• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Taman Hutan Raya (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi1. Dalam perspektif ini kawasan yang akan ditetapkan menjadi TAHURA idealnya bebas dari kegiatan rutinitas masyarakat dan pemukiman penduduk, namun kenyataan dari 17 wilayah di Indonesia yang dijadikan TAHURA dengan luasan 343.454,41 hektar, kebanyakan menuai permasalahan dengan penduduk lokal yang secara de fakto menempati kawasan sebelum penetapan suatu kawasan dilakukan (DepHut, 2004).

TAHURA SULTENG2 merupakan salah satu kawasan pelestarian yang dikukuhkan dengan KepMenHut No. 24/Kpts-II/1999, dengan luas 7.128 ha atau 0,186 % dari total luas hutan Sulawesi Tengah (3.833.330 ha) atau sekitar 1,174 % dari luas kawasan konservasi (607.100 ha) di Sulawesi Tengah (DepHut, 2004) atau berkisar 0,104 % dari luas Sulawesi Tengah (68.316,02 km2). Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam dua wilayah daerah tingkat II yaitu Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 ha (34,115 %) dan Kota Palu seluas 4.696,27 ha (65,885 %). Dari aspek historisnya kawasan ini merupakan penggabungan dari tiga kawasan, meliputi Cagar Alam Poboya seluas 1.000 ha, Hutan Lindung Paneki 7.000 ha dan lokasi PPN 30 seluas 100 ha, melalui Keputusan MenHut No. 461/Kpts-II/1995 dengan nama TAHURA PALU.

1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya.

2 Secara geografis wilayahnya berada pada posisi antara 1190 55’ - 1200 0’ 0” BT dan 00 48’ -00 59 LS.

Pada bagian Utara dibatasi oleh oleh Wilayah Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala (Hutan Produksi Terbatas), bagian Timur dengan Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung), bagian Selatan berbatas dengan Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala (Hutan Produksi Terbatas), dan bagian Barat berbatas dengan Desa Ngata Baru (Kapopo) Kabupaten Donggala, Kelurahan Tondo dan Poboya Kecamatan Palu Timur ; Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan. Jarak dari Kota Palu sekitar 4-11 km arah Timur dengan jalur aksesibilitas melalui Universitas Tadulako (Vatutela), Kelurahan Poboya, Desa Ngata Baru (Kapopo), Gumbasa Paneki dan Kelurahan Layana Indah (Vindu).

(2)

Pertimbangan ditetapkannya wilayah ini menjadi TAHURA antara lain : (a) untuk melindungi flora dan fauna eksotik dan endemik yang mendekati kepunahan, (b) sebagai daerah penyangga (buffer area) untuk Kota Palu dan sekitarnya, (c) sebagai pensuplai air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, Paneki, Mamara-Ngia dan Vatutela, (d) keadaan fisik tanah yang labil (lempung berpasir) yang rawan erosi dan gundul dan (e) sebagai pengatur iklim mikro. Aspek-aspek tersebut merupakan isi sumberdaya TAHURA yang dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sumberdaya non hayati, sumberdaya hayati dan sumberdaya manusia (Mantjoro, 1999). Ketiga kelompok ini berada dalam satu sistem kehidupan bersama (ecosystem) yang seimbang dan serasi. Sumberdaya non hayati dan hayati berperan sebagai pemasok (supplier) dan sumberdaya manusia sebagai konsumer dan pengelola. Fungsi dan manfaat sumberdaya alam (hutan) bersifat interpretatif, bergantung cara pandang individu atau kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap hutan tersebut. Kegagalan sistem pengelolaan hutan seperti sekarang ini berakibat pada turunnya kualitas hutan serta kesejahteraan masyarakat dalam/sekitar hutan semakin termarginalkan.

Kebijakan penetapan TAHURA SULTENG berimplikasi pada beragam persepsi stakeholders dan masyarakat lokal Kaili di dalam/sekitar kawasan. Perspektif yang berbeda ini disebabkan tidak terjalinnya komunikasi kedua pihak, antar pengelolan (pemerintah) dengan masyarakat lokal Kaili. Situasinya menjadi krusial tatkala pemerintah melakukan pengukuran dan pemasangan tapal batas tahun 1997, beberapa tapal batas ditempatkan dalam kebun-kebun dan di halaman pekarangan warga masyarakat lokal3. Penentangan semakin terbuka ketika PT. Citra Palu Mineral (Rio Tinto Group) melakukan eksplorasi tambang emas di dalam Kawasan Cagar Alam Poboya yang seharusnya dalam persepsi normatif masyarakat dilindungi dari berbagai bentuk. Keyakinan semakin kuat dan membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyatnya, hanya mementingkan pihak kapital (swasta).

3 Sanarudin (56 th), tenaga kerja harian pemasangan tapal batas thn 1997, wawancara 19 Juli 2006 di

(3)

Keadaan tersebut mempengaruhi sistem sosial masyarakat lokal Kaili yang berjumlah 529 KK (2.416 jiwa) atau sekitar 10,55 % dari total jumlah jiwa tiga wilayah kecamatan (22.889 jiwa) yang termasuk dalam wilayah TAHURA. Masyarakat lokal Kaili secara de fakto telah terbangun sistem itegratif dengan alam kehidupannya secara lintas generasi, namun kenyataan menunujukkan lain, kenyamanan terganggu tatkala kawasan ini diklaim menjadi kawasan pelestarian yang membatasi ruang gerak mereka untuk mengakses sumberdaya (hasil kebun) yang berbeda dari sebelumnya. Masyarakat lokal Kaili yang tinggal dalam/sekitar kawasan ini memiliki hubungan dialektika yang erat dengan lingkungan sumberdaya alam (hutan). Hutan dalam perspektif masyarakat lokal Kaili bukan hanya menjadi tempat tinggal dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup, namun memiliki fungsi sosial, budaya dan religiusitas (Murtijo dan Nugraha, 2005). Nilai-nilai spiritual (religiusitas) dalam masyarakat menjalin ikatan batin dan emosional yang kuat dengan sumberdaya alam (Kartodihardjo, 2006). Keadaan ini dapat diamati dalam masyarakat lokal Kaili dari beragam upacara adat, dan ritual yang selalu mengiringi kegiatan praktek bertani ladang yang interaksinya berulang-ulang. Interaksi yang berulang tersebut, maka terbangun suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat yang menyatu dengan ekosistem hutan4. Ritual adat dimulai dari pemilihan lahan5, pembukaan lahan, pembersihan (noropu), penanaman sampai pemanenan. Kearifan-kearifan tersebut dapat berlangsung secara sistematis jika institusi (kelembagaan)6

4 Hutan adalah bagian integral, merupakan kesatuan ekosistem kehidupan masyarakat yang hidup di

dalamnya. Hubungan interaksi antar masyarakat dan lingkungan hutan telah berlangsung berabad-abad dari generasi ke generasi. Untuk mempertahankan kehidupannya, masyarakat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, dan hutan menjadi penyedia lahan untuk pertanian ladang dan pemenuhan kebutuhan hidup (Nugraha, 2005).

5 Laudjeng, Hedar (2003), adat pombui di rumpun Kaili Da’a memperlihatkan hubungan erat antar

pengelolaan hutan dengan kepercayaan religius khususnya dalam pemilihan lahan. Proses pemilihan lahan oleh petani disampaikan kepada pimpinan petani (sobo). Setelah disetujui Sobo, baru dilakukan bersama dengan pemilik untuk mempersiapkan ritual-ritual yang harus dipenuhi petani berupa adat Tava’a (Lahandu, 2002). Adat Tava’a dilakukan tujuh hari sebelum perencanaan pembukaan lahan. Setelah tujuh hari pelaksanaan adat Tava’a terdapat fenomena alam yang berubah di lokasi rencana pembukaan kebun tersebut, maka Sobo akan melakukan pemindahan lokasi kebun yang lebih layak menurut perspektif adat Tava’a.

6 Kelembagaan adalah institusi masyarakat adat, kelompok yang terkait, untuk mengatur anggotanya

baik secara teknis maupun aspek nilai-nilai moral dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA SULTENG. Masyarakat adat menurut Ter Haar dalam Fay dkk (2000)

(4)

masyarakat seperti kelembagaan adat setempat kuat. Perilaku masyarakat termasuk pengaturan pola usahatani, hubungan sosial baik antara individu, antar kelompok maupun dalam organisasi yang sama. Kelembagaan adat merupakan satu-satunya yang dihargai, didengar dan ditaati anggota masyarakatnya dalam berbagai hal termasuk pola mengakses sumberdaya apalagi merubah struktur permukaan tanah dan tutupan lahan seperti hutan.

Akses7 masyarakat lokal Kaili di wilayah ini telah berlangsung ratusan tahun, namun dengan adanya klaim pemerintah, maka di dalam wilayah ini terdapat kelompok kepemilikan sumberdaya yaitu kepemilikan comunal (communal property), kepemilikan warga (private) dan kepemilikan negara (state property). Jika dikelompokkan terdapat dua sifat kepemilikan yaitu kepemilikan de fakto dan de jure. Adanya dua kepemilikan tersebut akan menimbulkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas sumberdaya (lahan, tanah, hutan). Mereka mendapatkan akses dan menguasai sebidang tanah, sumberdaya alam berdasarkan klaim de jure, menggunakan izin pemerintah dan aturan hukum yang berlaku untuk legitimasi kepemilikannya (Affif, 2002). Dalam suatu kepemilikan terdapat beberapa hak (boundle right) dan menunjukkan berbagai hubungan sosial (Ribot dan Peluso, 2003 ; Ostrom dalam Kartodihardjo, 2003). Dari aspek politik ekonomi, penting ketika membagi aktivitas dalam hubungan sosial menjadi pengguna (gain), kendali akses (control acces), dan pemelihara akses (maintan acces). Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan, kendali akses merupakan kemampuan untuk memediasi akses yang dimiliki pihak lain ; sementara kendali akses itu sendiri adalah memeriksa, mengatur dan menggerakkan aktivitas.

adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas.

7 Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan benefit dari sesuatu, termasuk benda, orang ataupun

(5)

Untuk mengelola mekanisme akses seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dari beragam pemangku. Hal ini dapat berjalan jika pengambil kebijakan di daerah dapat memahami dan mengimplementasikannya dengan memperhatikan beragam kepentingan melalui pendekatan holistik. Menurut Dunn (2000), Darusman dkk (2003), Kartodihardjo dan Wollenberg (2003) bahwa kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang memiliki karakteristik yaitu (1) suatu kebijakan harus didukung oleh sistem. Kebijakan tidak eksis tunggal, tetapi berantai, terikat dengan kebijakan lainnya. Kebijakan pengelolaan TAHURA harus sinkron dengan kebijakan tata ruang wilayah propinsi seperti ruang penggembalaan bagi ternak rakyat, kawasan pemanfaatan bagi petani dan pemanfaatan hasil hutan, (2) Keberhasilan suatu kebijakan sehingga perubahan-perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik, (3) Kebijakan mempengaruhi sesuatu keadaan yang almost imposible menjadi possible, dan (4) Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat.

Secara konseptual terdapat dua aturan hukum dalam pengaturan kegiatan hutan yaitu hukum formal (positif) sebagai peraturan pemerintah serta hukum adat yang menjadi acuan masyarakat (Nugraha dan Iskandar, 2004). Kecenderungan yang berkembang di lapangan berkaitan dengan landasan aturan kegiatan pengelolaan hutan yaitu dominasi hukum posistif formal sebagai produk peraturan pemerintah (penguasa). Sementara kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat merupakan sebuah aturan sosial yang berjalan sejak sebelum peraturan positif ada. Dalam konteks penetapan kebijakan pengelolaan hutan secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari sistem, tata nilai, norma-norma atau paradigma-paradigma yang menjadi latar belakang budaya para birokrat pembuat kebijakan.

Bagaimana kebijakan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili dan mekanisme akses dijalankan dalam pengelolaan suatu Taman Hutan Raya, telah

(6)

dilakukan penelitian tentang analisis kebijakan8 pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

1.2. Kerangka Pemikiran

TAHURA SULTENG merupakan bentuk kebijakan pemerintah dengan mengacu pada Undang-undang No. 5 Tahun 1990, dan Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Untuk kepastian hukum, Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 menjadi dasar rujukan pemerintah daerah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24/Kpts-II/1999 yang menetapkan status dan tata batas dengan luas 7.128 hektar. Keputusan tersebut merupakan perubahan dari Surat Keputusan No. 461/Kpts-II/1995, dengan luas 8.100 hektar sebagai penggabungan dari tiga kawasan pelestarian yaitu Cagar Alam Poboya 1.000 hektar, Hutan Lindung Paneki 7.000 hektar dan Taman Wisata Alam Kapopo (Eks PPN 30) seluas 100 hektar dengan nama TAHURA PALU.

Kawasan TAHURA yang berjarak sangat dekat dengan pusat kota berkonsekwensi dan akan mengalami proses perubahan yang cepat baik dari aspek fisik maupun non fisik. Untuk itu beberapa hal yang harus diingat bahwa dalam pengelolaan tidak melupakan aspek sosial budaya (masyarakat lokal/adat) dan keterlibatan stakeholders dari prakondisi hingga kebijakan operasional.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berlangsung sejak Januari 2001 mengakibatkan berkurangnya peran dan kendali pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah daerah khususnya kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan untuk mengurus sumber daya alam di wilayahnya (hutan, tambang, perkebunan, pertanian). Dengan kewenangan ini pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan kemandirian dalam membiayai jalannya pemerintahan dan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pemanfaatan

8 Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas inetelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan

menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 2000 ; Kartodihardjo, 2006). Proses analisis kebijakan mempunyai lima tahap (perumusan masalah, peramalan, pemantauan, evaluasi dan rekomendasi) yang saling bergantung yang secara bersama membentuk siklus aktivitas intelektual yang kompleks dan tidak linear. Aktivitas-aktivitas tersebut berurutan sesuai waktunya dan melekat dalam proses kebijakan yang bersifat kempleks, tidak linear, dan pada dasarnya bersifat politis.

(7)

sumber daya alam yang terdapat di wilayahnya (Dephut, 2002). Hal ini mendorong bagi pengambil kebijakan/keputusan untuk menempuh jalan pintas dalam menggali sumber-sumber pembiayaan, diantaranya sampai mengeksploitasi hutan lindung dan Taman Nasional (kasus Poboya dan Dongi-dongi). Keadaan ini dalam implementasi menimbulkan benturan dengan masyarakat lokal (adat) sebagai penghuni dan pemilik wilayah secara de fakto. Dalam banyak kasus sering terjadi pertikaian antara pemerintah dan masyarakat lokal (adat). Secara khusus walaupun kawasan secara de

jure dikontrol pemerintah, namun secara de fakto di kontrol masyarakat lokal/adat

(kasus kawasan Tompu TAHURA SULTENG), sementara pelaku bisnis lokal mengeksploitasi kawasan ini, dengan memanfaatkan individu-individu dalam komunitas bersangkutan tanpa konsultasi institusi adat. Ketika masyarakat lokal tidak efektif dalam bekerjasama dengan pemerintah di lapangan untuk melakukan kontrol, maka kawasan pelestarian/perlindungan akan tereksploitasi. Kondisi ini merupakan ekspresi dari tragedi of the commons yaitu musnahnya sumberdaya alam tatkala sumberdaya ditetapkan menjadi milik umum (common property) karena penggunaan berlebihan, sejalan dengan kehawatiran Hardin dalam Dephut (2002). Keadaan ini akan berdampak pada perubahan ekologis, sosial budaya dan ekonomi berupa banjir, erosi, kekeringan dan meningkatnya suhu (panas bumi), konflik kepentingan, menurunnya hasil produksi pertanian dan meningktnya serangan hama pada tanaman pertanian.

Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik, produktivitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan, dan eksistensi masyarakat lokal (Nanang dan Devung, 2004). Hasil studi kasus dari Romwe di lahan komunal Chivi, Zimbabwe Selatan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dapat berjalan dengan sangat baik dalam konteks kolaborasi (pengelolaan bersama) dengan lembaga lokal (Nemarundwe, 2005). Makna dari pengalaman ini bahwa dalam pengelolaan TAHURA harus diatur sedemikian rupa dengan pola-pola tertentu sesuai dengan karakteristik wilayah dan struktur masyarakat lokal di dalam kawasan. Aturan main dan peraturan diperlukan sebagai penyusunan kelembagaan (institusi) . Aturan main

(8)

dan peraturan digunakan masyarakat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegaskan aturan (Orstrom, 1998 dalam Nemarundwe, 2005).

Dalam konteks pengelolaan TAHURA bahwa akses yang berdasarkan hak (right) adalah sebuah akses yang melibatkan kelompok komunitas (dalam arti seluas-luasnya), negara atau pemerintah yang dapat melegalkan sebuah klaim (Kartodihardjo, 2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa hak milik (property right) yang berdasarkan hukum mencakup akses melalui pemilikan dokumen legal untuk sebuah property yang nyata (sertifikat tanah, izin, lisensi dan sejenisnya). Pemegang hak milik dapat menyatakan haknya dengan beberapa mekanisme tertentu untuk mempertahankan kendalinya atas akses. Dengan demikian Ribbot dan Peluso (2003) menyatakan, yang perlu diatur mekanisme akses adalah siapa yang mendapatkan akses (gain), mengendalikan (control) dan memelihara akses (maintain acces) terhadap sumberdaya alam. Selanjutnya ia membagi mekanisme akses menjadi dua bagian yaitu akses berdasarkan hak (legal dan Illegal) dan akses berdasarkan struktural dan relasional. Akses berdasarkan struktural adalah kategori-kategori untuk mengilustrasikan jenis hubungan kekuasaan yang mempengaruhi jenis-jenis akses berdasarkan hak, adalah akses terhadap teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, ilmu pengetahuan, pihak yang berwenang, identitas dan hubungan sosial.

Untuk menganalisis peran-peran stakeholders terhadap akses sumberdaya TAHURA SULTENG digunakan perangkat analisis right, responsibility, revenue dan relasionship (4 R). Perangkat tersebut akan mengkaji hak-hak stakeholders, tanggung jawab dan seberapa besar manfaat yang diterima (dirasakan) dari sumberdaya. Keadaan yang akan dihasilkan dari right, responsibility dan revenues tersebut dipengaruhi oleh hubungan antar stakeholders (Meyers, 2005). Kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut :

(9)

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di SULTENG.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Sejak ditetapkannya kawasan Poboya menjadi Cagar Alam seluas 1.000 ha, Pekan Penghijauan Nasional 30 seluas 100 ha menjadi Wisata Alam Kapopo dan kawasan Paneki menjadi Hutan Lindung seluas 7.000 ha, yang dihuni tujuh komunitas masyarakat lokal Kaili sebanyak berkisar 529 kepala keluarga (2.416 jiwa), telah menjadi konsensus Nasional yang harus dilaksanakan di daerah melalui berbagai program dan upaya pemerintah daerah. Cagar Alam Poboya program

Kebijakan TAHURA SULTENG UU No.5/1990;UU No.41/1999 PP No. 62/1998;PP No.68/1998 PP No. 34/2002;PP No.6/2007 KepMenHut No. 24/Kpts-II/1999 PerDa No. 2/2004

Pemerintah LSM Masyarakat Swasta P.Tinggi

Pelestarian & Pemanfaatan SDA Ekososekbud Pelestarian Htn Lindung

& Cagar Alam

TAHURA Potensi konflik & kepentingan

Komunitas masy. adat Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses SDA

(10)

awalnya diintroduksi tanaman kayu cendana yang berasal dari daerah lain di Indonesia dan salah satu mega proyek di zaman itu hingga menyeret Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah dalam penjara karena kasus dana reboisasi. Proyek penghijauan pada Tahun 1980-an adalah primadona dan sumber mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu, khususnya pejabat di daerah. Melalui program tersebut berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam mencari dan membebaskan lokasi untuk penghijauan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah mengambil alih tanah milik masyarakat dengan alasan tanah negara. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah pusat, dan pertanda kesiapan daerah untuk mempersiapkan segala sesuatunya menurut yang dipersyaratkan oleh pemerintah pusat, termasuk mempersiapkan dan menunjukkan lokasi. Dengan melalui kekuatan kekuasaan pada saat itu, maka pada Tahun 1987 pemerintah daerah mempersiapkan TAHURA dengan jalan : Pertama, mengeluarkan kebijakan untuk wilayah Utara Kota Palu supaya lahan-lahan/tanah baik milik negara maupun tanah hak milik dalam pengawasan pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tengah yang dikoordinir oleh Bappeda Propinsi dengan dasar hukum Keputusan Gubernur Nomor SK.239/591/IX/1987 tentang pengawasan tanah Bumi Roviga9.

Kedua, Tanah negara seluas 6.750 ha baik tanah negara maupun hak milik berada

dalam pengawasan pemda, dan jika masyarakat yang akan maupun telah mengelola harus melaporkan kepada pemerintah daerah c/q Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah.

Ketiga, tidak dibenarkan masyarakat untuk mematok, memagar baik yang telah

menguasai maupun akan menguasai tanah tersebut.

Keinginan besar menjadikan wilayah ini sebagai kawasan pelestarian dengan nama Taman Hutan Raya oleh pemerintah belum surut. Usulan Gubernur Sulawesi Tengah kepada Menteri Kehutanan dengan Nomor Surat 522.5/2835/Ro.BKLH, tertanggal 13 Juli 1988 untuk menindaklanjuti SK. 239/591/IX/1987. Perihal surat tersebut untuk meminta percepatan proses pembangunan Taman Hutan Raya Lembah Palu. Sebelumnya Kepala Kantor Wilayah Deparetemen Kehutanan Propinsi

9 Tanah yang dimaksud adalah Wilayah TAHURA bagian Utara sekarang yang meliputi Vintu,

(11)

Sulawesi Tengah membentuk tim orientasi dengan Surat Perintah Tugas No. 5.98/II-5/KW-PL/88, tertanggal 11 Pebruari 1988 dengan susunan tim yang diwakili masing-masing instansi : BKSDA VI Sulawesi, Kanwil Kehutanan, Dinas Kehutanan, RLKT, staf SBIPHUT dan KCDK Donggala. Konsekwensi dari suatu usulan daerah, maka pemerintah melalui Menteri Kehutanan Republik Indonesia menindaklanjuti dalam bentuk Surat Keputusan No. 461/Kpts-II/1995 menetapkan, mengubah fungsi cagar alam Poboya seluas 1.000 (seribu) hektar, komplek hutan lindung Paneki seluas 7.000 (tujuh ribu) hektar dan lokasi PPN XXX seluas 100 (seratus) hektar yang terletak di areal hutan tetap Raranggonau Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) dengan nama sementara Taman Hutan Raya Palu. Perubahan fungsi tersebut berjalan sepihak, yaitu proses pelaksanaan aktivitas di dalam kawasan hingga keputusannya dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan elemen masyarakat penghuni di dalam kawasan dan stakeholder (pemangku kepentingan). Informasi tersebut belum santer dibicarakan di kalangan masyarakat karena komunikasi yang tidak terjalin dan simpangsiurnya informasi yang sampai dengan masyarakat lokal Kaili dalam/sekitar kawasan hutan TAHURA. Proses administratif pengusulan untuk menjadi TAHURA tetap berlanjut, empat tahun kemudian keluar surat untuk pengukuhannya melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999, menetapkan kelompok Hutan TAHURA SULTENG seluas 7.128 (tujuh ribu seratus dua puluh delapan) hektar, terletak di Kecamatan Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah dengan Nama TAHURA SULTENG. Keputusan tersebut mengacu pada Berita Acara Tata Kelompok Hutan Sulteng, tertanggal 13 Juni 1997.

Dalam kurung waktu antara tahun 1987 – 1995 ; 1995 – 1999, dan 1999 sampai sekarang cukup banyak menuai permasalahan yang berbeda setiap komunitas masyarakat. Informasi yang disajikan disini adalah hasil penuturan informan (aktor) yang merasakan langsung proses perkembangan berdasarkan tahapan-tahapan waktu tersebut. Kurung waktu tahun 1987-1995 proses pencarian lokasi untuk dijadikan Taman Hutan Raya yang dilakukan dengan berbagai cara seperti yang dikemukakan di atas (implementasi kebijakan Gubernur Nomor SK. 239/591/IX/1987). Tahun

(12)

1995-1999, sebelum proses pengukuhan, berbagai upaya dan rencana yang dilakukan pihak pemerintah daerah kepada masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Palu Timur dan bagian Utara Kota Palu. Tahun 1997-1998 proses rencana pemindahan penduduk Vatutela (relokasi penduduk), namun tidak berhasil karena terjadi penolakan kolektif komunitas masyarakat. Masyarakat menolak karena wilayah ini adalah tanah kelahiran dan secara emosional memiliki keterikatan batiniah yang telah menyatu dengan alam dan lingkungannya. Hal yang sama diperlakukan bagi masyarakat komunitas Poboya yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya alam kawasan yang saat ini menjadi TAHURA, juga terjadi penolakan dan perlawanan. Tahun 1999 terjadi klaim wilayah oleh pemerintah menjadi kawasan pelestarian yang serta merta melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas di dalam kawasan yang telah ditata batas, tanpa memberikan sosialisasi dan informasi yang jelas sebelum dilakukan pengukuhan. Situasi ini masyarakat menganggap pemerintah tidak lagi berpihak pada rakyat, aktivitas ekonomi pada sektor produksi tertentu telah terhalang dan terganggu, proses pembiayaan rumah tangga petani terusik karena telah dilarang melakukan pemanenan hasil produksi perkebunan dan pertanian yang terdapat dalam kawasan TAHURA. Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi proses penindasan terhadap kaum lemah (masyarakat miskin) yang memiliki keterbatasan dalam segala aspek. Kondisi ini diperburuk lagi dengan masuknya PT. Citra Palu Mineral untuk melakukan eksplorasi tambang emas di Cagar Alam Poboya (sekarang TAHURA). Konflik-pun terjadi antar masyarakat yang mempertahankan kawasaan agar tetap terjaga dan kelompok elit yang berpihak pada investor.

Kenyataan empirik di atas berimplikasi pada proses pengelolaan TAHURA hingga sekarang menuai permasalahan yang sesungguhnya dapat diselesaikan jika pengelola transparan dan komunikatif dengan masyarakat setempat. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab dan dijelaskan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah prosesnya masyarakat lokal Kaili mengakses sumberdaya alam yang telah menjadi haknya secara de fakto, ketika pemerintah melakukan klaim dan pelarangan tatkala wilayah ini ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya.

(13)

2. Bagaimana upaya dari masyarakat lokal Kaili dan stakeholders ketika diketahui memiliki kelemahan dalam melakukan bargaining position baik secara personality, kelompok maupun institusi (kelembagaan).

3. Bagaimana upaya masyarakat lokal Kaili dalam mengatasi kebutuhan rumah tangganya ketika pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi (rendah) dari sebelumhnya.

4. Bagaimanakah solusinya jika instansi pemerintah sebagai leading sektor (stakeholder kunci) pengelolaan Taman Hutan Raya tidak menjalankan wewenang dan fungsinya serta merubah paradigma pengelolaan yang proporsional.

5. Bagaimanakah langkah yang seharusnya dilakukan jika peraturan perundang-undangan tidak sinkron antar satu dengan lainnya secara hirarkhis, termasuk pelaksanaan operasional yang tidak mengacu dengan peraturan di atasnya, bahkan tidak mencantumkan mekanisme yang jelas mengenai pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi keterlibatan stakeholders dalam proses penyusunan, penetapan status, luas dan tata batas Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah 2. Memetakan kepentingan, karakteristik dan pola interaksi stakeholders dalam

pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

3. Menganalisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

Gambar

Gambar 1.  Bagan alir kerangka pemikiran analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya  alam  oleh masyarakat Kaili di  SULTENG

Referensi

Dokumen terkait

Instruksi-instuksi blok logika tidak berhubungan dengan suatu kondisi tertentu pada diagram tangga, melainkan untuk menyatakan hubungan antar blok- blok logika, misalnya

Insenerator IPLR termasuk Insene- Tatar yang multiguna, yaitu mampu mengolah limbah radioaktif padat, limbah binatang maupun limbah radioaktif cair. Bahan bakar

Pengukuran sipat datar profil banyak digunakan dalam perencanaan suatu wilayah. Pengukuran ini terbagi menjadi dua macam, yaitu profil memanjang dan profil melintang. Dengan

Indomobil Sukses Internasional Tbk Lampiran 8: Model ARMA Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Lampiran 9: Correlogram ARMA. Lampiran 10:

(6) Penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf f, merupakan usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan

Aroma minyak jintan berasal dari komponen utama yang terdapat pada minyak jintan tersebut yaitu cuminaldehyde dengan aroma khas biji jintan segar ( spicy green cumin herbal

Defek kecil yang melibatkan margo palpebra superior dapat diperbaiki dengan penutupan langsung jika teknik ini tidak mengambil tekanan yang terlalu besar pada luka.. Penutupan

Kita ketahui bahwa dua buah vektor dapat dijumlahkan dan menghasilkan sebuah vektor baru yang disebut vektor resultan. Secara logika kita dapat menganggap setiap vektor