• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Tabel State of the Art Nama Peneliti. Yang Digunakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Tabel State of the Art Nama Peneliti. Yang Digunakan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

7

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the Art)

Tabel 2.1 Tabel State of the Art No. Judul Penelitian Nama Peneliti Metode Yang Digunakan

Hasil Penelitian Perbedaan Dengan Penelitian Skripsi Ini 1. Representasi Feminisme dalam Film “Snow White And The Huntsman” Yolanda Hana Chornelia, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra Surabaya-2013 Kualitatif, Analisis Semiotika John Fiske. Adanya representasi feminisme dalam pengambilan keputusan, kekuatan, dan kepemimpinan berdasarkan hal yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan di dalam film “Snow White and the Huntsman” Penelitian Yolanda menelaah tentang feminisme yang terdapat dalam Film “Snow White and the Huntsman” menggunakan semiotika John Fiske, sedangkan penelitian ini menelaah tentang feminisme di dalam Film “Divergent” menggunakan semiotika

(2)

Roland Barthes. 2. Budaya Pop dan

Politik : Analisis Semiotik terhadap Penampilan Iwan Fals di TRANS TV, 4 April 2004 Pawito, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta- 2005 Kualitatif, Analisis Semiotika Ferdinand de Saussure. Tayangan langsung konser musik Iwan Fals di TRANS TV, 4 April 2004 menjadi pesan

moral yang

ditujukan bagi para elite politik

dan para pemimpin bangsa untuk menjalankan politik bersih. Penelitian Pawito menelaah tentang budaya pop dan politik pada sebuah tayangan konser musik menggunakan semiotika Ferdinand de Saussure, sedangkan penelitian ini menelaah tentang feminisme di dalam Film “Divergent” menggunakan semiotika Roland Barthes.

(3)

3. Mistisme

Simbolik Kartu Tarot The Devil (Studi Semiotika

Tarot “The

Devil” dari Buku “Easy Tarot” Lidia Pratiwi)

Feni Fasta dan Christina Arsi Lestari, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana-2012 Kualitatif, Analisis Semiotika Ferdinand de Saussure.

Sosok The Devil pada kartu tarot sebenarnya melambangkan diri manusia yang jika berada dalam keadaan lemah, terpuruk, dan dilingkupi kegelapan akan ditampilkan melalui pikiran, perkataan, maupun perilaku yang buruk kepada sesama makhluk Tuhan. Penelitian Feni dan Christina menelaah tentang pemaknaan kartu tarot The Devil menggunakan semiotika Ferdinand de Saussure, sedangkan penelitian ini menelaah tentang feminisme di dalam Film “Divergent” menggunakan semiotika Roland Barthes. 4. Four-Color Sound: A Peircean Semiotics of Comic Book Onomatopoeia Sean A.Guynes, Department of American Studies, University of Massachussets Boston-2014. Kualitatif, Analisis Semiotika Charles Sander Peirce. Onomatopoeia adalah pembentukan sebuah kata dari

suara yang

berhubungan dengan apa yang dinamakan, misalnya “ouch”, “hahahaha”, dsb. Penelitian Guynes menelaah tentang penggunaan onomatopoeia dalam komik superhero Amerika menggunakan semiotika

(4)

Dalam penelitian Guynes,

onomatopoeia ternyata bukan merupakan kunci utama dari sebuah komik, melainkan onomatopoeia menghidupkan gambar komik yang terlihat statis dan merupakan bagian dari sistem komik sebagai unit gramatikal yang terlihat dengan gambar. Onomatopoeia dalam penelitian ini mencirikan komik-komik superhero Amerika keluaran Marvel dan DC Comics. Charles Sander Peirce, sedangkan penelitian ini menelaah tentang feminisme di dalam Film “Divergent” menggunakan semiotika Roland Barthes.

(5)

5. Towards a Social Semiotic Approach of the Analysis of Emotion in Sound and Music David Machin, Cardiff School of Journalism, Media and Cultural Studies, Cardiff University, United Kingdom-2011 Kualitatif, Analisis dengan Pendekatan Semiotika Sosial Untuk dapat memahami apa yang ingin musisi sampaikan melalui musik dan lirik lagunya diperlukan pemahaman akan semiotik yang dibuat oleh si musisi, agar para pendengar dapat lebih menghargai sumber semiotik yang dipilih dan sisi kreativitas dari musisi tersebut. Penelitian Machin menelaah tentang emosi yang terkandung di dalam lagu “Billie Jean” Michael Jackson dengan menggunakan pendekatan semiotika sosial, sedangkan penelitian ini menelaah tentang feminisme di dalam Film “Divergent” menggunakan semiotika Roland Barthes. 2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Konsep Film 2.2.1.1Pengertian Film

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Banyak orang menggemari film dan menontonnya, baik di bioskop, di televisi, atau bahkan melalui film video laser (Ardianto, dkk., 2014:143). Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Film dapat dikatakan sebagai media komunikasi massa

(6)

karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam artian memiliki jumlah banyak, tersebar di mana-mana, khalayaknya heterogen dan anonim, serta mampu menimbulkan efek tertentu (Vera, 2014:91).

Film memiliki definisi yang berbeda di setiap negara, misalnya di Prancis ada pembedaan antara film dan sinema. “Filmis” artinya berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya, seperti sosial politik dan kebudayaan. Di Yunani, film dikenal dengan istilah cinema yang berasal dari singkatan cinematograph (nama kamera dari Lumiere bersaudara). Secara harfiah, cinematographie berarti cinema (gerak), tho atau phytos adalah cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan atau gambar. Jadi, cinematographie adalah melukis gerak dengan cahaya. Selain itu, ada istilah lain untuk film dari bahasa Inggris, yaitu movies. Movies berasal dari kata move yang berarti gambar bergerak atau gambar hidup. Film menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1 adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (Vera, 2014:91).

Berdasarkan seluruh definisi mengenai film, dapat dilihat bahwa film adalah media komunikasi massa yang mampu menampilkan gambar bergerak dengan tema tertentu, menggunakan suara atau tanpa suara, dan dapat dipertunjukkan.

2.2.1.2 Karakteristik Film

Ardianto, dkk. (2014:145-147) menyebutkan bahwa film memiliki sejumlah karakteristik, diantaranya, pertama, layar yang luas atau lebar, layar berukuran luas berguna untuk memberikan keleluasaan pada penonton agar dapat melihat berbagai adegan yang disajikan di dalam film; kedua, pengambilan gambar, pengambilan gambar atau shot untuk film menggunakan extreme long shot dan panoramic shot, yaitu pemandangan menyeluruh, ini dilakukan untuk memberikan kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, agar film menjadi lebih menarik; ketiga, konsentrasi penuh, menonton film di bioskop dengan ruangan yang kedap suara dan lampu

(7)

dimatikan, membuat perhatian penonton fokus tertuju pada adegan film, sehingga penonton [dapat] terbawa suasana dan alur cerita film; keempat, identifikasi psikologis, konsentrasi penuh saat menonton film di bioskop, tanpa disadari membuat penonton terlarut dalam penghayatan dan menyamakan (mengidentifikasikan) dirinya dengan salah satu tokoh dalam film tersebut, jadi seolah penonton merasa dirinya yang sedang berperan.

2.2.1.3 Unsur Pembentuk Film

Sebuah film dapat terbentuk melalui adanya dua unsur pembentuk yang saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain, yaitu unsur naratif dan unsur sinematik (Pratista, 2008:1).

Gambar 2.1 Unsur pembentuk film (Pratista, 2008:2)

Unsur naratif adalah bahan atau materi yang akan diolah. Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Setiap cerita pasti memiliki beberapa elemen yang membentuk unsur naratif secara keseluruhan, seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, dan lainnya. Elemen-elemen tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan membentuk sebuah jalinan peristiwa. Jalinan peristiwa tersebut terikat oleh sebuah aturan yaitu hukum kausalitas atau sebab-akibat (Pratista, 2008:2).

Unsur sinematik adalah cara atau gaya untuk mengolah materi tersebut (unsur naratif). Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam sebuah produksi film. Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yaitu mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Mise-en-scene adalah semua hal yang berada di depan kamera. Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil. Editing adalah transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot)

FILM

(8)

lainnya. Suara adalah segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran (Pratista, 2008:2).

2.2.1.4 Jenis Film

Film secara umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu, film dokumenter (nyata), film fiksi (rekaan), dan film eksperimental (abstrak), (Pratista, 2008:4-8).

Gambar 2.2 Jenis-jenis film (Pratista, 2008:4)

Divergent, termasuk ke dalam jenis film fiksi, yaitu film yang terikat oleh plot (alur). Film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terikat hukum kausalitas. Dalam cerita film fiksi biasanya terdapat karakter protagonis dan antagonis, masalah dan konflik, penutupan, serta pola pengembangan cerita yang jelas. Film fiksi ternyata juga [dapat] diangkat dari kejadian nyata, seperti film biografi yang menampilkan kisah hidup seorang tokoh.

2.2.1.5 Klasifikasi Film

Dalam mengklasifikasikan film metode yang paling sering digunakan adalah dengan membaginya berdasarkan genre. Genre secara umum membagi film berdasarkan jenis dan latar ceritanya. Setiap genre memiliki karakteristik khas yang membedakan antara satu genre dengan genre lainnya (Pratista, 2008:9-10).

Istilah genre berasal dari bahasa Prancis yang berarti bentuk atau tipe. Dalam film, genre dapat diartikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas), seperti setting, isi dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Berdasarkan klasifikasi tersebut dihasilkan sejumlah genre populer, seperti aksi, petualangan, drama,

Dokumenter Fiksi Eksperimental

(9)

komedi, horor, western, thriller, film noir, roman, dan sebagainya (Pratista, 2008:10).

Genre memiliki sejumlah fungsi, diantaranya, untuk memudahkan klasifikasi sebuah film, berdasarkan waktu produksi; sebagai salah satu strategi marketing yang digunakan oleh industri film; dan sebagai antisipasi penonton terhadap film yang akan ditonton, misalnya jika penonton ingin mendapatkan hiburan ringan, maka penonton dapat memilih menonton film bergenre komedi (Pratista, 2008:10).

2.2.1.6 Struktur naratif dalam film

Setiap film yang pernah dihadirkan pasti memiliki unsur naratif. Tanpa unsur naratif sebuah film akan sulit untuk dipahami. Naratif adalah suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu. Hal ini disebabkan karena sebuah kejadian tidak [dapat] terjadi begitu saja tanpa ada alasan yang jelas (Pratista,2008:33).

Di dalam setiap cerita film terdapat elemen-elemen pokok naratif, yaitu (Pratista,2008:43-44):

1. Ruang dan Waktu

Sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya ruang. Ruang adalah tempat di mana para pelaku cerita bergerak dan beraktivitas. Cerita dalam sebuah film biasanya terjadi pada suatu tempat atau lokasi dengan dimensi ruang yang jelas, seperti di rumah si A, di kota B, atau di negara C, dan sebagainya. Latar cerita [dapat] menggunakan lokasi yang sebenarnya (nyata) atau fiktif (rekaan).

Sebuah cerita juga tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur waktu. Ada beberapa aspek waktu yang berhubungan dengan naratif sebuah film, yaitu:

a. Urutan waktu b. Durasi waktu c. Frekuensi waktu

(10)

2. Karakter atau pelaku cerita (tokoh)

Setiap film cerita biasanya memiliki karakter (tokoh) utama dan pendukung. Karakter utama adalah motivator utama yang menjalankan alur naratif sejak awal hingga akhir cerita. Tokoh utama sering diistilahkan sebagai pihak protagonis dan karakter pendukung ada yang berada pada pihak protagonis ataupun pihak antagonis sebagai musuh atau rival. Karakter pendukung biasanya bertindak sebagai pemicu konflik atau malah sebaliknya dapat membantu karakter utama dalam menyelesaikan masalahnya.

3. Permasalahan atau konflik

Permasalahan atau konflik merupakan penghalang yang dihadapi tokoh protagonis dalam mencapai tujuannya. Permasalahan sering ditimbulkan oleh pihak antagonis karena memiliki tujuan yang sama atau berlawanan dengan pihak protagonis. Namun, permasalahan juga [dapat] muncul tanpa pihak antagonis. Masalah tersebut muncul dari dalam tokoh utama sendiri yang memuci konflik batin.

4. Tujuan

Tokoh utama dalam sebuah film cerita pasti memiliki tujuan, harapan, atau cita-cita. Tujuan tersebut dapat bersifat fisik (materi) atau non-fisik (non-materi). Tujuan fisik sifatnya jelas dan nyata, sedangkan tujuan non-fisik sifatnya tidak nyata atau abstrak. Contohnya film superhero biasanya memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengalahkan musuh untuk menyelamatkan umat manusia; film roman memiliki tujuan untuk mendapatkan sosok pujaan hatinya; sedangkan film drama dan melodrama bertujuan non-fisik, seperti mencari kebahagiaan, kepuasan batin, eksistensi diri, dan sebagainya.

Fokus penelitian Film Divergent dibatasi hanya pada elemen-elemen pokok unsur naratif film dikarenakan keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian, sehingga agar penelitian ini lebih terfokus dan dapat dianalisis secara mendalam, maka pembatasan tersebut dilakukan.

2.2.1.7 Fungsi Film

Sebagai media komunikasi massa yang menyajikan konstruksi dan representasi sosial yang ada dalam masyarakat, film memiliki beberapa

(11)

fungsi komunikasi diantaranya, pertama, sebagai sarana hiburan, film dapat memberikan hiburan kepada penontonnya melalui isi cerita film, geraknya, keindahannya, suara, dan sebagainya agar penonton mendapat kepuasan secara psikologis; kedua, sebagai penerangan (informatif maupun edukatif), film dapat memberikan penjelasan kepada penontonnya tentang suatu hal atau permasalahan, sehingga penonton mendapat kejelasan atau dapat memahami tentang suatu hal; dan ketiga sebagai propaganda (persuasif), film digunakan untuk mempengaruhi penontonnya, agar penontonnya mau menerima atau menolak pesan, sesuai dengan keinginan dari si pembuat film (http://www.academia.edu/9613958/Media_Film_Sebagai_Konstruksi_dan_ Representasi).

2.2.1.8 Awal munculnya film hingga film sebagai kajian semiotika Hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Long Hee menyebutkan bahwa film merupakan alat komunikasi massa kedua yang muncul di dunia dan memulai pertumbuhannya pada akhir abad ke-19. Film mencapai puncak kejayaannya diantara Perang Dunia I dan II, lalu merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan kemunculan televisi (Sobur, 2013:126).

Garin Nugroho memaparkan bahwa sinema Amerika pasca tahun 1970-an mampu bangkit kembali dan justru dibangkitkan oleh generasi televisi, yaitu generasi Spielberg dan George Lucas. Generasi Spielberg dan George Lucas sangat memahami mulai dari masyarakat televisi, bias kekuatan maupun kelemahan televisi. Mereka mampu menciptakan ritual sinema yang memanfaatkan kekuatan televisi ke dalam sinema, sehingga menciptakan sensasi baru. Maka tidak mengherankan bila karya Spielberg banyak mengadopsi ikon-ikon kartun televisi yang memang sudah akrab bagi masyarakat, sebut saja film ET karya Spielberg dan film Jaws karya Lucas. Seiring dengan kebangkitan perfilman, mulailah bermunculan berbagai film yang mempertontonkan adegan seks, kriminal, dan kekerasan. Kemudian, berdasarkan munculnya hal tersebut, mulai juga bermunculan berbagai studi komunikasi massa (Sobur, 2013:126-127).

Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan untuk analisis struktural atau semiotika. Menurut Van Zoest, film dibangun dengan tanda

(12)

semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Memang, ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Hal paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2013:128).

2.2.2 Semiotika

Semiotika dan semiologi sesungguhnya mengandung pengertian yang sama, penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut hanya merujuk pada pemikiran pemakainya, yang bergabung dengan Charles Sander Peirce (tradisi Amerika) menggunakan istilah semiotika; sedangkan yang bergabung dengan Ferdinand de Saussure (tradisi Eropa) menggunakan istilah semiologi. Sesuai dengan resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris pada tahun 1969 dan dikukuhkan oleh Association for Semiotics Studies pada tahun 1974, semiotics menjadi istilah untuk semua peristilahan lama semiology dan semiotics (Sobur, 2013:12-13).

Dari asal usul katanya, semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain, contohnya asap menandai adanya api (Sobur, 2013:16).

Kajian semiotika telah membedakan dua jenis semiotika, yaitu (Sobur, 2013:15):

1. Semiotika Komunikasi, menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan).

(13)

2. Semiotika Signifikasi, menekankan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, melainkan obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri. Makna (meaning) adalah hubungan antara suatu obyek atau ide dengan suatu tanda (Sobur, 2013:15-16). Oleh karena itu, makna hanya dapat terwujud manakala obyek dan ide saling terhubung oleh tanda, melalui sebuah proses representasi.

2.2.3 Representasi

Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik. Representasi dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik (Wibowo, 2013:148).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi, yaitu (Wibowo, 2013:148): 1. Representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita

masing-masing (peta konseptual). Representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak.

2. Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, agar kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu.

Representasi biasanya berkaitan dengan subjek tertentu, misalnya sebuah foto dapat dideskripsikan sebagai representasi X, tetapi bahasa, kode, atau sarana komunikasi lainnya pun dapat bertindak sebagai sarana representasi (Burton, 2012:139).

Stuart Hall (dalam Burton, 2012) mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi, sebagai berikut:

1. Reflektif: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah di mana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita.

(14)

2. Intensional: yang menaruh perhatian terhadap pandangan creator atau produser representasi tersebut.

3. Konstruksionis: yang menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual.

Seperti dikatakan oleh Hall (dalam Burton, 2012) bahwa bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna, karena bahasa digunakan untuk menghubungkan konsep abstrak yang ada dalam pikiran manusia agar dapat dipahami dalam bentuk pemaknaan. Masih menurut Hall (dalam West dan Turner, 2010) bahasa merupakan bagian dari ideologi sebuah budaya, yaitu kerangka berpikir yang digunakan untuk merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami, dan memaknai keberadaan kita. Melalui budaya terjadi berbagai praktik-praktik sosial yang menunjukkan produksi dan penyebaran makna serta mempengaruhi ideologi masyarakat, misalnya di Amerika Serikat umum bahwa orang-orang berkencan dengan orang yang memiliki ras yang sama atau saling berkunjung selama musim liburan bagi para keluarga. Oleh karena itu, budaya tidak dapat dipisahkan dari makna dan juga sebaliknya (West dan Turner, 2010:65-66).

Seiring perkembangan zaman, kini manusia mempelajari makna dalam budaya melalui media. Media membentuk berbagai makna yang meresap ke dalam kehidupan manusia tanpa disadari, seperti membentuk standar kesuksesan, impian, selera; memberi informasi; dan mempersuasi masyarakat tentang produk atau kebijakan. Media mampu melakukan hal tersebut karena media dipegang oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan (dominan), sehingga pembentukan makna yang disampaikan oleh media berkaitan erat dengan kekuasaan (hegemoni). Contohnya terlihat dalam kebudayaan Amerika Serikat tentang kecantikan, definisi kecantikan adalah mereka para [perempuan] yang bertubuh langsing dan berpenampilan menarik, jadi bagi mereka yang tidak sesuai dengan definisi tersebut akan dianggap tidak cantik (West dan Turner, 2010:66-67).

Hegemoni adalah pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap yang lain (kelompok yang lebih lemah atau sub-dominan). Hegemoni memunculkan kesadaran palsu (false consciousness), yaitu sebuah keadaan di mana individu-individu tidak sadar mengenai dominasi yang terjadi dalam kehidupan mereka. Kesadaran palsu ini timbul akibat adanya ‘persetujuan’ yang biasanya diberikan oleh kelompok yang lebih lemah jika mereka mendapatkan ‘hal-hal’ secara berkecukupan, misalnya kebebasan, kebutuhan material, dan sebagainya. Jadi,

(15)

kelompok yang lebih lemah secara tidak sadar dipengaruhi oleh kelompok yang berkuasa akibat ‘persetujuan’ yang diberikan oleh kelompok lemah (West dan Turner, 2010:67-68).

Stuart Hall mengatakan bahwa makna berubah dari sebuah budaya ke budaya lain atau dari era ke era selanjutnya. Banyak ideologi budaya dalam masyarakat saling berkompetisi (theatre of struggle), begitu juga dengan sikap dan nilai di masyarakat yang mengalami pergeseran. Contohnya sebelum tahun 1920 [perempuan] tidak dapat memberikan hak suara dan sering dianggap sebagai bawahan serta tunduk pada laki-laki, tetapi setelah adanya amandemen pada bulan Agustus 1920 bahwa [perempuan] diberi kesempatan untuk memberikan hak suara, [perempuan] dapat memberikan hak suara mereka dan menduduki jabatan politik (West dan Turner, 2010:68-70). Dengan adanya pergeseran makna melalui pergeseran sikap dan nilai-nilai dalam masyararakat, akhirnya memunculkan gerakan-gerakan yang menentang perilaku hegemoni, salah satunya yaitu feminisme.

2.2.4 Feminisme

2.2.4.1 Munculnya Feminisme

Stratifikasi gender yaitu ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal akses ke kekuasaan prestise, dan kepemilikan. Perbedaan antara jenis kelamin dan gender:

- Jenis kelamin (sex) adalah ciri biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ciri seksual primer ditandai dengan vagina, penis, dan organ lain yang berhubungan dengan reproduksi. Ciri seksual sekunder adalah perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan yang tidak berhubungan langsung dengan reproduksi dan biasanya akan terlihat jelas ketika memasuki masa akil balig, seperti laki-laki akan mengembangkan lebih banyak otot, memperoleh suara lebih rendah, menumbuhkan lebih banyak bulu badan, dan memiliki badan yang lebih tinggi; sedangkan perempuan akan membentuk lebih banyak serat lemak, pinggul lebih lebar, dan payudara lebih besar. - Gender adalah ciri sosial (bukan biologis) yang terdiri atas perilaku

dan sikap apapun yang dianggap pantas bagi kaum laki-laki dan perempuan oleh suatu kelompok. Gender mengarahkan seseorang ke

(16)

pengalaman kehidupan yang berbeda berdasarkan atas jenis kelaminnya.

Jadi, jenis kelamin merujuk pada laki-laki atau perempuan, sedangkan gender merujuk pada maskulinitas atau feminitas (James M.Henslin, dalam Kamanto Sunarto, 2007:42).

Di seluruh dunia, gender merupakan pengelompokkan manusia yang utama. Setiap masyarakat menciptakan rintangan dalam hal ketidaksetaraan akses ke kekuasaan, kepemilikan, dan prestise atas dasar jenis kelamin. Sebagai konsekuensinya, para sosiolog mengklasifikasikan perempuan sebagai suatu kelompok minoritas (minority group). Istilah ini berlaku bagi kaum perempuan karena merujuk pada orang yang terdiskriminasi atas dasar ciri fisik atau budaya, terlepas dari jumlah mereka (James M.Henslin, dalam Kamanto Sunarto, 2007:48).

Patriarkat (patriarchy) menunjukkan bahwa laki-laki yang mendominasi masyarakat. Hal ini diawali sejak sejarah awal manusia, bahwa kaum perempuan harus melahirkan anak, karena hanya kaum perempuan yang dapat hamil, mengandung, melahirkan, dan menyusui, sehingga hal ini akhirnya membuat kegiatan hidup kaum perempuan menjadi terbatas. Sebagai konsekuensinya, perempuan mengerjakan tugas yang berhubungan dengan rumah dan pengasuhan anak yang dianggap merupakan kegiatan yang biasa, rutin, dan sudah seharusnya, sedangkan laki-laki mengambil alih perburuan binatang besar, berdagang, berperang, dan tugas lain yang memerlukan kecepatan dan ketidakhadiran di tempat tinggal. Dikarenakan tugas yang dilakukan oleh kaum laki-laki inilah maka laki-laki menjadi dominan dan akhirnya mengambil alih masyarakat, sementara perempuan menjadi warga negara kelas dua yang tunduk pada keputusan laki. Jadi, dominasi laki-laki yang terjadi hingga saat ini merupakan kelanjutan dari sebuah pola masa lalu sejak awal sejarah manusia (James M.Henslin, dalam Kamanto Sunarto, 2007:50-51).

Donovan (dalam Haryanto, 2012:99) membagi [feminisme] berdasarkan tahapan era perkembangannya, yakni feminisme gelombang pertama (the first wave) yang dimulai pada akhir abad 18 hingga awal abad 20; kemudian feminisme gelombang kedua (the second wave) yang berlangsung kurang lebih dua dekade, dimulai pada dekade 1960-an hingga 1980-an; dan terakhir feminisme gelombang ketiga (the third wave) yang dimulai pada dekade 1990 hingga sekarang. Feminisme gelombang pertama bertujuan untuk memberikan hak suara kepada perempuan;

(17)

feminisme gelombang kedua bertujuan luas, mulai dari kenaikan upah perempuan hingga perubahan kebijakan mengenai kekerasan terhadap perempuan; kemudian feminisme gelombang ketiga memfokuskan tujuan pada tiga aspek utama, seperti masalah perempuan pada bangsa yang paling sedikit terindustrialisasi, kritik terhadap nilai yang mendominasi pekerjaan dan masyarakat, dan dihilangkannya hambatan terhadap cinta dan kesenangan perempuan (James M.Henslin, dalam Kamanto Sunarto, 2007:51).

Istilah feminisme (feminism) pertama kali diasosiasikan oleh majalah Century pada musim semi tahun 1914, meskipun sejak tahun 1910-an kata feminisme (yang berakar dari bahasa Prancis) sudah sering digunakan. Kata feminisme yang berasal dari bahasa Prancis ini, pertama kali digunakan di negara tersebut pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Pendiri perjuangan politik perempuan pertama di Prancis, Hubertine Auclort, menggunakan kata feminisme dan feministe dalam salah satu publikasinya, sehingga sejak saat itu feminisme tersebar ke seluruh Eropa hingga Amerika Serikat, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Feminisme pada abad 19, ditandai dengan perjuangan dalam menuntut hak-hak politik dan hukum, khususnya hak memilih, hak mendapat upah, dan hak atas hukum lainnya sebagai warga negara. Feminisme pada abad 20, ditandai

dengan perjuangannya yang berkembang ke bidang ekonomi

(https://books.google.co.id/books?id=lIN4wkoTm_gC&pg=PR26&lpg=PR26&dq=d efinisi+feminisme&source=bl&ots=TTPAVvc5y3&sig=TMNuaPo3bwdqCLBjjTBL hYjnvJQ&hl=id&sa=X&ei=8n9kVdzuFZG1uQTtn4PwDg&ved=0CCsQ6AEwAQ# v=onepage&q=definisi%20feminisme&f=false).

Pada perkembangan berikutnya, gerakan feminis lambat laun tumbuh menjadi sebuah cara pandang ilmiah, yaitu sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada [perempuan]. Cara pandang tersebut lalu bermetamorfosis menjadi sebuah teori yang membahas persoalan [perempuan] dengan dua cara, pertama, titik tolak seluruh penelitiannya adalah situasi dan pengalaman [perempuan] dalam masyarakat; kedua, teori ini mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang [perempuan] terhadap dunia sosial (Ritzer, 2014:377).

(18)

2.2.4.2 Teori feminis

“Peta” atau tipologi teori feminis modern didasarkan atas pertanyaan yang paling mendasar, yaitu “Dan apa peran [perempuan]?”. Berdasarkan pertanyaan tersebut ada empat jawaban yang diperoleh, pertama adalah posisi dan pengalaman perempuan dalam kebanyakan situasi berbeda dengan yang dialami laki-laki dalam situasi serupa; kedua, posisi [perempuan] dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki; ketiga, situasi [perempuan] harus juga dipahami, dilihat dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan [perempuan] , bahwa [perempuan] “ditindas” (dalam arti dikekang, disubordinasikan, dibentuk, digunakan, dan disalahgunakan oleh laki-laki); keempat, [perempuan] mengalami pembedaan, ketimpangan, dan berbagai penindasan berdasarkan posisi [sosial] mereka dalam susunan stratifikasi atau vektor penindasan dan hak istimewa, seperti kelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi global (Ritzer, 2014:390-391).

Tabel 2.2 Ringkasan dari berbagai Teori Feminis

Variasi mendasar teori feminis-menjawab pertanyaan deskriptif: ”Apa peran

[perempuan]?”

Perbedaan dalam teori-menjawab pertanyaan yang menjelaskan “Mengapa situasi [perempuan] seperti itu?”

Posisi [perempuan] dan pengalamannya di dalam kebanyakan situasi yang berbeda dengan laki-laki.

Perbedaan Gender Feminisme Kultural Eksistensi dan Fenomenologi • Institusional • Interaksional

(19)

Posisi [perempuan] dikebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang beruntung atau tak setara dengan posisi laki-laki.

Ketimpangan Gender

Feminisme Liberal Marxian, penjelasan Marx dan Engels, penjelasan Marxian kontemporer

[Perempuan] ditindas, tak hanya dibedakan atau tak setara, tetapi secara aktif dikekang,

disubordinasikan, dibentuk dan digunakan, dan disalahgunakan oleh laki-laki. Penindasan Gender Feminisme Psikoanalisis Feminisme Radikal Pengalaman [perempuan] tentang pembedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan menurut posisi sosial mereka.

Penindasan Struktural Feminisme Sosialis Teori Interseksional

Feminisme dan Post-modernisme

Sumber: Teori Sosiologi Modern (Ritzer, 2014:392)

Divergent akan dianalisis menggunakan feminisme kultural, yaitu teori feminis yang timbul akibat terjadinya perbedaan gender (gender difference). Feminisme kultural menekankan pada eksplorasi nilai-nilai sosial dan cara hidup perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Dalam perubahan sosial, cara hidup dan cara memahami yang ada pada diri [perempuan] dianggap sebagai template yang jauh lebih sehat untuk mewujudkan masyarakat yang adil, daripada cara hidup dan cara memahami dalam kultur androsentris pada [laki-laki]. Hal ini dikarenakan dalam mengatur negara dan masyarakat diperlukan nilai-nilai perempuan, seperti: kerjasama, perhatian, pasifisme, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan; dan etika

(20)

perhatian milik perempuan yang berfokus pada pencapaian hasil di mana semua pihak merasa kebutuhan mereka diperhatikan dan direspon, daripada etika keadilan milik laki-laki yang cenderung berfokus pada perlindungan kesetaraan hak semua pihak (Ritzer, 2014:393-395).

2.3 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian ini menjelaskam bahwa representasi feminisme di dalam Film Divergent akan dianalisis menggunakan model semiotika Roland Barthes yang dibatasi hanya pada elemen-elemen pokok naratif film yaitu, ruang dan waktu, tokoh, konflik, dan tujuan; untuk mengungkap makna tersirat yang terdapat dalam Film Divergent.

Elemen Pokok Naratif Film “Tokoh”

Elemen Pokok Naratif Film “Konflik”

Elemen Pokok Naratif Film “Tujuan”

Representasi Feminisme dalam Film Divergent

Elemen Pokok Naratif Film “Ruang dan Waktu”

Semiotika Roland Barthes

Gambar

Tabel 2.1 Tabel State of the Art  No.  Judul  Penelitian  Nama  Peneliti  Metode Yang  Digunakan
Gambar  bergerak  (film)  adalah  bentuk  dominan  dari  komunikasi  massa  visual  di  belahan  dunia  ini
Gambar 2.1 Unsur pembentuk film (Pratista, 2008:2)
Tabel 2.2 Ringkasan dari berbagai Teori Feminis
+2

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini Public relations sudah berkembang hingga dapat dicapai secara online yaitu dengan online Public relations Definisi dari online Public relations adalah

Secara sederhana kemampuan kerja yang harus dimiliki oleh setiap karyawan terletak pada kecakapan, keterampilan, pengalaman, serta kesungguhannya terhadap pekerjaan

Penelitian terdahulu berfokus pada pola pengasuhan yang dilakukan oleh single mother terhadap anak, sedangkan penelitian ini berfokus pada masalah-masalah dan upaya

Sensor DHT11 merupakan modul sensor dengan keluaran tegangan analog, yang dapat diproses lebih lanjut oleh mikrokontroler dengan fungsi mendeteksi objek suhu dan

Penggunaan bahasa verbal lisan dan bahasa isyarat memang lebih efektif digunakan dalam komunikasi interpersonal, tetapi dengan kemajuan teknologi komunikasi, bahasa

1. Pengambilan putusan dilakukan dengan lebih cepat karena fokus berada pada tujuan dan terbiasa berterus terang. Pemecahan masalah difokuskan pada penyebabnya sehingga

Saluran media komunikasi yang lebih sering digunakan untuk menunjang komunikasi lisan yang menjangkau seluruh karyawan, lebih cepat dan tepat sasaran karena mudah

Dalam membangun sebuah perusahaan komunikasi organisasi sangat di butuhkan sebagai sebuah sistem komunikasi yang terjadi di dalam perusahaan maupun di luar