• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERBAIKAN PAKAN (DAN CIDR SERTA KOMBINASINYA) TERHADAP DINAMIKA AKTIFITAS OVARIUM DALAM PERIODE POSTPARTUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PERBAIKAN PAKAN (DAN CIDR SERTA KOMBINASINYA) TERHADAP DINAMIKA AKTIFITAS OVARIUM DALAM PERIODE POSTPARTUM"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Bogion Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000

PENGARUH PERBAIKAN PAKAN (DAN CIDR SERTA

KOMBINASINYA) TERHADAP DINAMIKA AKTIFITAS OVARIUM

DALAM PERIODE POSTPARTUM

CHALID TALIB', CHALIJAHZ, S. RAHAYU2, A.R . SIREGAR' dan B. HARYANTO' 'Balai Penelitian Ternak

P. O. Box221, Bogor 16002, Indonesia ' Instalasi Penelitian dan Pengkajian TeknologiPertanian

Gowa, Sulawesi Selatan

ASBTRAK

CHALID TALIB, CHALUAH, S. RAHAYU, A.R. SIREGAR dan B. HARYANTO . 1999/2000. Pengaruh perbaikan pakan (dan cidr serta kombinasinya) terhadap dinamika aktifitas ovarium dalam periode postpartum .Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II :231-236.

Pada sapi-sapi dengan kondisi tubuh yang buruk akan terjadi short estrus yang mengakibatkan jumlah service per conception yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan karena umumnya induk-induk sapi akan memprioritaskan kebutuhan kecukupan nutrisi bagi anaknya dengan mengabaikan kebutuhan nutrisi dirinya untuk menjamin terjadinya reoestrus postpartum yang sedini mungkin. Hal lainnya adalah kekurangan energy untuk membangkitkan aktifitas FSH dan LH yang sempurna untuk menjamin terjadinya seleksi dominant folikel dan ovulasi dengan baik. Oleh karenanya pada kondisi ini perbaikan pakan dibutuhkan. Untuk sapi Bali selain hal-hal diatas maka perbaikan pakan diharapkan dapat menaikan produksi susu induk untuk mensupport pertumbuhan anak. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan pakan bagi sapi Bali postpartum untuk menjamin terjadinya postpartum reoestrus yang tidak lebih dari tiga bulan dan mempelajari perubahan-perubahan fisiologis yang mungkin berbeda dengan sapi-sapi potong umumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan baik bobot badan maupim body condition score sapi-sapi kontrol dan yang menerima pakan tinggi baik yang berada dalam periode postpartum maupun non postpartum. Hal ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan sapi-sapi dengan kondisi tubuh jelek (dibawah titik pertengahan) pada saat penelitian sedang berjalan . Walaupun pada akhir penelitian sapi-sapi kontrol menunjukkan penurunan bobot badan yang cukup significant, tetapi temyata penurunan bobot ini belum berpengaruh secara nyata terhadap body condition score. Hasilnya siklus berahi tetap berjalan normal baik pada sapi kontrol maupun yang menerima pakan tinggi baik dilihat dari pola produksi hormon progesteron maupun panjang siklus berahi. Hanya perlu digaris bawahi bahwa standard pakan tinggi yang diperhitungkan sejak awal, pada kenyataannya adalah pakan untuk maintenance requirement (tidak terjadi kenaikan bobot badan dan body condition score). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sapi-sapi Bali dengan kondisi tubuh pertengahanjika mengalami penurunan bobot badan asal tidak terlalu banyak dan lama tetap menunjukkan siklus berahi yang baik .

Kata kunci: sapi Bali, postpartum, pakan, calving interval, progesterone

ABSTRACT

CHALID TALIB, CHALIJAH, S. RAHAYu, A.R. SIREGAR and B. HARYANTo . 1999/2000. The Effect of Improved Feeding (and Cidr and Their Combination) on Dynamic of Ovarian Activities in Postpartum Period of Bali Cows . Laporan Bagian Proyek Rekayasa TeknologiPeternakan ARMP-II :231-236.

Cows that have bad condition will lengthen postpartum anestrous or perform some short estrous cycles. The phenomenon is caused by cows will give more priority for calves survival and growth than for estrous postpartum activity. In other side, much energy is required to encourage FSH and LH activities for guaranteeing a good process for selection a dominant follicle and ovulation. Therefore under this condition, improvement of feed and feeding are needed. In addition, for Bali cows, the improvement can be expected to increase milk production. The objection of research is to know requirement ofpostpartum Bali cattle in warranty that the postpartum period is not more than three months. Fourteen postpartum and non postpartum animals are grouped in the control and high nutrition groups. The research results show that there are not different between body weight of cows in control and high nutrition groups. Its is caused by a difficulty to get bad condition cows in the event. Nevertheless, in -the end of research -the control group perform decreasing in body weight, but it does not influence significantly for body condition score. As a result the cycle activities still perform in normally and good. The fact show that high nutrition that practiced in the research can only maintain body weight and body condition score of the cattle group. As a conclusion, if

(2)

CHALID TALIBet al. : Pengaruh PerbaikanPakan (dan Cidr serta Kombinasinya) Terhadap Dinamika Aktfttas Ovarium moderate Bali cows have experienced in under-nutrition condition and lost their body weight but it does not to much influences their body condition score, it can be expected that thecows willachieve estrous cycle normally and good.

Key words: Bali cattle, postpartum, nutrition, calving interval, progesterone PENDAHULUAN

Periode postpartum pada sapi potong di daerah tropis merupakan salah satu periode yang sangat kritis bagi suatu usaha peternakan karena ikut menentukan keuntungan yang bakal dicapai oleh perusahaan. Hal ini disebabkan bertambah panjangnya periode tersebut akan menyebabkan mundurnya kelahiran berikut. Dan bilamana kejadian yang sama berulang pada periode kelahiran berikutnya maka kerugian yang diderita peternak akan bertambah . Panjanganya periode postpartum sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama pengelolaan perkawinan dan pakan yang dikonsumsi.

Peternak yang kurang jeli menangani perkawinan terutama yang 4nemelihara sapi jantan dan betina secara terpisah akan memperpanjang selang kelahiran. Demikian juga pada sapi-sapi dengan kondisi tubuh yang buruk akan terjadi short oestrus yang mengakibatkan terjadinya perkawinan berulang yang menyebabkan jumlah service per conception yang dibutuhkan menjadi lebih besar.

Penelitian ini ditujukan untuk mempercepat terjadinya perkawinan kembali yang sedini mungkin melalui perbaikan pakan dengan harapan akan dapat memperbaiki performan induk sapi sehingga jumlah service per conception dapat diminimumkan.

TINJAUAN PUSTAKA

Secara alamiah setiap binatang ternak akan berusaha mengadaptasikan dirinya dengan kondisi lingkungan tempat hidupnya untuk mempertahankan keberlangsungan speciesnya. Demikian pula dalam menghadapi periode postpartum, sapi-sapi didaerah tropis, subtropis dan antar bangsa didalam ikim yang samapun akan berusaha mengembangkan strategi yang dianggap paling sesuai bagi berdasarkan stress lingkungan yang dihadapinya. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam periode postpartum, induk-induk sapi zebu maupun sapi eropa akan memprioritaskan kebutuhan kecukupan nutrisi bagi anaknya dengan mengabaikan kebutuhan nutrisi dirinya untuk menjamin terjadinya reoestrus postpartum yang sedini mungkin (WILLIAM, 1990) dalam keadaan sulit pakan. Dalam keadaan yang sama, sapi Bali menerapkan strategi yang sedikit berbeda yaitu lebih mengutamakan kembalinya re-oestrus postpartum dari pada kepentingan nutrisi anaknya (MCCOOl, 1992).

GALINA and ARTHUR (1989) mendapatkan bahwa sapi-sapi di daerah tropis umumnya menampilkan periode postpartum anoestrus yang panjang,- yang meliputi silent oestrus atau tidak oestrus sama sekali yang secara ekstrim dapat mengakibatkan berkepanjanganya service period, yang berdampak pada perpanjangan calving interval . Perbaikan secara langsung melalui genetik (seleksi) pada calving interval susah diharapkan mengingat rendahnya heritabilitas sifat-sifat reproduksi secara umum (heritability dari calving interval adalah _< 0.1 (GODDART, 1978)), walaupun ada yang cukup tinggi yang merupakan kelainan pada sapi Tharparkar dan Nellore yaitu sebesar 0.68 -0.86 (MUKASA-MUGERWA, 1989-from many authors).

Calving interval pada sapi Bali tercatat cukup bervariasi dari 401 - 495 hari (DEvENDRA et al., 1973; DARMADJA, 1980; PANE, 1990 and ARDIKA, 1995) yang diakibatkan oleh perubahan management, status nutrisi atau kondisi tubuh, status pekerja dan karakteristik penyesuaian terhadap lingkungan yang spesifik. Pada pemeliharaan tradisional calving interval sekitar 400 hari adalah cukup baik, 410 - 450 kurang baik dan lebih dari itu adalah terlalu merugikan. Tetapi pada sapi Bali yang siklus reproduksinya masih cukup baik pada kondisi yang tidak terlalujelek, seharusnya dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.

Oleh karenanya pemberian pakan secukupnya untuk membangkitkan perkawinan kembali sesudah melahirkan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu usaha peternakan sapi potong agar dapat dihasilkan terjadinya sekali kelahiran setiap 12 bulan. Bilamana perbaikan pakan telah dilakukan tetapi perkawinan belum juga berlangsung maka dapat diduga mungkin disebabkan terjadinya corpus luteum persistent ataupun karena penyakit. Bilamana hal ini terjadi maka penanganan secara hormonal dapat dilakukan. Dalam pemantauan melalui progesterone pattern maupun pengamatan secara visual maka hal ini akan mudah sekali terbaca karena sapi induk tersebut tidak akan kembali birahi.

Perbaikan pada sifat-suatt reproduksi dapat dirancang dengan baik, asalkan pemanaman terhadap perubahan-perubahan fisiologis pada sifat-sifat tersebut diketahui. Semakin lengkap informasi yang dimiliki akan semakin akurat hasil yang diperoleh. Perubahan-perubahan fisiologis pada sifat-sifat reproduksi sapi Bali masih sangat

(3)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi PeternakanARMP-II Th. 1999/2000

kurang yang dipublikasikan. Walaupun demikian dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian pada ternak sapi lainnya diharapkan pendekatan pemahaman terhadap mekanisme internal pada sapi Bali dapat berhasil.

Pertumbuhan follikel yang selalu tampak dalam gelombang pertumbuhan telah dimulai sejak usia pedet betina masih sangat dini dan berlangsung terus selama kehidupannya. Pertumbuhan gelombang follikel selalu diawali dengan meningkatnya pulsa konsentrasi FSH satu atau dua hari sebelumnya yang kemudian kembali menurun kekonsentrasi basalnya. Jumlah gelombang pertumbuhan follikel ini tidak selalu sama antara bangsa sapi dan juga antara individu sapi dalam bangsa yang sama dimana umumnya jumlah gelombang follikel berkisar dari I - 4 buah dalam sebuah siklus.

Dari sekitar 5 - 10 follikel yang tumbuh maka akan terjadi seleksi internal melalui mekanisme hormonal dan dominansi antara follikel terbesar (dominant follicle) dengan second dominant follicle dan seterusnya yang akan riheKghasilkan kemunduran pertumbuhan follikel yang lebih kecil dan umumnya satu dominant follikel yang akan terus tumbuh. Follikel-follikel ini akan menghasilkan hormon oestrogen, dan dalam. siklus yang normal akan terus tumbuh menjadi follicle de Graaf yang diakhiri dengan ovulasi setelah terjadi lonjakan drastis dari konsentrasi hormon LH yang merupakan faktor wajib demi terjadinya suatu proses ovulasi. Lebarnya diameter follicle de graaf berkisar dari 11 - 18 mm.

Peranan pakan dalam menjamin berlangsungnya suatu siklus yang normal yang paling utama adalah hubungannya dengan terjadinya lonjakan produksi LH yang diikuti dengan ovulasi. Status pakan yang kurang baik yang tergambarkan dengan kondisi tubuh yang jelek umumnya akan mengakibatkan perpanjangan status postpartum anoestrus yang ditandai dengan panjangnya calving interval sebagai akibat tidak terjadinya lonjakan LH. Hal lainnya yang dapat mengakibatkan panjangnya calving interval ini adalah jumlah service per conception yang tinggi (untuk IB), gagalnya implantasi sebagai akibat dari kurang baiknya fungsi CL yang ditandai dengan terjadinya short oestrus ataupun penyakit. Ada indikasi bahwa sapi Bali pada kondisi tertentu lebih memfokuskan untuk terjadinya birahi kembali setelah melahirkan melalui penghambatan produksi susu, pengurangan kontak anak-induk sehingga terjadi pengorbanan kepentingan anaknya (MCCOOI, 1992).

Sapi Bali yang dipelihara pada "small holder" yang dicurigai berstatus pakan rendah akan dapat mengakibatkan perpanjangan calving interval yang melebihi satu tahun. Diharapkan juga bahwa perbaikan status pakan pada induk/calon induk akan berdampak langsung pada perbaikan produksi susu induk yang telah diketahui rendah (0.5 - 1.5 Itr per hari) yang secara tidak langsung diharapkan akan menekan angka kematian yang telah dilaporkan tinggi (20 - 50% per tahun). Perbaikan pakan akan dimaksimalkan pada pemanfataan sumber lokal.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan pakan bagi sapi Bali postpartum untuk menjamin terjadinya postpartum reoestrus yang tidak lebih dari tiga bulan dan mempelajari perbaahan-perubahan fisiologis yang mungkin berbeda dengan sapi-sapi potong umumnya.

MATERI DAN METODE

Sapi-sapi yang baru melahirkan dipantau aktifitas ovariumnya dalam kondisi yang terkontrol dengan diberikan perlakuan pakan tinggi. Sedangkan sapi-sapi non postpartum sebagai kontrol terhadap sapi postpartum diberikan ransum kontrol. Karena penelitian berlangsung pada saat musim hujan maka kesulitan mendapatkan sapi dengan kondisi tubuh yang buruk. Walaupun demikian penelitian tetap dilakukan dengan menggunaan sapi-sapi yang ada. Perlakuan kesatu yaitu memberikan pakan hidup pokok dengan tambahan konsentrat sampai 10% di atas kebutuhan hidup pokok disebut pakan tinggi, sedangkan yang lainnya adalah pakan kontrol yaitu sebatas kebutuhan hidup pokok. Penggunaan PGF hanyalah apabila ditemukan hewan-hewan yang memiliki persistent corpus luteum. Pakan kontrol adalah sapi diberi pakan sedikit lebih baik dengan yang ada pada petemak rakyat. Sapi Bali yang akan digunakan adalah 14 ekor. Pengukuran sama dengan yang ada. dalam kegiatan satu. Sample darah untuk progestrone assay sama dengan penelitian I dernikian juga teknik analisisnya.

Data dianalisa dengan general linier model dengan bantuan SAS 6.12 dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan pada kelas yang berbeda.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian menunjukkan hasil yang konsisten yang dengan penelitian I dimana panjang siklus berahi adalah 21 hari dengan kisaran 2 hari (Tabel I dan Gambar 1). Titik tertinggi hormon progesteron sudah mencapai kadar yang serupa dengan titik tertinggi pada sapi non postpartum pada Penelitian I (tabel 2 dan Gambar 1).

Dari perkembangan pertumbuhan selama penelitian dapat dilihat bahwa sapi-sapi Bali yang digolongkan dengan pemberian pakan tinggi sebetulnya masih mengkonsumsi pakan hidup pokok yang dapat dilihat dari body

(4)

sizes yang konstant selama penelitian berlangsung. Sedangkan sapi yang digolongkan mengkonsumsi sebatas '` kebutuhan hidup pokok sebetulnya masih mengkonsumsi pakan yang berada dibawah kebutuhan hidup pokok yang -`' ditandai dengan masih terjadinya penurunan bobot badan. Walaupun demikian ternyata pola penampilan progesterone keduanya dapat dikatakan sama.

Sapi postpartum yang diberi pakan baik menunjukkan perpendekan panjang siklus menjadi 21 hsri yang lebih baik satu hari dari sapi kontrol. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian pakan dibawah maintenance requirement sudah cukup untuk menjamin terjadinya perkawinan kembali setelah kelahiran dengan ovarium yang berfungsi baik sebagaimana sapi yang tidak dalam kondisi postpartum. Walaupun demikian belum menjawab seberapa besar pakan minimum yang dibutuhkan sapi Bali postpartum agar ovariumnya dapat berfungsi normal kembali setelah melahirkan.

Pola hormon progesteron yang dihasilkan juga menunjukkan bahwa sapi pakan tinggi dan pakan kontrol menunjaan aktifitas ovarium yang baik. Dengan pola seperti ini boleh diharapkan bahwa bilamana perkawinan terjadi tepat waktu maka calving interval dapat diharapkan berlangsung dalam satu tahun.

Tabel 1. Body sizes sapi Bali pada periode postpartum dan bukan postpartum pada kondisi pakan tinggi

*) tidak ads perbedaan secara statistik.

Tabel 2. Perbedaan kandungan progesterone sapi Bali pada periode postpartum dan bukan postpartum pada kondisi pakan tinggi

CHALID TAUBet al. : Pengaruh Perbaikan Pakan (dan Cidr serta Kombinasinya) Terhadap Dinamika Aktifitas Ovarium

Gambar 1 . Progesterone pattern sapi Bali pada priode postpartum pakan tinggi Progesterone pattern pada sapi postpartum dengan 2 perlakuan

berbeda

day

-PP2

Catatan: PP1 =pakan tinggi; PP2 =pakan kontrol.

Status Bobot badan

(kg)

Awal

Body condition

score Bobot badan(kg) Akhir Body condition score Kontrol 173 t 23 4.2 t 1 .2 166 t 20 4.0

f

1 .5 Pakan tinggi 172 t22 4.0 t 1 .3 172

f

23 4.0

f

1 .1 Rataan 172

f

21 4.1 t 1 .4 169 t 25 4.0

f

1.6

Status Titik tertinggi

(ng/ml) Titik terendah(ng/ml) Panjang siklus birahi(hari) Kontrol

Pakan tinggi 7.66.9

f

f

1 .21 .6 0.91 .1 t 0.8

f

0.7 21 .921.1 t 2.0

f

2.0

Rataan 7.2

f

1 .7 0.9 t 0.8 21.5

f

2.0

(5)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sedikit perbaikan pada rataan produksi susu induk-induk postpartum ini dari penelitian ke 1 yaitu dari 0.2 menjadi 0.4 ± 0.2 liter perhari . Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun secara biologi reproduksi sapi-sapi Bali tersebut tidak butuh tambahan pakan untuk aktifitas reproduksinya. Tetapi dari segi keselamatan anak, maka produksi susu yang hanya 0.4 liter per hari ini masih terlampau rendah untuk mendapatkan pertumbuhan anak yang baik pada usia sapih.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan pakan bagi sapi Bali mesti dikaji kembali agar kebutuhan hidup pokok yang sebenamya dapat diketahui. Pakan yang berada sedikit di bawah kebutuhan hidup pokok tidak mengganggu aktifitas ovarium sapi Bali induk postpartum selama body condition scorenya masih berada dalam kondisi sedang (pertengahan antara tertinggi dan terendah). Hal ini dapat dipahami karena secara fisiologis sapi-sapi kontrol belum mengalami stress sebagai akibat kekurangan pakan.

Walaupun sapi-sapi kontrol menunjukkan aktifitas ovarium yang cenderung lebih rendah namun jarak titik terendah yang mengindikasikan panjang siklus birahi tidak terpengaruh sehingga oestrus yang terjadi adalah suatu siklus yang normal. Hal ini disebabkan karena kondisi tubuh sapi-sapi ini masih termasuk baik dengan kata lain walaupun pakan yang dikonsumsi masih kurang untuk mempertahankan bobot badan tetapi masih cukup untuk mempertahankan kondisi tubuh yang cukup baik. Idealnya penelitian ini diperpanjang terus sampai suatu keadaan dimana siklus birahi yang ditunjukkan termasuk dalam kategori kurang baik (tidak dapat menjamin terjadinya suatu kebuntingan) ataupun menggunakan sapi-sapi yang kondisi tubuhnya kurang baik. Dalam keadaan inilah baru pemberian pakan dapat diatur untuk membangkitkan kembali oestrus. Tetapi sebagaimana telah dikemukakan bahwa karena penelitian dilakukan dalam musim hujan maka sulit untuk mendapatkan sapi-sapi yang memiliki kondisi tubuh yang kurang baik. Sedangkan perpanjangan penelitian juga tidak dimungkinkan karena keterbatasan dalam tahun anggaran yang harus dihentikan pada bulan Maret 2000, dimana semua dana yang belum terpakai harus dikembalikan ke Negara sebagaimana dialami dalam penelitian ini.

Produksi susu sebesar 0.4 liter per hari inipun masih tergolong rendah bagi kebutuhan pertumbuhan anak yang sedang. Hal ini barulah dapat dibuktikan bilamana perpanjangan penelitian dilakukan sampai anak memasuki usia sapih. TALIBet al. (1999) melaporkan bahwa pada kondisi lapang, pertumbuhan pedet sapi Bali hanya dapat ditunjang oleh air susu induknya sampai usia 2 bulan, dimana dalam periode pertumbuhan selanjutnya terjadi penurunan pertumbuhan bobot badan anak secara drastis bahkan juga kematian yang telah berlangsung sejak dini khususnya bagi pedet-pedet yang kecil.

Oleh karena itu program perbaikan pakan pada induk sapi Bali menyusui harus terus dikaji untuk mempertahankan atau memperpendek birahi kembali setelah melahirkan tetapi tidak mengabaikan kebutuhan anak untuk bertumbuh dengan baik.

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari aktifitas penelitian ke 2 ini adalah sebagai berikut:

1. Sapi-sapi dengan kondisi tubuh pertengahan walaupun mengalami kekurangan pakan (penurunan bobot badan) tetapi selama penurunan ini belum berpengaruh secara pasti pada body condition score maka dapat boleh diharapkan bahwa aktifitas ovarium mereka masih menjanjikan untuk berlangsungnya suatu kebuntingan bila terjadi perkawinan yang tepat.

2. Walaupun sapi-sapi kontrol menunjukkan aktifitas ovarium yang sedikit lebih rendah tetapi panjang siklus birahi yang ditunjukkan masih normal sehingga secara fisiologis tidak berpengaruh terhadap pemeliharaan kelangsungan suatu kebuntingan bilamana implantasi berlangsung.

3 .

Perbaikan pakan pada sapi Bali harus terus dilakukan untuk mencari titik temu terbaik untuk mempertahankan atau memperpendek calving interval satu tahun sekaligus menghasilkan peningkatan jumlah dan kualitas anak yang disapih.

DAFTAR PUSTAKA

AttDiKA, IN 1995. Parameter fenotipik dan genetic sifat produksi dan reproduksi sapi Bali pada Proyek Pembibitan dan Pengembangan sapi Bali (P3 Bali) di Bali. Thesisfor MSc. in Faculty of Postgraduate, Bogor Agricultural University

(6)

CHALID TALIBet al. : Pengaruh Pertanian Pakan (dan Cidr serta Kombinasinya) Terhadap Dinamika Aktfitas Ovarium ASA, C.S., B. READ, E.W. HOUSTON, T. GROSS, J. PARFEr and W.J. BOEVER . 1993. Serum estradiol and progesterone .-,

concentration during the ovulatory cycle and pregnancy in Banteng cattle (Bosjavanicus). Theriogenology39: 1367. BLOOMFIELD, G.A., S.V. MoRANT and M.J.A. DucKER. 1986. A survey of reproductive performance in dairy herds.

Characteristics ofthe patterns ofprogesterone concentrations in milk. Animal Production42: 1 .

CHENOWETH, P.J. 1994. Aspects of reproduction in female Bos indices cattle: a review. Australian Veterinary Journal71: 422. DARMADJA, 1980. One of a Half Century of Bali Cattle Development under the Traditional Ecosystem of Agricultural in Bali. (Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ecosystem Pertanian di Bali). PhD Thesis. University of Padjadjaran . Bandung - Indonesia.

DEVENDRA, C., T. LEE KOK CHoo and M. PHATMASINGHAM . 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agricultural Journal49: 183.

DzIUK, P.J. and R.A. BELow. 1983. Management ofreproduction ofbeef cattle, sheeps and pig.Journal ofAnimal Science57: (Supplement 2): 355.

GALINA, C.S. and G.H. ARTHUR. 1989. Review of cattle reproduction in the tropics. Part 3. Puerperium .Animal Breeding Abstracts57: 11 : 899.

GODDART, M.E. 1978. Animal breeding . In Beef Cattle Production in The Tropics. Edited by R.M. Murray and K.W. Entwistle . James Cook University-Quensland . P: 123.

IGLESIA, L.R., E.S. BELLOSO, C.G. STANGNARO, G.S. CASTILLO and E.R. URDANETA . 1992. Factors affecting postpartum ovarian activity in crossbred primiparous tropical heifers.Theriogenology38: 449.

McCOol, C. 1992. Buffalo and Bali cattle - exploiting their reproductive behaviour and physiology . Tropical Animal Health Production24: 165.

MUKASA-MUGERWA, E. 1989. A Review of Reproductive Performance of Female Bos indices(Zebu) cattle. International Livestock Center for Africa.

OLTNER, R. and L.E. EDQvisT. 1981. Progesterone in defatted milk: its relation to insemination and pregnancy in normal cows as compared with cows on problem farms and individual problem animals.British Veterinary Journal137: 78.

PANE, I. 1990. Improving the Genetic Quality ofBali cattle (Upaya Peningkatan Mutu Genetic Sapi Bali di P3Bali). InProc. Bali Cattle Meeting, 20 - 23 September, 1990, Denpasar. P : A42.

PANE, 1. 1991 . Productivity and breeding in Bali cattle (Produktivitas dam breeding sapi Bali).In Proc Seminar Nasional Sapi Bali. Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. P: 50.

PAYNE, D.J.A. and D.H.L. ROLLINSON . 1973. Bali Cattle.WorldAnim. Review.7 : 13.

PELSSIER, C.L. 1976. Dairy cattle breeding problems and their consequences .Theriogenology 6: 575.

SIREGAR, A.R., C. TALIB, K. DIWYANTO, P. SrrEFu, U. KUSNADI, H. PRAsETYo and P. SrroRus. 1985. Performance of Bali cattle at East Nusa Tenggara (Performance sapi Bali di Nusa Tenggara Timur). Dirjennak and Balitnak. Jakarta. TALIB, C. 1988. Productivity ofongole cattle in East Jawa. (Productivitas sapi ongole di Jawa).Thesisfor MSc. in Faculty of

Postgraduate, Bogor Agricultural University (IPB). Bogor. Indonesia.

TALIB, C., A. BAMUALIM dan A. POHAN. 1999. Problematika sapi Bali dalam pemeliharaan di padang penggembalaan . Proc. Sem. Nas. Pet dan Vet., Bogor, Des 1 - 2, 1998. Hal: 611 - 617.

TALIB, C., G. Hinch, S. Sivarajasingham and A. BAMUALIM . 1998. Factors influencing preweaning and weaning weights ofBali (Bos sundaicus) calves. Proc. of the 6'° worlds Conggress on Gen.Appl. to Livestock Prod. Armidale, NSW, Australia, Jan 11-16, 1998. Vol. 23: 141 -144.

WILLIAMS, G.L. 1990. Suckling as a regulator ofpostpartum rebreeding in cattle: A review.Journal ofAnimalScience68 : 831 . WIRDAHAYATI, R.B. and A. BAMUALIM . 1990. Performance production and population structure ofBali cattle in Timor, East

Nusa Tenggara (Penampilan produksi dam struktur temak sapi Bali diPulau Timor, Nusa Tenggara Timur).InProc. Bali Cattle Meeting, 20 - 23 September, 1990, Denpasar. P : C1.

Gambar

Tabel 1. Body sizes sapi Bali pada periode postpartum dan bukan postpartum pada kondisi pakan tinggi

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan empat nilai inti (core values) multikultural sebagai indikatornya, analisis menunjukkan bahwa buku teks PAK Kurikulum 2013 memiliki 39,7% Kompetensi Dasar

Kegiatan pembelajaran merupakan inti dari pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pengendali utama. Dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan berbagai metode

(1) Terdapat perbedaan hasil belajar matematika kelompok siswa yang diberi frekuensi tes formatif berdasarkan KD dengan hasil belajar matematika kelompok siswa yang diberi

Seluruh data yang terkumpul akan dikupas pada pembahasan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian tentang penggunaan prinsip-prinsip Islam dalam mendidik lanjut usia

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari kebijakan tentang Perizinan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kabupaten Pelalawan adalah untuk mengendalikan

Data yang diukur adalah tekanan darah sistolik dan diastolik dalam satuan mmHg, pada 30 orangperempuan dewasa berusia 18 – 25 tahun sebelum dan setelah konsumsi

bahwa untuk efektivitas pelaksanaan pemberlakuan dan pengawasan Standar Nasional Indonesia kertas dan karton untuk kemasan pangan yang diberlakukan secara wajib sesuai

Saya sering mengabaikan teman yang tidak memahami materi shobahul lughoh 39. Saya sering lupa nama-nama