• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESILIENSI PADA ODHA DI SALATIGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESILIENSI PADA ODHA DI SALATIGA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI PADA ODHA DI SALATIGA

OLEH ANI 802014078

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RESILIENSI PADA ODHA DI SALATIGA

Ani

Doddy Hendro Wibowo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisa gambaran resiliensi pada penderita HIV/AIDS yang tertular karena penggunaan narkoba suntik di kota Salatiga. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologis dengan pengambilan sampel secara purposive sampling dan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi serta triangulasi data. Jumlah partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah sebanyak dua orang laki-laki dengan rentang usia 30 – 50 tahun yang mengidap HIV/AIDS pada level stadium AIDS yang tertular karena penggunaan narkoba suntik yang berdomisili di Salatiga. Penelitian ini menggunakan teori Reivich dan Shatte (1995) yang membahas tentang resiliensi dan tujuh aspek resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan

reaching out. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan tersebut

memiliki kemampuan resiliensi yang cukup baik dilihat dari kemampuan ketujuh aspek resiliensi. Selain itu, adanya kemampuan penerimaan diri yang baik, dukungan keluarga (sosial) serta penerimaan dari keluarga dan orang terdekat menjadi beberapa faktor penting yang mendukung kemampuan resiliensi partisipan tersebut.

(9)

ii

ABSTRACT

This study aims to determine, identify and analyze the description of resilience in people with HIV / AIDS who are infected due to injecting drug use in Salatiga city. This study uses a phenomenological qualitative research method by sampling using purposive sampling and using deep interview, observation and data triangulation techniques. The number of participants involved in this study were two men with age range between 30 until 50 years old, who was at the AIDS stadium, that was infected due to the use of injecting drug and domiciled in Salatiga. This study uses the theory of Reivich and Shatte (1995) which discusses resilience and seven aspects of resilience, there was an emotional regulation, impulse control, optimism, analysis of the causes of problems, empathy, self-efficacy, and reaching out. The results of the study showed that both participants had quite good resilience abilities in terms of the the seven aspects of resilience. In addition, the existence of good self-acceptance, family (social) support and acceptance from family and closest people are some important factors that support the participant's resilience ability.

(10)

1

PENDAHULUAN

HIV/AIDS merupakan masalah epidemik global yang mengancam produktivitas suatu negara karena banyak orang yang termasuk dalam kelompok usia produktif harus menghadapi kenyataan hidup tidak dapat beraktivitas dan berkarya karena tertular HIV dan mengidap AIDS (Silalahi & Meinarno, 2010; Kusumah & Priyanggasari, 2015; Khayati, 2014; Montagnier, 1987). HIV dan AIDS merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia yang menjadi wabah di internasional atau bencana dunia sejak awal kehadirannya sehingga menjadi ancaman terbesar terhadap pembangunan sosial ekonomi, stabilitas dan keamanan pada negara-negara berkembang (Djoerban, 1999; Hutasoit, 2013). Secara global, diperkirakan HIV telah menginfeksi lebih dari 60 juta orang, dan 30 juta orang meninggal karena AIDS (Huliselan, Siregar, & Harahap, 2014).

Berdasarkan data SIHA (Sistem Informasi HIV/AIDS), jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan Juni 2018 adalah sekitar 301.959 dan jumlah kumulatif kasus AIDS dari tahun 1987 sampai Juni 2018 adalah sekitar 108.829 (laporan melalui SIHA per tanggal 1 Oktober 2018). Jumlah kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan masih jauh dari jumlah kasus HIV yang diperkirakan. Estimasi ODHA pada tahun 2016 sebesar 640.443 orang, sementara yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 hanya sebanyak 301.959 atau hanya 47% dari jumlah estimasi tersebut (Dinas Kesehatan Provinsi & SIHA, 2018).

Jumlah HIV yang ditemukan di Jawa Tengah (khususnya) sampai dengan Juni 2018 adalah sekitar 24.757 kasus dan 9.116 kasus AIDS berdasarkan laporan SIHA per 12 Juli 2018. Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga yang melaporkan jumlah kasus HIV terbanyak yaitu sekitar 1.249 kasus dan menjadi provinsi kedua yang melaporkan jumlah AIDS terbanyak yaitu sekitar 430 kasus dari April sampai dengan Juni 2018. Sedangkan, berdasarkan data kumulatif per 100.000 penduduk (case rate), maka yang masih hidup dengan AIDS di Jawa Tengah dihitung dari tahun 1987 sampai dengan Juni 2018 adalah sekitar 7.174 orang dan yang meninggal dengan AIDS adalah sekitar 1.942 orang (Dinas Kesehatan Provinsi & SIHA, 2018). Berdasarkan data kasus HIV/AIDS dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Salatiga, terdapat sekitar 251 kasus sejak tahun 2007

(11)

2

sampai dengan 2017 dan ini mengalami peningkatan yang cukup drastis khususnya di daerah Salatiga (Kabupaten Semarang, Jawa Tengah).

Tabel 1.1. Data Kumulatif Kasus HIV-AIDS di kota Salatiga tahun 2017 Kumulatif Kasus Vs Temuan Kasus Baru HIV-AIDS Kota Salatiga

Tahun 2017

TAHUN TEMUAN BARU KUMULATIF KASUS

s/d 2007 69 69 2008 14 83 2009 23 106 2010 12 118 2011 6 124 2012 26 150 2013 15 165 2014 23 188 2015 25 213 2016 18 231 2017 20 251

*(Komisi Penanggulangan Hiv-Aids Salatiga, 2017)

Berdasarkan faktor jenis kelamin, terdapat 94 kasus pada perempuan dan 157 kasus pada laki-laki. Jika dilihat berdasarkan faktor tingkatan usia, maka terdapat 9 kasus pada rentang usia antara 0 sampai dengan 19 tahun; 206 kasus pada usia antara 20 sampai 39 tahun; dan 36 kasus pada usia antara 40 sampai 55 tahun ke atas (Komisi Penanggulangan Hiv-Aids Salatiga, 2017).

Tabel 1.2. Data Kumulatif Kasus HIV-AIDS berdasarkan Faktor Resiko di Salatiga tahun 2017.

Kasus HIV-AIDS Salatiga Berdasarkan Faktor Resiko Tahun 2017

FAKTOR RESIKO JUMLAH KASUS

Heteroseksual 155

Penasun 63

Homoseksual 27

Perinatal (ASI) 6

* (Komisi Penanggulangan Hiv-Aids Salatiga, 2017)

Narkoba suntik menjadi isu penting karena menjadi jalur pintu masuk penularan berbagai penyakit menular seperti hepatitis dan HIV/AIDS (Muninjaya, 1998; Hutapea, 2011; Syarif & Tafal, 2008; Djoerban, 1999; Huliselan, 2014; Darmawan, 2016). Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota

(12)

3

Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia (KPAI) di DIY (30/11) menunjukkan bahwa penyebab utama meningkatnya kasus HIV AIDS di Yogyakarta karena penggunaan jarum suntik (Khayati, 2014).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, situasi yang dialami oleh ODHA sangat kompleks karena sampai sekarang belum ada obat yang dapat menghentikan virus tersebut. Antiretroviral agents hanya dapat memperlambat reproduksi HIV tapi tidak menyembuhkan AIDS sehingga hal ini menyebabkan para ODHA mengalami stres yang tinggi yang akan memperburuk keadaan mereka (Khayati, 2014; Dalle, 2017). Dalam kehidupan sehari-hari, para ODHA juga menghadapi banyak masalah sosial seperti: stigmatisasi, diskriminasi, dan pengucilan yang dilakukan oleh keluarga sendiri, teman, tetangga, lingkungan kerja, masyarakat luas bahkan para jurnalis. Hal ini disebabkan kesalahpahaman serta kurangnya pengetahuan dan informasi masyarakat tentang HIV/AIDS (Demartoto, 2006; Muninjaya, 1998; Nurbaety, 2017). Stigma dan diskriminasi dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis ODHA dan menyebabkan ODHA merasa takut dan tertekan (Delamater & Myers, 2011: 408 dalam Khayati, 2014). Menurut Ross (dalam Nursalam & Ninuk, 2009), jika stress telah mencapai tahap kelelahan maka hal itu dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun yang memperparah keadaan ODHA (Hardiyani, 2013).

Jika lingkungan sekitar menolak keberadaan diri ODHA, maka ODHA akan cenderung menarik diri, mengasingkan diri, dan menutup diri terhadap lingkungan sosialnya (Ulfa, 2018; Kusumah & Priyanggasari, 2015; Hardiyani, 2013; Kusnendar, 2017). Menurut penelitian Joerban, sebanyak 99% pengidap HIV/AIDS mengalami stres berat (Astuti & Budiyani, 2008; dalam Ulfa, 2018; Darmawan, 2016; Djoerban, 1999). Wahyu, Taufik dan Ilyas (2012) juga menuturkan bahwa seseorang yang telah mengidap HIV/AIDS biasanya mengalami stres, penurunan berat badan, penyakit kulit, cemas, penurunan gairah kerja, takut, muncul perasaan bersalah, depresi dan bahkan memungkinkan munculnya aksi bunuh diri (Ulfa, 2018; Hutasoit, 2013; Kusumah & Priyanggasari, 2015; Ardana, 2014; Nurbaety, 2017; Indriani & Fauziah, 2017; Kusnendar, 2017). Oleh karena itu, ODHA membutuhkan mental dan jiwa yang kuat serta dukungan dari orang lain untuk menghadapi permasalahan tersebut.

(13)

4

Salah satu cara untuk membantu mengelola dan mengatasi permasalahan hidup yang dialaminya dan membuat ketahanan diri yaitu dengan adanya resiliensi/ sikap resilien dalam diri ODHA tersebut (Khayati, 2014; Ulfa, 2018).

Resiliensi merupakan daya lentur (Agaibi & Wilson, 2005) atau kemampuan individu untuk beradaptasi dengan berbagai masalah dan kesulitan yang dihadapi sehingga mampu bangkit dari permasalahannya tersebut (Tsui, 2016; Ikanovitasari & Sudarji, 2017; Ardana, 2014; Mardiani, 2012; Hardiyani, 2013; Khayati, 2014; Hutasoit, 2013). Selain itu, penelitian Wagnild (dalam Rosyani, 2012) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul. Bagi penderita HIV positif, resiliensi membantu meringankan beban atau stressor penderita dari sakit fisik yang mereka alami dimana resiliensi dapat berperan sebagai “sistem imun” psikologis (Kusumah & Priyanggasari, 2015).

Greef (2005) mengemukakan bahwa resiliensi terkadang diartikan secara sederhana sebagai proses adaptasi yang berhasil terhadap masalah dan adversitas. Orang yang memiliki resiliensi yang baik akan mampu bersikap secara fleksibel dalam menghadapi masalahnya (Khayati, 2014). Reivich & Shatté (2002) menyebutkan bahwa individu yang resilien mengerti bahwa halangan atau rintangan bukanlah akhir dari segalanya dan individu yang resilien mampu mengambil makna dari kegagalan dan menggunakan pengetahuannya untuk meningkatkan kemampuan dirinya (Reivich & Shatté, 2002; Reivich & Shatté, 2003; Mustirah, 2017; Rini, 2016; Dalle, 2017). Dengan adanya resiliensi, ODHA akan mampu memaknai hidup dengan lebih baik dan menggapai masa depan secara lebih optimis (Khayati, 2014).

Perbedaan yang mendasar antara penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan peneliti adalah perbedaan subjek penelitian dan tempat penelitian. Penelitian sebelumnya lebih banyak dilakukan di kota-kota besar dengan subjek penelitian yaitu para ODHA yang tertular HIV/AIDS karena hubungan seksual. Sedangkan, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti pada hal ini adalah ODHA yang tertular karena penggunaan narkoba suntik.

(14)

5

Para ODHA yang tertular karena penggunaan narkoba suntik ini sempat kesulitan menjelaskan bahwa tidak semua ODHA tertular HIV/AIDS karena kebiasaan buruk yang berkaitan dengan pergaulan bebas atau hubungan seksual. Pada umumnya, masyarakat memandang bahwa orang-orang yang tertular HIV/AIDS biasanya karena kebiasaan buruk yang berkaitan dengan penyimpangan seksual atau kebiasaan buruk yang berkaitan dengan hubungan seksual sehingga sering terkesan menjijikan dan dianggap sebagai penyakit kutukan, penyakit orang tidak benar. Kekurangan informasi atau pengetahuan masyarakat menyebabkan munculnya stigma yang salah khususnya bagi para ODHA lainnya yang tidak tertular karena hubungan seksual yang tidak sehat, melainkan ada yang tertular karena penggunaan narkoba suntik, ada pula ibu-ibu rumah tangga yang tidak tahu apa-apa dan tertular dari suami (pasangannya), dan ada juga anak-anak yang tertular dari ibunya karena ASI (berdasarkan hasil wawancara dengan dua partisipan dan dua significant others di kota Salatiga, 30 Maret 2019). Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa masyarakat seringkali kurang bijak dalam memperlakukan ODHA karena kurangnya informasi dan edukasi yang tepat mengenai virus HIV sehingga mereka menghindari bahkan menarik diri keberadaan pengidap HIV/AIDS (Hardiyani, 2013)

Oleh karena itu, berdasarkan beberapa fenomena yang dipaparkan di atas, penulis berusaha fokus pada ODHA dengan karakteristik yang homogen yakni para ODHA yang tertular akibat penggunaan Narkoba Jarum Suntik dan yang berada pada tahap AIDS serta bagaimana gambaran resiliensi pada ODHA yang merupakan mantan Pengguna Narkoba Jarum Suntik tersebut. Selain itu, berdasarkan data yang didapatkan penulis dari narasumber KPA kota Salatiga, adanya peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Salatiga dan sudah dipaparkan diatas, juga menjadi salah satu penyebab yang membuat penulis mempersempit lingkup area partisipan yaitu para penderita HIV/AIDS di kota Salatiga, yang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran resiliensi pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) yang tertular karena penggunaan Narkoba suntik (Penasun)?”.

(15)

6

Tujuan Penelitian

- Tujuan Umum: Mengetahui bagaimana gambaran resiliensi pada penderita HIV/ AIDS.

- Tujuan Khusus: Mengidentifikasi dan menganalisa gambaran resiliensi pada penderita HIV/ AIDS (ODHA).

Manfaat Penelitian - Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menambah kajian pustaka berkaitan dengan teori resiliensi dan HIV/ AIDS serta sebagai bahan acuan dan gambaran, agar penelitian tentang resiliensi pada penderita HIV/ AIDS dapat berlanjut untuk penelitian selanjutnya.

- Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman bagi para ODHA tentang pentingnya menjadi resilien sehingga senantiasa berusaha dan terus termotivasi untuk berjuang melawan penyakit yang dialami. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah terhadap pengembangan keilmuan Psikologi khususnya tentang resiliensi dan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang HIV/ AIDS agar masyarakat biss lebih bijaksana dalam menilai dan berinteraksi dengan ODHA serta mendorong masyarakat agar lebih peduli terhadap ODHA dengan ikut serta membantu dalam komunitas atau program kaderisasi sebagai bagian dari metode yang dipilih sebagai cara resiliensi para ODHA.

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Resiliensi

Istilah resiliensi berasal dari kata Latin yaitu Resilire yang artinya

bouncing back (melambung kembali) yaitu kemampuan untuk bangkit dari

keterpurukan atau kegagalan yang dialami (Santos, 2014; Khayati, 2014; Taormina, 2015). Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi merupakan kemampuan individu dalam mengatasi dan meningkatkan ketahanan diri terhadap situasi yang menimbulkan kondisi tertekan seperti kehilangan pekerjaan,

(16)

7

kegagalan dalam berhubungan sosial, dan bahkan trauma yang terjadi dalam hidupnya (Reivich & Shatté, 2002; Reivich & Shatté, 2003).

Aspek Resiliensi

Resiliensi mencakup tujuh aspek yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan reaching out (Reivich & Shatté, 2002; Widiawati, 2017; Hidayati, 2014). Tujuh aspek resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) yaitu:

1) Regulasi emosi

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi mampu mengendalikan dirinya ketika dalam keadaan cemas, sedih, ataupun marah dan berorientasi pada pemecahan masalah (Saltalı, Erbay, Işık, & İmir, 2018). Kemampuan mengekspresikan emosi baik secara positif maupun negatif dengan cara yang tepat merupakan salah satu kemampuan dari seorang individu yang resilien. Kemampuan regulasi diri juga merupakan aspek yang penting dalam membangun hubungan interpersonal, menjaga kesehatan mental dan kesuksesan dalam pekerjaan.

2) Pengendalian Impuls

Pengendalian impuls merupakan kemampuan mengontrol keinginan, dorongan, kesukaan dan tekanan yang muncul dari dalam diri individu. Individu dengan kemampuan pengendalian impuls yang rendah akan lebih sering mengalami perubahan emosi yang cepat yang mengendalikan pikiran dan perilaku mereka sehingga mereka menjadi lebih mudah marah, impulsif dan cenderung agresif. Pengendalian impuls juga berkaitan dengan regulasi emosi sehingga apabila individu memiliki pengendalian impuls yang baik, maka regulasi emosinya juga akan baik dan sebaliknya.

3) Optimis

Individu yang resilien adalah individu yang optimis yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik serta memiliki harapan di masa depan. Optimis menandakan bahwa individu tersebut percaya kalau ia mampu menghadapi masalah yang muncul di masa sekarang maupun yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002). Individu yang optimis adalah orang yang berpikir

(17)

8

bahwa ia bisa melakukan sesuatu, kesulitan hanya ada dalam situasi ini, dan mampu bangkit dengan cepat setelah mengalami kesulitan (Seligman, 2013). Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab yang permanen dan peristiwa buruk memiliki penyebab yang temporer sehingga ketika mereka berhasil, mereka tetap akan berusaha lebih keras lagi pada kali berikutnya, mereka juga bisa memanfaatkan keberhasilan, terus bergerak maju dan tidak mudah menyerah (Seligman, 2005).

4) Analisis Penyebab Masalah

Analisis penyebab masalah merujuk pada kemampuan individu dalam mengidentifikasi penyebab munculnya masalah secara akurat. Jika individu tidak mampu mengidentifikasi masalah dan penyebabnya secara akurat, maka ia akan cenderung melakukan kesalahan yang sama. Analisis penyebab masalah berhubungan dengan pola berpikir (thinking style). Individu yang resilien mampu mengidentifikasi masalah dan penyebabnya secara signifikan dan fleksibel.

5) Empati

Empati merupakan kemampuan individu dalam membaca tanda-tanda psikologis dan emosi orang lain atau seberapa baik individu mengenali dan memahami keadaan psikologis, kebutuhan emosi, pikiran dan perasaan orang lain.

6) Efikasi Diri

Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan diri sendiri dalam menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi biasanya memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan mudah menyerah ketika mengetahui bahwa strategi yang digunakan belum berhasil.

7) Reaching Out

Resiliensi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan menghadapi pengalaman hidup yang negatif saja, namun juga, memungkinkan individu untuk meningkatkan aspek positif dalam hidupnya. Resiliensi merupakan sumber kekuatan individu untuk reach out. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya cenderung akan lebih mudah dalam menghadapi permasalahan hidup dan berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal serta dalam mengendalikan emosi. Individu yang resilien biasanya mampu menganalisis

(18)

9

resiko dengan baik, memahami diri sendiri dan mampu menemukan makna serta tujuan hidupnya dengan baik pula.

HIV/ AIDS

Pada tahun 1990, The New England Journal of Medicine menyatakan bahwa 2 dari 1.000 mahasiswa telah terinfeksi HIV. Pada tahun 1991, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 10 juta penduduk dunia telah tertular HIV (Hutapea, 2011). HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah jasad renik yang menyebabkan kelumpuhan pada sistem kekebalan tubuh (terutama sel-sel darah putih yang membantu menghalau penyakit) hingga taraf tertentu yang menyebabkan penderitanya menjadi rentan terhadap serangan kuman, virus, dan jamur baik berasal dari luar maupun dalam tubuh sehingga bermunculanlah segala jenis penyakit yang sering disebut infeksi oportunistik (IO) atau jika ini terjadi maka disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency

Syndrome) atau Sindrom Kehilangan Kekebalan dalam tubuh (Hutapea, 2011;

Huliselan, 2014).

Pete H. Duesberg (biolog University of California di Berkeley) menganggap bahwa ada faktor selain HIV yang menyebabkan munculnya penyakit AIDS ini yaitu salah satunya adalah pemakaian obat-obatan yang membuat sistem imun menjadi ambruk. Sedangkan, para peneliti yang dipimpin oleh Michael S. Ascher (imunologis) dan Warren Winkeistein, Jr (epidemiologis) menganalisis data dari kalangan pemakai obat-obatan yang tertular atau tidak tertular HIV. Tim ini menemukan bahwa pengguna obat-obatan tersebut tidak terinfeksi AIDS kecuali bila mereka juga tertular HIV.

Human Immunodefiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyebabkan

rusaknya/ melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia dimana virus tersebut membutuhkan sel-sel kekebalan dalam tubuh kita untuk berkembang biak. HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia (Silalahi & Meinarno, 2010). Akibat penurunan daya tahan tubuh, maka hal ini memungkinkan munculnya berbagai macam kuman dan jasad renik, yang akan menyerbu ke dalam darah dan jaringan-jaringan tubuh. Kuman-kuman ini bersifat “oportunistis” karena mampu memanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk menyerbu dan berkembang biak. Virus pnyebab AIDS tergolong dalam kelompok virus yang jarang ditemukan

(19)

10

pada manusia yaitu retrovirus yang merupakan jenis virus lamban, yang disebut LAV (Lymphadenopathy Associated Virus), HTLV III (Human T Lymphotropic

Virus III) dan ARV (AIDS Related Virus). Virus AIDS dapat tinggal dalam

kromosom sel dalam waktu yang sangat lama tanpa menimbulkan gejala yang merupakan masa laten yang lama antara awal infeksi dan munculnya gejala penyakit (Silalahi & Meinarno, 2010).

Cairan dalam tubuh yang berpotensi mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan, cairan tubuh yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lainnya (Silalahi & Meinarno, 2010). HIV bisa ditularkan melalui tiga jalur yaitu (Djoerban, 1999):

- Transfusi darah - Hubungan seksual

- Pemakaian alat-alat yang sudah tercemar HIV seperti jarum suntik dan pisau cukur

- Melalui ibu yang hidup dengan HIV kepada janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya (ASI).

Para peneliti berpendapat bahwa 99 persen orang yang sudah tertular HIV akan berakhir sebagai penderita AIDS (Hutapea, 2011). Gejala yang akan terlihat dari orang yang sudah terinfeksi HIV ada dua macam yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi). Gejala mayor antara lain berupa penurunan berat badan secara drastis, diare kronis, demam berkepanjangan, penurunan kesadaran, gangguan neurologis dan dimensia. Sedangkan, gejala minornya berupa batuk yang menetap lebih dari satu bulan, mengalami sejenis penyakit kulit seperti Dermatitis generalisata, Herpes zostermultiseg mental dan

Herpes zoster, Kandidas orofaringeal, Herpes simpleks kronis progresif, infeksi

jamur berulang pada alat kelamin perempuan dan penyakit lainnya (Silalahi & Meinarno, 2010).

Tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai munculnya gejala AIDS ada 3 tahap yaitu (Silalahi & Meinarno, 2010):

- Periode Jendela dimana HIV masuk ke dalam tubuh sampai terbentuknya antibody terhadap HIV dalam darah. Pada tahap ini, belum terdapat tanda khusus

(20)

11

pada penderita HIV dan tes HIV juga belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini. Pada umumnya, tahapan ini berkisar dalam waktu antara 2 minggu sampai 6 bulan.

- Periode HIV Positif (tanpa gejala) yang rata-rata berlangsung selama 5 sampai 10 tahun yaitu dimana HIV mulai berkembang biak dalam tubuh dan umumnya tampak sehat selama 5 – 10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun di negara berkembang lebih pendek). Pada tahap ini, tes HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang karena telah terbentuk antibody terhadap HIV. - Periode HIV Positif (muncul gejala) yaitu tahap dimana sistem kekebalan tubuh semakin menurun, mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu dan lain-lain. Pada umumnya, tahap ini berlangsung selama lebih dari 1 bulan (tergantung daya tahan tubuhnya).

- Periode AIDS yaitu dimana penderita mengalami kondisi sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah dan terserang berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) yang semakin parah.

Ketika kita terinfeksi HIV, HIV akan terus menyerang limfosit sehingga semakin lama jumlah CD4 dan CD8 akan semakin menurun dan mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap serangan kuman, virus, jamur baik dari luar maupun dalam tubuh kita sendiri dan bermunculanlah segala jenis penyakit yang disebut infeksi oportunistik (IO) dan muncul AIDS (Huliselan, 2014).

Masalah yang sangat mengancam saat ini adalah salah satu efek dari penggunaan narkoba melalui jarum suntik berkaitan dengan munculnya HIV/AIDS. Pola penyebab munculnya HIV/AIDS di Indonesia dimulai dari masalah seksual kemudian berkembang menjadi pemakaian narkoba melalui jarum suntik dan ini merupakan sebuah fenomena second explossion of HIV/AIDS

epidemic. Pada kasus yang dilaporkan tahun 2016, proporsi kasus HIV/AIDS

terbesar terjadi pada heteroseksual, dan homoseksual. Sedangkan, kasus AIDS pada perinatal sebesar 3,8 %, proporsi pengguna narkoba suntik (penasun) sebesar 1,9 % pada kasus HIV positif dan 2,6 % kasus AIDS (Kemenkes, 2017).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) ditularkan secara efisien dengan

(21)

12

narkoba suntik, menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar dan modus utama penularan HIV di banyak negara di Asia, Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara. Sementara angka yang akurat sedikit sulit diperoleh, penelitian menunjukkan bahwa HIV dapat menyebar melalui populasi pengguna narkoba dengan kecepatan luar biasa dan dapat stabil pada tingkat yang sangat tinggi.

Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa para pengguna narkoba secara tidak proporsional cenderung terlibat dalam industri seks atau terlibat dalam hubungan seksual berisiko tinggi. Penyuntikan narkoba juga berkontribusi pada peningkatan infeksi HIV melalui penularan virus kepada anak-anak dari ibu yang menyuntikkan narkoba, dan melalui kontak seksual antara penyuntik narkoba dan bukan penyuntik (UNAIDS & UNDCP, 2001; Global Commision on Drug Policy, 2012).

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Kualitatif yang merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah orang atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Metode penelitian kualitatif memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel dan yang terlibat dalam bentuk penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif, alam berfokus pada makna individual dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2013). Strategi penelitian yang digunakan adalah dengan strategi fenomenologi dimana fenomenologi merupakan strategi penelitian dimana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu (Creswell, 2013; Smith, 2013; Creswell, 2016).

Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang penderita HIV/ AIDS (ODHA) berjenis kelamin pria, yang berusia antara 30 - 50 tahun, yang sudah berada pada stadium AIDS dan tertular HIV karena penggunaan narkoba suntik. Teknik penentuan subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif bukan ditentukan secara acak, melainkan dipilih dengan sengaja dan penuh

(22)

13

perencanaan (purposefully select) baik terhadap subjek/ partisipan penelitian maupun lokasi penelitian (Creswell, 2016).

Dalam penelitian ini, semua data bersumber dari dua subjek (partisipan) penelitian dan dua key informan (significant others). Dalam penelitian ini yang menjadi key informan adalah keluarga (istri) dari partisipan penelitian. Nama partisipan dan key informan yang digunakan peneliti merupakan nama inisial, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian dan key informan. Tabel 1.3. Profil Partisipan Penelitian

NO. KETERANGAN PARTISIPAN 1 PARTISIPAN 2

1. Nama PT (inisial) TY (inisial)

2. Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-Laki

3. Usia 39 tahun 35 tahun

4. Tempat/ Tanggal

Lahir

Malang, 23 Februari 1980 Salatiga, 10 Mei 1984

5. Pekerjaan Pekerja Swasta Konselor Adiksi BNN

6. Pendidikan D3 Pariwisata SD

7. Tinggal Bersama Istri Istri, Anak dan Mertua

Tabel 1.4. Profil Key Informan Penelitian

NO. KETERANGAN KEY INFORMAN 1 KEY INFORMAN 2

1. Nama NV (inisial) FS (inisial)

2. Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

3. Usia 38 tahun 36 tahun

4. Tempat/ Tanggal Lahir Bandung, 1 September

1981

Semarang, 8 Desember 1982

5. Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Guru SD

6. Pendidikan SMK D3 Pariwisata, S1 PGSD

7. Tinggal Bersama Suami (PT) Suami, Anak dan

Orangtua

8. Hubungan dengan

Subjek

Istri Istri

Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dengan menggunakan strategi: observasi kualitatif, wawancara mendalam, dokumentasi, serta penggunaan materi audio dan visual (Creswell, 2016). Teknik analisis data yang digunakan melibatkan pengumpulan data yang terbuka yang didasarkan pada pertanyaan umum (Creswell, 2013) dan menggunakan prosedur umum serta langkah-langkah khusus dalam menganalisis informasi yang diterima dari partisipan yaitu pengolahan data,

(23)

14

scanning materi, membangun general sense dan memulai coding data (Creswell, 2016). Untuk menguji keabsahan data yang didapat supaya bisa sesuai dengan tujuan dan maksud penelitian maka peneliti menggunakan teknik analisis triangulasi data (Moleong, 2005: 302 dalam (Hardiyani, 2013; Moleong, 2017). Menurut Patton (Lexy J. Moleong, 2005: 331 dalam Khayati, 2014), terdapat dua strategi dalam metode triangulasi data, yaitu pengecekan derajat kepercayaan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data melalui metode yang sama. Triangulasi data dalam penelitian ini dicapai dengan: membandingkan data hasil wawancara subjek dengan hasil wawancara orang terdekat subjek yaitu keluarga atau teman dan membandingkan data hasil wawancara dan observasi.

HASIL Pelaksanaan Penelitian

Dalam proses pengambilan data ini dilakukan pada tanggal 30 Maret 2019 (wawancara pertama PT dan TY), 2 Juni 2019 (wawancara kedua PT), 8 Juni 2019 (wawancara kedua TY), 10 Juni 2019 (wawancara pertama NV), 12 Juni 2019 (wawancara pertama FS) dan 20 Juni 2019. Peneliti menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam serta triangulasi data dalam pengambilan data penelitian ini. Wawancara awal dilakukan sebagai tahap perkenalan, kemudian dilanjutkan dengan membangun rapport hingga kesepakatan untuk melakukan wawancara mendalam bersama para partisipan sebanyak 2 orang pria dengan inisial PT dan TY serta dua orang key informan yang merupakan istri dari partisipan yaitu NV (istri PT) dan FS (istri TY).

Aspek-Aspek Resiliensi • Regulasi Emosi

Jika dilihat dari aspek regulasi emosi, partisipan PT dan TY sama-sama sempat mengalami depresi, malu dan kaget saat pertama kali mengetahui status HIV positifnya. Namun, pada akhirnya kedua partisipan ini memilih untuk tetap tenang, berusaha bangkit dari keterpurukan dan memfokuskan diri pada pemecahan masalah. Hal ini dapat terlihat dari cerita partisipan pada hasil wawancaranya sebagai berikut:

(24)

15

“awal tau HIV nya, ga secara langsung tapi ada..ada, ya kayak ada orang datang ke rumah…tapi dia ga memperkenalkan diri sebagai pendamping… dia bawa amplop, dititipin, “nah, ini titip mas, nanti buat dibaca-baca sama orangtua juga”. Trus, setelah dia pergi baru saya buka, ternyata bukunya tentang HIV semua. Nah, itulah baru saya ‘ngeh” berarti sakit saya, HIV…Pikiran pertama kali saya waktu itu ya pasti mati, ya sempat down, depresi, ngurung diri di kamar sendirian, ya cuman apa iya apa nggak…Akhirnya saya baca salah satu buku, judulnya “HIV dan TB” dan begitu saya buka lembaran-lembaran bukunya ternyata sama dengan yang saya alami. Berarti saya ambil kesimpulan ya, saya sakit ini. Nah, dari situlah mulai ya harus menghadapilah gimana caranya. Ya, reaksinya ya sempat emosional juga, sempat bingung, sempat takut, dan yang emang paling, paling, paling terasa sekali ya itu pasti mati reaksinya kaget (kode 29 – 103). Cuman yang paling besar itu mungkin kecewa ya, menyesallah…malunya sempat ada juga tapi yaa…” (keterangan

partisipan PT pada wawancara kedua, tanggal 2 Juni 2019; kode verbatim 123 - 130).

“Kalo dulu, pertama sih ya sempat kaget ek, mba (melihat kembali ke peneliti sambil tertawa lagi)..ya ga nyangka tapi akhirnya ga begitu lama sih saya apa…ee…meratapi nasib itu. Ya, karena saya mikirnya kan saya dulu juga pengguna aktif apa..jarum suntik heroin jadinya ya setelah dapatkan informasi jadi akhirnya ya sudahlah, ini jadi resiko saya karena apa yaa..dampak buruk dari napza nya itu apa narkotiknya itu”. (keterangan partisipan TY

pada wawancara kedua, tanggal 8 juni 2019, kode verbatim 49 – 89).

Kedua pernyataan ini juga diperkuat dengan pernyataan Key Informan dari kedua partisipan tersebut yang dapat terlihat dari:

“Eee… pas pertama tau positif HIV itu kan dalam keadaan sakit ya

mbak ya. Jadi yang tau kan keluarganya dulu jadi dia maksudnya nggak terlalu ngeh gitu kan. Taunya ya setelah dikasitau sama keluarga ya sempet ada shocknya juga, terus ketemu sama komunitas tadi, dikuatin juga sama komunitas yang di Salatiga itu. Terus akhirnya ya bisa ini lagi, bisa kuat lagi gitu” (keterangan key informan NV, istri PT pada wawancara pertama tanggal 10

Juni 2019).

“Ketika tau yang pertama, kalo yang saya inget dulu ceritanya, menutupi dulu, menutupi dari orang terdekat, belum bisa open, masi bingung statusnya, masi bingung dengan penyakitnya jadi, masi blank…..Nah, kalo kayak kami berdua dulu pernah make trus.. ini yang uda dijalani, kalo kita sih ya udah, ini emang hidup kita yang harus kita jalani, ngga, ngga bukan merasa malu trus kita ‘wah, hina banget, atau gimana’ tapi yaa.. ini jalan kami, dan

(25)

16

kami mau memperbaiki hidup kami dengan cara kami gitu

(keterangan key informan FS, istri TY pada wawancara pertama tanggal 12 Juni 2019).

• Pengendalian Impuls

Apabila dilihat dari aspek kedua yaitu pengendalian impuls, meskipun partisipan pertama sempat mengalami diskriminasi dari teman-temannya sedangkan, partisipan kedua tidak, namun partisipan pertama lebih memilih fokus pada keluarga dan kesehatan diri, hal ini pula yang mengakibatkan kedua partisipan mampu mengendalikan tekanan yang muncul.

“Kalau permasalahan terbesar mungkin ya karena stadium saya

sudah AIDS itu ya jadi lebih ke kondisi kesehatan. Jadi kalau persoalan misalnya dijauhi temen tadi, saya ga terlalu ini lah karena keluarga, pulang kerumah, keluarga itu dukungannya kuat gitu. Jadi mereka ga ada omongan, pokoknya kamu jangan apa istilahnya, karena kamu sakit HIV, kamu jangan, ga gitu tapi mereka lebih ke gini diminum terus obatnya, pokoknya gitu jangan sampai lupa trus apa namanya tetap semangat kek gitu. Ya saya anggap itu bentuk dukungan gitu kan…. Mungkin kalau dihitung waktu sejak awal tau, tau secara ga sengaja itu ya mungkin ya butuh waktu sekitar setahunan lah saya benar-benar udah move on gitu, jadi selama setahun itu, meskipun saya berkegiatan, berkumpul sama teman-teman, itu masih ada rasa-rasa apa iya sih, masih ada denial (keterangan PT pada wawancara kedua,

tanggal 2 Juni 2019; kode verbatim 175 – 198)”.

“Kalo yang pas pertama kali itu kan saya tau terinfeksi itu kan tahun 2005, trus ya mulai berobat karena kekebalan tubuh saya dah drop trus akhirnya ya membuka diri untuk memberitahukan orang-orang terdekat kalo saya seperti ini. Kalo dulu yang saya alami ya merubah pola hidup supaya lebih sehat lagi ya..puji Tuhan sampe sekarang ya sehat-sehat aja gitu… Kalo menerima dan akhirnya bisa move on sejak tahun 2010, yang udalah aku ga akan mikir yang untuk meratapi nasib yang terlalu dalam itu ngga. Motivasi diri sendri supaya yaa…bisa sehat karena saya juga punya anak yang bikin motivasi saya kuat kan ya karena keluarga sebetulnya (keterangan TY pada wawancara kedua, tanggal 8 Juni

2019; kode verbatim 114 - 152). • Optimisme

Jika dilihat dari aspek optimisme, kedua partisipan percaya bahwa segala sesuatu akan lebih baik daripada sebelumnya, mereka juga mampu mengembangkan harapan ke depannya agar ditemukannya obat penyembuh HIV AIDS. Kedua partisipan sama-sama memiliki komitmen dan melakukan segala cara untuk tetap sehat dan lebih mengubah pola hidupnya menjadi lebih baik

(26)

17

daripada sebelumnya. Selain pengobatan berupa obat, kedua partisipan ini termasuk aktif dalam kegiatan sharing bersama komunitas dan para Odha lainnya, ikut dalam konseling dan terlibat dalam pendampingan terhadap para Odha lainnya. Partisipan pertama justru memiliki Yayasan khusus untuk menangani dan melakukan pendampingan terhadap para Odha (berdasarkan keterangan PT pada wawancara kedua; kode verbatim 234 – 342 dan keterangan TY pada wawancara kedua; kode verbatim 163 – 169).

• Analisis Penyebab Masalah

Dalam aspek analisis penyebab masalah, kedua partisipan ini mampu mengidentifikasi masalah atau penyebab mereka ketularan HIV yaitu melalui penggunaan jarum suntik (narkoba). Meskipun mereka mengetahui awal mula penyebab mereka ketularan HIV, mereka memilih untuk tidak terlalu mencari tahu tentang siapa yang pada awalnya menularkan HIV tersebut ke mereka, melainkan mereka justru fokus pada diri sendiri, meningkatkan pengembangan diri, memotivasi diri dan berusaha membantu Odha lainnya agar tidak terpuruk (sesuai dengan keterangan PT dan TY pada wawancara pertama tanggal 30 Maret 2019 serta pada wawancara kedua dengan PT tanggal 2 Juni 2019 kode verbatim 348 – 395 dan TY tanggal 8 Juni 2019 kode verbatim 53 – 58, 183 - 194).

• Empati

Dari aspek empati, kedua partisipan memiliki empati yang cukup baik yang memungkinkan mereka untuk menjadi lebih dekat dengan para Odha lainnya melalui kegiatan sharing bersama. Kedua partisipan memiliki kemampuan mengenali dan memahami kebutuhan emosi dan psikologis diri sendiri dan orang lain dengan cukup baik dengan menganggap bahwa Odha lainnya sama seperti dirinya dan bahkan sebelum menjadi Odha pun, mereka justru tidak menjauhi teman lainnya yang sudah diketahui positif HIV duluan serta kedua partisipan justru mampu untuk saling memberikan motivasi dan dukungan pada Odha lainnya (berdasarkan hasil observasi dan wawancara kedua pada PT dengan kode verbatim 430 – 569 dan hasil wawancara kedua TY dengan kode verbatim 215 – 390).

(27)

18

• Efikasi Diri

Pada aspek efikasi diri, kedua partisipan ini memiliki pemikiran yang hampir sama karena pada awalnya, mereka tidak yakin akan mampu bertahan dan berpikir akan segera mati, namun dengan bertambahnya informasi yang diterima, membuat kedua partisipan ini justru mulai bangkit dari keterpurukan dan yakin pada kemampuan diri sendiri dalam menghadapi masalah tersebut. Mereka memilih untuk segera bangkit dan mulai menata ulang kehidupan mereka dan hal ini pula yang akhirnya mempengaruhi pola pikir mereka yang menjadi lebih sehat dan memandang bahwa dirinya sama seperti orang normal pada umumnya.

“…jadi biarin lah saya dijauhi teman-teman, yang penting saya sehat justru saya mau nunjukin kalo memang mereka menjauh karena sakit saya, kalau saya sehat, mereka mau ngapain lagi kan gitu. Jadi saya mau buktikan kalau saya sehat, orang-orang juga kan nanti emm, diam sendiri nya gitu (kode verbatim 434 –

448)…ketika sudah mulai menerima status saya dan informasinya

sudah cukup banyak, saya yakin saya tidak mati lagi maksudnya gini berarti masih ada kesempatan saya untuk memperbaiki hidup saya gitu” (sesuai dengan pernyataan partisipan PT pada

wawancara kedua dengan kode verbatim 577 - 581).

“Gak lama pasti mati kayak gitu, awalnya…Setelah saya nerima dan setelah pengobatan, saya bisa yang saya rasakan dan saya pikirkan sekarang, saya bisa hidup normal lagi, kayak orang-orang ya pada umumnya gitu, toh saya juga rasanya juga seperti itu gitu (sesuai pernyataan TY pada wawancara kedua dengan kode

verbatim 396 - 419). • Reaching Out

Dalam aspek reaching out, peneliti menemukan bahwa kedua partisipan justru mampu bangkit dari keterpurukan sehingga itu membuat mereka mampu melihat dan memahami sisi positif dari masalah yang mereka hadapi. Hal ini ditunjukkan pada kemampuan kedua partisipan dalam mengungkapkan rasa syukur serta mengambil makna positif dari kejadian negatif yang menimpa mereka. Mereka memilih untuk meningkatkan sisi positif mereka dengan mulai mengubah pola gaya hidup mereka yang sebelumnya lebih banyak dihabiskan dengan narkoba, minum minuman keras, dan lainnya yang bersifat negatif. Selain itu, adanya kemampuan kedua partisipan dalam menemukan makna hidup dan tujuan hidup mereka dengan menjadi seseorang yang diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.

(28)

19

“Yaa..yang positif nya secara sisi kesehatan, saya sekarang menjadi lebih sehat. Jadi saya sekarang enggak merokok, tidak minum minuman keras, tidak makai narkoba lagi Kemudian lebih selektiflah terhadap kesehatan…lebih intinya memperhatikan kesehatan lebih yang positif nya itu dan yang kedua apa namanya saya jadi punya banyak keluarga, Karena saya kenal banyak teman-teman di banyak kabupaten kota jadi punya banyak keluarga punya banyak dukungan…Yang sekarang, yaa..jadi lebih optimis, kalau dulu mungkin lebih pesimis ya, maksudnya karena belum paham sehingga taunya kan akan meninggal tapi sekarang saya lebih optimis, dan mudah-mudahan harapan yang saya tadi saya Sebutkan di awal ada obat penyembuhnya itu bisa menjadi kenyataan itu sudah…Saya bersyukur karena justru dengan saya diberikan apa namanya sakit ini, sakit HIV ini, saya jadi dikasih kesempatan untuk memperbaiki hidup dan bisa bermanfaat buat orang lain itu” (sesuai keterangan PT pada wawancara kedua

dengan kode verbatim 587 - 643).

“Kalau hal positifnya, saya bisa istilahnya mengerem perilaku liar saya yang dulu saya seenaknya, saya akhirnya bisa mikir oiya, saya punya anak, saya harus memikirkan kesehatan. Kalau dulu kan masa bodo nih, sehari mabok berapa kali, campur campur dan saya gak mikir apa-apa gitu. Tapi kalau sekarang kan harus mikir, kalau saya masih seperti dulu, saya punya keluarga, saya punya anak ya itu sih yang membuat saya bisa yaa..istilahnya mengubah perilaku yah gitu…ya saya bersyukur masih diberikan kesempatan menjadi lebih baik lagi gitu….Kalau untuk temen-temen disana itu ya paling memberikan motivasi sih saya motivasi sama sharing pengalaman yang saya rasakan tentang, khususnya tentang kesehatan gitu (berdasarkan hasil wawancara kedua TY pada kode

verbatim 420 - 455).

Dukungan Sosial (Keluarga dan Orang Terdekat)

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, peneliti menemukan bahwa hubungan relasi yang terjalin antar keluarga dan saudara atau orang terdekat menjadi faktor penting yang mendukung kemampuan resiliensi partisipan sebagaimana yang diungkapkan oleh PT dan TY pada wawancara keduanya (dalam kode verbatim PT yaitu 135 – 151, 176 – 188 dan TY pada kode 114 – 121, 147 - 152).

Self-Esteem

Peneliti juga dapat melihat adanya Self-Esteem yang tinggi pada kedua partisipan yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan menerima keadaan diri sehingga akhirnya mampu memandang diri secara positif (hal ini ditunjukkan

(29)

20

dalam hasil wawancara kedua PT pada kode verbatim 201 – 220 dan TY pada kode verbatim 145 - 152).

PEMBAHASAN Dinamika Psikologi

Berdasarkan teori aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (1995), terdapat 7 aspek resiliensi yaitu: regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri dan reaching out (Reivich & Shatté, 2002; Reivich & Shatté, 2002).

Jika dilihat dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa kedua partisipan PT dan TY memiliki kemampuan pengendalian impuls yang baik sehingga itu mempengaruhi kemampuan regulasi emosi pada kedua partisipan itu. Kemampuan partisipan dalam mengendalikan (impuls) emosi terhadap tekanan yang muncul yaitu stigma, diskriminasi, dan masalah kesehatan fisik yang menurun dengan cara memfokuskan diri pada pemecahan masalah melalui pengobatan, pendampingan dan memperoleh dukungan keluarga menjadi alasan utama partisipan tetap bisa bertahan dalam situasi tertekan merupakan keterkaitan antara regulasi emosi dengan pengendalian impuls dan efikasi diri.

Kemampuan partisipan dalam menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan Odha lainnya dan keluarga terdekat juga merupakan kemampuan empati yang tinggi yang berkaitan dengan regulasi emosi dan reaching out. Kemampuan partisipan dalam mengidentifikasi masalah yang muncul atau penyebab masalah merupakan kemampuan analisis penyebab masalah yang justru dapat mengarahkan partisipan dalam mencari cara pemecahan masalah dan mengarahkan partisipan untuk lebih optimis, mengembangkan harapan yang lebih baik ke depannya menunjukkan adanya keterkaitan antara aspek analisis penyebab masalah, optimisme, efikasi diri dan reaching out yang akhirnya mempengaruhi bagaimana partisipan memandang dirinya sendiri (Self-Esteem).

Di dalam resiliensi terdapat faktor protektif internal yang juga mempengaruhi adalah self esteem yang mengacu pada gambaran menyeluruh dari individu terkait harga diri. Self esteem terbentuk melalui interaksi individu dengan orang lain (berkaitan dengan kemampuan regulasi emosi yang dipengaruhi oleh

(30)

21

pengendalian impuls pada individu). Interaksi yang positif biasanya dapat membangun kepercayaan individu mengenai keadaan dirinya, sehingga individu memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan sebaliknya. Jika individu dengan HIV positif memiliki self esteem yang tinggi di dalam dirinya dan relasi keluarga yang positif untuk mendukung kondisinya pasca diagnosis atau pemberitahuan status positif maka kategori faktor protektif internal dan eksternal yang dapat meningkatkan resiliensi terpenuhi (Kusumah & Priyanggasari, 2015; Srisayekti & Setiady, 2015).

Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh penderita HIV positif karena berfungsi sebagai support system untuk mengembangkan cara koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stresor berkaitan dengan fisik, psikologis, maupun sosial. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima seseorang maka semakin tinggi pula resiliensi dalam diri seseorang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Werner yang dalam penelitiannya yang menemukan bahwa individu yang dapat sukses beradaptasi di dalam tekanan (resiliensi) dengan bersandar pada sumber

supportnya yaitu keluarga dan komunitasnya (Werner, 2005; Mufidah, 2017).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Hasil penelitian mengenai Resiliensi pada Orang Dengan HIV AIDS yang tertular karena penggunaan Narkoba Suntik (penasun) menunjukkan bahwa fenomena dalam penelitian ini pada partisipan PT dan TY yang menikah dengan istrinya yaitu NV (istri PT) dan FS (istri TY) yang juga ternyata mengidap penyakit yang sama dan hal itu justru memperkuat daya lentur (kemampuan resiliensi) karena sama-sama merasakan hal yang sama dan memperkuat hubungan mereka dengan saling memotivasi, mengingatkan dan memberikan dukungan. Hal ini juga merupakan salah satu aspek temuan baru yang mendukung penelitian ini dimana dukungan sosial dan penerimaan keluarga atau orang terdekat dapat mempengaruhi pola resiliensi pada partisipan tersebut.

Selain itu, penerimaan diri dan kemampuan untuk berani open status juga membantu partisipan untuk bisa lebih resiliens. Kepercayaan pada rencana

(31)

22

TUHAN dan pemikiran serta kesadaran bahwa hidup yang sekarang mereka jalani adalah kesempatan untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri juga menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi kemampuan resiliensi kedua partisipan tersebut.

Beberapa aspek di paparkan di atas merupakan aspek eksternal yang menjadi temuan baru peneliti sebagai aspek pendukung resiliensi diluar aspek utama resiliensi yang dijabarkan oleh Reivich dan Shatte (2002) yakni regulasi emosi, pengendalian impuls, analisis penyebab masalah, optimisme, empati, efikasi diri dan reaching out.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah berkaitan dengan pengambilan subjek (partisipan) penelitian yang dilakukan secara acak sedikit mengalami kesulitan karena beberapa subjek masih sulit untuk open status dan terbuka untuk dijadikan subjek penelitian.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah terbatasnya subjek penelitian yang bersedia menjadi partisipan dalam penelitian. Pada awalnya, peneliti bermaksud mencari subjek pada usia dewasa awal yang baru mengetahui status HIVnya namun, di lapangan sangat sulit menemukan subjek dengan karakteristik tersebut.

(32)

23

DAFTAR PUSTAKA

Agaibi, C. E., & Wilson, J. P. (2005). Trauma, ptsd, and resilience: a review of the literature. Trauma, Violence, & Abuse, 6, No. 3, 195–216. https://doi.org/10.1177/1524838005277438

Ardana, E. (2014). Resiliensi Orang dengan HIV / AIDS (ODHA). Skripsi. 11, No. 1. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18860/psi.v11i1.6373

Creswell, J. W. (2013). Research design; pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan

mixed (3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Creswell, J. W. (2016). Research design: pendekatan metode kualitatif,

kuantitatif, dan campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dalle, P. W. H. (2017). Resiliensi pada ibu rumah tangga terinfeksi hiv. Skripsi. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

Darmawan, R. A. D. N. F. (2016). Hubungan antara self-forgiveness dengan resiliensi pada orang dengan hiv/aids (odha) pada dewasa muda di Denpasar-Bali. Skripsi. Universitas Kristen Satya Wacana.

Demartoto, A. (2006). Odha, masalah sosial dan pemecahannya. Jurnal Penduduk

Dan Pembangunan, 6, No.2. Retrieved from https://argyo.staff.uns.ac.id//files/2010/08/artikel-odha.pdf

Dinas Kesehatan Provinsi & SIHA. (2018). Laporan perkembangan hiv-aids & ims triwulan II tahun 2018. Retrieved from siha.depkes.go.id/ portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_ TW_II_Tahun_2018_1_.pdf Djoerban, Z. (1999). Membidik aids; ikhtiar memahami hiv dan odha (1st ed.).

Yogyakarta: Galang Press.

Global Commision on Drug Policy. (2012). The war on drugs and hiv/aids; how the criminalization of drug use fuels the global pandemic.

Hardiyani, P. S. (2013). Resiliensi pada orang dengan hiv/aids. Skripsi. Fakultas Psikologi: Universitas Semarang, 1, No. 4, 278–285. Retrieved from

http://ilib.usm.ac.id/sipp/doc/jurnal/F.111.09.003220151105035859-6.SheldeanaPutri.pdf

Hidayati, N. L. (2014). Hubungan antara self-esteem dengan resiliensi pada remaja di Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Huliselan, L., Siregar, I., & Harahap, S. (2014). Aids dan kita; mengasah nurani,

(33)

24

Hutapea, R. (2011). Aids & pms dan perkosaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Hutasoit, R. (2013). Gambaran resiliensi pengidap penyakit hiv/aids di kota medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Retrieved from https://www.academia.edu/9853231/gambaran_resilisensi_pengidap_penya kit_hiv_aids_di_kota_medan

Ikanovitasari, C., & Sudarji, S. (2017). Gambaran resiliensi pada mantan pengguna narkoba. Prosiding Temu IImiah X Ikatan Psikologi

Perkembangan Indonesia, 1, 100–115. Retrieved from http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ippi/article/view/2180

Indriani, S. D., & Fauziah, N. (2017). Karena hidup harus terus berjalan (sebuah studi fenomenologi kehidupan orang dengan hiv/aids). Jurnal Empati, 6(1), 385–395.

Kemenkes. (2017). Infodatin Menkes Narkoba 2017. Retrieved from ISSN 2442-7659

Khayati, D. (2014). Resiliensi pada orang dengan hiv/aids (odha). Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Retrieved from http://eprints.uny.ac.id /id/eprint/13691

Komisi Penanggulangan Hiv-Aids Salatiga. (2017). Data Kpa Salatiga. Salatiga. Kusnendar, A. S. (2017). Pengaruh pendampingan yayasan komunitas aksi

kemanusiaan Indonesia (kaki) terhadap resiliensi komunitas transgender hiv/aids di Depok. Skripsi. Universitas Islam Negeri. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Kusumah, N. P. K., & Priyanggasari, A. T. S. (2015). Resiliensi penderita hiv positif ditinjau dari relasi dalam keluarga. Proceeding Seminar Nasional, 9– 18. Retrieved from http://hdl.handle.net/11617/6512

Mardiani, F. A. (2012). Hubungan antara keberfungsian keluarga dan resiliensi pada ibu yang memiliki anak autistic spectrum disorder. Skripsi. Fakultas Psikologi: Universitas Indonesia.

Moleong, L. J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT. Remaja Rosda Karya.

Montagnier, L. (1987). Para ahli menjawab tentang aids (1st ed.). Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Mufidah, A. C. (2017). Hubungan antara dukungan sosial terhadap resiliensi pada mahasiswa bidikmisi dengan mediasi efikasi diri. Jurnal Sains Psikologi, 6; No. 2, 68–74.

(34)

25

Muninjaya, A. A. G. (1998). Aids di Indonesia; masalah dan kebijakan

penanggulangannya. (1st ed.). Jakarta: EGC.

Mustirah, D. (2017). Resiliensi pada mantan pecandu narkoba di kampung narkoba-madura (Vol. 6). Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Nurbaety, D. M. (2017). Resiliensi orang dengan hiv/aids dalam perspektif islam (studi kasus di lsm keluarga besar waria Yogyakarta). Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skills for

overcoming life’s inevitable obstacles (1st ed.). New York: Broadway

Books.

Reivich, K., & Shatté, A. (2003). The resilience factor: 7 keys to finding your

inner strength and overcoming life’s hurdles. New York: Potter/Ten

Speed/Harmony/Rodale.

Rini, A. V. M. (2016). Resiliensi siswa SMA Negeri 1 Wuryantoro. Skripsi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. (Vol. 39). Retrieved from http://repository.usd.ac.id/id/eprint/6196

Saltalı, N. D., Erbay, F., Işık, E., & İmir, H. M. (2018). Turkish validation of social emotional well-being and resilience scale (PERIK). International

Electronic Journal of Elementary Education, 10(5), 525–533. https://

doi.org/10.26822/iejee.2018541302

Santos, R. S. (2014). Why resilience? a review of literature of resilience and

implications for further educational research. Claremont Graduate

University & San Diego State University, 1–36.

Seligman, M. (2005). Authentic happiness: menciptakan kebahagiaan dengan

psikologi positif. Bandung: Mizan Pustaka.

Seligman, M. (2013). Beyond authentic happiness: menciptakan kebahagiaan

sempurna dengan psikologi positif. (1st ed.). Bandung: Kaifa.

Silalahi, K., & Meinarno, E. A. (2010). Keluarga Indonesia; aspek dan dinamika

zaman. (1st ed.). Jakarta: Rajawali Pers.

Smith, J. A. (2013). Dasar-dasar psikologi kualitatif: pedoman praktis metode

penelitian. (2nd ed.). Bandung: Nusa Media.

Srisayekti, W., & Setiady, D. A. (2015). Harga-diri (Self-esteem) Terancam dan Perilaku Menghindar. Jurnal Psikologi, 42(2), 141. https://doi.org/ 10.22146/jpsi.7169

(35)

26

Syarif, F., & Tafal, Z. (2008). Karakteristik remaja pengguna narkoba suntik dan perilaku berisiko hiv/aids di kecamatan Ciledug kota Tangerang. Jurnal

Kesehatan Masyarakat Nasional, 3, No. 2, 70–75. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v3i2.232

Taormina, R. J. (2015). Adult personal resilience: a new theory, new measure, and practical implications. Psychological Thought, 8(1), 35–46. https://doi.org/ 10.5964/psyct.v8i1.126

Tsui, T. (2016). Understanding resilience: uncovering the common themes.

Thesis. City University of Seattle Vancouver, BC, Canada Site.

Ulfa, N. D. (2018). Hubungan antara dukungan sosial dan resliensi pada orang dengan hiv/aids. Skripsi. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya: Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Retrieved from https:// dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9468

UNAIDS & UNDCP. (2001). Drug abuse and hiv/aids: lessons learned. Vienna

& Geneva: UNAIDS & UNODCCP.

Werner, E. E. (2005). Resilience Research: Past, Present, and Future. In

Resilience in children, families, and communities: Linking context to

practice and policy. https://doi.org/10.1007/0-387-23824-7_1

Widiawati, A. (2017). Resiliensi pada remaja yang tinggal di daerah rawan bencana. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Gambar

Tabel 1.1. Data Kumulatif Kasus HIV-AIDS di kota Salatiga tahun 2017  Kumulatif Kasus Vs Temuan Kasus Baru HIV-AIDS Kota Salatiga
Tabel 1.3. Profil Partisipan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas V Sekolah Dasar Negeri 17 Rabak dalam pembelajaran ilmu pengetahuan

Metode pengajaran TPR (Total Physical Response) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut “metode Respons Fisik Total” adalah metode pembelajaran yang lebih fokus pada

Berpikir reflektif ( reflective thinking ) siswa SD berkemampuan matematika tinggi dalam pemahaman masalah pecahan. Prosiding seminar nasional matematika dan

Penerapan sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah harus sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintahan. Karena sistem akuntansi pemerintahan merupakan

Ketentuan dari pemberlakuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi

〔商法一ニ九〕手形金の一部に関する原因債務不存在といわゆる二重無権の抗弁東京地裁昭和四 六年ニ月一二日判決 倉沢, 康一郎Kurasawa,

Metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang apa dan bagaimana yang terjadi di dalam kelas atau pada mahasiswa (fenomena yang muncul) dalam proses