• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN AKURASI PENGGUNAAN DATA PARSIAL DAN DATA UTUH PADA PENGAMATAN TINGKAH LAKU DOMBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN AKURASI PENGGUNAAN DATA PARSIAL DAN DATA UTUH PADA PENGAMATAN TINGKAH LAKU DOMBA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN AKURASI

PENGGUNAAN DATA PARSIAL DAN DATA UTUH

PADA PENGAMATAN TINGKAH LAKU DOMBA

(Comparison of Accuracy Using Parsial Data and Whole Data

in Sheep Behaviour Observation)

ABSTRAK

Penggunaan rekaman video memiliki beberapa kelebihan untuk pengamatan tingkah laku, namun demikian teknik ini mempunyai kekurangan pada aspek waktu analisa yang lama. Sehubungan dengan hal itu, diperlukan penelitian tentang durasi data parsial tingkah laku domba yang dapat dipercaya untuk dapat menggambarkan data utuh. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode pengamatan tingkah laku domba yang mudah, lebih singkat serta akurat dalam menggambarkan tingkah laku domba dari data utuh. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai acuan untuk mempersingkat waktu analisa data rekaman video dengan menggunakan durasi data parsial yang dapat dipercaya untuk menggambarkan data tingkah laku utuh pada domba. Sebanyak 34 ekor domba dewasa jantan dan betina dari 5 bangsa domba yang terdiri dari domba Barbados Black Belly Cross (BC), Komposit Garut (KG), Lokal Garut (LG), Komposit Sumatera (KS) dan St. Croix Cross (SC) digunakan dalam penelitian ini. Sepuluh sifat tingkah laku diamati selama 8 jam dari data rekaman video tingkah laku domba sepanjang hari. Data parsial 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 jam dari 8 jam pengamatan tersebut digunakan sebagai prediksi data tingkah laku 8 jam. Data parsial terlebih dahulu dikonversi melalui pengkalian dengan faktor tertentu sesuai lama pengamatan data parsial. Uji t berpasangan dilakukan untuk membandingkan rataan setiap data parsial dengan data utuh 8 jam dengan PROC TTEST dan untuk melihat keeratan korelasi antara data parsial dengan data utuh dilakukan analisa korelasi dengan PROC CORR dari program SAS ver. 9.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya ada kecenderungan semakin lama data parsial yang digunakan maka semakin banyak tingkah laku domba yang dapat diprediksi secara akurat. Penggunaan data parsial 6 jam paling baik untuk memprediksi data utuh seluruh jenis tingkah laku domba yang diamati dalam penelitian ini. Tingkah laku makan (INGEST) dan berkelahi/agresif (AGON) memerlukan data parsial yang terlama dibandingkan tingkah laku domba yang lain yaitu minimal menggunakan data parsial 6 jam. Sementara itu, data parsial yang paling singkat (data parsial 1 jam) hanya dapat memprediksi secara akurat durasi tingkah laku domba minum (DRINK).

Kata kunci : data parsial, data utuh, prediksi, tingkah laku, durasi, domba ABSTRACT

Besides some advantages for behavioral observations studies, the use of video recording needs a long period of observation time. Therefore, the research of partial data duration of behavior sheep that acceptable to describe the behavior of sheep is needed. The purpose of this study was to get a method of behavior observation of sheep that was easy, quick and more accurate in describing the sheep behaviors of the whole data. The results of this research can be used as a reference to reduce time analysis of

(2)

video recording data using acceptable partial data to describe sheep behavior of the whole data. A total of 34 head adult male and female sheep of five breed used in this study, i.e. Barbados Black Belly Cross (BC), Composite Garut (KG), Local Garut (LG), Composite Sumatra (KS) and St. Cross Croix (SC). Ten nature of behavior observed for 8 hours of sheep behavior data video recording all day. Partial data 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 7 hours of 8 hours observation were used as a prediction of 8 hours sheep behavior. Partial data converted by multiplying by a certain factor according to duration of partial data. Paired t test was performed to compare the average of each partial data to the 8 hours whole data using PROC TTEST. Analyze the correlation between partial data was performed using the PROC CORR of SAS Ver. 9.0. The results show that generally there was a tendency that the longer of the partial data was used then the more accurate the sheep behavior predicted. The use of 6 hours partial data was the best partial data to predict all of sheep behavior accurately. Eating (INGEST) and fighting / aggressive (AGON) behavior require the longest partial data than the other sheep behavior, that require at least 6 hours partial data recording. Meanwhile, the shortest partial data (1 hour partial data) could only accurately predict the behavior duration of sheep drinking (DRINK).

(3)

PENDAHULUAN

Seperti ilmu-ilmu lainnya, metodologi yang ketat dalam desain dan pelaksanaan penelitian juga dipatuhi dalam penelitian tingkah laku hewan. Gambaran sangat baik tentang bagaimana membuat desain dan melakukan penelitian tingkah laku pada hewan telah dijelaskan secara lengkap oleh Lehner (1987). Disamping itu, khusus untuk penelitian tingkah laku dengan perlakuan (treatment) pada hewan percobaan maka pertimbangan kesejahteraan hewan/ternak (animal welfare) dari hewan percobaan juga harus dilakukan (National Institute of Mental Health 2002).

Salah satu bagian penting dari sekian rangkaian dalam membuat desain penelitian adalah dalam hal pengumpulan data. Pengumpulan data dimulai dengan pilihan metode

sampling yang sesuai dan peralatan untuk memastikan validitas, akurasi dan kehandalan

dari data yang dikumpulkan (Lehner 1987). Altmann (1974) telah menjelaskan dan menggambarkan secara lengkap tujuh teknik untuk melakukan sampling dalam penelitian tingkah laku hewan beserta rekomendasi penggunaannya. Sementara itu, peralatan dalam pengumpulan data tingkah laku sangat terkait erat dengan metode

sampling yang digunakan yang tergantung kepada jenis tingkah laku yang diamati.

Pada umumnya, pengumpulan data tingkah laku dapat dilakukan dalam dua cara yaitu pengumpulan data dengan pengamatan langsung (live observation) atau merekam tingkah laku hewan percobaan dengan menggunakan bantuan peralatan elektronik (recording). McGlone (1986) mengemukakan lebih banyak paper yang dipublikasikan menggunakan pengamatan langsung tingkah laku dibandingkan dengan cara merekam, namun demikian trend ini sedang berubah berbalik lebih cenderung dengan cara merekam.

McGlone (1986) mengemukakan kelebihan dan kekurangan dalam penelitian tingkah laku yang menggunakan pengamatan secara langsung. Pengamatan langsung dengan menggunakan pensil dan kertas hanya dapat mencatat frekuensi dari tingkah laku. Durasi tingkah laku sulit dilakukan kecuali dengan menggunakan alat bantu penghitung waktu seperti stopwatch, dan sebagainya. Umumnya pengamatan langsung lebih unggul dalam mengamati kualitas dari tingkah laku seperti mimic (perubahan raut muka) hewan hidup. Kelemahan lain dalam pengamatan langsung adalah sulit untuk mencatat tingkah laku dimana pergerakan hewan sangat cepat serta jika beberapa kejadian terobservasi pada saat yang sama.

(4)

Pengamatan tingkah laku sepanjang hari mengharuskan kehadiran pengamat untuk mencatat dan berkonsentrasi dalam waktu yang panjang dan hal tersebut menyulitkan sekaligus dapat mengurangi keakuratan data yang dikumpulkan. Umumnya peneliti melakukan pengamatan berselang dalam upaya mengurangi waktu pengamatan, seperti yang dilakukan oleh Tiesnamurti et al. (2000, 2006) yang melakukan penelitian tingkah laku menyusu anak domba dengan cara 15 menit pengamatan dan 15 menit istirahat dalam waktu 24 jam. Beberapa peneliti melakukan pengamatan tingkah laku pada sapi dengan interval yang lebih lama yaitu 1 jam (Ray dan Roubicek 1971; Gonyou dan Stricklin 1984), walaupun demikian untuk tingkah laku yang berdurasi tidak terlalu lama, pengamatan dilakukan dari awal hingga akhir tingkah laku, seperti tingkah laku induk domba saat beranak (Sutama dan Inounu 1993; Sutama dan Budiarsana 1995; Tiesnamurti dan Subandriyo 2005; Inounu et al. 2006).

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan peralatan perekam elektronik, penelitian tingkah laku hewan juga memanfaatkan kelebihan penggunaan peralatan elektronik dalam penelitian tingkah laku dibandingkan penelitian tingkah laku secara langsung. Peralatan elektronik seperti video dapat merekam seluruh tingkah laku hewan dalam durasi yang lama sesuai kapasitas memori alat yang dimiliki. Hasil rekaman dapat diputar ulang setiap kali diinginkan untuk dilakukan analisa terhadap suatu sifat tingkah laku yang diamati. Pada analisa yang lebih mendalam dan teliti, pergerakan cepat hewan dapat diamati lebih lambat dengan menu slow motion ataupun sebaliknya. Jika pengamatan dilakukan terhadap beberapa individu, tingkah laku yang dilakukan pada saat yang bersamaan juga masih dapat dianalisa dengan memutar ulang data rekaman tersebut.

Disamping beberapa kelebihan seperti tersebut di atas, rekaman video juga mempunyai kekurangan yaitu analisa data rekaman video tingkah laku memerlukan waktu yang lama karena dalam memutar film video juga diperlukan putar diperlambat (slow motion) dan putar ulang (play back). Sehubungan dengan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai persentase durasi data parsial tingkah laku domba yang dapat dipercaya untuk menggambarkan data utuh dari data tingkah laku yang dikumpulkan dengan alat perekam video. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode pengamatan tingkah laku domba yang mudah, lebih singkat serta akurat dan dapat mewakili gambaran tingkah laku domba secara keseluruhan. Manfaat dari

(5)

penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai acuan untuk mempersingkat waktu analisa data rekaman video dengan menggunakan durasi data parsial yang dapat dipercaya untuk menggambarkan data tingkah laku utuh pada domba.

(6)

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di dua Kandang Percobaan Domba Balai Penelitian Ternak yaitu di Kandang Percobaan Jl. Raya Pajajaran, Bogor dan Kandang Percobaan Domba Cilebut, selama 5 bulan sejak bulan Oktober 2010 hingga Pebruari 2011.

Materi Penelitian

Materi penelitian yang digunakan adalah domba dewasa jantan dan betina dari lima bangsa domba yaitu Domba Barbados Black Belly Cross (BC) (komposisi genetik 50% Lokal Sumatera 50% Barbados Black Belly), Komposit Garut (KG) (50% Lokal Garut 25% St. Croix 25% Moulton Charolais), Lokal Garut (LG), Komposit Sumatera (KS) (50% Lokal Sumatera 25% St. Croix 25% Barbados Black Belly), St. Croix Cross (SC) (50% Lokal Sumatera 50% St. Croix). Jumlah sampel yang digunakan dari seluruh bangsa domba adalah sebanyak 34 ekor, yang terdiri dari 5 ekor domba BC, 6 ekor domba KG, 10 ekor domba LG, 7 ekor domba KS dan 6 ekor domba SC.

Metode Penelitian

Dua pen kandang yang bersebelahan dengan ukuran sama yaitu 11 m2 diisi masing-masing 5 ekor domba betina atau jantan dari bangsa yang sama. Pengamatan tingkah laku domba dilakukan dengan menggunakan seperangkat peralatan CCTV (Close Circuit Televisi). Segala aktivitas tingkah laku domba selama 24 jam terekam oleh 2 kamera yang dipasang di masing-masing pen kandang. Keempat kamera tersebut terhubung dengan kabel ke peralatan 4CH STANDALONE DVR (Digital Video

Recorder) sebagai alat perekam dan televisi sebagai alat monitor yang diletakkan di

ruangan khusus pengamatan. Berhubung kapasitas harddisk DVR hanya mampu menyimpan data rekaman selama ±100 jam (400 GB) maka secara reguler data rekaman dibackup dengan bantuan flash disk berkapasitas 16 GB. Kemampuan DVR hanya memungkinkan untuk melakukan backup data rekaman sekitar 1 GB setiap kali backup sehingga file data rekaman 24 jam harus dipecah-pecah. File berekstension .VVF hasil

backup di flashdisk kemudian disimpan di eksternal harddisk berkapasitas antara

(7)

Sifat tingkah laku domba yang diamati seperti yang dikemukakan oleh Hafez et

al. (1969) dan Ewing et al. (1999), dengan sedikit modifikasi meliputi 10 tingkah laku

yaitu :

1. Makan (ingestif) : lama tingkah laku domba yang memakan konsentrat, rumput atau mineral blok (menit).

2. Bermain (playing) : lama tingkah laku domba yang berlari dan meloncat senang, biasanya diikuti domba yang lain dalam kelompok tersebut (menit). 3. Berkelahi/agresif (agonistic) : lama tingkah laku domba yang aktif menyerang

(menanduk domba lain) atau melawan dengan menanduk juga (bertubrukan kepala dengan kepala) serta tingkah laku yang menggesekkan atau menandukkan tanduk ke dinding atau tiang kandang (menit).

4. Membuang kotoran (eliminatif) : lama tingkah laku domba membuang feses (defekasi) atau urine (urinasi) (menit).

5. Merawat diri (care giving) : lama tingkah laku domba merawat diri bagian tubuh yang gatal diantaranya dengan cara menggigit bagian tubuh sendiri seperti bagian kaki depan atau belakang, badan bagian samping, paha dan sebagainya, atau menggarukan kaki belakang ke bagian tubuh seperti leher, kepala, kaki depan, dan sebagainya, atau menggesek-gesekkan pantat, badan bagian samping dan pundak ke dinding kandang (menit).

6. Melangkah/berjalan (locomotion) : lama tingkah laku domba melangkah atau berjalan (menit).

7. Berdiri (standing) : lama tingkah laku domba berdiri (tidak melangkah), biasanya diiringi dengan aktivitas regurgitasi, remastikasi dan redeglutasi atau melihat/mengamati sesuatu (menit).

8. Istirahat tidur (sleeping) : lama tingkah laku domba berbaring dengan posisi kepala rebah atau bersandar dan mata tertutup (menit).

9. Istirahat berbaring (resting) : lama tingkah laku domba berbaring dengan posisi kepala tegak dan mata terbuka, biasanya diringi dengan aktivitas regurgitasi, remastikasi dan redeglutasi (menit).

10. Minum (drinking) : lama tingkah laku domba meminum air di tempat/bak air minum (menit).

(8)

File data rekaman dibuka dengan software VVF Player dan kemudian hasil

rekaman diterjemahkan dalam bentuk data kuantitatif berupa durasi (menit) suatu sifat tingkah laku dilakukan. Terbatasnya waktu yang tersedia untuk menterjemahkan seluruh data rekaman menyebabkan data rekaman tingkah laku hanya dapat diamati selama durasi 8 jam sebagai data utuh, yang dipilih pada waktu-waktu yang dianggap dapat mewakili aktivitas domba dari data rekaman 24 jam. Periode waktu pengamatan 8 jam yang diambil dari data rekaman tingkah laku sepanjang hari seperti terlihat pada Tabel 35.

Tabel 35. Periode pengamatan tingkah laku data utuh (8 jam) yang digunakan dari data rekaman tingkah laku sepanjang hari (24 jam)

Data rekaman tingkah laku Periode pengamatan Periode waktu pengamatan

24 jam I 07.00 – 08.00 WIB II 10.00 – 11.00 WIB III 13.00 – 14.00 WIB IV 16.00 – 17.00 WIB V 19.00 – 20.00 WIB VI 22.00 – 23.00 WIB VII 01.00 – 02.00 WIB VIII 04.00 – 05.00 WIB

(9)

Tabel 36. Durasi dan periode waktu pengamatan dari metode pengamatan dengan data parsial dan data utuh (pengamatan 8 jam)

Metode pengamatan

Periode waktu pengamatan

Total durasi 07.00-07.30 07.30-08.00 10.00-10.30 10.30-11.00 13.00-13.30 13.30-14.00 16.00-16.30 16.30-17.00 19.00-19.30 19.30-20.00 22.00-22.30 22.30-23.00 01.00-01.30 01.30-02.00 04.00-04.30 04.30-05.00 Data utuh Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00

Sampai 7:30:00 8:00:00 10:30:00 11:00:00 13:30:00 14:00:00 16:30:00 17:00:00 19:30:00 20:00:00 22:30:00 23:00:00 1:30:00 2:00:00 4:30:00 5:00:00

Durasi 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 8:00:00 Data 1 jam Mulai 7:00:00 10:00:00 13:00:00 16:00:00 19:00:00 22:00:00 1:00:00 4:00:00

Sampai 7:07:30 10:07:30 13:07:30 16:07:30 19:07:30 22:07:30 1:07:30 4:07:30

Durasi 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 1:00:00 Data 2 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00

Sampai 7:07:30 7:37:30 10:07:30 10:37:30 13:07:30 13:37:30 16:07:30 16:37:30 19:07:30 19:37:30 22:07:30 22:37:30 1:07:30 1:37:30 4:07:30 4:37:30

Durasi 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 2:00:00 Data 3 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00

Sampai 7:10:00 7:42:30 10:10:00 10:42:30 13:10:00 13:42:30 16:10:00 16:42:30 19:10:00 19:42:30 22:10:00 22:42:30 1:10:00 1:42:30 4:10:00 4:42:30

Durasi 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 3:00:00 Data 4 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00

Sampai 7:10:00 7:50:00 10:10:00 10:50:00 13:10:00 13:50:00 16:10:00 16:50:00 19:10:00 19:50:00 22:10:00 22:50:00 1:10:00 1:50:00 4:10:00 4:50:00

Durasi 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 4:00:00 Data 5 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00

Sampai 7:20:00 7:47:30 10:20:00 10:47:30 13:20:00 13:47:30 16:20:00 16:47:30 19:20:00 19:47:30 22:20:00 22:47:30 1:20:00 1:47:30 4:20:00 4:47:30

Durasi 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 5:00:00 Data 6 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00

Sampai 7:20:00 7:55:00 10:20:00 10:55:00 13:20:00 13:55:00 16:20:00 16:55:00 19:20:00 19:55:00 22:20:00 22:55:00 1:20:00 1:55:00 4:20:00 4:55:00

Durasi 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 6:00:00

1

(10)

146

Tabel 36 (Lanjutan). Durasi dan periode waktu pengamatan dari metode pengamatan dengan data parsial dan data utuh (pengamatan 8 jam)

Metode pengamatan

Periode waktu pengamatan

Total durasi 07.00-07.30 07.30-08.00 10.00-10.30 10.30-11.00 13.00-13.30 13.30-14.00 16.00-16.30 16.30-17.00 19.00-19.30 19.30-20.00 22.00-22.30 22.30-23.00 01.00-01.30 01.30-02.00 04.00-04.30 04.30-05.00 Data 7 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00

Sampai 7:25:00 7:57:30 10:25:00 10:57:30 13:25:00 13:57:30 16:25:00 16:57:30 19:25:00 19:57:30 22:25:00 22:57:30 1:25:00 1:57:30 4:25:00 4:57:30

Durasi 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 7:00:00

(11)

Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan membandingkan setiap tingkah laku dari data parsial dengan data utuh 8 jam pengamatan. Data parsial adalah data pengamatan tingkah laku yang diamati pada periode waktu tertentu sepanjang waktu pengamatan data utuh 8 jam yang mempertimbangkan keterwakilan untuk data utuh. Durasi pengamatan tingkah laku dan periode waktu pengamatan sesuai metode pengamatan seperti ditampilkan pada Tabel 36.

Durasi pengamatan untuk data parsial ditetapkan meningkat yang terdiri dari durasi 1 jam (DP1), 2 jam (DP2), 3 jam (DP3), 4 jam (DP4), 5 jam (DP5), 6 jam (DP6) dan 7 jam (DP7) dari data utuh. Durasi setiap sifat tingkah laku data parsial kemudian dikalikan dengan faktor konversi sesuai dengan durasi pengamatan data parsial tersebut ke durasi pengamatan 8 jam untuk mendapatkan data durasi prediksi. Faktor konversi perkalian adalah dikalikan dengan 8 (x 8) untuk data parsial 1 jam (DP1), x 4 untuk DP2, x 2.667 untuk DP3, x 2 untuk DP4, x 1.6 untuk DP5, x 1.333 untuk DP6 dan x 1.143 untuk DP7.

Data durasi setiap tingkah laku dari data parsial yang sudah dikonversi ke 8 jam dibandingkan dengan data utuh (8 jam) dengan Uji t berpasangan menggunakan PROC TTEST dan juga dianalisa korelasinya dengan PROC CORR dari software SAS ver. 9.0 (SAS 2002).

(12)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan data tingkah laku dengan bantuan alat rekam (seperti CCTV) relatif mudah akan tetapi dalam penelitian ini ada dua kegiatan setelah perekaman data yang memerlukan waktu yang lama. Kegiatan pertama yang memerlukan waktu lama adalah dalam proses backup data dari harddisk DVR ke harddisk eksternal, dengan pilihan tipe alat yang lain atau perkembangan kemajuan peralatan DVR kendala ini akan dapat diatasi. Kegiatan kedua yang memerlukan waktu lama adalah pengolahan atau analisa data rekaman video tingkah laku sehingga perlu dicari cara untuk mempersingkat waktu analisa rekaman video. Pengambilan contoh dalam periode waktu tertentu dari keseluruhan data rekam tanpa melakukan analisa untuk seluruh data rekaman merupakan suatu alternatif yang dapat dipilih.

Tabel 37 menunjukkan durasi dari setiap tingkah laku domba yang diamati dalam penelitian ini untuk data utuh (8 jam pengamatan) dan data parsial dengan periode waktu pengamatan tertentu yang sudah dikonversi ke pengamatan 8 jam dengan cara dikalikan dengan suatu faktor pengali untuk setiap tingkah laku domba yang diamati. Tingkah laku dengan aktifitas yang lama untuk domba dewasa adalah istirahat berbaring (REST), berdiri (STAND) dan makan (INGEST), berturut-turut menghabiskan waktu sekitar 38 %, 29% dan 21% dari keseluruhan waktu yang dimiliki domba. Sementara itu, durasi tingkah laku yang sangat singkat dilakukan adalah bermain (PLAY), berkelahi/agresif (AGON) dan minum (DRINK), masing-masing dari ketiga tingkah laku tersebut dilakukan domba dewasa tidak lebih dari 1 menit dari 8 jam pengamatan.

Penggunaan data parsial 1 jam untuk memprediksi tingkah laku data utuh (8 jam pengamatan) dapat dilakukan untuk 8 sifat tingkah laku karena tidak nyata berbeda dengan data utuh kecuali untuk tingkah laku ELIM dan LOCO yang mendapatkan hasil

under estimate, berbeda nyata dengan data utuh (P<0.05). Penggunaan data parsial 3

jam tidak dapat diterima untuk memprediksi durasi tingkah laku INGEST dan STAND data utuh karena menghasilkan prediksi durasi tingkah laku INGEST yang under

estimate (P<0.05) dan prediksi tingkah laku STAND yang sebaliknya over estimate

(P<0.05). Hasil yang lebih baik didapat jika menggunakan data parsial 2, 4 dan 5 jam untuk memprediksi tingkah laku data utuh yaitu hanya durasi tingkah laku INGEST yang tidak dapat diterima karena berbeda nyata dengan data utuh (P<0.05).

(13)

Tabel 37. Rataan durasi setiap tingkah laku untuk data utuh (8 jam) dan data parsial yang telah dikonversi ke durasi 8 jam

Tingkah laku Metode pengamatan

DU DP1 DP2 DP3 DP4 DP5 DP6 DP7 INGEST 98.70 ± 32.58 100.48(ns) ± 45.98 86.00(*) ± 33.54 87.21(*) ± 29.69 93.84(*) ± 30.52 94.93(*) ± 30.55 98.37(ns) ± 32.20 99.41(ns) ± 32.94 PLAY 0.012 ± 0.038 0.00(ns) ± 0.00 0.022(ns) ± 0.073 0.014(ns) ± 0.048 0.024(ns) ± 0.076 0.019(ns) ± 0.061 0.016(ns) ± 0.051 0.014(ns) ± 0.043 AGON 0.45 ± 0.57 0.20(ns) ± 0.62 0.48(ns) ± 1.00 0.45(ns) ± 0.84 0.44(ns) ± 0.67 0.40(ns) ± 0.59 0.39(ns) ± 0.56 0.41(ns) ± 0.57 ELIM 3.34 ± 1.99 1.94(*) ± 1.99 3.11(ns) ± 2.00 3.20(ns) ± 1.88 3.39(ns) ± 2.44 3.31(ns) ± 2.29 3.29(ns) ± 2.23 3.31(ns) ± 2.09 CARE 5.46 ± 4.15 4.66(ns) ± 6.16 5.58(ns) ± 4.99 5.74(ns) ± 5.10 5.30(ns) ± 4.51 5.40(ns) ± 4.26 5.28(ns) ± 4.01 5.23(ns) ± 3.90 LOCO 24.51 ± 24.99 21.17(*) ± 22.90 24.70(ns) ± 24.55 25.92(ns) ± 25.29 25.18(ns) ± 25.70 24.02(ns) ± 23.34 24.06(ns) ± 24.40 23.99(*) ± 24.30 STAND 139.16 ± 52.04 133.61(ns) ± 68.82 143.48(ns) ± 56.09 144.58(*) ± 52.97 140.71(ns) ± 56.64 141.27(ns) ± 52.47 139.11(ns) ± 53.77 138.37(ns) ± 52.94 SLEEP 26.14 ± 20.03 32.66(ns) ± 32.90 26.81(ns) ± 24.36 25.92(ns) ± 23.04 25.44(ns) ± 22.70 26.93(ns) ± 21.33 26.51(ns) ± 20.91 26.76(ns) ± 20.29 REST 181.69 ± 50.32 183.92(ns) ± 62.47 188.95(ns) ± 53.51 186.32(ns) ± 53.87 185.18(ns) ± 57.56 183.25(ns) ± 52.17 182.43(ns) ± 52.40 181.99(ns) ± 50.92 DRINK 0.55 ± 1.02 1.36(ns) ± 4.01 0.88(ns) ± 2.01 0.64(ns) ± 1.33 0.51(ns) ± 1.04 0.49(ns) ± 0.95 0.56(ns) ± 1.23 0.54(ns) ± 1.08 Keterangan :

Tanda (*) di belakang nilai rataan durasi setiap tingkah laku menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh Tanda (ns) di belakang nilai rataan durasi setiap tingkah laku menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh DU = Data utuh (pengamatan 8 jam), DP1 = Data parsial pengamatan 1 jam, DP2 = Data parsial pengamatan 2 jam, DP3 = Data parsial pengamatan 3 jam, DP4 = Data parsial pengamatan 4 jam, DP5 = Data parsial pengamatan 5 jam, DP6 = Data parsial pengamatan 6 jam, DP7 = Data parsial pengamatan 7 jam

INGEST = Makan (ingestif), PLAY = Bermain (playing), AGON = Berkelahi/agresif (agonistic), ELIM = Buang kotoran (eliminatif), CARE = Merawat diri (care giving), LOCO = Melangkah/berjalan (locomotion), STAND = Berdiri (standing), SLEEP = Istirahat tidur (sleeping), REST = Istirahat berbaring (resting), DRINK = Minum (drinking)

1

4

(14)

Hasil prediksi durasi tingkah laku data utuh yang terbaik adalah dengan menggunakan data parsial 6 jam dimana durasi seluruh tingkah laku data prediksi tidak berbeda nyata dengan data utuh (P>0.05). Walaupun demikian, durasi tingkah laku LOCO tidak dapat diprediksi dengan data parsial 7 jam karena akan mendapatkan hasil yang under estimate.

Tabel 38 menunjukkan nilai koefisien korelasi antara data parsial dengan data utuh 8 jam pengamatan untuk setiap tingkah laku. Berdasarkan nilai koefisien korelasi tersebut, walaupun data parsial 1 jam dapat memprediksi 8 sifat tingkah laku yang diamati kecuali ELIM dan LOCO namun sifat tingkah laku yang terbaik dapat diprediksi dengan data parsial 1 jam hanya durasi DRINK karena mempunyai nilai korelasi yang kuat yaitu 0.91, sedangkan sifat tingkah laku yang lain mempunyai korelasi yang rendah. Arnold-Meeks dan McGlone (1986) menyarankan hanya tingkah laku dengan nilai korelasi yang lebih dari 0.90 (r>0.90) yang dapat diterima untuk jenis pengujian ini.

Tabel 38. Koefisien korelasi antara data utuh (8 jam) dan data parsial yang telah dikonversi untuk setiap tingkah laku

Tingkah laku Koefisien korelasi

DU-DP1 DU-DP2 DU-DP3 DU-DP4 DU-DP5 DU-DP6 DU-DP7

INGEST 0.52154(*) 0.84464(*) 0.88742(*) 0.92577(*) 0.94682(*) 0.98505(*) 0.99676(*) PLAY ne 0.56478(*) 0.56634(*) 0.9995(*) 0.99997(*) 0.99988(*) 0.99931(*) AGON 0.11946(ns) 0.69806(*) 0.7485(*) 0.85703(*) 0.8727(*) 0.95008(*) 0.98543(*) ELIM 0.3013(ns) 0.60342(*) 0.82903(*) 0.91383(*) 0.89242(*) 0.94263(*) 0.97408(*) CARE 0.49095(*) 0.68004(*) 0.79108(*) 0.83954(*) 0.91138(*) 0.9607(*) 0.97578(*) LOCO 0.94686(*) 0.98108(*) 0.98408(*) 0.99427(*) 0.99684(*) 0.99853(*) 0.99944(*) STAND 0.80627(*) 0.93729(*) 0.96657(*) 0.95865(*) 0.98107(*) 0.99389(*) 0.99804(*) SLEEP 0.73546(*) 0.84094(*) 0.89043(*) 0.91764(*) 0.9315(*) 0.97041(*) 0.99147(*) REST 0.57447(*) 0.90952(*) 0.94354(*) 0.94929(*) 0.96746(*) 0.98493(*) 0.99528(*) DRINK 0.9091(*) 0.90224(*) 0.89678(*) 0.93437(*) 0.93312(*) 0.97038(*) 0.97587(*) Keterangan :

Tanda (*) di belakang nilai koefisien korelasi setiap tingkah laku menunjukkan korelasi yang nyata (P<0.05) antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh.

Tanda (ns) di belakang nilai koefisien korelasi setiap tingkah laku menunjukkan korelasi yang tidak nyata (P>0.05) antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh.

ne = tidak terestimasi karena semua ulangan untuk data parsial adalah 0.

DU = Data utuh (pengamatan 8 jam), DP1 = Data parsial pengamatan 1 jam, DP2 = Data parsial pengamatan 2 jam, DP3 = Data parsial pengamatan 3 jam, DP4 = Data parsial pengamatan 4 jam, DP5 = Data parsial pengamatan 5 jam, DP6 = Data parsial pengamatan 6 jam, DP7 = Data parsial pengamatan 7 jam.

INGEST = Makan (ingestif), PLAY = Bermain (playing), AGON = Berkelahi/agresif (agonistic), ELIM = Buang kotoran (eliminatif), CARE = Merawat diri (care giving), LOCO = Melangkah/berjalan (locomotion), STAND = Berdiri (standing), SLEEP = Istirahat tidur (sleeping), REST = Istirahat berbaring (resting), DRINK = Minum (drinking).

(15)

Demikian pula penggunaan data parsial 2 jam, dengan memperhatikan nilai koefisien korelasi maka hanya 4 tingkah laku yang dapat memprediksi data utuh yaitu LOCO (r=0.98), STAND (r=0.94), REST (r=0.91) dan DRINK (r=0.90). Sementara itu, untuk data parsial 3 jam, durasi sifat tingkah laku yang dapat diprediksi adalah LOCO (r=0.98), REST (r=0.94) dan DRINK (r=0.90). Pada data parsial 4 jam, tingkah laku AGON dan CARE tidak dapat diterima, sedangkan untuk data parsial 5 jam adalah AGON dan ELIM, disamping tingkah laku INGEST yang berbeda nyata dengan data utuh. Seluruh tingkah laku untuk data parsial 6 jam lebih akurat digunakan untuk memprediksi data utuh karena tidak berbeda nyata dan mempunyai korelasi yang kuat dengan data utuh. Sementara itu, untuk data parsial 7 jam, kecuali tingkah laku LOCO yang berbeda nyata dengan data utuh, seluruh tingkah laku tidak berbeda nyata dan mempunyai korelasi yang kuat dengan data utuh.

Penggunaan data parsial untuk beberapa tingkah laku yang tidak akurat untuk memprediksi data utuh telah dilaporkan oleh Arnold-Meeks dan McGlone (1986) yang melakukan penelitian pada babi. Penggunaan data parsial 5 menit dan 20 menit pada penelitiannya terhadap 3 tingkah laku babi yaitu menyerang, makan dan minum tidak akurat untuk memprediksi tingkah laku tersebut untuk data utuh 60 menit. Mitlohner et

al. (2001) melakukan penelitian pada sapi dengan interval pengamatan yang teratur dan

durasi pengamatan yang meningkat bertambah lama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa teknik sampling dengan interval tidak lebih dari 15 menit adalah akurat untuk tingkah laku berdurasi lama (seperti berbaring, berdiri dan makan), meskipun demikian tingkah laku berdurasi pendek (seperti berjalan dan minum) mempunyai korelasi yang rendah dengan data utuh. Teknik sampling dengan interval 30 atau 60 menit hanya cocok untuk mengukur tingkah laku berbaring pada sapi penggemukan.

(16)

SIMPULAN

Pada umumnya terdapat kecenderungan semakin lama data parsial yang digunakan maka semakin banyak tingkah laku domba yang dapat diprediksi secara akurat.

Penggunaan data parsial 6 jam paling baik untuk memprediksi data utuh seluruh jenis tingkah laku domba yang diamati dalam penelitian ini, yang ditandai dari tidak berbeda nyata dan berkorelasi sangat kuat dengan tingkah laku dari data utuh 8 jam.

Tingkah laku makan (INGEST) dan berkelahi/agresif (AGON) memerlukan data parsial yang terlama dibandingkan tingkah laku domba yang lain yaitu minimal menggunakan data parsial 6 jam. Sementara itu, data parsial yang paling singkat (data parsial 1 jam) hanya dapat memprediksi secara akurat durasi tingkah laku domba minum (DRINK).

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Altmann J. 1974. Observational study of behavior: Sampling methods. Behaviour 49 : 227-267.

Arnold-Meeks C, McGlone JJ. 1986. Validating techniques to sample behavior of confined, young pigs. Appl Anim Behav Sci 16 : 149-155.

Ewing SA, Lay Jr. DC, Borell EV. 1999. Farm Animal Well-Being : Stress Physiology,

Animal Behavior, and Environtmental Design. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.

Gonyou HW, Stricklin WR. 1984. Diurnal behavior patterns of feedlot bulls during winter and spring in Northern latitudes. J Anim Sci 58 : 1075 – 1083.

Hafez ESE et al. 1969. The Behaviour of Sheep and Goats. London : Tindal & Casell. Inounu I, Kurniawan W, Noor RR. 2006. Tingkah laku beranak domba Garut dan

persilangannya dengan St. Croix dan Moulton Charollais. JITV 11 : 39-51. Lehner PN. 1987. Design and execution of animal behavior research : an overview. J

Anim Sci 65:1213-1219.

McGlone JJ. 1986. Agonistic behavior in food animals : Review of research and techniques. J Anim Sci 62:1130-1139.

Mitlohner FM, Morrow-Tesch JL, Wilson SC, Dailey JW, McGlone JJ. 2001. Behavioral sampling techniques for feedlot cattle. J Anim Sci 79 : 1189 – 1193. National Institute of Mental Health. 2002. Methods and Welfare Considerations in

Behavioral Research with Animals: Report of a National Institutes of Health Workshop. Morrison AR; Evans HL; Ator NA; Nakamura RK (eds). NIH Publication No. 02-5083. Washington, DC: U.S. Government Printing Office. Ray DE, Roubicek CB. 1971. Behavior of feedlot cattle during two seasons. J Anim

Sci 33 : 72 – 76.

SAS. 2002. SAS/STAT User’s Guide Release 9.0 Edition. North Carolina : SAS Institute Inc., Cary.

Sutama IK, Budiarsana IGM. 1995. Tingkah laku domba Ekor Gemuk sekitar waktu beranak. Ilmu Pet 8 : 15 – 18.

Sutama IK, Inounu I. 1993. Tingkah laku beranak pada domba Jawa dengan galur prolifikasi yang berbeda. Ilmu Pet 6 : 11 – 14.

Tiesnamurti B, Handiwirawan E, Inounu I. 2006. Tingkah laku menyusu anak domba Garut dan persilangan dengan St. Croix dan Moulton Charollais. Di dalam : Mathius IW, Sendow I, Nurhayati, Murdiati TB, Thalib A, Beriajaya, Suparyanto A, Prasetyo LH, Darmono, Wina E, editor. Prosiding Seminar Nasional

(18)

Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 5-6 September 2006. Bogor : Pusat

Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 392 – 398.

Tiesnamurti B, Herwidi IB, Inounu I. 2000. Karakteristik tingkah laku menyusu anak domba Garut. Di dalam : Haryanto B, Darminto, Hastiono H, Sutama IK, Partoutomo S, Subandriyo, Sinurat AP, Darmono, Supar, Butarbutar OS, editor.

Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner; Bogor, 18-19 September

2000. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 149 – 155. Tiesnamurti B, Subandriyo. 2005. Tingkah laku beranak domba Merino dan Sumatera

yang dikandangkan. Di dalam : Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, editor. Prosiding

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 12-13 September

(19)

PEMBAHASAN UMUM

Berdasarkan studi terdahulu, telah diketahui bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh satu set gen-gen yang unik yang dimiliki seekor hewan (Craig 1981). Tingkah laku sebagaimana semua sifat fenotipe hewan yang lain dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan. Faktor genetik dan lingkungan tersebut beraksi dalam keselarasan untuk membentuk pola dan karakteristik tingkah laku (Ewing et al. 1999). Sifat tingkah laku diketahui ada yang dikendalikan oleh gen tunggal, namun demikian banyak sifat-sifat tingkah laku yang dipengaruhi oleh sejumlah besar gen (McFarland 1999). Dengan demikian maka genotipe setiap hewan dapat diduga dengan mempelajari fenotipe tingkah laku hewan tersebut sebagaimana menduga genotipe hewan seperti misalnya menduga nilai pemuliaan dengan mempelajari fenotipe sifat kuantitatif seperti bobot badan, pertambahan bobot badan, dan sebagainya.

Fakta tersebut tersebut menunjukkan bahwa fenotipe tingkah laku berpotensi dapat dipelajari dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pada domba. Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui dua cara penting yaitu melalui persilangan dan seleksi. Kedua cara tersebut dipelajari kaitannya dengan fenotipe tingkah laku pada penelitian ini. Penelitian tingkah laku pertama mempelajari peluang tingkah laku dalam pembedaan bangsa ternak domba, dimana informasi ini penting sebagai salah satu pertimbangan dalam pelaksanaan program persilangan. Penelitian tingkah laku kedua dan ketiga mempelajari peluang fenotipe tingkah laku sebagai indikator seleksi secara tidak langsung dan seleksi secara langsung dengan melihat hubungannya dengan penanda genetik DNA single nucleotide polymorphism.

Pembedaan dan pendugaan jarak genetik antar bangsa domba dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pembedaan dan pendugaan jarak genetik melalui analisa alel protein dan DNA tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga dapat menduga jarak genetik antar bangsa domba yang dipelihara dalam manajemen atau lokasi dengan lingkungan yang sangat berbeda. Fenotipe ukuran bagian-bagian tubuh dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, pemanfaatan fenotipe ukuran bagian-bagian tubuh untuk pembedaan dan pendugaan jarak genetik bangsa domba akan akurat sejauh manajemen dan lingkungan pemeliharaan dari bangsa-bangsa domba yang dibandingkan relatif sama. Kelebihan penggunaan ukuran bagian tubuh relatif lebih mudah dan tidak

(20)

memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan menggunakan data protein ataupun DNA. Bangsa-bangsa domba yang akan diduga jarak genetiknya dipelihara dalam manajemen dan lingkungan yang sama yaitu kandang percobaan Balai Penelitian Ternak, beberapa bangsa mempunyai hubungan genetik dengan bangsa yang lain karena program persilangan yang dilakukan. Pada kondisi demikian maka hasil pembedaan dan pendugaan jarak genetik dengan menggunakan ukuran tubuh akan akurat dan dalam penelitian ini dilakukan sebagai pembanding untuk pendugaan dengan menggunakan karakteristik suara dan fenotipe tingkah laku.

Berdasarkan ukuran tubuh, domba St. Croix Cross, Barbados Black Belly Cross, Lokal Garut dan Komposit Garut merupakan bangsa domba yang berbeda kelompok, sedangkan domba St. Croix Cross satu kelompok dengan domba Komposit Sumatera. Walaupun dalam plotting bangsa domba St. Croix cross satu kelompok dengan domba Komposit Sumatera namun nilai jarak genetik kedua bangsa tersebut nyata berbeda. Berdasarkan data ukuran tubuh terlihat bahwa kelima bangsa yang diamati masing-masing merupakan bangsa domba yang berbeda. Perhitungan jarak genetik berdasarkan ukuran bagian tubuh domba terdapat dua kelompok domba yaitu kelompok pertama yang terdiri dari bangsa domba St. Croix Cross, Komposit Sumatera dan Barbados Black Belly Cross dan kelompok kedua yang terdiri dari bangsa Lokal Garut dan Komposit Garut. Hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan silsilah program penelitian pemuliaan (persilangan) yang dilakukan dalam pembentukan domba komposit.

Pembedaan dan pendugaan jarak genetik berdasarkan karakteristik suara memperlihatkan hasil yang sedikit berbeda dibandingkan dengan menggunakan ukuran bagian tubuh. Status seluruh bangsa yang diteliti sama dengan hasil berdasarkan ukuran bagian tubuh, perbedaan terletak pada status untuk bangsa domba Komposit Garut. Berdasarkan plotting kanonikal karakteristik suara, domba Lokal Garut, Komposit Sumatera dan Barbados Black Belly Cross merupakan bangsa domba yang berbeda kelompok, sedangkan domba St. Croix Cross, Komposit Garut dan Komposit Sumatera adalah bangsa domba yang merupakan satu kelompok. Demikian pula dendogram yang dibuat berdasarkan karakteristik suara menempatkan bangsa domba Komposit Garut pada kelompok yang kurang akurat. Hal tersebut menunjukkan bahwa karakteristik suara berpeluang besar untuk dapat digunakan sebagai pembeda dan penduga jarak genetik antar bangsa domba sepanjang faktor lingkungan yang mempengaruhi dapat

(21)

diidentifikasi dan dieliminasi dalam pelaksanaan pengumpulan datanya. Metode ini dapat diterapkan untuk domba yang dipelihara sehari-hari dengan cara digembalakan di padang rumput dan tidak perlu harus ditangkap terlebih dahulu.

Pembedaan dan pendugaan jarak genetik berdasarkan fenotipe tingkah laku memberikan hasil yang sangat berbeda dibandingkan berdasarkan ukuran-ukuran tubuh dan karakteristik suara. Diduga banyak faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap fenotipe tingkah laku sehingga memberikan hasil yang sangat berbeda. Masih diperlukan serangkaian penelitian pendahuluan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkah laku dan mengeliminasinya sehingga metode ini dapat digunakan sebagai pembeda bangsa dan penduga jarak genetik pada domba.

Alderson (1999) dan Salako (2006) telah melaporkan penggunaan indeks ukuran tubuh masing-masing pada sapi dan domba untuk menilai tipe dan fungsi dari suatu bangsa ternak. Penerapan metode tersebut dalam penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa domba Komposit Garut mempunyai tipe dan fungsi sebagai bangsa domba tipe daging. Penerapan metode tersebut pada spesies ternak ruminansia yang lain seperti kerbau dan kambing untuk menilai tipe dan fungsi bangsa ternak tersebut berpeluang besar untuk dilakukan.

Ciri-ciri fenotipe kualitatif pada bangsa ternak sangat penting sebagai identitas bangsa tersebut. Keseragaman yang tinggi dari sifat kualitatif maupun kuantitatif (sifat produksi) di dalam bangsa sebagai spesifikasi suatu bangsa ternak sangat dikehendaki. Bangsa domba St. Croix cross dan Barbados Black Belly cross dari ciri-ciri kualitatif terlihat relatif lebih seragam dibandingkan ketiga bangsa yang lain. Seleksi untuk meningkatkan keseragaman ciri-ciri kualitatif untuk setiap bangsa lebih mudah dilakukan karena warna tubuh dan belang tubuh hanya dikendalikan oleh satu atau beberapa gen. Fenotipe sifat kualitatif dapat diarahkan ke sifat kualitatif yang umum terdapat pada bangsa tersebut. Sifat-sifat kualitatif yang tercantum pada Tabel 12 merupakan ciri-ciri umum setiap bangsa sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan seleksi untuk meningkatkan keseragaman setiap bangsa.

Usahaternak domba di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat dengan skala usaha kecil dan sistem pemeliharaannya masih bersifat tradisional. Peternak

(22)

domba hanya memelihara beberapa ekor domba dan tidak mempunyai kebiasaan membuat catatan (recording) produksi dalam usahaternak domba yang dilakukannya. Upaya perbaikan produktivitas domba yang dimiliki peternak melalui seleksi akan mengalami kendala karena kondisi tersebut. Seleksi secara tidak langsung sifat produksi domba melalui pengamatan tingkah laku tertentu yang berkorelasi kuat merupakan alternatif cara seleksi yang mudah dan dapat dilakukan oleh peternak kecil.

Seleksi untuk domba dalam masa pertumbuhan dapat dilakukan dengan memilih domba muda bertemperamen lebih jinak atau tidak takut kepada orang, karena domba bertemperamen demikian mempunyai pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan domba bertemperamen sebaliknya. Sebagai indikator seleksi dapat digunakan durasi yang singkat domba menghampiri dan mencium bagian tubuh orang/pengamat. Domba yang jinak tidak banyak membuang energi untuk menghindar dan stress karena adanya orang atau petugas kandang tetapi lebih banyak mengkonversi energi dari asupan pakan untuk menambah bobot badannya. Domba yang terlalu khawatir ketika dipisahkan dengan kelompoknya; yang dalam pengamatan ditunjukkan dengan tingkah laku frekuensi menyeberang daerah uji A dan B dan frekuensi melangkah lebih tinggi mempunyai pertambahan bobot badan yang lebih rendah. Kedua tingkah laku tersebut berkorelasi erat negatif (P<0.05) dengan pertambahan bobot badan harian.

Produktivitas induk juga dapat diseleksi secara tidak langsung dengan melihat tingkah lakunya dan hal ini dapat dikerjakan oleh peternak kecil. Induk domba dengan tingkah laku bersuara lebih banyak ketika dipisahkan dengan anaknya mempunyai total bobot sapih dan kemampuan hidup anak lebih tinggi dibandingkan induk dengan tingkah laku bersuara lebih sedikit. Induk bersuara lebih banyak kemungkinan mempunyai perhatian atau kepedulian lebih besar kepada anaknya dibandingkan induk domba bertingkah laku sebaliknya. Sifat perhatian dan kepedulian induk domba terhadap anaknya terutama akan sangat penting dalam manajemen yang ekstensif dimana campur tangan manusia dalam memperhatikan ternak yang dipeliharanya sangat kurang. Seleksi secara tidak langsung ini sangat sesuai dengan kondisi peternak kecil domba di Indonesia yang pada umumnya perhatian peternak terhadap domba yang dipelihara sangat rendah.

(23)

Sifat agresif pada manusia dan tikus telah dilaporkan terkait dengan mutasi titik dan delesi yang terjadi pada ekson 8 dari gen MAOA (Brunner et al. 1993; Cases et al. 1995). Mutasi pada gen MAOA menyebabkan tubuh kekurangan produksi enzim Mono Amine Oxidase A yang sangat penting dalam mendegradasi serotonin, norepinephrine (noradrenaline), epinephrine (adrenaline) dan dopamine serta beberapa amina eksogenous (Andrés et al. 2004). MAOA adalah enzim mitokondria yang dikode oleh gen inti yang berlokasi pada lengan panjang dari kromosom X (Xp 11.4-p11.3) (Levy et

al. 1989; Grimsby et al. 1991), oleh sebab itu pengamatan dan ekspresi sifat agresif

lebih mudah diamati pada individu jantan. Dalam jumlah kecil terdapat domba jantan yang sering bertingkah laku agresif. Domba jantan ini menyerang atau menyeruduk petugas kandang yang sedang beraktivitas di kandang seperti membersihkan kandang, menimbang bobot badan, menggunting kuku, mencukur wol atau memberi pakan dan minum ternak. Serangan terhadap petugas dapat berakibat fatal karena itu petugas kandang umumnya memberlakukan manajemen khusus bagi domba-domba jantan yang terindikasi agresif, seperti misalnya dengan mengikat domba agresif selama petugas kandang beraktivitas. Frekuensi domba jantan agresif di dalam kelompok domba Garut tangkas diduga cukup tinggi, namun aspek tesebut tidak termasuk bagian yang diamati dalam penelitian ini. Domba Garut tangkas diseleksi secara ketat oleh peternak dan digunakan dalam budaya adu tangkas domba.

Hasil sekuen ekson 8 gen MAOA domba yang terindikasi agresif tidak ditemukan adanya mutasi. Runutan DNA domba ekson 8 gen MAOA sepanjang 151 pb dari kelompok domba bertemperamen agresif dan tidak agresif adalah identik. Tingkah laku agresif dan sembilan tingkah laku lain yang diamati melalui CCTV juga tidak dapat membedakan kelompok domba agresif dan tidak agresif. Pernah melakukan serangan atau menyeruduk petugas kandang atau memberikan respon menyerang ketika tangan dipukulkan ke kepala domba adalah aspek tingkah laku yang membedakan kelompok domba agresif. Meskipun tidak terjadi mutasi di ekson 8 gen MAOA, diduga mutasi terjadi di situs lain sepanjang bentangan DNA gen MAOA yang tetap berakibat sama yaitu menyebabkan produksi enzim Mono Amine Oksidase A lebih rendah dibandingkan normal sehingga tidak mampu mengontrol konsentrasi serotonin tetap dalam keadaan normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok domba jantan agresif mempunyai kandungan serotonin lebih tinggi dibandingkan kelompok domba

(24)

jantan normal. Individu yang tidak mempunyai atau rendah aktivitas MAOA lebih rentan terhadap perilaku agresif (Maxson 2009).

Penelitian ini tidak menemukan penanda SNP pada ekson 8 gen MAOA sehingga masih diperlukan penelitian lanjutan untuk memperoleh penanda genetik untuk sifat agresif pada domba. Aplikasi seleksi domba agresif untuk domba Garut tangkas masih memerlukan penelitian lebih jauh sepanjang bentangan DNA gen MAOA dan penggunaan sampel domba Garut tangkas yang lebih banyak. Apabila penanda genetik untuk sifat agresif pada domba Garut tangkas dapat ditemukan maka seleksi dapat dilakukan sedini mungkin ketika domba berumur lebih muda sehingga lebih efisien.

Satu hal yang dapat digunakan dalam seleksi domba agresif dari hasil penelitian ini adalah kandungan serotonin darah yang tinggi pada domba jantan bertemperamen agresif, akan tetapi efektifitas penggunaannya pada domba berumur muda masih perlu dipelajari, mengingat ada kemungkinan kandungan serotonin darah berkembang seiring bertambahnya umur.

Pada penelitian ini domba bertemperamen agresif adalah domba yang agresif menyerang atau menyeruduk manusia. Penelitian tidak melakukan pengujian domba jantan yang agresif menyerang manusia, juga sangat agresif terhadap domba jantan yang lain. Domba jantan persilangan yang agresif (dalam jumlah kecil sampel, <10%) dan memiliki kandungan serotonin darah lebih tinggi, tidak menunjukkan tingkah laku agresif terhadap domba jantan yang lain melalui pengamatan CCTV. Namun diduga domba jantan agresif persilangan ini bertemu dengan domba jantan lain yang sudah saling kenal dan sistem sosial yang stabil telah terbentuk sehingga tingkah laku agresif tersebut tidak muncul. Penelitian pada domba Garut tangkas juga tidak memungkinkan untuk menguji domba jantan yang agresif terhadap manusia, juga agresif terhadap domba jantan yang lain.

Kecenderungan pengamatan tingkah laku saat ini berubah dan beralih dari cara pengamatan langsung (live observation) ke metode dengan cara merekam tingkah laku hewan percobaan dengan menggunakan bantuan peralatan elektronik (recording) karena beberapa kelebihan yang dimiliki metode ini (McGlone 1986). Namun demikian analisa data rekaman video tingkah laku (kuantifikasi tingkah laku) memerlukan waktu yang lama sehingga menjadi tidak praktis, oleh karena itu sampling pengamatan yang mewakili dapat menggambarkan tingkah laku secara keseluruhan sangat diperlukan.

(25)

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan semakin lama durasi data parsial yang digunakan maka semakin banyak tingkah laku domba yang dapat diprediksi secara akurat. Penggunaan data parsial 6 jam adalah paling baik untuk memprediksi data pengamatan delapan jam untuk sepuluh jenis tingkah laku domba yang diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian ini, gambaran keseluruhan tingkah laku domba dapat diketahui cukup dengan pengamatan selama 75 persen dari durasi data utuh atau diperlukan sampling pengamatan selama 18 jam untuk data 24 jam. Setiap tingkah laku memerlukan durasi sampling pengamatan yang berbeda, bervariasi dari 12.5 persen (misalnya tingkah laku minum) hingga 75 persen (seperti tingkah laku makan dan berkelahi/agresif).

Gambar

Tabel 35.  Periode pengamatan tingkah laku data utuh (8 jam) yang digunakan dari data  rekaman tingkah laku sepanjang hari (24 jam)
Tabel 36. Durasi dan periode waktu pengamatan dari metode pengamatan dengan data parsial dan data utuh (pengamatan 8 jam)
Tabel 37.  Rataan durasi setiap tingkah laku untuk data utuh (8 jam) dan data parsial yang telah dikonversi ke durasi 8 jam
Tabel  38  menunjukkan  nilai  koefisien  korelasi  antara  data  parsial  dengan  data  utuh 8 jam pengamatan untuk setiap tingkah laku

Referensi

Dokumen terkait

Adapun konsep diri dari aspek fisik yang dirasakan oleh responden 2 sesuai dengan hasil wawancara adalah :Bahwa Septi merasa kalau ia berjilbab mode, ia akan terlihat

Dari pengertian para ahli diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa biaya produksi, biaya yang digunakan dalam proses produksi yang terdiri dari bahan baku, biaya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon korban terhadap aksi bullying verbal yang dialami, kondisi korban pasca bullying verbal,respon dari teman sebaya,

† Manajer pembelian dan produksi bersama dengan akuntan manajemen menggunakan informasi yang didapat dari langkah 3 sampai dengan langkah menggunakan informasi yang didapat

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

METY SUPRIYATI Kepala Sub Bidang Sosial, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kependudukan pada Bidang Pemerintahan dan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan

Field research adalah sumber data yang diperoleh dari lapangan penelitian yaitu mencari data terjun langsung ke obyek penelitian untuk memperoleh data yang kongret

kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. • Yang menunjukkan bahwa lebih berpengaruh dibandingkan variabel lainnya, yang mana menunjukkan besarnya kekuatan masyarakat dalam