11 BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Spina bifida adalah salah satu gangguan penutupan neural tubeyang menyebabkan terjadinya malformasi kongenital dan mempengaruhi sistem saraf. Spina bifida paling mungkin disebabkan oleh multifaktorial, yang berarti bahwa beberapa penyebab (termasuk faktor genetik, gizi, dan/atau lingkungan) memberikan kontribusi pada munculnya gangguan ini. Menurut beberapa studi, kekurangan asam folat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan merupakan salah satu faktor yang mengontribusi munculnya spina bifida.3
Spina bifida mielomeningokel atau meningokel sangat umum ditemukan di regio lumbosakral.Berdasarkan tingkat keparahan spina bifida dan keterlibatan saraf tepi dan saraf tulang belakang, dapat terjadi kelemahan ekstremitas bawah, dislokasi panggul, gangguan buang air kecil dan buang air besar karena gangguan saraf yang menyebabkan retensi pada kandung kencing dan ususyang disebut neurogenic bladder dan neurogenic bowel. Permasalahan lanjutan yang dapat muncul adalah infeksi saluran kemih (ISK) berulang, refluks vesikoureter dan hidronefrosis.4,5Sebuah penelitian cohort menyebutkan pasien dengan spina bifida tipe mielomeningokel menghadapi konsekuensi fisik dan sosial yang serius sepanjang hidupnya dari kecil hingga dewasa, meliputi paralisis, kurangnya sensasi kulit, kemungkinan pengucilan sosial karena adanya gangguan BAK dan BAB serta banyak dikaitkan dengan gangguan kognitif.6,7Dari 84 anak yang diikuti sampai minimal usia 20 tahun, 56% pasien tidak mendapatkan pekerjaan pada usia produktif, 30% hidup sendiri (tidak menikah) dan bergantung pada orang tua sampai meninggal, 31% harus selalu menggunakan kursi roda dalam beraktivitas (pasien yang lesinya di L1-L3), 45% pasien mengalami dekubitus dan 4 orang di antaranya harus diamputasi pada ekstremitasnya.5 Hal
ini tentu saja menimbulkan beban tersendiri bagi pasien, orang tua dan negara karena seringnya kunjungan bahkan rawat inap di RS selama hidup.
Tindakan bedah penutupan meningokel dan mielomeningokel sedini mungkin sangat diindikasikan.1,2Manajemen suportif secara terintegrasi dan berkesinambungan sangat penting dalam mencegah abnormalitas pada saluran kencing, kelainan ortopedi seperti kifosis dan skoliosis serta kelemahan pada anggota gerak bawah.2,8-10
Alasan diambilnya kasus ini sebagai kasus longitudinal adalah sebagai berikut:
- Pasien Anak APW yang terdiagnosis dengan spina bifida (tipe mielomeningokel), ISKkompleks denganhidronefrosis, anemia defisiensi besi (ADB), perawakan pendek dan gangguan perkembangan motorik memerlukan pemantauan jangka panjang dalam penanganan morbiditas yang sudah terjadi saat ini juga kemungkinan morbiditas yang mungkin terjadi di kemudian hari
- Domisili pasien dan keluarganya mudah dijangkau sehingga memudahkan penulis dalam melakukan kunjungan rumah dalam rangka follow up kondisi pasien.
2. Deskripsi kasus singkat
a. Identitas Pasien
Nama : An. APW Nama Ayah : Tn. S
Tempat/tanggal lahir : Wates, 16 Mei 2012 Umur : 29 tahun
Usia : 1 tahun 10 bulan
(saat diambil kasus)
Pendidikan : SMP
Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan : Buruh
Alamat : Lendah, Kulon Progo Nama ibu : Ny. W
No. Rekam medis : 01.66.22.xx Umur : 23 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga b. Laporan kasus
Anak perempuan APW datang pertama kali ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR. Sardjito pada tanggal 14 November 2013 dengan keluhan nyeri saat buang air kecil, dan
merupakan pasien rujukan RSUD Wates dengan diagnosisISK berulang, anemia mikrositik-hipokromik. Pasien membawa hasil ultrasonografi (USG) yang menunjukkan hidronefrosis ginjal kiri grade II-III dan sistitis (Gambar 1).
Gambar 1. Hasil USG traktus urinarius di RSUD Wates tanggal 13 November 2013
Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan serupa yaitu keluhan demam disertai nyeri saat buang air kecil pernah dialami oleh ibu pada tahun 2010, didiagnosis ISK dan mendapat terapi sampai dinyatakan sembuh. Riwayat penyakit ginjal dan keganasan pada keluarga disangkal. Nenek dari ibu terdiagnosis darah tinggi dan diabetes sejak 1 tahun terakhir.
Gambar 2. Silsilah keluarga pasien
Anak dikandung oleh ibu G1P0A0 berusia 22 tahun dengan riwayat kehamilan anak baik, persalinan dilakukan dengan. secara section caessaria karena posisi bayi sungsang
(diketahui dari USG 1 minggu sebelum kelahiran). Bayi lahir langsung menangis kuat. Berat bayi saat lahir 2510 gram dengan panjang badan 47 cm. Segera setelah lahir, ibu mengetahui ada benjolan di punggung bawah berukuran sebesar telur bebek, lunak, dan terfiksasi (tidak mudah digerakkan). Saat itu ibu menanyakan kepada tenaga kesehatan tetapi dikatakan tidak apa-apa. Benjolan dirasakan tidak bertambah besar.
Sejak lahir sampai berusia 6 bulan anak minum ASI saja. Riwayat pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) kurang baik karena anak lebih banyak makan bubur susu, bubur nasi dan nasi lembek dengan lauk mie instan. Anak juga tidak suka lauk yang bervariasi, sayur dan buah.
Secara umum, perkembangan motorik halus, bicara dan sosial anak sesuai dengan anak seusianya. Perkembangan motorik kasar mengalami keterlambatan karena anak baru bisa mengangkat kepala usia 3 bulan, duduk usia 5 bulan, tengkurap usia 7 bulan dan merangkak usia 12 bulan. Sampai saat ini anak baru bisa rambatan atau berdiri berpegangan, belum bisa berdiri tegak tanpa dibantu dan berjalan.
Anak mendapatkan imunisasi dasar lengkap di bidan dan puskesmas sesuai jadwal yang ditetapkan oleh puskesmas setempat. Ibu belum memberikan imunisasi sesuai rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia karena keterbatasan biaya.
Gambar 3. Pencatatan pemberian imunisasi di KMS
Anak pernah dirawat di RSUD Wates beberapa kali dengan keluhan yang hampir sama yaitu demam disertai dengan nyeri saat buang air kecil, didiagnosis dengan ISK dan
anemia. Sejak 2 bulan terakhir ibu mengamati anak cenderung bertambah kurus dan berat badan turun.
Gambar 4. Pemantauan berat badan anak pada KMS
Saat ini anak tinggal bersama kedua orang tua, kakek dan nenek dari ayah, buyut dari ayah dan seorang paman dari ayah di rumah berukuran 10x7 m2, dengan 4 kamar tidur, ruang makan sekaligus ruang keluarga di dalam rumah, dapur dan 1 kamar mandi di luar rumah. Pencahayaan dan ventilasi cukup baik. Sumber air dengan sumur. Septik tank berada pada jarak >5 meter dari tempat pembuangan. Tempat tinggal belum memenuhi kriteria rumah sehat. Ayah bekerja sebagai buruh dan mendapat penghasilan Rp 700.000,00-Rp 900.000,00 per bulan untuk menghidupi satu keluarga.
Pemeriksaan fisik pada saat pasien diambil menjadi kasus adalah sebagai berikut. Keadaan umum anak tidak tampak sakit berat, tampak kurus dan sadar penuh. Tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan leher, dada, perut, ekstremitas dalam batas normal. Pada punggung bawah setinggi sakrum terlihat bekas luka operasi untethered cord procedure, tidak ada tanda infeksi dan tidak nyeri. Massa lunak mielomeningokel sudah tidak didapatkan. Pemeriksaan neurologis gerakan bebas di ekstremitas atas dan bebas terbatas di ekstremitas bawah, kekuatan 5 di ekstremias atas dan 4 di kedua ekstremitas bawah, tonus,
trofi, reflex fisiologis positif, reflex patologis negatif di semua ekstremitas. Pada mata ditemukan konjungtiva anemis, lidah tampak pucat dan terdapat atrofi papil.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan selama perawatan adalah:
1) Pemeriksaan darah rutin, menunjukkan hasil anemia mikrositik hipokromik dan trombositosis. Pemeriksaan morfologi darah tepi menunjukkan kesan umum anemia dengan kelainan morfologi dan peningkatan respon eritropoietik. Hasil pemeriksaan panel besi menyokong diagnosisADB.
2) Pemeriksaan urin rutin, menunjukkan hasil ISK (dengan adanya nitrit, leukosit esterase)
Tabel 1. Pemeriksaan darah rutin selama perawatan
Parameter Tanggal pemeriksaan
14/11/13
Jumlah leukosit (/mmk) 7.970
Jumlah eritrosit (/uL) 4.590.000
Hemoglobin (g/dL) 7,3
Hematokrit (%) 25,3
Mean Corpuscular Volume (fl) 55,1
Mean Corpuscular Hemoglobin (pg) 15,9
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (g/dL) 28,9
Jumlah trombosit (/mmk) 606.000
Neutrofil (%) 66,3
Limfosit (%) 20,1
Monosit (%) 13,2
Tabel 2. Pemeriksaan urin rutin serial selama perawatan
Parameter Tanggal pemeriksaan
19/11/13 25/11/13 29/11/13 3/12/13 Glukosa +/- - - - Protein +/- +1 +/- +/- Bilirubin - - - - Urobilinogen N +1 N N pH 7 6 6 6,5 Darah +1 +2 +/- - Keton +1 - +1 - Nitrit - - +2 0 Leukosit esterase 75 500 500 500 Berat jenis 1,010 1,010 1,015 1,015
Warna Jernih Jernih Kuning
3) Pemeriksaan USG traktus urinarius, menunjukkan kesan ginjal kiri terdapat hidronefrosis grade I-II dengan ureteractasis proksimal serta sistitis (gambar 5).
Gambar 5. Hasil USG traktus urinarius
4) Pemeriksaan BNO-IVPmenunjukkan kesan hidronefrosis ginjal kiri grade I-II dengan ureteractasis kiri, kecurigaan sistitis dengan filling defect di VU karena bekuan darah atau massa(gambar 6).
Gambar 6. Hasil BNO-IVP
5) Pemeriksaan uretrografi menunjukkan adanya sistitis disertai refluks vesioureteral kiri grade IV-V (gambar 7). Hal ini menyokong adanya temuan kinis neurogenic bladderdan ISK berulang pada anak.
6) Pemeriksaan CT Scan lumbosakral tanpa kontras menunjukkan kesan spina bifida di vertebra lumbalis V dan vertebra sakralis I-III (gambar 8).
7) Pemeriksaan electroneuromyography (ENMG)menunjukkan awal iritasi radiks lumbosakral bilateral.
Gambar 8. CT Scan lumbosacral
Gambar 9. Hasil ENMG
Selama perawatan di Sardjito dilakukan penanganan bersama antara bagian anak (sub divisi neurologi, nefrologi, gizi dan penyakit metabolik, tumbuh kembang) dengan bagian terkait yaitu bedah saraf dan bedah urologi. Pada tanggal 18 Desember 2013 dilakukan prosedur untethered cord dan tutup defek spina bifida oleh bagian bedah saraf. Intervensi neurogenic bladder dari bedah urologi masih dengan pemasangan kateter urin permanen, belum direncanakan tindakan pembedahan untuk memasang DJ stent karena justru akan
memperparah kondisi refluks pada anak. Anak mendapatkan terapi antibiotik untuk ISK, besi elemental untuk ADB, manajemen nutrisi dan fisioterapi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang, dan diskusi dengan bagian bedah saraf serta bagian urologi, diagnosis kerja anak saat akan dilakukan pemantauan adalah:
- spina bifida regio lumbosakral dengan tethered cord syndromepost unthethered cord procedure
- infeksi saluran kemih(ISK) kompleks dengan hidronefrosis grade I-II dan neurogenic bladder dengan refluks vesioureteral kiri grade IV-V
- gizi kurang dan perawakan pendek (stunted) - keterlambatan motorik kasar (gross motor delay) - anemia defisiensi besi (ADB)
3. Tujuan
Untuk memperdalam pengetahuan tentang spina bifida dan permasalahan-permasalahan multiorgan yang mungkin timbul terkait dengan spina bifida serta memperoleh pengalaman dalam pengelolaan spina bifida secara berkesinambungan dan terintegrasi dengan bagian yang terkait.
4. Manfaat
Manfaat untuk pasien adalah dengan adanya pemantauan secara berkesinambungan, permasalahan yang mungkin timbul terkait dengan spina bifida dapat terdeteksi sedini mungkin, sehingga intervensi dapat dilakukan seawal mungkin dan diharapkan dapat mencegah terjadinya morbiditas lebih lanjut serta memberikan prognosis yang lebih baik.Manfaat untuk keluarga dan lingkungan adalah mendapatkan informasi dan pemahaman secara menyeluruh tentang spina bifida dan kondisi yang menyertai dan permasalahan yang mungkin terjadi pada anak, kewaspadaan dini terhadap permasalahan yang mungkin timbul,
tatalaksana dan prognosis anak sehingga dapat berperan aktif (bersama dengan petugas kesehatan) dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan anak di semua aspek. Kasus ini diangkat sebagai kasus longitudinal, adalah merupakan bentuk kerjasama antara petugas kesehatan dengan keluarga dalam melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan, perkembangan dan permasalahan yang mungkin timbul pada anak dengan spina bifida dan dalam tatalaksananya.
Manfaat untuk peserta PPDS antara lain menambah pengetahuan tentang spina bifida dan kondisi atau permasalahan yang sudah muncul pada pasien, kewaspadaan dini terhadap permasalahan yang mungkin akan timbul pada pasien dengan spina bifida, bagaimana manajemen yang benar, terintegrasi dan berkesinambungan serta bagaimana melakukan pemantauan terhadap petumbuhan dan perkembangan pasien dengan spina bifida agar terhindar dari morbiditas dan mortalitas lebih lanjut dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Manfaat bagi rumah sakit antara lain dengan melakukan pemantauan dan tatalaksana yang terintegrasi dan berkesinambungan pada pasien spina bifida akan dapat meningkatkan mutu pelayanan pasien di RSUP DR Sardjito. Penatalaksanaan yang terintegrasi dalam hal ini bagian anak (sub divisi neurologi, nefrologi, gizi dan penyakit metabolik dan tumbuh kembang) dengan bagian bedah saraf, bedah urologi dan tidak menutup kemungkinan bagian lain yang terkait akan menjadi titik awal terbentuknya sebuah tim yang khusus bergerak dalam penatalaksanaan pasien dengan spina bifida di RSUP DR Sardjito.