• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Asas Legalitas Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Hukum pidana merupakan bagian hukum publik,52 konsekuensi logis demikian, hukum pidana dititikberatkan pada kepentingan umum dan memiliki dua unsur pokok yaitu norma dan sanksi. Hukum pidana menitikberatkan menyangkut kepentingan umum. Hubungan hukum yang ditimbulkan dari perbuatan seseorang menyebabkan dijatuhkannya sanksi pidana sebab selain pihak korban dirugikan termasuk pihak pemerintah sebagai pembuat regulasi.53

Hukum pidana memiliki hubungan hukum berdasarkan kepentingan masyarakat sehingga memiliki sifat hubungan publik. Tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat melalui norma sanksi.54

52

Martimam Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 7-8. Lihat juga: EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana

di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 25. 53

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 37.

54

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 14.

Hukum pidana memiliki korelasi erat dengan berkembangnya masyarakat hukum terutama asas-asasnya yang tidak terlepas

(2)

dari dinamika masyarakat bersangkutan. Asas-asas hukum pidana relatif telah berkembang dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga memiliki relevansi dengan dimensi pembuktian pada tataran legislasi dan implementasinya.55

Pembuktian pada hakikatnya dalam hukum pidana memiliki peranan penting, sebab melalui pembuktian itulah dapat ditentukan salah atau tidaknya terdakwa. Pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menetapkan serta memutuskan kesalahan seseorang baik melalui litigasi maupun non litigasi. Kajian berdasarkan kerangka litigasi di pengadilan akan menentukan apakah terdakwa dapat dijatuhi sanksi pidana (veroordeling) dari hasil persidangan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana atau dibebaskannya dari dakwaan (vrijspraak) karena tidak terbukti melakukan tindak pidana atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging) karena apa yang didakwakan terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.56

Asas penting dalam hukum pidana erat kaitannya dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, yang menentukan, “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang

Secara sederhana ada anasir erat hubungan antara asas-asas hukum pidana dengan dimensi pembuktian yang merupakan rumpun hukum acara pidana.

55

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 75-76.

56

(3)

mendahuluinya”.57

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana sebelum diatur dalam suatu undang-undang tertentu;

Berdasarkan ketentuan tersebut, asas legalitas mengandung tiga pengertian yakni:

2. Untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak dibolehkan dipergunakan analogi; dan

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak bisa berlaku surut.

Ketiga unsur di atas, terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. Asas legalitas sebagai ciri utama dalam sistim civil law dan eksistensinya diakui dalam KUH Pidana Indonesia. Pada perkembangannya saat ini, mengingat munculnya perbuatan-perbuatan yang sepatutnya harus dipidana tetapi tidak bisa dipidana karena tidak dilarang dalam undang-undang. Sehingga Utrecht menentang asas legalitas tersebut dengan alasan asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup.58

Pertentangan tentang asas legalitas terus terjadi, Andi Hamzah misalnya menentang pendapat Utrecht tersebut dengan tetap berpegang teguh pada asas legalitas dengan alasan Andi adalah tidak mungkin dapat dikodifikasi secara universal hukum adat yang masih hidup itu apalagi yang akan hidup sebab hal demikian merupakan perlindungan terhadap hak asasi manusia menyangkut adat

57

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 130.

58

(4)

istiadat yang tidak bisa diatur secara komprehensif, adat antar daerah di wilayah Indonesia berbeda-beda satu sama lainnya.59

Demikian pula Barda Nawawi Arief berpandangan pada asas legalitas dengan menyatakan bahwa dalam asas legalitas tersimpul asas lain seperti asas legalitas formal, asas lex certa, asas lex temporis delicti dan asas non retroaktif.60 Asas legalitas mengacu pada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Namun pada tataran penerapan (implementatif) asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak misalnya adanya prinsip yang menggunakan ketentuan mana yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pada tataran normatif asas legalitas ini juga dikecualikan misalnya terdapat pada Ketentuan Peralihan. Bilamana perundang-undangan direvisi setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.61 Melemahnya asas legalitas juga ditemukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana.62

59

Andi Hamzah dalam Loebby Loqman, Perkembangan Asas Legalitas Dalam Hukum

Pidana di Indonesia, (Semarang: Papers, 2004), hal. 6-7. 60

Barda Nawawi Arief dalam Jan Remmelink, Op. cit., hal. 358. Asas legalitas formal (lex

scripta) memandang penghukuman harus didasarkan pada ketentuan undang-undang tertulis. Asas lex certa memandang kebijakan legislasi dalam merumuskan ketentuan undang-undang harus lengkap dan

jelas serta tidak samar-samar. Asas lex temporis delicti memandang suatu perbuatan pidana harus sesuai dengan waktu dan tempat terjadinya pidana. Asas non retroaktif memandang bahwa hukum tidak bisa diberlakukan secara surut.

61

A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit., hal. 151.

62

Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana menentukan: “Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana inilah yang mengandung asas lex temporis delicti.

(5)

Dalam kaitannya, asas legalitas dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) adalah terkait dengan dikriminalisasinya pencucian uang menjadi suatu perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang dilarang dalam UUPPTPPU khususnya yang menyangkut dengan pemeriksaan di sidang pengadilan terkait dengan pembuktian terbalik yang telah diatur (dilegalkan) dalam Pasal 77 UUPPTPPU. Ketentuan pasal ini menentukan, ”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Dengan demikian, berdasarkan asas legalitas pembuktian terbalik telah dianut dalam Pasal 77 UUPPTPPU.

Pengecualian terhadap asas legalitas terdapat dalam Pasal 94 dan Pasal 95 UUPPTPPU. Ketentuan dalam Pasal 94 menyangkut tugas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus tunduk pada UU No.8 Tahun 2010 tetapi kecuali mengenai struktur organisasinya masih tetap berpedoman pada UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 95 menentukan batasan terhadap kasus-kasus tindak pidana pencucian uang yang dilakukan sebelum berlakunya UU No.8 Tahun 2010, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan dalam UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003.

(6)

Secara teoritis ilmu pengetahuan hukum acara pidana asasnya mengenal empat teori hukum pembuktian meliputi: teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime), teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee), teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk stelsel).

Konsekuensi logis dari keempat teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Keempat macam teori tentang beban pembuktian tersebut pada hakikatnya terdapat di negara Indonesia maupun di beberapa negara seperti di Malaysia, Inggris, Hongkong, dan Singapura. Teori beban pembuktian tersebut dibagi dalam tiga macam:

1. Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum

Beban pembuktian pada penuntutu umum dikenal dengan pembuktian biasa atau konvensional, dimana penuntut umum lah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa (lihat Pasal 66 KUHAP).63

63

Pasal 66 KUHAP ditentukan: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Konsekuensi logis dari beban pembuktian dalam teori ini ada pada Jaksa Penuntut Umum, tentu saja dengan beban pembuktian demikian

(7)

berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) yakni menjunjung tinggi HAM terdakwa. Jaksa Penuntut Umum harus menganggap bahwa tersangka atau terdakwa bukan orang yang bersalah sebelum terbukti kesalahannya di hadapan sidang pengadilan.

Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) merupakan salah satu karakter dalam pembuktian di sidang pengadilan khususnya bagi negara-negara demokrasi yang mengakui rule of law. Negara Indonesia misalnya mewujudkan asas praduga tidak bersalah melalui penerapan sistem pembuktian negatif berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk stelsel). Asas praduga tidak bersalah dinilai oleh International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak bertentangan dengan hak asasi manusia

sebab asas ini tidak memposisikan tersangka atau terdakwa sebagai orang yang bersalah sebelum dapat dibuktikan.64

Beban pembuktian yang dibebankan kepada JPU dikenal di Indonesia sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas ditentukan, “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. JPU yang wajib

64

(8)

membuktikan kesalahan terdakwa dengan berbagai macam alat-alat bukti yang diajukannya di sidang pengadilan. Ketentuan Pasal 66 KUHAP tersebut sejalan dengan Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik PBB tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998.

2. Beban Pembuktian Pada Terdakwa

Konsekuensi dari beban pembuktian ini adalah terdakwa yang wajib aktif membuktikan, menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa lah di hadapan sidang pengadilan yang mempersiapkan segala beban pembuktian dan jika tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast atau sifting of burden of proof/onus of proof) yang bersifat absolut atau murni.

Beban pembuktiannya diwajibkan pada terdakwa atau kuasanya maka pembuktian terbalik jenis ini bersifat absolut (murni) dimana terdakwa dan atau penasihat hukumnya yang wajib membuktikan ketidakbersalahan terdakwa. Jika beban pembuktian diwajibkan kepada terdakwa, maka hal ini jelas-jelas menggeser asas parduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Sebab terdakwa berhak untuk

(9)

diam (the right to remain silent), tidak boleh dipaksa untuk bicara dalam proses persidangan.65

Prinsip beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP berbeda secara ekstrim dengan prinsip pembuktian terbalik absolut yang pengaturannya tidak ditemukan dalam KUHAP melainkan dianut dalam beberapa undang-undang khusus.

Pada hakikatnya pembuktian terbalik model inilah yang disebut pembuktian terbalik bersifat absolut dan model ini merupakan penyimpangan dari hukum pembuktian pada umumnya (konvensional) dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa dalam kerangka pembuktian. Pembuktian secara konvensional atau pembuktian secara negatif menempatkan kedudukan hak asasi tersangka yang paling tertinggi sedangkan pembuktian terbalik khususnya yang bersifat absolut (murni) memaksa terdakwa untuk berbicara dengan membuktikan kesalahannya.

66

3. Beban Pembuktian Berimbang

Jika JPU dibebankan untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa maka prinsip ini dikenal dengan beban pembuktian biasa, sedangkan jika beban pembuktian itu dibebankan kepada si tersangka atau terdakwa maka prinsip demikian dikenal dengan pembuktian terbalik.

65

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 107.

66

Bandingkan dengan Pasal 77 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) dan Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(10)

Beban pembuktian berimbang disebut juga dengan pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan. Baik penuntut umum maupun terdakwa dan atau kuasanya saling membuktikan di hadapan sidang pengadilan. Lazimnya penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa bersama penasihat hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas pembuktian ini dinamakan pembuktian terbalik yang bersifat berimbang. Asas ini telah dianut di Amerika Serikat dan juga di Indonesia.

Berdasarkan ketiga macam beban pembuktian tersebut di atas, dapat dikelompokkan menjadi dua klasifikasi yakni pembuktian biasa (konvensional) dan pembuktian terbalik (absolut/murni dan terbatas/berimbang) sebagai berikut:67

a. Pembuktian biasa (konvensional) dasarnya Pasal 66 KUHAP menerapkasan asas praduga tidak bersalah terhadap terdakwa, sama pembuktiannya dengan pembuktian negatif (negative wettelijk stelsel) dalam KUHAP;

67 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian...Op. cit, hal. 101-103. Sejarah

pemberlakuan asas pembuktian terbalik bermula dari sistem pembuktian yang dikenal pada negara-negara yang menganut rumpun Anglo Saxon (negara-negara-negara-negara penganut kasus-kasus tertentu atau case

law atau certain cases) khususnya terhadap kasus tindak pidana gratifikasi (pemberian yang

berkorelasi dengan suap). Pada mulanya sudah dianut di negara Inggris, Singapura, Malaysia, hingga di Indonesia.

(11)

b. Pembuktian terbalik, menerapkan asas praduga bersalah terhadap terdakwa, ketentuan ini tidak diatur dalam KUHAP. Beban pembuktian terbalik ada pada terdakwa bukan pada JPU. Pembuktian terbalik dibagi dua:

1) Pembuktian terbalik berimbang yang diturunkan; dan

2) Pembuktian terbalik berimbang yang dipertajam atau dinaikkan (absolut/murni).

Pembuktian terbalik terbatas/berimbang atau disebut juga pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan. Dikatakan pembuktian terbalik berimbang karena walaupun terdakwa dibebankan membuktikan tetapi JPU juga tetap berkewajiban membuktikan alat-alat bukti yang dimilikinya. Sedangkan dikatakan pembuktian biasa (konvensional) sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP, penuntut umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam undang-undang dan terdakwa dapat menyangkal keabsahan dari alat-alat bukti dan beban pembuktian dari penuntut umum sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP. Sedangkan dikatakan pembuktian terbalik, beban pembuktiannya berada pada terdakwa, yang dapat dilihat dalam berbagai perundang-undangan misalnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU.

Sedangkan beban pembuktian dalam pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan dibebankan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya dan penuntut umum wajib sama-sama membuktikan keabsahan alat-alat bukti. Terdakwa

(12)

berkewajiban membuktikan alat-alat bukti yang diajukannya di persidangan demikian pula bagi penuntut umum juga berkewajiban membuktikan keabsahan alat-alat bukti yang diajukannya di sidang pengadilan.

Pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang mewajibkan terdakwa atau penasihat hukumnya dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan atau kebenaran dari terdakwa. Ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa perundang-undangan berbeda-beda pengaturannya ada yang dibebankan kepada terdakwa (absolut), ada yang bersifat terbatas dan berimbang bahkan ada yang dikhususkan untuk pembuktian harta kekayaan dan ada pula yang dikhususkan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa perundang-undangan di Indonesia yang menganut asas pembuktian terbalik pada UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU), UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

C. Tujuan Asas Pembuktian Terbalik Untuk Merampas Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang

(13)

Esensi dianutnya asas pembuktian terbalik khususnya dalam UUPPTPPU bertujuan untuk perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang. Perampasan aset dapat diterapkan untuk kasus-kasus tindka pidana pencucian uang dengan menggunakan hukum pidana dapat sekaligus digunakan instrumen hukum perdata secara bersamaan, tidak perlu harus ditunggu lama setelah jalur hukum pidana digunakan terlebih dahulu. Konsep demikian dikenal dalam istilah model civil

forfeiture.68

David Scott Romantz, mendefinisikan civil forfeiture adalah suatu instrumen penyitaan atau perampasan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset.

69

Konsep civil forfeiture didasarkan pada doktrin mencemari (taint doctrine) dimana sebuah tindak pidana dianggap noda atau menodai (taint) sebuah aset.70

68 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di

Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal. 20. Sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UUPTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UUPTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda.

Jika menggunkana instrumen hukum pidana disebut criminal forfeiture dan jika menggunakan instrumen hukum perdata disebut civil forfeiture, bahkan dalam konsep

civil forfeiture kedua-duanya dapat sekaligus dijalankan. Criminal forfeiture

69

David Scott Romantz, Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of

right and The Judicial Response: The Guilt of the Res, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hal.

390.

70

(14)

bertujuan untuk menuntut orang atau pelaku melalui gugatan in personam (gugatan terhadap orang) sedangkan civil forfeiture bertujuan untuk merampas aset atau harta kekayaan melalui gugatan in rem.71

Perampasan aset sebagai alat yang tangguh untuk merampas kembali hasil-hasil tindak pidana, terutama dalam kasus-kasus besar dimana hasil-hasilnya telah ditranfer ke luar negeri.

72

Hal yang terasa sulit adalah ketika aset tersebut berada di luar negeri, maka harus didukung dengan perjanjian atau kerjasama antara negara melalui kerjasama internasional, untuk dapat merampas (recover) aset hasil kejahatan yang melalui lintas batas antara negara, misalnya melalui kerjasama Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) yang dapat dilakukan 3 (tiga) bentuk yaitu: Bilateral; Regional; dan Multilateral.73

Untuk merampas aset hasil-hasil tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 77 UUPPTPPU dapat dilakukan dengan menggunakan hukum perdata untuk mengajukan gugatan in rem. Penggunaan civil forfeiture pada hakikatnya menyangkut dalam hal:

74

1. Tidak terbukti terdakwa secara pidana;

71

Ibid., hal. 389.

72

Theodore S. Greenberg, dkk, Stolen Asset Recovery: A Good Practice Guide for

Non-Conviction Based Asset Forfeiture, (Jakarta: Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, 2009), hal. 167. 73

Zulkarnain Sitompul, “Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerja Sama Internasional”, Artikel dalam Jurnal Forum Keadilan, Nomor 40, Tanggal 13 Februari 2005, hal. 32.

74 Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi

Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3.

(15)

2. Tersangka dan terdakwanya meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;

3. Karena kerugian negara yang belum disita baru diketahui kemudian setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Instrumen hukum pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum menuntut agar aset itu dirampas melalui putusan hakim. Sedangkan instrumen perdata dilakukan oleh Jakas Pengacara Negara (JPN) mewakili negara yang dirugikan. Penggunaan instrumen civil forfeiture menimbulkan konsekuensi hukum yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata (BW) yang berlaku, materil maupun formil. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang lebih lebih mudah dari pada pembuktikan materil.

Pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset. Pemanfaatan potensi civil

forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral di samping diperlukan

suatu restrukturisasi hukum nasional antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Hukum acara perdata harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private sementara civil

(16)

Civil forfeiture sebagai hukum acara perdata khusus, seyogyanya diatur secara

tersendiri dalam undang-undang khusus. Seperti di Amerika Serikat terdapat ketentuan khusus yang mengatur yaitu federal forfeiture law, di Australia/New Zealand diatur khusus dalam Proceeds of Crime Act, 2002, di Irlandia diatur khusus dalam The Proceeds of Crime Act, 1996, di Inggris (United Kingdom) diatur dalam

The United Kingdom’s Proceeds of Crime Act, 2002 yang telah diamandemen dalam The Serious Organized Crime and Police Act, 2005. Pengaturan khusus ini penting

terutama dikaitkan dengan tiga hal:75

1. Harmonisasi UUPTPK dengan Konvensi Anti Korupsi 2003 sehubungan dengan ratifikasi konvensi tersebut;

2. Pengaturan BW maupun HIR mengenai tanggung gugat dan gugatan perdata yang tidak menunjuk pada penerapan untuk kasus tindak pidana korupsi; 3. Prinsip dalam hukum pidana bahwa seseorang yang dibebaskan atau tidak

dapat dipidana menandai tidak adanya perbuatan melawan hukum atau tidak adanya kesalahan.

Penggunaan civil forfeiture dalam tindak pidana pencucian uang untuk mengantisipasi bebasnya atau tidak terbuktinya terdakwa dalam persidangan sehingga tidak ada alasan untuk merampas aset yang dicuri. Padahal nyata-nyata bahwa harta kekayaannya tidak bisa ia buktikan dalam persidangan. Oleh sebab itu, dengan menggunakan civil forfeiture walaupun terdakwa bebas dari tuntutan pidana, namun

75 http://www.thenewspaper.com/rlc/docs/2007/ontarioag-size.pdf, Ministry of the

Attorney General, Civil Forfeiture in Ontario, An Update On the Civil Remedies Act, 2001, Ministry of the Attorney General, 2007, diakses tanggal 28 Juli 2012.

(17)

ia masih diwajibkan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (vide Pasal 77 UUPPTPPU).

Walaupun perampasan aset model civil forfeiture belum sepenuhnya diatur dalam bentuk undang-undang di Indonesia, namun, Burgerlijke Wetboek (BW), memungkinkan untuk diterapkan mengenai tanggung gugat yang dipertajam dalam bentuk yang disebut dengan “pembalikan beban pembuktian” dan “tanggung gugat risiko”. Dimungkinkannya kedua hal tersebut, karena alasan sebagai berikut yaitu:

1. Posisi pihak yang dirugikan mungkin diperkuat dengan mempertahankan persyaratan sifat melanggar hukum perdata (pembuktian terbalik) dan kesalahan mengubah pembagian beban pembuktian yang normal (tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian), demi kerugian pelaku dan oleh demi keuntungan yang dirugikan. Kalau dalam keadaan normal pihak yang dirugikan wajib membuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melanggar hukum, maka di sini pelanggaran norma dianggap ada, dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan dan persangkaan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar hukum.76

76 J.H. Nieuwenhuis, diterjemahkan oleh: Djasadin Saragih, Pokok-pokok Hukum Perikatan,

(Surabaya: tanpa penerbit, 1985), hal.135. Contoh adalah Pasal 6.3.6 Rancangan BW baru Belanda, dimana anak yang masih sangat muda dan orang gila, yang tentu tidak bersalah, dalam keadaan-keadaan tertentu dapat dinyatakan bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan.

(18)

2. Karena ditimbulkannya kerugian dengan menimbulkan syarat-syarat sifat melanggar hukum (perdata) dan kesalahan (tanggung gugat risiko). Dalam hal ini, masih dapat dibedakan antara hanya meniadakan kesalahan (dalam arti sempit) di satu sisi dan peniadaan sifat melanggar hukum dan kesalahan sebagai syarat tanggung gugat di lain sisi.77

Mengenai gugatan perdata dalam tindak pidana pencucian uang, lebih berkaitan dengan penajaman tanggung gugat atas harta kekayaan dengan pembuktian terbalik yang dipertajam dalam Pasal 77 UUPPTPPU, hal ini juga diatur dalam Pasal 1367 Ayat (2) jo Ayat (5) BW.78

Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita atau merampas aset yang berasal dari hasil kejahatan sudah hal yang lazim ditemui di negara-negara Sifat melawan hukum materil yang tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum, sehingga mengakibatkan dibebaskannya terdakwa. Oleh sebabnya, gugatan dengan pembuktian terbalik yang dipertajam sangat dimungkinkan diterapkan. Bahkan sampai pada ahli waris tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia harus membuktikan mengenai asal-usul harta kekayaan. Sehingga dengan penggunaan instrument civil forfeiture akan mempermudah perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang dengan mengoptimalkan jalur perdata.

77 Ibid., hal.74. Contoh adalah tanggung gugat majikan atas perbuatan melanggar hukum

bawahannya, (c.f. Pasal 1367 Ayat (3) BW).

(19)

common law. Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad

pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai “instrumen kematian” (instrument of a death) atau yang sering disebut sebagai deodand.79

Praktik civil forfeiture dianggap oleh sebahagian orang bersifat tidak adil, namun Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaan civil forfeiture untuk hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah federal dalam hal menyita kapal.

80

Supreme Court kemudian juga mendukung penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus Palmyra yang terjadi di tahun 1827 dimana pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan kapalnya adalah illegal karena tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah. Kasus inilah yang menjadi dasar dari penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat.81

Tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan perdamaian manusia yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan

79 Tood Barnet, Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal. 89. Munculnya era industrialisasi di Inggris

kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita. Namun demikian, walaupun deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat terutama dalam bidang hukum perkapalan (admiralty law). Colonial Admiralty Courts sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik kapalnya.

80

Ibid., hal. 46.

81

(20)

manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya. Tujuan hukum tersebut untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat hukum.82

Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, menekankan agar berhati-hati dan tetap memperhatikan rule of law dan due process of law dalam merumuskan upaya paksa perampasan aset melalui civil forfeiture khususnya untuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Dengan demikian, maka tujuan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset atau harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang untuk mencapai ketertiban, keteraturan dan keadilan yang dimaksud.

83

Civil forfeiture masih dipersoalkan di negara-negara yang mengenalnya, antara lain mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan polisi (abuse of police powers) dalam pelaksanaan upaya hukum “perampasan aset” yang diduga terkait tindak pidana korupsi.84

82 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Loc. cit.

83

http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/19517/rombak-total-draf-ruu-tipikor, diakses tanggal 29 Juli 2012.

84 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia, Disampaikan sebagai Narasumber dalam Sosialisasi RUU Perampasan

Aset Tindak Pidana, Ditjen Depkumham, di Hotel Maharani, Jakarta, tanggal 3 Agustus 2009, hal. 2.

Misalnya jika dikaitkan dengan Pasal 28G UUD 1945 maka harta benda (kekayaan) seseorang tidak boleh secara sewenang-wenang digeledah atau dirampas, karena harta benda tersebut termasuk dalam perlindungan hukum acara pidana dan hukum pidana. Jaminan

(21)

konstitusi ini bukan untuk meniadakan pembentukan RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.

Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery85, menyebutkan bahwa keuntungan prosedur perampasan aset tindak pidana melalui prosedur khusus perundang-undangan adalah:86

1. Terdakwa telah wafat;

2. Terdakwa bebas dari tuntutan pidana;

3. Terdakwa tidak dapat ditemukan pada “negara korban”, karena sudah melarikan diri keluar negeri atau pemilik aktiva tersebut tidak pasti;

4. Pemilik aset bersangkutan tidak pasti; dan

5. Ketentuan daluarsa menuntut tindak pidana sehingga tidak memungkinkan penyidikan.

Dari syarat di atas, tampak bahwa jika instrumen hukum pidana sudah berakhir atau tidak berhasil digunakan untuk menuntut terdakwa sehingga ia bebas atau telah kadaluarsa, maka dapat digunakan civil forfeiture dengan prosedur perdata, tidak diharuskan untuk membuktikan unsur-unsur kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability), cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana.

85 http://www.baselgovernance.org/icar/, diakses tanggal 29 Juli 2012. Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery adalah pusat Internasional untuk Asset Recovery

(ICAR) yang menyediakan pengembangan kapasitas dan metodologi pelatihan onsite, di negara-negara Selatan dan Timur, di bidang investigasi keuangan, penelusuran aset dan pemulihan serta bantuan hukum timbal balik.

86

Ibid., Lihat juga: http://www.assetrecovery.org/kc/node/3518064a-a345-11dc-bf1b-335d0754ba85.12, diakses tanggal 27 Juli 2012.

(22)

Penuntut cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana.87

D. Asas Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Ditentukan dalam Pasal 77 UUPPTPPU, “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Berdasarkan ketentuan pasal ini dalam persidangan kasus-kasus tindak pidana pencucian uang di sidang pengadilan pada tingkat tataran normatif yakni dalam UUPPTPPU telah dianut asas pembuktian terbalik.

Ketentuan pembuktian terbalik juga dinormatifkan dalam Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi88

87

Stefan D. Cassella, “Provision of the USA Patriot Act relating to Asset Forfeiture in Transnasional Cases”, Journal of Financial Crime, Vol. 10, No.4, Tahun 2003, hal. 303. Lihat juga: Kuntoro Basuki, “Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata”, Makalah Disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasioal (SPHN 2007), Hotel Millenium, Jakarta, Tanggal 28 s/d 29 Nopember 2007, hal. 14.

88 Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi menentukan:

selain itu juga diatur dalam Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 tentang

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(23)

Perlindungan Konsumen.89

Jika dianalisis ketentuan pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) bersifat absolut (murni) sebab dalam pasal ini tidak ditentukan kewajiban bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa melalui dakwaannya. Dengan dianutnya pembuktian terbalik bersifat murni di dalam Pasal 77 UUPPTPPU menyebabkan beralihnya asas parduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah.

Selain itu juga diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebagai contoh jika memperhatikan ketentuan pembuktian terbalik dalam undang-undang tindak pidana korupsi menganut beban pembuktian yang berimbang atau pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang dimana terdakwa atau penasihat hukumnya dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan atau kebenaran dari terdakwa. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 juga menganut pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

89 Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menentukan:

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”.

(24)

Sehingga maksud dari pembuat undang-undang (legislatif) menginginkan untuk kasus tindak pidana pencucian uang ingin memposisikan terdakwa sebagai pihak yang bersalah padahal kesalahannya itu belum terbukti secara keseluruhan melalui putusan pengadilan. Tentu saja dengan memposisikan terdakwa sebagai orang yang bersalah akan menjadi dilema dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini berbeda sekali dengan ketentuan pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 dan Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 yang menganut beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang, selain terdakwa atau penasihat hukumnya, penuntut umum juga wajib membuktikan dakwaannya.

Lebih lanjut dikatakan Lilik Mulyadi asas pembuktian terbalik yang bersifat murni mengandung konsekuensi logis bahwa:90

Pandangan Lilik Mulyadi di atas, tampak masih tetap membenarkan beban pembuktian harus ada pada penuntut umum sebab dengan demikian akan mengikuti Praduga bersalah relatif cenderung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya asas praduga tidak bersalah. Pada dasarnya, asas praduga tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada pembuktian pada penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil.

90

(25)

norma dengan cara-cara yang adil bagi pencari keadilan. Sebagaimana pandangan tersebut, Indrianto Seno Adji memperkuat argumentasinya dengan dikritiknya pembuktian terbalik yang bersifat absolut (murni). Beliau mengatakan:91

91

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2006), hal. 132-133.

Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana yang universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistim kontinental maupun Anglo Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja dalam kasus-kasus tertentu (certain cases) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu sistem pembuktian terbalik itupun tidak dilakukan secara keseluruahn (overall) tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa.

Pandangan tersebut di atas tidak juga memposisikan tersangka atau terdakwa sebagai orang yang bersalah secara keseluruhan (overall) melainkan harus memiliki batas-batas yang tidak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa. Pembuktian secara konvensional menganut asas praduga tidak bersalah sehingga dalam hal ini siapa yang menuntut, maka dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya itu. Dengan dianutnya asas praduga bersalah memberlakukan asas baru yakni asas pembuktian terbalik sehingga terdakwa akan menyangkal dengan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

(26)

Dalam konteks kajian asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang ditekankan dan ditegaskan bahwa walaupun UUPPTPPU menganut asas pembuktian terbalik namun tidak diberlaku untuk kesalahan tersangka atau terdakwa. Hal ini jelas disebutkan dalam ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU tersebut bahwa terdakwa wajib membuktikan Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Berarti dalam konteks ini bukan terhadap kesalahan pelaku melainkan pembuktian terbalik ditujukan kepada kepemilikan harta si pelaku. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberlakuan asas pembuktian terbalik dalam UUPPTPPU tidak mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia sebab tidak ditujukan terhadap pembuktian kesalahan pelakunya.

Jika pembuktian terbalik ditujukan kepada kesalahan si pelaku atau terdakwa maka ketentuan itu akan bertentangan dengan perspektif HAM. Karena akan menggeser asas praduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Konsekuensi logis asas pembuktian terbalik dalam Pasal 77 UUPPTPPU bukan pada kesalahan pelaku melainkan kepada kepemilikan harta kekayaan si pelaku. Jika pelaku tidak bisa membuktikan kepemilikan harta kekayaannya itu maka harta tersebut akan dirampas untuk negara. Jika pelaku dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya itu adalah miliknya berdasarkan bukti-bukti yang kuat maka si pelaku berhak memiliki harta tersebut dan pelaku tidak berhak mengajukan tuntutan balik atas tidak terbuktinya hartanya berasal dari kejahatan. Konsep inilah yang merupakan ciri khusus asas

(27)

pembuktian terbalik yaitu tidak dibenarkannya terdakwa melakukan tuntutan balik jika pembuktian terdakwa ternyata benar.

Asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang tidak meletakkan beban pembuktian kesalahan bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana. Akan tetapi beban pembuktian itu ditujukan kepada terdakwa untuk membuktikan asal-usul harta kekayaan yang diperolehnya. Pandangan ini dikemukakan pula oleh Lilik Mulyadi bahwa beban pembuktiannya relatif tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan terdakwa karena akan mengakibatkan penggeseran asas parduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Dalam kajiannya jika digunakan asas praduga bersalah akan bertentangan dengan instrumen hukum acara dan hukum internasional dimana terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan kesalahannya.92

Asas praduga bersalah hanya bisa diberlakukan dalam instrumen hukum perdata yang bertujuan untuk mengejar aset (follow the money) setelah itu kemudian diterapkan rezim perampasan aset civil forfeture. Untuk membuktikan kesalahan si pelaku tetap mengedepankan asas pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk

stelsel) sebagaimana yang dianut di dalam KUHAP. Tetapi untuk mengembalikan

aset (asset recovery) hasil dari tindak pidana pencucian uang serta membuktikan harta

92

(28)

kekayaan pelaku tetap dipergunakan asas pembuktian terbalik karena pembuktian demikian akan lebih menjunjung tinggi ketentuan hukum acara pidana dan hukum pidana materil serta instrumen hukum internasional.93

Asas pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang atau pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) menempatkan hak asasi pelaku tindak pidana dalam kedudukan (level) paling tinggi mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi (highest balanced

probability principles) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negatif atau beyond reasonable doubt. Kemudian secara bersamaan di satu sisi khusus terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana diterapkan asas pembuktian terbalik melalui teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest

balanced probability principles) sehingga kedudukannya lebih rendah dibandingkan

dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena harta

Guna menghindari akses negatif dari asas pembuktian terbalik, maka mesti dipergunakan asas pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang atau pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) yang lebih mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu dan perampasan hak berkaitan dengan harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari tindak pidana pencucian uang.

93

(29)

kekayaan orang ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku tersebut dalam kedudukan belum kaya.94

Misalnya praktik pembalikan beban pembuktian di Hong Kong (Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Hui Kin Hong dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Lee Kwang Kut) dan India (Putusan Mahkamah Agung India antara State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan Putusan Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General for India (AIR 1963 SC 255) dilakukan terhadap asal usul kepemilikan harta pelaku dengan mempergunakan asas pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) sehingga implementasinya tetap menjunjung tinggi HAM dan ketentuan hukum acara pidana.

95

Jika memperhatikan ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU menempatkan harta kekayaan yang paling tertinggi. Hal ini sangat berbeda sekali dengan ketentuan dalam Pasal 37 UUPTPK yang menempatkan hak asasi pelaku yang menempati kedudukan yang paling tinggi. Perbedaaannya adalah dalam hal kedudukan hak asasi pelaku tindak pidana korupsi menempati kedudukan yang paling tinggi sehingga menggunakan asas pembuktian secara negatif (berarti membuktikan kesalahan terdakwa) sedangkan terhadap harta kekayaannya ditempatkan pada posisi yang lebih

94 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian...Op. cit., hal. 24.

95 Ibid., lihat juga:

(30)

rendah sehingga digunakan asas pembuktian terbalik. Inilah yang dikenal dengan asas pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan yang diturunkan.96

Sedangkan dalam asas pembuktian Pasal 77 UUPPTPPU, menempatkan harta kekayaan pada kedudukan yang paling tinggi sehingga digunakan asas pembuktian terbalik dengan beban pembuktian pada harta kekayaan sehingga Pasal 77 UUPPTPPU menganut pembuktian berimbang yang dipertajam atau dinaikkan. Maksud dipertajam adalah menempatkan harta kekayaan di posisi paling tinggi daripada kesalahan pelaku. Untuk hak asasi pelaku ditempatkan pada kedudukan yang lebih rendah. Konsekuensi logis ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU ini dapat diterima sebab dengan tujuan utamanya adalah untuk mengejar aliran uang (follow

the money) sehingga mengenyampingkan kedudukan hak asasi manusia pada

kedudukan yang lebih rendah dari aset.97

Berdasarkan uraian di atas, dianutnya asas pembuktian terbalik dengan beban pembuktian bagi terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam Pasal 77 UUPPTPPU akan semakin mempermudah aparat hukum untuk mengejar aset melalui pembuktian asal-usul harta kekayaan yang dikuasai oleh terdakwa. Sedangkan dengan dianutnya asas pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan

Itu sebabnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU tidak ditegaskan ketentuan yang mengandung unsur pembuktian kesalahan melainkan hanya menentukan pembuktian kepemilikan harta kekayaan.

96

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 111.

97

(31)

dalam Pasal 37 UUPTPK akan terasa sulit pembuktiannya terutama yang menyangkut asal-usul harta kekayaan si terdakwa.

Referensi

Dokumen terkait

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

Efektivitas pemberdayaan masyarakat dalam pengentasan kemiskinan pada program Gerdu Kempling dinilai berdasarkan peningkatan kondisi masyarakat setelah mendapatkan

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan antosianin pada Varietas Anjasmoro maupun Detam 1 tidak bisa menduga vigor daya simpan benih kedelai yang

Pengembangan metode evaluasi untuk keefektifan pendidikan bioetika diperlukan secara mendesak dalam banyak dimensi seperti: pengetahuan, ketrampilan, dan nilai- nilai

Populasi jabon putih dari wilayah NTB (Lombok Barat dan Sumbawa) mempunyai nilai keragaman yang lebih tinggi dibandingkan nilainya dari wilayah Sumatera (Sumatera Barat dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh peneliti mengenai peran ekstrakurikuler SKI dalam mengembangkan moral anggotanya melalui berbagai

Anwar Anshori, Analisis Tingkat Berpikir Geometri Siswa dalam Menyelesaikan Soal Bangun Ruang Sisi Datar Berdasarkan Teori Van Hiele pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2