• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARASIT PENYEBAB DIARE PADA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN (FH) DI KABUPATEN BANDUNG DAN SUKABUMI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARASIT PENYEBAB DIARE PADA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN (FH) DI KABUPATEN BANDUNG DAN SUKABUMI JAWA BARAT"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PARASIT PENYEBAB DIARE PADA SAPI PERAH FRIESIAN

HOLSTEIN (FH) DI KABUPATEN BANDUNG DAN

SUKABUMI JAWA BARAT

(Parasites that Cause Diarrhea on Dairy Cattle in Bandung and Sukabumi District of West Java)

TOLIBIN ISKANDAR

Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor

ABSTRACT

Diarrhea in dairy cattle is general symptoms that caused by many pathogens such as parasites. Many dairy cattle farms have increased their intention to their cattle healthy rate. Diarrhea on ruminant in general has been caused by one or more pathogens such as viruses and bacteria. In this study some faecal samples have been taken from dairy cattle FH in Bandung and Sukabumi district, West Java for parasitological examinations. Parasites that have been identified were Trichostrongylus, Fasciola, Paramphistomum and

Coccidia. From one dead young cattle with diare symptoms, Trichostrongylus and Coccidia were isolated.

Keywords: Diarrhea, parasite, cattle

ABSTRAK

Diare atau mencret adalah gejala umum pada sapi perah yang disebabkan oleh banyak agen yang bersifat patogen seperti parasit. Hampir semua peternakan yang telah terpapar agen penyebab diare akan memperhatikan kesehatan ternaknya. Diare pada hewan pemamah biak pada umumnya disebabkan oleh lebih dari satu faktor agen patogen seperti virus dan bakteri. Penelitian yang dilakukan terhadap feses sapi perah

Friesian Holstein yang mengalami diare di Kabupaten Bandung dan Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

menunjukkan adanya agen parasit penyebab diare, yang diidentifikasi sebagai Trichostrongylus, Fasciola,

Paramphistomum, dan Coccidia, sedangkan pada anak sapi yang mati dengan gejala diare diketahui adanya

parasit Trichostrongylus dan coccidia. Kata kunci: Diare, parasit, sapi

PENDAHULUAN

Permintaan produk peternakan dalam beberapa dasawarsa mendatang diperkirakan akan meningkat dengan cepat. Permintaan tersebut datang terutama untuk pemenuhan kebutuhan pangan seperti susu dan daging, dan kebutuhan industri primer dan farmasi. KASRYNO (2004) memperkirakan kebutuhan susu dan daging akan meningkat dengan pesat dua sampai tiga kali lipat sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan dan kecepatan arus informasi. Untuk mengimbangi tingkat kebutuhan produk peternakan tersebut, maka diperlukan usaha-usaha yang

menitik-kemampuan menekan angka morbiditas/ mortalitas ternak, serta kemampuan penang-gulangan penyebaran penyakit menular antar daerah maupun antar pulau.

Kemampuan menekan angka mortalitas ternak dapat dilakukan melalui manajemen penanganan penyakit, yaitu suatu tindakan berupa pencegahan, pengendalian dan pemberantasan. Tindakan pencegahan dilaku-kan dengan cara mencegah masuknya penyakit eksotik dari luar negeri dengan membatasi impor ternak. Tindakan pengendalian dilaku-kan dengan menedilaku-kan kejadian penyakit serendah-rendahnya sehingga tidak menimbul-kan dampak kerugian ekonomi yang lebih besar, dan tindakan pemberantasan dilakukan

(2)

Walaupun manajemen penanganan penyakit telah dilakukan, namun masih ditemukan beberapa kasus penyebaran penyakit seperti Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diare

(BVD), Salmonellosis, penyakit ngorok, penyakit karena terinfestasi cacing nematoda, trematoda dan koksidia (SUDARISMAN, 2006). Pada umumnya sapi biasanya mudah ter-infestasi parasit nematoda di dalam saluran pencernaan (nematoda gastrointestinal). Efek patologis yang ditimbulkan parasit ini antara lain turunnya berat badan yang diakibatkan diare, selain itu bisa menimbulkan efek yang merugikan pada induk semang, karena parasit ikut menyerap bahan makanan dalam saluran pencernaan, menghisap darah dan cairan induk semang serta memakan jaringan induk semang. Dilain hal, parasit pun turut menghasilkan toksin, dalam jumlah yang banyak dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah serta turut membantu masuknya bakteri patogen atau virus patogen ke dalam jaringan yang dapat menimbulkan infeksi sekunder.

Pada penelitian ini dilakukan identifikasi agen parasit yang menyebabkan gejala diare pada sapi perah Friesian Holstein (FH) di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.

BAHAN DAN METODE

Sampel tinja diperoleh secara rektal dari sapi-sapi perah FH yang umurnya berkisar tiga bulan sampai satu tahun. Tiap sampel dibagi dua, sampel feses diambil 3 gr dimasukkan ke dalam kontainer 100 ml dengan diameter mulut ± 4 cm lalu ditambah 17 ml air, kemudian diaduk dengan pengaduk elektrik sampai hancur. Kemudian ditambahkan 40 ml larutan garam dapur dengan berat jenis 1,2 Selanjutnya diaduk kemudian didiamkan selama 20 menit dan diambil cairan supernatan sebanyak 0,5 ml dengan menggunakan pipet yang dilengkapi saringan untuk diperiksa dan dihitung jumlah telur cacing atau ookista. Penghitungan dengan menggunakan Whitlock chamber di bawah mikroskop.

Untuk pemeriksaan dan penghitungan koksidia, sampel tinja sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam kontainer 100 ml dengan

diameter mulut ± 4 cm. Ke dalam kontainer ditambahkan 17 ml air kran, dan simpan di lemari es pada suhu 40C selama satu malam, agar tinja menjadi lunak. Keesokan harinya kontainer dengan tinja dikocok alat pengocok dari elektrik sehingga tinja hancur, kemudian ditambahkan 40 ml larutan gula Sheather dan di kocok menggunakan pipet kaca yang ujungnya dilengkapi saringan halus (250 um), sambil diaduk rata kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung Universal Whitlock lalu dihitung di bawah mikroskop. Jika koksidia positif dan ditemukan dalam jumlah banyak, maka koksidia dibersihkan dengan penambahan akuades, kemudia koksidia dicampur larutan kalium bikhromat 2,5%. Sampel-sampel tersebut diaerasi dalam botol berleher lebar dengan aerator dan sebagian lagi dalam cawan petri yang tutupnya dibiarkan setengah terbuka dan setiap hari sampel-sampel dalam cawan petri tersebut diaduk dua kali dengan lidi steril dengan waktu berselang 6 jam. Botol-botol dan cawan Petri ditaruh di dalam ruangan yang bersih yang tidak langsung kena sinar matahari dan dibiarkan bersporulasi pada temperatur 23–320C. Ookista diperiksa secara mikroskopik setelah dilakukan pengapungan dengan menggunakan gula Sheather.

Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 16 Juli 2007 sampai dengan tanggal 20 Juli 2007 yang dikoleksi dari Kabupaten Bandung sebanyak 50 sampel dan Kabupaten Sukabumi sebanyak 50 sampel diperiksa di Laboratorium Parasitologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pemeriksaan tinja sapi sebanyak 50 sampel di Kabupaten Bandung Kecamatan Lembang ditemukan 3,7% positif Trichos-trongylus, 3,7% positif Paramphistomum, dan 3,7% positif Koksidia dari hewan yang berbeda. Sedangkan di Kecamatan Pasirjambu ditemukan 4,3% positif Trichostrongylus, 4,3% positif Fascioliosis, 8, 7% positif Paramphis-tomum dan 8,7% positif Koksidia dari hewan yang berbeda seperti pada Tabel 1.

(3)

Tabel 1. Hasil pemeriksaan tinja sapi di Kabupaten Bandung

Lokasi/Jumlah sampel Trichostrongylus (%) Fasciola (%) Paramphistom (%) Koksidia (%)

Kecamatan Lembang 27 1(3,7) 0 1(3,7) 1(3,7)

Kecamatan Pasirjambu 23 1(4,3) 1(4,3) 2(8,7) 2(8,7)

Total 50 2 1 3 3

Pemeriksaan tinja di Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi ditemukan masing-masing 4,5% positif Trichostrongylus, Fasciola dan Koksidia dari hewan yang berbeda. Sedangkan di Kecamatan Cicurug

ditemukan masing-masing 4,5% positif Koksidia, Fasciola dan Paramphistomum. Ada seekor yang mengalami infestasi gabungan yaitu Koksidia dan Trichostrongylus seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan tinja sapi di Kabupaten Sukabumi

Lokasi/Jumlah sampel Trichostrongylus (%) Fasciola (%) Paramphistom (%) Koksidia (%)

Kecamatan Parungkuda 22 1(4,5) 1(4,5) 0 1(4,5)

Kecamatan Cicurug 28 1(3,6) 1(3,6) 1(3,6) 2(7,1)

Total 50 2 2 1 3

Infestasi cacing Trichostrongylus pada sapi FH di empat Kecamatan bervariasi presentasi-nya dari 3,6–4,5%. ROSS et al. (1978) dalam percobaannya dengan menginfeksi anak sapi berumur 6–8 minggu dengan bentuk larva infektif stadium 3 dari Trichostrongylus menimbulkan kenaikan dari serum pepsinogen pada minggu ke 3 setelah infeksi per oral sebesar 2,0 IU/l, hal ini bisa menimbulkan diare. Cacing ini dilaporkan SISWANSYAH et al. (1989) menginfeksi sapi-sapi di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan dengan persentase sebesar 5,6% dengan memperlihat-kan gejala diare. Cacing tersebut menginfestasi sapi perah disertai agen lain pada penyakit Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR) semakin parah sering menimbulkan kematian (WIYONO et al., 1989). Cacing Trichos-trongylus disamping menyerang sapi juga menyerang domba, biasanya terjadi infestasi gabungan nematoda Haemonchus, Trichos-trongylus dan Oesophagostomum dengan jumlah epg rata-rata di lokasi perkebunan sebesar 2.621 ± 433 dan bukan perkebunan sebesar 2.840 ± 506 (BERIAJAYA dan NURHADI, 1995).

Hasil pemeriksaan terhadap fasciola di dua kabupaten persentasinya bervariasi dari 2– 4,5%. Berbeda dengan hasil penelitian pada sapi potong ESTUNINGSIH et al. (2002) melaporkan dari 87 ekor sapi potong yang

telur cacing di dalam tinjanya. Perbedaan ini disebabkan sapi potong pemeliharaan sistim ranch atau dilepas. Sedangkan sapi perah FH diberi konsentrat dan tidak dilepas. Hal ini sesuai yang dilaporkan PARTOUTOMO, (2004) bahwa hewan dilepas banyak yang menunjukkan gejala yang sama, jika di otopsi menunjukkan hewan anemi, hidrops asites, daging hidremis, hati penuh dengan cacing

Fasciola gigantica. Hal yang serupa dilaporkan

oleh KUSUMAMIHARDJA dan PARTOUTOMO

(1971), KUSWANDI et al. (2003), JARMANI dan HIDAYATI (2005).

Hasil pemeriksaan cacing Paramphistomum di dua Kabupaten bervariasi dari 2–8,7%. Cacing ini termasuk cacing trematoda yang menyerang rumen dengan jalan menggigit mukosa rumen yang menyebabkan terjadi atropia villi. Ternak sapi yang terinfeksi oleh cacing tersebut biasanya memakan rumput yang telah tercemar metaserkaria. Cacing kemudian dalam usus akan berkembang menjadi cacing muda dan menimbulkan keruksakan pada mukosa usus. Paramphis-tomum dilaporkan SURYANA (2006) di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan persentasi cacing sebesar 66,7% pada sapi.

Koksidia yang terdeteksi dari tinja dari Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi persentasinya berkisar 3,7–8,7% yaitu Eimeria

(4)

koksidiosis banyak diderita sapi-sapi muda mulai umur 1 bulan sampai 1 tahun prevalensi rata-rata infeksi oleh Eimeria illinoisensis sebesar 2,7% di Kabupaten Bandung. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi prevalensi infeksi oleh E. bukidnonensis sebesar 13,1% hanya berbeda jenis. SOEKARDONO (1992) menyatakan disamping E. illinoisensis dan E.

bukidnonensis dapat dideteksi E. ellipsoidalis, E. cylindrical, E. bovis, E. zuernii, E. auburnensis, E. Canadensis, E. pellita, E. alabamensis dan E. subspheria. Sedangkan

peneliti lain dapat mendeteksi koksidia pada sapi di Kabupaten Sulung dengan prevalensi 10% (UTOMO, 2001).

KESIMPULAN

Hasil pemeriksaan tinja dari Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi dapat dideteksi adanya parasit cacing Trichos-trongylus, Fasciola, Paramphistomum dan Kosidia yang menimbulkan diare pada sapi perah FH dengan persentasi sebesar 2% sampai 8,7%. Tidak menutup kemungkinan ada agen lain yang turut memperparah seperti virus dan bakteri patogen.

DAFTAR PUSTAKA

BERIAJAYA danA. NURHADI. 1995. Infeksi cacing nematoda gastrointestinalis pada domba di perkebunan karet. Maj. Parasitol. Ind. 8 (6): 7–13.

ESTUNINGSIH, S.E., G. ADIWINATA, S. WIDJAJANTI

dan S. PARTOUTOMO. 2002. Kasus kejadian fasciolosis di rumah potong hewan Jakarta. Pros. Sem.Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi, Bogor, 30 Sep.-1 Okt. 2002. Puslitbangnak, Bogor.

JARMANI,S.NdanN.HIDAYATI. 2005. Kemungkinan menambah pendapatan mandiri peternak sapi perah rakyat melalui perbaikan manajemen pemberian pakan. Pros. Nas. Teknologi Peternakan dan Vet. Hlm. 333–240.

KASRYNO,F. 2004. Strategi pembangunan pertanian dan pedesaan yang memihak masyarakat miskin. ADB TA 3843-INO. Agriculture and Rural development Strategy Study (ADB, CASER–AARD–MoA, SEAMEO–SEARCA, CRESSENT).

KUSUMAMIHARDJA, S. dan S. PARTOUTOMO. 1971. Laporan survai inventarisasi parasit ternak (sapi, kerbau, domba, kambing dan babi) di beberapa RPH di Jawa. Balai Penelitian Penyakit Hewan. Bogor.

KUSWANDI, CHALID. T., dan T. SUGIARTI. 2003. Manajemen pemberian pakan pada sapi dara FH calon induk. Pros. Sem. Nas. Teknologi

Peternakan dan Veteriner. Hlm. 110–119.

PARTOUTOMO,S. 2004. Pengendalian parasit dengan genetic host resistance. Wartazoa. 14(4): 160– 172.

PUTRA, A. A. G. 2006. Situasi penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar: surveilans dan monitoring. Pros. Lok. Nas. Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian penyakit strategis. Hlm. 31–49.

ROSS, H., SMEAI, M.G. dan F.H. ROBERTS. 1978.

British Veterinary Journal. 124:629–705

SISWANSYAH, D.D., TARMUDJI, S.N. AHMAD dan WASITO. 1989. Survey penyakit parasit menular pada sapi di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Sub Balai Penelitian Veteriner. Banjarbaru. SOEKARDONO,S. 1992. Laporan kosidiosis pada sapi

perah di Jawa Barat. FKH–IPB. Kerjasama Departemen Pertanian dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

SOEKARDONO, S. 1995. Eimeria illinoisensis dan eimeria bukidnonensis dari sapi-sapi perah di Kabupaten Sukabumi dan Bandung: Deskripsi Ookista, Prevalensi dan Waktu Sporulasi. Maj.

Parasitol. Ind.8 (2) : 27–31

SUDARISMAN. 2006. Pencegahan penyakit virus pada hewan dengan vaksin mucosal. Wartazoa 16(4): 181–189.

SURYANA. 2006. Tinjauan aspek penyakit dan upaya penanggulangannya pada ternak ruminansia besar di Kalimantan Selatan. Pros. Lokakarya Nas. Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis. Hlm. 144–150.

UTOMO,B.N. 2001. Potensial of oil palm solid waste as local feed resource for Cattle in Central Kalimantan, Indonesia. Thesis, Animal Science, Wegenigen University, The Netherlands.

WIYONO, A.,P. RONOHARDJO, R.J. GRAYDON dan P.W. DANIELS. 1989. Diare ganas sapi: Kejadian penyakit pada sapi Bali bibit asal Sulawesi Selatan yang baru tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan. 21(38): 77–83.

(5)

DISKUSI Pertanyaan:

Apakah saran untuk pengobatan atau pengendalian penyakit parasit penyebab diare pada sapi perah ?

Jawaban:

Jika sapi perah diare segera di isolasi (dipisahkan dari kelompoknya) kemudian diobati jika diare karena koksidia diobati koksidiostat seperti Sulfaquinoxaline 0,025% dalam pakan selama 20 hari atau 2 hari sekali sampai 8 kali, atau Sulfadimethoxine 75 mg/kg pakan selama 7 hari.

Jika diare karena kecacingan diberi Albendazole dosis 5–10 mg/kg bb., atau Oxfendazole 5 mg/kg bb, atau Mebendazole 13,5 mg/kb bb.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa uraian teori pada sub bab sebelumnya yaitu kriteria lokasi terminal harus berada pada daerah yang memiliki tingkat kemudahan pencapaian yang

Untuk memperbaiki kekurangan ini, Teknik Mesin Unimal bekerjasama dengan PTPN-I mendesain patok rintangan lapangan golf model baru dari formulasi

Data Primer, adalah data yang diperoleh langsung dari pasangan yang sudah sah bercerai meliputi faktor yang mempengaruhi perkawinan, usia waktu melakukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi Pb yang berbeda tidak setabil di akar maupun di daun, ini memperlihatkan bahwa konsentrasi perlakuan logam

Berdasarkan hasil analisis perhitungan tingkat efisiensi belanja terlihat pemerintah Kota Samarinda telah melakukan efisiensi belanja yang dibuktikan dengan dengan

- OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN DAN

Hal ini dapat di maklumi mengingat pelabuhan Bima selain sebagai jembatan penghubung antara wilayah Barat Nusantara (Malaka, Jawa), wilayah Utara (Kalimantan,.. Makassar)