• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca wajah suku asli Papua lewat novel Tanah Tabu - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Membaca wajah suku asli Papua lewat novel Tanah Tabu - USD Repository"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

LEWAT NOVEL TANAH TABU

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Rosa Sekar Mangalandum

NIM: 074114004

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

LEWAT NOVEL TANAH TABU

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Rosa Sekar Mangalandum

NIM: 074114004

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Mei 2011

Penulis

Rosa Sekar Mangalandum

(6)

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata

Dharma:

Nama : Rosa Sekar Mangalandum

NIM : 074114004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Membaca Wajah

Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” beserta perangkat yang diperlukan

(bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas

Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya

dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada

saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 16 Mei 2011

Yang menyatakan,

Rosa Sekar Mangalandum

(7)

KATA PENGANTAR

Tugas akhir ini berjudul “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel

Tanah Tabu”. Tugas akhir tersebut ditulis sebagai pemenuhan syarat untuk

memperoleh gelar sarjana sastra dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas

Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Judul dan topik tugas akhir

bersangkutan dipilih penulis karena tokoh-tokoh suku asli tanah Papua dalam

novel Tanah Tabu menarik untuk dibaca karena pembacaannya menggunakan

perspektif the indigenous peoples.

Penulis menerima kontribusi secara akademis dan dukungan dari berbagai

pihak dalam proses mengerjakan tugas akhir “Membaca Wajah Suku Asli Papua

Lewat Novel Tanah Tabu”. Sebelum menyatakan rasa terima kasih kepada

pihak-pihak yang dimaksud, penulis lebih dahulu menyatakan rasa syukur dan terima

kasih kepada Allah Yang Maharahim atas karunia dan rahmat-Nya. Berikut ini

adalah mereka yang telah memberi kontribusi akademis dan dukungan positif

kepada penulis dalam proses pengerjaan tugas akhir ini:

1. Drs. B. Rahmanto, M. Hum. dan S. E. Peni Adji S. S., M. Hum. yang

memberikan saran, kritik, dan waktu untuk berdiskusi dengan mereka sebagai

dosen pembimbing penulisan tugas akhir bagi penulis,

2. Drs. Hery Antono, M. Hum. selaku dosen pembimbing akademik penulis

sepanjang tahun 2007-2011,

3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum. selaku dosen penguji utama yang telah

(8)

Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Di samping itu, penulis berterima kasih dengan bangga kepada Bulan Lumban

Gaol, Ignatia Sukmawardhani, R. Pudji Tursana, Ath. Kristiono Purwadi, SJ, Liat

Lumban Gaol, Petrus Agung Byastanto, dan Alfonsus Biru Kira, SJ. Terima kasih

kepada Bulan Lumban Gaol, Ignatia Sukmawardhani, dan Ath. Kristiono

Purwadi, SJ karena mengawal ketat penulis, baik selama proses penulisan tugas

akhir, maupun jauh sebelumnya dan sesudahnya. Terima kasih kepada Liat

Lumban Gaol dan Petrus Agung Byastanto karena memberikan dukungan

finansial kepada penulis, baik selama proses penulisan tugas akhir, maupun jauh

sebelumnya dan sesudahnya. Terima kasih kepada R. Pudji Tursana dan Alfonsus

Biru Kira, SJ karena dengan kebaikan hatinya memberikan dukungan fasilitas

bagi proses penulisan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa, walaupun dikerjakan dengan usaha terbaik

penulis, tugas akhir “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah

Tabu” tidak sempurna. Setiap kekurangan, ketidaktelitian, dan kekeliruan dalam

tugas akhir tersebut merupakan tanggung jawab penulis. Dengan rendah hati,

penulis terbuka pada saran dan kritik atas isi tugas akhir.

(9)

If you have come to help me

You can go home again

But if you see my struggle

As part of your own survival

Then perhaps we can work together*

(kata-kata seorang perempuan Aborigin Australia)

      

*

(10)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 5

1.5 Tinjauan Pustaka ... 6

1.6 Kerangka Teori ... 12

1.6.1 Tokoh dan Penokohan (Characterization) ... 13

(11)

1.8 Sistematika Penyajian ... 23

BAB II SINOPSIS NOVEL TANAH TABU ... 25

2.1 Pengantar ... 25

2.2 Sinopsis Novel Tanah Tabu ... 26

BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL TANAH TABU .... 38

3.1 Pengantar ... 38

3.2 Tokoh dan Penokohan dalam Novel Tanah Tabu ... 39

3.2.1 Mabel ... 39

3.2.2 Mace ... 43

3.2.3 Leksi ... 47

3.2.4 Mama Kori ... 50

3.2.5 Pum ... 51

3.2.6 Kwee ... 52

3.2.7 Ibu Mabel ... 53

3.2.8 Ayah Mabel ... 54

3.2.9 Pace Mauwe ... 56

3.2.10 Pace Johanis ... 57

3.2.11 Yosi ... 58

3.2.12 Mama Helda ... 59

3.2.13 Pace Poro Boku ... 60

3.2.14 Karel ... 61

(12)

3.2.17 Pemuda Meno ... 63

3.2.18 Pace Arare... 65

3.2.19 Hermine Stappen ... 65

3.2.20 Piet van de Wissel... 67

3.2.21 Kelompok orang berseragam dan bersenjata ... 67

BAB IV WAJAH SUKU ASLI PAPUA DALAM TANAH TABU ... 70

4.1 Pengantar ... 70

4.2 Wajah Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu ... 72

4.2.1 Ditaklukkan oleh Belanda Kolonial ... 72

4.2.2 Dijajah Secara Internal oleh Pendatang ... 75

4.2.3 Menjadi Korban ... 81

4.2.4 Minoritas ... 84

4.2.5 Pengaturan Kekuasaan dalam Masyarakat Suku Asli ... 87

4.2.6 Pandangan Dunia Suku Asli terhadap Alam ... 89

4.3 Wajah Kaum Perempuan Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu ... 96

4.3.1 Atribut Kultural Perempuan Suku Asli ... 96

4.3.2 Kewajiban Rumah Tangga dan Kekerasan Domestik ... 98

4.3.3 Bersekolah, Bekerja, dan Berkumpul ... 100

BAB V PENUTUP ... 104

5.1 Kesimpulan ... 104

5.2 Saran ... 108

(13)

ABSTRAK

Mangalandum, Rosa Sekar. 2011. Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Secara harfiah, membaca wajah ialah menangkap ekspresi wajah untuk memahami si pemilik wajah dan juga untuk berkomunikasi dengannya. Tetapi, di dalam skripsi ini, wajah yang dimaksud adalah wajah pelaku-pelaku dalam novel

Tanah Tabu sehingga wajah para pelaku dapat dibaca dari unsur intrinsik tokoh

dan penokohan. Suku asli Papua (the indigenous Papua) yang dibaca lewat novel

Tanah Tabu menampilkan “ekspresi wajah” melalui adat-istiadat, ritual, mata

pencaharian/penghidupan, perilaku berbahasa, pertalian antara suku asli dengan tanah asal, dan juga persoalan masyarakat serta kebudayaan pendatang yang meminggirkan suku asli. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan wajah suku-suku asli Papua, sebagai sosok yang terpinggirkan dari pandangan utama (pusat perhatian pembaca), melalui ekspresi-ekspresi kebudayaan suku mereka di dalam novel tersebut dengan memanfaatkan perspektif the indigenous peoples.

Pembacaan dipusatkan pada novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Penulis memanfaatkan yaitu teori strukturalisme sastra mengenai unsur intrinsik tokoh dan penokohan dalam prosa fiksi serta perspektif the indigenous peoples. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode yang dipakai untuk melakukannya ialah metode deskriptif analitis.

Dalam penceritaan novel Tanah Tabu mengenai suku asli Papua, baik suku yang disebut secara spesifik seperti Dani dan Amungme maupun yang disebut hanya dengan istilah orang Komen dan orang Meno, penulis membaca wajah praeksistensi suku asli. Suku Dani ialah penduduk asli (original inhabitants) di Lembah Baliem, sedangkan suku Amungme ialah penduduk asli di kawasan Gunung Nemangkawi. Secara turun-temurun, mereka menempati dan membangun kehidupan di atas tanah mereka masing-masing sehingga dengan demikian merekalah pemilik tanah itu. Sebagai pemilik secara adat, suku asli Papua yang ditokohkan dalam Tanah Tabu menunjukkan wajah memelihara dan nonmaterialis terhadap alam. Mereka mempertahankan tempat khusus bagi alam dengan menyebutnya Tanah Ibu. Sebagian suku asli setia melindungi tanah adat sesuai dengan kepercayaan tradisional, namun sebagian yang lain tanpa rasa malu malah menjual tanah adat kepada perusahaan pertambangan emas.

(14)

tradisional, alat tukar tradisional, mata pencaharian, bahasa ibu, hingga noken

menjadi terasing dari suku asli sendiri.

Tidak luput, kaum perempuan suku asli menampilkan wajah yang ditundukkan dan diminoritaskan secara berlapis. Perempuan di dalam Tanah Tabu

(15)

Mangalandum, Rosa Sekar. 2011. Reading the Indigenous Papua’s Visage through Tanah Tabu. An undergraduate thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

To read someone’s visage, literally, is to catch one’s countenance, intended for an understanding of the visage owner and also for communication with her/him. But, within novel, visage refers to those of the characters’, thus can they be read through characterization. The indigenous peoples of Papua’s visage which is read through Tanah Tabu shows their “countenance” by means of the people’s customary laws, rites, their means of livelihood, language they speak as means of communication, the indigenous’ relationship to their motherland, as well as how newcomers’ society and culture has problematically marginalized the indigenous of Papua. These things then inspired this research with an objective of analysing and describing the indigenous Papua’s visage, as figures that has always been put aside of the readers’ central attention, through their cultural expressions within the novel, using the indigenous peoples’ perspective.

This research focuses its discussion to a novel entitled Tanah Tabu written by Anindita S. Thayf. This is a library research. The approach applied in it is the literary structuralism theory about characters and characterization in fictional prose and the indigenous peoples perspective, while the method used is the descriptive analysis method.

Tanah Tabu recounts the indigenous Papua either by calling them using

terms, such as orang Komen and orang Meno, or mentioning specifically their names, Dani and Amungme. Through this account, their visage of pre-existence is figured out. The indigenous Papua have had, for generations, occupied and built their life as original inhabitants, for example the Dani in Baliem Valley and the Amungme in Mount Nemangkawi. Accordingly, it is they who owned the land of their ancestor. The indigenous peoples, as traditional owner of the land, expresses a world view consisiting of a custodial and nonmaterialist attitude toward nature and this is also seen as these peoples’ typical visage. They preserved a particular place for nature by calling it Tanah Ibu, ‘Earth Mother’. Nonetheless, a part of the indigenous Papua was faithful to take care of their ancestor’s land according to traditional belief, whereas other part traded the land shamelessly with a mining company.

(16)

themselves.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, wajah adalah bagian tubuh yang

menampilkan ekspresi-ekspresi yang bisa menunjukkan diri atau kepribadian

seseorang. Ekspresi-ekspresi ini disebut ekspresi wajah (raut muka). Kamus Besar

Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat mengemukakan beberapa arti

lema wajah. Dua di antaranya adalah ‘bagian depan dari kepala, roman muka,

muka’ dan ‘apa-apa yang tampak lebih dulu’ (Departemen Pendidikan Nasional,

2008: 1553). Artinya, wajah berada di bagian depan dan selalu tampak lebih dulu.

Wajah penting dalam proses saling mengenal, berkomunikasi secara langsung,

dan juga ketika bercermin. Secara harfiah, membaca wajah dapat dilakukan

dengan menangkap ekspresi wajah untuk memahami si pemilik wajah dan juga

untuk berkomunikasi dengannya.

Tetapi, yang dimaksudkan dalam skripsi ini bukanlah wajah yang bermakna

harfiah, melainkan wajah—secara konotatif—para pelaku novel Tanah Tabu yang

dapat dibaca lewat aspek tokoh dan penokohan. Sesuai dengan judul skripsi ini,

yaitu “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu”, wajah yang

dimunculkan ialah wajah para tokoh suku asli Papua (the indigenous Papua). Para

tokoh suku asli Papua dalam Tanah Tabu menampilkan “ekspresi wajah” melalui

(18)

(relasi) antara suku asli dengan tanah asal (alam, lingkungan), dan juga persoalan

masyarakat serta kebudayaan pendatang yang meminggirkan suku asli.

Objek pembahasan skripsi “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel

Tanah Tabu” ialah novel Tanah Tabu. Memenangi Sayembara Novel DKJ 2008,

Tanah Tabu merupakan karya seorang pengarang perempuan asal Makassar,

Anindita Siswanto Thayf. Oleh PT Gramedia Pustaka Utama, karya tersebut

diterbitkan pada tahun 2009. Di dalam novel ini, pengarang mengisahkan suku

Dani yang hidup di Timika—dijuluki Kota Dolar—lewat tokoh Mabel, Mace, dan

Leksi. Meskipun tokoh Mabel dan Mace adalah dua perempuan Papua yang

menjadi kunci di dalam penceritaan, Thayf justru tidak memberi kesempatan pada

mereka untuk berbicara secara langsung. Mabel ataupun Mace bukanlah narator.

Kedua perempuan ini sesungguhnya hanya diceritakan lewat mulut seorang anak

perempuan kelas 1 SD, seekor anjing pemburu, dan seekor babi kecil.

Peristiwa-peristiwa lainnya dalam Tanah Tabu juga meluncur dari mulut ketiga narator

tersebut. Si anak perempuan menceritakan bagaimana pedagang-pedagang sayur

di pasar berkelompok merencanakan aksi protes terhadap perusahaan tambang

emas yang membuat mereka rugi besar, sementara sebuah partai politik

mengumbar janji semata dalam kampanye yang dilakukan di pasar tradisional

yang sama. Si anjing pemburu berkisah tentang kehidupan di suatu perkampungan

suku Dani di Lembah Baliem pada tahun 1946. Si babi kecil bercerita tentang

kejadian penangkapan Mabel dan perkosaan yang dialami Mace. Kedua tindakan

(19)

Melalui pelbagai ekspresi mereka—di antaranya melalui tokoh Mabel,

Mace, Leksi, Mama Helda, Pace Mauwe, Pace Johanis, dan lain-lain—dalam

novel Tanah Tabu, suku asli Papua (the indigenous Papua) mengkomunikasikan

keadaan mereka. Di dalam Tanah Tabu, tokoh Pum mengungkap keterusiran suku

Amungme dari tanah leluhur mereka di Gunung Nemangkawi. Pendatang

mendirikan sebuah penambangan emas raksasa di gunung itu, merampok wilayah

dan penghidupan suku Amungme, padahal kepercayaan suku (folk belief)

menyatakan bahwa orang-orang Amungme yang telah meninggal akan berpulang

jiwanya ke Gunung Nemangkawi.

Apa yang melatarbelakangi proses membaca wajah suku asli Papua dalam

skripsi ini? Sebentuk wajah penting dibaca supaya si pemilik wajah dikenali dan

dapat dipahami. Apabila si pemilik wajah dikenali, label-label yang bersifat

menghakimi dan menggeneralisasi perlahan-lahan akan terhapus. Dengan

membaca wajah suku asli Papua, dapat dimengerti kebutuhan, kepentingan, dan

keinginan mereka. Berikutnya, label “primitif” atas suku asli Papua tidak perlu

dilanggengkan. Menyitir bunyi sebuah pepatah, “Tak kenal, maka tak sayang,”

penulis berpendapat bahwa apabila wajah suku asli Papua dikenali dan dipahami,

stereotipe atas suku asli sebagai “yang kelas dua” bisa diputus pewarisannya.

Sepanjang pengetahuan penulis, belum marak penelitian yang dilakukan ahli

ilmu sastra Indonesia atas sosok suku asli Papua dalam karya sastra. Sosok-sosok

tersebut masih dilewatkan. Karena itu, penulis memilih mengangkat sosok suku

(20)

Upaya penulis mengangkat sosok suku asli Papua dalam Tanah Tabu

dilakukan dengan cara memaparkan sinopsis (ringkasan cerita) Tanah Tabu

kemudian menjelaskan aspek tokoh dan penokohan (characterization) di

dalamnya. Penulis membaca wajah suku asli Papua dalam karya tersebut

menggunakan perspektif suku asli (the indigenous peoples). Penulis berharap,

upaya pembacaan ini akan menggerakkan suku-suku asli Nusantara untuk menulis

tentang kehidupan mereka sendiri.

Penggunaan beberapa peristilahan khas penelitian the indigenous peoples

dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk mengakrabi

peristilahan kunci dalam ranah penelitian tersebut, tidak untuk menjadikan bahasa

Indonesia inferior di hadapan bahasa bangsa Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diaparkan di atas,

pertanyaan yang hendak dijawab melalui penelitian “Membaca Wajah Suku Asli

Papua Lewat Novel Tanah Tabu” dirumuskan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana sinopsis novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf?

1.2.2 Bagaimana tokoh dan penokohan yang diciptakan pengarang?

1.2.3 Bagaimana wajah suku asli Papua diekspresikan (ditunjukkan) dalam

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian kepustakaan ini sesuai dengan poin yang

telah dinyatakan pada bagian rumusan masalah. Tujuan penelitian:

1.3.1 memaparkan ringkasan cerita atau sinopsis Tanah Tabu karya Anindita S.

Thayf,

1.3.2 menjelaskan aspek tokoh dan penokohan dalam novel tersebut,

1.3.3 mendeskripsikan wajah suku asli Papua dalam novel Tanah Tabu melalui

ekspresi-ekspresi kebudayaan suku tersebut dengan memanfaatkan

perspektif the indigenous peoples.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian ini berisi deskripsi wajah suku asli Papua (the indigenous Papua),

di antaranya suku Dani dan Amungme, yang ada dalam novel Tanah Tabu,

menggunakan perspektif the indigenous peoples. Dari penelitian ini, dapat

diketahui pula sinopsis novel Tanah Tabu serta tokoh dan penokohan yang

diciptakan pengarangnya, Anindita S. Thayf.

Secara sederhana, pembacaan ini merupakan bentuk apresiasi atas karya

sastra Indonesia, terutama prosa (novel). Diharapkan juga pembacaan ini

bermanfaat mendorong dan menginspirasi orang-orang lain untuk menambah

ragam apresiasi sastra. Penggunaaan perspektif the indigenous peoples di dalam

skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian sastra.

Karya sastra semacam novel Tanah Tabu mempunyai manfaat praktis untuk

(22)

Tanah Tabu yang mengangkat Papua dalam penceritaannya mempunyai manfaat

mengenalkan kebudayaan suku asli Papua. Kehadiran skripsi yang membahas

novel Tanah Tabu seperti ini bermanfaat untuk membuka pandangan baru bagi

pembaca-pembaca yang hendak mulai memahami persoalan suku asli Papua.

Penulis mengharapkan skripsi ini bermanfaat menggerakkan suku-suku asli

Papua untuk menulis sendiri tentang kehidupan, masyarakat, dan kebudayaan

mereka secara terbuka. Penulis yakin bahwa suku asli Papua tidak perlu

terus-menerus dituliskan oleh kaum pendatang ataupun oleh bangsa Barat.

1.5 Tinjauan Pustaka

Hasil penelitian mengenai nilai dan pandangan hidup suku-suku asli Lembah

Baliem telah ditulis oleh putra Baliem sendiri, yakni oleh Alua dkk. (2006:

vii-viii). Buku ini merupakan kumpulan dari lima tulisan hasil penelitian yang

berbeda. Tulisan-tulisan tersebut membahas perihal satuan kemasyarakatan

suku-suku asli Lembah Baliem, penjelasan tentang bentuk fisik maupun nilai-nilai di

balik komunitas silimo, situasi hubungan sosial budaya di antara para perempuan

Lembah Baliem dengan kaum laki-lakinya, pakaian tradisional, serta local

wisdom di Lembah Baliem tentang perilaku menghormati alam lingkungan. Selain

berpendekatan antropologis, hasil penelitian yang dibukukan ini bernuansa teologi

berhubung ketiga penulisnya memiliki latar belakang studi teologi.

Menurut Alua dkk. (2006: vii) pada bagian kata pengantar, “unsur-unsur

sub[j]ektivitas sebagai orang Baliem cukup mewarnai dalam pembahasan

(23)

buku ini sebagai acuan adalah karena dari novel yang dikaji, meskipun sama-sama

berbicara tentang suku asli Papua, tidak satu pun ditulis oleh orang Papua sendiri.

Penulis perlu mengetahui situasi suku-suku tersebut dari sudut pandang mereka

sendiri untuk meminimalisasi bias.

Amiruddin dan de Soares (2003: 6-7) menulis sebuah buku mengenai suku

Amungme, salah satu suku asli di tanah Papua, dalam rangka memperjuangkan

hak adat suku tersebut dari konsesi kepemilikan PT Freeport Indonesia. Buku

yang mereka tulis berjudul Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer.

Dari buku ini, diperoleh cerita rakyat (folklore) tentang asal-usul suku Amungme

di tanah Papua dan mengapa Gunung Nemangkawi dipandang suci oleh mereka.

Pembahasan Amiruddin dan de Soares berlanjut dengan permulaan masuknya PT

Freeport Indonesia ke Timika sebagai anak perusahaan Freeport-McMoRan

Copper and Gold Inc. Pembahasan tersebut dimaksudkan sebagai konteks

kesejarahan perkembangan PT Freeport Indonesia sehingga selanjutnya dapat

dianalisis apakah keberadaaan perusahaan pertambangan tersebut diperuntukkan

bagi kesejahteraan suku asli Papua, khususnya suku Amungme, atau

sesungguhnya ada kepentingan lain di baliknya. Amiruddin dan de Soares

mengemukakan secara deskriptif perjuangan suku Amungme sepanjang tahun

2000 hingga 2003 untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah Indonesia

sendiri dan dari PT Freeport Indonesia sebagai pemilik Gunung Nemangkawi

secara adat.

Selain itu, reportase tentang suku asli Papua pun telah ditulis oleh

(24)

ke tanah Papua dan kemudian dibukukan (Yuniarti, 2008: ix-x). Buku yang

dimaksud berjudul Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas Terasing

di Pulau Sendiri, sementara perjalanan jurnalistik para wartawan yang menulis

buku itu dinamai Ekspedisi Tanah Papua. Di dalam buku tersebut, tercatat hal

potensi sumber daya alam Papua berikut pemikiran lokal. Sejumlah persoalan

seputar Papua dan masyarakat di pulau itu pun tersingkap. Reportase dalam

Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas Terasing di Pulau Sendiri

diarahkan untuk merekam pelbagai persoalan yang sebetulnya dapat dijadikan

dasar pengembangan kelestarian lingkungan, pengentasan kemiskinan, dan

pemberdayaan suku asli Papua. Dikemukakan dalam bagian kata pengantar bahwa

buku tersebut merupakan wujud usaha Kompas untuk menyimak suara suku asli

Papua—diidiomkan sebagai detak urat nadi—dengan seksama.

Hingga sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian atas Tanah Tabu

untuk tujuan akademis. Walaupun demikian, novel tersebut cukup ramai

dibicarakan di media massa dalam kurun waktu 2008-2009 sebab memenangi

Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2008. Pengarang

Anindita S. Thayf diperbincangkan sebagai satu-satunya pemenang Sayembara

Novel DKJ tahun 2008 dengan novel Tanah Tabu-nya (Hidayah, halaman web,

2008). Ketiga juri sayembara, Linda Christanty, Seno Gumira Ajidarma, dan Kris

Budiman, tidak mengangggap karya-karya lain yang masuk ke meja penjurian

layak diperhitungkan. Karya Thayf mereka nilai memuat konteks yang kompleks

disertai cara bertutur yang sensasional, sedangkan karya-karya lainnya yang juga

(25)

menyatakan bahwa novel Tanah Tabu mengisahkan kehidupan masyarakat asli

Papua yang tertindas oleh para pendatang. “Apalagi di sana ada tambang asing

(Freeport) yang akhirnya menindas rakyat,” demikian pernyataan langsung Thayf

(Hidayah, halaman web, 2008).

Dengan lebih jelas, latar belakang penulisan novel tersebut diungkapkan

melalui artikel profil Anindita S. Thayf (Syaifullah, halaman web, 2009).

Syaifullah mengungkap bahwa proses penulisan Tanah Tabu menghabiskan

waktu 6 bulan. Thayf menulis dengan dasar penelitian pustaka selama 2 tahun,

tanpa pernah satu kali pun menginjakkan kaki di tanah Papua. Menurut

Syaifullah, Thayf terpana saat membaca tentang kehidupan getir suku asli Papua

dan miris saat mengetahui kesulitan yang dialami para perantau Papua di

Yogyakarta.

(1) Anin miris ketika menyadari betapa tidak mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Yogyakarta. Sebab, para pemilik kontrakan dan kos-kosan—juga sebagian besar tetangga—menganggap orang Papua suka bikin keributan, bicara dan memutar musik keras-keras, bertengkar, dan suka mabuk. "Ini membuat saya semakin bersemangat mengais-ngais kisah tentang tanah leluhur mereka, Papua," tutur Anin. (Syaifullah, halaman web, 2009)

Thayf menokohkan suku asli Papua dalam karyanya dengan karakter “suka

bikin keributan, bicara dan memutar musik keras-keras, bertengkar, dan suka

mabuk” (Syaifullah, halaman web, 2009) padahal gambaran-gambaran negatif

tersebutlah keprihatinan pribadinya. Tokoh-tokoh pedagang sayur dan buah di

pasar tradisional Timika, contohnya, ditampakkan lebih suka membuat keributan

(26)

Boku mempunyai kebiasaan berbicara keras-keras sehingga tetangga merasa

berisik dan terganggu. Dikisahkan dalam novel Tanah Tabu bahwa orang-orang

muda Papua berperang sampai memakan korban jiwa karena berebut batas

wilayah. Tidak ketinggalan, sebagian besar tokoh laki-laki dalam Tanah Tabu

gemar bermabuk-mabukan. Ini membuktikan bahwa di dalam novel Tanah Tabu,

Thayf sesungguhnya melanggengkan anggapan negatif atas suku asli Papua.

Anggapan negatif semacam itulah yang justru hendak dihapus dalam skripsi ini.

Mawardi (halaman web, 2009a) justru merespons positif Tanah Tabu

dengan berpendapat bahwa novel tersebut merupakan sebuah refleksi mengenai

diskriminasi yang sudah sejak lama dialami oleh para perempuan Papua sampai

masa kini. Masuknya lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, partai politik,

dan perusahaan emas ke tanah Papua boleh jadi mewujudkan kemajuan.

Walaupun demikian, kehidupan kaum perempuan di sana tak ubahnya suatu

tragedi. Perempuan Papua tetap saja menjadi yang terpinggirkan dan tertindas.

Kaum perempuan merupakan “tumbal dari perayaan superioritas maskulinitas

dalam tegangan tradisi dan modernitas” (Mawardi, halaman web, 2009a). Sambil

memuji impresifnya narasi Tanah Tabu, Mawardi menilai novel tersebut sebagai

“jalan imajinasi untuk ditempuhi pembaca dalam membaca dan menilai lakon

Papua”.

Mawardi (halaman web, 2009b) menggolongkan Tanah Tabu ke dalam

kelompok karya sastra pinggiran (marginal). Seperti dikutip dari keterangan

langsung Anindita S. Thayf, "Saya menyebut Tanah Tabu sebagai sastra

(27)

dipinggirkan." (Mawardi, halaman web, 2009b) Subjek pengisahan karya tersebut

ialah penduduk Papua dengan latar tempat Papua. Menurut Mawardi, pilihan

Thayf untuk mengangkat Papua menunjukkan resistensi atas dominasi novel

Indonesia yang membicarakan Jawa atau Sumatera. Ia menyinggung tentang

kemunculan warna lokal Papua dalam Tanah Tabu. Walaupun memperhatikan

kemunculan warna lokal, Mawardi tidak menyoroti suku-suku asli yang menjadi

pelaku dalam novel Thayf.

Zaki (halaman web, 2009) ikut meramaikan pembicaraan tentang Tanah

Tabu dengan mempublikasikan sebuah resensi di Harian Global Medan. Zaki

menyoroti jalan cerita dan pelaku-pelaku penting yang terdapat dalam Tanah

Tabu. Paparannya dibuka dengan mengangkat nama-nama perempuan Papua yang

konsisten memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya kaum perempuan, di

tanah mereka. Zaki menyebut Yosepha Alomang asal Tsinga, Ester Kerewey asal

Manokwari, dan Tinneke Pahua dari Biak-Numfor.

Rif’an (halaman web, 2009), dalam resensinya yang dimuat di surat kabar

Koran Jakarta, berpendapat bahwa bahasa dalam novel Tanah Tabu “sangat

menggelitik, atraktif, sekaligus inspiratif”. Yang dilihat Rif’an dari karya ini

adalah ketimpangan dalam masyarakat di Papua. Ia mengatakan, ada budaya

patriarkhal yang melanggengkan penindasan laki-laki atas perempuan dan

penceritaan pengarang tentang keadaan ini merupakan kritik sosial.

Yang menurut penulis sedikit aneh adalah Rif’an (halaman web, 2009)

mengatakan demikian mengenai novel Tanah Tabu, “[g]emerlap ceritanya dihiasi

(28)

penulis, cerita kehidupan dalam Tanah Tabu merupakan cerita tentang

keprihatinan. Kehidupan para tokohnya berat, di antaranya dibuktikan oleh

kehidupan tokoh Mabel dan Mace. Tidak terdapat sesuatu pun yang gemerlap

dalam kisah Tanah Tabu.

Skripsi “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu

berbeda dari pustaka-pustaka yang ditinjau di atas. Objek pembahasan skripsi ini

bukanlah fakta seperti dalam Alua (2006: vii-viii), Amirudin dan de Soares (2003:

6-7), ataupun Yuniarti (2008: ix-x), melainkan karya sastra. Adapun

resensi-resensi yang ditinjau di atas memang membahas objek yang sama dengan skripsi

ini, yaitu novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Akan tetapi, skripsi

“Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” menggunakan

perspektif yang unik dan khas, yaitu perspektif suku asli (the indigenous peoples).

Penggunaan perspektif suku asli dalam skripsi ini memberi perbedaan dari

pustaka-pustaka tersebut.

1.6 Kerangka Teori

Sesuai dengan tujuan penelitian, yakni mendeskripsikan wajah suku asli

Papua dalam novel Tanah Tabu melalui ekspresi-ekspresi kebudayaan suku

tersebut dengan memanfaatkan perspektif the indigenous peoples, penulis

memilih kerangka teori strukturalisme sastra dan perspektif indigenous. Dari teori

strukturalisme sastra, penulis memilih konsep tokoh dan penokohan

(29)

1.6.1 Tokoh dan Penokohan (Characterization)

Tokoh didefinisikan oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995: 165),

sebagai “orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama,

yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan

tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan”. Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 165), memaksudkan tokoh

(characters) sebagai pelaku-pelaku cerita yang ditampilkan. Sejalan dengan dua

definisi itu, Hendy (1988: 33) memberikan pemahaman tentang tokoh dengan

mencontohkan tiga tokoh dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.

Tokoh yang dicontohkan yaitu Mariamin, Aminuddin, dan Sutan Baringin.

Henkle (1977: 86) merumuskan penokohan (characterization) sebagai

kunci dalam praktik memahami fiksi, “Characterization, therefore, is central to

the fictional experience. And the principle objective of the creation of characters

in novels is to enable us to understand, and to experience, people.” Praktik

membaca dan memahami fiksi sesungguhnya meliputi pengalaman berjumpa

dengan sosok sesama manusia (meski secara fiksional). Dapat disimpulkan, hal

yang sama terjadi ketika pembaca membaca novel Tanah Tabu. Keberadaan

sosok the indigenous Papua di dalam novel tersebut membuat pembaca

mengalami perjumpaan dengan mereka. Oleh karena itu, pengalaman

perjumpaan antara pembaca dengan the indigenous Papua dalam Tanah Tabu

sesungguhnya dipengaruhi oleh bagaimana pengarang menampilkan the

indigenous Papua. Tampilan mereka dalam Tanah Tabu dapat dibaca

(30)

Berdasarkan bagaimana pengarang novel menampilkan tiap tokoh,

ahli-ahli ilmu sastra telah membuat berbagai kategorisasi tokoh dalam fiksi. Salah

satu kategori yang paling lazim yakni tokoh utama dan tokoh sampingan. Sayuti

dalam Wiyatmi (2006: 31) menyebutnya tokoh utama (sentral) dan tokoh

tambahan (periferal). Kategorisasi yang dibuat Sayuti didasarkannya pada

beberapa faktor dalam penokohan, yaitu (i) keterlibatan tokoh yang

bersangkutan dengan makna atau tema fiksi, (ii) tingkat kekerapan (intensitas)

hubungan yang dibangun tokoh bersangkutan dengan tokoh lain, dan (iii) lama

penceritaan mengenai tokoh tersebut yang diberikan pengarang untuknya.

Mirip dengan Sayuti dalam Wiyatmi (2006: 31), Henkle (1977: 87-88)

mengkategorisasi tokoh menjadi tokoh utama (major character) dan tokoh

sampingan (secondary character). Henkle merumuskan faktor penokohan

sebagai berikut, “Those factors are the complexity of the characterization, the

attention given certain figures, and the personal intensity that a character seems

to transmit.”

Hendy (1989: 176) menerangkan bahwa penokohan terdiri dari beberapa

hal, yaitu kualitas nalar tokoh yang bersangkutan, sikap dan tingkah laku tokoh

tersebut, kemauan, pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya.

Dalam penelitian ini, penulis mengikuti definisi tokoh menurut Abrams

dalam Nurgiyantoro (1995: 165), yaitu “orang (-orang) yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas

moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan

(31)

menemukan kemiripan antara konsep Sayuti dengan konsep Henkle. Walaupun

kedua konsep terebut mirip, penulis memilih mengikuti konsep Henkle karena

konsep Henkle dirasa lebih sesuai untuk membaca tokoh-tokoh Tanah Tabu

daripada konsep Sayuti. Dengan demikian, penulis membuat pengelompokan

tokoh-tokoh Tanah Tabu menjadi tokoh utama (major character) dan tokoh

sampingan (secondary character). Pengelompokan ini dibuat berdasarkan faktor

penokohan menurut Henkle, yakni kerumitan (kompleksitas) penokohan,

banyaknya sorotan (perhatian) yang diberikan pada tokoh tertentu, dan intensitas

personal yang dipancarkan suatu tokoh. Selain dikelompokkan, masing-masing

tokoh juga dijelaskan dalam hal kualitas nalar, sikap, tingkah laku, kemauan,

pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya (Hendy, 1989: 176).

1.6.2 Perspektif the Indigenous Peoples

Mendefinisikan istilah indigenous peoples tidaklah mudah sebab kata

indigenous itu sendiri tidak mempunyai batasan tertentu yang pasti (fixed

definition). Meskipun mendefinisikannya tidak mudah, upaya untuk membaca

wajah indigenous peoples perlu dilakukan supaya tidak gagal membaca wajah

dan memahami suku asli Papua dalam novel Tanah Tabu. Bila lema indigenous

dicari dalam sebuah kamus bahasa Inggris-Indonesia, kita akan memperoleh arti

‘asli, pribumi’. Jika lema yang sama dicari dalam sebuah kamus bahasa Inggris,

diperoleh arti ‘native or belonging naturally to a place’ atau, seperti dikutip

Gray dalam Barnes dkk. (1995: 36), “someone who isin-born or a native”, one

(32)

konvensional, indigenous peoples adalah penghalusan untuk makna peyoratif

‘primitif’, ‘orang-orang tribal’, ‘kelompok etnik minoritas’, ‘aborigin’2, ‘kasta

rendah (low caste)’, ‘zaman batu’, dan semacamnya. Kamus Besar Bahasa

Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat menyediakan lema indigenos sebagai

padanan Indonesia untuk indigenous, yang diartikan sebagai ‘pribumi, asli’

(Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 532). Namun, di samping lema

indigenos tidak akrab untuk berbahasa sehari-hari, sense penghalusannya pun

tidak ditampung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat.

Pelbagai makna peyoratif di atas dapat muncul dalam penggambaran

perilaku dan watak indigenous peoples, misalnya kasar, suka berperang,

berdarah panas. Berikut ini dalam laporan penelitiannya, Koentjaraningrat

memunculkan salah satu ilustrasi tentang perilaku indigenous peoples.

(2) Orang Dani memang mudah marah, dan dalam kemarahannya mereka sering berbicara dengan lantang, memukul ke kanan dan ke kiri, dan biasanya isteri-isterilah yang menjadi sasaran kemarahannya. Wanita pun biasanya menjerit berlebih-lebihan, dan walaupun mereka juga agresif, karena fisik mereka lebih lemah dan mereka tidak dapat menyatakan kemarahan mereka dengan main pukul secara membabibuta, maka kemarahan yang luar biasa hanya dapat disalurkan dengan berteriak-teriak berlebih-lebihan. (Koentjaraningrat, 1994: 278-279)

Sesungguhnya baik istilah indigenous maupun istilah primitif, secara

konvensional, tak lebih dari label. Tetapi, makna istilah primitif “menempelkan”

atribut negatif dan tidak berdasar. Itulah salah satu hal yang menyebabkan

suku-      

2

(33)

suku atau penduduk asli mulai dan semakin gencar menyebut diri mereka sendiri

atau komunitas etnik mereka dengan istilah indigenous peoples. Dalam skripsi

ini, penulis memilih menerjemahkan istilah indigenous peoples menjadi ‘suku

asli’.

Definisi untuk istilah suku asli (the indigenous peoples) tidak bisa diberi

“harga mati” sebab istilah ini tidak semata-mata bermakna label ataupun atribut

tertentu, tetapi juga kualitas tertentu dalam diri seseorang. Kriteria untuk siapa

yang dapat disebut indigenous dan siapa yang tidak menjadi persoalan. Sebuah

pendapat mengatakan bahwa setiap orang adalah indigenous di daerah asalnya

masing-masing (Gray dalam Barnes dkk., 1995: 36; Barnes dalam Barnes dkk.,

1995: 308). Jika demikian, persoalan indigenous-ataukah-bukan menjadi relatif,

menjadi tergantung pada konteks geografis. Di samping itu, seiring

perkembangan zaman, akulturasi terjadi terus-menerus sehingga lebih rumit lagi

menentukan yang seperti apa yang bertahan indigenous dan yang seperti apa

yang bukan indigenous lagi.

Ada empat ciri utama dalam pengertian suku asli (the indigenous people).

Ciri pertama yaitu praeksistensi (pre-existence). Yang dimaksud dengan ciri

praeksistensi yaitu suku asli mendiami wilayah asal mereka sejak zaman leluhur,

bahkan sebelum kelompok manusia lain tiba di wilayah tersebut. Ciri kedua

yaitu non-dominance. Suku-suku asli ini justru bukan kelompok yang dominan

di wilayah asal mereka sendiri. Jumlah mereka justru hanya sebagian kecil dari

populasi total penduduk. Ciri ketiga adalah perbedaan kebudayaan (cultural

(34)

self-identification as indigenous). Ini berarti mereka mengakui bahwa merekalah

suku asli dari wilayah tertentu. Ciri-ciri di atas dicetuskan oleh The Independent

Commission on International Humanitarian Issues (ICIHI) dalam dokumen

laporan mereka, berjudul Indigenous Peoples: a Global Quest for Justice, yang

diterbitkan pada tahun 1987 (Gray dalam Barnes dkk., 1995: 38). Keempat ciri

tersebut pertama-tama bermanfaat untuk membedakan antara suku-suku asli (the

indigenous peoples) dengan kelompok pendatang.

Julian Burger (Barnes dalam Barnes dkk., 1995: 311) membuat rumusan

karakteristik indigenous peoples. Kriteria yang dibuat Burger tidak mengarah

pada definisi tertentu sebab tidak mesti keseluruhan kriteria cocok dengan

tiap-tiap suku asli. Karakteristik suatu suku asli dapat saja sesuai dengan keseluruhan

kriteria tersebut, tetapi bisa juga hanya sebagian dari karakteristik suku tersebut

yang tercakup dalam rumusan Burger. Berikut ini enam karakteristik indigenous

peoples menurut Burger.

1.6.2.1 Mereka merupakan keturunan dari penduduk yang pertama mendiami

suatu wilayah yang kemudian menjadi taklukan bangsa Barat.

1.6.2.2 Mereka hidup secara berpindah-pindah dengan mempunyai kebun

atau ladang berpindah, memelihara hewan ternak, ataupun menjadi

pemburu pengumpul, yang bercocok tanam secara padat karya dengan

hasil panen yang tidak banyak berlebih serta kebutuhan energi rendah.

1.6.2.3 Mereka belum mengenal lembaga pemerintahan yang terpusat,

pengaturan dilakukan di tingkat komunitas, dan keputusan-keputusan

(35)

1.6.2.4 Mereka berbicara dalam bahasa yang sama, memeluk

agama/kepercayaan yang sama, mempunyai kebudayaan yang sama.

Mereka juga mempunyai ciri pengenal yang menunjukkan wilayah

mereka dan pertalian dengan wilayah tersebut, namun hal ini

ditundukkan oleh kebudayaan dan masyarakat yang dominan.

1.6.2.5 Mereka mempunyai pandangan dunia (world view) yang berbeda

yakni yang melindungi dan bersifat nonmaterialis terhadap alam

lingkungan (nature) serta kandungan sumber daya di dalamnya.

1.6.2.6 Mereka terdiri dari orang-orang yang secara objektif menganggap diri

mereka suku asli (indigenous) dan mereka diterima di dalam

kelompok sebagai suku asli juga. (Barnes dalam Barnes dkk., 1995:

311)

Dewasa ini, perspektif suku asli (the indigenous peoples) tidak terbatas

dalam bidang ilmu antropologi atau etnologi semata. Meskipun berangkat dari

disiplin ilmu antropologi, penelitian berperspektif suku asli telah menjadi

interdisipliner sebab sudah mulai digabungkan pula dengan, salah satu

contohnya, psikologi kebudayaan (Kim dkk., 2010: xxi-xxv).

Ketika menetapkan kerangka teori untuk membaca wajah suku asli Papua

lewat novel Tanah Tabu, penulis menghadapi tantangan, yakni harus memilih

teori yang sudah jamak dipergunakan dalam penelitian sastra, misalnya teori

sosiologi sastra, feminisme, atau poskolonialitas. Semula penulis bermaksud

menggunakan teori poskolonialitas. Akan tetapi, seiring berjalannya proses

(36)

Barat-Timur, ataupun penjajah-jajahan (colonizer-colonized) dalam novel Tanah Tabu.

Penulis hanya berfokus pada kehadiran suku asli Papua. Dengan demikian, teori

poskolonialitas menjadi mubazir bila “dipaksakan” untuk membaca wajah suku

asli dalam skripsi ini. Dengan dasar tersebut, penulis berketetapan untuk

menggunakan perspektif suku asli (the indigenous peoples) secara konsisten dan

sepenuhnya untuk membaca wajah suku asli Papua lewat novel Tanah Tabu

sekalipun perspektif suku asli belum populer di ranah penelitian sastra.

1.7 Metode Penelitian

Berdasarkan lokasi yang telah ditetapkan, “Membaca Wajah Suku Asli

Papua Lewat Novel Tanah Tabu” merupakan penelitian kepustakaan (library

research). Data-data yang menjadi bahan penelitian ini merupakan data tertulis,

dihimpun dari berbagai pustaka (literatur), mulai dari yang tercetak hingga yang

elektronik. Sebagian besar data penelitian ini memang bersumber dari

perpustakaan.

Dalam penelitian “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah

Tabu”, data yang dipergunakan penulis dikelompokkan menjadi (i) data primer

dan (ii) data sekunder. Yang dipilih menjadi data primer yaitu data yang utamanya

menjadi objek penelitian, yang berkaitan langsung dengan rumusan masalah.

Sehubungan dengan hal tersebut, data primer untuk penelitian ini berupa kutipan

(37)

bawah ini dirinci sumber data primer.

Judul : Tanah Tabu

Pengarang : Anindita S. Thayf

Tahun Terbit : 2009

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Halaman : 237

Di samping data primer, penulis menghimpun data sekunder. Data sekunder untuk

penelitian ini berupa pustaka lain—baik berupa buku, karya ilmiah akademis,

terbitan berkala, maupun bahan bacaan elektronik—yang membantu memecahkan

rumusan permasalahan, di antaranya adalah yang telah disebutkan pada tinjauan

pustaka dan landasan teori.

Pada tahap pengumpulan data, data dihimpun baik dalam bentuk kalimat

maupun wacana. Data yang diambil adalah yang menunjukkan tokoh dan

penokohan, khususnya penokohan suku-suku asli Papua. Berdasarkan bentuk

tersebut, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, yakni penelitian yang

dilakukan dengan data-data yang lengkap secara tipikal. Untuk mengumpulkan

data-data kualitatif dari Tanah Tabu, penulis meminjam metode simak

(observation method) (Kesuma, 2007: 430) dari ranah penelitian bahasa

(linguistik). Metode simak ini dieksekusi melalui teknik catat. Untuk

melaksanakan teknik catat, penulis menyediakan instrumen penelitian berupa

(38)

Analisis data dilaksanakan dengan metode deskriptif analitis. Seperti

diterangkan Ratna (2004: 53), metode deskriptif analitis “dilakukan dengan cara

mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Sesuai

dengan penjelasan yang dikutip tersebut, penulis mendeskripsikan fakta-fakta

yang disarikan dari data penelitian, yaitu dari novel Tanah Tabu, berikutnya

penulis menganalisis data dan fakta yang dimaksud.

Di samping metode deskriptif analitis, peneliti memanfaatkan metode

intuitif (penafsiran) pula sebagai metode berpikir. Hal ini dilakukan supaya

peneliti terbantu dalam pembatasan dan pemilihan data. Dasar penulis

menggunakan metode intuitif dalam penelitian ini adalah untuk memberi

perhatian pada isi pesan dari novel Tanah Tabu.

Pada tahap penyajian hasil analisis data, peneliti melakukan perumusan atas

proses meneliti yang telah dilaksanakan dalam wujud laporan tertulis. Hasil

penelitian dituliskan secara deskriptif, mengikuti metode deskriptif analitis yang

telah dipilih dalam tahap analisis data sebelumnya. Dengan demikian, hasil

penelitian ini berupa deskripsi wajah suku-suku asli Papua berikut ekspresi

kebudayaan mereka yang ditunjukkan dalam Tanah Tabu.

Adapun hasil analisis data disusun menurut metode penyajian secara

informal. Sesuai dengan rumusan Sudaryanto, “[m]etode penyajian informal

adalah perumusan dengan kata-kata biasa—walaupun dengan terminologi yang

teknis sifatnya” (1993: 145). Metode ini dipinjam dari metode penelitian

(39)

Temuan-temuan dari proses analisis data serta kesimpulan penelitian

disajikan dalam sebuah laporan tertulis. Laporan tersebut ditulis secara runtut

menurut sistematika penyajian yang disusun oleh penulis. Melalui laporan inilah

diharapkan manfaat penelitian dapat sampai kepada banyak orang.

1.8 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman terhadap penelitian berjudul “Membaca

Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” ini, diberikan sebuah

sistematika yang jelas. Sistematika penyajian hasil penelitian tersebut dirinci

sebagai berikut.

Bab pertama merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang

permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data penelitian, dan sistematika

penyajian hasil penelitian ini sendiri.

Bab kedua menjawab rumusan permasalahan yang pertama. Bab ini berisi

sinopsis novel Tanah Tabu.

Bab ketiga menjawab rumusan permasalahan kedua. Bab tersebut berisi

uraian mengenai tokoh dan penokohan yang diciptakan pengarang, Anindita S.

Thayf, dalam novel Tanah Tabu.

Bab keempat menjawab rumusan permasalah ketiga. Bab ini berisi

pembacaan atas wajah suku-suku asli Papua yang dimunculkan dalam Tanah

(40)

Bab selanjutnya, yaitu bab kelima, menjadi bagian penutup untuk

keseluruhan hasil penelitian ini. Bab kelima berisi kesimpulan dan saran.

Kesimpulan yang dimaksud ialah poin-poin penting dari deskripsi wajah

(41)

BAB II

SINOPSIS NOVEL TANAH TABU

2. 1 Pengantar

Bab ini berisi ringkasan novel (sinopsis) Tanah Tabu karya Anindita

Siswanto Thayf. Sinopsis Tanah Tabu penting untuk mengetahui posisi suku asli

dalam cerita dan bagaimana tiap-tiap tokoh suku asli berperan dalam keseluruhan

cerita (lakon). Cerita Tanah Tabu bermanfaat secara tidak langsung untuk

memperkenalkan kebudayaan dan adat-istiadat suku-suku asli Papua kepada

khalayak pembaca novel tersebut. Di dalam penelitian ini, penulis memandang

kebudayaan suku asli sebagai “ekspresi wajah” mereka. Sinopsis membantu

memperjelas ekspresi suku asli. Dari sinilah wajah suku asli dapat dibaca.

Novel Tanah Tabu dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga atau

diaan (third person point of view). Ada 3 tokoh yang menjadi pencerita (narator),

yaitu Leksi, anak perempuan berusia 7 tahun; Kwee, seekor babi kecil piaraan

Mace; dan Pum, anjing pemburu milik suku Dani yang menjadi “bayangan”

Mabel. Tiap-tiap pencerita membeberkan kisah yang dirangkai penulis sesuai

urutan waktu kejadiannya (kronologinya) dan dimasukkan penulis ke dalam

(42)

2. 2 Sinopsis Novel Tanah Tabu

Di Lembah Baliem pada tahun 1946, terdapat sebuah perkampungan suku

Dani tempat tokoh Mabel berasal. Mabel dilahirkan di kampung ini pada tahun

1948, dengan nama Waya, dari seorang ibu yang senantiasa ber-sali dan

ber-noken serta seorang ayah yang mahir berburu dan berperang. Di antara tahun 1948

itu sampai sebelum 1956—tidak diterakan persisnya kapan, sekelompok orang

Belanda merambah perkampungan Mabel. Kelompok Belanda ini dipimpin

seorang laki-laki bernama Piet van de Wissel. Mereka mendirikan pos

pemerintahan dan lapangan terbang di Lembah Baliem. Seselesainya pos

pemerintahan dan lapangan terbang dibangun, van de Wissel dan Stappen,

istrinya, berpindah tugas ke pedalaman Mindiptana pada tahun 1956. Sebelum

meninggalkan Lembah Baliem, Hermine Stappen membawa serta Mabel yang

berusia 8 tahun. “Nyonya Hermine, istri Tuan Piet, meminta Mabel menjadi anak

piaraannya.” (Thayf, 2009: 106) “Mabel ... bekerja pada keluarga van de Wissel ...

menjadi pembantu dan pengasuh anak-anak mereka.” (Thayf, 2009: 39)

Hermine Stappen mengganti nama Waya menjadi Anabel. Anabel yang

kelak pada masa tua dipanggil Mabel pun mengikuti Stappen dan van de Wissel

ke berbagai kota tanpa meninggalkan anjing peliharaannya, Pum. Meskipun hanya

selama 6 tahun Mabel menjadi anak angkat keluarga van de Wissel, ia tertular

banyak kultur Barat. Mulai dari kebiasaan makan dan minum, gaya

berpenampilan, hingga kesukaan membaca buku. Stappen dan van de Wissel

(43)

tentu dikesampingkan, namun Mabel menjadi modern sebagaimana yang

diceritakan lewat mulut anjingnya berikut ini.

(3) Seiring itu, Mabel juga mulai belajar tentang cara menjaga kebersihan, memasak, menggunakan alat-alat dapur, mengolah makanan kaleng, serta membuat secangkir kopi panas yang tepat manisnya untuk Tuan Piet setiap pagi, serta sedikit-sedikit bahasa Belanda dan Indonesia. Di sela-sela kesibukan barunya itu, Mabel menyempatkan diri pula untuk berkebun. Ia telah meminta izin kepada Nyonya Hermine untuk memakai sedikit halaman belakang rumah sebagai kebun buah dan sayur. Tanpa disangka-sangka, perempuan berambut mengilap itu justru menyuruh Mabel menggunakan seluruh halaman belakang. Tuan Piet malah menyumbang beberapa kantong bibit buah labu yang dibelinya entah dari siapa. (Thayf, 2009: 110)

(4) Saat tiba di Wamena, Mabel terlihat jauh lebih dewasa dari empat tahun lalu. Tak hanya sikap, tetapi juga bentuk tubuh. Ia mencoba memanjangkan rambut layaknya gadis-gadis yang dilihatnya di Manokwari. Hasilnya, rambut Mabel mengembang ke atas sehingga mengharuskannya untuk selalu mengempiskannya dengan bandana kain lebar atau sekadar pita kecil. Begitupun, ia tampak lebih manis dan modern. Ya, Mabel telah lebih manis dan modern, apalagi dengan baju terusan berok lebar, ikat pinggang, dan sepatu putih. ... Kedewasaan dan kemodernan sikap Mabel juga dimatangkan dengan kesukaannya membaca buku. Mabel yang sudah mulai lancar berbahasa Belanda dan Indonesia sering meminjam beberapa buku tipis bersampul menarik dan penuh gambar dari rak buku Tuan Piet. Di beberapa kesempatan, ia malah dipercaya Nyonya Hermine menuntun Ann belajar mengenal huruf.

Aku melihat Tuan Piet dan Nyonya Hermine justru mendukung ketertarikan Mabel pada buku. Mereka malah menambah waktu luangnya pada akhir pekan, dan membiarkan Mabel menghabiskannya dengan hanya membaca buku di kamar atau teras depan. (Thayf, 2009: 121)

Hanyalah keinginan Mabel untuk belajar di bangku sekolah yang tidak terwujud,

tidak didukung oleh Stappen dan suaminya. Patut dikagumi, tekad Mabel untuk

menjadi pribadi pembelajar tidak melemah walaupun tidak didukung oleh

suami-istri Belanda itu. Meskipun Mabel merasakan tidak nyamannya hidup di bawah

(44)

(5) Namun anehnya, ketika Mabel berkenalan dengan seorang pemuda Papua yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah anak-anak kampung, dan pemuda itu berhasil menularkan semangat bersekolah murid-muridnya kepada Mabel, lantas beberapa hari kemudian Mabel memberanikan diri meminta kepada Nyonya Hermine dan Tuan Piet untuk disekolahkan pula, mereka malah menolak.

“Kami rasa pengetahuanmu sekarang ini sudah lebih dari cukup, Anabel. Kau sudah sangat maju dari dirimu yang dulu. Bahkan kalau mau, kau bisa mendapat ilmu yang lebih banyak lagi dari membaca buku. Kau ini anak yang cerdas, Anabel. Cepat tanggap dan mudah menyerap setiap pelajaran dari mana pun asalnya, termasuk buku. Jadi untuk apa bersekolah? Apalagi sekolah kampung seperti yang ada sini. Itu hanya untuk anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis,” jelas Tuan Piet.

“Betul kata tuanmu, Anabel sayang. Kau sudah lebih pintar sekarang. Dan yang penting, kau sudah merasa bahagia karenanya, bukan?”

Aku ada di situ selagi Nyonya Hermine bertanya kepada Mabel, yang menjawabnya dengan anggukan pelan.

“Nah, kalau sudah seperti itu apa lagi yang kaucari? Kau sudah bisa baca, tulis, dan berhitung. Menguasai bahasa Belanda dan Indonesia. Kau juga sangat pintar memasak, mengasuh anak, mengurus rumah, sampai berkebun. Apa lagi?”

Nyonya Hermine menyentuh bahu Mabel yang menguncup. ... Seandainya Nyonya Hermine tahu, kata-katanya pada malam itu justru mencambuk niat Mabel untuk terus belajar dan tahu lebih banyak lagi. Sayangnya, keluarga Tuan Piet harus segera kembali ke Belanda dua tahun kemudian. (Thayf, 2009: 122, 123-124)

Pada tahun 1962, keluarga van de Wissel meninggalkan tanah Papua tanpa

membawa Mabel.

Mabel kembali ke perkampungan sukunya. Ia dilamar oleh seorang laki-laki

sesama suku Dani dan tak lama kemudian dinikahkan orang tuanya dengan

laki-laki tersebut. Ketika menikah, umur Mabel belum genap 15 tahun. Selewat 5

bulan, pernikahan ini bubar akibat pecahnya sebuah perang antarsuku. Mabel

menikah untuk kedua kalinya dengan seorang laki-laki suku Amungme bernama

(45)

kampung Pace Mauwe, di lereng gunung. Tiga tahun kemudian, perusahaan

pertambangan emas besar berdiri di situ, menggusur keluarga Mabel beserta

penduduk sekampung. Selain kampung mereka terpaksa berpindah, lingkungan

suku Amungme menjadi tercemar karena limbah berat pabrik tambang emas.

Program relokasi perkampungan yang dijalankan perusahaan pertambangan emas

itu tidak dapat mengganti lingkungan hidup yang telah terlanjur tercemar. Si

pencerita, tokoh Pum, mengungkapkannya dalam percakapan dengan tokoh Kwee

si babi sebagai berikut.

(6) Kampung Pace Mauwe digusur perusahaan emas milik pendatang dari lereng gunung tempat tinggal mereka sejak lama. Memang, ada kampung dan rumah baru yang diberikan sebagai gantinya di daerah bawah, tapi cukup jauh dari hutan, apalagi sungai. Dan, Kwee, kau mungkin tidak akan percaya kalau kubilang hutan itu sekarang tidak lagi menghasilkan sagu, sedangkan sungainya dipenuhi kotoran perusahaan itu. Terkenangku pada suatu pagi ketika ada banyak ikan tiba-tiba mengapung mati di sungai itu, dan banyak penduduk memungutnya untuk dibakar, tapi Mabel tidak tergoda sama sekali. Ia bilang ikan itu mati karena sakit, dan siapa pun yang memakannya juga akan bernasib sama. Sakit lalu mati. Itulah saat Pace Mauwe marah besar untuk pertama kalinya. Ia tidak punya kebun untuk digarap dan sudah lama tidak makan daging. (Thayf, 2009:135-136)

Dengan keadaan demikian, kebutuhan mendasar seperti pangan jadi

semakin mendesak. Untuk bertahan hidup bersama keluarganya, Pace Mauwe

mencari pekerjaan. Dia menemukannya justru di perusahaan pertambangan emas

milik pendatang. Di sana, Pace Mauwe bekerja sebagai tukang sapu dan mendapat

upah. Mula-mula upah menyapu dibelanjakannya untuk kebutuhan makan. Tetapi,

karena tidak terbiasa dengan cara diupah dan pengaturan keuangan, Pace Mauwe

(46)

kali dan seterusnya, Pace Mauwe mulai membeli minuman keras dan memakai

jasa pelacur. Perilaku mabuk-mabukan dan main perempuan tersebut merebak

seiring dengan kehadiran perusahaan pertambangan emas. Kebiasaan Pace

Mauwe berubah menjadi boros, suka bersenang-senang, bermabuk-mabukan.

Kepribadiannya yang dahulu disukai Mabel pun hilang.

(7) Gara-gara upah itu, Kwee, Pace Mauwe berubah. Dia jadi suka mabuk-mabukan dan pergi sampai jauh malam. Kata orang-orang, ia bersenang-senang dengan Paha Putih di tempat minum yang buka sampai pagi. Mabel pernah mendapatinya. Mengomeli dan menariknya pulang ke rumah. Tapi dasar laki-laki tidak tahu diri! Ia malah memukul Mabel, dan Johanis kecil juga. Aku yang kebetulan ada di situ diusirnya dengan lemparan botol. Sejak itu, Kwee, hidup Mabel semakin menderita. Pace Mauwe menolak berubah, bahkan makin ganas menyiksa kami. Akhirnya, Mabel, Johanis, dan aku memilih pindah. Kami sempat berganti rumah sewa sekali hingga akhirnya sampai di tempat ini. Hidup miskin bertiga, tapi cukup bahagia karena tidak ada yang menyakiti kami lagi. (Thayf, 2009: 136)

Sebagaimana diceritakan oleh Pum oleh si anjing, Pace Mauwe yang sering

mabuk pun melakukan kekerasan pada istri dan anaknya. Mabel berkeputusan

meninggalkan Pace Mauwe. Dia membawa anak laki-lakinya, Johanis, dan Pum

ke rumah kontrakan di kampung yang lain. Walaupun kehidupan Mabel menjadi

prihatin secara material, ia lebih berbahagia tanpa orang yang menyakitinya.

Kurang lebih pada umur 19 tahun, Johanis menikah. Ia dan istrinya, Lisbeth,

tinggal di sebuah kampung, berpencar dari Mabel yang memilih tinggal di Kota

Dolar, Timika. Lisbeth yang di dalam novel lebih akrab dipanggil Mace

melahirkan seorang anak laki-laki bernama Lukas. Untuk menafkahi istri dan

anak itu, Pace Johanis memutuskan merantau ke kota. Mace tetap berada di

(47)

orang berciri militer. Perkosaan atas Mace diketahui oleh Pace Johanis saat ia

sedang pulang kampung.

(8) Asal kau tahu, setelah kejadian itu, Ibu menuturkan pula bahwa Pace Johanis yang sempat pulang ke kampung dan mengetahui hal tersebut menjadi sangat marah. Anehnya, marah itu justru ditimpakannya kepada Mace, bukan kepada para pemerkosanya. Kata Ibu, Pace Johanis kerap memaki Mace, bahkan di depan Lukas, sebagai pelacur, penggoda lelaki, dan masih banyak hinaan tak pantas lainnya. Jadilah Mace korban caci maki suaminya sendiri yang menganggapnya sebagai perempuan kotor yang pantang disentuh. Pace Johanis pun meneriakkan kata pisah, lalu melangkah pergi sambil mengancam tak akan kembali. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa kali Pace Johanis masih tergerak untuk datang lagi ke kampung menemui Mace dan Lukas, meskipun pada akhirnya laki-laki itu akan menenggelamkan diri dalam berbotol-botol minuman keras di warung kampung, sebelum kemudian pulang dalam keadaan mabuk berat, mendapati Mace yang sedang menunggu di rumah, memukulinya sampai puas, dan terakhir menidurinya tanpa sadar. Kejadian tersebut terus berulang hingga Mace mengaku hamil. Kala itu, Pace Johanis bersumpah anak yang sedang dikandung Mace bukanlah anaknya, melainkan anak orang lain. (Thayf, 2009: 227-228)

Dalam keadaan marah tanpa berpikir terlebih dahulu, Pace Johanis memaki,

bermabuk-mabukan, memukuli, sampai memaksakan hubungan seksual pula pada

Mace hingga Mace mengandung. Anak yang dilahirkan kemudian dinamai Leksi.

Pace Johanis tidak mau jujur mengakui bahwa Leksi tak lain adalah anaknya.

Laki-laki itu pergi lagi tanpa pernah kembali pada keluarganya.

Mace membawa Lukas dan Leksi meninggalkan kampung. Dengan diikuti

babi piaraannya, Mace pergi menuju kota tempat tinggal ibu mertuanya, Mabel,

yaitu Timika. Timika berjuluk Kota Dolar. Di sanalah Mace, Lukas, dan Leksi

kemudian tinggal bersama Mabel. Empat bulan berikutnya, Lukas yang

(48)

sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka selanjutnya, Mace membantu

Mabel menjual hasil kebun di pasar. Mabel sendiri berdagang pinang serta

sesekali mengerjakan pesanan noken. Dari pekerjaan ini, Mabel dan Mace

memperoleh cukup uang untuk membayar sewa rumah dan biaya sekolah Leksi.

Leksi duduk di bangku kelas 1 SD. Di lingkungan rumah, ia berteman

dengan Yosi dan Karel. Yosi, teman akrab Leksi, tinggal sebelah rumah Leksi.

Yosi adalah anak Mama Helda dan Pace Poro Boku. Adapun Mama Helda sempat

akrab dengan Mabel beberapa tahun lampau. Namun, berbeda halnya dengan

Karel. Walaupun Mabel dan Leksi sendiri kurang menyukai Karel, Leksi tetap

berteman dengan anak kaya itu. Hampir setiap kali bermain dengan Leksi dan

Yosi, Karel membawa mainan baru. Ayahnya, Pace Gerson, adalah pemimpin

partai Belahan Jiwa Rakyat. Mabel “alergi” (baca: bersikap sangat kritis) terhadap

Pace Gerson. Sikap Mabel ini ditujukan pada segala janji kosong dan propaganda

partai Pace Gerson. Tidak disangka Mabel, Karel pernah mengajak Leksi ke

rumahnya dan pada waktu itulah Pace Gerson “mempromosikan” partainya pada

Leksi.

(9) Selanjutnya, pembicaraan kami kembali tersambung. Laki-laki itu mulai berbicara tentang hal lain. Tentang partai.

“Leksi, kau memang masih kecil. Tapi biar kuberitahu, partai-partai yang kausebut tadi adalah partai murahan. Mereka berbeda dari partaiku, Nak. Partai yang paling berkelas.”

Lalu Pace Gerson mengarahkan telunjuknya pada selembar poster raksasa yang dipajang di salah satu dinding ruang tamunya. Tepat di sebelah pintu kamar yang tertutup. Poster itu berwarna cokelat.

“Partai Belahan Jiwa Rakyat!”

(49)

“Kujelaskan kepadamu, Nak. Partai kami sudah terbukti tak terkalahkan. Warna cokelat berarti kami ibarat tanah yang selalu siap menjadi tumpuan rakyatnya. Tanah yang subur dan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan gambar ikan berarti negara kita adalah negara kepulauan yang dikelilingi laut.” Ia menjelaskan dengan gagah hingga membuatku terperangah. (Thayf, 2009: 205-206)

Kemudian musim panen tiba di Kota Timika pada suatu waktu. Ada banyak

sayur dan buah yang dihasilkan dari kebun Mace dan Mabel. Kedua perempuan

ini membawa hasil panen mereka ke pasar tradisional untuk dijual, sama dengan

yang dilakukan para pedagang lainnya. Seperti Mabel dan Mace,

pedagang-pedagang ini adalah suku asli Papua yang lebih umum disebut sebagai orang

Komen. Pada tahun sebelumnya, pedagang sayur-mayur dan buah-buahan ini,

termasuk Mace dan Mabel, mendapat janji dari perusahaan pertambangan emas

besar bahwa perusahaan bersangkutan akan membeli hasil panen sayur serta buah

dari para pedagang Komen.

(10) “Tapi bukankah sekarang kita tidak perlu khawatir lagi.” Mabel yang tiba-tiba muncul dari lapak sebelah membalas ucapan Mace. “Perusahaan itu sudah buat kesepakatan dengan orang-orang kita. Mereka bilang mau membeli sayur kita untuk pegawainyaa. Buktinya, panen kemarin kita tidak rugi. Semua habis diborong. Jadinya, aku bisa menyekolahkan Leksi dan memperbaiki dinding sumur. ... Lihat saja sebentar, orang perusahaan itu pasti datang mengambil sayur. Makanya sudah kusiapkan sayur mana yang mau mereka bawa nanti.”

(50)

Hasil panen para pedagang Komen dibeli oleh perusahaan pertambangan emas

pada tahun yang lalu. Akan tetapi, hasil panen pedagang Komen pada tahun ini

tidak dipedulikan oleh perusahaan, padahal mereka sudah mengelompokkkan

sebagian besar sayur dan buah untuk dijual pada perusahaan bersangkutan.

Pedagang-pedagang Komen mengalami rugi yang tidak sedikit sehingga mereka

kecewa dan ingin memprotes.

(11) Aku menduga ia telah menghadiri sebuah pertemuan rahasia yang bertujuan jahat. Nyatanya, ketika aku berada di tengah orang-orang ini, sama sekali tidak kudengar pembicaraan tentang itu. Mereka hanya ingin berdemo.

“Sudah kubilang dari kemarin-kemarin, lebih baik kita demo saja. Titik! Tidak usah ada pertemuan atau pembicaraan. Perusahaan itu tidak akan pernah mau mendengar suara kita. Kalaupun dengar, mereka pasti pura-pura tidak mengerti. Kita pakai bahasa Papua, mereka pakai bahasa Indonesia. Kita ubah pakai bahasa Indonesia, mereka malah bicara bahasa asing. Kesimpulannya, mereka menganggap kita ini bodoh. Tidak sederajat dengan mereka. Jadi lebih baik kita demo saja.”

“Ya, setuju! Aku setuju kita demo.” “Aku juga.”

Sa juga setuju! Apalagi kalau demonya di jalan besar sana biar mobil perusahaan itu tidak bisa lewat dan pegawainya tidak masuk kantor. Bagaimana?”

“Wah, itu ide yang bagus! Bagus sekali. Sa dukung itu.”

Itulah suara-suara yang menyesaki ruang tamu sempit di sebuah rumah milik seorang paitua yang kukenal sebagai penjual labu di pasar. Saat ini,

si paitua sedang berusaha membantu Mabel menenangkan seorang

pemuda berambut gimbal yang berbicara sangat berapi-api. Pada wajah legamnya, tampak jelas ekspresi kemarahan yang lama terpendam, sementara sepasang matanya terus-menerus menyorot tajam. Kuyakin pemuda itu siap mengamuk kapan saja jika tak segera dihentikan. Seingatku, sosok pemuda itu pernah kulihat berjualan sayur di dekat parkiran pasar. Saat menawarkan jualannya, suaranya pun selantang itu. Ya, aku ingat sekarang. Dia benar pemuda yang kumaksud.

“Tahan dulu sebentar, Anak. Tahan dulu! Kita harus pikir baik-baik sebelum melakukan sesuatu yang mungkin bisa merugikan orang lain.”

“Tapi, Mabel, kita sendiri sudah rugi!”

(51)

melarang mobil dan pegawai mereka masuk kantor, begitu? Lantas, apa ada yang berani menjamin setelah demo nanti pihak perusahaan akan langsung membeli sayur kita seperti janji mereka? Bagaimana kalau justru sebaliknya? Mereka tidak mau bekerja sama lagi dengan kita karena takut. Bukankah begitu tanggapan banyak pendatang tentang sikap kita, para penduduk asli: sangar dan bikin takut?” (Thayf, 2009: 171-173)

Mabel menggalang mereka untuk berunjuk rasa dengan cara yang rasional dan

sehat, namun sebagian besar pedagang tidak bisa mengesampingkan emosi

mereka yang meninggi. Sejumlah pedagang bereaksi dengan marah. Akan tetapi,

sesungguhnya mereka tidak berdaya melawan perusahaan pertambangan emas itu.

Beberapa waktu sebelum Pilkada yang diikuti oleh Partai Belahan Jiwa

Rakyat tiba, meletus sebuah pertikaian suku di wilayah Timika. Seorang Mama

Pembawa Berita bernama Mote menyebarkan kabar perkembangan perang yang

terjadi saat itu. Mabel mengecam perang tersebut secara terang-terangan. Di

depan Mama Pembawa Berita, Mabel berbicara dengan pedas bahwa perusahaan

penambangan emas adalah dalang di balik pertikaian itu. Mama Pembawa Berita

memperhatikan kritik Mabel yang memerahkan telinga itu. Dalam benak Mama

Pembawa Berita, timbul maksud buruk untuk menjebak Mabel.

Selepas pertikaian suku, rumah Mabel dikunjungi seorang tamu dari Biak.

Tamu itu seorang perempuan bernama Mama Kori. Saat menginap di rumah

Mabel, Mama Kori berkisah kepada Mace dan Leksi mengenai peristiwa pahit

dalam hidup Mabel di masa silam, di antaranya bahwa Mabel pernah ditahan oleh

militer atas tuduhan yang tidak jelas.

Sementara Mama Kori sedang menuturkan ceritanya pada malam itu, suara

Referensi

Dokumen terkait

Effisiensi penyisihan kekeruhan menurun dengan loading rate yang lebih tinggi karena kecepatan yang tinggi akan mengurangi waktu perpindahan partikel dan gaya

Dari hasil pengujian dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang telah dikumpulkan mengenai motivasi belajar dan disiplin belajar terhadap prestasi belajar mata

Pc&Iilian pada tahun pcdes @0(I[ yug msih ncaitikbqrtkm pada idcotifrosi masalat dm needs alscrlrlnent, @g$!dcrl pcadchlan pcaditia! slray deng.n didukuog

Bendungan adalah bangunan yang dibangun untuk menampung air yang selanjutnya untuk kebutuhan masyarakat. Kabupaten Blora sering mengalami kekurangan air pada musim kemarau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak biji, kulit dan daun pepaya (Carica papaya L.), dan fraksi aktif ekstraknya serta menentukan

1) Kelompok A, untuk anak tiga sampai empat tahun. 2) Kelompok B, untuk anak umur empat sampai lima tahun. 3) Kelompok C, untuk anak usia lima sampai enam tahun. Pada usia prasekolah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peresepan antibiotik oral yang sesuai dengan Formularium Rumah Sakit sebanyak 1139 resep, dengan persentse 98,70%, peresepan antibiotik oral

Manajer Investasi atau Bank Kustodian atau Agen Penjual Efek Reksa Dana yang ditunjuk oleh Manajer Investasi atau Bank Kustodian wajib mengirimkan bukti konfirmasi atas perintah