• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA SISTEM TIGA STRATA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA SISTEM TIGA STRATA."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Jurnal Kedokteran Hewan Tjok Gde Oka Pemayun, dkk ISSN : 1978-225X

61

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA

SISTEM TIGA STRATA

Reproduction Performance of Bali Cattle on Three Strata Forage System

Tjok Gde Oka Pemayun1, Sentana Putra2, dan W. Puger2 1

Laboratorium Reproduksi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar 2Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

E-mail: tjokormas@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh sistem tiga strata terhadap penampilan reproduksi sapi bali. Penelitian dalam bentuk demo plot dengan rancangan acak lengkap terdiri atas 2 sistem peternakan yakni Sistem Tiga Strata (STS) dan Sistem Tradisional (NTS) dengan 5 ulangan. Sistem Tiga Strata adalah tata cara penanaman dan pemangkasan rumput dan legum (sebagai stratum 1), semak (sebagai stratum 2), dan pohon (sebagai stratum 3), sehingga pakan hijauan tersedia sepanjang tahun untuk sapi yang selalu dikandangkan. Sistem tradisional (NTS) adalah pengembalaan sapi waktu siang hari dan pengandangan waktu malam hari dengan pemberian pakan hijauan yang dipotong dari tegalan. Estrus pascapartus dan interval beranak pada sapi STS lebih pendek dibandingkan NTS. Bobot lahir dan bobot sapih pada STS lebih berat daripada NTS, sedangkan lama kebuntingan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Penampilan reproduksi sapi bali yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan STS lebih baik dibandingkan dengan sistem pemeliharaan NTS.

____________________________________________________________________________________________________________________ Kata kunci: penampilan reproduksi, STS, sapi bali

ABSTRACT

The study was carried out to determine the effect of three strata forage system on the reproductive performance of bali cattle. This study implemented completely randomized design consisted of 2 farm systems, Three Strata Forage System (TSFS) and Tradisional Syste m (NTFS), with 5 replications. Each three strata forage system is a technique of planting and harvesting grass and ground legume (as 1st stratum), shrub

legume (as 2nd stratum), and folder tree (as 3rd stratum), thus green roughage is available for all times for the cattle stall-fed. Traditional system (NTFS) is tethered cattle grazing during the day and stall-fed at night with fed roughage available in the farm. Result for reproduction performance showed that postpartum estrus and partum interval of TSFS was shorter than the NTFS cow. Birth -weight and weaning-weight of TSFS were higher than the NTFS. However, no significant difference was observed on pregnancy period.

____________________________________________________________________________________________________________________

Key words: reproduction performance, TSFS, bali cattle

PENDAHULUAN

Penampilan reproduksi pada sapi potong dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kualitas pakan, menyusui, dan penyakit peripartum (Rhodes et al., 2003). Menyusui anak dan status nutrisi yang rendah selama kebuntingan dan atau setelah partus menyebabkan munculnya estrus pascapartus 2-3 kali lebih lama dibandingkan sapi yang tidak menyusui dan status nutrisi yang baik (Bearden dan Fuquay, 1992).

Anestrus pascapartus pada ternak sapi telah diidentifikasi sebagai penyebab utama rendahnya efisiensi reproduksi (Kumar dan Kumar, 2006). Lamanya anestrus pascapartus sangat menentukan jarak kelahiran (calving interval). Jarak kelahiran yang pendek akan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi, dan sebaliknya jarak kelahiran yang panjang akan menurunkan efisiensi reproduksi. Faktor yang memengaruhi anestrus pascapartus antara lain adalah menyusui, produksi susu, kondisi tubuh, dan nutrisi (Peter et al., 2009). Ciccioli dan Wettemann (2000) melaporkan anestrus pascapartus dapat mencapai 146 hari pada sapi potong dengan kualitas pakan yang rendah. Estrus pascapartus >90 hari pada sapi induk Brahman Cross disebabkan oleh tata laksana pemberian pakan yang kurang baik, sehingga skor kondisi tubuh induk sangat rendah. Perbaikan pakan dan manajemen dapat mempercepat munculnya estrus pascapartus pada sapi Brahman Cross. Pada kondisi pakan yang baik, akan

memicu pelepasan hormon gonadotropin oleh hipofisa anterior dan menyebabkan folikel ovarium berkembang dan hewan menjadi estrus (Beam dan Butler, 1997).

Munculnya estrus pertama setelah melahirkan dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk ketersediaan pakan. Jika nutrisi terkonsumsi tidak mencukupi kebutuhan fisiologis ternak, maka penampilan reproduksi menurun yang ditandai dengan penurunan fungsi ovarium, sehingga folikel tidak berkembang dan kadar hormon estrogen menjadi rendah. Sebaliknya pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup dan bermutu akan memicu estrus pascapartus dan ovulasi 23 hari lebih awal (Ciccioli dan Wettemann, 2000).

Sistem Tiga Strata (STS) adalah suatu tata cara penanaman dan pemangkasan rumput, leguminosa sebagai stratum 1, semak sebagai stratum 2, dan pohon sebagai stratum 3, sehingga tersedia pakan hijauan yang bermutu sepanjang tahun (Nitis et al., 1989). Pemeliharaan ternak dengan STS telah dilaporkan dapat meningkatkan berat hidup anak dan induk sapi bali serta penggunaan pakan ternak lebih efisien daripada pemeliharaan secara tradisional (Nitis et al., 1994).

(5)

Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 8 No. 1, Maret 2014

62

dan ovulasi akan menyebabkan rendahnya angka konsepsi dan angka kebuntingan (Darwash et al., 1997). Nutrisi juga sangat berpengaruh pada reproduksi berikutnya. Kegagalan kembalinya estrus terutama disebabkan oleh kurang efisiensinya reproduksi pada kelahiran anak pertama. Hal ini sering disebabkan kondisi pakan yang sangat kurang (Ciccioli dan Wettemann, 2000). Oleh karena itu, kajian penampilan reproduksi sapi bali dengan STS perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan efisiensi reproduksi.

MATERI DAN METODE

Lokasi penelitian di semenanjung Bali Selatan pada lahan pertanian kering, dengan tanah yang berdasar kapur. Curah hujan rata-rata 1600 mm selama 4 bulan (Desember-Maret) dan 8 bulan musim kering (April-November). Pada penelitian ini, menggunakan 2 sistem pemeliharaan yaitu STS dan Sistem Tradisional (NTS).

Dalam penelitian ini digunakan 10 ekor sapi bali betina yang sudah 2 kali melahirkan (reproduksi ke -3) sebagai hewan percobaan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 2 kelompok perlakuan (STS dan NTS) dan 5 ulangan. Sistem STS adalah tata cara penanaman dan pemangkasan rumput dan legum (sebagai stratum 1), semak (sebagai stratum 2) dan pohon (sebagai stratum 3), sehingga pakan hijauan tersedia sepanjang tahun untuk sapi yang selalu dikandangkan sedangkan sistem NTS adalah pengembalaan sapi waktu siang hari dan pengandangan waktu malam hari dengan pemberian pakan hijauan yang diperoleh dari tegalan.

Pengamatan estrus dilakukan 2 kali sehari yaitu setiap pagi (jam 06.00-09.00 WITA ) dan sore hari (jam 16.00-18.00 WITA) dengan tanda-tanda estrus yang diamati adalah adanya pembengkakan pada vulva dan keluarnya leleran transparan dari vagina. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal.yaitu pada umur kebuntingan 2 dan 4 bulan sedangkan waktu penyapihan pedet dilakukan pada umur 36 minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan munculnya estrus setelah melahirkan (estrus pascapartus) STS dan NTS adalah 3,05 vs 4,48 hari. Rataan lama kebuntingan STS vs NTS adalah 9,44 vs 9,53 bulan. Rataan calving interval STS dan NTS adalah 12,80 vs 13,40 bulan. Rataan bobot lahir pedet STS dan NTS adalah 16,94 dan 15,62 kg. Rataan bobot sapih STS dan NTS adalah 122,66 vs 113,00 kg (Tabel 1). Estrus setelah melahirkan (bulan) 3,05a 4,48b Lama bunting (bulan) 9,44a 9,53a Jarak kelahiran 12,80a 13,40b Bobot lahir pedet (kg) 16,94a 15,62b Berat sapih pedet (36 minggu/kg) 122,66a 113,00b

a,bSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (P< 0,05)

Munculnya estrus yang lebih cepat dan calving interval yang lebih pendek pada sapi yang dipelihara pada STS mengindikasikan bahwa mutu pakan yang dikomsumsi sapi yang dipelihara pada STS kualitasnya jauh lebih baik daripada yang dipelihara dengan NTS. Pakan hijauan dengan STS akan tersedia sepanjang tahun, sedangkan dengan NTS pakan hijauan berlimpah pada musim hujan, tetapi kekurangan pada musim kemarau (Nitis et al., 1989). Menurut Nitis et al. (1985)

bahwa dengan STS, makanan lebih banyak

mengandung pakan semak dan pohon tetapi lebih sedikit mengandung pakan rumput. Makanan yang banyak mengandung semak dan pohon lebih banyak mengandung protein kasar daripada rumput, maka untuk itu pemeliharan sapi dengan STS makanannya lebih bergizi daripada NTS.

Faktor pakan merupakan faktor paling utama untuk penampilan reproduksi, khususnya pada sapi yang sangat tergantung pada hijauan untuk memenuhi gizinya, sehingga hal ini umumnya akan menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium (tidak adanya aktivitas ovarium) dan sapi tidak menunjukkan tanda-tanda berahi (Montiel dan Ahuja, 2005). Kondisi pakan yang baik, memicu pelepasan hormon gonadotropin pada hipofisa anterior dan memicu perkembangan folikel ovarium yang diikuti dengan meningkatnya kadar hormon estrogen yang memicu terjadinya estrus (Beam dan Butler, 1997).

Penampilan reproduksi sapi potong setelah melahirkan sangat tergantung dari status pakan yang diberikan (van Niekerk, 1982). Sapi potong di daerah tropis biasanya sangat tergantung pada rumput alami dan kandungan protein kasar pada pakan sering di bawah 7,5% sehingga menyebabkan lamanya periode anestrus pascapartus (Butler et al., 1981). Hal yang sama dilaporkan oleh Bearden dan Fuquay (1992) bahwa level intake energy yang rendah akan menyebabkan lamanya anestrus pascapartus pada sapi potong. Terdapat korelasi antara jarak kelahiran dengan munculnya estrus pascapartus. Hal ini ditunjukkan bahwa jarak kelahiran juga lebih pendek pada STS, sehingga pemeliharan di bawah STS, ternak akan memperoleh kualitas pakan yang lebih baik karena sapi selalu dikandangkan dan diberikan rumput, legum, semak, dan pohon yang dipangkas dari STS (Nitis et al., 1989).

(6)

Jurnal Kedokteran Hewan Tjok Gde Oka Pemayun, dkk

63 hijauan berupa dedaunan sampai 70% akan mampu

memenuhi kebutuhan fisiologis ternak, baik secara kuantitatif (DMI= dry matter intake, 2-2,5% dari bobot ternak) maupun secara kualitatif (NI= nutrient intake). Dengan terpenuhi kebutuhan fisiologisnya, ternak akan mampu melaksanakan aktivitasnya secara optimal, baik untuk reproduksi maupun berproduksi untuk periode berikutnya dengan memperlihatkan performan reproduksi dan produksi yang lebih baik.

Bobot lahir maupun bobot sapih yang lebih berat pada STS menunjukkan bahwa kualitas pakan lebih baik pada STS. Hal ini juga dilaporkan oleh Putra (2006a) dan Putra (2006b) bahwa dengan pemberian daun gamal yang ada pada STS, mampu meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan. Dengan demikian, produk fermentasi rumen (metabolit rumen) sebagai produk antara dari proses pencernaan dapat dimanfaatkan secara lebih efisien oleh ternak induk untuk aktivitas fisiologisnya, sehingga kondisi fisiologis ini dapat menyediakan metabolit rumen yang relatif lebih banyak, dan dapat dimanfaatkan oleh ternak secara lebih efisien, baik untuk pertumbuhan induk selama umur kebuntingan, sehingga menghasilkan bobot lahir yang lebih tinggi, dan mempercepat perbaikan kondisi tubuh induk pascapartus serta pencapaian bobot sapih yang lebih tinggi.

KESIMPULAN

Penampilan reproduksi sapi bali yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan STS lebih baik dibandingkan dengan sistem pemeliharaan NTS.

DAFTAR PUSTAKA

Beam, S.W. and W.R. Butler. 1997. Energy balance dan ovarian follicle development prior to the first ovulation postpartum in dairy cows receiving three levels of dietary fat. Biol. Reprod. 56:133-142.

Bearden, H.J. and J. Fuquay. 1992. Appl. Anim. Reproduct. Reston Publishing Company, Inc. A Prentice-Hall Company Reston, Virginia.

Butler, W.R., R.W. Everett, and C.E. Coppock. 1981. The relationships between energy balance, milk production dan ovulation in

postpartum Holstein cows. J. Anim. Sci. 53:742-748.

Ciccioli, N.H. and R.P. Wettemann. 2000. Nutritional effects on estrus dan ovarian activity of spring calving first-calf heifers. Anim. Sci.

Res. Report:160-163.

Darwash, A.O., G.E. Lamming, and J.A. Woolliams. 1997. The phenotypic association between the interval to post-partum ovulation dan traditional measures of fertility in dairy cattle. Anim.

Sci. 65:9-16.

Kearl, L.C., 1982. Nutrition Requirements of Ruminants in

Developing Countries International Feedstuff. Institute Utah

Agric. Exp. Station Utah State University, Logan Utah, USA. Kumar, H. and S. Kumar. 2006. Incidence of Post Partum Anestrus in

Bovine of Rural Area of Kumaon Region.

http://gbpihed.nic.in/envish/HTML/Vol 72-Harendra.htm

Montiel, F. and C. Ahuja. 2005. Body condition and suckling as factors

influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: A review.

Anim. Reprod. Sci. 85:1-26.

Nitis, I.M., K. Lana, M. Suarna, W. Sukanten, T.G.O. Pemayun, and S. Uchida. 1985. Chemical Composition of the Grass, Shrub, and Tree Leaves in Bali. Supplementary Report 1 to IDRC. Canada. Nitis, I.M., K. Suarna, W. Sukanten, S. Putra, and W. Arga, 1989.

Three Strata System. For Cattle Feeds dan Feeding in Dry and Farming Area in Bali. Final Report to IDRC.Canada.

Nitis, I.M., K. Suarna, W. Sukanten, S. Putra, T.G.O. Pemayun, and A.W. Puger. 1994. Growth and Reproductive Performance of Bali Heifer under Three Strata Forage System. Report to FAO. Project No. AGAP-653AN 40/5. Rome.

Peter, A.T., P.L. Vos, and D.J. Ambrose. 2009. Postpartum anestrus in dairy cattle. Theriogenology. 71(9):1333-1342.

Putra, S. 2006a. Perbaikan mutu pakan yang disuplementasi seng asetat dalam upaya meningkatkan populasi bakteri dan protein mikroba di dalam rumen, kecernaan bahan kering, dan nutrient ransum sapi bali bunting. Majalah Ilmiah Peternakan. 9(1):1-6.

Putra, S. 2006b. Pengaruh perbaikan mutu pakan dasar dan konsentrat terhadap performans sapi bali bunting pertama. J. Veteriner. 7(3):130-138.

Rhodes, F.M., S. McDougall, C. R. Burke, G. A. Verkerk, and K. L. Macmillan. 2003. Invited Review: Treatment of cows with an extended postpartum anestrous interval. J. Dairy Sci. 86(6):1876-1884.

Van Niekerk, A. 1982. The effect of body condition as influenced by winter nutrition, on the reproductive performance of the beef cow.

Gambar

Tabel 1. Penampilan reproduksi sapi bali pada sistem tiga strata Penampilan Reproduksi Sistem Tiga Sistem

Referensi

Dokumen terkait

•Di dalam Dhamma yang dinyatakan dengan sempurna olehKu demikian itu, wahai para bhikkhu, yang jelas, terbuka, telah diperlihatkan dan. seperti kain usang

Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah

Anak usaha pt Astra Nippon gasket indonesia juga mendapatkan penghargaan dari toyota Motor Manufacturing indonesia untuk Cost reduction target Achievement dan penghargaan Zero Defect

output benar serta jenis input yang memungkinkan output salah pada perangkat lunak yang sedang diuji..  Menentukan output untuk suatu

Manual desain perkerasan ini digunakan untuk menghasilkan desain awal yang kemudian hasil tersebut diperiksa terhadap pedoman desain perkerasan Pd T- 01-2002-B, dan Software

Tiga simpulan dari makalah ini ialah (1) ketersediaan sumber daya alam yang melimpah tidaklah serta merta berkorelasi positif dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, (2)

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Kata Kunci : Huruf Hijaiyah, Neural Network Backpropagation, Augmented Reality, Makhorijul Huruf, Pengenalan Tulisan Tangan Pembelajaran cara pengucapan makhorijul huruf untuk