama tergantung pada sekuens target, temperatur annealing, jumlah DNA

polymerase yang digunakan dan polimerisasi setiap siklus. Sedangkan nilai

eror/kesalahan merupakan hal yang penting dimana hasil amplifikasi menggambarkan kopian DNA sekuens target yang tepat dan juga mempunyai beberapa kesalahan, khususnya adalah ketika hasil dianalisa oleh hibridisasi asam nukleat atau sekuens nukleotida.

Menurut Yuwono (2006), empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer. Konsep asli teknologi PCR adalah mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dilakukan.

(35)

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dilakukan dengan menggunakan panas (95 °C) selama 1–2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 °C sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal.

Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen

yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu 55 °C yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 °C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (55 °C), spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan menurun (Yuwono 2006). Berdasarkan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), DNA diamplifikasi secara in vitro melalui siklus polimerisasi berseri yang terdiri dari tiga tahapan temperatur: denaturasi DNA, annealing primer-template, dan sintesis DNA oleh DNA polymerase termostabil. Kemurnian dan hasil produk reaksi tergantung pada beberapa parameter, satu diantaranya adalah temperatur annealing (Ta) (Rychlik

(36)

Gambar 10 Tahapan yang dibutuhkan untuk amplifikasi sekuen DNA dengan PCR (Guatelli et al. 1989).

Keberhasilan PCR sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (1) deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP), (2) oligonukleotida primer, (3) DNA template (cetakan), (4) komposisi larutan buffer, (5) jumlah siklus reaksi, (6) enzim yang digunakan, dan (7) faktor teknis dan non-teknis lainnya, misalnya kontaminasi. Keunggulan metode PCR adalah kemampuannya dalam melipatgandakan suatu fragmen DNA sehingga dapat mencapai 109 kali lipat. Dengan demikian, kontaminasi fragmen DNA dalam jumlah sangat sedikit sekalipun dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yaitu dengan didapatkannya produk amplifikasi yang tidak diinginkan. Kontaminasi tersebut dapat berasal dari beberapa sumber, antara lain dari reaksi-reaksi PCR yang dilakukan sebelumnya

(37)

(Yuwono 2006). Polimerisasi DNA (replikasi DNA) hanya dapat dimulai jika tersedia molekul primer, yaitu suatu molekul yang digunakan untuk mengawali proses polimerisasi untaian DNA. Molekul primer dapat berupa molekul DNA, RNA atau bahkan protein spesifik. Hal ini berbeda dengan dengan proses polimerisasi untaian RNA (proses transkripsi) yang tidak memerlukan primer. Selain itu, polimerisasi DNA juga mutlak memerlukan cetakan (template) yang dapat berupa untaian DNA atau RNA. Dalam proses replikasi DNA secara in vivo, primer berupa molekul RNA yang berukuran sekitar 10–12 nukleotida. Pada jasad eukaryot yang mempunyai kromosom berupa untaian DNA linear, fungsi primer yang digunakan untuk replikasi ujung kromosom diketahui dilakukan oleh suatu protein khusus. Dalam proses polimerisasi DNA secara in vitro, misalnya amplifikasi DNA dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), biasanya digunakan molekul DNA sebagai primer. Fungsi primer adalah menyediakan ujung 3’-OH yang akan digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses polimerisasi (Yuwono 2005).

Primer (Oligonukleotida)

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain (Yuwono 2006). Serta menurut Saiki

et al. 1988, amplifikasi PCR membutuhkan dua oligonukleotida primer yang

dapat mengapit segmen DNA untuk diamplifikasi dengan siklus yang berulang melalui pemanasan denaturasi DNA, annealing primer menuju sekuens komplemen dan ekstensi primer yang telah mengalami annealing dengan menggunakan DNA polymerase.

Menurut Mahardika (2005), Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan kemungkinan bahwa primer yang digunakan dapat bekerja dengan baik adalah :

a. Pertimbangan umum, satu pasang primer hendaknya menempel (hybridize) pada urutan yang hendak diperbanyak, sementara kemungkinan penempelan pada posisi lain harus ditekan sekecil mungkin.

(38)

b. Komplementeritas terhadap sasaran dimana untuk berbagai penerapan, primer disintesis khusus agar komplementer secara sempurna dengan cetakan sasaran.

c. Panjang primer dimana primer yang baik mempunyai panjang 20 sampai 30 basa.

d. Urutan primer dimana primer hendaknya mempunyai komponen GC yang serupa dengan sasaran.

e. Primer dimer dimana primer dimer merupakan artefak yang paling sering diamati bila sejumlah kecil cetakan digunakan untuk siklus yang banyak. Menurut Suryanto (2003), primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut.

DNA Polymerase (Taq Polymerase)

Menurut Yuwono (2006), DNA polimerase awal yang digunakan adalah fragmen Klenow DNA polimerase I yang berasal dari Escherichia coli. Fragmen klenow ini adalah DNA polimerase yang telah dihilangkan aktivitas eksonuklease (5’→ 3’). Alternatif bagi fragmen klenow yang kemudian digunakan dalam PCR adalah DNA polimerase yang berasal dari mikrobia termofilik, yaitu Taq DNA polimerase yang berasal dari bakteri Thermus aquaticus BM, yaitu suatu strain yang tidak mempnyai endonuklease restriksi Taq I. Taq DNA polimerase tersusun atas satu rantai polipeptida dengan berat molekul kurang lebih 95 kD. Enzim ini mempunyai kemampuan polimerisasi DNA yang sangat tinggi, tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease 3’→ 5’. Enzim ini paling aktif pada pH 9 (pada suhu 20 °C) dan suhu aktivitas optimumnya sekitar 75 °C – 80 °C. Keunggulan enzim Taq DNA polimerase adalah bahwa enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk memisahkan rantai DNA cetakan. Sedangkan salah satu kelemahan enzim Taq polimerase adalah bahwa enzim tersebut mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan dalam menggabungkan nukleotida sehingga ada kemungkinan terjadi mutasi pada fragmen gen hasil

(39)

amplifikasi. Aktivitas Taq DNA polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion magnesium. Serta menurut Innis et al. (1988), DNA polymerase yang sangat termostabil dari Thermus aquaticus (Taq) adalah cara ideal untuk sekuensing DNA secara manual dan otomatis karena proses cepat dan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas 3' -eksonuklease, serta aktif pada temperatur di atas rata-rata. Sedangkan menurut Chien et al. (1976), asam deoxyribonukleat (DNA)

polymerase dengan temperatur optimum 80 °C merupakan hasil purifikasi dari

Thermus aquaticus termofilik ekstrim. Enzim ini bebas dari

phosphomonoesterase, phosphodiesterase dan aktivitas rantai tunggal eksonuklease.

Menurut Saiki et al. (1988), DNA polymerase termostabil digunakan dalam prosedur amplifikasi DNA in vitro, yaitu melalui polymerase chain reaction. Enzim ini diisolasi dari Thermus aquaticus yang dapat menyederhanakan prosedur dan memungkinkan reaksi berjalan pada temperatur yang tinggi, secara signifikan dapat meningkatkan spesifitas, hasil, sensitivitas dan panjang produk yang dapat diamplifikasi. Spesifitas Taq DNA polymerase yang berhubungan dengan amplifikasi dapat dipengaruhi oleh waktu dalam penyediaan tahap ekstensi primer dan melalui kuantitas enzim yang digunakan dalam reaksi. Selain itu, menurut Guatelli et al. (1989), pemanfaatan dan efikasi dari amplifikasi menggunakan PCR akan ditingkatkan dengan penggunaan DNA polymerase dari bakteri termofilik Thermus aquaticus (Taq). Taq DNA polymerase bersifat termostabil dan mampu mentoleransi tahapan denaturasi PCR tanpa kehilangan aktivitas yang penting. Pemanfaatan Taq polymerase memungkinkan pengembangan proses amplifikasi sekuens otomatis. Taq polymerase juga memungkinkan PCR untuk meningkatkan efisiensi dan spesifitasnya.

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Menurut Becker et al. (2000), analisis pola restriction fragment dihasilkan ketika DNA dicerna oleh enzim restriksi. Praktek dalam aplikasi analisis restriction fragment didasari dari fakta bahwa tidak ada dua orang atau lebih yang kembar identik mempunyai sekuens basa DNA yang persis. Walaupun perbedaan sekuens DNA diantara dua orang cukup kecil, tetapi terdapat perubahan panjang

(40)

fragmen-fragmen DNA yang diproduksi oleh enzim restriksi. Perbedaan dalam panjang fragmen disebut Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), dapat dianalisa melalui gel elektroforesis. Hasil pola fragmen tersedia sebagai “fingerprint” yang dapat mengidentifikasi individu dari DNA yang diperoleh. Enzim restriksi merupakan tipe dari endonuklease (enzim yang dapat memotong DNA dari dalam) yang ditemukan dalam bakteri. Enzim tersebut dapat membantu bakteri untuk melindungi dirinya melawan invasi molekul DNA asing, terutama DNA bakteriofag. Faktanya, nama enzim restriksi berasal dari temuan dimana enzim ini membatasi kemampuan DNA asing untuk mengambil alih proses transkripsi dan translasi sel bakteri. Enzim restriksi spesifik terhadap DNA untai ganda dan selalu memecah kedua untai. Masing-masing enzim restriksi mengenal sekuens DNA spesifik yang biasanya empat atau enam (tetapi mungkin delapan atau lebih) panjang pasangan-pasangan nukleotide. Serta menurut Lewin (1983), enzim restriksi akan memotong untai ganda DNA pada situs spesifik dimana enzim restriksi yang berbeda akan mempunyai target sekuens yang berbeda.

Menurut Suryanto (2003), PCR-RFLP digunakan untuk melihat polimorfisme dalam genom organisme dimana digunakan suatu enzim pemotong tertentu (restriction enzymes), karena sifatnya yang spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrangement dapat menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukurannya dari satu organisme ke organisme lainnya. Polimorfisme ini selanjutnya digunakan untuk membuat pohon filogeni kekerabatan kelompok. RFLP ditentukan ketika amplikon dipotong dengan Alu I, Rsa I, Taq I dan Hinf I (Jain 2004).

(41)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan dan Layanan Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dalam kurun waktu antara bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Desember 2008.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung/botol, gunting bedah, pinset, timbangan analitik, penumbuk, mikropipet 1–10 μl, mikoropipet 2– 20 μl, mikropipet 50–1000 μl, mikrotip, tabung eppendorf 1,5 ml, tabung PCR, parafilm, erlenmeyer, gelas piala, vortex mixer, sentrifuse, microwave, waterbath, agarose DNA electrophoresis, UV transluminator, AB GeneAmp® PCR System

9700, kertas Semi-Log (One Cycle Semi-Log) dan refrigerator.

Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jaringan otot delapan jenis burung lokal, yaitu cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), manyar jambul (Ploceus manyar), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), bondol peking (Lonchura punctulata), dederuk jawa (Streptopelia bitorquata), ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dan itik (Anas domesticus). Sampel jaringan tersebut dipreservasi

dalam larutan DMSO 25 % + NaCl 4,5 M, bahan lain yang digunakan adalah milique steril, larutan lysis buffer (Tris-HCl 10 mM, EDTA 25 mM, NaCl 100 mM, SDS 0,5 % pada pH 8), proteinase k, larutan RNAse k, larutan ammonium asetat 5 M, isopropanol, etanol 70 %, larutan TAE (Tris Asetat EDTA) 1 X, loading dye 6 X (Bromophenol blue 0,25 %, Xylene cyanol RF 0,25 % sucruze dalam H2O 40 %), ethidum bromide, Applied Biosystem GeneAmp® PCR Reagen Kit, dNTP mix 2 mM, amplitag polimerase Applied Biosystem GeneAmp® 5 U/μl,

serta Universal oligonucleotide sitokrom b (cyt b) primers, yaitu cytb1 -5’CCATCCAACATCTCAGCATGATGAAA3’ dan cytb-2

(42)

-5’CCCCTCAGAATGATATTTGTCCTCA3’, serta Hinf I (10 U/UL), dan Rsa I (10 U/UL).

Metode Kerja

Analisis DNA mitokondria delapan burung lokal melibatkan beberapa prosedur kerja, yaitu meliputi :

a. Pengumpulan sampel

b. Ekstraksi DNA genom dari jaringan otot

c. Amplifikasi fragmen DNA mitokondria melalui PCR

d. Pemotongan fragmen DNA dengan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I e. Pembacaan hasil menggunakan elektroforesis

f. Penghitungan ukuran fragmen restriksi

Pengumpulan Sampel

Pengumpulan sampel jaringan tubuh (jaringan otot) delapan burung lokal yaitu cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), manyar jambul (Ploceus manyar), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), bondol peking (Lonchura punctulata), dederuk jawa (Streptopelia bitorquata), ayam kampung (Gallus gallus

domesticus) dan itik (Anas sp) didapatkan dari pedagang burung di sekitar

Bogor, kemudian sampel jaringan tubuh burung tersebut dipreservasi di dalam lartuan DMSO 25 % dan NaCl 4,5 M dan disimpan di dalam refrigerator.

Ekstraksi DNA Genom dari Jaringan Otot

Sampel jaringan otot yang sudah dipreservasi dalam larutan NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25 % diekstraksi dengan menggunakan metode ekstraksi jaringan presipitasi ammonium asetat (Sambrook et al. 1982). Sebanyak 100mg jaringan burung diambil dan dimasukkan ke dalam tabung ependorf kemudian dihancurkan hingga halus dengan penumbuk. Jaringan burung tersebut kemudian dilarutkan dalam larutan lysis buffer sebanyak 500 μl dan diinkubasi dengan menggunakan water

(43)

bath selama 1 jam pada suhu 55 °C. Kemudian ke dalam larutan tersebut ditambahkan 6 μl proteinase-K (10 mg/ml) dan diinkubasi kembali selama 3 jam pada suhu 55 °C atau satu malam.

Sebanyak 3 μl RNAase solution (20 mg/ml) ditambahkan dan dicampur sampai merata dengan cara membolak-balikkan larutan sebanyak 25 kali, setelah itu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 15 – 30 menit. Setelah itu, larutan yang ada di dalam tabung disimpan dan didiamkan dalam es selama 30 menit. Larutan tersebut kemudian disentrifuse pada kecepatan 9000 g selama 30 menit.

Setelah dilakukan sentrifuse, larutan tersebut akan terbagi menjadi dua yaitu endapan dan supernatan yang terdapat pada bagian atas tabung ependorf. Supernatan tersebut kemudian diambil dan ditempatkan pada tabung ependorf baru. Di dalam supernatan yang sudah dipindahkan tersebut ditambahkan 500 μl ammonium acetate 5 M, larutan tersebut kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 20 detik pada kecepatan maksimum dan didiamkan selama kurang lebih 10 menit pada suhu ruang. Setelah itu, larutan tersebut disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm, suhu 4 °C selama 15 menit. Lapisan supernatan yang terbentuk kemudian dipindahkan ke dalam tabung ependorf baru yang sudah diisi dengan larutan isopropanol absolut sebanyak 600 μl pada suhu ruang. Larutan tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan tabung. Setelah itu larutan tersebut didiamkan dalam suhu ruang selama satu malam sampai terbentuk pelet DNA.

Setelah satu malam, larutan tersebut kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm, suhu 4 °C selama 5 menit sehingga DNA akan terlihat sebagai pelet putih kecil. Supernatan dibuang dan apabila diperlukan dilakukan sentrifuse ulang untuk membuang sisa isopropanol. Pelet yang tersisa kemudian ditambahkan 500 μl alkohol 70 % dingin, kemudian dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan tabung beberapa kali untuk membantu pencucian DNA. Setelah itu, larutan tersebut disentrifuse pada kecepatan 13.000–16.000 g, selama 1 menit. Supernatan (sisa alkohol) dibuang secara hati-hati supaya pelet tidak

(44)

terikut. Pelet yang tersisa kemudian dikeringkan pada suhu kamar atau pada suhu 75°C selama 5 menit. Setelah pelet tersebut kering, pada pelet DNA kemudian ditambahkan 30–50 μl ddH2O (MQ) dan didiamkan

semalam atau diinkubasi pada suhu 60 °C selama 3 menit atau 55 °C selama 20–30 menit.

Amplifikasi Fragmen DNA Mitokondria melalui PCR

Proses amplifikasi fragmen DNA mitokondria dilakukan dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan

GeneAmp® PCR System 9700. Apabila digunakan sampel hasil ekstraksi

DNA (DNA template) sebanyak 1 μl maka secara berurutan reagen yang dicampurkan ke dalam tabung PCR adalah ddH2O sebanyak 16,55 μl,

kemudian dicampurkan dengan buffer 1 X sebanyak 2,5 μl, lalu dicampurkan dNTP (2mM) sebanyak 2,7 μl. Setelah itu dimasukkan primer sitokrom b1 (1,27 Ug/UL) dan primer sitokrom b2 (1,40 Ug/UL) masing-masing sebanyak 1μl, dan selanjutnya dimasukkan taq polymerase

Applied Biosystem GeneAmp® (5 U/μl) sebanyak 0,25 μl, serta dicampurkan DNA template (DNA sampel) sebanyak 1 μl (volume total untuk satu kali reaksi dalam PCR ini adalah 25 μl). Tabung PCR yang sudah berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam mesin PCR yang sudah diprogram untuk berjalan dalam 35 siklus pada kondisi :

- 94 °C selama 90 detik (denaturasi awal) - 94 °C selama 45 detik (denaturasi akhir) - 53 °C selama 45 detik (annealing primer) - 72 °C selama 90 detik (extention awal) - 72 °C selama 10 menit (extention akhir)

Pemotongan DNA dengan Enzim Restriksi Hinf I dan Rsa I

Proses pemotongan DNA hasil amplifikasi (amplikon) dilakukan dengan mengguanakan Hinf I dan Rsa I. Beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Hinf I secara berurutan adalah ddH2O sebanyak 12,25 μl, kemudian larutan buffer sebanyak 2,5 μl,

(45)

setelah itu dicampurkan enzim Hinf I (10 U/UL) sebanyak 0,25 μl (2,5 unit), serta DNA hasil PCR sebanyak 10 μl (volume total dalam pemotongan dengan Hinf I ini adalah 25 μl). Sedangkan beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I secara berurutan adalah ddH2O sebanyak 10,5 μl, kemudian larutan buffer

sebanyak 2,5 μl, setelah itu dicampurkan enzim Rsa I (10 U/UL) sebanyak 2 μl(2 unit), serta DNA hasil PCR sebanyak sebanyak 10 μl (volume total dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I adalah 25 μl). DNA hasil PCR yang dipotong selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam untuk pemotongan dengan Hinf I dan selama 6 jam untuk pemotongan dengan Rsa I.

Pembacaan Hasil Menggunakan Elektroforesis

Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) dan pemotongan dengan enzim Hinf I dan Rsa I dibaca dengan menggunakan elektroforesis gel yang kemudian dilihat di atas sinar ultraviolet. Tahapan pembacaan hasil dengan menggunakan elektroforesis gel diawali dengan pembuatan gel/agar. Gel yang digunakan adalah agarose DNA electrophoresis. Agarose yang digunakan untuk pembacaan hasil ekstraksi DNA genom adalah agarose 1 % dengan rincian 0,5 gram agarose dicampur dengan 50 ml TAE 1 X. Agarose yang yang digunakan untuk PCR adalah agarose 1,5 % dengan rincian 0,75 gram agarose dicampur dengan 50 ml TAE 1 X. Sedangkan untuk hasil pemotongan adalah agarose 2% dengan rincian 1 gram agarose dicampur dengan 50 ml TAE 1 X, kemudian dipanaskan dalam microwave dan ditambahkan dengan ethidium bromide, setelah itu dibuat sumur pada agar untuk memasukkan DNA hasil dengan menggunakan sisir pembentuk sumur. Setelah didiamkan beberapa menit maka gel agarose dapat digunakan untuk pembacaan hasil. Masing-masing DNA hasil dimasukkan ke dalam sumur yang sebelumnya pada DNA hasil sudah ditambah dengan loading dye. Setelah semua masuk maka DNA hasil PCR dan DNA hasil pemotongan dapat dilakukan elektroforesis gel. Setelah kurang lebih 45 menit gel agarose yang berisi DNA hasil diangkat

(46)

dan diletakkan di atas UV transluminator untuk pembacaan hasil (melalui pemotretan sehingga didapatkan foto/gambar).

Penghitungan Ukuran Fragmen Restriksi

DNA sampel pada foto/gambar dapat diukur besarnya dengan menggunakan kertas Semi-Log (One Cycle Semi-Log). Langkah pertama dalam pengukuran DNA sampel adalah menentukan sumbu y untuk berat molekul (pasangan basa atau pb untuk berat molekul DNA) serta sumbu x untuk jarak migrasi DNA (dalam cm). Setelah itu, migrasi DNA ladder pada foto/gambar diukur kemudian diplot pada kertas Semi-Log sehingga terbentuk garis lurus/garis miring. Langkah berikutnya adalah pengukuran migrasi DNA setiap sampel atau fragmen restriksi setiap sampel kemudian diplot pada kertas Semi-Log sehingga dapat diketahui berat molekul (pb) DNA setiap sampel atau fragmen restriksi setiap sampel (Sambrook et al. 1982).

(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Sampel jaringan tubuh dari delapan jenis burung lokal yaitu ayam kampung, bondol jawa, bondol peking, cucak kutilang, merbah cerukcuk, manyar jambul, dederuk jawa dan itik di ekstraksi menggunakan metode ekstraksi jaringan presipitasi amonium asetat, kemudian dilakukan amplifikasi fragmen sitokrom b dari DNA mitokondria menggunakan primer universal L1484/H15149 (Kocher et al. 1989) melalui metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan menghasilkan DNA hasil PCR (amplikon) dengan ukuran sebesar 359 pasangan basa (pb). Ukuran amplikon dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11 DNA ladder (a) serta amplikon delapan jenis burung lokal yaitu; bondol jawa (b), bondol peking (c), merbah cerukcuk (d), cucak kutilang (e), dederuk jawa (f), manyar jambul (g) dan itik (h).

Amplikon yang sudah diperoleh kemudian dicerna/dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I sehingga diperoleh fragmen restriksi. Pengukuran fragmen hasil pemotongan/fragmen restriksi

Gambar

Gambar 1 Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) (MacKinnon et al. 2007).
Gambar 2 Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) (MacKinnon et al. 2007).
Gambar 3 Manyar jambul (Ploceus manyar) (MacKinnon et al. 2007).
Gambar 5 Bondol peking (Lonchura punctulata) (MacKinnon et al. 2007).
+7

Referensi

Dokumen terkait