• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Bahan Bakar Emulsi Sebagai Bahan Bakar Alternatif Pada Mesin Diesel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penggunaan Bahan Bakar Emulsi Sebagai Bahan Bakar Alternatif Pada Mesin Diesel"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

SimetriS Nomor : 9, Jan – April 2009 1

Penggunaan Bahan Bakar Emulsi Sebagai Bahan Bakar Alternatif Pada Mesin Diesel

Sarjono*)

*) Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Sekolah Tinggi Teknologi Ronggolawe Cepu

Jl. Kampus Ronggolawe Blok B No. 1, Mentul Cepu, Jawa Tengah Telp. (0296) 422322

e-mail :

smk_mh_pangle@yahoo.co.id

Abstrak

Telah dilakukan penelitian penggunaan bahan bakar emulsi pada mesin diesel. Bahan emulsi dipilih alkhyl benzene sulphonic acid (ABS). Parameter yang dianalisis adalah homoginitas campuran, lama pemisahan campuran bahan bakar solar dengan air, dengan variasi % volume air, % volume solar dan % volume bahan pengemulsi. Hasil penelitian diperoleh data dengan jumlah penggunaan ABS sebesar 0,22% pada komposisi campuran 10% W/O, 20% W/O dan 30% W/O, karena pada kurun waktu 330 menit campuran masih homogen.

Kata Kunci : bahan bakar emulsi, mesin diesel, emulsifier

1. Pendahuluan

Motor Diesel mempunyai peranan penting sebagai sumber tenaga di bidang industri, pertanian, pembangunan jalan dan pertambangan, pembangkit tenaga listrik, dan bidang transportasi. Pemilihan motor diesel dalam berbagai aplikasi karena motor diesel mempunyai beberapa keuntungan yaitu efisiensinya tinggi, bahan bakar lebih ekonomis serta pemakaiannya yang lama dibandingkan motor bensin. Namun pada sisi yang lain, hasil pembakaran motor diesel menghasilkan emisi gas buang yang dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Emisi utama gas hasil pembakaran diesel yaitu nitrogen oksida (NOx) dan

partikel-partikel emisi (jelaga); disamping itu dihasilkan pula emisi karbon monoksida (CO) dan sisa hidrokarbon (HC) tidak terbakar dalam jumlah yang relative kecil yang bersifat sebagai polutan.

Sejak tahun 1985 sampai sekarang, NOx

telah mengalami penurunan sebesar 72%, CO sebesar 85% dan HC sebesar 81% (Mahr, 2002). Hal ini dilakukan dengan pengoptimalisasian teknologi mesin diesel seperti turbocharging, resirkulasi gas buang (EGR), disain ruang bakar dan tekanan injeksi tinggi. Standard emisi gas buang di Indonesia berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 141 tahun 2003 untuk kendaraan penumpang dengan berat kurang dari 2,5 ton ditetapkan emisi CO sebesar 1,0gram/km; HC + NOx 0,7 gram/km dan Particulate Matter (PM) sebesar 0,06 gr/km. Aturan emisi internasional sesuai regulasi Euro IV tahun 2005 untuk CO sebesar 0,5 gr/km, HC + NOx 0,30g/km, NOx 0,25 g/km dan Particulate

Matter (PM) 0,025 g/km (Helmantel,2004).

Pada motor diesel, panas dibangkitkan oleh kompressi udara yang masuk ke dalam silinder. Proses pembakaran dimulai sesaat setelah bahan bakar yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar mencapai temperatur penyalaan ( autoignition temperature). Prestasi mesin diesel sangat ditentukan oleh efisiensi pembakaran dalam silinder dimana hal ini dipengaruhi oleh kualitas atomisasi

(pengabutan) dan penguapan dari bahan bakar yang digunakan. Dengan pengabutan dan penguapan yang baik dapat menjamin proses mixing udara bahan bakar sehingga setiap droplet yang dihasilkan dikelilingi oleh partikel oksigen untuk terjadinya pembakaran sempurna (Heywood, 1989). Tekanan injeksi yang tinggi pada nosel menyebabkan atomisasi bahan bakar menjadi sempurna dalam ruang bakar sehingga dihasilkan droplet yang lebih kecil. Droplet halus yang dihasilkan mempercepat penguapan dan pencampuran bahan bakar dan udara sehingga dapat mengurangi kelambatan penyalaan (ignition delay) dalam silinder untuk menghasilkan pembakaran sempurna dan mengurangi emisi gas buang ( Helmantel, 2004; Ichingur dan Altiparmak, 2003; Borman dan Ragland, 1998 ).

Pengendalian emisi gas buang dari mesin diesel dapat dilakukan dengan berbagai cara yang memungkinkan pencampuran yang baik antara bahan bakar dengan udara. Menurut Bertola (2003), kombinasi pendinginan dari resirkulasi gas buang (EGR) dan penggunaan efek pendinginan dari penguapan air dalam ruang bakar (injeksi air atau penggunaan bahan bakar emulsi) merupakan cara yang sangat efektif menurunkan pembentukan NOx dan jelaga.

Penggunaan bahan bakar emulsi solar-air juga diyakini dapat memperbaiki efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas buang bahkan dapat mengurangi konsumsi bahan bakar spesifik (Yoshimoto dkk, 1998; Park dkk, 2001; Muchnik, 2002). Pada pembakaran bahan bakar emulsi akan terjadi suatu fonomena yang disebut microexplosion atau secondary breakup dimana droplet bahan bakar akan mengalami breakup lagi akibat tekanan gas dari uap panas lanjut air yang terdapat dalam bahan bakar emulsi. Fenomena ini dapat menghasilkan droplet bahan bakar yang lebih halus sehingga pembakaran menjadi lebih sempurna dan mengurangi emisi gas buang.

(2)

SimetriS Nomor : 9, Jan – April 2009 2 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Proses Pembakaran

Pada proses pembakaran, bahan bakar dan oksidan disuplai ke suatu tempat tertentu baik secara difusi maupun mixing sehingga dapat bereaksi secara kimia. Pada pembakaran yang terkontrol secara kinetik, laju konsumsi bahan bakar dan oksidan pada reaksi kimia adalah lebih kecil dibandingkan kecepatan suplai aliran, difusi dan mixing; sedangkan pada pembakaran yang terkontrol secara difusi kecepatan aliran, difusi dan mixing lebih kecil dari pada kecepatan reaksi kimia.

Fenomena pembakaran yang terkontrol secara difusi akan muncul, apabila mixing lemah, aliran dan difusi berjalan lambat serta reaksi kimia berjalan cepat. Pada saat bahan bakar dipanaskan, butiran-butiran kecil air (yang diselubungi minyak dengan titik didih yang lebih tinggi) akan cepat menguap dan berekspansi, memecah droplet bahan bakar yang menyelubunginya menjadi droplet yang lebih kecil dan lebih banyak. Proses ini disebut dengan microexplosion atau atomisasi sekunder yang menghasilkan droplet bahan bakar yang sangat halus yang dapat menguap dan terbakar lebih cepat dan sempurna dari pada droplet bahan bakar yang besar yang dihasilkan dari atomisasi mekanis.

2.2. Pembakaran pada Motor Diesel

Proses pembakaran merupakan reaksi kimia cepat antara bahan bakar dan oksigen disertai timbulnya cahaya dan menghasilkan kalor. Proses pembakaran tidak terjadi sekaligus tetapi memerlukan waktu dan terjadi dalam beberapa tahap. Pada motor diesel pembakaran dimulai dengan penyemprotan bahan bakar ke dalam silinder sesaat sebelum langkah kompressi berakhir. Bahan bakar yang diinjeksikan dengan tekanan tinggi ke dalam silinder beratomisasi menjadi sejumlah tetesan yang halus. Bahan bakar dalam bentuk uap bertemu dengan oksigen yang sudah bertemperatur tinggi lalu terjadilah pembakaran. Pembakaran terjadi di beberapa tempat dimana terdapat campuran bahan bakar udara yang ideal untuk pembakaran.

Pemahaman yang lebih baik tentang apa yang terjadi dalam silinder mesin diesel selama periode pembakaran dapat diperoleh dengan cara penyajian grafik berikut. Kalau bahan bakar diinjeksikan dan terjadi pembakaran, maka proses dalam sebuah mesin diesel dapat terbagi menjadi empat tingkat atau periode yang terpisah. Periode pertama dimulai pada titik 1, ketika injeksi dimulai, bahan bakar mulai memasuki silinder, dan berahir sampai titik 2. Ini adalah periode keterlambatan (delay periode) sesuai dengan perjalanan engkol a. selama periode ini tidak terdapat kenaikan tekanan melebihi yang

dihasilkan dengan kompressi udara oleh torak. Bahan bakar terus menerus masuk melalui nossel dan pada titik 2 terdapat sejumlah bahan bakar didalam silinder yang mengalami breakup dan sebagian menguap dan siap untuk pembakaran.

Gambar 1. Sistem Pembakaran Mesin Diesel Ketika bahan bakar akhirnya dinyalakan (titik 2.) akan menyala cepat dan mengakibatkan kenaikan tekanan mendadak sampai titik 3 tercapai. Periode pembakaran cepat ini yang sesuai dengan sudut engkol b membentuk tingkat kedua. Setelah titik 3, bahan bakar yang belum terbakar dan yang masih terus diinjeksikan terbakar pada kecepatan yang tergantung pada kecepatan injeksi dan jumlah serta distribusi oksigen yang masih ada dalam udara pengisian. Periode ini adalah tingkat ketiga dari pembakaran terkendali dan berahir pada titik 4 dengan berhentinya injeksi. Sudut c tergantung pada beban yang dibawa oleh mesin, makin besar bebannya makin besar pula c. Dalam tingkat keempat yang disebut pembakaran pasca (after burning) bahan bakar sisa dalam silinder ketika injeksi berhenti akhirnya terbakar.

2.3. Emisi Gas Buang pada Motor Diesel

Pengendalian emisi polutan merupakan faktor utama dalam perancangan system pembakaran sekarang ini. Efek yang diitimbulkan oleh emisi gas buang dari mesin meliputi perubahan sifat atmosfir, merusak tumbuh-tumbuhan dan material serta meningkatnya penyakit dan kematian pada manusia (Turns, 2000). Dalam pembakaran sempurna gas yang dihasilkan hanya berupa uap air (H2O) dan karbon dioksida (CO2). Tetapi

pada proses yang sebenarnya oleh berbagai sebab, proses pembakaran menjadi tidak sempurna sehingga menghasilkan emisi karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC) yang tidak terbakar, jelaga dan lain-lain.

2.3.1. Emisi NOx

Nitrogen oksida (NOx) terdiri dari nitrida oksida

(NO) dan nitrogen dioksida (NO2). Proses pembentukan

oksida nitrogen NOx dapat terjadi dari dua sumber utama

(Borman dan Ragland, 1998) yaitu thermal NOx berasal

dari gas Nitrogen yang terdapat dalam udara yang mengalami disosiasi pada temperatur tinggi akibat pembakaran dan fuel NOx yang berasal dari senyawa nitrogen dalam bahan bakar. Dalam diesel NOx akan

banyak diproduksi dalam periode pembakaran cepat akibat terjadinya beban termal lokal dan juga temperatur yang sangat tinggi. Selain NOx juga terbentuk SOx yang

(3)

SimetriS Nomor : 9, Jan – April 2009 3 bakar yang mengandung sulfur. Produk pembakaran ini

sebagian besar akan berbentuk SO2 dan sebagian kecil

adalah SO3. Di dalam atmosfer SO2 akan berubah lanjut

menjadi SO3.

2.3.2. Emisi Karbon monoksida (CO)

Karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon yang tidak terbakar (HC) umumnya dipengaruhi oleh proses pembakaran yang kurang sempurna di dalam ruang bakar. Emisi CO dari motor bakar ditentukan terutama oleh equivalen rasio bahan bakar udara. Namun karena mesin diesel selalu dioperasikan pada daerah miskin campuran udara bahan bakar maka konsentrasi CO relatif rendah. Gas CO merupakan hasil oksidasi karbon dan apabila jumlah udara mencukupi akan terjadi oksidasi lanjut menjadi CO2.

2.3.3. Emisi Hidrokarbon (HC)

Emisi hidrokarbon (HC) merupakan konsekuensi dari pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar hidrokarbon. Emisi HC bisa berbentuk bahan bakar yang belum terbakar atau dalam bentuk yang sudah terurai dan mempunyai nilai minimum pada daerah campuran kurus. Pada gambar berikut memperlihatkan secara skematik proses yang menghasilkan produk pembakaran tidak sempurna pada motor diesel.

2.4. Emulsifier

Bahan bakar hidrokarbon yang diemulsi dengan air dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi pembakaran dan mereduksi emisi gas buang. Bahan bakar emulsi adalah droplet air yang sangat halus yang terdapat dalam minyak solar, menggunakan additive untuk menjaga pemisahan air dari emulsi (Sadler, 2003). Akibat adanya tegangan permukaan yang lebih besar pada minyak solar dibandingkan dengan tegangan permukaan pada air, maka air tidak akan larut di dalam minyak solar. Percampuran antara air dan minyak solar akan menimbulkan gejala permukaan yakni apabila ke dua permukaan saling berdekatan maka kulit elektron atom ke dua cairan tersebut menahan deformasi sehingga menghasilkan gaya tolak yang lebih besar bila jaraknya mengecil (Hartomo dan Widiatmoko, 1993).

Emulsifier dapat memecah tegangan permukaan air dan minyak solar, sehingga ke duanya dapat larut membentuk emulsi. Untuk menstabilkan tegangan permukaan antara solar-air serta untuk memperoleh bentuk campuran yang homogen digunakan pengemulsi yang berfungsi sebagai surfactant. Dalam penelitian ini akan digunakan Alkyl Benzene Sulphonic acid (ABS) sebagai bahan pengemulsi solar-air. Dibuat dari sulfonasi rantai samping (SO3) Dodecylbenzene,

berupa cairan kental yang berwarna coklat tua dan dapat digunakan sebagai detergent, emulsifier,

dispersant (pemecah tegangan permukaan), corrosion inhibitor (pencegah karat) (oil chem, 2003).

Alkyl Benzene Sulphonic acid (ABS) merupakan salah satu jenis detergent yang biasanya digunakan sebagai additive pada minyak pelumas yang dapat mengurangi dan menetralkan produk oksidasi dan pembakaran asam (acidic combustion) (Rizvi, 1999). Dengan demikian additive ini dapat mengontrol karat, dan penggunaannya dalam bahan bakar sebagai penstabil tidak akan mengganggu peralatan burner.

Bahan bakar emulsi dapat meningkatkan performance melalui fenomena microexplosion. Microexplosion dapat terjadi pada pembakaran bahan bakar emulsi yang mana terdiri dari dua atau lebih cairan yang mempunyai titik didih yang jauh berbeda. Bila bahan bakar ini dipanaskan maka droplet kecil air yang dikelilingi oleh bahan bakar solar dengan titik didih yang lebih tinggi akan cepat menguap dan berekspansi, memecah droplet bahan bakar menjadi sejumlah besar droplet kecil yang dikenal dengan secondary atomization atau mocroexplosion.

Secondary atomization dan kehadiran air dalam pembakaran memungkinkan bahan bakar terbakar pada temperatur puncak yang lebih rendah dan tingkat excess air yang rendah sehingga mengurangi emisi NOx dan

emisi partikulat (PM). Kehadiran uap air dalam pembakaran dapat pula meningkatkan produksi hidroxyl radicals (OH) untuk meningkatkan laju reaksi karbon monoksida (CO) menjadi karbon dioksida (CO2) untuk

menghasilkan pembakaran sempurna. 3. Pembahasan

3.1. Cara Pembuatan

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam membuat bahan bakar emulsi adalah sebagai berikut :

Sebagai sample kita pilih bahan emulsi dengan campuran 10% W/O

1. Menyiapkan gelas ukur dengan kapasitas 10mL, 100mL dan 1000 mL.

2. Menakar ABS sebanyak 2,2 mL dan air 100mL.

3. Mencampur air dan ABS tersebut dengan menggunakan mixer selama ± 1 menit hingga campuran merata.

4. Menuangkan campuran ABS dan air ke dalam gelas ukur 1000mL.

5. Menambahkan bahan bakar solar ke dalam gelas ukur sampai volume 1000mL tercapai.

6. Ketiga bahan tersebut diaduk menggunakan mixer selama ± 1 menit hingga diperoleh campuran yang merata.

7. Hasil campuran tersebut berwarna putih seperti susu dan dapat langsung digunakan pada pembakaran di burner atau mesin diesel.

8. Apabila pengadukan terlalu lama maka bahan bakar emulsi akan berbuih dan

(4)

SimetriS Nomor : 9, Jan – April 2009 4 mengental sehingga bahan bakar tidak dapat

dipakai.

9. Untuk membuat bahan bakar emulsi dengan campuran 20% W/O dan 30% W/O dilakukan dengan cara seperti tersebut di atas (langkah 1 sampai 6), dengan banyaknya ABS tetap 2,2 mL dan air masing-masing 200mL dan 300 mL. -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 100 200 300 400 500

Waktu Pemisahan, menit

V o lu m e P e mi s a h a n A ir , mL 10% W/O 20% W/O 30% W/O

Gambar 2. Grafik Hubungan Waktu Pemisahan Terhadap Volume Pemisahan Air. 3.2. Keunggulan

Pembakaran bahan bakar emulsi memiliki keunggulan sebagai berikut :

1. Bahan bakar emulsi terbakar lebih cepat dari pada bahan bakar tanpa campuran air. 2. Kandungan air dalam bahan emulsi tidak

merusak atau mengganggu, tetapi meningkatkan proses pembakaran karena adanya pemecahan droplet tambahan secara simultan yang mempercepat pencampuran bahan bakar dengan udara.

3. Reduksi waktu pembakaran bahan bakar emulsi mempengaruhi pembakaran jelaga yang tersisa, yang dapat menyempurnakan dan menurunkan terbentuknya jelaga (Taro, dkk, 2003).

3.3. Foto Sample Bahan Bakar Emulsi

Gambar 3. Bahan Bakar Emulsi Masih Tercampur Secara Homogen

Gambar 4. Bahan Bakar Emulsi Setelah Terjadi Pemisahan

Gambar 5. Bahan Bakar Emulsi Komposisi 10% W/O, 20% W/O, 30% W/O

Gambar 6. Perangkat Pembuat Bahan Bakar Emulsi

(5)

SimetriS Nomor : 9, Jan – April 2009 5 4. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Prosentase Alkyl Benzene Sulphonic acid (ABS) yang dipakai adalah 0,22% karena dalam waktu 330 menit campuran masih homogen.

2. Bahan bakar emulsi terbakar lebih cepat dari pada bahan bakar tanpa campuran air.

3. Kandungan air dalam bahan emulsi tidak merusak atau mengganggu, tetapi meningkatkan proses pembakaran karena adanya pemecahan droplet tambahan secara simultan yang mempercepat pencampuran bahan bakar dengan udara. 4. Reduksi waktu pembakaran bahan bakar

emulsi mempengaruhi pembakaran jelaga yang tersisa, yang dapat menyempurna kan dan menurunkan terbentuknya jelaga 5. Daftar Pustaka

______, 2005, Emulsified Fuels From Petrolium Resids and Other High-Viscosity Hydrocarbon Fuels, Petroform Inc, 5415 First Coast Highway Fernandina Beach, Florida 32034.

Arismunandar, W., 1994, “ Penggerak Mula Motor Bakar Torak” Edisi keempat Cetakan kedua, Penerbit ITB- Bandung. Arismunandar, W., dan Tsuda, K., 2002, “ Motor

Diesel Putaran Tinggi”, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Babcock and Wilcox, 1992, Steam Its generation and Use, 40th edition.

Bartola, A.G., 2003, “Technologies for Lowest NOx and Particulate Emissions in

DI-Diesel Engine Combustion-Influence of Injection Parameters, EGR and Fuel Composition” Abstract of Dissertation for the degree of Doctor of Technical Science, Diss.ETH No.15373.

Bedford, F., Rutland,C., Dittrich, P., Raab,A., and Wirbeleit,F., 2000, “Effects of Direct Water Injection on DI Diesel Engine Combustion” SAE Paper 2000-01-2938. Borman, G.L., dan Ragland, K.W., 1998,

Combustion Engineering, McGraw-Hill Book Company, Boston.

Cengel, Y. A, and Boles, M. A., 1998, Thermodynamics An Engineering Approach, Third Edition, McGraw-Hill, New York.

Cengel, Y.A.,2003, Heat Transfer A Practical Approach, 2th edition, McGraw-Hill Education, New York.

Frolove, S.M., 2001, Control of Single Droplet Combustion and Emision, 18th ICDERS Short Abstract.

Harjono, 2004, Analisis Perpindahan Panas Konveksi Sebagai Akibat Pembakaran Kerosin Pada Silinder Dalam Annulus Horizontal, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Harjono, A., 2001, “ Teknologi Minyak Bumi”,

Gadjah Mada University Press, Cetakan Pertama , Yogyakarta.

Hartomo, A., dan Widiatmoko, M.C., 1993 , Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin, Andi Offset, Cetakan Pertama, Yogyakarta.

Helmantel, A., 2004, “Reducing Diesel Engine Emission-An Experimental Investigation” Thesis, Halmers University of Technology, Sweden.

Heywood, J.B., 1989, Internal Combustion Engine Fundamentals, McGraw-Hill Book Company, New York.

Kadota, T., Yamasaki, H., 2002, Recent Advances in The Combustion of Water Fuel Emulsion, Progress in Energy and Combustion Science.

Lukas, K.M., 2006, Pengaruh Meningkatnya Tekanan Injeksi Terhadap Kinerja Mesin dan Emisi Gas Buang Mesin Diesel Berbahan Bakar Emulsi, Majalah Ilmiah Simetris, Nomor 5, Tahun 4, hal. 14-20. Muchnik, D.A., 2002, Water Improving Burning,

The New Technology of Water Fuel Emulsion, Fuel Technologies LTD, page 1 ÷ 5.

Muwen, C., Jiacong, C., 2006, Optimal Design of Thermal-Energy Stores For Boiler Plants, Applied Energy.

Nensho, T., Hanno, H., Keisoku, K., and Jikken, K., 2005, Phase-Sparation inside a Burning Droplet of Oil in Water Emulsion, Original Paper, Combustion Society of Japan-Journal, Vol. 106. Oil Chem, 2003, New Chemistry, Alkhylbenzene

Sulfonate, Oil Chem Technology.

Rizvi, S.Q.A., 1999, Additive For Automotive Fuel and Lubricants, Journal of Society of Tribology and Lubrication Engineers, April, page 33 ÷ 39.

Sarjono, 2006, Pemilihan Bahan Pengemulsi Minyak Solar Sebagai Bahan Bakar Pada Burner, Majalah Ilmiah Simetris, Nomor 4, Tahun 5, hal. 1-6.

Sarjono, 2008, Studi Eksperimental Penggunaan Bahan Bakar Emulsi Pada Burner, Majalah Ilmiah Simetris, Nomor 7, Tahun 6, hal. 1-7.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan meningkatnya nilai CBR maka berpengaruh pada pengujian sifat-sifat fisis tanah asli yaitu semakin banyak penambahan additive maka berat jenis tanah

Hasil penelitian ini adalah: implementasi karakter keatif meliputi(1) HMP PGSD melakukan inovasi baru berupa pelaksanaan program kerja pelatihan debat, (2) berani

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kesuma (2007) dan Anastasia (2003) yang menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan (GS), struktur aktiva (TA), dan

Alasan lain peneliti mengambil judul tentang metode galley walk berbasis PAIKEM yaitu agar siswa mampu mengingat apa yang telah dipelajari, hal ini sesuai dengan

awal untuk pukulan smash hampir sama dengan pukulan lob. Perbedaan utama adalah pada saat akan impact yaitu pada pukulan lob shuttlecock diarahkan ke atas,

Antiobodi PreS2 dalam Vektor Adenovirus Melalui Microneedle Patch Sebagai. Vacciontherapy Hepatitis B dan Karsinoma

kimia untuk atom H pada C-β-karbonil PGV-0 4 lebih down field dibandingkan dengan THPGV-0 5 karena pada struktur PGV-0 4 (rangkap terkonjugasi), memungkinkan terjadi