A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-1
B
BA
A
B
B
I
I
I
I
I
I
S
S
T
T
U
U
D
D
I
I
P
P
U
U
S
S
T
T
A
A
K
K
A
A
3.1 PENYEBAB BANJI R PERKOTAAN
3.1.1 Sumber- sumber Air Banjir
Banjir berdasarkan peristiwa kejadiannya dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu :
1. Banjir yang terjadi karena limpasan air dari sungai atau saluran karena debit banjir tidak mampu dialirkan oleh alur sungai maupun saluran atau dengan kata lain debit banjir lebih besar daripada kapasitas pengaliran sungai atau saluran yang ada.
2. Banjir yang terjadi pada suatu daerah dimana sebelumnya belum pernah mengalami banjir.
Sedangkan banjir berdasarkan penyebab utamanya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Banjir Kiriman
Yang dimaksud dengan banjir kiriman adalah banjir yang disebabkan oleh melimpasnya air hujan dari suatu daerah yang lebih tinggi menuju daerah yang lebih rendah atau daerah genangan. Dengan adanya banjir kiriman ini maka akan terjadi penambahan jumlah air yang harus ditampung oleh daerah rendah tersebut.
2. Banjir Genangan
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-2
3. Banjir Air Pasang
Yang dimaksud dengan banjir air pasang yaitu banjir yang disebabkan adanya kenaikan muka air laut yang melebihi muka saluran, sehingga saluran yang bermuara di pantai tersebut akan dimasuki air laut. Dan jika air yang masuk tersebut melebihi kapasitas dari saluran yang ada serta HWL ( High Water Level ) -nya melebihi tinggi air rencana, maka dapat menyebabkan genangan di suatu wilayah.
3.1.1 Faktor- faktor yang mempengaruhi Banjir
Faktor – faktor yang mempengaruhi banjir dibagi menjadi dua yaitu : a. Faktor Teknis
b. Faktor Non Teknis
a. Faktor Teknis
Faktor teknis adalah faktor penyebab banjir perkotaan yang diakibatkan oleh kondisi sungai atau saluran yang sudah tidak memadai lagi, sedimentasi yang terjadi di sungai atau saluran, elevasi muka tanah yang lebih rendah dari pada muka air laut pasang dan muka air banjir yang terjadi, penurunan muka tanah (Land Subsidence).
b. Faktor Non Teknis
Faktor non teknis adalah faktor penyebab banjir di perkotaan yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi disuatu wilayah, perubahan tata guna lahan yang mengakibatkan kenaikan debit banjir dan erosi, penyempitan atau penutupan sungai atau saluran oleh sampah dan bangunan liar.
3.2 PENGENDALI AN BANJI R
Pengendalian banjir pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lebih penting adalah pertimbangan secara keseluruhan dan dicari sistem yang paling optimal. Kegiatan pengendalian banjir menurut lokasi atau daerah pengedaliannya dapat dikelompokkan menjadi dua :
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-3
pembuatan waduk lapangan yang dapat merubah pola hidrograf banjir serta penghijauan di Daerah Aliran Sungai ( DAS ).
2. Bagian Hilir, yaitu dengan melakukan normalisasi alur sungai dan tanggul, sudetan pada aliran kritis, pembuatan alur pengendalian banjir atau Flood Way serta pemanfaatan daerah genangan untuk Retarding Basin.
Cara pengendalian banjir yang dapat dilakukan dalam sistem pengendalian banjir adalah :
3.2.1 Normalisasi Saluran
Normalisasi dilakukan pada saluran berkaitan dengan pengendalian banjir akibat air hujan, yang merupakan usaha untuk memperbesar kapasitas saluran sehingga mampu menampung debit banjir yang akan terjadi dan memperlancar aliran. Normalisasi ini meliputi kegiatan-kegiatan yang terdiri dari :
• Normalisasi bentuk penampang melintang
• Mengatur penampang memanjang saluran
• Menstabilkan alur saluran
• Menentukan tinggi jagaan
3.2.2 Penampang Melintang Saluran
Penampang melintang saluran perlu direncanakan untuk mendapatkan penampang yang ideal dan efisien dalam penggunaan lahan. Penampang ideal merupakan penampang yang stabil terhadap perubahan akibat pengaruh erosi maupun pengaruh pola aliran yang terjadi. Sedangkan penggunaan lahan yang efisien dimaksudkan untuk memperhatikan lahan yang tersedia disekitar saluran sehingga nantinya bila ada normalisasi tidak menimbulkan permasalahan terhadap pembebasan tanah. Pada umumnya bentuk penampang yang biasa pada saluran-saluran di Kota Semarang adalah bentuk penampang tunggal, mengingat bentuk penampang ini mendukung untuk digunakan dengan alasan sebagai berikut :
• Luas lahan yang tersedia untuk penampang melintang terbatas sebab
disamping saluran merupakan jalan.
• Debit dialirkan melalui saluran-saluran yang ada tidak begitu besar.
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-4
di mana :
A = luas penampang sungai (m2), P = keliling basah saluran (m), R = jari-jari hidrolis (m), I = kemiringan dasar saluran, n = kekasaran manning, V = kecepatan aliran (m/detik), Q = debit (m3/detik).
B
H
B
H
Sedangkan rumus-rumus yang digunakan dalam mendimensi saluran penampang tunggal adalah sebagai berikut :
1. Penampang saluran tunggal berbentuk persegi empat
Q = V×A
P = B + 2H A = B x H
R = A/P
V = R2/3 I1/2 n
1× ×
Gambar 3.1 Penampang Tunggal Berbentuk Persegi Empat 2. Penampang saluran tunggal berbentuk trapezium
A = (B+mH)×H P = B + (2H× 1+m2) R = A/P
V = R2/3 I1/2 n
1× ×
Q = V×A
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-5 3.2.3 Tinggi Jagaan Saluran
Besarnya tinggi jagaan yang paling baik adalah berkisar antara 0,75 m – 1,5 m. Hal-hal lain yang mempengaruhi besarnya nilai tinggi jagaan adalah penimbunan sedimen di dasar saluran, berkurangnya penampang efisien hidrolik karena tumbuhnya tanaman, penurunan tebing dan kelebihan jumlah aliran selama tejadinya hujan. Sedangkan secara praktis besarnya tinggi yang diambil berdasarkan debit banjir, seperti dalam tabel berikut ini :
Tabel 3.1 Hubungan debit dengan tinggi jagaan dan lebar tanggul
Debit Banjir
( m3 / det )
Tinggi Jagaan
( m )
Lebar Tanggul
( m )
Kurang dari 200 0,50 3,0
200 – 500 0,75 3,0
500 – 2.000 1,00 4,0
2.000 – 5.000 1,25 5,0
5.000 – 1.0000 1,50 6,0
Lebih dari 10.000 2,00 7,0
Sumber : ( Robert J Kodoatie, Dr. M.Eng,Ir ; Sugiyanto, M.Eng,Ir. BANJIR, beberapa penyebab dan
metode pengendaliannya dalam perspektif lingkungan, tahun 2002 )
3.2.4 Floodw ay
Floodway merupakan saluran pembuangan debit banjir yang terjadi pada saluran
utama. Bila saluran yang menampung suatu debit rencana sudah tidak lagi dapat menampung maka untuk menghindari kerugian yang terjadi, debit banjir dilewatkan melalui floodway agar tidak terjadi banjir dikawasan yang dilalui saluran tadi.
Hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan floodway yaitu pertimbangan nonteknis dan teknis.
a. Pertimbangan nonteknis meliputi antisipasi terhadap dampak negatif yang mungkin timbul, baik itu permasalahan sosial maupun ekonomi.
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-6
Pemukiman
proses pergerakan meander sungai kearah tikungan luar. Pada suatu meander sungai, pada umumnya terjadi gerusan tikungan luar, yang akan mengakibatkan pergerakan alur sungai tersebut kearah tikungan luar. Untuk mengantisipasi atau mengurangi laju pergerusan pada tikungan luar, perlu adanya perencanaan tikungan / meander sungai yang baik.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan adalah :
• Hindari dua tikungan yang berhubungan langsung, harus ada alur transisi.
• Perbandingan antara lebar sungai dan jari – jari meander lebih besar dari 20,
( B / R > 20 )
• Panjang alur sungai transisi diantara 2 tikungan adalah 2 – 3 lebar sungai.
• Lebar sungai pada tikungan antara 1,1 – 1,3 kali lebar sungai bagian lurus.
Gambar 3.3 Floodway
3.2.5 Sudetan
Pada alur sungai yang berkelok – kelok sangat kritis, sebaiknya dilakukan sudetan agar banjir mencapai bagian hilir atau laut dengan cepat, serta mempertimbangkan alur sungai yang stabil. Sudetan dibuat pada sungai karena bentuk sungai yang berkelok – kelok dan pada saat hujan sering terjadi banjir.
Hal – hal yang perlu dipertimbangkan dalam sudetan :
• Tujuan dilakukan sudetan.
• Penampang sungai sudetan
• Dampak negatif yang timbul
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-7
• Pengaruh terhadap bangunan sekitar sudetan
• Tinjauan terhadap sosial ekonomi
3.2.6 Kolam Penampungan
Kolam penampungan adalah tempat penampungan debit saluran sementara sehingga puncak banjir dapat dikurangi. Tempat ini digunakan saat terjadi debit banjir yang besar. Kolam penampungan dapat berupa tanah kosong yang elevasinya lebih rendah sehingga dapat menampung air dan membuang kembali setelah kondisi debit normal. Pada kolam penampungan dilengkapi pompa untuk kembali mengeluarkan air bila debit banjir sudah normal.
Kolam penampungan ini mempunyai bangunan pelengkap yaitu berupa kolam pengendapan dan kisi – kisi penyaring. Dimana fungsi dari kisi – kisi penyaring adalah mencegah masuknya benda – benda yang hanyut menuju kolam penampungan.
Dimensi kolam penampungan didasarkan pada perhitungan debit rencana yang masuk (inflow) kolam penampungan dari saluran drainase dan debit rencana yang keluar
(outflow) dari kolam penampungan melalui pompa.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung dimensi kolam penampungan ini adalah sebagai berikut :
Dimana : V = Volume kolam penampungan ( m³ ) L = Panjang kolam penampungan ( m ) B = Lebar kolam penampungan ( m ) H = Tinggi kolam penampungan ( m )
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-8 Gambar 3.4. Kolam penampungan dan bangunan pelengkap
3.2.7 Penanganan secara non teknis antara lain :
a. Manajemen daerah banjir.
Pada kegiatan ini dapat meliputi seluruh kegiatan dalam perencanaan dan tindakan yang diperlukan untuk menentukan kegiatan, implementasi, revisi, perbaikan rencana, pelaksanaan, dan pengawasan secara keseluruhan aktivitas di daerah tersebut, dalam rangka menekan kerugian akibat banjir.
Manajemen daerah banjir pada dasarnya mempunyai 2 tujuan :
1. Meminimumkan korban jiwa, kerugian maupun kesulitan yang diakibatkan oleh banjir yang terjadi.
2. Merupakan suatu usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan di daerah dataran banjir dimasa mendatang, yaitu memperhatikan keuntungan individu ataupun masyarakat sehubungan dengan adanya biaya yang diperlukan.
b. Pengaturan tata guna tanah di daerah aliran sungai.
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-9 c. Penyuluhan pada masyarakat terhadap permasalahan banjir.
Permasalahan banjir adalah merupakan permasalahan umum, terutama di daerah hilir, maka sudah saatnya masyarakat yang berada di daerah tersebut peduli terhadap bahaya banjir. Disamping itu pihak yang berwenang termasuk instansi terkait harus betul – betul melaksanakan pembinaan, pengawasan, pengendalian dan penanggulangan terhadap banjir secara intensif dan terkoordinasi.
Karena penanganan yang lebih dini dan perhatian dari semua pihak, akan memudahkan untuk pengendalian banjir.
d. Memperhatikan potensi dan pengembangan serta pemanfaatan SDA di masa yangakan datang, termasuk bangunan yang sudah ada
3.3. ANALI SI S HI DROLOGI
3.3.1. Data curah hujan
Didalam perencanaan pengendalian banjir, data hidrologi merupakan salah satu data yang sangat diperlukan. Curah hujan pada suatu daerah Catchment area akan menentukan besarnya debit banjir yang terjadi pada daerah studi. Semakin besar curah hujan yang terjadi, semakin besar pula debit rencana pada daerah hilir.
Karakteristik hujan pada suatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, dengan diketahuinya besar curah hujan pada suatu daerah maka akan dapat diperkirakan intensitas hujan pada daerah tersebut dan nantinya akan digunakan untuk menghitung besarnya debit rencana.
3.3.2. Distribusi curah hujan rata- rata
Untuk menghitung hujan daerah aliran dari catatan hujan lokal ada 3 ( tiga ) rumus yang digunakan yaitu :
1. Cara Rata- rata Aljabar
Curah hujan didapatkan dengan mengambil rata-rata hitung (arithmatic mean) dari penakar hujan areal tersebut dibagi dengan jumlah stasiun pengamatan. (Sosrodarsono dan Takeda, 1976).
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-10
Dimana :
R = curah hujan daerah (mm)
n = jumlah titik-titik (pos-pos) pengamatan R1, R2, …, Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan
Cara ini digunakan apabila :
o Daerah tersebut berada pada daerah yang datar o Penempatan alat ukut tersebar merata
o Variasi curah hujan sedikit dari harga tengahnya
2. Cara Poligon Thiessen
Cara Poligon Thiessen ini ditentukan dengan cara membuka poligon antar pos hujan pada suatu DPS kemudian tinggi hujan rata-rata dihitung dari jumlah perkalian antar tiap-tiap luas poligon dan tinggi hujannya dibagi luas seluruh DPS. Luas masing-masing poligon tersebut dengan cara :
• Hubungkan semua stasiun yang terdapat di dalam DPS dengan garis sehingga
terbentuk jaringan-jaringan segitiga.
• Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya tegak lurus dan semua
garis sumbu tersebut membentuk poligon.
• Luas daerah tiap stasiun yang dibatasi oleh poligon tersebut.
Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah tidak tersebar merata, maka cara perhitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan. Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
−
R =
n n n A A
A
R A R
A R A
+ + +
+ + +
... ...
2 1
2 2 1
1 ... ( 3.2 )
(Sosrodarsono,hal : 27,2003)
Dimana :
R
= Curah hujan maksimum rata-rata (mm) R1, R2,...,Rn = Curah hujan pada stasiun 1,2,...,n (mm)A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA
Gambar 3.5 Metode Polygon Thiessen
Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah sebagai berikut :
o Jumlah stasiun pengamatan minimal tiga buah stasiun. o Penambahan stasiun akan mengubah seluruh jaringan o Topografi daerah tidak diperhitungkan
o Stasiun hujan tidak tersebar merata
3. Cara rata- rata I sohyet
Dengan cara ini, kita dapat menggambar dulu kontur tinggi hujan yang sama (isohyet). Kemudian luas bagian diantara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur, dan nilai rata-rata dihitung sebagai nilai rata-rata timbang nilai kontur, kemudian dikalikan dengan masing-masing luasnya. Hasilnya dijumlahkan dan dibagi dengan luas total daerah, maka akan didapat curah hujan areal yang dicari.
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA
Gambar 3.6 Metode Isohyet
Metode ini digunakan dengan ketentuan :
o Dapat digunakan pada daerah datar maupun pegunungan o Jumlah stasiun pengamatan harus banyak
o Bermanfaat untuk hujan yang sangat singkat
3.3.3. Curah Hujan Rencana Dengan Periode Ulang Tertentu
Analisis curah hujan rencana ditujukan untuk mengetahui besarnya curah hujan harian maksimum dalam periode ulang tertentu yang nantinya digunakan untuk perhitungan debit banjir rencana. Metode yang umum digunakan untuk perhitungan curah hujan rencana ini adalah Metode Gumbel, Metode Log Normal, Metode Log Pearson Tipe III, Metode Weduwen dan Metode Haspers.
1. Metode Gumbel
Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode distribusi Gumbel Tipe I digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut :
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-13
di mana :
Xt = nilai variat yang diharapkan terjadi.
X
= nilai rata-rata hitung variatSx = Standar Deviasi (simpangan baku)
YT = nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode
ulang tertentu
Yn = nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduce variate) nilainya
tergantung dari jumlah data (n)
Sn = deviasi standar dari reduksi variat (mean of reduced variate) nilainya
tergantung dari jumlah data (n)
Tabel 3.2. Reduced Mean (Yn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.522
20 0.5236 0.5252 0.5268 0.5283 0.5296 0.5300 0.5820 0.5882 0.5343 0.5353
30 0.5363 0.5371 0.5380 0.5388 0.5396 0.5400 0.5410 0.5418 0.5424 0.543
40 0.5463 0.5442 0.5448 0.5453 0.5458 0.5468 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481
50 0.5485 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518
60 0.5521 0.5524 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.5545
70 0.5548 0.5550 0.5552 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.5567
80 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.5585
90 0.5586 0.5587 0.5589 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599
100 0.5600
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-14 Tabel 3.3. Reduced Standard Deviation (Sn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.9496 0.9676 0.9833 0.9971 1.0095 1.0206 1.0316 1.0411 1.0493 1.0565
20 1.0628 1.0696 1.0754 1.0811 1.0864 1.0915 1.0961 1.1004 1.1047 1.1080
30 1.1124 1.1159 1.1193 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388
40 1.1413 1.1436 1.1458 1.148 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.1590
50 1.1607 1.1623 1.1638 1.1658 1.1667 1.1681 1.1696 1.1708 1.1721 1.1734
60 1.1747 1.1759 1.177 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.1844
70 1.1854 1.1863 1.1873 1.1881 1.1890 1.1898 1.1906 1.1915 1.1923 1.1930
80 1.1938 1.1945 1.1953 1.1959 1.1967 1.1973 1.198 1.1987 1.1994 1.2001
90 1.2007 1.2013 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2046 1.2049 1.2055 1.2060
100 1.2065
(Sumber : Ir. C.D. Soemarto, BIE. Dipl. H, Hidrologi Teknik hal.149)
Tabel 3.4. Return Period A Function of Reduced Variate (Yt)
Return Period Reduced Variate
2 0.3665 5 1.4999 10 2.2502 20 2.9606 25 3.1985 50 3.9019 100 4.6001 200 5.296 500 6.214 1.000 6.919 5.000 8.539 10.000 9.921
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-15 2. Metode Distribusi Log Pearson I I I
Metode Log Pearson III apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dangan persamaan sebagai berikut :
Y =
Y
+ k.S ... ( 3.7 )Langkah-langkah perhitungan kurva distribusi Log Pearson Tipe III adalah : 1. Tentukan logaritma dari semua nilai variable X
2. Hitung nilai rata-ratanya :
n X X)=
∑
log( )log( ... ( 3.8 )
3. Hitung nilai deviasi standarnya dari log X :
(
)
4. Hitung nilai koefisien kemencengan (CS) :
(
)
sehingga persamaannya dapat ditulis :
(
log( ))
) log(
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-16 Tabel 3.5 Harga k untuk Distribusi Log Pearson III
Kemencengan (CS)
Periode Ulang (tahun)
2 5 10 25 50 100 200 1000
Peluang ( % )
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,250 2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600 2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200 2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910 1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660 1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390 1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110 1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820 1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540 0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395 0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891 3,312 4,250 0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 3,223 4,105 0,6 0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 3,132 3,960 0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 3,041 3,815 0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 2,949 3,670 0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544 2,856 3,525 0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 2,763 3,380 0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 2,670 3,235 0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326 2,576 3,090 -0,1 0,017 0,836 1,270 1,761 2,000 2,252 2,482 3,950 -0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810 -0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675 -0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540 -0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400 -0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,016 2,275 -0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150 -0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035 -0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910 -1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800 -1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625 -1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465 -1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,280 -1,8 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,089 1,097 1,130 -2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000 -2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910 -2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802 -3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-17 3. Metode Log Normal
Metode Log Normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dangan persamaan sebagai berikut :
X = X k.S
_
+ ... ( 3.12 ) (Petunjuk Perencanaan Irigasi,hal 25,1986)
di mana :
X = nilai yang diharapkan akan terjadi pada periode ulang tertentu.
X
= nilai rata-rata kejadian dari variabel kontinyu X S = deviasi standar variabel kontinyu X.k = karakteristik distribusi peluang log-normal 3 parameter yang merupakan fungsi dari koefisien kemencengan CS
Tabel 3.6 Faktor frekuensi k untuk distribusi log normal 3 parameter
Koefisien Kemencengan
(CS)
Peluang kumulatif ( % )
50 80 90 95 98 99
Periode Ulang ( tahun )
2 5 10 20 50 100
-2,00 0,2366 -0,6144 -1,2437 -1,8916 -2,7943 -3,5196
-1,80 0,2240 -0,6395 -1,2621 -1,8928 -2,7578 -3,4433
-1,60 0,2092 -0,6654 -1,2792 -1,8901 -2,7138 -3,3570
-1,40 0,1920 -0,6920 -1,2943 -1,8827 -2,6615 -3,2601
-1,20 0,1722 -0,7186 -1,3067 -1,8696 -2,6002 -3,1521
-1,00 0,1495 -0,7449 -1,3156 -1,8501 -2,5294 -3,0333
-0,80 0,1241 -0,7700 -1,3201 -1,8235 -2,4492 -2,9043
-0,60 0,0959 -0,7930 -0,3194 -1,7894 -2,3600 -2,7665
-0,40 0,0654 -0,8131 -0,3128 -1,7478 -2,2631 -2,6223
-0,20 0,0332 -0,8296 -0,3002 -1,6993 -2,1602 -2,4745
0,00 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
0,20 -0,0332 0,8996 0,3002 1,5993 2,1602 2,4745
0,40 -0,0654 0,8131 0,3128 1,7478 2,2631 2,6223
0,60 -0,0959 0,7930 0,3194 1,7894 2,3600 2,7665
0,80 -0,1241 0,7700 1,3201 1,8235 2,4492 2,9043
1,00 -0,1495 0,7449 1,3156 1,8501 2,5294 3,0333
1,20 -0,1722 0,7186 1,30567 1,8696 2,6002 3,1521
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-18
1,60 -0,2092 0,6654 1,2792 1,8901 2,7138 3,3570
1,80 -0,2240 0,6395 1,2621 1,8928 2,7578 3,4433
2,00 -0,2366 0,6144 1,2437 1,8916 2,7943 3,5196
Sumber : (Soewarno, 1995)
4. Metode Weduw en
Dalam menghitung curah hujan harian maksimum dengan metode Weduwen, rumus yang digunakan :
RT = m * n * R70 ... ( 3.13 )
R70 =
P
m
Rn
*
Dimana :
RT = Curah hujan harian maksimum (mm)
m, n = Indeks yang tergantung pada tahun periode ulang. m, p = Indeks yang tergantung pada tahun pengamatan Rn = Curah hujan maksimum rata-rata (mm)
5. Metode Haspers
Rumus yang digunakan pada metode Haspers adalah :
Xt = X + Sx * S ... ( 3.14 )
Dimana :
Xt = Besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang T
tahun
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-19 3.3.4. I ntensitas Curah Hujan
Curah hujan jangka pendek biasanya dinyatakan dalam intensitas per jam yang disebut dengan Intensitas Curah Hujan. Besarnya Intensitas curah hujan berbeda-beda biasanya disebabkan oleh lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Beberapa rumus Intensitas curah hujan yaitu :
1. Rumus Talbot
I = intensitas curah hujan (mm/jam) t = lamanya curah hujan (menit)
a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah
aliran.
n = banyaknya pasangan data i dan t
2. Rumus Sherman
Untuk hujan dengan waktu > 2 jam, Prof. Sherman (1905) menuliskan rumus :
I = b
t a
... ( 3.16 )
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA
a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran.
n = banyaknya pasangan data i dan t
3. Rumus I shiguro
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA
a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran
n = banyaknya pasangan data i dan t
4. Rumus Mononobe
Rumus di atas dikembangkan lagi oleh Mononobe menjadi :
I =
Untuk menghitung debit banjir rencana digunakan beberapa metode antara lain :
1. Metode Der Weduw en
Metode ini dapat digunakan bila luas DAS kurang dari atau sama dengan 100 km2.
Rumus dari metode Der Weduwen adalah sebagai berikut :
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-22
25 , 0 125 , 0 25 ,
0 − −
= LQ I
t
di mana :
Qt = Debit banjir rencana (m3/det) Rn = Curah hujan maksimum (mm/hari)
α = Koefisien pengaliran
β
= Koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DASqn = Debit persatuan luas (m3/det km2) t = Waktu konsentrasi (jam)
A = Luas daerah pengaliran (km²) L = Panjang sungai (Km)
I = Gradien sungai atau medan
Adapun syarat dalam perhitungan debit banjir dengan metode Weduwen adalah sebagai berikut :
A = Luas daerah pengaliran < 100 Km2 t = 1/6 sampai 12 jam
2. Metode Rasional
Metode rasional biasa digunakan untuk luas daerah aliran sungai sekitar kurang dari atau sama dengan 60 km2 (≤ 60 km2).
A I C 3,6
1
Q= × × × = 0,0278 . C . I . A... ( 3.20 )
3 2
c t 24 24
R
I ⎥
⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ × =
tc = to + td
( Ir Sugiyanto,M.Eng,2001,Diklat kuliah Pengendali Banjir,UNDIP Semarang )
di mana :
Q = debit maksimum (m3/detik),
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-23
A = luas daerah pengaliran (km2),
R = hujan maksimum (mm), tc = waktu konsentrasi (menit),
to = waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai
saluran terdekat.
Besar to didapatkan dari rumus Kirpich (1940), yaitu :
⎥ ⎦ ⎤ ⎢
⎣
⎡ × × ×
=
S n L 3,28 3 2
to menit
di mana :
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m), S = kemiringan lahan.
td = waktu perjalanan air dari pertama masuk saluran sampai titik keluaran.
Rumus : V 60
L
t S
d = × menit di mana :
LS = panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m),
V = kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik).
Besar nilai V tergantung dari kemiringan dasar saluran (i), kekasaran permukaan saluran (n Manning) dan bentuk saluran.
3. Metode Melchior
Rumus yang digunakan :
Qr = α * q * F * RT/ 200 ... ( 3.21 )
T = ( )
36 10
jam V
L
V = 1,31 (F * q * I2 * )0,2 (m/det)
S =
L H
9 ,
0 ; Dimana :
Qr = Debit banjir rencana dalam periode ulang tertentu (m3/det)
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-24
q = Debit tiap km2 (m2/det)
F = Luas daerah pengaliran (m2)
RT = Curah hujan harian maksimum rencana untuk periode ulang tertentu
(mm)
T = Lama waktu konsentrasi banjir (jam) L = Panjang sungai yang ditinjau
V = Kecepatan rata-rata arus air (m/det) S = Kemiringan rata-rata dasar sungai
H = Selisih tinggi antara titik pengamatan dan titik sejauh 0,9 L ke arah hulu sungai (m)
3.3.6 Hidrograf Banjir
Suatu grafik yang menunjukkan hubungan antara parameter aliran dengan waktu. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aliran/bentuk hidrograf antara lain : Intensitas Hujan (I), Laju Infiltrasi (f), besarnya Infiltrasi (F).
Unit hidrograf merupakan grafik hubungan antara debit aliran sungai langsung dan waktu, dari suatu daerah pengaliran sungai, yang diakibatkan oleh hujan efektif (Re) yang jatuh merata di seluruh daerah pengaliran sungai sebesar satu satuan tinggi (mm) per satu satuan waktu (jam).
Perhitungan Hidrograf banjir berdasarkan unit hidrograf secara analitis.
a. Hujan efektif
Gambar 3.7. Unit Hidrograf secara analitis Hujan efektif
T (jam)
ø
I1
I3
I2
I4
I5
t0 t1 t2 t3 t4 t5
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-25
dimana : ø = Total kehilangan air dari jam ke jam berikutnya (mm/jam) He = Hujan efektif
to – t1 He1 = 0
t1 – t2 He2 = I2 – ø (mm/jam)
t2 – t3 He3 = 0
t3 – t4 He4 = I4 – ø (mm/jam)
t4 – t5 He5 = 0
b. Hidrograf satuan Sintetik Snyder
Hidrograf satuan Sintetik Snyder ini menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran. Hidrograf satuan tersebut ditentukan dengan baik pada tinggi d = 1 mm dan dengan ketiga unsur yang lain yaitu QP (m3/det), Tb serta tr (jam). Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan :
A = Luas daerah pengaliran (km2) L = Panjang aliran utama (km)
Lc = Jarak antar titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) di saluran utama.
Dengan menggunakan rumus-rumus :
tp = Ct * (L * Lc)0,3... ( 3.23 )
Tp = tp + 0,5
qp = 0,278 .
Tp Cp
Qp = qp * A untuk 1 mm/jam
Dimana : qp = Puncak hidrograf satuan (m3/det/mm/km)
Qp = Debit puncak (m3/det/mm).
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-26
Tp = Waktu yang diperlukan antar permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf.
Ct = Koefisien limpasan ( run off ) air hujan
Gambar 3.8. Hidrograf banjir
3.3.7 Penelusuran Banjir (Flood Routing)
Penelusuran banjir adalah merupakan prakiraan hidrograf di suatu titik pada aliran atau bagian sungai yang didasarkan atas pengamatan hidrograf di titik lain.
I – Q = ∆ S ... ( 3.24 )
t1 – t2 t S
I I
∆ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜
⎝
⎛ + ∆
* 2
2 1
Dimana : t = Waktu ke (jam) I = Inflow (m3/det). O = Outflow (m3/det).
∆t = Interval waktu (det)
∆S = Perubahan Storage (m3) Qp = Debit Puncak Q
(m3/det)
T (jam) Tp = Waktu puncak
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-27 3.4 ANALI SI S HI DROLI KA
Analisis hidrolika dimaksudkan untuk mengetahui kapasitas alur sungai pada kondisi sekarang terhadap banjir rencana dan studi terdahulu serta pengamatan yang diperoleh. Analisis hidrolika dilakukan pada seluruh saluran untuk mendapatkan dimensi saluran yang diinginkan, pada ketinggian muka air sepanjang saluran yang dituju.
3.4.1. Perencanaan Dimensi Saluran
Untuk menentukan dimensi saluran maka diasumsikan kondisi aliran pada saluran adalah aliran tetap seragam (Steady Uniform Flow), dimana aliran mempunyai kecepatan konstan terhadap jarak dan waktu. Rumus yang digunakan adalah rumus Manning dengan persamaan sebagai berikut :
A S R n
Q=1* 23* 12* ... ( 3.25 ) Dimana : Q = debit banjir rencana (m3/det)
n = koefisien kekasaran Manning R = Jari-jari hidrolis (m)
S = Kemiringan dasar saluran A = Luas tampang basah (m2)
Tabel 3.7. Koefisien Kekasaran (n) Manning
Saluran Keterangan Harga n
Beton
Gorong-gorong lurus dan bebas kotoran 0.011
Gorong-gorong dengan lengkungan dan
sedikit kotoran/gangguan 0.013
Beton dipoles 0.012
Saluran pembuang dengan bak kontrol 0.015
Tanah, lurus dan seragam
Bersih baru 0.018
Bersih telah melapuk 0.022
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-28 B
H
Gambar 3.9. Penampang Tunggal Berbentuk Persegi Empat
Saluran Alam
Bersih lurus 0.030
Bersih, berkelok-kelok 0.040
Banyak tanaman pengganggu 0.070
Dataran Banjir berumput pendek-tinggi 0.030-0.035
Saluran di belukar 0.050-0.100
(Sumber : Dr. Ir. Suripin M.Eng, Diktat Hidrolika )
Dalam drainase perkotaan sebaiknya digunakan dimensi penampang dan bentuk penampang yang efektif, yaitu penampang bentuk persegi. Dengan pertimbangan luas lahan yang terbatas dan pembebasan lahan yang mahal. Rumus yang digunakan
• Luas Saluran A = B * H
• Keliling Basah P = B + 2 * H
• Jari-jari Hidrolis
R =
P A
Dimana : A = Luas saluran (m2)
P = Keliling Basah (m) B = Lebar Dasar Saluran (m) H = Kedalaman aliran (m)
3.4.2. Perhitungan Muka Air Saluran
Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menghitung profil muka air pada aliran tidak beraturan Yaitu :
a. Metode tahapan langsung ( Direct Step Method)
Proses perhitungannya dimulai dengan kedalaman yang diketahui h1, kemudian
diambil (asumsikan) kedalaman h2, baik dihulu maupun di hilir dan hitung jarak ∆X
antara kedua kedalaman. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka mengambil harga h2 sedekat mungkin dengan h1, sehingga harga ∆X yang diperoleh tidak
terlalu jauh.
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA
Dimana : z = ketinggian dasar saluran dari garis referensi. h = kedalaman air dari dasar saluran.
V = kecepatan rata-rata g = Percepatan gravitasi
hf = Kehilangan energi karena gesekan dasar saluran.
b. Metode Tahapan standard ( Standard step method)
Metode ini dikembangkan dari persamaan energi total dari aliran pada saluran terbuka. Perhitungannya dimulai dengan mengetahui tinggi h1, sehingga tinggi
energi total pada titik awal H1 dapat diketahui. Selanjutnya ditentukan jarak titik
ke hulu atau ke hilir ∆ X. Parameter sebelah kanan yang dapat dihitung adalah z2,
yaitu perkalian antara kemiringan dasar saluran dan selisih jarak kedua titik yang akan dihitung (z = So * ∆ X), kemudian mengasumsikan kedalaman air di titik lain
dengan cara coba-coba sampai terpenuhinya persamaan di bawah ini.
Z1 + h1
+
hfA rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-31
Pada daerah datar, khususnya daerah pantai sering menghadapi kondisi saluran drainase mempunyai pembuangan (outlet) di badan air yang muka airnya berfluktuasi. Saluran drainase yang membuang langsung ke laut dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan drainase yang membuang ke banjir kanal dipengaruhi oleh tinggi banjir. Pada kondisi air di hilir tinggi, baik akibat air pasang maupun air banjir maka air dari drainase tidak dapat mengalir ke pembuang bahkan dimungkinkan terjadi aliran balik (back water). Pada ujung saluran drainase perlu dilengkapi dengan bangunan pengatur berupa pintu pengatur untuk menghindari terjadinya aliran balik. Ada dua kelompok pintu pengatur, yaitu pintu manual dan pintu otomatis. Penggunaan pintu manual untuk sistem drainase atau pengendalian banjir tidak populer, karena banyak kekurangannya seperti berikut :
• Air pasang atau banjir dapat terjadi kapan saja dan sering terjadi tengah
malam, pada saat itu operator pintu sering ketiduran.
• Pada pintu ukuran besar, pembukaan secara manual sangat memakan waktu dan bisa jadi kalah cepat dengan datangnya banjir.
Oleh karena itu sekarang banyak dipakai pintu otomatis, baik yang bekerja secara mekanis maupun elektris. Pintu klep (pintu otomatis) berfungsi untuk membatasi masuknya air pasang dari hilir sungai yang melewati kapasitas saluran, dan pintu klep ini dibuka apabila muka air di hilir sudah berada di bawah ambang kapasitas, sehingga air di saluran dapat mengalir kembali.
Gerakan membuka dan menutup pintu klep (pintu otomatis) mengandalkan keseimbangan momen yang ditimbulkan oleh pemberat pintu dan/atau pelampung dan tekanan air. Pintu klep sederhana terbuka karena desakan aliran air dibantu oleh momen dari pemberat pintu, yaitu pada saat air di hilir naik (akibat pasang surut atau banjir), maka tekanan air di hilir lebih tinggi dari tekanan air di hulu, sehingga mendorong pintu untuk menutup.
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-32
2gH B ) 3
H -(Hw
Q=
µ
∆ ... ( 3.29 )( I r Sugiyanto,M.Eng,2001,Diklat kuliah Pengendali Banjir,UNDI P Semarang )
dimana :
Q = debit banjir (m3/detik)
µ
= koefisien pengaliranHw = tinggi air sungai normal (m)
∆
H = perbedaan tinggi muka air hulu dan hilir (m)g = gravitasi bumi (9,81 m/detik2)
B = lebar pintu (m)
H = tinggi pintu klep (m)
Gambar 3.11 Sketsa Pintu Klep Darat
Laut
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-33 3.5.4. Stasiun Pompa
Banjir atau genangan yang terjadi di daerah perkotaan, khususnya daerah yang terletak di dataran rendah dekat pantai dapat berasal dari tiga sumber yaitu : air kiriman dari hulu yang meluap dari sungai utama, hujan setempat, dan genangan akibat air pasang. Begitu sungai utama diperbaiki maka genangan akibat meluapnya sungai tersebut dapat dicegah, namun karena durasi air tinggi di sungai utama tambah panjang di daerah rendah yang dikelilingi tanggul sungai utama susah untuk mengalirkan air masuk ke sungai dan lama genangan tambah panjang, maka kerusakanpun/kerugian bertambah besar.
Daerah yang tidak dapat dilayani oleh drainase sistem gravitasi dinamakan daerah drainase interior, sistem drainase yang tidak dapat sepenuhnya mengandalkan gravitasi sebagai faktor pendorong maka perlu dilengkapi dengan stasiun pompa. Pompa ini berfungsi untuk membantu mengeluarkan air dari kolam penampung banjir maupun langsung dari saluran drainase pada saat air tidak dapat mengalir secara gravitasi karena air di muaranya/pengurasnya lebih tinggi baik akibat pasang surut maupun banjir.
Anggap bahwa kerusakan akibat air drainase interior adalah kecil dibandingkan dengan bencana akibat tanggul jebol, namun kondisi daerah drainase interior tetap perlu diperbaiki dalam hal ini diperlukan sistem drainase pompa.
Dalam perencanaan hidrolika sistem pompa, perlu diketahui hal-hal sebagai berikut :
• Aliran masuk (inflow) ke kolam penampung
• Tinggi muka air sungai pada titik keluar (outlet)
• Kolam penampung dan volume tampungan
• Ketinggian air maksimum dan kapasitas pompa yang diperlukan
• Dimensi pompa
• Pola operasi pompa
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-34
yang lama, maka pada daerah tersebut dibangun pompa air drainase sebagai pompa pengangkat air dari elevasi yang rendah ke elevasi yang lebih tinggi.
Pompa air drainase umumnya beroperasi pada saat banjir, dan tinggi tekanan serta debitnya berubah-ubah sepanjang waktu. Terdapat berbagai jenis pompa tergantung dari konstruksinya, kapasitas dan spesifikasinya. Untuk pompa drainase umumnya digunakan jenis pompa turbin seperti pompa aliran aksial (axial flow) dimana tinggi pompa terutama ditimbulkan oleh gaya sudut pada air, jenis pompa ini banyak digunakan untuk debit yang cukup besar dengan ketinggian rendah (head kecil). Selain pompa aliran aksial (axial flow) juga pompa aliran semi aksial (mixed flow) dimana tinggi pompa sebagian ditentukan oleh gaya dorong putaran sudut
-sudut, pompa ini banyak digunakan untuk debit yang cukup besar dengan ketinggian sedang (head sedang), termasuk dalam tipe ini adalah pompa ulir (screw pumps). Untuk pompa dengan kapasitas debit yang cukup besar dengan ketinggian besar (head besar), tinggi pompa terutama ditimbulkan oleh gaya dorong sentrifugal putaran sudut - sudut (impeller) pompa ini termasuk tipe pompa sentrifugal. Sedangkan rumus yang digunakan untuk menghitung daya pompa (Dp) tersebut adalah sebagai berikut :
Dp = η
w γ . Q . Hp
... ( 3.30 )
dimana :
Dp = daya pompa (HP)
Hp = Hs +
∑
hf γw = berat jenis air (ton/m3)η
= efisiensi pompa (%)∑
hf = kehilangan tinggi energi (m)Hs = beda tinggi antara saluran yang ditinjau (m) EGL = Energy Grade Line
A rd hia n Pra ha na nto L2 A 3 0 2 1 0 2 BA B III STUD I PUSTA KA Sug iy a nto L2 A 3 0 2 1 4 8
III-35
HS
a
V² / 2g hf1 hf2 hf3 hf4 hf5 V² / 2g
v
v Pompa
V² / 2g
hf6
hf7
hf8
hf9
hf10 b
Untuk mencari Hp dihitung EGL dan HGL
Gambar 3.12. Sketsa EGL dan HGL
a = hf1 + hf2 + hf3 + hf4
b = hf5 + hf6 + hf7 + hf8 + hf9 + hf10
Hp = Hs + a + b
Hp = Hs + hf1 + hf2 + hf3 + hf4 + hf5 + hf6 + hf7 + hf8 + hf9 + hf10