LEWAT NOVEL TANAH TABU
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Rosa Sekar Mangalandum
NIM: 074114004
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
LEWAT NOVEL TANAH TABU
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Rosa Sekar Mangalandum
NIM: 074114004
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Mei 2011
Penulis
Rosa Sekar Mangalandum
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma:
Nama : Rosa Sekar Mangalandum
NIM : 074114004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Membaca Wajah
Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” beserta perangkat yang diperlukan
(bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya
dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 16 Mei 2011
Yang menyatakan,
Rosa Sekar Mangalandum
KATA PENGANTAR
Tugas akhir ini berjudul “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel
Tanah Tabu”. Tugas akhir tersebut ditulis sebagai pemenuhan syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sastra dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Judul dan topik tugas akhir
bersangkutan dipilih penulis karena tokoh-tokoh suku asli tanah Papua dalam
novel Tanah Tabu menarik untuk dibaca karena pembacaannya menggunakan
perspektif the indigenous peoples.
Penulis menerima kontribusi secara akademis dan dukungan dari berbagai
pihak dalam proses mengerjakan tugas akhir “Membaca Wajah Suku Asli Papua
Lewat Novel Tanah Tabu”. Sebelum menyatakan rasa terima kasih kepada
pihak-pihak yang dimaksud, penulis lebih dahulu menyatakan rasa syukur dan terima
kasih kepada Allah Yang Maharahim atas karunia dan rahmat-Nya. Berikut ini
adalah mereka yang telah memberi kontribusi akademis dan dukungan positif
kepada penulis dalam proses pengerjaan tugas akhir ini:
1. Drs. B. Rahmanto, M. Hum. dan S. E. Peni Adji S. S., M. Hum. yang
memberikan saran, kritik, dan waktu untuk berdiskusi dengan mereka sebagai
dosen pembimbing penulisan tugas akhir bagi penulis,
2. Drs. Hery Antono, M. Hum. selaku dosen pembimbing akademik penulis
sepanjang tahun 2007-2011,
3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum. selaku dosen penguji utama yang telah
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Di samping itu, penulis berterima kasih dengan bangga kepada Bulan Lumban
Gaol, Ignatia Sukmawardhani, R. Pudji Tursana, Ath. Kristiono Purwadi, SJ, Liat
Lumban Gaol, Petrus Agung Byastanto, dan Alfonsus Biru Kira, SJ. Terima kasih
kepada Bulan Lumban Gaol, Ignatia Sukmawardhani, dan Ath. Kristiono
Purwadi, SJ karena mengawal ketat penulis, baik selama proses penulisan tugas
akhir, maupun jauh sebelumnya dan sesudahnya. Terima kasih kepada Liat
Lumban Gaol dan Petrus Agung Byastanto karena memberikan dukungan
finansial kepada penulis, baik selama proses penulisan tugas akhir, maupun jauh
sebelumnya dan sesudahnya. Terima kasih kepada R. Pudji Tursana dan Alfonsus
Biru Kira, SJ karena dengan kebaikan hatinya memberikan dukungan fasilitas
bagi proses penulisan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa, walaupun dikerjakan dengan usaha terbaik
penulis, tugas akhir “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah
Tabu” tidak sempurna. Setiap kekurangan, ketidaktelitian, dan kekeliruan dalam
tugas akhir tersebut merupakan tanggung jawab penulis. Dengan rendah hati,
penulis terbuka pada saran dan kritik atas isi tugas akhir.
If you have come to help me
You can go home again
But if you see my struggle
As part of your own survival
Then perhaps we can work together*
(kata-kata seorang perempuan Aborigin Australia)
*
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v
KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 5
1.5 Tinjauan Pustaka ... 6
1.6 Kerangka Teori ... 12
1.6.1 Tokoh dan Penokohan (Characterization) ... 13
1.8 Sistematika Penyajian ... 23
BAB II SINOPSIS NOVEL TANAH TABU ... 25
2.1 Pengantar ... 25
2.2 Sinopsis Novel Tanah Tabu ... 26
BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL TANAH TABU .... 38
3.1 Pengantar ... 38
3.2 Tokoh dan Penokohan dalam Novel Tanah Tabu ... 39
3.2.1 Mabel ... 39
3.2.2 Mace ... 43
3.2.3 Leksi ... 47
3.2.4 Mama Kori ... 50
3.2.5 Pum ... 51
3.2.6 Kwee ... 52
3.2.7 Ibu Mabel ... 53
3.2.8 Ayah Mabel ... 54
3.2.9 Pace Mauwe ... 56
3.2.10 Pace Johanis ... 57
3.2.11 Yosi ... 58
3.2.12 Mama Helda ... 59
3.2.13 Pace Poro Boku ... 60
3.2.14 Karel ... 61
3.2.17 Pemuda Meno ... 63
3.2.18 Pace Arare... 65
3.2.19 Hermine Stappen ... 65
3.2.20 Piet van de Wissel... 67
3.2.21 Kelompok orang berseragam dan bersenjata ... 67
BAB IV WAJAH SUKU ASLI PAPUA DALAM TANAH TABU ... 70
4.1 Pengantar ... 70
4.2 Wajah Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu ... 72
4.2.1 Ditaklukkan oleh Belanda Kolonial ... 72
4.2.2 Dijajah Secara Internal oleh Pendatang ... 75
4.2.3 Menjadi Korban ... 81
4.2.4 Minoritas ... 84
4.2.5 Pengaturan Kekuasaan dalam Masyarakat Suku Asli ... 87
4.2.6 Pandangan Dunia Suku Asli terhadap Alam ... 89
4.3 Wajah Kaum Perempuan Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu ... 96
4.3.1 Atribut Kultural Perempuan Suku Asli ... 96
4.3.2 Kewajiban Rumah Tangga dan Kekerasan Domestik ... 98
4.3.3 Bersekolah, Bekerja, dan Berkumpul ... 100
BAB V PENUTUP ... 104
5.1 Kesimpulan ... 104
5.2 Saran ... 108
ABSTRAK
Mangalandum, Rosa Sekar. 2011. Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Secara harfiah, membaca wajah ialah menangkap ekspresi wajah untuk memahami si pemilik wajah dan juga untuk berkomunikasi dengannya. Tetapi, di dalam skripsi ini, wajah yang dimaksud adalah wajah pelaku-pelaku dalam novel
Tanah Tabu sehingga wajah para pelaku dapat dibaca dari unsur intrinsik tokoh
dan penokohan. Suku asli Papua (the indigenous Papua) yang dibaca lewat novel
Tanah Tabu menampilkan “ekspresi wajah” melalui adat-istiadat, ritual, mata
pencaharian/penghidupan, perilaku berbahasa, pertalian antara suku asli dengan tanah asal, dan juga persoalan masyarakat serta kebudayaan pendatang yang meminggirkan suku asli. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan wajah suku-suku asli Papua, sebagai sosok yang terpinggirkan dari pandangan utama (pusat perhatian pembaca), melalui ekspresi-ekspresi kebudayaan suku mereka di dalam novel tersebut dengan memanfaatkan perspektif the indigenous peoples.
Pembacaan dipusatkan pada novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Penulis memanfaatkan yaitu teori strukturalisme sastra mengenai unsur intrinsik tokoh dan penokohan dalam prosa fiksi serta perspektif the indigenous peoples. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode yang dipakai untuk melakukannya ialah metode deskriptif analitis.
Dalam penceritaan novel Tanah Tabu mengenai suku asli Papua, baik suku yang disebut secara spesifik seperti Dani dan Amungme maupun yang disebut hanya dengan istilah orang Komen dan orang Meno, penulis membaca wajah praeksistensi suku asli. Suku Dani ialah penduduk asli (original inhabitants) di Lembah Baliem, sedangkan suku Amungme ialah penduduk asli di kawasan Gunung Nemangkawi. Secara turun-temurun, mereka menempati dan membangun kehidupan di atas tanah mereka masing-masing sehingga dengan demikian merekalah pemilik tanah itu. Sebagai pemilik secara adat, suku asli Papua yang ditokohkan dalam Tanah Tabu menunjukkan wajah memelihara dan nonmaterialis terhadap alam. Mereka mempertahankan tempat khusus bagi alam dengan menyebutnya Tanah Ibu. Sebagian suku asli setia melindungi tanah adat sesuai dengan kepercayaan tradisional, namun sebagian yang lain tanpa rasa malu malah menjual tanah adat kepada perusahaan pertambangan emas.
tradisional, alat tukar tradisional, mata pencaharian, bahasa ibu, hingga noken
menjadi terasing dari suku asli sendiri.
Tidak luput, kaum perempuan suku asli menampilkan wajah yang ditundukkan dan diminoritaskan secara berlapis. Perempuan di dalam Tanah Tabu
Mangalandum, Rosa Sekar. 2011. Reading the Indigenous Papua’s Visage through Tanah Tabu. An undergraduate thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
To read someone’s visage, literally, is to catch one’s countenance, intended for an understanding of the visage owner and also for communication with her/him. But, within novel, visage refers to those of the characters’, thus can they be read through characterization. The indigenous peoples of Papua’s visage which is read through Tanah Tabu shows their “countenance” by means of the people’s customary laws, rites, their means of livelihood, language they speak as means of communication, the indigenous’ relationship to their motherland, as well as how newcomers’ society and culture has problematically marginalized the indigenous of Papua. These things then inspired this research with an objective of analysing and describing the indigenous Papua’s visage, as figures that has always been put aside of the readers’ central attention, through their cultural expressions within the novel, using the indigenous peoples’ perspective.
This research focuses its discussion to a novel entitled Tanah Tabu written by Anindita S. Thayf. This is a library research. The approach applied in it is the literary structuralism theory about characters and characterization in fictional prose and the indigenous peoples perspective, while the method used is the descriptive analysis method.
Tanah Tabu recounts the indigenous Papua either by calling them using
terms, such as orang Komen and orang Meno, or mentioning specifically their names, Dani and Amungme. Through this account, their visage of pre-existence is figured out. The indigenous Papua have had, for generations, occupied and built their life as original inhabitants, for example the Dani in Baliem Valley and the Amungme in Mount Nemangkawi. Accordingly, it is they who owned the land of their ancestor. The indigenous peoples, as traditional owner of the land, expresses a world view consisiting of a custodial and nonmaterialist attitude toward nature and this is also seen as these peoples’ typical visage. They preserved a particular place for nature by calling it Tanah Ibu, ‘Earth Mother’. Nonetheless, a part of the indigenous Papua was faithful to take care of their ancestor’s land according to traditional belief, whereas other part traded the land shamelessly with a mining company.
themselves.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, wajah adalah bagian tubuh yang
menampilkan ekspresi-ekspresi yang bisa menunjukkan diri atau kepribadian
seseorang. Ekspresi-ekspresi ini disebut ekspresi wajah (raut muka). Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat mengemukakan beberapa arti
lema wajah. Dua di antaranya adalah ‘bagian depan dari kepala, roman muka,
muka’ dan ‘apa-apa yang tampak lebih dulu’ (Departemen Pendidikan Nasional,
2008: 1553). Artinya, wajah berada di bagian depan dan selalu tampak lebih dulu.
Wajah penting dalam proses saling mengenal, berkomunikasi secara langsung,
dan juga ketika bercermin. Secara harfiah, membaca wajah dapat dilakukan
dengan menangkap ekspresi wajah untuk memahami si pemilik wajah dan juga
untuk berkomunikasi dengannya.
Tetapi, yang dimaksudkan dalam skripsi ini bukanlah wajah yang bermakna
harfiah, melainkan wajah—secara konotatif—para pelaku novel Tanah Tabu yang
dapat dibaca lewat aspek tokoh dan penokohan. Sesuai dengan judul skripsi ini,
yaitu “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu”, wajah yang
dimunculkan ialah wajah para tokoh suku asli Papua (the indigenous Papua). Para
tokoh suku asli Papua dalam Tanah Tabu menampilkan “ekspresi wajah” melalui
(relasi) antara suku asli dengan tanah asal (alam, lingkungan), dan juga persoalan
masyarakat serta kebudayaan pendatang yang meminggirkan suku asli.
Objek pembahasan skripsi “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel
Tanah Tabu” ialah novel Tanah Tabu. Memenangi Sayembara Novel DKJ 2008,
Tanah Tabu merupakan karya seorang pengarang perempuan asal Makassar,
Anindita Siswanto Thayf. Oleh PT Gramedia Pustaka Utama, karya tersebut
diterbitkan pada tahun 2009. Di dalam novel ini, pengarang mengisahkan suku
Dani yang hidup di Timika—dijuluki Kota Dolar—lewat tokoh Mabel, Mace, dan
Leksi. Meskipun tokoh Mabel dan Mace adalah dua perempuan Papua yang
menjadi kunci di dalam penceritaan, Thayf justru tidak memberi kesempatan pada
mereka untuk berbicara secara langsung. Mabel ataupun Mace bukanlah narator.
Kedua perempuan ini sesungguhnya hanya diceritakan lewat mulut seorang anak
perempuan kelas 1 SD, seekor anjing pemburu, dan seekor babi kecil.
Peristiwa-peristiwa lainnya dalam Tanah Tabu juga meluncur dari mulut ketiga narator
tersebut. Si anak perempuan menceritakan bagaimana pedagang-pedagang sayur
di pasar berkelompok merencanakan aksi protes terhadap perusahaan tambang
emas yang membuat mereka rugi besar, sementara sebuah partai politik
mengumbar janji semata dalam kampanye yang dilakukan di pasar tradisional
yang sama. Si anjing pemburu berkisah tentang kehidupan di suatu perkampungan
suku Dani di Lembah Baliem pada tahun 1946. Si babi kecil bercerita tentang
kejadian penangkapan Mabel dan perkosaan yang dialami Mace. Kedua tindakan
Melalui pelbagai ekspresi mereka—di antaranya melalui tokoh Mabel,
Mace, Leksi, Mama Helda, Pace Mauwe, Pace Johanis, dan lain-lain—dalam
novel Tanah Tabu, suku asli Papua (the indigenous Papua) mengkomunikasikan
keadaan mereka. Di dalam Tanah Tabu, tokoh Pum mengungkap keterusiran suku
Amungme dari tanah leluhur mereka di Gunung Nemangkawi. Pendatang
mendirikan sebuah penambangan emas raksasa di gunung itu, merampok wilayah
dan penghidupan suku Amungme, padahal kepercayaan suku (folk belief)
menyatakan bahwa orang-orang Amungme yang telah meninggal akan berpulang
jiwanya ke Gunung Nemangkawi.
Apa yang melatarbelakangi proses membaca wajah suku asli Papua dalam
skripsi ini? Sebentuk wajah penting dibaca supaya si pemilik wajah dikenali dan
dapat dipahami. Apabila si pemilik wajah dikenali, label-label yang bersifat
menghakimi dan menggeneralisasi perlahan-lahan akan terhapus. Dengan
membaca wajah suku asli Papua, dapat dimengerti kebutuhan, kepentingan, dan
keinginan mereka. Berikutnya, label “primitif” atas suku asli Papua tidak perlu
dilanggengkan. Menyitir bunyi sebuah pepatah, “Tak kenal, maka tak sayang,”
penulis berpendapat bahwa apabila wajah suku asli Papua dikenali dan dipahami,
stereotipe atas suku asli sebagai “yang kelas dua” bisa diputus pewarisannya.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum marak penelitian yang dilakukan ahli
ilmu sastra Indonesia atas sosok suku asli Papua dalam karya sastra. Sosok-sosok
tersebut masih dilewatkan. Karena itu, penulis memilih mengangkat sosok suku
Upaya penulis mengangkat sosok suku asli Papua dalam Tanah Tabu
dilakukan dengan cara memaparkan sinopsis (ringkasan cerita) Tanah Tabu
kemudian menjelaskan aspek tokoh dan penokohan (characterization) di
dalamnya. Penulis membaca wajah suku asli Papua dalam karya tersebut
menggunakan perspektif suku asli (the indigenous peoples). Penulis berharap,
upaya pembacaan ini akan menggerakkan suku-suku asli Nusantara untuk menulis
tentang kehidupan mereka sendiri.
Penggunaan beberapa peristilahan khas penelitian the indigenous peoples
dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk mengakrabi
peristilahan kunci dalam ranah penelitian tersebut, tidak untuk menjadikan bahasa
Indonesia inferior di hadapan bahasa bangsa Barat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diaparkan di atas,
pertanyaan yang hendak dijawab melalui penelitian “Membaca Wajah Suku Asli
Papua Lewat Novel Tanah Tabu” dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana sinopsis novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf?
1.2.2 Bagaimana tokoh dan penokohan yang diciptakan pengarang?
1.2.3 Bagaimana wajah suku asli Papua diekspresikan (ditunjukkan) dalam
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian kepustakaan ini sesuai dengan poin yang
telah dinyatakan pada bagian rumusan masalah. Tujuan penelitian:
1.3.1 memaparkan ringkasan cerita atau sinopsis Tanah Tabu karya Anindita S.
Thayf,
1.3.2 menjelaskan aspek tokoh dan penokohan dalam novel tersebut,
1.3.3 mendeskripsikan wajah suku asli Papua dalam novel Tanah Tabu melalui
ekspresi-ekspresi kebudayaan suku tersebut dengan memanfaatkan
perspektif the indigenous peoples.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Penelitian ini berisi deskripsi wajah suku asli Papua (the indigenous Papua),
di antaranya suku Dani dan Amungme, yang ada dalam novel Tanah Tabu,
menggunakan perspektif the indigenous peoples. Dari penelitian ini, dapat
diketahui pula sinopsis novel Tanah Tabu serta tokoh dan penokohan yang
diciptakan pengarangnya, Anindita S. Thayf.
Secara sederhana, pembacaan ini merupakan bentuk apresiasi atas karya
sastra Indonesia, terutama prosa (novel). Diharapkan juga pembacaan ini
bermanfaat mendorong dan menginspirasi orang-orang lain untuk menambah
ragam apresiasi sastra. Penggunaaan perspektif the indigenous peoples di dalam
skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian sastra.
Karya sastra semacam novel Tanah Tabu mempunyai manfaat praktis untuk
Tanah Tabu yang mengangkat Papua dalam penceritaannya mempunyai manfaat
mengenalkan kebudayaan suku asli Papua. Kehadiran skripsi yang membahas
novel Tanah Tabu seperti ini bermanfaat untuk membuka pandangan baru bagi
pembaca-pembaca yang hendak mulai memahami persoalan suku asli Papua.
Penulis mengharapkan skripsi ini bermanfaat menggerakkan suku-suku asli
Papua untuk menulis sendiri tentang kehidupan, masyarakat, dan kebudayaan
mereka secara terbuka. Penulis yakin bahwa suku asli Papua tidak perlu
terus-menerus dituliskan oleh kaum pendatang ataupun oleh bangsa Barat.
1.5 Tinjauan Pustaka
Hasil penelitian mengenai nilai dan pandangan hidup suku-suku asli Lembah
Baliem telah ditulis oleh putra Baliem sendiri, yakni oleh Alua dkk. (2006:
vii-viii). Buku ini merupakan kumpulan dari lima tulisan hasil penelitian yang
berbeda. Tulisan-tulisan tersebut membahas perihal satuan kemasyarakatan
suku-suku asli Lembah Baliem, penjelasan tentang bentuk fisik maupun nilai-nilai di
balik komunitas silimo, situasi hubungan sosial budaya di antara para perempuan
Lembah Baliem dengan kaum laki-lakinya, pakaian tradisional, serta local
wisdom di Lembah Baliem tentang perilaku menghormati alam lingkungan. Selain
berpendekatan antropologis, hasil penelitian yang dibukukan ini bernuansa teologi
berhubung ketiga penulisnya memiliki latar belakang studi teologi.
Menurut Alua dkk. (2006: vii) pada bagian kata pengantar, “unsur-unsur
sub[j]ektivitas sebagai orang Baliem cukup mewarnai dalam pembahasan
buku ini sebagai acuan adalah karena dari novel yang dikaji, meskipun sama-sama
berbicara tentang suku asli Papua, tidak satu pun ditulis oleh orang Papua sendiri.
Penulis perlu mengetahui situasi suku-suku tersebut dari sudut pandang mereka
sendiri untuk meminimalisasi bias.
Amiruddin dan de Soares (2003: 6-7) menulis sebuah buku mengenai suku
Amungme, salah satu suku asli di tanah Papua, dalam rangka memperjuangkan
hak adat suku tersebut dari konsesi kepemilikan PT Freeport Indonesia. Buku
yang mereka tulis berjudul Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer.
Dari buku ini, diperoleh cerita rakyat (folklore) tentang asal-usul suku Amungme
di tanah Papua dan mengapa Gunung Nemangkawi dipandang suci oleh mereka.
Pembahasan Amiruddin dan de Soares berlanjut dengan permulaan masuknya PT
Freeport Indonesia ke Timika sebagai anak perusahaan Freeport-McMoRan
Copper and Gold Inc. Pembahasan tersebut dimaksudkan sebagai konteks
kesejarahan perkembangan PT Freeport Indonesia sehingga selanjutnya dapat
dianalisis apakah keberadaaan perusahaan pertambangan tersebut diperuntukkan
bagi kesejahteraan suku asli Papua, khususnya suku Amungme, atau
sesungguhnya ada kepentingan lain di baliknya. Amiruddin dan de Soares
mengemukakan secara deskriptif perjuangan suku Amungme sepanjang tahun
2000 hingga 2003 untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah Indonesia
sendiri dan dari PT Freeport Indonesia sebagai pemilik Gunung Nemangkawi
secara adat.
Selain itu, reportase tentang suku asli Papua pun telah ditulis oleh
ke tanah Papua dan kemudian dibukukan (Yuniarti, 2008: ix-x). Buku yang
dimaksud berjudul Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas Terasing
di Pulau Sendiri, sementara perjalanan jurnalistik para wartawan yang menulis
buku itu dinamai Ekspedisi Tanah Papua. Di dalam buku tersebut, tercatat hal
potensi sumber daya alam Papua berikut pemikiran lokal. Sejumlah persoalan
seputar Papua dan masyarakat di pulau itu pun tersingkap. Reportase dalam
Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas Terasing di Pulau Sendiri
diarahkan untuk merekam pelbagai persoalan yang sebetulnya dapat dijadikan
dasar pengembangan kelestarian lingkungan, pengentasan kemiskinan, dan
pemberdayaan suku asli Papua. Dikemukakan dalam bagian kata pengantar bahwa
buku tersebut merupakan wujud usaha Kompas untuk menyimak suara suku asli
Papua—diidiomkan sebagai detak urat nadi—dengan seksama.
Hingga sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian atas Tanah Tabu
untuk tujuan akademis. Walaupun demikian, novel tersebut cukup ramai
dibicarakan di media massa dalam kurun waktu 2008-2009 sebab memenangi
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2008. Pengarang
Anindita S. Thayf diperbincangkan sebagai satu-satunya pemenang Sayembara
Novel DKJ tahun 2008 dengan novel Tanah Tabu-nya (Hidayah, halaman web,
2008). Ketiga juri sayembara, Linda Christanty, Seno Gumira Ajidarma, dan Kris
Budiman, tidak mengangggap karya-karya lain yang masuk ke meja penjurian
layak diperhitungkan. Karya Thayf mereka nilai memuat konteks yang kompleks
disertai cara bertutur yang sensasional, sedangkan karya-karya lainnya yang juga
menyatakan bahwa novel Tanah Tabu mengisahkan kehidupan masyarakat asli
Papua yang tertindas oleh para pendatang. “Apalagi di sana ada tambang asing
(Freeport) yang akhirnya menindas rakyat,” demikian pernyataan langsung Thayf
(Hidayah, halaman web, 2008).
Dengan lebih jelas, latar belakang penulisan novel tersebut diungkapkan
melalui artikel profil Anindita S. Thayf (Syaifullah, halaman web, 2009).
Syaifullah mengungkap bahwa proses penulisan Tanah Tabu menghabiskan
waktu 6 bulan. Thayf menulis dengan dasar penelitian pustaka selama 2 tahun,
tanpa pernah satu kali pun menginjakkan kaki di tanah Papua. Menurut
Syaifullah, Thayf terpana saat membaca tentang kehidupan getir suku asli Papua
dan miris saat mengetahui kesulitan yang dialami para perantau Papua di
Yogyakarta.
(1) Anin miris ketika menyadari betapa tidak mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Yogyakarta. Sebab, para pemilik kontrakan dan kos-kosan—juga sebagian besar tetangga—menganggap orang Papua suka bikin keributan, bicara dan memutar musik keras-keras, bertengkar, dan suka mabuk. "Ini membuat saya semakin bersemangat mengais-ngais kisah tentang tanah leluhur mereka, Papua," tutur Anin. (Syaifullah, halaman web, 2009)
Thayf menokohkan suku asli Papua dalam karyanya dengan karakter “suka
bikin keributan, bicara dan memutar musik keras-keras, bertengkar, dan suka
mabuk” (Syaifullah, halaman web, 2009) padahal gambaran-gambaran negatif
tersebutlah keprihatinan pribadinya. Tokoh-tokoh pedagang sayur dan buah di
pasar tradisional Timika, contohnya, ditampakkan lebih suka membuat keributan
Boku mempunyai kebiasaan berbicara keras-keras sehingga tetangga merasa
berisik dan terganggu. Dikisahkan dalam novel Tanah Tabu bahwa orang-orang
muda Papua berperang sampai memakan korban jiwa karena berebut batas
wilayah. Tidak ketinggalan, sebagian besar tokoh laki-laki dalam Tanah Tabu
gemar bermabuk-mabukan. Ini membuktikan bahwa di dalam novel Tanah Tabu,
Thayf sesungguhnya melanggengkan anggapan negatif atas suku asli Papua.
Anggapan negatif semacam itulah yang justru hendak dihapus dalam skripsi ini.
Mawardi (halaman web, 2009a) justru merespons positif Tanah Tabu
dengan berpendapat bahwa novel tersebut merupakan sebuah refleksi mengenai
diskriminasi yang sudah sejak lama dialami oleh para perempuan Papua sampai
masa kini. Masuknya lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, partai politik,
dan perusahaan emas ke tanah Papua boleh jadi mewujudkan kemajuan.
Walaupun demikian, kehidupan kaum perempuan di sana tak ubahnya suatu
tragedi. Perempuan Papua tetap saja menjadi yang terpinggirkan dan tertindas.
Kaum perempuan merupakan “tumbal dari perayaan superioritas maskulinitas
dalam tegangan tradisi dan modernitas” (Mawardi, halaman web, 2009a). Sambil
memuji impresifnya narasi Tanah Tabu, Mawardi menilai novel tersebut sebagai
“jalan imajinasi untuk ditempuhi pembaca dalam membaca dan menilai lakon
Papua”.
Mawardi (halaman web, 2009b) menggolongkan Tanah Tabu ke dalam
kelompok karya sastra pinggiran (marginal). Seperti dikutip dari keterangan
langsung Anindita S. Thayf, "Saya menyebut Tanah Tabu sebagai sastra
dipinggirkan." (Mawardi, halaman web, 2009b) Subjek pengisahan karya tersebut
ialah penduduk Papua dengan latar tempat Papua. Menurut Mawardi, pilihan
Thayf untuk mengangkat Papua menunjukkan resistensi atas dominasi novel
Indonesia yang membicarakan Jawa atau Sumatera. Ia menyinggung tentang
kemunculan warna lokal Papua dalam Tanah Tabu. Walaupun memperhatikan
kemunculan warna lokal, Mawardi tidak menyoroti suku-suku asli yang menjadi
pelaku dalam novel Thayf.
Zaki (halaman web, 2009) ikut meramaikan pembicaraan tentang Tanah
Tabu dengan mempublikasikan sebuah resensi di Harian Global Medan. Zaki
menyoroti jalan cerita dan pelaku-pelaku penting yang terdapat dalam Tanah
Tabu. Paparannya dibuka dengan mengangkat nama-nama perempuan Papua yang
konsisten memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya kaum perempuan, di
tanah mereka. Zaki menyebut Yosepha Alomang asal Tsinga, Ester Kerewey asal
Manokwari, dan Tinneke Pahua dari Biak-Numfor.
Rif’an (halaman web, 2009), dalam resensinya yang dimuat di surat kabar
Koran Jakarta, berpendapat bahwa bahasa dalam novel Tanah Tabu “sangat
menggelitik, atraktif, sekaligus inspiratif”. Yang dilihat Rif’an dari karya ini
adalah ketimpangan dalam masyarakat di Papua. Ia mengatakan, ada budaya
patriarkhal yang melanggengkan penindasan laki-laki atas perempuan dan
penceritaan pengarang tentang keadaan ini merupakan kritik sosial.
Yang menurut penulis sedikit aneh adalah Rif’an (halaman web, 2009)
mengatakan demikian mengenai novel Tanah Tabu, “[g]emerlap ceritanya dihiasi
penulis, cerita kehidupan dalam Tanah Tabu merupakan cerita tentang
keprihatinan. Kehidupan para tokohnya berat, di antaranya dibuktikan oleh
kehidupan tokoh Mabel dan Mace. Tidak terdapat sesuatu pun yang gemerlap
dalam kisah Tanah Tabu.
Skripsi “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu”
berbeda dari pustaka-pustaka yang ditinjau di atas. Objek pembahasan skripsi ini
bukanlah fakta seperti dalam Alua (2006: vii-viii), Amirudin dan de Soares (2003:
6-7), ataupun Yuniarti (2008: ix-x), melainkan karya sastra. Adapun
resensi-resensi yang ditinjau di atas memang membahas objek yang sama dengan skripsi
ini, yaitu novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Akan tetapi, skripsi
“Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” menggunakan
perspektif yang unik dan khas, yaitu perspektif suku asli (the indigenous peoples).
Penggunaan perspektif suku asli dalam skripsi ini memberi perbedaan dari
pustaka-pustaka tersebut.
1.6 Kerangka Teori
Sesuai dengan tujuan penelitian, yakni mendeskripsikan wajah suku asli
Papua dalam novel Tanah Tabu melalui ekspresi-ekspresi kebudayaan suku
tersebut dengan memanfaatkan perspektif the indigenous peoples, penulis
memilih kerangka teori strukturalisme sastra dan perspektif indigenous. Dari teori
strukturalisme sastra, penulis memilih konsep tokoh dan penokohan
1.6.1 Tokoh dan Penokohan (Characterization)
Tokoh didefinisikan oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995: 165),
sebagai “orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama,
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan”. Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 165), memaksudkan tokoh
(characters) sebagai pelaku-pelaku cerita yang ditampilkan. Sejalan dengan dua
definisi itu, Hendy (1988: 33) memberikan pemahaman tentang tokoh dengan
mencontohkan tiga tokoh dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
Tokoh yang dicontohkan yaitu Mariamin, Aminuddin, dan Sutan Baringin.
Henkle (1977: 86) merumuskan penokohan (characterization) sebagai
kunci dalam praktik memahami fiksi, “Characterization, therefore, is central to
the fictional experience. And the principle objective of the creation of characters
in novels is to enable us to understand, and to experience, people.” Praktik
membaca dan memahami fiksi sesungguhnya meliputi pengalaman berjumpa
dengan sosok sesama manusia (meski secara fiksional). Dapat disimpulkan, hal
yang sama terjadi ketika pembaca membaca novel Tanah Tabu. Keberadaan
sosok the indigenous Papua di dalam novel tersebut membuat pembaca
mengalami perjumpaan dengan mereka. Oleh karena itu, pengalaman
perjumpaan antara pembaca dengan the indigenous Papua dalam Tanah Tabu
sesungguhnya dipengaruhi oleh bagaimana pengarang menampilkan the
indigenous Papua. Tampilan mereka dalam Tanah Tabu dapat dibaca
Berdasarkan bagaimana pengarang novel menampilkan tiap tokoh,
ahli-ahli ilmu sastra telah membuat berbagai kategorisasi tokoh dalam fiksi. Salah
satu kategori yang paling lazim yakni tokoh utama dan tokoh sampingan. Sayuti
dalam Wiyatmi (2006: 31) menyebutnya tokoh utama (sentral) dan tokoh
tambahan (periferal). Kategorisasi yang dibuat Sayuti didasarkannya pada
beberapa faktor dalam penokohan, yaitu (i) keterlibatan tokoh yang
bersangkutan dengan makna atau tema fiksi, (ii) tingkat kekerapan (intensitas)
hubungan yang dibangun tokoh bersangkutan dengan tokoh lain, dan (iii) lama
penceritaan mengenai tokoh tersebut yang diberikan pengarang untuknya.
Mirip dengan Sayuti dalam Wiyatmi (2006: 31), Henkle (1977: 87-88)
mengkategorisasi tokoh menjadi tokoh utama (major character) dan tokoh
sampingan (secondary character). Henkle merumuskan faktor penokohan
sebagai berikut, “Those factors are the complexity of the characterization, the
attention given certain figures, and the personal intensity that a character seems
to transmit.”
Hendy (1989: 176) menerangkan bahwa penokohan terdiri dari beberapa
hal, yaitu kualitas nalar tokoh yang bersangkutan, sikap dan tingkah laku tokoh
tersebut, kemauan, pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, penulis mengikuti definisi tokoh menurut Abrams
dalam Nurgiyantoro (1995: 165), yaitu “orang (-orang) yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
menemukan kemiripan antara konsep Sayuti dengan konsep Henkle. Walaupun
kedua konsep terebut mirip, penulis memilih mengikuti konsep Henkle karena
konsep Henkle dirasa lebih sesuai untuk membaca tokoh-tokoh Tanah Tabu
daripada konsep Sayuti. Dengan demikian, penulis membuat pengelompokan
tokoh-tokoh Tanah Tabu menjadi tokoh utama (major character) dan tokoh
sampingan (secondary character). Pengelompokan ini dibuat berdasarkan faktor
penokohan menurut Henkle, yakni kerumitan (kompleksitas) penokohan,
banyaknya sorotan (perhatian) yang diberikan pada tokoh tertentu, dan intensitas
personal yang dipancarkan suatu tokoh. Selain dikelompokkan, masing-masing
tokoh juga dijelaskan dalam hal kualitas nalar, sikap, tingkah laku, kemauan,
pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya (Hendy, 1989: 176).
1.6.2 Perspektif the Indigenous Peoples
Mendefinisikan istilah indigenous peoples tidaklah mudah sebab kata
indigenous itu sendiri tidak mempunyai batasan tertentu yang pasti (fixed
definition). Meskipun mendefinisikannya tidak mudah, upaya untuk membaca
wajah indigenous peoples perlu dilakukan supaya tidak gagal membaca wajah
dan memahami suku asli Papua dalam novel Tanah Tabu. Bila lema indigenous
dicari dalam sebuah kamus bahasa Inggris-Indonesia, kita akan memperoleh arti
‘asli, pribumi’. Jika lema yang sama dicari dalam sebuah kamus bahasa Inggris,
diperoleh arti ‘native or belonging naturally to a place’ atau, seperti dikutip
Gray dalam Barnes dkk. (1995: 36), “someone who is “in-born or a native”, one
konvensional, indigenous peoples adalah penghalusan untuk makna peyoratif
‘primitif’, ‘orang-orang tribal’, ‘kelompok etnik minoritas’, ‘aborigin’2, ‘kasta
rendah (low caste)’, ‘zaman batu’, dan semacamnya. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat menyediakan lema indigenos sebagai
padanan Indonesia untuk indigenous, yang diartikan sebagai ‘pribumi, asli’
(Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 532). Namun, di samping lema
indigenos tidak akrab untuk berbahasa sehari-hari, sense penghalusannya pun
tidak ditampung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat.
Pelbagai makna peyoratif di atas dapat muncul dalam penggambaran
perilaku dan watak indigenous peoples, misalnya kasar, suka berperang,
berdarah panas. Berikut ini dalam laporan penelitiannya, Koentjaraningrat
memunculkan salah satu ilustrasi tentang perilaku indigenous peoples.
(2) Orang Dani memang mudah marah, dan dalam kemarahannya mereka sering berbicara dengan lantang, memukul ke kanan dan ke kiri, dan biasanya isteri-isterilah yang menjadi sasaran kemarahannya. Wanita pun biasanya menjerit berlebih-lebihan, dan walaupun mereka juga agresif, karena fisik mereka lebih lemah dan mereka tidak dapat menyatakan kemarahan mereka dengan main pukul secara membabibuta, maka kemarahan yang luar biasa hanya dapat disalurkan dengan berteriak-teriak berlebih-lebihan. (Koentjaraningrat, 1994: 278-279)
Sesungguhnya baik istilah indigenous maupun istilah primitif, secara
konvensional, tak lebih dari label. Tetapi, makna istilah primitif “menempelkan”
atribut negatif dan tidak berdasar. Itulah salah satu hal yang menyebabkan
suku-
2
suku atau penduduk asli mulai dan semakin gencar menyebut diri mereka sendiri
atau komunitas etnik mereka dengan istilah indigenous peoples. Dalam skripsi
ini, penulis memilih menerjemahkan istilah indigenous peoples menjadi ‘suku
asli’.
Definisi untuk istilah suku asli (the indigenous peoples) tidak bisa diberi
“harga mati” sebab istilah ini tidak semata-mata bermakna label ataupun atribut
tertentu, tetapi juga kualitas tertentu dalam diri seseorang. Kriteria untuk siapa
yang dapat disebut indigenous dan siapa yang tidak menjadi persoalan. Sebuah
pendapat mengatakan bahwa setiap orang adalah indigenous di daerah asalnya
masing-masing (Gray dalam Barnes dkk., 1995: 36; Barnes dalam Barnes dkk.,
1995: 308). Jika demikian, persoalan indigenous-ataukah-bukan menjadi relatif,
menjadi tergantung pada konteks geografis. Di samping itu, seiring
perkembangan zaman, akulturasi terjadi terus-menerus sehingga lebih rumit lagi
menentukan yang seperti apa yang bertahan indigenous dan yang seperti apa
yang bukan indigenous lagi.
Ada empat ciri utama dalam pengertian suku asli (the indigenous people).
Ciri pertama yaitu praeksistensi (pre-existence). Yang dimaksud dengan ciri
praeksistensi yaitu suku asli mendiami wilayah asal mereka sejak zaman leluhur,
bahkan sebelum kelompok manusia lain tiba di wilayah tersebut. Ciri kedua
yaitu non-dominance. Suku-suku asli ini justru bukan kelompok yang dominan
di wilayah asal mereka sendiri. Jumlah mereka justru hanya sebagian kecil dari
populasi total penduduk. Ciri ketiga adalah perbedaan kebudayaan (cultural
self-identification as indigenous). Ini berarti mereka mengakui bahwa merekalah
suku asli dari wilayah tertentu. Ciri-ciri di atas dicetuskan oleh The Independent
Commission on International Humanitarian Issues (ICIHI) dalam dokumen
laporan mereka, berjudul Indigenous Peoples: a Global Quest for Justice, yang
diterbitkan pada tahun 1987 (Gray dalam Barnes dkk., 1995: 38). Keempat ciri
tersebut pertama-tama bermanfaat untuk membedakan antara suku-suku asli (the
indigenous peoples) dengan kelompok pendatang.
Julian Burger (Barnes dalam Barnes dkk., 1995: 311) membuat rumusan
karakteristik indigenous peoples. Kriteria yang dibuat Burger tidak mengarah
pada definisi tertentu sebab tidak mesti keseluruhan kriteria cocok dengan
tiap-tiap suku asli. Karakteristik suatu suku asli dapat saja sesuai dengan keseluruhan
kriteria tersebut, tetapi bisa juga hanya sebagian dari karakteristik suku tersebut
yang tercakup dalam rumusan Burger. Berikut ini enam karakteristik indigenous
peoples menurut Burger.
1.6.2.1 Mereka merupakan keturunan dari penduduk yang pertama mendiami
suatu wilayah yang kemudian menjadi taklukan bangsa Barat.
1.6.2.2 Mereka hidup secara berpindah-pindah dengan mempunyai kebun
atau ladang berpindah, memelihara hewan ternak, ataupun menjadi
pemburu pengumpul, yang bercocok tanam secara padat karya dengan
hasil panen yang tidak banyak berlebih serta kebutuhan energi rendah.
1.6.2.3 Mereka belum mengenal lembaga pemerintahan yang terpusat,
pengaturan dilakukan di tingkat komunitas, dan keputusan-keputusan
1.6.2.4 Mereka berbicara dalam bahasa yang sama, memeluk
agama/kepercayaan yang sama, mempunyai kebudayaan yang sama.
Mereka juga mempunyai ciri pengenal yang menunjukkan wilayah
mereka dan pertalian dengan wilayah tersebut, namun hal ini
ditundukkan oleh kebudayaan dan masyarakat yang dominan.
1.6.2.5 Mereka mempunyai pandangan dunia (world view) yang berbeda
yakni yang melindungi dan bersifat nonmaterialis terhadap alam
lingkungan (nature) serta kandungan sumber daya di dalamnya.
1.6.2.6 Mereka terdiri dari orang-orang yang secara objektif menganggap diri
mereka suku asli (indigenous) dan mereka diterima di dalam
kelompok sebagai suku asli juga. (Barnes dalam Barnes dkk., 1995:
311)
Dewasa ini, perspektif suku asli (the indigenous peoples) tidak terbatas
dalam bidang ilmu antropologi atau etnologi semata. Meskipun berangkat dari
disiplin ilmu antropologi, penelitian berperspektif suku asli telah menjadi
interdisipliner sebab sudah mulai digabungkan pula dengan, salah satu
contohnya, psikologi kebudayaan (Kim dkk., 2010: xxi-xxv).
Ketika menetapkan kerangka teori untuk membaca wajah suku asli Papua
lewat novel Tanah Tabu, penulis menghadapi tantangan, yakni harus memilih
teori yang sudah jamak dipergunakan dalam penelitian sastra, misalnya teori
sosiologi sastra, feminisme, atau poskolonialitas. Semula penulis bermaksud
menggunakan teori poskolonialitas. Akan tetapi, seiring berjalannya proses
Barat-Timur, ataupun penjajah-jajahan (colonizer-colonized) dalam novel Tanah Tabu.
Penulis hanya berfokus pada kehadiran suku asli Papua. Dengan demikian, teori
poskolonialitas menjadi mubazir bila “dipaksakan” untuk membaca wajah suku
asli dalam skripsi ini. Dengan dasar tersebut, penulis berketetapan untuk
menggunakan perspektif suku asli (the indigenous peoples) secara konsisten dan
sepenuhnya untuk membaca wajah suku asli Papua lewat novel Tanah Tabu
sekalipun perspektif suku asli belum populer di ranah penelitian sastra.
1.7 Metode Penelitian
Berdasarkan lokasi yang telah ditetapkan, “Membaca Wajah Suku Asli
Papua Lewat Novel Tanah Tabu” merupakan penelitian kepustakaan (library
research). Data-data yang menjadi bahan penelitian ini merupakan data tertulis,
dihimpun dari berbagai pustaka (literatur), mulai dari yang tercetak hingga yang
elektronik. Sebagian besar data penelitian ini memang bersumber dari
perpustakaan.
Dalam penelitian “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah
Tabu”, data yang dipergunakan penulis dikelompokkan menjadi (i) data primer
dan (ii) data sekunder. Yang dipilih menjadi data primer yaitu data yang utamanya
menjadi objek penelitian, yang berkaitan langsung dengan rumusan masalah.
Sehubungan dengan hal tersebut, data primer untuk penelitian ini berupa kutipan
bawah ini dirinci sumber data primer.
Judul : Tanah Tabu
Pengarang : Anindita S. Thayf
Tahun Terbit : 2009
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 237
Di samping data primer, penulis menghimpun data sekunder. Data sekunder untuk
penelitian ini berupa pustaka lain—baik berupa buku, karya ilmiah akademis,
terbitan berkala, maupun bahan bacaan elektronik—yang membantu memecahkan
rumusan permasalahan, di antaranya adalah yang telah disebutkan pada tinjauan
pustaka dan landasan teori.
Pada tahap pengumpulan data, data dihimpun baik dalam bentuk kalimat
maupun wacana. Data yang diambil adalah yang menunjukkan tokoh dan
penokohan, khususnya penokohan suku-suku asli Papua. Berdasarkan bentuk
tersebut, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, yakni penelitian yang
dilakukan dengan data-data yang lengkap secara tipikal. Untuk mengumpulkan
data-data kualitatif dari Tanah Tabu, penulis meminjam metode simak
(observation method) (Kesuma, 2007: 430) dari ranah penelitian bahasa
(linguistik). Metode simak ini dieksekusi melalui teknik catat. Untuk
melaksanakan teknik catat, penulis menyediakan instrumen penelitian berupa
Analisis data dilaksanakan dengan metode deskriptif analitis. Seperti
diterangkan Ratna (2004: 53), metode deskriptif analitis “dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Sesuai
dengan penjelasan yang dikutip tersebut, penulis mendeskripsikan fakta-fakta
yang disarikan dari data penelitian, yaitu dari novel Tanah Tabu, berikutnya
penulis menganalisis data dan fakta yang dimaksud.
Di samping metode deskriptif analitis, peneliti memanfaatkan metode
intuitif (penafsiran) pula sebagai metode berpikir. Hal ini dilakukan supaya
peneliti terbantu dalam pembatasan dan pemilihan data. Dasar penulis
menggunakan metode intuitif dalam penelitian ini adalah untuk memberi
perhatian pada isi pesan dari novel Tanah Tabu.
Pada tahap penyajian hasil analisis data, peneliti melakukan perumusan atas
proses meneliti yang telah dilaksanakan dalam wujud laporan tertulis. Hasil
penelitian dituliskan secara deskriptif, mengikuti metode deskriptif analitis yang
telah dipilih dalam tahap analisis data sebelumnya. Dengan demikian, hasil
penelitian ini berupa deskripsi wajah suku-suku asli Papua berikut ekspresi
kebudayaan mereka yang ditunjukkan dalam Tanah Tabu.
Adapun hasil analisis data disusun menurut metode penyajian secara
informal. Sesuai dengan rumusan Sudaryanto, “[m]etode penyajian informal
adalah perumusan dengan kata-kata biasa—walaupun dengan terminologi yang
teknis sifatnya” (1993: 145). Metode ini dipinjam dari metode penelitian
Temuan-temuan dari proses analisis data serta kesimpulan penelitian
disajikan dalam sebuah laporan tertulis. Laporan tersebut ditulis secara runtut
menurut sistematika penyajian yang disusun oleh penulis. Melalui laporan inilah
diharapkan manfaat penelitian dapat sampai kepada banyak orang.
1.8 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman terhadap penelitian berjudul “Membaca
Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” ini, diberikan sebuah
sistematika yang jelas. Sistematika penyajian hasil penelitian tersebut dirinci
sebagai berikut.
Bab pertama merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data penelitian, dan sistematika
penyajian hasil penelitian ini sendiri.
Bab kedua menjawab rumusan permasalahan yang pertama. Bab ini berisi
sinopsis novel Tanah Tabu.
Bab ketiga menjawab rumusan permasalahan kedua. Bab tersebut berisi
uraian mengenai tokoh dan penokohan yang diciptakan pengarang, Anindita S.
Thayf, dalam novel Tanah Tabu.
Bab keempat menjawab rumusan permasalah ketiga. Bab ini berisi
pembacaan atas wajah suku-suku asli Papua yang dimunculkan dalam Tanah
Bab selanjutnya, yaitu bab kelima, menjadi bagian penutup untuk
keseluruhan hasil penelitian ini. Bab kelima berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan yang dimaksud ialah poin-poin penting dari deskripsi wajah
BAB II
SINOPSIS NOVEL TANAH TABU
2. 1 Pengantar
Bab ini berisi ringkasan novel (sinopsis) Tanah Tabu karya Anindita
Siswanto Thayf. Sinopsis Tanah Tabu penting untuk mengetahui posisi suku asli
dalam cerita dan bagaimana tiap-tiap tokoh suku asli berperan dalam keseluruhan
cerita (lakon). Cerita Tanah Tabu bermanfaat secara tidak langsung untuk
memperkenalkan kebudayaan dan adat-istiadat suku-suku asli Papua kepada
khalayak pembaca novel tersebut. Di dalam penelitian ini, penulis memandang
kebudayaan suku asli sebagai “ekspresi wajah” mereka. Sinopsis membantu
memperjelas ekspresi suku asli. Dari sinilah wajah suku asli dapat dibaca.
Novel Tanah Tabu dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga atau
diaan (third person point of view). Ada 3 tokoh yang menjadi pencerita (narator),
yaitu Leksi, anak perempuan berusia 7 tahun; Kwee, seekor babi kecil piaraan
Mace; dan Pum, anjing pemburu milik suku Dani yang menjadi “bayangan”
Mabel. Tiap-tiap pencerita membeberkan kisah yang dirangkai penulis sesuai
urutan waktu kejadiannya (kronologinya) dan dimasukkan penulis ke dalam
2. 2 Sinopsis Novel Tanah Tabu
Di Lembah Baliem pada tahun 1946, terdapat sebuah perkampungan suku
Dani tempat tokoh Mabel berasal. Mabel dilahirkan di kampung ini pada tahun
1948, dengan nama Waya, dari seorang ibu yang senantiasa ber-sali dan
ber-noken serta seorang ayah yang mahir berburu dan berperang. Di antara tahun 1948
itu sampai sebelum 1956—tidak diterakan persisnya kapan, sekelompok orang
Belanda merambah perkampungan Mabel. Kelompok Belanda ini dipimpin
seorang laki-laki bernama Piet van de Wissel. Mereka mendirikan pos
pemerintahan dan lapangan terbang di Lembah Baliem. Seselesainya pos
pemerintahan dan lapangan terbang dibangun, van de Wissel dan Stappen,
istrinya, berpindah tugas ke pedalaman Mindiptana pada tahun 1956. Sebelum
meninggalkan Lembah Baliem, Hermine Stappen membawa serta Mabel yang
berusia 8 tahun. “Nyonya Hermine, istri Tuan Piet, meminta Mabel menjadi anak
piaraannya.” (Thayf, 2009: 106) “Mabel ... bekerja pada keluarga van de Wissel ...
menjadi pembantu dan pengasuh anak-anak mereka.” (Thayf, 2009: 39)
Hermine Stappen mengganti nama Waya menjadi Anabel. Anabel yang
kelak pada masa tua dipanggil Mabel pun mengikuti Stappen dan van de Wissel
ke berbagai kota tanpa meninggalkan anjing peliharaannya, Pum. Meskipun hanya
selama 6 tahun Mabel menjadi anak angkat keluarga van de Wissel, ia tertular
banyak kultur Barat. Mulai dari kebiasaan makan dan minum, gaya
berpenampilan, hingga kesukaan membaca buku. Stappen dan van de Wissel
tentu dikesampingkan, namun Mabel menjadi modern sebagaimana yang
diceritakan lewat mulut anjingnya berikut ini.
(3) Seiring itu, Mabel juga mulai belajar tentang cara menjaga kebersihan, memasak, menggunakan alat-alat dapur, mengolah makanan kaleng, serta membuat secangkir kopi panas yang tepat manisnya untuk Tuan Piet setiap pagi, serta sedikit-sedikit bahasa Belanda dan Indonesia. Di sela-sela kesibukan barunya itu, Mabel menyempatkan diri pula untuk berkebun. Ia telah meminta izin kepada Nyonya Hermine untuk memakai sedikit halaman belakang rumah sebagai kebun buah dan sayur. Tanpa disangka-sangka, perempuan berambut mengilap itu justru menyuruh Mabel menggunakan seluruh halaman belakang. Tuan Piet malah menyumbang beberapa kantong bibit buah labu yang dibelinya entah dari siapa. (Thayf, 2009: 110)
(4) Saat tiba di Wamena, Mabel terlihat jauh lebih dewasa dari empat tahun lalu. Tak hanya sikap, tetapi juga bentuk tubuh. Ia mencoba memanjangkan rambut layaknya gadis-gadis yang dilihatnya di Manokwari. Hasilnya, rambut Mabel mengembang ke atas sehingga mengharuskannya untuk selalu mengempiskannya dengan bandana kain lebar atau sekadar pita kecil. Begitupun, ia tampak lebih manis dan modern. Ya, Mabel telah lebih manis dan modern, apalagi dengan baju terusan berok lebar, ikat pinggang, dan sepatu putih. ... Kedewasaan dan kemodernan sikap Mabel juga dimatangkan dengan kesukaannya membaca buku. Mabel yang sudah mulai lancar berbahasa Belanda dan Indonesia sering meminjam beberapa buku tipis bersampul menarik dan penuh gambar dari rak buku Tuan Piet. Di beberapa kesempatan, ia malah dipercaya Nyonya Hermine menuntun Ann belajar mengenal huruf.
Aku melihat Tuan Piet dan Nyonya Hermine justru mendukung ketertarikan Mabel pada buku. Mereka malah menambah waktu luangnya pada akhir pekan, dan membiarkan Mabel menghabiskannya dengan hanya membaca buku di kamar atau teras depan. (Thayf, 2009: 121)
Hanyalah keinginan Mabel untuk belajar di bangku sekolah yang tidak terwujud,
tidak didukung oleh Stappen dan suaminya. Patut dikagumi, tekad Mabel untuk
menjadi pribadi pembelajar tidak melemah walaupun tidak didukung oleh
suami-istri Belanda itu. Meskipun Mabel merasakan tidak nyamannya hidup di bawah
(5) Namun anehnya, ketika Mabel berkenalan dengan seorang pemuda Papua yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah anak-anak kampung, dan pemuda itu berhasil menularkan semangat bersekolah murid-muridnya kepada Mabel, lantas beberapa hari kemudian Mabel memberanikan diri meminta kepada Nyonya Hermine dan Tuan Piet untuk disekolahkan pula, mereka malah menolak.
“Kami rasa pengetahuanmu sekarang ini sudah lebih dari cukup, Anabel. Kau sudah sangat maju dari dirimu yang dulu. Bahkan kalau mau, kau bisa mendapat ilmu yang lebih banyak lagi dari membaca buku. Kau ini anak yang cerdas, Anabel. Cepat tanggap dan mudah menyerap setiap pelajaran dari mana pun asalnya, termasuk buku. Jadi untuk apa bersekolah? Apalagi sekolah kampung seperti yang ada sini. Itu hanya untuk anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis,” jelas Tuan Piet.
“Betul kata tuanmu, Anabel sayang. Kau sudah lebih pintar sekarang. Dan yang penting, kau sudah merasa bahagia karenanya, bukan?”
Aku ada di situ selagi Nyonya Hermine bertanya kepada Mabel, yang menjawabnya dengan anggukan pelan.
“Nah, kalau sudah seperti itu apa lagi yang kaucari? Kau sudah bisa baca, tulis, dan berhitung. Menguasai bahasa Belanda dan Indonesia. Kau juga sangat pintar memasak, mengasuh anak, mengurus rumah, sampai berkebun. Apa lagi?”
Nyonya Hermine menyentuh bahu Mabel yang menguncup. ... Seandainya Nyonya Hermine tahu, kata-katanya pada malam itu justru mencambuk niat Mabel untuk terus belajar dan tahu lebih banyak lagi. Sayangnya, keluarga Tuan Piet harus segera kembali ke Belanda dua tahun kemudian. (Thayf, 2009: 122, 123-124)
Pada tahun 1962, keluarga van de Wissel meninggalkan tanah Papua tanpa
membawa Mabel.
Mabel kembali ke perkampungan sukunya. Ia dilamar oleh seorang laki-laki
sesama suku Dani dan tak lama kemudian dinikahkan orang tuanya dengan
laki-laki tersebut. Ketika menikah, umur Mabel belum genap 15 tahun. Selewat 5
bulan, pernikahan ini bubar akibat pecahnya sebuah perang antarsuku. Mabel
menikah untuk kedua kalinya dengan seorang laki-laki suku Amungme bernama
kampung Pace Mauwe, di lereng gunung. Tiga tahun kemudian, perusahaan
pertambangan emas besar berdiri di situ, menggusur keluarga Mabel beserta
penduduk sekampung. Selain kampung mereka terpaksa berpindah, lingkungan
suku Amungme menjadi tercemar karena limbah berat pabrik tambang emas.
Program relokasi perkampungan yang dijalankan perusahaan pertambangan emas
itu tidak dapat mengganti lingkungan hidup yang telah terlanjur tercemar. Si
pencerita, tokoh Pum, mengungkapkannya dalam percakapan dengan tokoh Kwee
si babi sebagai berikut.
(6) Kampung Pace Mauwe digusur perusahaan emas milik pendatang dari lereng gunung tempat tinggal mereka sejak lama. Memang, ada kampung dan rumah baru yang diberikan sebagai gantinya di daerah bawah, tapi cukup jauh dari hutan, apalagi sungai. Dan, Kwee, kau mungkin tidak akan percaya kalau kubilang hutan itu sekarang tidak lagi menghasilkan sagu, sedangkan sungainya dipenuhi kotoran perusahaan itu. Terkenangku pada suatu pagi ketika ada banyak ikan tiba-tiba mengapung mati di sungai itu, dan banyak penduduk memungutnya untuk dibakar, tapi Mabel tidak tergoda sama sekali. Ia bilang ikan itu mati karena sakit, dan siapa pun yang memakannya juga akan bernasib sama. Sakit lalu mati. Itulah saat Pace Mauwe marah besar untuk pertama kalinya. Ia tidak punya kebun untuk digarap dan sudah lama tidak makan daging. (Thayf, 2009:135-136)
Dengan keadaan demikian, kebutuhan mendasar seperti pangan jadi
semakin mendesak. Untuk bertahan hidup bersama keluarganya, Pace Mauwe
mencari pekerjaan. Dia menemukannya justru di perusahaan pertambangan emas
milik pendatang. Di sana, Pace Mauwe bekerja sebagai tukang sapu dan mendapat
upah. Mula-mula upah menyapu dibelanjakannya untuk kebutuhan makan. Tetapi,
karena tidak terbiasa dengan cara diupah dan pengaturan keuangan, Pace Mauwe
kali dan seterusnya, Pace Mauwe mulai membeli minuman keras dan memakai
jasa pelacur. Perilaku mabuk-mabukan dan main perempuan tersebut merebak
seiring dengan kehadiran perusahaan pertambangan emas. Kebiasaan Pace
Mauwe berubah menjadi boros, suka bersenang-senang, bermabuk-mabukan.
Kepribadiannya yang dahulu disukai Mabel pun hilang.
(7) Gara-gara upah itu, Kwee, Pace Mauwe berubah. Dia jadi suka mabuk-mabukan dan pergi sampai jauh malam. Kata orang-orang, ia bersenang-senang dengan Paha Putih di tempat minum yang buka sampai pagi. Mabel pernah mendapatinya. Mengomeli dan menariknya pulang ke rumah. Tapi dasar laki-laki tidak tahu diri! Ia malah memukul Mabel, dan Johanis kecil juga. Aku yang kebetulan ada di situ diusirnya dengan lemparan botol. Sejak itu, Kwee, hidup Mabel semakin menderita. Pace Mauwe menolak berubah, bahkan makin ganas menyiksa kami. Akhirnya, Mabel, Johanis, dan aku memilih pindah. Kami sempat berganti rumah sewa sekali hingga akhirnya sampai di tempat ini. Hidup miskin bertiga, tapi cukup bahagia karena tidak ada yang menyakiti kami lagi. (Thayf, 2009: 136)
Sebagaimana diceritakan oleh Pum oleh si anjing, Pace Mauwe yang sering
mabuk pun melakukan kekerasan pada istri dan anaknya. Mabel berkeputusan
meninggalkan Pace Mauwe. Dia membawa anak laki-lakinya, Johanis, dan Pum
ke rumah kontrakan di kampung yang lain. Walaupun kehidupan Mabel menjadi
prihatin secara material, ia lebih berbahagia tanpa orang yang menyakitinya.
Kurang lebih pada umur 19 tahun, Johanis menikah. Ia dan istrinya, Lisbeth,
tinggal di sebuah kampung, berpencar dari Mabel yang memilih tinggal di Kota
Dolar, Timika. Lisbeth yang di dalam novel lebih akrab dipanggil Mace
melahirkan seorang anak laki-laki bernama Lukas. Untuk menafkahi istri dan
anak itu, Pace Johanis memutuskan merantau ke kota. Mace tetap berada di
orang berciri militer. Perkosaan atas Mace diketahui oleh Pace Johanis saat ia
sedang pulang kampung.
(8) Asal kau tahu, setelah kejadian itu, Ibu menuturkan pula bahwa Pace Johanis yang sempat pulang ke kampung dan mengetahui hal tersebut menjadi sangat marah. Anehnya, marah itu justru ditimpakannya kepada Mace, bukan kepada para pemerkosanya. Kata Ibu, Pace Johanis kerap memaki Mace, bahkan di depan Lukas, sebagai pelacur, penggoda lelaki, dan masih banyak hinaan tak pantas lainnya. Jadilah Mace korban caci maki suaminya sendiri yang menganggapnya sebagai perempuan kotor yang pantang disentuh. Pace Johanis pun meneriakkan kata pisah, lalu melangkah pergi sambil mengancam tak akan kembali. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa kali Pace Johanis masih tergerak untuk datang lagi ke kampung menemui Mace dan Lukas, meskipun pada akhirnya laki-laki itu akan menenggelamkan diri dalam berbotol-botol minuman keras di warung kampung, sebelum kemudian pulang dalam keadaan mabuk berat, mendapati Mace yang sedang menunggu di rumah, memukulinya sampai puas, dan terakhir menidurinya tanpa sadar. Kejadian tersebut terus berulang hingga Mace mengaku hamil. Kala itu, Pace Johanis bersumpah anak yang sedang dikandung Mace bukanlah anaknya, melainkan anak orang lain. (Thayf, 2009: 227-228)
Dalam keadaan marah tanpa berpikir terlebih dahulu, Pace Johanis memaki,
bermabuk-mabukan, memukuli, sampai memaksakan hubungan seksual pula pada
Mace hingga Mace mengandung. Anak yang dilahirkan kemudian dinamai Leksi.
Pace Johanis tidak mau jujur mengakui bahwa Leksi tak lain adalah anaknya.
Laki-laki itu pergi lagi tanpa pernah kembali pada keluarganya.
Mace membawa Lukas dan Leksi meninggalkan kampung. Dengan diikuti
babi piaraannya, Mace pergi menuju kota tempat tinggal ibu mertuanya, Mabel,
yaitu Timika. Timika berjuluk Kota Dolar. Di sanalah Mace, Lukas, dan Leksi
kemudian tinggal bersama Mabel. Empat bulan berikutnya, Lukas yang
sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka selanjutnya, Mace membantu
Mabel menjual hasil kebun di pasar. Mabel sendiri berdagang pinang serta
sesekali mengerjakan pesanan noken. Dari pekerjaan ini, Mabel dan Mace
memperoleh cukup uang untuk membayar sewa rumah dan biaya sekolah Leksi.
Leksi duduk di bangku kelas 1 SD. Di lingkungan rumah, ia berteman
dengan Yosi dan Karel. Yosi, teman akrab Leksi, tinggal sebelah rumah Leksi.
Yosi adalah anak Mama Helda dan Pace Poro Boku. Adapun Mama Helda sempat
akrab dengan Mabel beberapa tahun lampau. Namun, berbeda halnya dengan
Karel. Walaupun Mabel dan Leksi sendiri kurang menyukai Karel, Leksi tetap
berteman dengan anak kaya itu. Hampir setiap kali bermain dengan Leksi dan
Yosi, Karel membawa mainan baru. Ayahnya, Pace Gerson, adalah pemimpin
partai Belahan Jiwa Rakyat. Mabel “alergi” (baca: bersikap sangat kritis) terhadap
Pace Gerson. Sikap Mabel ini ditujukan pada segala janji kosong dan propaganda
partai Pace Gerson. Tidak disangka Mabel, Karel pernah mengajak Leksi ke
rumahnya dan pada waktu itulah Pace Gerson “mempromosikan” partainya pada
Leksi.
(9) Selanjutnya, pembicaraan kami kembali tersambung. Laki-laki itu mulai berbicara tentang hal lain. Tentang partai.
“Leksi, kau memang masih kecil. Tapi biar kuberitahu, partai-partai yang kausebut tadi adalah partai murahan. Mereka berbeda dari partaiku, Nak. Partai yang paling berkelas.”
Lalu Pace Gerson mengarahkan telunjuknya pada selembar poster raksasa yang dipajang di salah satu dinding ruang tamunya. Tepat di sebelah pintu kamar yang tertutup. Poster itu berwarna cokelat.
“Partai Belahan Jiwa Rakyat!”
“Kujelaskan kepadamu, Nak. Partai kami sudah terbukti tak terkalahkan. Warna cokelat berarti kami ibarat tanah yang selalu siap menjadi tumpuan rakyatnya. Tanah yang subur dan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan gambar ikan berarti negara kita adalah negara kepulauan yang dikelilingi laut.” Ia menjelaskan dengan gagah hingga membuatku terperangah. (Thayf, 2009: 205-206)
Kemudian musim panen tiba di Kota Timika pada suatu waktu. Ada banyak
sayur dan buah yang dihasilkan dari kebun Mace dan Mabel. Kedua perempuan
ini membawa hasil panen mereka ke pasar tradisional untuk dijual, sama dengan
yang dilakukan para pedagang lainnya. Seperti Mabel dan Mace,
pedagang-pedagang ini adalah suku asli Papua yang lebih umum disebut sebagai orang
Komen. Pada tahun sebelumnya, pedagang sayur-mayur dan buah-buahan ini,
termasuk Mace dan Mabel, mendapat janji dari perusahaan pertambangan emas
besar bahwa perusahaan bersangkutan akan membeli hasil panen sayur serta buah
dari para pedagang Komen.
(10) “Tapi bukankah sekarang kita tidak perlu khawatir lagi.” Mabel yang tiba-tiba muncul dari lapak sebelah membalas ucapan Mace. “Perusahaan itu sudah buat kesepakatan dengan orang-orang kita. Mereka bilang mau membeli sayur kita untuk pegawainyaa. Buktinya, panen kemarin kita tidak rugi. Semua habis diborong. Jadinya, aku bisa menyekolahkan Leksi dan memperbaiki dinding sumur. ... Lihat saja sebentar, orang perusahaan itu pasti datang mengambil sayur. Makanya sudah kusiapkan sayur mana yang mau mereka bawa nanti.”
Hasil panen para pedagang Komen dibeli oleh perusahaan pertambangan emas
pada tahun yang lalu. Akan tetapi, hasil panen pedagang Komen pada tahun ini
tidak dipedulikan oleh perusahaan, padahal mereka sudah mengelompokkkan
sebagian besar sayur dan buah untuk dijual pada perusahaan bersangkutan.
Pedagang-pedagang Komen mengalami rugi yang tidak sedikit sehingga mereka
kecewa dan ingin memprotes.
(11) Aku menduga ia telah menghadiri sebuah pertemuan rahasia yang bertujuan jahat. Nyatanya, ketika aku berada di tengah orang-orang ini, sama sekali tidak kudengar pembicaraan tentang itu. Mereka hanya ingin berdemo.
“Sudah kubilang dari kemarin-kemarin, lebih baik kita demo saja. Titik! Tidak usah ada pertemuan atau pembicaraan. Perusahaan itu tidak akan pernah mau mendengar suara kita. Kalaupun dengar, mereka pasti pura-pura tidak mengerti. Kita pakai bahasa Papua, mereka pakai bahasa Indonesia. Kita ubah pakai bahasa Indonesia, mereka malah bicara bahasa asing. Kesimpulannya, mereka menganggap kita ini bodoh. Tidak sederajat dengan mereka. Jadi lebih baik kita demo saja.”
“Ya, setuju! Aku setuju kita demo.” “Aku juga.”
“Sa juga setuju! Apalagi kalau demonya di jalan besar sana biar mobil perusahaan itu tidak bisa lewat dan pegawainya tidak masuk kantor. Bagaimana?”
“Wah, itu ide yang bagus! Bagus sekali. Sa dukung itu.”
Itulah suara-suara yang menyesaki ruang tamu sempit di sebuah rumah milik seorang paitua yang kukenal sebagai penjual labu di pasar. Saat ini,
si paitua sedang berusaha membantu Mabel menenangkan seorang
pemuda berambut gimbal yang berbicara sangat berapi-api. Pada wajah legamnya, tampak jelas ekspresi kemarahan yang lama terpendam, sementara sepasang matanya terus-menerus menyorot tajam. Kuyakin pemuda itu siap mengamuk kapan saja jika tak segera dihentikan. Seingatku, sosok pemuda itu pernah kulihat berjualan sayur di dekat parkiran pasar. Saat menawarkan jualannya, suaranya pun selantang itu. Ya, aku ingat sekarang. Dia benar pemuda yang kumaksud.
“Tahan dulu sebentar, Anak. Tahan dulu! Kita harus pikir baik-baik sebelum melakukan sesuatu yang mungkin bisa merugikan orang lain.”
“Tapi, Mabel, kita sendiri sudah rugi!”
melarang mobil dan pegawai mereka masuk kantor, begitu? Lantas, apa ada yang berani menjamin setelah demo nanti pihak perusahaan akan langsung membeli sayur kita seperti janji mereka? Bagaimana kalau justru sebaliknya? Mereka tidak mau bekerja sama lagi dengan kita karena takut. Bukankah begitu tanggapan banyak pendatang tentang sikap kita, para penduduk asli: sangar dan bikin takut?” (Thayf, 2009: 171-173)
Mabel menggalang mereka untuk berunjuk rasa dengan cara yang rasional dan
sehat, namun sebagian besar pedagang tidak bisa mengesampingkan emosi
mereka yang meninggi. Sejumlah pedagang bereaksi dengan marah. Akan tetapi,
sesungguhnya mereka tidak berdaya melawan perusahaan pertambangan emas itu.
Beberapa waktu sebelum Pilkada yang diikuti oleh Partai Belahan Jiwa
Rakyat tiba, meletus sebuah pertikaian suku di wilayah Timika. Seorang Mama
Pembawa Berita bernama Mote menyebarkan kabar perkembangan perang yang
terjadi saat itu. Mabel mengecam perang tersebut secara terang-terangan. Di
depan Mama Pembawa Berita, Mabel berbicara dengan pedas bahwa perusahaan
penambangan emas adalah dalang di balik pertikaian itu. Mama Pembawa Berita
memperhatikan kritik Mabel yang memerahkan telinga itu. Dalam benak Mama
Pembawa Berita, timbul maksud buruk untuk menjebak Mabel.
Selepas pertikaian suku, rumah Mabel dikunjungi seorang tamu dari Biak.
Tamu itu seorang perempuan bernama Mama Kori. Saat menginap di rumah
Mabel, Mama Kori berkisah kepada Mace dan Leksi mengenai peristiwa pahit
dalam hidup Mabel di masa silam, di antaranya bahwa Mabel pernah ditahan oleh
militer atas tuduhan yang tidak jelas.
Sementara Mama Kori sedang menuturkan ceritanya pada malam itu, suara