• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH FILSAFAT HUKUM DALAM MEMANDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Mochammad Rozikin 1. Universitas Brawijaya Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TELAAH FILSAFAT HUKUM DALAM MEMANDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Mochammad Rozikin 1. Universitas Brawijaya Malang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Mochammad Rozikin1

Universitas Brawijaya Malang

Abstrak :

Korupsi sudah menjadi bahan perbincangan dan bukan hal baru lagi di Indonesia. Sejumlah analisis tentang korupsi dan beberapa upaya untuk pemberantasanya telah dilakukan bahkan oleh para akademisi melalui buah pikiran mereka. Umumnya hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa adanya pengesampingan penegakan hukum atas upaya pemberantasan korupsi. Gagasan semacam ini memberikan tantangan serius terhadap bidang keilmuan hukum, sehingga disinilah peranan filsafat hukum dalam mendampingi melakukan sebuah analisis untuk mencapai sebuah cara berfikir yang bijaksana untuk menghadapi ujian pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Kata Kunci: Filsafat, Hukum, Korupsi, Indonesia.

Abstract:

Corruption has become a matter of discussion and is not new anymore in Indonesia. A number of analyzes about corruption and some efforts to eradicate it have been done even by academics through their thinking. In general, the results of the analysis show that there is an override of law enforcement in efforts to eradicate corruption. This kind of idea presents a serious challenge to the field of legal science, so this is where the role of legal philosophy in assisting in conducting an analysis to achieve a wise way of thinking to corruption in Indonesia.

Keyword: Philosophy, Law, Corruption, Indonesia.

(2)

A. Pendahuluan

Hukum itu bukanlah sesuatu wujud yang menampak tersimak, me lainkan suatu konsep. Sebagai suatu konsep, hukum akan berada di suatu ranah abstrak, yang sains empirik macam apapun tak akan mungkin dapat menggapainya begitu saja. Be rada di ranah yang abstrak, wacana tentang hukum tentulah merupakan wacana falsafati, atau setidak-tidak nya mesti bermula dari suatu wacana yang falsafati sifatnya. Memang be nar apa yang dikatakan orang, bah wa/konsep itu sesungguh nya merupa kan hasil persepsi, namun mempro ses hasil persepsi (yang individual dan subjektif) menjadi suatu konsep (yang kolektif dan intersubjektif) mestilah mendasarkan diri pada suatu paradigma yang diterima sebagai pangkal atau dasar pemikiran bersa ma, betapapun asumtifnya.

Seperti yang ditulis oleh Jere my Pope ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu respon den ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberan tasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi sema kin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimak sud dengan korupsi.2

2 Jeremy Pope, 2003, Strategi

Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional, Jakarta:Yayasan Obor

Dalam banyak pemikiran ma syarakat Indonesia korupsi kerap diasosiasikan dengan uang. Orang yang korup atau biasa disebut dengan koruptor identic dengan orang yang meraup atau mengambil sejumlah uang yang sangat besar dengan jalan atau cara melanggar hukum. Namun, jika seseorang menggelapkan uang negara atau perusahaan dalam jumlah yang kecil tidak dianggap sebagai suatu korupsi.

Dewasa ini masalah korupsi menyangkut berbagai aspek sosial. Oleh sebab itu diperlukan berbagai displin ilmu untuk menganalisanya. Kenyataan bahwa masalah korupsi dibahas oleh berbagai ilmuwan sosial menunjukkan bahwa memang korup si ini sudah merupakan masalah sosial, yang perlu diperhatikan secara serius. Masalah korupsi ini lebih banyak dibahas dan diteliti oleh para ahli-ahli politik (Political economic) dan sosiologi. Ahli–ahli antropologi agak kurang tertarik pada masalah ini. Namun yang paling mengheran kan adalah para ilmuwan ekonomi, walaupun memiliki peralatan analisa yang lengkap untuk melihat masalah korupsi ini, cenderung kurang bermi nat. Ada latar belakang ilmiah yang menyebabkan mereka kurang terta rik.

Suap menyuap sebagai sebuah kejahatan telah dikenal sejak adanya pemerintahan. Dalam cerita Al Qur’an tentang tingkah laku Fir’aun yang menindas rakyatnya dan meng umpulkan kekayaan yang berlimpah untuk kesenangannya adalah terma suk korupsi. Demikian juga Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa “dilaknat oleh Allah bagi pemberi suap dan

Indonesia dan Transparency Interna tional Indonesia, hlm. 31.

(3)

penerima suap”. Jadi rupanya korup si bukanlah fenomena baru dalam kehidupan dunia. Persoalannya yang lebih jauh adalah, apa yang dimaksud perbuatan-perbuatan : “suap”, “deng an melawan hukum” serta “menyalah gunakan jabatan atau kedudukan nya”, “untuk kepentingan dirinya atau orang lain” serta “yang dapat merugikan keuangan atau perekono mian negara”. Dalam pemahaman umum tentu saja dengan gampang dapat dijawab bahwa perbuatan-per buatan tersebut adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak bermoral karena merugikan orang lain, karena itu pantas mendapatkan hukuman. B. Pembahasan

1. Sekilas tentang Filsafat Hukum Mengutip dari buah piker Ida Bagus Wyasa Putra yang mendefini saikan pengertian dari filsafat adalah sebuah hasil berfikir secara filsafat itu sendiri. Berfikir filsafat adalah sebuah cara berfikir tentang sebab (thingking of cause). Cara berfikir tentang sebab merupakan sebuah cara berfikir tentang asal usu, hake kat sesuatu, dan sumber.3 Oleh sebab itu, seorang yang berfilsafat atau seorang filsut memiliki tingkat kebi jaksaan yang lebih tinggi karena makna dari kata filsafat yakni cinta dari kebijaksaan yang menggunakan pola piker yang mendalam ataas suatu hal yang dihasilkan buah oikir yang bijaksana. Disini seseorang akan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dengan lebih tenang dan bijaksana karena cara berfikirnya yang mendalam dan hati-hati.

Hans Kelsen seorang filsuf dan pakar hukum dalam teori hukumnya

3 Ida Bagus Wyasa Putra, 2013,

Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Denpasar: Udayana University Press, hlm.1.

the Pure Theory of Law mempunyai persamaan yang cukup mendasar ten tang hukum dan apa yang diungkap kan oleh H.L.A Hart dimana beliau mengininkan mampu menjawab per tanyaan tentang “apa hukum itu?” namun disini kemudian bukan per tanyaan “apa hukum itu seharus nya”. Secara gamblang dalam pers pektif Hart mengenai pertanyaan “hakikat hukum” di atas adalah tentang bagaimana hukum dan kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana kaitannya dengan perin tah-perintah yang ditopang oleh ancaman.4

Memasuki alam pemikiran filsa fati maka kita harus juga memandang bahwa Unsur-unsur filosofis pun juga memiliki kemungkinan mengan dung unsur subyektifitas, apalagi ketika berhadapan dengan fenomena yang dirasa cukup kompleks, seperti fenomena hukum. Oleh karena itulah muncul beberapa madzhab atau ali ran dalam ilmu hukum yang kemu dian dianggap lebih sesuai dan dipakai oleh orang-orang yang ber gabung dalam aliran hukum tertentu.

Awal kemunculan teori hukum pada dasarnya diawali ketika berkem bangnya pemikiran hukum Legisme yang berbentu in optima forma.5 Perkembangan teori hukum sudah berlangsung sejak abad pertengahan. Aliran positivism hukum untuk per tama kalinya disahkan dalam bentuk rumusan-rumusan yang sistematis dan konseptual oleh John Austin uang memaparkan bahwa; “hukum

4

H.L.A. Hart, Konsep Hukum,

Bandung: Nusamedia-Studio, 2010. Edisi

Ke-2. Hal. 10. Diterjemahkan oleh M. Khozim dari karya H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clarendon Press-Oxford, 1977.

5 In optima forma memiliki arti dalam bentuk yang optional, yang dapat disebut pula dengan “dokmatika hukum.

(4)

menyeluruh diartikan sebagai aturan yang diterbitkan untuk memberi pe doman perilaku kepada seseorang manusia selaku makhluk intelegen dari seorang manusia lainnya (ma khluk intelegen lain) yang di tangan nya ada kekuasaan (otoritas) terha dap makhluk intelegen pertama itu” 6

August Comte, memaparkan bahwa positivisme adalah sebuah sikap ilmiah, yang menentang speku lasi spekulasi a priori dan berusaha membangun dirinya pada data penga laman. Untuk itu filsafat menurut mazhab ini adalah suatu sistem filsa fat yang mengakui hanya fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi.7 Menurut panda ngan aliran positivism, tugas pokok dari filsafat yakni menemukan suatu prinsip umu bagi perkembangan atau suatu ilmu pengetahuan yang natinya dapat digunakan oleh umat manusia dalam berperilaku.

Selain aliran hukum positivis me yang sudah dijabarkan terdapat pula aliran hukum Alam dalam filsafat hukum. Menurut John Finch8 bahwa terdapat banyak pengistilahan yang yang digunakan dalam aliran hukum alam, seperti beberapa dianta ranya yakni hukum alam semesta (the law of universe), hukum abadi (the eternal law), hukum Tuhan (the law of God), hukum akal budi (the law of reason), dan hukum umat manusia (the law of mankind).

Oleh karena itu, ada asumsi juga yang menganggap bahwa setiap hukum yang dibuat oleh manusia

6

L.B. Curson, Jurisprudence, Cet 1. London: Cavendish Publishing, hlm. 93.

7 Yesmil Anwar dan Adang, 2008,

Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta:

Gramedia, hlm. 25-26.

8 John Finch, 1974, Introduction to

Legal Theory, Edisi Kedua, London: Sweet & Maxwell, hlm. 21

kaidah hukum alam, hal ini berarti hukum itu harus sesuai dan berasal dari hukum alam. Sehingga Jika hu kum yang telah dibuat itu ternyata bertentangan dari dasar-dasar yang terdapat pada pimikiran hukum alam, maka hukum itu bisa di anggap atau disebut sebagai hukum yang tidak adil, dan hukum yang tidak adil pada dasarnya merupakan tindakan keke rasan, bukan hukum itu sendiri.9

Aliran Filsafat Hukum yang selanjutnya yakni aliran realisme. Dalam aliran filsafat hukum realis me, kususnya hukum yang ada di Amerika Serikat adalah aliran yang memisahkan antara hukum dengan moral. Aliran realism lebih memen tingkan fakta sosial. Dalam tataran makna Realisme berarti berhubungan dengan dunia yang sesungguhnya atau dunia nyata, dunia sebagaimana nyata sekarang. Realisme hukum merupakan suatu diskursus tentang hukum sebagai sesuatu yang benar secara nyata dan dilaksanakan. Hu kum tidah hanya sekedar hukum sebagai aturan yang hanya termuat dalam perundangundangan, yang ti dak pernah dilaksanakan.10

Filsafat hukum banya menga jarkan pada umat manusia untuk lebih mampu mengasah daya nalar yang lebih sehat. Menurut Charles Himawan11 salah satu contoh dalam bidang filsafat hukum dapat ditelaah akhir pembelaanya (pleidooi) Socra

9 Dennis Patterson (editor), 1999, A

Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, United Kingdom: Blackwell Publishers, hlm. 226

10 Achmad Ali, 2004, Sosiologi

Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, hlm. 41.

11 Charles Himawan,2006, Hukum

Sbeagai Panglima,Jakarta: Kompas, hlm195-196.

(5)

tes yang berkata: “saya tidak akan mengemis agar saya diberi pengam punan, tetapi saya akan memberikan pencerahan kepada anda tentang tugas hakim dan berusaha menyakin kan anda untuk melaksanak an tugas ini”. Tugas utama seorang hakim adalah untuk mebrikan keputusan, bukan menghadiahkan keadilan berdasarkan favour (KKN) dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum. Meski putusan mati yang dijatuhkan adalah tidak adil, tetapi Socrates berpendirian, itu adalah legal finding of the court dan harus ditaati (meski ditukar dengan nyawa).

2. Telaah Filsafat Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

Korupsi di Indonesia yang tergolong Extra – Ordinary Crime / kejahatan yang luar biasa, sehingga tindak pidana korupsi yang sudah akut dirasakan tidak cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi sebagai mana yang semula diatur dalam KUHP yaitu pasal 209, 210, 387, 388, 415 416, 417, 418 dan 419, kemudian pasal – pasal tersebut dimasukkan dalam Undang – Un dang No.20/ 2001 tentang Perubahan Undang – Undang No.31 / 1999 tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12, namun upaya ini masih dianggap cara–cara yang konven-sional, sehingga diperlukan metode dan cara baru agar mampu mem bendung meluasnya korupsi.

Menurut Mochtar Buchori ko rupsi memiliki empat ciri dasar; 1) Immoralitas dan pemutar-balikkan kenyataan;2) Ada unsur penyuapan dan ketidak jujuran; 3) Mengandung kesalahan atau ditandai dengan peru bahan-perubahan yang dipaksa kan;

4) Berupa tindakan tercela atau ternoda.12 Oleh karenya, ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan ben tuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencengahan dan pemberan tasan korupsi perlu semakin ditingkat kan dan diintensifkan dengan tetap menjujung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapat kan kekayaan dari keuangan negara apa kah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan pengharga an, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara seca ra tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masya rakat, tidak perduli apakah kekayaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membe la orang kaya. Jadi tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya.

12 Mochtar Buchori, 2005, Indonesia

Mencari Demokrasi, Yogyakarta: Insist Press, hlm. 38.

(6)

Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada ba nyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita su dah dirasuki oleh pikiran materialis me dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Sementara, pada sisi lain cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasum sikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi te lah menjadikan ide sebagai kebena ran dan ide itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seo rang filosof Inggris, tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis menilai sesuatu. Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan kita melihat dunia, sehingga dunia obyek tif dikaburkan. Ketiga idola fora, yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga

mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan kenyataan subyektif dari para filosofnya.13

Karena itu pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keaga maan, membantu keluarga, memban tu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungka rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbua tan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korup si. Pandangan Immanuel Kant14 mengenai putusan dapat menjadi acuan untuk melihat epistemologi korupsi, yaitu apa yang disebut oleh Kant dengan putusan “sintetis a priori”. Kant membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu pertama, putusan analitis a priori; yaitu predi ket tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek karena sudah termuat didalamnya (misalnya setiap benda menempati ruang). Kedua, Putusan sintesis aposteriori; misal nya pernyataan “meja itu bagus”, disini prediket dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman

13 F.Budi Hardiman, 2004, Filsafat

Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm: 28-29.

14 Mohammad Muslih 2005, Filsafat

Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Yogyakarta: Penerbit Belukar, hlm. 62.

(7)

indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan ane ka ragam meja yang telah diketahui. Ketiga, sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber penge tahuan yang kendati bersifat sintetis namun bersifat a priori juga. Misal nya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya. Putu san yang ketiga ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori) namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab didakam penger tian “kejadian” belum dengan sendiri nya tersirat pengertian sebab. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Pende katan sintesis a priori dalam memaha mi korupsi lebih mendekati kebena ran apa sebenarnya korupsi itu.

Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menim bulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan penguta maan pada materialisme. Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materia listis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.

Berbicara masalah pandangan filsafat terhadap kasus korupsi, maka sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu masalah yang sering dikaji dalam filsafat hukum salah satunya adalah masalah “keadilan”. Prof. Dr. H. Muchsin, S. H., menyatakan : Pada dasarnya KON SEP HUKUM itu sesungguhhya berbicara pada 2 (dua) konteks

persoalan yaitu : 1) Konteks yang pertama adalah KEADILAN yang menyangkut tentang kebutuhan ma syarakat akan rasa adil ditengah sekian banyak dinamika dan konflik di tengah masyarakat; 2) Konteks yang kedua adalah ASPEK LEGALITAS menyangkut apa yang disebut dengan hukum positif yaitu sebua aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan Negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat di paksakan atas nama hukum.”

Dua konteks persoalan tersebut diatas seringkali terjadi benturan dimana terkadang hukum positif tidak menjamin sepenuhnya rasa kea dilan dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengah nya maka komprominya adalah bagaimana agar semua hukum positif yang ada selalu mencerminkan dari rasa keadilan itu sendiri”

C. Penutup

Memaknai kembali dan meng uatkan pemahaman tentang korupsi kiranya memberikan pencerahan ke pada masyarakat dan umah manusia tentang pentingya kita menghndari tindak pidana korupsi yang di kua lifikasikan menjadi extra ordinary crime. Melalui penguatan kesadaran tehadap ilmu hukum melalui pen dekatan filsafat huku maka seti daknya akan memberikan sebuah jalan keluar mengenai kompatibilitas para penegak hukum dalam ilmu hukum dengan upaya penegakan korupsi.

Pada akhirnya pemaknaan dan telaah filsafat hukum terhadap kon sepsi korupsi menjadi penting untuk meraih pemaknaan gagasan dan pemberantasnya. Menjadi sebuah tan tangan pula bagi ilmu hukum untuk terus melalukan studinya terkait ten

(8)

tang penegakan tidak pidana korupsi di Indonesia yang tidak kunjung reda.

D. Daftar Pustaka

Ali, Achmad, 2004, Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pe ngadilan, Jakarta: Badan Pener bit Iblam.

Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Gramedia.

Buchori, Mochtar, 2005, Indonesia Mencari Demokrasi, Yogya karta: InsistPress.

Curson, L.B., Jurisprudence, Cet 1. London: Cavendish Publishing. Finc, John h, 1974, Introduction to Legal Theory, Edisi Kedua, London: Sweet & Maxwell. Hardiman, F.Budi, 2004, Filsafat

Modern, Dari Machiavelli Sam pai Nietzhe, Jakarta: PT Gra media Pustaka Utama.

Hart, H.L.A. , 1977, Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia-Studio, 2010. Edisi Ke-2. Hal. 10. Diterjemahkan oleh M. Kho zim dari karya H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clarendon Press-Oxford.

Himawan, Charles, 2006, Hukum Sebagai Panglima, Jakarta: Kompas.

Muslih, Mohammad, 2005, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi da sar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Yogyakarta: Penerbit Belukar.

Patterson, Dennis (editor), 1999, A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, United Kingdom: Blackwell Publi shers, hlm. 226

Pope, Jeremy, 2003, Strategi Mem berantas Korupsi, Elemen Sis tem Integrasi Nasional, Ja karta: Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia.

Putra, Ida Bagus Wyasa, 2013, Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Denpasar: Udayana University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Range harga yang akan Anda keluarkan untuk membeli pasta gigi nafas segar.. Keputusan untuk membeli pasta gigi,

Kita dapat mengubah atau melakukan konversi satuan dalam suatu sistem satuan tertentu menjadi sistem satuan lain, misalnya dari Sistem Inggris menjadi Sistem Internasional

Hal tersebut berarti bahwa se- makin tinggi struktur modal maka semakin tinggi pula nilai perusahaan karena pe- rusahaan dapat mengoptimalkan struktur modal yang dimiliki

“Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi.”

Berdasar hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Dengan menggunakan variabel Dependen kinerja

hawa kumpulan sasaran yang ditujukan untuk kursus ini adalah para pelajar tahun I dari se- mua kolej akan tetapi para lain yang berminat juga boleh menyertai kursus ini9. Kursus

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dengan item-item pernyataan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan Perumahan Tipe