BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori
2.1.1. Hasil Belajar
Ada banyak definisi hasil belajar yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya yaitu Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh Poerwodarminto (1990:700) menyatakan bahwa, Hasil belajar adalah pengukuran pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai atau angka yang diberikan oleh guru.
Menurut Suryabrata (2002:297) mengartikan hasil belajar sebagai nilai yang merupakan bentuk perumusan akhir yang diberikan oleh guru terkait dengan kemajuan atau hasil belajar siswa selama waktu tertentu.
Menurut Hamalik (2001:159) bahwa hasil belajar menunjukkan kepada prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar itu merupakan indikator adanya derajat perubahan tingkah laku siswa.
Menurut Nasution (2006:36) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru.
Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:36) hasil belajar adalah hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh peserta didik setelah terjadinya proses pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan.
Sedangkan menurut Purwanto (2011:46) hasil belajar adalah perubahan perilaku peserta didik akibat belajar. Perubahan perilaku disebabka karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa hasil belajar dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Sejalan dengan pendapat tersebut Sudjana (2003:3) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajar.
Menurut Hamalik (2003:155) hasil belajar adalah sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang dapat di amati dan di ukur bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat di artikan sebagai terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik sebelumnya yang tidak tahu menjadi tahu.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa hasil belajar adalah pengukuran perubahan perilaku pada diri seseorang akibat tindak belajar yang mencakup aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik, yang lazimnya dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka yang diberikan oleh guru.
2.1.2. Pembelajaran Matematika
Istilah mathematics (Inggris), mathematik (Jerman), mathematique (Perancis), matematico (Itali), matematiceski (Rusia), atau mathematick (Belanda) berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti “relating to learning”. Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir). Jadi berdasarkan etimologis (Elea Tinggih dalam Erman Suherman, 2003:16), perkataan matematika berarti “ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar”.
Reys, dkk (1984) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika itu adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.
James dan James (1976) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.
Johnson dan Rising (1972) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika adalah pola pikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat,
representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide dari pada mengenai bunyi.
Menurut Glover (2006:9) matematika merupakan suatu pelajaran mengenai angka-angka, pola-pola dan bangun. Kita biasanya menggunakan matematika untuk menyelesaikan beragam masalah.
Kemudian Kline (1973) dalam bukunya mengatakan pula, bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dan alam.
Berdasarkan pendapat di atas, maka disimpulkan matematika adalah ilmu yang diperoleh dengan penalaran dan kajian-kajian dalam matematika erat kaitannya dengan pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dan bahwa ciri yang sangat penting dalam matematika adalah disiplin berpikir yang didasarkan pada berpikir logis, konsisten, inovatif dan kreatif.
2.1.3. Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif merupakan teknik – teknik pembelajaran di kelas yang praktis, dapat digunakan guru setiap hari untuk membantu ketrampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks. Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar dalam suatu kelompok kecil dan dikehendaki untuk saling memberi penjelasan yang baik, menjadi pendengar yang baik, mengajukan pertanyaan yang benar.
Anita Lie (Isjoni dan Mohd. Arif, 2008: 150-151), menyatakan pembelajaran kooperatif disebut dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu kelompok pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugasan-tugasan yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu kelompok yang didalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-5 orang.
Rusman (2011: 202) menyebutkan pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Artz dan Newman (Trianto, 2011: 56) mengemukakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.
Trianto (2010: 56) juga mengemukakan tujuan dibentuknya kelompok dalam model pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar.
Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk – bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. ( Agus Suprijono, 2011: 54 )
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, disimpulkan bahwa pengertian model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa dapat belajar dan bekerja dalam kelompok kecil (4-6 siswa) serta dapat berinteraksi satu sama lain demi mencapai tujuan belajar bersama yang difasilitasi dan diarahkan oleh guru. Keberhasilan model pembelajaran kooperatif bukan terletak pada kemampuan satu siswa, tetapi keberhasilan terletak pada kerja sama dalam kelompok.
2.1.3.1 Unsur – unsur dan prinsip – prinsip model pembelajaran Cooperative
Learning
Roger dan David Johnson (dalam Anita Lie, 2008: 32-35) mengatakan bahwa tidak semua kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur yang harus diterapkan :
1) Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Rantai kerja sama ini berlanjut terus sehingga semua orang bekerja demi tercapainya satu tujuan yang sama.
2) Tanggung jawab perseorangan.
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
3) Tatap muka.
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka danberdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar semua anggota. Menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing - masing. 4) Komunikasi antar anggota.
Unsur ini juga menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai ketrampilan berkomunikasi. Tidak setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.
5) Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama denganlebih efektif. Walau evaluasi ini tidak perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, tetapi bisa diadakan selang beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajar terlibat dalam kegiatan pembelajaran Coopertive Learning (Roger dan David jhonson dalam Anita Lie, 2004: 31-35)
Selain lima unsur penting yang terdapat dalam Model Cooperative Learning, model pembelajaran ini juga mengandung prinsip yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya. Konsep utama dari Cooperative Learning menurut Slavin adalah sebagai berikut :
1) Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.
2) Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok. Tanggungjawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain dan memastikan setiap anggota kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.
3) Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal ini memastikan bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah sama – sama tertantang
untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota kelompok sangat bernilai. ( Slavin dalam Trianto, 2010: 61-62 )
2.1.3.2. Implikasi model pembelajaran Cooperative Learning
Ibrahim, dkk (Dalam Trianto,2010 :62) menyatakan “cooperative learning dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif daripada guru”.
Sedangkan Ratumanan (Dalam Trianto, 2010: 62) menyatakan “interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memicu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa“.
Kardi & Nur (Dalam Trianto, 2010: 62) menyatakan “belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antar siswa penyandang cacat”.
Sedangkan Davidson (Dalam Trianto, 2010: 62-63) memberikan sejumlah implikasi positif dalam menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut :
1) Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar. Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan pendapat, belajar dari pendapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpilkan penemuan mereka dalam bentuk tulisan.
2) Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.
3) Suatu masalah idealnya cocok untuk didiskusikan secara kelompok, sebab memiliki solusi yamg yang dapat didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa dapat mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.
4) Siswa dalam kelompok dapak membantu siswa lain untuk menguasai masalah – masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka teki, atau pembahasan masalah – masalah yangbermanfaat.
5) Ruang lingkup materi dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang yang bermanfaat bila didiskusikan
2.1.3.3. Kebaikan dan kekurangan model pembelajaran Cooperative Learning Setiap model pembelajaran mempunyai kebaikan dan kekurangan.
Menurut Slavin cooperative learning mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :
Kelebihan:
1) Dapat mengembangkan prestasi siswa, baik hasil tes yang dibuat guru maupun tes buku.
2) Rasa percaya diri siswa meningkat, siswa meras lebih terkontrol untuk keberhasilan akademisnya.
3) Strategi kooperatif memberikan perkembangan yang berkesan pada hubungan interpersonal diantara anggota kelompok yang berbeda etnis.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh baik oleh guru maupun oleh siswa di dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan Model Cooperative Learning:
1) Pertama, melalui Cooperative Learning menimbulkan suasana yang baru dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan sebelumnya hanya dilaksanakan model pembelajaran secara konvensional yaitu ceramah dan tanya jawab. Metode tersebut ternyata kurang meberi motivasi dan semangat kepada siswa untuk belajar. dengan digunakannya model cooperative Learning, maka tampak suasana kelas menjadi lebih hidup dan lebih bermakna.
2) Kedua, guna membantu dalam mengidentifikasikan kesulitan – kesulitan yang dihadapi dan mencarikan alternatif pemecahannya. Dari hasil penelitian tindakan pelaksanaan cooperative learning dengan diskusi kelompok ternyata mampu membuat siswa terlibat aktif dalam kegiatan belajar.
3) Ketiga, penggunaan cooperative learning merupakan suatu model yang efektif untuk menggembangkan program pembelajaran terpadu. Dengan cooperative learning siswa tidak hanya dapat menggembangkan kemampuan aspek kognitif saja melainkan mampu menggembangkan aspek afektif dan psikomotor.
4) Keempat, dengan melalui cooperative learning dapat menggembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif. Hal ini dikarenakan kegiatan pembelajaran ini lebih banyak berpusat pada siswa, sehingga siswa diberi kesempatan untuk turut serta
dalam diskusi kelompok. Pemberian motivasi dari teman sebaya ternyata mampu mendorong semangat siswa untuk menggembangkan kemampuan berpikirnya. Terlebih lagi bila pembahasan materi yang sifatnya problematik atau yang bersifat konvensional, mampu merangsang siswa menggembangkan kemampuan berpikirnya. 5) Kelima, dengan cooperative learning mampu menggembangkan kesadaran pada diri
siswa terhadap permasalahan – permasalahan sosian yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Dengan bekerja kelompok maka timbul adanya perasaan ingin membantu siswa lain yang mengalami kesulitan sehingga mampu mengembangkan perasaan empati maupun simpati pada diri siswa.
6) Keenam, dengan cooperative learning mampu melatih siswa dalam berkomunikasi seperti berani mengemukakan pendapat, berani dikritik, maupun menghargai pendapat orang lain. Komunikasi interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa menimbulkan dialog yang akrab dan kreatif. (http://blog.muhfida.com/pembelajaran-cooperative-learning)
Menurut Slavin cooperative learning mempunyai kekurangan sebagai berikut: 1) Apabila guru terlena tidak mengingatkan siswa agar selalu menggunakan
keterampilan – keterampilan kooperatif dalam kelompok, maka dinamika kelompok akan tampak macet.
2) Apabila jumlah kelompok tidak diperhatikan, yaitu kurang dari empat,misalnya tiga, maka seorang anggota akan cenderung menarik diri dan kurang aktif saat berdiskusi dan apabila kelompok lebih dari lima, maka memungkinkan ada yang tidak mendapatkan tugas sehingga hanya membonceng dalam penyelesaian tugas. 3) Apabila ketua kelompok tidak dapat mengatasi konflik – konflik yang timbul secara
kontruktif, maka kerja kelompok akan kurang efektif.
Kekurangan model cooperative learning bersumber pada dua faktor yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern):
1) Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut:
a. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu.
b. Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai.
c. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas. Sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
d. Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
2) Faktor dari luar erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yaitu tentang kurikulum pembelajaran, selain itu pelaksanaan tes yang terpusat seperti UN/UNAS sehingga kegiatan belajar mengajar di kelas cenderung dipersiapkan untuk keberhasilan perolehan UN/UNAS.
(http://community.um.ac.id/showthread.php?58944-Kelebihan –dan-Kekurangan-Cooperative-Learning)
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas bahwa untuk mengatasi kelemahan – kelemahan dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif, diperlukan peran guru dalam menciptakan suasana kelas yang kondusif agar pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Apabila guru telah berperan baik sebagai fasilitator, motivator, mediator, maupun sebagai eveluator, maka kelemahan – kelemahan yang ditemukan dalam model pembelajaran kooperatif ini dapat diatasi.
Selanjutnya ada beberapa variasi model dalam pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan, antara lain: 1) Student Team Achievement Devision (STAD), 2) Jigsaw, 3) Team-Games-Tournaments (TGT), 4) Group Investigation (GI), 50
2.1.4. Pembelajaran kooperative type Student Team Achievement Division (STAD) Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin (dalam Slavin, 1995) merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan bertujuan untuk memotivasi siswa agar dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalm menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Menurut Nur Citra Utomo dan C. Novi Primiani (2009: 9), “STAD didesain untuk memotivasi siswa-siswa supaya kembali bersemangat dan saling menolong untuk mengembangkan keterampilan yang diajarkan oleh guru”.
Dengan demikian maka melalui pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD), siswa diharapkan dapat meningkatkan tidak hanya hasil belajar tetapi juga kemampuan berinteraksi dan kemampuan mengkomunikasikan gagasan individu kepada individu lainnya.
Secara garis besar langkah-langkah dalam Student Team Achievement Division (STAD) tertuang dalam 5 komponen, antara lain menurut Slavin (2005:143) yaitu:
a. Presentasi Kelas
Materi yang akan dilaksanakan dalam model pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) terlebih dahulu diperkenalkan dan disampaikan pada presentasi kelas. Presentasi kelas ini biasanya menggunakan pengajaran atau ceramah, dilakukan oleh guru. Presentasi guru harus fokus pada materi pembelajaran agar siswa mudah untuk memahami meteri yang akan disampaikan.
b. Kelompok
Kelompok dibentuk yang terdiri dari empat atau lima siswa, dengan memperhatikan perbedaan kemampuan, jenis kelamin dan ras atau etnis. Fungsi utama kelompok adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok terlibat dalam kegiatan belajar, dan lebih khusus adalah mempersiapkan anggota kelompok agar dapat menjawab kuis (tes) dengan baik. Hal-hal yang dilakukan dalam kelompok adalah mendiskusikan masalah, membandingkan jawaban dan meluruskan jika ada anggota kelompok yang mengalami kesalahan konsep.
c. Kuis (tes) Individual
Setelah beberapa periode presentasi kelas dan kerja kelompok, siswa diberikan kuis individual. Siswa tidak diperkenankan saling membantu pada saat kuis berlangsung. Nilai yang diperoleh dari kuis digunakan untuk skor kemajuan siswa.
d. Skor Kemajuan Individual
Skor kemajuan individual diberikan berdasarkan nilai awal siswa. Skor ini nantinya akan dikontribusikan ke poin kelompok. Tujuan skor kemajuan ini adalah untuk memungkinkan siswa memberikan poin maksimum untuk kelompok mereka. Skor kemajuan ini dianggap adil karena yang dinilai adalah kemajuan yang dicapai siswa mengingat kemampuan tiap siswa berbeda. Sedangkan dalam memberikan skor kemajuan individual ini Slavib (2005:159) memberikan contoh: skor 5 bila nilai siswa turun lebih dari
10 poin dari skor awal; skor 10 bila nilai siswa turun 1-10 poin dari skor awal; skor 20 bila nilai siswa sama atau naik sampai 10 poin dari skor awal; dan skor 30 bila nilai siswa sempurna atau naik lebih dari 10 poin dari nilai awal.
e. Penghargaan Kelompok
Penghargaan kelompok adalam bentuk penghargaan yang diberikan kepada kelompok-kelompok yang telah mencapai kriteria tertentu. Penghargaan ini didasarkan pada skor yang telah diperoleh. Slavin memberikan contoh kriteria penghargaan yaitu jika rata-rata kelompok 15, maka penghargaan yang diberikan adalah „Tim Baik‟, jika rata-rata 16 maka menjadi „Tim Sangat Baik‟, sedangkan jika rata-rata 17 akan mendapatkan penghargaan sebagai „Tim Super‟. Namun Slavin juga menambahkan “Anda boleh saja mengubah kriteria ini jika Anda mau” (Slavin, 2005:160). Tentu saja ini menunjukkan bahwa adanya kebebasan dalam menentukan kriteria penghargaan. Perhargaan yang telah disebutkan di atas dapat diwujudkan berupa sertifikat, kancing khusus untuk dikenakan, ataupun bentuk penghargaan lainnya.
2.1.5. Pembelajaran STAD dalam Pelajaran Matematika
Menurut Slavin (2005:12) model pembelajaran Student Team Achievement Devision (STAD) telah digunakan dalam berbagai mata pelajaran mulai dari matematika, seni, bahasa, ilmu sosial dan ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kelas dua sampai perguruan tinggi. Lebih lanjut, Slavin menambahkan Student Team Achievement Devision (STAD) paling sesuai untuk mengajarkan bidang studi yang sudah terdefinisikan dengan jelas, seperti matematika, berhitung dan studi terapan, penggunaan dan mekanika bahasa, geografi dan kemampuan peta dan konsep-konsep ilmu pengetahuan ilmiah. Selain itu beberapa penelitian tindakan sebelumnya telah membuktikan bahwa pembelajaran Student Team Achievement Devision (STAD) dapat diaplikasikan dalam pelajaran matematika.
Sementara itu, Isjoni (2009:21) menyebutkan “Teknik pembelajaran kooperatif sangat sesuai di dalam kelas yang berisi siswa-siswa yang mempunyai berbagai tingkat kecerdasan”. Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, maka secara teori penelitian yang akan dilakukan penulis dengan subjek siswa SDN Sengon 01 yang mempunyai karakteristik siswa yang heterogen dapat dilaksanakan, demikian juga bahwa metode
pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Devision (STAD) dapat diterapkan pada mata pelajaran Matematika.
2.2. Kajian Hasil penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Hariyuwati (2011) dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran STAD, Siswa Kelas IV SD Negeri 3 Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan pada Semester I Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar matematika. Prosentase ketuntasan siswa pada kondisi awal hanya 18,2% pada siklus 1 meningkat menjadi 45% dan meningkat lagi pada siklus 2 menjadi 95%. 2) Wurtanti, Mey Syaroh Lies (2011) dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar
Matematika dengan Menerapkan Model STAD (Student Teams Achievement Division) dengan Media Manikmanik Pada Siswa Kelas II SDN Sumur 03 Semester I Tahun Pelajaran 2011-2012” Hasil penelitian ini membuktikan bahwa prosentase hasil belajar dalam pembelajaran meningkat. Peningkatan ini dapat dilihat dari hasil evaluasi rata-rata kelas 58,5 pada pra siklus menjadi 70,5 pada siklus I dan 83 pada siklus II. Ketuntasan belajar klasikal dari 35% pada pra siklus menjadi 80% pada siklus I dan 90% pada siklus II.
3) Rumiyati (2011) dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan Pembelajaran Kooperatif Student Teams Achievement Divisions (STAD) bagi Siswa Kelas VI SD Wedarijaksa 03 Tahun 2011” Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Student Teams Achievement Division (STAD) dapat meningkatkan hasil belajar Matematika. Peningkatan itu dapat dilihat dari peningkatan hasil belajar siswa dari setiap siklus. Siklus I rata-rata nilai 8,4 dan siklus II rata-rata nilai 9,1.
2.3. Kerangka Berpikir
Kondisi awal siswa di SDN Sengon 01 seperti telah dijelaskan pada bab I selain hasil belajar yang belum memuaskan dimana dari 36 siswa yang ada hanya 30% yang telah mencapai KKM (60), juga motivasi dan keaktifan siswa dalam mengikuti proses KBM masih rendah. Kondisi siswa dengan latar belakang kecerdasan dan kemampuan individu
yang heterogen menjadi pertimbangan penulis dalam menentukan tindakan dalam penelitian ini.
Model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Devision (STAD) menjadi pilihan yang tepat dalam upaya meningkatkan hasil belajar matematika pada pokok bahasan Menggunakan Faktor Prima untuk Menentukan KPK dan FPB, karena dengan model pembelajaran ini siswa dapat saling menjelaskan materi dan bekerja sama dalam belajar namun tetap mandiri ketika mengerjakan soal tes. Selain itu, siswa juga tidak mempunyai beban untuk berkompetisi dengan siswa lain melainkan lebih kepada upaya untuk meningkatkan kemajuan diri sendiri. Hal ini tentu saja akan membuat siswa lebih termotivasi untuk meningkatkan hasil belajar dalam proses KBM. Dengan demikian maka hasil belajar matematika pada pokok bahasan Menggunakan Faktor Prima untuk Menentukan KPK dan FPB dapat semakin meningkat.
Secara singkat kerangka berpikir dapat digambarkan dalam bagan berikut: Gambar 2.1
Skema Kerangka Pikir
Siklus I menggunakan metode
ceramah, tanya jawab dan diskusi Guru
menggunakan model kooperatif tipe STAD
Guru belum menggunakan model kooperatif tipe
STAD Siswa : hasil belajar matematika rendah Hasil belajar matematika meningkat Tindakan Kondisi awal Kondisi akhir Siklus II menggunakan metode
ceramah, tanya jawab dan diskusi
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
“Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Devision (STAD) dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi pokok Menggunakan Faktor Prima untuk Menentukan KPK dan FPB pada siswa kelas V di SDN Sengon 01 Kecamatan Subah Kabupaten Batang Semester I Tahun Pelajaran 2013/2014”