• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA (Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Kunduran Blora Tahun 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA (Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Kunduran Blora Tahun 2012)"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGANDENGAN

KEJADIAN KUSTA

(Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Kunduran Blora Tahun 2012)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh

Silvia Indriani NIM. 6450408021

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

(2)

ii

April 2014

ABSTRAK

Silvia Indriani

Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora)

xv + 80 halaman + 29 tabel + 2 gambar + 18 lampiran

Kabupaten Blora pada tahun 2012, selama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa prevalensi belum mencapai pada kondisi eliminasi indikator secara nasional angka kesakitan kusta mencapai harus kurang dari 1/10.000.Wilayah kerja Puskesmas Kunduran salah satu puskesmas di kabupaten Blora yang endemis tinggi penyakit kusta.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan kejadian kusta di wilayah kerja puskesmas Kunduran Kabupaten Blora.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus kontrol. Populasi penelitian adalah penderita kusta yang tercatat dalam rekam medis puskesmas Kunduran. Sampel penelitian yaitu 40 kasus dan 40 kontrol.Instrumen penelitian berupa kuesioner.Analisis data menggunakan uji chi square.

Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara jenis pekerjaan (p = 0,007; OR= 3,955; 95%CI= 1,546-10,114), status sosial ekonomi (p = 0,000; OR = 6,926; 95%CI= 2,380-20,157), tingkat pendidikan (p= 0,000; OR= 13,222; 95%CI= 4,400-39,732), personal hygiene (p = 0,005; OR = 0,212; 95%CI= 0,076-0,591) dengan kejadian kusta dan tidak ada hubungan antara jenis kelamin (p = 0,178; OR = 2,037; 95% CI= 0,834-4,976), umur (p = 0,780; OR = 0,731; 95%CI= 0,243-2,201), dan tingkat pengetahuan (p = 1,000; OR = 0,848; 95%CI= 0,275-2,613) dengan kejadian kusta.

Hendaknya puskesmas Kunduran melakukan berbagai penyuluhan terkait dengan penyakit kusta.Hal ini harus dilakukan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di wilayah kerja puskesmas Kunduran memiliki pengetahuan rendah tentang penyakit kusta.

(3)

iii

April 2013 ABSTRACT

Silvia Indriani

Risk Factors that related to leprosy incidence (A Case Study at the working area of Public health centers of Kunduran Blora)

xv+ 80 page + 29 tables + 2 figures + 18 appendices

Blora distric in 2012, during the last three years showed that the prevalence of the condition has not been reached on the national indicators elimination of leprosy reached morbidity should be less than 1/10.000. Kunduran public health centre is one Blora district health centers in high endemic leprosy. The purpose of this study is to determine Risk Factors that related to leprosy incidence in the working area of public health centers of Kunduran Blora District.

This research methode was a case-control study. The study population was patients with leprosy were recorded in the medical record in Kunduran Public health centers. The research samples are 40 cases and 40 controls. Research instruments such as questionnaires. Data analyze using chi square test.

The results of the study is there are relationship between the type of work (p = 0,007; OR = 3,955; 95%CI= 1,546-10,114), Socioeconomic status (p = 0,000; OR = 6,926; 95%CI= 2,380-20,157), level of education (p = 0,000; OR = 13,222; 95%CI= 4,400-39,732), personal hygiene (p = 0,005; OR = 0,212; 95% CI= 0,076-0,591)and no association between the sex (p = 0,178; OR = 2,03795% CI= 0,834-4,976), age (p = 0,780; OR = 0,731; 95%CI= 0,243-2,201) , dan level of knowledge(p = 1,000; OR = 0,848; 95%CI= 0,275-2,613) the incidence of leprosy.

The suggestions for Kunduran Public health center are toshould perform a variety of counseling associated with leprosy. This should do the results showed that the majority of people in the working area Kunduran public health centers have low knowledge about the disease.

(4)
(5)
(6)

vi MOTTO

1. Masyarakat hanya akan sehat, apabila setiap insan ikut serta menyehatkan dirinya serta lingkungannya (Juli Soemirat Slamet, 2002:5).

2. Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar (Imam Al Ghazali).

PERSEMBAHAN

1. Skripsi ini saya persembahkan untukAyah (Larsono Untung Suyanto) dan Ibu (Nurwiki) yang selalu memberikan do’a, semangat

dan kepercayaan demi

keberhasilanku.

2. Khairul Huda suami tercinta yang selalu memberikan do’a, semangat

dan motivasi.

(7)

vii

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Kunduran Blora

Tahun 2012)” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini, dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Bapak Dr.H. Harry Pramono, M.Si, atas persetujuan penelitian.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Ibu Dr. dr. Hj. Oktia Woro K.H., M.Kes., atas persetujuan penelitian.

3. Pembimbing I, Bapak Drs. Bambang Wahyono, M.Kes., atas bimbingan, arahan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Pembimbing II, Bapak Irwan Budiono, SKM, M.Kes(Epid) atas bimbingan, arahan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

(8)

viii

7. Kepala Puskesmas Kunduran Bapak dr.M. Jamil Muhlisin, MM atas ijin penelitian.

8. Ayah (Larsono Untung Suyanto) dan Ibu (Nurwiki), atas do’a, motivasi baik moril maupun materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Suamiku (Khairul Huda), atas do’a dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10.Kakak Kandungku Mas Wuwuh Prabowo atas dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

11. Sahabatku (Sri Rahayu, Zaenal), atas bantuan, do’a, semangat, dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

12.Teman Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2008, atas masukan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas masukannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan karya selanjutnya.Semoga skripsi ini bermanfaat.

Semarang, Maret 2014

(9)

ix

HALAMAN JUDUL... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

PERSETUJUAN... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 9

1.5 Keaslian Penelitian ... 10

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kusta ... 13

2.1.1 Pengertian Kusta... 13

2.1.2 Etiologi ... 13

2.1.3 Cara Penularan ... 14

2.1.4 Epidemiologi... 14

2.1.5 Klasifikasi Penyakit Kusta... 15

2.1.6 Diagnosis... 17

2.1.7 Pemeriksaan Klinis ... 19

(10)

x

2.1.11 Reaksi Kusta... 32

2.1.12 FaktorRisiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta 36 2.2 Kerangka Teori... 40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 KerangkaKonsep... 41

3.2 HipotesisPenelitian... 41

3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian... 42

3.4 Variabel Penelitian... 43

3.4.1Variabel Bebas... 43

3.4.2Variabel Terikat... 43

3.5 Definisi Operasional... 44

3.6 Populasi dan Sampel... 46

3.6.1 Populasi... 46

3.6.2 Sampel Penelitian ... 46

3.6.3 Teknik Pemilihan Sampel... 48

3.7 Sumber Data Penelitian... 50

3.7.1Data Primer... 50

3.7.2Data Sekunder... 50

3.8 Instrumen Penelitian... 50

3.9 Validitas dan Reliabilitas... 50

3.10 Teknik Pengambilan Data... 52

3.11 Prosedur Penelitian... 52

3.12 TeknikAnalisis Data... 53

3.12.1 Analisis Univariat... 53

3.12.2 Analisis Bivariat... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 56

(11)

xi

4.2.2.1 Umur... 60

4.2.2.2 Jenis Pekerjaan... 60

4.2.2.3 Status Sosial Ekonomi... 61

4.2.2.4 Tingkat Pendidikan... 61

4.2.2.5 Tingkat Pengetahuan... 62

4.2.2.6 Personal Hygiene... 62

4.2.3 Analisis Bivariat... 63

4.2.3.1 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Kusta... 63

4.2.3.2 Hubungan antara Umur dengan Kejadian Kusta... 64

4.2.3.3 Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Kejadian Kusta... 65

4.2.3.4 Hubungan antara Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kusta... 66

4.2.3.5 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Kusta... 66

4.2.3.6 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Kusta... 68

4.2.3.7 Hubungan antara Personal Hygiene dengan Kejadian Kusta... 68

4.2.4 RekapitulasiHasil Analisis Bivariat... 69

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan... 70

5.1.1 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Kusta... 71

(12)

xii

Kusta... 74

5.1.6 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Kusta... 75

5.1.7 Hubungan antara Personal Hygiene dengan Kejadian Kusta... 75

5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian... 76

5.2.1 Hambatan Penelitian... 76

5.2.2 Kelemahan Penelitian... 76

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan... 78

6.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA... 80

(13)

xiii

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian... 10

Tabel 2.1 Pedoman Utama Untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Kusta menurut WHO... 15 Tabel 2.2 Tanda Lain yang Dapat Dipertimbangkan Dalam Penentuan Klasifikasi Penyakit Kusta... 16 Tabel 2.4 Kecacatan karena Terganggunya Fungsi Saraf ... 23

Tabel 2.5 Tingkat Kecacatan di Indonesia ... 24

Tabel 2.6 Tipe PB... 29

Tabel 2.7 Tipe MB... 29

Tabel 2.8 Tingkat Cacat Kusta... 34

Tabel 3.1 Definisi Operasional... 44

Tabel 3.2 Tabel 2x2 Penentuan OR... 54

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur... 57

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 57

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan... 58

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Status Sosial Ekonomi... 59

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 59

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 60

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 61

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Sosial Ekonomi... 61

(14)

xiv

(15)

xv

Gambar 2.1 Kerangka Teori………. 40

(16)

xvi

Lampiran Halaman

1 Kuesioner Penelitian... 82

2 Daftar Responden Kasus... 85

3 Daftar Responden Kontrol... 87

4 Data Tingkat Pendidikan... 89

5 Data Personal Higieny... 92

6 Data Umur... 95

7 Data Jenis Pekerjaan... 98

8 Data Jenis Kelamin... 101

9 Data Tingkat Pengetahuan... 104

10 Hasil Distribusi Frekuensi Responden... 106

11 Hasil Uji Chi Square... 108

12 Surat Penetapan Dosen Pembimbing... 115

13 Surat Ijin Penelitian Kepada Kesbangpolinmas Kabupaten Blora... 116

14 Surat Ijin Penelitian Kepada Bapeda Kabupaten Blora... 117

15 Surat Ijin Penelitian dari Bapeda Kabupaten Blora... 118

16 Surat Ijin Penelitian Kepada Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora... 119

17 Surat Keterangan Sudah Melakukan Penelitian... 120

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta atau juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di beberapa negara sedang berkembang, dan bila perkembangan penyakit ini tidak ditangani secara cermat dapat menyebabkan kecacatan bagi penderitanya yang berakibat terganggunya kualitas sumber daya manusia, sehingga akan menjadi halangan dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. Penyakit ini sangat ditakuti bukan karena menyebabkan kematian melainkan lebih banyak menyebabkan kecacatan yang permanen (DepKes. RI, 2006: 4).

Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya, Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multibasiler atau kusta basah.Bila basil Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.Bentuk tipe klinis tergantung pada sistem imunitas seluler penderita. Sistem imunitas seluler baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid (termasuk dalam tipe kusta pausibasiler), sebaliknya sistem imunitas seluler rendah memberikan gambaran

(18)

langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3-5 tahun.Kusta bukan penyakit keturunan (Hiswani, 2001:1, Kosasih dkk, 2007:75).

Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Pada keadaan epidemi, penyebaran hampir sama pada semua umur. Namun yang terbanyak adalah pada umur produktif (Marwali Harahap, 2000:261; Depkes RI, 2007:8-10).

World Health Organization (WHO), mencatat awal tahun 2012

dilaporkan dari 115 negara di dunia, prevalensi kusta baru yang terdaftar secara global sebanyak 232.857 kasus dan pada empat bulan pertama tahun 2013 jumlah kasus yang tercatat yaitu 189.018 kasus (WHO, 2013). Pada tahun 2011 ditemukan 244.796 kasus baru kusta di dunia dan 17.260 di antaranya merupakan kasus baru dari Indonesia(Kemenkes, 2011) Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2 dan PL), Indonesia telah mengalami eliminasi kusta pada tahun 2000, namun berdasarkan data yang dilaporkan jumlah penderita baru sampai saat ini tidak menunjukkan perubahan. Jumlah penderita kusta di dunia dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan. (Dirjen P2 dan PL, 2007: 13).

(19)

kusta di Indonesia tercatat 0,86% dengan Case Detection Rate (CDR) sebesar 7,22 per 100.000 penduduk. Penemuan kasus baru ini sudah sesuai target, karena target yang diharapakan pemerintah yaitu sebesar 1 per 10.000 penduduk (Kemenkes, 2011). Pada akhir Desember 2011, ditemukan 202 kasus kusta dengan prevalensi 0,16%. WHO menyebutkan, prevalensi Kusta di Indonesia tahun 2011 menempati posisi ke tiga setelah India dan Brazil (Harian Analisa, 2012)

Di tingkat nasional, Jawa Tengah termasuk provinsi endemis rendah kusta namun menduduki peringkat kedua untuk penemuan jumlah kasus baru. Prevalensi kusta di Jawa tengah pada tahun 2011 sebesar 0,8 per 10.000 penduduk dengan CDR 7 per 100.000 penduduk . Pada tahun 2012, dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.308 kasus dan tipe Pausibasilar sebanyak 211 kasus dengan CDR sebesar 4,57 per 100.000 penduduk. Sebanyak 9 daerah di sepanjang pantura Jawa Tengah meliputi Brebes, Tegal, Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kota Pekalongan, Kabupaten Jepara dan Kabupaten Demak merupakan daerah endemis tinggi kusta dengan rata-rata jumlah kasus lebih dari 1 per 10.000 penduduk (Dinkes Jateng, 2013).

(20)

penderita baru (CDR) 16,30 per 100.000 penduduk. Wilayah kerja Puskesmas Kunduran salah satu puskesmas di kabupaten Blora yang endemis tinggi penyakit kusta ,angka prevalensi kusta per 10.000 penduduk pada tahun 2010 sebanyak 5,6 per 10.000 penduduk. Penemuan penderita baru (CDR) yang terdapat pada wilayah kerja puskesmas kunduran yaitu 65 per 100.000, proposi MB sebanyak 48,15% , proporsi anak 7,4 % dan proporsi cacat tingkat 2 sebesar 18,5 %. pada tahun 2011 angka prevalensi kusta per 10.000 sebanyak 3,86 per 10.000, Penemuan penderita baru (CDR) sebanyak 56 per 100.000 penduduk, proporsi MB sebanyak 52%, proporsi anak 22% dan proporsi cacat tingkat 2 sebanyak 9%. Pada tahun 2012 angka prevalensi kusta per 10.000 sebanyak 3,54 per 10.000 Penemuan penderita baru(CDR) sebanyak 35,4 per 100.000 penduduk, proporsi MB sebanyak 50%, dan proporsi cacat tingkat 2 sebanyak 14%. bahwa penemuan penderita kasus kusta belum mencapai target nasional, menunjukan tingkat penularan penyakit kusta masih tinggi dan masih banyak penderita yang tersembunyi sebagai sumber penularan yang belum di ketahui sehingga masih menjadi masalah dipuskesmas kunduran. (DKK Blora 2010-2012).

(21)

luas, sehingga sebagian besar penduduk sekitar Wilayah Kerja Puskesmas kunduran bermata pencaharian Petani, Yang bekerja sebagai petani lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan.

Kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks tidak hanya dilihat dari segi medis namun meluas sampai masalah sosial, ekonomi dan budaya. Karena selain cacat yang ditimbulkan, rasa takut yang berlebihan terhadap kusta (leptophobia) akan memperkuat persoalan sosial ekonomi penderita kusta. Program Penanggulangan Penyakit (P2) kusta yang dilaksanakan di Indonesia mempunyai tujuan jangka panjang yaitu eradikasi kusta di Indonesia (Depkes RI, 2006).

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta telah banyak teliti sebelumnya.Seperti penelitian Maria (2009) menemukan bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta adalah umur, jenis kelamin, riwayat kontak, lama kontak, pendidikan, status sosial, kepadatan anggota keluarga, personal hygiene. Sedangkan hasil Puspita Kartika Sari (2005) menemukan bahwa jenis kelamin, kepadatan hunian, riwayat kontak serumah dan riwayat kontak tidak serumah memiliki hubungan dengan kejadian kusta, sedangkan umur, lama kontak, jumlah kontak dan tipe kusta kontak tidak memiliki hubungan dengan kejadian kusta.

(22)

faktor yang berhubungan adalah lama pengobatan dan yang tidak ada hubungan adalah umur, jenis kelamin, tipe kusta, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut dapat diketahui bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta sangat banyak.Selain itu beberapan hasil penelitian terdapat perbedaan seperti pada faktor umur, jenis pekerjaan dan jenis kelamin. Atas dasar hal tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kejadian kusta dengan judul “Faktor Risiko yang berhubungan dengan Kejadian Kusta (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora Tahun 2012)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian di atas berikut adalah ringkasan masalah penelitian antara lain :

1. Di tingkat nasional, Jawa Tengah termasuk provinsi endemis rendah kusta namun menduduki peringkat kedua untuk penemuan jumlah kasus baru. Prevalensi kusta di Jawa tengah pada tahun 2011 sebesar 0,8 per 10.000 penduduk dengan CDR 7 per 100.000 penduduk . Pada tahun 2012, dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.308 kasus dan tipe Pausibasilar sebanyak 211 kasus dengan CDR sebesar 4,57 per 100.000 penduduk.

(23)

penduduk , dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2011 sebanyak 1,60 per 10.000 penduduk serta pada tahun 2012 sebesar 1,52 per 10.000 penduduk dengan penemuan penderita baru (CDR) 16,30 per 100.000 penduduk.

3. Wilayah kerja Puskesmas Kunduran salah satu puskesmas di kabupaten Blora yang endemis tinggi penyakit kusta ,angka prevalensi kusta per 10.000 penduduk pada tahun 2010 sebanyak 5,6 per 10.000 penduduk. Penemuan penderita baru (CDR) yang terdapat pada wilayah kerja puskesmas kunduran yaitu 65 per 100.000, proposi MB sebanyak 48,15%, proporsi anak 7,4 % dan proporsi cacat tingkat 2 sebesar 18,5 %. pada tahun 2011 angka prevalensi kusta per 10.000 sebanyak 3,86 per 10.000, Penemuan penderita baru (CDR) sebanyak 56 per 100.000 penduduk, proporsi MB sebanyak 52%, proporsi anak 22% dan proporsi cacat tingkat 2 sebanyak 9%. Pada tahun 2012 angka prevalensi kusta per 10.000 sebanyak 3,54 per 10.000 Penemuan penderita baru(CDR) sebanyak 35,4 per 100.000 penduduk, proporsi MB sebanyak 50%, dan proporsi cacat tingkat 2 sebanyak 14%.bahwa penemuan penderita kasus kusta belum mencapai target nasional, menunjukan tingkat penularan penyakit kusta masih tinggi dan masih banyak penderita yang tersembunyi sebagai sumber penularan yang belum di ketahui sehingga masih menjadi masalah dipuskesmas kunduran.

1.2.1 Rumusan Masalah Umum

(24)

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus

1. Adakah hubungan jenis kelamin dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

2. Adakah hubungan umur dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

3. Adakah hubungan jenis pekerjaan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

4. Adakah hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

5. Adakah hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

6. Adakah hubungan Tingkat Pengetahuan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

7. Adakah hubungan Perilaku Personal Hygiene dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

2. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

(25)

4. Untuk mengetahui hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

5. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

6. Untuk mengetahui hubungan Tingkat Pengetahuan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

7. Untuk mengetahui hubungan Perilaku Personal Hygiene dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora?

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Untuk Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya dengan menambah variabel lain sehingga faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta dapat diketahui lebih mendalam.

1.4.2Untuk Puskesmas dan Instansi Terkait

Menambah bahan masukan dan informasi bagi pemerintah kabupaten / kota setempat maupun pihak-pihak yang terkait untuk menentukan rencana upaya penanggulangan kustadi wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora. 1.4.3 Untuk Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

1.4.4 Bagi Masyarakat

(26)

1.5 Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Penelitian-Penelitian yang Relevan dengan Peneletian ini

(27)

4.Riwayat

(28)

pada penelitian ini yang tidak terdapat pada penelitian sebelumnya adalah Jenis Pekerjaan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

1.6.1 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2013. 1.6.2 Ruang Lingkup Tempat

Lokasi penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kunduran kabupaten Blora. . 1.6.3 Ruang Lingkup Materi

(29)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kusta

2.2.1 Pengertian Kusta

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulo matosa menahun yang disebabkan oleh organisme intraseluler obligat M.leprae.Awalnya, kuman ini menyerang susunan saraf tepi, lalu menyerang kulit, mukosa, saluran napas, retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis. (Prof.Dr.Muh. Dali Amiruddin,

dr.sp.KK(K), 2012 : 11). 2.2.2 Etiologi

Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk pertama kali ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873.M.Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari sistem retikulo endotelial.Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu.Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada suhu 27-30oC (DepKes RI, 2006iu:9).

Kuman kusta ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belun juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.M. Leprae berbentuk basil tahan asam, dan alkohol serta gram-positif (Kokasih, dkk

(30)

2.2.3 Cara Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athimic nude mouse) (DepKesRI, 2006:9).

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiller (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit.

Timbulnya kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :

1. Faktor Sumber Penularan.

Sumber penulatan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur

2. Faktor Kuman Kusta.

Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuamn kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.

2.2.4 Epidemiologi

(31)

tahun 1999, insiden penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000 kasus dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat.Pada tahun 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. Tujuh puluh persen kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada tahun 2002 , ditemukan 763.917 kasus di seluruh dunia , dan menurut WHO pada tahun yang ditemukan 90% kasus kusta dunia terdapat di Brazil, Madagaskar, Tanzania , dan nepal.(Prof.Dr.Muh. Dali Amiruddin, dr.sp.KK(K), 2012 : 3)

2.2.5 Klasifikasi Penyakit Kusta

Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan.Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu Paucibacillary (PB) dan Multibacillary (MB).

Tabel 2.1: Pedoman Utama Untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Kusta menurut WHO

Tanda Utama PB MB

Bercak Kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah > 5

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi(Gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan)

Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif

(32)

Tabel 2.2: Tanda Lain yang Dapat Dipertimbangkan Dalam Penentuan Klasifikasi b.Distribusi Unilateral atau bilateral

asimetris

Bilateral simetris

c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

d.Batas Tegas Kurang tegas

e. Kehilangan rasa pada bercak

Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang

Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang

Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada

5. Deformitas Terjadi dini Biasanya simetris, terjadi

(33)

2.2.6 Diagnosis

Untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Adapun tanda-tanda utama atau cardinal sign yang perlu dicari untuk mendiagnosis penyakit kustayaitu:

2.2.6.1Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa;

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).

2.1.6.2 Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf;

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis primer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa: (1) Gangguan fungsi sensoris: mati rasa; (2) Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parase) atau kelumpuhan (paralise); (3) Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak. 2.1.6.3 Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA

positif).

(34)

Adapun tanda-tanda tersangka kusta (suspek) antara lain: 1. Tanda-tanda pada kulit;

a. Bercak atau kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh b. Kulit mengkilap

c. Bercak yang tidak gatal

d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut e. Lepuh tidak nyeri.

2. Tanda-tanda pada syaraf;

a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota badan atau muka. b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.

c. Adanya cacat (deformitas).

d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.

Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta, tidak sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:

1. Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, frambusia).

2. Jika tidak ditemukan mati rasa yang jelas maupun penebalan saraf namun ada tanda-tanda mencurigakan seperti nodul, pembengkakan pada wajah atau cuping telingga, atau infiltrasi pada kulit, perlu dilakukan pemeriksaan apusan kulit (skin smear).

(35)

dapat memulai Multidrug Therapy (MDT). Jika masih meragukan suspek perlu dirujuk (Departemen Kesehtan RI, 2006: 37).

2.1.7 Pemeriksaan Klinis

Untuk memeriksa seseorang yang dicurigai kusta harus dilakukan: 2.1.7.1 Anamnesa

Pada anamnesa ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya, meliputi:

1. Kapan timbul becak/keluhan yang ada?

2. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama (apakah ada riwayat kontak)?

3. Riwayat pengobatan sebelumnya (Departemen Kesehtan RI, 2006: 44). 2.1.7.2 Pemeriksaan fisik, yaitu:

1.Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit

Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba.Memeriksa dengan ujung dari kapas yang dilancipkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai.Sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya, menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjuk jari tangan ke atas untuk bagian yang sulit dijangkau.

(36)

telapak tangan dan kaki kurang tepat diperiksa dengan kapas, tetapi mengunakan bolpoint (Departemen Kesehatan RI, 2006: 46).

2. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya

Palpasi digunakan untuk dapat membedakan apakah ada penebalan atau pembesaran diperlukan pengalamann palpasi saraf yang normal pada orang sehat.Sewaktu melakukan palpasi saraf lihat juga mimik penderita, apakah ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak.Dari beberapa saraf yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialis posterior (Departemen Kesehtan RI, 2006: 48).

Untuk diagnosis secara lengkap selain pemeriksaan klinis juga dilakukan pemeriksaan tambahan bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan, yaitu: 1. Pemeriksaan Bakterioskopik

(37)

2. Pemeriksaan Histopatplogik

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel sel Kuffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit.salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. Leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae (Kokasih, dkk, dalam Djuanda 2007: 81).

3. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae.Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologis yang tidak jelas.Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah (Kokasih, dkk, dalam Djuanda 2007: 79).

2.1.8 Pencegahan

(38)

adanya perbaikan pada kondisi sosial ekonomi masyarakat di suatu daerah.Hal ini dikarenakan penyakit kusta diduga dapat dengan mudah menular melalui penderita kusta apabila disokong oleh lingkungan dan kebersihan diri yang buruk.

Adapun usaha untuk pemutusan rantai penularan penyakit kusta dapat dilakukan melalui :

1. Pengobatan MDT penderita kusta

2. Isolasi terhadap penderita kusta. Namun hal ini tidak dianjurkan karena penderita yang sudah berobat tidak akan menularkan penyakitnya ke orang

lain.

3. Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta. Dari hasil penelitian di Malawi, tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan sebesar 50%, dengan pemberian dua dosis dapat memeberikan perlindungan terhadap kusta hingga 80%. Namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut, karena penelitian dibeberapa negara memberikan hasil yang berbeda (Departemen Kesehatan RI, 2006: 11).

2.1.9 Kecacatan

(39)

radialis, ulnaris, medianus, poplitea lateralis (poroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan fungsi sensoris, motoris maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik memperlihatkan gambaran kecacatan yang khas.

Tabel 2.4: Kecacatan karena Terganggunya Fungsi Saraf

Saraf

Fungsi

Motorik Sensorik Otonom

Fasialis Kelopok mata tidak Radialis Tangan lunglai

Peroneus Kaki samper Tibialis

posterior

Jari kaki kiting Mati rasa telapak kaki

Sumber: (Departemen Kesehatan RI, 2006: 95).

(40)

Tingkat cacat juga digunakan untuk menilai kualitas penangganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas. Fungsi lain dari tingkat cacat adalah untuk menilai kualitas penemuan dengan melihat proporsi cacat tingkat 2 di antara penderita baru (Departemen Kesehtan RI, 2006: 96).

Untuk Indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan di lapangan, maka tingkat cacat disesuaikan sebagai berikut:

Tabel 2.5:Tingkat Kecacatan di Indonesia

Tingkat Mata Telapak tangan/kaki

0 Tidak ada kelainan pada mata akibat kusta

Tidak ada cacat akibat kusta.

1 Anestesi, kelemahan otot (tidak

ada cacat/kerusakan yang kelihatan akibat kusta).

2 Ada lagophthalamus Ada cacat/kerusakan yang kelihatan akibat kusta, misalnya ulkus jari kiting, kaki semper. Sumber: (Departemen Kesehtan RI, 2006: 96).

Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat.

(41)

Cacat tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat. Untuk mata:

1. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos).

2. Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis). 3. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.

Untuk tangan dan kaki:

1. luka dan ulkus di telapak.

2. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsial dari jari-jari (Departemen Kesehtan RI, 2006: 97).

Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam pencegahan cacat antara lain dengan:

1. Penemuan dini penderita sebelum cacat.

2. Pengobatan penderita dengan MDT sampai RFT.

3. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin.

4. Penanganan reaksi. 5. Penyuluhan. 6. Perawatan diri.

7. Pengguanaan alat bantu.

8. Rehabilitasi medis (operasi rekonstruksi).

(42)

2.1.10 Pengobatan

Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat membunuh kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus. Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, penggobatan hanya dapat cacat lebih lanjut. Penderita kusta yang tidak minum oabat secara teratur maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Departemen Kesehatan RI, 2006: 71).

Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat membunuh kuman kusta dengan demikian pengobatan akan:

1. Memutuskan mata rantai penularan. 2. Menyembuhkan penyakit penderita

3. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang. Hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus (Depkes RI, 2007: 73).

(43)

teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan.Di sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa (Depkes RI, 2007: 73).

2.1.10.1 Regimen Pengobatan MDT

MDT atau Multidrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik (Depkes RI, 2007: 73).

Berikut ini merupakan kelompok orang-orang yang membutuhkan MDT: a. Kasus baru: mereka dengan tanda kusta yang belum pernah mendapat

pengobatan MDT.

b. Ulangan, termasuk didalamnya adalah:

1. Relaps (kambuh) diobati dengan regimen pengobatan baik PB ataupun MB.

2.Masuk kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali setelah dinyatakan default (baik PB maupun MB).

3.Pindahan (pindah masuk): harus dilengkapi dengan surat rujukan berisi catatan pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut. Kasus ini hanya membutuhkan sisa pengobatan yang belum lengkap.

(44)

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penderita Pauci Baciler (PB) Dewasa

Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas) a. 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)

b. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg Pengobatan harian: hari ke 2-28 a. 1 tablet dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan

Lama pengobatan: 6 blister diminum selama 6-9 bulan 2. Penderita Multi-Basiler (MB)

Dewasa

Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas) a. 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)

b.3 tablet Lampren @100 mg (300 mg) c. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg Pengobatan harian: hari ke 2-28 a. 1 tablet Lampren 50 mg b. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan

(45)

3. Dosis MDT menurut umur

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan.

a. Rifampisin : 10 mg/kg BB

b. DDS : 2 mg/kg BB

c. Clofazimin : 1 mg/kg BB

Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi penderita kusta digunakan bagan sebagai berikut:

(46)

2.1.10.2 Sediaan dan Sifat Obat 1. DDS (Dapsone)

a. Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone

b. Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tab

c. Bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi/ menghambat pertumbuhan kuman kusta

d. Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 10-14 th 50 mg/hari 2. Lamprene (B663) juga disebut Clofazimine

a. Bentuk kapsul, warna coklat, dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kapsul

b. Sifat

1) Bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta, bakterisid lemah

2) Anti reaksi (menekan reaksi sebagai anti inflamasi) c. Cara pemberian

Secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari gangguan gastrointestinal. Pengobatan reaksi akan diuraikan pada materi reaksi. 3. Rifampicin

a. Bentuk : kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg. b. Sifat mematikan kuman kusta secara cepat (bakterisid), 99% kuman

(47)

c. Cara pemberian obat : cara oral, bila diminum setengah jam sebelum makan penyerapan lebih baik.

4. Obat-obat penunjang (vitamin/ Roboransia) a. Sulfat Ferrosus

Obat tambahan untuk penderita kusta yang anemia berat. b. Vitamin A

Obat ini digunakan untuk penyehatan kulit yang berisik (Ichtyosis) c. Neurotropik

Penderita dengan keadaan khusus

1. Kehamilan : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya.

2. Tuberkulosis : bila seorang anak menderita tuberculosis (TB) dan kusta, maka pengobatan anti tuberculosis dan MDT dapat diberikan bersamaan dengan dosis untuk tuberculosis.

a. Untuk penderita TB yang menderita kusta tipe PB pengobatan kustanya cukup ditambahkan dengan DDS 100 mg karena Rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.

(48)

3. Untuk penderita PB yang alergi terhadap DDS, DDS diganti dengan lampren dengan dosis dan jangka waktu pengobatan sama.

4. Untuk penderita MB yang alergi terhadap DDS, pengobatan hanya dengan dua macam obat saja. Rifampisin dan Lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan MB (Depkes RI, 2007: 76).

2.1.11 Reaksi Kusta

Satu karakteristik dari penyakit kusta yang menjadi penyebab terjadinya cacat adalah terjadinya peradangan yang mengenai saraf (neuritis).Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair respons) atau reaksi antigen-antibodi (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi/cacat (Depkes RI, 2007: 90).

Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.Gambaran klinisnya sangat khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri, dan dapat disertai gangguan fungsi saraf.Namun tidak semua gejala reaksi serupa.Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas.Diperkirakan bahwa sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting (Depkes RI, 2007: 89).

1. Reaksi Tipe 1

(49)

pengobatan dan terjadi karena peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respon radang pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini.

Gejala-gejalanya dapat dilihat berupa perubahan pada kulit maupun saraf dalam bentuk peradangan.Kulit merah, bengkak, panas, nyeri dan panas.Pada saraf, manifestasi yang terjadi berupa nyeri atau gangguan fungsi saraf.Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum penderita (konstitusi), seperti demam, dll (Depkes RI, 2007: 91).

2. Reaksi Tipe 2

Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral karena tingginya respons imun humoral pada penderita borderline lepromatous dan lepromatous lepromatous, dimana tubuh membentuk antibodi karena salah

satu protein M. leprae tersebut bersifat antigenik.Banyaknya antibodi yang terbentuk disebabkan oleh banyaknya antigen (protein kuman).Reaksi yang terjadi (pada kulit) nampak sebagai kumpulan nodul merah, maka disebut sebagai ENL (Erithema Nodosum Leprosum) dengan konsistensi lunak dan nyeri (Depkes RI, 2007: 92).

3. Proses terjadinya cacat kusta

Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :

a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya: mata).

(50)

Secara umum fungsi saraf dikenal ada 3 macam yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba dan fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak.Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena (Depkes RI, 2007: 101).

4. Tingkat cacat menurut WHO

Kecacatan merupakan istilah luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang.Tiap kasus baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya karena menunjukkan kondisi penderita pada saat diagnosis ditegakkan.Angka cacat tertinggi merupakan tingkat cacat untuk penderita tersebut (tingkat cacat umum).Tingkat cacat juga digunakan untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas (Depkes RI, 2007: 103).

Untuk indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan di lapangan maka tingkat cacat disesuaikan sebagai berikut:

Tabel 2.8 Tingkat Cacat Kusta

Tingkat Mata Telapak tangan/kaki

0 Tidak ada kelainan pada mata akibat kusta.

Tidak ada cacat akibat kusta.

1 Anestesi, kelemahan otot, (tidak

ada cacat/ kerusakan yang kelihatan akibat kusta). 2 Ada lagophthalmos Ada cacat/ kerusakan yang

(51)

Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat.

Cacat tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki.Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa di lapangan oleh karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata.Cacat tingkat 1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah.Mati rasa pada bercak bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit.

Cacat tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat. Untuk mata:

1. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos).

2. Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis).

3. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan. Untuk tangan dan kaki:

1. Luka dan ulkus di telapak

2. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsial dari jari-jari (Depkes RI, 2007: 104).

5. Upaya pencegahan cacat Komponen pencegahan cacat:

(52)

2. Pengobatan penderita dengan MDT sampai RFT

3. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin

4. Pengangan reaksi penyuluhan Perawatan diri

5. Penggunaan alat bantu

6. Rehabilitasi medis (Depkes RI, 2007: 105)

2.1.12 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta

Timbulnya penyakit kustadiduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

2.1.12.1 Jenis Kelamin

Dalam menjaga kesehatan biasanya kaum perempuan lebih memperhatikan kesehatannya dibandingkan laki-laki.Jenis kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan pola perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin ,perempuan lebih sering mengobatkan dirinya dibandingkan laki-laki (Soekidjo Notoatmodjo,2003:114).

(53)

2.1.12.2 Umur

Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur.Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun).Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Diagnosis umur kusta pada fenomena Lucio diketahui antara umur 15 hingga 71 tahun dengan rata-rata umur 34 tahun (Depkes RI, 2007: 8; Latapi’s Lepromatosis, 2005:177)

Pada penyakit kronik seperti kusta diketahui diketahui terjadi pada semua umur ,namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Kejadian suatu penyakit erat hubungannya dengan umur. (DepKes RI , 2006;:8).

2.1.12.3 Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari yang dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan ringan (tidak bekerja, pelajar, pegawai kantor) dan pekerjaan berat (pekerja bangunan, buruh, tukang batu, pekerja bengkel, penjahit, buruh angkut, pembantu, petani dan nelayan).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily Af’idah (2012)

(54)

2.1.12.4 Status Sosial

Faktor ini juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kusta adalah tingkat ekonomi atau status sosial, yang bisa dideskripsikan dengan besarnya penghasilan.Besarnya penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup kesehariannya, termasuk kebutuhan makan dan kesehatan. Jika kebutuhan akan makanan sehat tidak terpengaruhi maka dapat melemahkan imunitas atau daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang suatu penyakit (Indan, 2004:24)

2.1.12.5 Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya.Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 26; Budioro, 1997:113).

2.1.12.6 Tingkat Pengetahuan

(55)

2.1.12.7 Personal Hygiene

Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit menular, terutama yang ditularkan secara kontak langsung (Nur Nasry Noor, 2006: 24).

(56)

2.2 KERANGKA TEORI

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Maria (2009); Arif Mansjoer, (2000); Depkes RI, (2007). Mycobacterium

leprae

Kejadian Kusta Umur

Jenis Kelamin Faktor Internal

Faktor Eksternal

Status Sosial Ekonomi

Personal Higiene (Kebersihan Pribadi)

Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan

(57)

41 BAB III

METODE PENELITIAN

3.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lain dari masalah yang ingin diteliti, atau dapat diartikan sebagai suatu hubungan atau kaitan antara konsep atau variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang dimaksudkan (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:33). Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dituliskan

Gambar 3.1: Kerangka Konsep

Sumber: Adhi Djuanda, (2000); Arif Mansjoer, (2000); Depkes RI, (2007).

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap rumusan masalahan penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam

Variabel Bebas

1. Jenis Kelamin 2. Umur

3. Jenis Pekerjaan 4. Status Sosial 5. Tingkat Pendidikan 6. Tingkat Pengetahuan 7. Personal Higiene

Variabel Terikat

(58)

bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2008:64). Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora.

2. Ada hubungan umur dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora.

3. Ada hubungan jenis pekerjaan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora.

4. Ada hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora.

5. Ada hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora.

6. Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora.

7. Ada hubungan Personal Higiene dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas kunduran kabupaten Blora.

3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey analitik, dengan rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta di wilayah kerja puskesmas Kunduran Kabupaten Blora.

(59)

diobservasi pada satu saat tetapi diikuti sampai periode waktu tertentu (Sudigdo dan Sofyan, 2002). Skema penelitian kasus kontrol adalah :

3.5 Variabel Penelitian

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2010:103) yang dimaksud variabel yaitu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain. Pada penelitian ini variabel yang digunakan yaitu:

3.6.1 Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2008:39). Variabel bebas yang diteliti pada penelitian ini adalah adalah Jenis Kelamin, Umur, Jenis Pekerjaan, Status Sosial, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Sikap, Perilaku Mencegah.

3.6.2 Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yag menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2008:39).Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian kusta.

Faktor risiko (+)

Faktor risiko (+) Faktor risiko (-)

Faktor risiko (-)

(60)

3.6 Definisi Operasional

Menurut Soekidjo Notoadmodjo (2005) definisi operasional variabel bermanfaat untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti, selain itu juga bermanfaat untuk mengarahkan pada pengukuran atau pengamatan. Dalam penelitian ini definisi operasional dan skala pengukurannya dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasinal Alat Ukur Hasil ukur Skala

(1) (2) (3) (4) (5) (6) berisiko kusta adalah laki-laki

Kuesioner 1. Berisiko = Laki-laki

2. Tidak Berisiko = Perempuan

Nominal

2. Umur Usia responden yang terhitung sejak lahir sampai menderita kusta

Kuesioner 1. Berisiko = 15-29tahun

(61)

didiagnosa menderita kusta. Pekerjaan berisiko bila salah satu ada diantaranya pekerja bangunan,

Kuesioner 1. Berisiko = Penghasilan

Kuesioner 1. Berisiko = Pendidikan

(62)

7 Personal

Kuesioner 1. Berisiko = personal hygiene

Populasi adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai karakteristik tertentu (Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismail, 2002: 67).

3.7.1.1Populasi Kasus

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora tahun 2012 dengan jumlah 48 orang. 3.7.1.2Populasi Kontrol

Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah bukan penderita kusta yang tercatat dalam rekam medik puskesmas Kunduran Kabupaten Blora tahun 2012. 3.6.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismail, 2002: 68).

(63)

Sampel kasus dalam penelitian ini adalah penderita kusta yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas kunduran yang tercatat pada rekam medik puskesmas Kunduran Kabupaten Blora tahun 2010.

3.7.2.1.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora, dengan ketentuan :

1. Bersedia mengikuti penelitian

2. Didiagnosa menderita penyakit kusta dilihat dari rekam medis 3. Dapat berkomunikasi dengan baik

4. Umur ≥15 tahun

3.7.2.1.2 Kreteria Ekslusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini dengan ketentuan 1. Tidak bersedia mengikuti penelitian.

2. Tidak menetap di wilayah Puskesmas Kunduran pada saat penelitian berlangsung

3. Tidak berada di tempat ketika penelitian berlangsung (2x kunjungan) 3.7.2.2 Sampel Kontrol

Sampel Kontrol adalah tetangga kasus bukan penderita kusta yang tinggal menetap di Kabupaten Blora pada saat penelitian berlangsung yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

3.6.2.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini dengan ketentuan: 1. Tinggal menetap di wilayah Puskesmas Kunduran

(64)

2.6.2.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini dengan ketentuan: 1. Tidak bersedia mengikuti penelitian

2. Tidak berada di tempat ketika penelitian berlangsung (2x kunjungan) 3.6.3 Teknik Pemilihan Sampel

Sampel yang dipilih hanya penderita kusta baik tipe PB, tipe MB dengan umur minimal 15 tahun. Besar sampel dalam penelitian ini berdasarkan nilai OR dan proporsi paparan pada kelompok kontrol (P2) dari penelitian Maria Christiana dengan tingkat kepercayaan 95% (Zα = 1,960) dan kekuatan penelitian 80% (Zβ =

0,842) sebagai berikut:

Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan OR dengan sampel penelitian kategorik tidak berpasangan yaitu sebagai berikut (Sudigdo Sastroatmodjo dan Sofyan Ismael, 2011: 368) :

√ √

Keterangan :

n1=n2 : Besar sampel untuk kasus dan kontrol zα : Tingkat kepercayaan (95%=1,960) zβ : Power penelitian (80% = 0,842)

P1 : Perkiraan proporsi efek pada kasus

P2 : Perkiraan pada kelompok kontrol (50% = 0,5) Q : Proporsi kontrol terpapar

(65)

Q1 = 1 - P1 = 1 - 0,8 = 0,2 Q2 = 1 – P2 = 1 – 0,5 = 0,5

P = ½ (P1+P2) = ½ (0,8 + 0,5) = 0,65 Q = ½ (Q1+Q2)= ½ (0,2 + 0,5) = 0,35

√ √ √ √

√ √

orang

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh sampel sebanyak 40 orang. Penelitian ini menggunakan perbandingan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol 1:1 dengan jumlah kasus 40 dan kontrol 40, sehingga secara keseluruhan jumlah sampel sebanyak 80 orang.

3.8 Sumber Data Penelitian

(66)

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini melalui wawancara dengan sampel penelitian.

3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Blora Puskesmas Kunduran berupa laporan kejadian kusta dan rekam medik dari bulan januari-desember 2012

3.9 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian adalah perangkat yang digunakan untuk mengungkap data dari penelitian yang dilakukan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

3.8.1.1 Rekam Medik

Laporan tahunan untuk mengetahui jumlah penderita kusta serta data tentang identitas penderita, umur, jenis kelamin dan alamat.

1.8.1.2 Kuesioner

Kuesioner untuk wawancara dan observasi tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta.

3.10Validitas dan Reliabilitas

3.9.1 Validitas Instrumen

(67)

kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi ntara skor masing-masing variabel dengan skor totalnya (Agus Riyanto, 2010: 40). Teknik korelasi yang digunakan korelasi Pearson Product Moment. Dengan rumus :

rxy =

 



rxy = korelasi antara variabel x dan variabel y

X = nilai variabel bebas Y = nilai variabel terikat n = jumlah sampel

Nilai korelasi (r) berkisar 0 s.d 1 atau bila dengan disertai arahnya nilainya -1 s.d +1.

r = 0 ; artinya tidak ada hubungan linier

r = -1 ; artinya hubungan linier negatif sempurna

r = +1 ; artinya hubungan linier positif sempurna (Agus Riyanto, 2010 : 124) 3.9.2 Reliabilitas Instrumen

(68)

r11 = reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

2

b

 = jumlah varian butir/item

2

t

V = varian total

Untuk melakukan uji ini, dapat langsung mengamati nilai alpha (koefisien reliabilitas), kuesioner dapat dikatakan reliabel jika mempunyai alpha lebih dari 0,6.

3.11Teknik Pengambilan Data

3.10.1Wawancara

Panduan Kuesioner digunakan untuk melakukan wawancara dalam penelitian, diberikan kepada responden untuk mengetahui faktor risiko kejadian kusta.

3.10.2Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan cara mengambil data dari tentang identitas dan rekam medik Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora.

3.12Prosedur Penelitian

3.11.1 Tahap awal penelitian

Adalah kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Adapun kegiatan pada awal penelitian adalah:

1. Koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini tentang tujuan dan prosedur penelitian

(69)

3. Penyusunan kuesioner

4. Mempersiapkan perlengkapan lainnya 3.11.2 Tahap Penelitian

Tahap penelitian adalah kegiatan yang dilakukan saat pelaksanaan penelitian. Adapun kegiatan pada tahap penelitian adalah:

1. Pengisian kuesioner 3.11.3 Akhir Penelitian

Tahap akhir penelitian adalah kegiatan yang dilakukan pada saat setelah selesai penelitian adalah:

1. Pencatatan hasil penelitian 2. Analisis data

3.13Teknik Analisis Data

3.12.3Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.Analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan prosentase dari tiap-tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 188).Hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi untuk mengevaluasi besarnya proporsi masing-masing variabel yang diteliti.

3.12.4Analisis Bivariat

(70)

jumlah kelompok yang diuji adalah dua kelompok (penderita kusta dan bukan penderita kusta), serta tidak berpasangan.

1) Penentuan Odds Ratio (OR) Menggunakan tabel 2x2 Tabel 3.2 Tabel 2x2 Penentuan OR

Kasus Kontrol Jumlah

Faktor Ya A B A + B

Risiko Tidak C D C + D

Jumlah A + C B + D A+B+C+D

Hasil pengamatan pada penelitian ini digambarkan dengan menggunakan tabel 2x2 yaitu sebagai berikut:

Keterangan :

Sel A : Kasus yang mengalami pajanan Sel B : Kontrol yang mengalami pajanan Sel C : Kasus yang tidak mengalami pajanan Sel D : Kontrol yang tidak mengalami pajanan Rumus menghitung OR :

( Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismail, 2002: 119)

(71)

1. OR > 1, dan 95% CI tidak mencakup angka 1, menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor risiko timbulnya penyakit.

2. OR > 1, dan 95% CI mencakup angka 1, menunjukkan bahwa faktor yang diteliti belum merupakan faktor risiko timbulnya penyakit.

3. OR = 1, dan 95% CI mencakup angka 1 atau 95% CI mencakup angka 1, menunjukkan bahwa faktor yang diteliti bukan merupakan faktor risiko timbulnya penyakit.

4. OR < 1, dan 95% CI tidak mencakup angka 1, menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor protektif yang dapat mengurangi terjadinya penyakit.

(72)

56 BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.3 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Kunduran merupakan satu diantara dua Puskesmas yang ada di Wilayah Kecamatan Kunduran, yang mempunyai W ilayah kerja sebanyak 16 desa dan 1 Kelurahan.Puskesmas Kunduran merupakan salah satu dari 5 Puskesmas Perawatan diKabupaten Blora. Batas wilayah kerja Puskesmas Kunduran adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Puskesmas Todahan 2. Sebelah Timur dengan Puskesmas Ngawen

3. Sebelah Barat dengan Puskesmas Ngaringan (Kabupaten Grobogan) 4. Sebelah Selatan dengan Puskesmas Sono Kidul

Secara administrasi wilayah kerja Puskesmas Kunduran terdiri dari 17 Desa dengan jumlah penduduk 40,229 jiwa. Sebagian besar bekerja di pertanian dan sebagai buruh.

4.4 Hasil Penelitian

4.2.1 Deskripsi Responden

(73)

rekam medis puskesmas Kunduran dan responden kontrol terdiri dari 40 orang yang merupakan tetangga kasus yang tidak tercatat dalam rekam medis.

4.2.1.1 Distribusi Responden menurut Umur Responden

Distribusi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur Frekuensi Persentase (%)

(1) (2) (3)

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa responden terbanyak terdapat pada kelompok umur 37-47 tahun dengan jumlah 28 responden dan persentase sebesar 35,0%. Umur minimal responden adalah 15 tahun dan umur maksimal responden adalah 78 tahun

4.2.1.2 Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin Responden

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang menjadi sampel adalah laki-laki yaitu sebanyak 43 responden dengan persentase

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

(1) (2) (3)

Laki-Laki 43 53,8

Perempuan 37 46,3

Gambar

Tabel 1.1 Penelitian-Penelitian yang Relevan dengan Peneletian ini
Tabel 2.1: Pedoman Utama Untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Kusta menurut WHO
Tabel 2.2: Tanda Lain yang Dapat Dipertimbangkan Dalam Penentuan Klasifikasi Penyakit Kusta
Tabel 2.4: Kecacatan karena Terganggunya Fungsi Saraf
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia- Nya, sehingga skripsi yang berjudul “ Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta (Studi Kasus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara paparan sinar matahari, diabetes mellitus, konsumsi sayuran, konsumsi protein hewani, kebiasaan

dalam upaya pencegahan penularan dan terjadinya kecacatan pada penderita kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Kapita Kabupaten Jeneponto. c) Untuk mengetahui adanya hubungan antara

Hasil analisis multivariat pada tabel 3 menunjukkan terdapat tiga variabel yang terbukti sebagai faktor risiko kejadian drop out pengobatan penderita kusta yang

Pada tahun 2022 prevalensi diabetes mellitus tipe II untuk Kota Jambi sebesar 11,679 dengan proporsi 2,04 % per 100 jumlah penduduk.Tujuan penelitian ini adalah

Faktor(Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Rematik pada Lansia Di RW 06 Kelurahan Krukut Kecamatan Limo Depok tahun 2009, didapatkan ada hubungan faktor berat

Menurut Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2018, dampak yang ditimbulkan stunting yaitu peningkatan kejadian kesakitan dan kematian,

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2011.. ix+ 74 halaman, 6 tabel, 3 gambar,