• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA SISTEM TIGA STRATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA SISTEM TIGA STRATA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Jurnal Kedokteran Hewan Tjok Gde Oka Pemayun, dkk ISSN : 1978-225X

61

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA

SISTEM TIGA STRATA

Reproduction Performance of Bali Cattle on Three Strata Forage System

Tjok Gde Oka Pemayun1, Sentana Putra2, dan W. Puger2 1

Laboratorium Reproduksi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar 2Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh sistem tiga strata terhadap penampilan reproduksi sapi bali. Penelitian dalam bentuk demo plot dengan rancangan acak lengkap terdiri atas 2 sistem peternakan yakni Sistem Tiga Strata (STS) dan Sistem Tradisional (NTS) dengan 5 ulangan. Sistem Tiga Strata adalah tata cara penanaman dan pemangkasan rumput dan legum (sebagai stratum 1), semak (sebagai stratum 2), dan pohon (sebagai stratum 3), sehingga pakan hijauan tersedia sepanjang tahun untuk sapi yang selalu dikandangkan. Sistem tradisional (NTS) adalah pengembalaan sapi waktu siang hari dan pengandangan waktu malam hari dengan pemberian pakan hijauan yang dipotong dari tegalan. Estrus pascapartus dan interval beranak pada sapi STS lebih pendek dibandingkan NTS. Bobot lahir dan bobot sapih pada STS lebih berat daripada NTS, sedangkan lama kebuntingan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Penampilan reproduksi sapi bali yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan STS lebih baik dibandingkan dengan sistem pemeliharaan NTS.

____________________________________________________________________________________________________________________ Kata kunci: penampilan reproduksi, STS, sapi bali

ABSTRACT

The study was carried out to determine the effect of three strata forage system on the reproductive performance of bali cattle. This study implemented completely randomized design consisted of 2 farm systems, Three Strata Forage System (TSFS) and Tradisional System (NTFS),

with 5 replications. Each three strata forage system is a technique of planting and harvesting grass and ground legume (as 1st stratum), shrub

legume (as 2nd stratum), and folder tree (as 3rd stratum), thus green roughage is available for all times for the cattle stall-fed. Traditional system (NTFS) is tethered cattle grazing during the day and stall-fed at night with fed roughage available in the farm. Result for reproduction performance showed that postpartum estrus and partum interval of TSFS was shorter than the NTFS cow. Birth-weight and weaning-weight of TSFS were higher than the NTFS. However, no significant difference was observed on pregnancy period.

____________________________________________________________________________________________________________________

Key words: reproduction performance, TSFS, bali cattle

PENDAHULUAN

Penampilan reproduksi pada sapi potong dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kualitas pakan, menyusui, dan penyakit peripartum (Rhodes et al., 2003). Menyusui anak dan status nutrisi yang rendah selama kebuntingan dan atau setelah partus menyebabkan munculnya estrus pascapartus 2-3 kali lebih lama dibandingkan sapi yang tidak menyusui dan status nutrisi yang baik (Bearden dan Fuquay, 1992).

Anestrus pascapartus pada ternak sapi telah diidentifikasi sebagai penyebab utama rendahnya efisiensi reproduksi (Kumar dan Kumar, 2006). Lamanya anestrus pascapartus sangat menentukan jarak kelahiran (calving interval). Jarak kelahiran yang pendek akan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi, dan sebaliknya jarak kelahiran yang panjang akan menurunkan efisiensi reproduksi. Faktor yang memengaruhi anestrus pascapartus antara lain adalah menyusui, produksi susu, kondisi tubuh, dan nutrisi (Peter et al., 2009). Ciccioli dan Wettemann (2000) melaporkan anestrus pascapartus dapat mencapai 146 hari pada sapi potong dengan kualitas pakan yang rendah. Estrus pascapartus >90 hari pada sapi induk Brahman Cross disebabkan oleh tata laksana pemberian pakan yang kurang baik, sehingga skor kondisi tubuh induk sangat rendah. Perbaikan pakan dan manajemen dapat mempercepat munculnya estrus pascapartus pada sapi Brahman Cross. Pada kondisi pakan yang baik, akan

memicu pelepasan hormon gonadotropin oleh hipofisa anterior dan menyebabkan folikel ovarium berkembang dan hewan menjadi estrus (Beam dan Butler, 1997).

Munculnya estrus pertama setelah melahirkan dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk ketersediaan pakan. Jika nutrisi terkonsumsi tidak mencukupi kebutuhan fisiologis ternak, maka penampilan reproduksi menurun yang ditandai dengan penurunan fungsi ovarium, sehingga folikel tidak berkembang dan kadar hormon estrogen menjadi rendah. Sebaliknya pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup dan bermutu akan memicu estrus pascapartus dan ovulasi 23 hari lebih awal (Ciccioli dan Wettemann, 2000).

Sistem Tiga Strata (STS) adalah suatu tata cara penanaman dan pemangkasan rumput, leguminosa sebagai stratum 1, semak sebagai stratum 2, dan pohon sebagai stratum 3, sehingga tersedia pakan hijauan yang bermutu sepanjang tahun (Nitis et al., 1989). Pemeliharaan ternak dengan STS telah dilaporkan dapat meningkatkan berat hidup anak dan induk sapi bali serta penggunaan pakan ternak lebih efisien daripada pemeliharaan secara tradisional (Nitis et al., 1994).

Estrus pascapartus merupakan hal yang penting pada sapi untuk dapat melahirkan setiap tahun satu ekor anak dengan jarak kelahiran 365 hari. Untuk mencapai hal tersebut, sapi harus dikawinkan paling lambat 83 hari setelah melahirkan dengan asumsi lama kebuntingan 276-295 hari (Rhodes et al., 2003) dan penundaan estrus

(5)

Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 8 No. 1, Maret 2014

62

dan ovulasi akan menyebabkan rendahnya angka konsepsi dan angka kebuntingan (Darwash et al., 1997). Nutrisi juga sangat berpengaruh pada reproduksi berikutnya. Kegagalan kembalinya estrus terutama disebabkan oleh kurang efisiensinya reproduksi pada kelahiran anak pertama. Hal ini sering disebabkan kondisi pakan yang sangat kurang (Ciccioli dan Wettemann, 2000). Oleh karena itu, kajian penampilan reproduksi sapi bali dengan STS perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan efisiensi reproduksi.

MATERI DAN METODE

Lokasi penelitian di semenanjung Bali Selatan pada lahan pertanian kering, dengan tanah yang berdasar kapur. Curah hujan rata-rata 1600 mm selama 4 bulan (Desember-Maret) dan 8 bulan musim kering (April-November). Pada penelitian ini, menggunakan 2 sistem pemeliharaan yaitu STS dan Sistem Tradisional (NTS).

Dalam penelitian ini digunakan 10 ekor sapi bali betina yang sudah 2 kali melahirkan (reproduksi ke -3) sebagai hewan percobaan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 2 kelompok perlakuan (STS dan NTS) dan 5 ulangan. Sistem STS adalah tata cara penanaman dan pemangkasan rumput dan legum (sebagai stratum 1), semak (sebagai stratum 2) dan pohon (sebagai stratum 3), sehingga pakan hijauan tersedia sepanjang tahun untuk sapi yang selalu dikandangkan sedangkan sistem NTS adalah pengembalaan sapi waktu siang hari dan pengandangan waktu malam hari dengan pemberian pakan hijauan yang diperoleh dari tegalan.

Pengamatan estrus dilakukan 2 kali sehari yaitu setiap pagi (jam 06.00-09.00 WITA ) dan sore hari (jam 16.00-18.00 WITA) dengan tanda-tanda estrus yang diamati adalah adanya pembengkakan pada vulva dan keluarnya leleran transparan dari vagina. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal.yaitu pada umur kebuntingan 2 dan 4 bulan sedangkan waktu penyapihan pedet dilakukan pada umur 36 minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan munculnya estrus setelah melahirkan (estrus pascapartus) STS dan NTS adalah 3,05 vs 4,48 hari. Rataan lama kebuntingan STS vs NTS adalah 9,44 vs 9,53 bulan. Rataan calving interval STS dan NTS adalah 12,80 vs 13,40 bulan. Rataan bobot lahir pedet STS dan NTS adalah 16,94 dan 15,62 kg. Rataan bobot sapih STS dan NTS adalah 122,66 vs 113,00 kg (Tabel 1).

Tabel 1. Penampilan reproduksi sapi bali pada sistem tiga strata

Penampilan Reproduksi Sistem Tiga Strata

Sistem Tradisional Estrus setelah melahirkan (bulan) 3,05a 4,48b Lama bunting (bulan) 9,44a 9,53a Jarak kelahiran 12,80a 13,40b Bobot lahir pedet (kg) 16,94a 15,62b Berat sapih pedet (36 minggu/kg) 122,66a 113,00b

a,bSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (P< 0,05)

Munculnya estrus yang lebih cepat dan calving interval yang lebih pendek pada sapi yang dipelihara pada STS mengindikasikan bahwa mutu pakan yang dikomsumsi sapi yang dipelihara pada STS kualitasnya jauh lebih baik daripada yang dipelihara dengan NTS. Pakan hijauan dengan STS akan tersedia sepanjang tahun, sedangkan dengan NTS pakan hijauan berlimpah pada musim hujan, tetapi kekurangan pada musim kemarau (Nitis et al., 1989). Menurut Nitis et al. (1985)

bahwa dengan STS, makanan lebih banyak

mengandung pakan semak dan pohon tetapi lebih sedikit mengandung pakan rumput. Makanan yang banyak mengandung semak dan pohon lebih banyak mengandung protein kasar daripada rumput, maka untuk itu pemeliharan sapi dengan STS makanannya lebih bergizi daripada NTS.

Faktor pakan merupakan faktor paling utama untuk penampilan reproduksi, khususnya pada sapi yang sangat tergantung pada hijauan untuk memenuhi gizinya, sehingga hal ini umumnya akan menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium (tidak adanya aktivitas ovarium) dan sapi tidak menunjukkan tanda-tanda berahi (Montiel dan Ahuja, 2005). Kondisi pakan yang baik, memicu pelepasan hormon gonadotropin pada hipofisa anterior dan memicu perkembangan folikel ovarium yang diikuti dengan meningkatnya kadar hormon estrogen yang memicu terjadinya estrus (Beam dan Butler, 1997).

Penampilan reproduksi sapi potong setelah melahirkan sangat tergantung dari status pakan yang diberikan (van Niekerk, 1982). Sapi potong di daerah tropis biasanya sangat tergantung pada rumput alami dan kandungan protein kasar pada pakan sering di bawah 7,5% sehingga menyebabkan lamanya periode anestrus pascapartus (Butler et al., 1981). Hal yang sama dilaporkan oleh Bearden dan Fuquay (1992) bahwa level intake energy yang rendah akan menyebabkan lamanya anestrus pascapartus pada sapi potong. Terdapat korelasi antara jarak kelahiran dengan munculnya estrus pascapartus. Hal ini ditunjukkan bahwa jarak kelahiran juga lebih pendek pada STS, sehingga pemeliharan di bawah STS, ternak akan memperoleh kualitas pakan yang lebih baik karena sapi selalu dikandangkan dan diberikan rumput, legum, semak, dan pohon yang dipangkas dari STS (Nitis et al., 1989).

Pemberian pakan STS, selain mampu menyediakan jumlah yang cukup juga kualitasnya sesuai dengan kebutuhan ternak untuk aktivitas fisiologis berikutnya. Nitis et al. (1989) melaporkan bahwa pemberian pakan yang berbasis daun-daunan (STS), selain mampu mempercepat perbaikan kondisi tubuh induk dalam mencapai bobot tertinggi saat dikawinkan juga mampu mencapai bobot tertinggi pada akhir kebuntingan, dibandingkan dengan pemberian pakan berbasis rumput (NTS). Pemberian pakan berbasis daun-daunan merupakan langkah strategis dalam pengembangan sapi bali, mengingat tipikal ternak ini adalah merambah dan bukan merumput (Kearl, 1982). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan kemampuan mengonsumsi pakan

(6)

Jurnal Kedokteran Hewan Tjok Gde Oka Pemayun, dkk

63 hijauan berupa dedaunan sampai 70% akan mampu

memenuhi kebutuhan fisiologis ternak, baik secara kuantitatif (DMI= dry matter intake, 2-2,5% dari bobot ternak) maupun secara kualitatif (NI= nutrient intake). Dengan terpenuhi kebutuhan fisiologisnya, ternak akan mampu melaksanakan aktivitasnya secara optimal, baik untuk reproduksi maupun berproduksi untuk periode berikutnya dengan memperlihatkan performan reproduksi dan produksi yang lebih baik.

Bobot lahir maupun bobot sapih yang lebih berat pada STS menunjukkan bahwa kualitas pakan lebih baik pada STS. Hal ini juga dilaporkan oleh Putra (2006a) dan Putra (2006b) bahwa dengan pemberian daun gamal yang ada pada STS, mampu meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan. Dengan demikian, produk fermentasi rumen (metabolit rumen) sebagai produk antara dari proses pencernaan dapat dimanfaatkan secara lebih efisien oleh ternak induk untuk aktivitas fisiologisnya, sehingga kondisi fisiologis ini dapat menyediakan metabolit rumen yang relatif lebih banyak, dan dapat dimanfaatkan oleh ternak secara lebih efisien, baik untuk pertumbuhan induk selama umur kebuntingan, sehingga menghasilkan bobot lahir yang lebih tinggi, dan mempercepat perbaikan kondisi tubuh induk pascapartus serta pencapaian bobot sapih yang lebih tinggi.

KESIMPULAN

Penampilan reproduksi sapi bali yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan STS lebih baik dibandingkan dengan sistem pemeliharaan NTS.

DAFTAR PUSTAKA

Beam, S.W. and W.R. Butler. 1997. Energy balance dan ovarian follicle development prior to the first ovulation postpartum in dairy cows receiving three levels of dietary fat. Biol. Reprod. 56:133-142.

Bearden, H.J. and J. Fuquay. 1992. Appl. Anim. Reproduct. Reston Publishing Company, Inc. A Prentice-Hall Company Reston, Virginia.

Butler, W.R., R.W. Everett, and C.E. Coppock. 1981. The relationships between energy balance, milk production dan ovulation in postpartum Holstein cows. J. Anim. Sci. 53:742-748.

Ciccioli, N.H. and R.P. Wettemann. 2000. Nutritional effects on estrus dan ovarian activity of spring calving first-calf heifers. Anim. Sci.

Res. Report:160-163.

Darwash, A.O., G.E. Lamming, and J.A. Woolliams. 1997. The phenotypic association between the interval to post-partum ovulation dan traditional measures of fertility in dairy cattle. Anim.

Sci. 65:9-16.

Kearl, L.C., 1982. Nutrition Requirements of Ruminants in

Developing Countries International Feedstuff. Institute Utah

Agric. Exp. Station Utah State University, Logan Utah, USA. Kumar, H. and S. Kumar. 2006. Incidence of Post Partum Anestrus in

Bovine of Rural Area of Kumaon Region.

http://gbpihed.nic.in/envish/HTML/Vol 72-Harendra.htm

Montiel, F. and C. Ahuja. 2005. Body condition and suckling as factors influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: A review.

Anim. Reprod. Sci. 85:1-26.

Nitis, I.M., K. Lana, M. Suarna, W. Sukanten, T.G.O. Pemayun, and S. Uchida. 1985. Chemical Composition of the Grass, Shrub, and Tree Leaves in Bali. Supplementary Report 1 to IDRC. Canada. Nitis, I.M., K. Suarna, W. Sukanten, S. Putra, and W. Arga, 1989.

Three Strata System. For Cattle Feeds dan Feeding in Dry and Farming Area in Bali. Final Report to IDRC.Canada.

Nitis, I.M., K. Suarna, W. Sukanten, S. Putra, T.G.O. Pemayun, and A.W. Puger. 1994. Growth and Reproductive Performance of Bali Heifer under Three Strata Forage System. Report to FAO. Project No. AGAP-653AN 40/5. Rome.

Peter, A.T., P.L. Vos, and D.J. Ambrose. 2009. Postpartum anestrus in dairy cattle. Theriogenology. 71(9):1333-1342.

Putra, S. 2006a. Perbaikan mutu pakan yang disuplementasi seng asetat dalam upaya meningkatkan populasi bakteri dan protein mikroba di dalam rumen, kecernaan bahan kering, dan nutrient ransum sapi bali bunting. Majalah Ilmiah Peternakan. 9(1):1-6.

Putra, S. 2006b. Pengaruh perbaikan mutu pakan dasar dan konsentrat terhadap performans sapi bali bunting pertama. J. Veteriner. 7(3):130-138.

Rhodes, F.M., S. McDougall, C. R. Burke, G. A. Verkerk, and K. L. Macmillan. 2003. Invited Review: Treatment of cows with an extended postpartum anestrous interval. J. Dairy Sci. 86(6):1876-1884.

Van Niekerk, A. 1982. The effect of body condition as influenced by winter nutrition, on the reproductive performance of the beef cow.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi lingkungan atau agroekosistem serta kualitas dan kuantitas vegetatif sebagai sumber pakan yang lebih baik pada lahan tegalan menyebabkan konsentrasi growth

Sistem tiga strata (STS) kombinasi jenis rumput unggul dengan leguminosa semak/perdu dan pohon mampu memperbaiki tingkat produksi hijauan makanan ternak (HMT)

Yang menjadi permasalahan adalah, apakah manajemen pakan dan lingkungan di area TPA tersebut dapat mempengaruhi produksi karkas, kualitas daging yang dihasilkan, serta

Kondisi lingkungan atau agroekosistem serta kualitas dan kuantitas vegetatif sebagai sumber pakan yang lebih baik pada lahan tegalan menyebabkan konsentrasi growth

Kondisi lingkungan atau agroekosistem serta kualitas dan kuantitas vegetatif sebagai sumber pakan yang lebih baik pada lahan tegalan menyebabkan konsentrasi growth

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi dataran tinggi dan rendah menunjukkan bahwa nilai THI di dataran tinggi masih dalam batas kenyamanan ternak yaitu di bawah

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,