• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Republica Democratica de Timor Leste yang (selanjutnya disebut RDTL) dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27 yang bernama Timor Timur dari 1975-1999 dan kemudian menjadi sebuah negara melalui referendum pada 30 Agustus 1999. Secara administratif RDTL dibagi menjadi tiga belas distritu, yaitu Aileu, Ainaro, Baucau, Bobonaro, Cova-Lima, Ermera, Lautem, Liquica, Manatuto, Maliana, Manufahi, Oecussi, dan Viqueque. Di antara tiga belas distrik yang telah disebutkan di atas memiliki ragam bahasa dan budaya yang berbeda-beda karena terdapat tiga puluh dua bahasa lokal yang saat ini tetap hidup dan tersebar hampir di semua wilayah RDTL dengan jumlah penutur yang cukup banyak. Salah satu dari bahasa-bahasa itu adalah bahasa Makasae (selanjutnya disingkat BMk) yang saat ini masih aktif digunakan oleh para penuturnya dan berkembang sebagai alat komunikasi, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.

Dalam penelitian Correia (2011) dijelaskan bahwa nenek moyang BMk begitu juga bahasa-bahasa rumpun Papua Timor seperti, Pantar dan Alor, diperkenalkan pada pulau itu kira-kira 4.000 tahun yang lalu oleh para pengembara dari Bomberai Penisula, Papua Barat. Bukti yang berhubungan dengan linguistik memberi kesan bahwa para pengembara Papua yang dulunya berusaha menghindari gangguan dari para penyerbu orang-orang pelaut

(2)

Austronesia yang berlayar ke Ceram, kemudian mereka masuk ke pulau-pulau berikutnya yang saat ini disebut laut Arafura. Mereka terus berlayar menuju ke Timor, Wetar, Alor, dan Flores kemudian bermukim di sana dan melakukan pernikahan campuran dengan penduduk asli setempat. Logat Bomberai mereka ditanamkan di daerah-daerah ini, tetapi pengaruh dari golongan pra-Papua cukup berpengaruh sehingga melahirkan bahasa muncul di mana-mana. Dalam hal ini BMk memiliki beberapa dialek, seperti dialek Watulari, dialek Ossu, dialek Laga dan dialek Quelicai. Perbedaan dialek yang satu dengan yang lain disebabkan oleh penggunaan intonasi kalimat dan kosa kata, tetapi semua penutur dari keempat dialek tersebut masih dapat berkomunikasi dengan penutur BMk yang lain.

Daerah sebaran BMk mencakup tiga distritu, yaitu Distritu Baucau, Distritu Viqueque, dan Distritu Lospalos. Akan tetapi, BMk paling banyak digunakan di Distritu Baucau yang terdiri atas enam (subdistrik/kecamatan), yaitu Subdistrik Baguia, Baucau, Quelicai, Laga, Venilale, dan Vemasse. Selanjutnya, BMk paling banyak digunakan di Subdistrik Laga, Quelicai, dan Baguia, sedangkan Subdistritu Venilale dan Vemase berbahasa Waima‟a dan Imidiki Kairui. Subdistritu Baucau menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Makasae, bahasa Waima‟a, dan bahasa Tetun. Dalam pergaulan sehari-hari masyarakat di Baucau masih menggunakan BMk sebagai alat komunikasi sehari-hari oleh penuturnya antara satu dengan yang lain. Selain itu, BMk juga digunakan dalam upacara adat, misalnya, upacara penyambutan kelahiran, kematian dan perkawinan selain berfungsi sebagai alat komunikasi antara intraetnis dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Begitu juga BMk digunakan dalam

(3)

melestarikan warisan karya sastra lisan, seperti (1) Rakalele (tuturan yang dilagukan untuk mengiringi tarian ketika menebang pohon untuk membuat rumah adat yang sakral), (2) Datalolo (cerita rakyat), (3) Lopoda (upacara untuk memperingati kelahiran bayi), (4) Data su‟a (upacara untuk permohonan keselamatan), dan (5) Tetelee (nyanyian untuk kematian atau kesedihan). Pada umumnya bahasa-bahasa yang ada di RDTL belum memiliki tulisan sehingga penggunaannya masih difokuskan pada bentuk lisan dan bukan pada bentuk tulisan karena hampir semua bahasa-bahasa lokal di RDTL belum memiliki bahasa tulis dan masih digunakan secara lisan. Selain BMk, ada bahasa asing yang juga cukup aktif digunakan di RDTL, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Portugis. Bahasa Portugis digunakan sebagai bahasa kenegaraan dan bahasa Tetun sebagai bahasa nasional RDTL, sedangkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pekerja.

Correia (2011:6) menjelaskan bahwa jumlah penutur BMk paling banyak keempat di RDTL dengan jumlah 110,960,11 dan masing-masing dapat mengusai dua bahasa atau bahkan bisa menguasai lebih dari tiga bahasa daerah. Juliette (2008) juga menjelaskan bahwa BMk merupakan rumpun bahasa Papua (Trans-New Guenia) yang memiliki 70.000 penutur di samping bahasa daerah lainnya, seperti bahasa Fataluku, bahasa Makalero, bahasa Galole, bahasa Imidiki-Kairui, bahasa Waima‟a, dan bahasa-bahasa lainnya. Selanjutnya, Correia (2011:25) menjelaskan bahwa dari aspek fonologi BMk memiliki lima buah vokal dasar, yaitu /a/ /e/ /i/ /o/ /u/. Selain lima buah vokal yang telah disebutkan di atas, BMk juga memiliki tiga belas konsonan asli, yaitu /b/ /d/ /f/ /g/ /h/ /k/ /l/ /m/ /n/ /r/ /s/

(4)

/t/ /w/ /'/ dan ditambah dengan empat konsonan asing, yaitu /p/ /r/ /z/ /v/. Moravcsik (2013) dalam bukunya yang berjudul Introducing Language Typology membagi tipologi bahasa menjadi lima bagian, yaitu (i) tipologi leksikal, (ii) tipologi sintaktik, (iii) tipologi morfologi, serta (iv) tipologi fonologi dan tipologi perubahan bahasa. Berdasarkan uraian Moravcsik di atas maka penelitian ini hanya difokuskan pada relasi gramatikal untuk menentukan seperti apa fenomena kebahasaan pada BMk dari aspek tipologi sintaksis.

Hal lain yang juga menarik dari BMk untuk dijadikan objek penelitian karena struktur dasar BMk dibangun melalui SOV. Dari aspek morfologi BMk tergolong dalam bahasa isolasi yang miskin dalam proses pemarkah morfologis, baik dari klausa intransitif klausa transitif, ekatransitif, maupun klausa dwitransitif. Ketika BMk digunakan, bentuk asal verba tidak terikat karena verba BMk bisa berdiri sendiri tanpa pemarkah morfologis. Berikut ini adalah tata urutan kanonik BMk.

a. SV b. SOV c. OSV

Predikat BMk disusun oleh unsur verba yang dibedakan menjadi klausa intransitif dan transitif. Selanjutnya, klausa transitif diperluas menjadi klausa berpredikat verba ekatransitif dan dwitransitif/ditransitif. Berikut ini adalah contoh tentang tata urut klausa intransitif BMk yang tidak mengalami proses morfologis atau verba persesuaian dengan subjek, baik dari subjek persona tunggal maupun subjek persona jamak yang merupakan ciri khas bahasa isolasi.

(5)

a) Subjek + Verba (1.1) Ani la’a 1T pergi ‘Saya pergi’ (1.2) Ini erata 2J tiba „Kami tiba‟ (1.3) Pi la’a 1J pergi „Kita pergi‟ (1.4) Ai erata 2T tiba „Kamu tiba‟

Klausa intransitif BMk pada contoh (1.1-1.4) di atas menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya pemarkah khusus morfologis atau verba persesuaian pada frasa verba intransitif BMk, baik pronomina persona pertama tunggal maupun pronomina persona ketiga jamak. Verba BMk bisa berdiri sendiri dan tidak memiliki verba persesuaian pada pronomina pertama tunggal sampai dengan pronomina ketiga jamak. Berikut ini adalah contoh verba klausa transitif BMk. b) Subjek + Objek + Verba

(1.5) Ani gi ti’ala 1T 3T tendang „Saya menendang dia‟ (1.6) Ai gi base

2T 3T pukul „Kamu memukul dia‟ (1.7) Ini atesia saunu

2J ubi kayu tanam ‘Kami menanam ubi kayu’

(6)

(1.8) Gi teli ko’e 3T jagung panen „Dia panen jagung‟

Klausa transitif BMk pada contoh (1.5-1.8) di atas juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya pemarkah morfologis dan verba persesuaian dengan frasa verba BMk, baik dari pronomina persona pertama tunggal maupun pronomina pesona ketiga jamak.

c) Pasien+Agen+Verba

(1.9) Gi ani ini base

3T 1T MARK PAS-pukul

„Dia saya pukul‟

(1.10) Arabau era ini lasi

Kerbau 3J MARK PAS-potong

„Kerbau mereka potong’ (1.11) * Seu pi nawa

Daging 1J makan „Daging makan kita’ (1.12) * Arabau era lasi

Kerbau 3J PAS-potong „Kerbau memotong mereka‟

Berbeda dari klausa 1.9-1.12 adanya pemarkah ini apabila objek dalam klausa transitif muncul di awal kalimat untuk membentuk kalimat pasif. Namun, BMk tidak seperti bahasa Indonesia yang memiliki pemarkah pasif di dan ter untuk membentuk kalimat pasif. Tetapi apabila tidak ada pemarkah ini ketika subjeknya bukan persona (animate) maka kalimat itu menjadi tidak gramatikal secara semantis.

(7)

d) Klausa Dwitransitif

Jika klausa ekatransitif menuntut kehadiran dua argumen inti, maka berbeda dengan klausa dwitransitif/ditransitif yang menuntut kehadiran tiga argumen inti dalam kalimat. Contohnya dalam bahasa Indonesia, klausa ditransitif salah satunya ditandai oleh pemarkah morfologis –kan yang berfungsi untuk meningkatkan kehadiran argumen, contohnya pada klausa saya membeli baju (verba “membeli” mengikat dua argumen, “saya” dan “baju”), kemudian saya

membelikan adik baju (verba “membelikan” mengikat tiga argumen, “saya”,

“adik”, dan “baju”). Berikut ini adalah contoh klausa dwitransitif. (1.13) Abo asukai era gau paunu seranake

Kakek 3J POSP roti bawa „Kakek membawa roti untuk mereka‟

(1.14) Mama ani gau nawa-nawa asaara ma’u

Mama 1T POSP makanan kirim „Mama mengirim makanan untuk saya‟

(1.15) Mama ini nawa-nawa ma ani gau asaara ma’u

Mama FOK makanan MARK 1T POSP kirim „Mama yang mengirimi saya makanan‟

(1.16) Nawa-nawa mama ini ma ani gau asaara ma’u

Makanan mama FOK MARK 1T POSP kirim „Makanan mama yang kirim untuk saya‟

Berdasarkan contoh klausa dwitransitif/ditransitif pada klausa (1.13) -(1.16) yang telah diuraikan di atas, yakni menunjukkan bahwa setiap klausa terdapat tiga argumen inti yang hadir pada struktur klausa tersebut.

Setiap bahasa tentu dibangun melalui dua frasa penting, yakni frasa nomina (FN) dan frasa verba (FV). Demikian juga klausa dasar BMk yang dibentuk melalui FN dan FV sebelum beberapa frasa tambahan, seperti Fnum, FP,

(8)

FA, dan F.ADV. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang konstruksi klausa dasar BMk nonverba.

(1.17) Gi ani base 3T 1T pukul „Dia memukul saya‟ (1.18) Bai lola’e

Babi dua „Babi dua ekor‟ (1.19) Pi oma isi e’e

1J rumah POSP „Kita ada di rumah‟ (1.20) Era gira-gira

3J gila „Mereka gila‟ (1.21) Ini e’e ere

2J di sini „Kami di sini‟ (1.22) Ai pulisi

2T polisi „Kamu polisi‟

Data pada contoh klausa (1.17-1.22) di atas adalah gambaran untuk membentuk klausa dasar BMk, baik dari klausa verba maupun dengan klausa nonverba. Klausa (1.17) terdiri atas dua frasa nomina, dan satu frasa verba, klausa (1.18) terdiri atas satu frasa nomina dan satu frasa numeralia, klausa (1.19) terdiri atas satu frasa nomina dan satu frasa posposisi, klausa (1.20) terdiri atas satu frasa nomina dan satu frasa adjektiva, klausa (1.21) terdiri atas satu frasa nomina dan satu frasa adverbia, dan klausa (1.22) terdiri atas dua frasa nomina.

Dalam kaitan ini, Artawa (1998:21) berpendapat bahwa pembahasan relasi gramatikal menyangkut istilah akusatif, ergatif atau S-terpilah yang biasa

(9)

digunakan untuk menjelaskan suatu pola relasi gramatikal. Secara morfologis hal ini relatif mudah dilihat, misalnya, pada bahasa Inggris, tetapi hal ini sangatlah tidak mudah untuk dilihat atau dijelaskan pada bahasa-bahasa Austronesia Barat, seperti pada bahasa Filipina.

Berdasarkan pendapat Artawa di atas, dapat dilihat permasalahan relasi gramatikal BMk yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Papua (Trans-New Guenia). Untuk mengetahui apakah BMk cenderung ke dalam bahasa yang bertipe nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, atau dengan sistem S-terpilah, maka harus diadakan pengetesan melalui struktur kalimat atau klausa. Berbicara tentang struktur klausa/kalimat suatu bahasa tertentu sangatlah penting dan harus dilihat struktur kalimat dasar yang terkait dengan kehadiran argumen inti di dalam klausa/kalimat tersebut. Oleh karena dengan mengetahui pola struktur dasar bahasa tersebut akan menjadi penentu tipologi suatu bahasa apakah bahasa X itu bertipe bahasa akusatif, ergatif, atau S-terpilah? Berdasarkan alasan yang telah diuraikan di atas maka penelitian relasi gramatikal tipologi sintaksis ini dilakukan untuk mengkaji dan menentukan secara khusus tentang tipologi BMk.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang sudah disajikan pada latar belakang di atas, yakni menunjukkan bahwa fenomena kebahasan bahasa Makasae khususnya tipologi relasi gramatikal menarik untuk diteliti. Berdasarkan fenomena tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

(10)

a. Bagaimanakah struktur dasar klausa BMk? b. Bagaimanakah sistem pivot BMk?

c. Bagaimanakah tipologi relasi gramatikal BMk?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperkaya wawasan kajian struktur dasar klausa BMk dengan mengkaji fenomena kebahasaan dari aspek tipologi relasi gramatikal supaya dapat menentukan tipologi BMk. Dari aspek teoretis, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan penerapan teori tipologi bahasa supaya dapat menentukan konstruksi tipe klausa dasar BMk. Penelitian ini juga bertujuan memberikan kontribusi bagi peneliti berikutnya yang ingin membawa BMk ke arah yang berbeda yang belum tersentuh dalam penelitian ini. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yang meliputi tiga hal, yaitu (1) menganalisis struktur dasar klausa BMk, (2) menganalisis sistem pivot BMk, dan (3) menganalisis tipologi relasi gramatikal yang diharapkan dapat memberikan pemetaan yang komprehensif pada BMk sebagai salah satu bahasa rumpun Papua atau Non-Austronesian yang masih dijaga keberadaannya oleh para penuturnya.

(11)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat penting yang harus dicapai, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis yang diharapkan bisa memberi sumbangan bagi BMk dan dapat diterapkan secara maksimal. Kedua manfaat penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah linguistik, khususnya linguistik mikro dalam usaha memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan relasi gramatikal, khususnya tipologi sintaksis. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pengetahuan baru bagi pencinta linguistik, khususnya pada relasi gramatikal BMk tipologi sintaksis dan memberikan kontribusi bagi pengembangan BMk sebagai acuan untuk mengetahui sejauh mana fenomena keunikan yang ada pada BMk. Penelitian ini juga bertujuan menerapkan teori tipologi dan teori tata bahasa relasional dalam menelaah relasi gramatikal BMk sebagai bahasa non-Austronesia di RDTL.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bahan ajar di sekolah-sekolah karena sejauh ini belum ditemukan buku tata bahasa BMk yang bisa dijadikan sebuah pedoman pengajaran di Distrik Baucau, Viqueque, dan

(12)

Lospalos di RDTL. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan langkah yang positif bagi penutur BMk dalam usaha mempertahankan dan melestarikan bahasanya supaya pada masa mendatang BMk terus dijaga keberadaannya sehingga mampu hidup sejajar dengan bahasa Austronesia atau non Austronesia yang ada di RDTL.

Referensi

Dokumen terkait

Kecamatan dengan pertumbuhan tenaga kerja sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 hingga tahun 2011 adalah Kecamatan Playen dan yang terendah adalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh air perasan kunyit ( Curcuma domestica Val. ) dengan konsentrasi yang berbeda terhadap kadar SGOT, SGPT, dan bilirubin total

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alsenaien (2015) yang menyatakan bahwa semakin tinggi penambahan kurma (100%) pada pembuatan cookies, nilai daya

Secara umum terjadi peningkatan kadar pati resisten secara signifikan (p<0,05) pada tepung ubi jalar ungu termodifikasi akibat perlakuan pemanasan

Sedangkan pada Tabel 5.6 dan Gambar 5.17 terlihat bahwa nilai presisi, recall, dan akurasi tertinggi terdapat pada metode HOGHC, sehingga HOGHC lebih baik digunakan dalam

Apakah setuju bila CD bajakan dijual secara terbatas diluar pertokoan/mall seperti di pinggir?. jalan atau

Bagian pertama tentang pendekatan dalam kajian etika komunikasi yaitu pendekatan kultural guna menganalisis perilaku pelaku profesi komunikasi dan pendekatan strukrural