• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Ilmu Pengetahuan Alam berarti “Ilmu” tentang “Pengetahuan Alam”. Ilmu artinya suatu pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar artinya pengetahuan yang dibenarkan menurut tolok ukur kebenaran ilmu, yaitu rasional dan obyektif. Rasional artinya masuk akal atau logis, diterima oleh akal sehat, sedangkan obyektif artinya sesuai dengan objeknya, sesuai dengan kenyataannya, atau seesuai dengan pengalaman pengamatan melalui panca indra. Pengetahuan alam artinya pengetahuan tentang alam semesta dengan segala isinya. Adapun “pengetahuan” itu sendiri artinya segala sesuatu yang diketahui oleh manusia. Jadi secara singkat IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya (Kaligis dan Hendro, 1992: 3).

Pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar baik secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Sedangkan disebutkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Pendidikan IPA di Sekolah Dasar (SD) berupa mata pelajaran yang mulai di ajarkan pada jenjang kelas tinggi. IPA sebagai cara mencari tahu tentang alam secara sistematis dan bukan hanya kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan proses penemuan. Pendidikan IPA di SD dan MI diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkan didalam kehidupan sehari-hari.

Menurut H.W. Fowler dalam Trianto (2012: 136), IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan dedukasi. Sedangkan Wahyana dalam Trianto (2012: 136) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan

(2)

tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.

Nash 1963 (dalam Kaligis dan Hendro, 1992: 3) menyatakan bahwa IPA adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Nash juga menjelaskan bahwa cara IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkannya antara suatu fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk suatu perspektif yang baru tentang objek yang diamatinya.

Berdasarkan pendapat para ahli tentang hakikat IPA, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah suatu ilmu yang bersifat rasional dan empirik, yang berarti IPA adalah ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat diperoleh melalui pengalaman. Pelajaran IPA tidak hanya di dapat melalui membaca atau mendengarkan saja, namun pelajaran IPA berkaitan dengan penemuan sehingga harus dilakukan oleh seseorang. Karena dengan sesorang melakukan maka akan terjadi proses menemukan.

2.1.2 Ruang Lingkup IPA

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, menyebutkan bahwa Ruang Lingkup Pelajaran IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut: 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan dan tumbuhan, 2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaan meliputi: cair, padat dan gas, 3) Energi dan perubahannya, meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana, dan 4) Bumi dan alam semesta, meliputi: tanah, bumi, tata surya dan benda-benda langit lainnya.

Ilmu pengetahuan alam (IPA) sebagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta, konsep atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pengajaran IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih

(3)

lanjut dalam menerapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajah dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri untuk menumbuhkan kemampuan fisik, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

2.1.3 Tujuan Pelajaran IPA

Tujuan mata pelajaran IPA di SD dalam kuriulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, yaitu:

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaanNya.

2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan salam kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturan sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bakal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTS.

Tujuan pembelajaran IPA adalah memahami konsep-konsep IPA yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, memiliki keterampilan proses supaya pengetahuan dan

(4)

gagasan tentang alam sekitar dapat berkembang, mempunyai minat untuk dapat mengenal serta mempelajari benda-benda serta kejadian dilingkungan sekitar, bersikap ingin tahu, kritis, dapat bekerja sama serta kreatif mampu menerapkan konsep-konsep IPA sehingga menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan YME.

2.1.4 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa, “IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan proses penemuan”. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi sarana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran IPA secara khusus sebagaimana tujuan pendidikan tercantum dalam taksonomi bloom bahwa diharapkan dapat memberikan pengetahuan (kognitif), yang merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan dasar dari prinsip dan konsep yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Pengetahuan secara garis besar tentang fakta yang ada di alam untuk memahami dan memperdalam lebih lanjut, dan melihat adanya keterangan serta keteraturannya. Di samping itu, pembelajaran IPA diharapkan pula memberikan keterampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman, kebiasaan dan apresiasi.

Berdasarkan uraian tentang pembelajaran IPA, maka Trianto (2012: 143) mengemukakan tentang hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat memberikan antara lain: 1) Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2) Pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam. Hubungan saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi, 3) Keterampilan dan

(5)

kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah dan melakukan observasi, 4) Sikap ilmiah, antara lain skeptik, kritis, sensitive, obyektif, jujur, terbuka, benar dan dapat bekerja sama, 5) Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam, dan 6) Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam teknologi.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 untuk SD/MI dijelaskan mengenai pembelajaran IPA, yaitu:

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. BSNP (2007: 13)

Berdasarkan pemaparan tentang pembelajaran IPA di SD, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung. Pada prinsipnya, pembelajaran IPA harus dirancang dan dilaksanakan sebagai cara mencari tahu dan cara mengerjakan atau melakukan yang dapat membantu siswa memahami fenomena alam secara mendalam. Selain itu proses belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses, sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan.

(6)

2.2 Model Pembelajaran Kooperatif

2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. (Isjoni, 2012: 12)

Rusman (2012: 202) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok bersifat heterogen.

Menurut Slavin (2010: 100), pembelajaran kooperatif bukan hanya sebuah teknik pengajaran yang ditujukan untuk meningkatkan pencapaian prestasi para siswa, ini juga merupakan cara untuk menciptakan keceriaan, lingkungan yang pro-sosial di dalam kelas, yang merupakan salah satu manfaat penting untuk memperluas perkembangan interpersonal dan keefektifan siswa.

Sunal dan Hans (2000) dalam Isjoni (2012: 12) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja sama selama proses pembelajaran.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang pembelajaran kooperatif, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang menggunakan grup kecil yang heterogen dimana siswa bekerja sama belajar satu sama lain, berdiskusi dan saling berbagi ilmu pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami materi pelajaran.

(7)

2.2.2 Macam-macam Pembelajaran Kooperatif

Menurut Trianto (2007: 49-63) terdapat beberapa variasi model yang dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:

a. Numbered Heads Together (NHT) adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.

b. Jigsaw, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya.

c. Model Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.

d. Model pembelajaran Make a Match artinya model pembelajaran mencari pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu (bisa soal atau jawaban), lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang. Dalam pembelajaran kooperatif tipe Make a Match siswa belajar bersama dalam satu kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain.

2.2.3 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif

Berdasarkan beberapa pengertian pembelajaran kooperatif, terlihat adanya pergeseran peran guru yang sentral kepada peran guru yang mengelola aktifitas belajar siswa melalui kerja sama kelompok di kelas. Hamdani (2011: 30) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif antara lain: (1) setiap anggota memiliki peran, (2) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (3) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (4) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan

(8)

interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.

Siswa tidak hanya belajar dari buku, namun juga dari sesama teman. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang saling asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan sebagai latihan hidup di masyarakat.

Tiga konsep sentral karakteristik pembelajaran kooperatif, sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995) dalam Isjoni (2012: 21-22), yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu dan kesempatan yang sama untuk berhasil. a. Penghargaan kelompok

Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan ini diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan personal yang saling mendukung, membantu dan peduli.

b. Pertanggungjawaban individu

Keberhasilan kelompok bergantung pada pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.

c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan

Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skorsing yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skorsing ini, siswa yang berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.

(9)

2.2.4 Unsur Pembelajaran Kooperatif

Roger dan David Johnson (dalam Suprijono, 2009: 58) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran cooperative learning harus diterapkan, yaitu: (1) Positive interdependence (saling ketergantungan positif), (2) Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan), (3) Face to face promotive interaction (tatap muka), (4) Interpersonal skill (komunikasi antar anggota), dan (5) Group processing (pemrosesan kelompok).

2.2.5 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif menjadi enam langkah atau fase (Rusman, 2012: 211), yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1

Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Langkah-langkah Tingkah Laku Guru

1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

2. Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar agar melakukan transisi secara efisien.

4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

5. Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

6. Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

(10)

2.2.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif memiliki manfaat atau kelebihan yang sangat besar dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih mengembangkan kemampuannya dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan pembelajaran kooperatif, siswa dituntut untuk aktif dalam belajar melalui kegiatan kerjasama dalam kelompok.

Jarolimek dan Parker (1993) dalam Isjoni (2012: 24), keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran kooperatif adalah: (1) saling ketergantungan yang positif, (2) adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, (3) siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, (4) suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, (5) terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru, dan (6) memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.

Penggunaan model pembelajaran kooperatif dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, memiliki berbagai kelebihan atau manfaat. Kelebihan berorientasi pada optimalnya kegiatan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif melalui dukungan guru dan siswa dalam pembelajaran.

Selain kelebihannya, model pembelajaran kooperatif juga memiliki kelemahan. Kelemahan model pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam (intern), yaitu: (1) guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu, (2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai, (3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan (4) saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.

(11)

Kelebihan dan kelemahan dalam penggunaan pembelajaran kooperatif sebagai strategi mengajar guru, maka hal tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi guru dalam penggunaannya. Namun, faktor profesionalisme guru menggunakan model tersebut sangat menentukan dan kesadaran murid mengikuti pembelajaran melalui strategi kelompok. Sasaran pembelajaran adalah meningkatkan kemampuan belajar siswa sehingga penggunaan model ini akan memungkinkan siswa lebih aktif, kreatif dan mandiri dalam belajar sesuai tuntutan materi pelajaran atau kurikulum.

2.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match 2.3.1 Pengertian Make a Match

Teknik belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match) dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia siswa. (Lie, 2010: 55)

Menurut (Suprijono, 2010: 94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

2.3.2 Langkah-langkah Pembelajaran Make a Match

Langkah-langkah Make a Match dalam proses belajar mengajar (Lie, 2010: 55), yaitu:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang mungkin cocok untuk sesi review (persiapan menjelang tes atau ujian).

2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

(12)

4. Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang kartu yang cocok.

Adapun langkah-langkah Make a Match dalam (Hanafiah dan Cucu Sahana, 2009: 46), yaitu:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian kartu lainnya jawaban.

2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3. Setiap siswa memikirkan jawaban atas soal dari kartu yang dipegang.

4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban).

5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin. 6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang

berbeda dari sebelumnya. 7. Kesimpulan.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Make a Match merupakan teknik mencari pasangan dimana setiap siswa menerima satu kartu. Kartu itu bisa berisi pertanyaan, bisa berisi jawaban. Selanjutnya mereka mencari pasangan yang cocok sesuai dengan kartu yang dipegang. Perkembangan berikutnya, para pengguna model ini berusaha memodifikasi dan mengembangkannya sesuai dengan kreativitas guru sehingga memotivasi siswa untuk aktif dalam proses belajar mengajar.

2.3.3 Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Menurut Slavin (Isjoni, 2011: 24) menyebutkan pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, dimana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya

(13)

pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka. Tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah.

Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan prestasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kerjasama berpasangan, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Jadi, dalam pembelajaran kooperatif tipe Make a Match siswa berperan ganda yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif akan mengembangkan keterampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.

2.3.4 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam Proses Belajar Mengajar di SD

Prosedur penerapan pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dalam proses belajar mengajar mengacu pada langkah-langkah pembelajaran Make a Match yang dikemukakan oleh Lie (2007: 550) dan Suprijono (2009: 94). Akan tetapi, ada sedikit penambahan dan pengurangan oleh peneliti dengan maksud menyesuaikan materi yang akan diajarkan kepada siswa serta menyesuaikan kondisi siswa dimana baru pertama kalinya mendapatkan pembelajaran Make a Match serta untuk mempermudah guru dalam menerapkan pembelajaran tersebut.

(14)

Pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match, diperoleh beberapa temuan bahwa model pembelajaran Make a Match dapat memupuk kerjasama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang dibagikan oleh guru kepada siswa, proses pembelajaraannyapun lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran pada saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing.

2.3.5 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Menurut Lie (2007: 56) kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai berikut:

Kelebihan:

a. Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana belajar aktif dan menyenangkan.

b. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa. c. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.

d. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match bisa digunakan dalam semua mata pelajaran.

e. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them move). f. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.

g. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa. Kelemahan:

Disamping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif tipe Make a Match berdasarkan temuan dilapangan mempunyai sedikit kelemahan, yaitu:

a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.

b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak bermain-baim dalam proses pembelajaran.

(15)

d. Kelas yang gemuk (lebih dari 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana yang akan muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas kiri dan kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa sebelum “pertunjukan” dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas itu tergantung bagaimana kita memotivasi pada langkah pembukaan.

2.4 Media Pembelajaran

2.4.1 Pengertian Media Pembelajaran

Ridha Sarwono dan Stefanus (2009: 17), media pembelajaran merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak baik menggunakan teknologi sederhana maupun kompleks untuk menciptakan lingkungan atau pengalaman yang memungkinkan siswa untuk belajar sehingga tercapainya tujuan pembelajaran.

Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, 2009: 6). Sadiman juga menjelaskan bahwa banyak batasan yang diberikan orang tentang media, yaitu:

a. Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication Technology/AECT) di Amerika, membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan / informasi.

b. Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar.

c. Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Buku, film, kaset, film bingkai adalah contoh-contohnya.

(16)

d. Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/ NEA) memiliki pengertian yang berbeda yaitu media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik cetak maupun audio visual serta peralatannya.

Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar, dan dibaca. Apapun batasan yang diberikan, ada persamaan diantara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat, serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.

Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan untuk memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka); mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera; penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik; dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga beda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu dengan kemampuannya dalam memberikan perangsang yang aman; mempersamakan pengalaman; menimbulkan persepsi yang sama (Sadiman, 2009: 17).

Media pembelajaran yang baik dapat merangsang timbulnya proses atau dialog mental pada diri siswa. Dengan kata lain, terjadi komunikasi antara siswa dengan media atau secara tidak langsung tentunya antara siswa dengan penyalur pesan (guru). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran telah terjadi. Media tersebut berhasil menyalurkan pesan/bahan ajar apabila kemudian terjadi perubahan tingkah laku (behavioral change) pada diri siswa (Sri Anitah, 2009: 6.6)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri siswa. Media pembelajaran mempunyai manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari

(17)

materi pelajaran. Media pembelajaran yang digunakan harus menarik perhatian siswa pada kegiatan belajar mengajar dan lebih merangsang kegiatan belajar siswa.

2.4.2 Kegunaan Media Pembelajaran

Secara umum, media pembelajaran mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut (Sadiman, Raharja, Haryono dan Rahadjito, 1984: 17):

a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat versibilitas (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).

b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti misalnya:

1) Objek yang terlalu besar, bisa digantikan dengan realita, gambar, film bingkai, film atau model;

2) Objek yang kecil, dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film atau gambar;

3) Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat, dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography;

4) Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal;

5) Objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram dan lain-lain, dan

6) Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat divisualkan dalam bentuk film, film bingkai, gambar dan lain-lain. c. Penggunaan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi

sikap pasif siswa. Dalam hal ini media pembelajaran berguna untuk: 1) Menimbulkan kegairahan belajar;

2) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara siswa dengan lingkungan dan kenyataan;

3) Memungkinkan siswa belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

(18)

d. Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk semua siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit lagi bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pembelajaran, yaitu kemampuannya dalam: (1) Memberikan perangsang yang sama; (2) Mempersamakan pengalaman; dan (3) Menimbulkan persepsi yang sama.

Media sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. Dalam memilih media pembelajaran, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada.

2.4.3 Jenis Media Pembelajaran

Media pembelajaran pada umumnya dapat sikelompokkan menjadi 3, yaitu (Ridha Sarwono dan Stefanus, 2009: 31-47):

a. Media visual yaitu media yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan indera penglihatan. Media visual dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Non-projected visuals (media yang tidak dapat diproyeksikan). Jenis media visual ini dalam kegiatan belajar mencakup gambar/foto, grafis (graphic) dan media tiga dimensi.

2) Projected visual (media yang dapat diperoyeksikan). Projected visual pada dasarnya adalah media yang menggunakan alat proyeksi sehingga gambar ataupun tulisan nampak pada layar (screen). Media proyeksi bisa berbentuk proyeksi diam (still picture) dan proyeksi bergerak (motion picture). Jenis alat proyeksi yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran antara lain: Overhead Projector (OHP), Opaque Projector dan Slide Projector.

b. Media audio adalah media yang dalam penyampaian pesan melalui auditif (pendengaran saja) yang dapat merangsang perasaan, pikiran, kemampuan dan

(19)

perhatian untuk mempelajari. Jenis media audio terdiri atas program kaset suara (audio cassette), CD audio, Lab. Bahasa dan Program Radio.

c. Media audio visual yaitu kombinasi dari media yang sudah ada, yaitu media audio dan visual. Media audio visual merupakan media yang dapat dilihat sekaligus didengar seperti video pendidikan, televisi pendidikan, video intruksional, televisi intruksional, slide suara, serta CD interaktif. Dalam penemuan baru contoh media audio visual yang dibuat dengan menggunakan komputer adalah media ulead video editor.

2.4.4 Kriteria Pemilihan Media

Menurut Ariani dan Haryanto (2010: 146), media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. media pembelajaran harus meningkatkan motivasi pembelajar. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga harus merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong siswa untuk melakukan praktik-praktik dengan benar.

Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard (1993) dalam Ariani dan Haryanto (2010: 146) mengusulkan sembilan kriteria. Kriteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersediaan fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.

(20)

2.5 Hasil Belajar

Keberhasilan pengajaran dapat dilihat dari segi hasil. Anggapan dasar ialah proses pengajaran yang optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal pula. Ada korelasi antara proses pengajaran dengan hasil yang dicapai. Makin besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi pula hasil atau produk dari pengajaran itu.

Menurut Purwanto (2013: 38), hasil belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya.

Sedangkan menurut Sudjana (2011: 22), hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Setiap guru pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang dibimbingnya. Karena itu, guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang dapat terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 3), hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Hasil belajar, untuk sebagian adalah berkat tindak guru, suatu pencapaian tujuan pengajaran. Pada bagian lain, merupakan peningkatan kemampuan mental siswa.

Bloom (Sudjana, 2005: 22-23) mendefinisikan hasil belajar sebagai hasil perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evalusi. Pengetahuan, pemahaman dan aplikasi, digolongkan sebagai tingkat kognitif rendah. Analisis, sintesis dan evaluasi disebut sebagai tingkat kognitif tinggi. Ranah afektif meliputi penerimaan, perhatian, penanggapan, penyesuaian, penghargaan dan penyatuan. Ranah psikomotor meliputi peniruan, penggunaan, ketelitian, koordinasi dan naturalisasi.

(21)

Maka dapat ditegaskan bahwa salah satu fungsi belajar siswa diantaranya ialah siswa dapat mencapai prestasi yang maksimal sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki, serta siswa dapat mengatasi berbagai macam kesulitan belajar yang mereka alami. Aktifitas siswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya aktifitas siswa maka proses belajar mengajar tidak akan belajar dengan baik, akibatnya hasil belajar yang dicapai siswa rendah. Untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa digunakan alat penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Hasil belajar yang berupa aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotik menggunakan alat penilaian yang berbeda-beda. Untuk aspek kognitif digunakan alat penilaian berupa tes, sedangkan untuk aspek afektif digunakan alat penilaian yaitu skala sikap (ceklist) untuk mengetahui sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran dan aspek psikomotorik digunakan lembar observasi.

Berdasarkan uraian tentang hasil belajar dapat disimpulkan hasil belajar merupakan hasil akhir proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan menggunakan suatu alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran dan aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak siswa dalam mengikuti pmbelajaran.

2.6 Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Nofiyanto (2013) dengan judul “Pengaruh Penggunaan Metode Pembelajaran Make a Match Terhadap Hasil Belajar IPA pada Siswa Kelas 5 SD Di Kecamatan Pagetan Kabupaten Banjarnegara Semester 2 Tahun Ajara 2012/2013”, menyimpulkan bahwa ada pengaruh penggunaan metode pembelajaran Make a Match dalam pembelajaran IPA pada siswa kelas 5 SD Di Kecamatan Pagetan Kabupaten Banjarnegara Semester 2 Tahun Ajaran 2012/2013.

(22)

Terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa kelas 5 SD Negeri 2 Babadan dan SD Negeri 1 Babadan. Setelah diberikan perlakuan (treatment) dengan menggunakan metode pembelajaran Make a Match dan metode konvensional ditemukan bahwa nilai t hitung 8,041 dengan signifikansi (0,000<0,05). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak Ha diterima. Dengan demikian terdapat

perbedaan pengaruh penggunaan metode pembelajaran Make a Match dengan metode konvensional terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 SD Negeri 2 Babadan dan SD Negeri 1 Babadan.

Ika Hidayati (2013) yang berjudul “Perbedaan Pengaruh Antara Penggunaan Make a Match Berbantuan Gambar Terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas 5 Gugus Wisanggeni Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Semester 2 Tahun Pelajaran 2012/2013”, menyimpulkan bahwa ada perbedaan pengaruh penggunaan Make a Match berbantuan gambar dengan pembelajaran konvensional berbantuan gambar terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 Gugus Wisanggeni Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Semester 2 Tahun Pelajaran 2012/2013. Berdasarka tabel hasil analisis uji t Independent Samples Test diketahui bahwa nilai thitung adalah

2,478 pada t-test for Equality of Means dari jumlah siswa 2 kelompok yaitu 67 maka t-tabel adalah 1,980. Mean dari kelompok eksperimen adalah 80,81 dengan standar deviasi 11,69. Sig.2-tailed sebesar 0,016. Untuk kelompok kontrol means adalah 72,92 dengan standar deviasi 14,01. Dengan taraf signifikansi sebesar 5% (0,05), apabila taraf signifikansi <0,05 maka H0 ditolak dan apabila taraf signifikansi >0,05

maka Ha diterima. Karena terbukti sig.2-tailed sebesar 0,016 > 0,05 maka H0 dan Ha

diterima. Jika mean kelompok eksperimen lebih tinggi maka perlakuan memberikan pengaruh terhadap hasil belajar dibanding dengan kelompok kontrol. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara penggunaan Make a Match berbantuan gambar dengan pembelajaran konvensional berbantuan gambar terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 Gugus Wisanggeeni Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang 2 Tahun Ajaran 2012/2013.

(23)

Dari beberapa hasil penelitian yang sudah dijelaskan, menunjukkan bahwa pemberian perlakuan (treatment) pembelajaran yang efektif dan penggunaan model pembelajaran yang sesuai dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar. Pada penelitian ini peneliti menekankan pada pembelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Make a Match berbantuan media.

2.7 Kerangka Berpikir

Pada umumnya pembelajaran IPA di Sekolah Dasar masih menggunakan model pembelajaran yang konvensional, dimana kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru. Peran guru masih sebagai sumber belajar yang ada didalam kelas, sehingga siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Bahkan peran siswa didalam kelas cenderung pasif, serta siswa kurang berminat mempelajari materi yang disajikan oleh guru. Terbukti dalam pembelajaran konvensional, hasil belajar IPA siswa kelas V tidak merata dan masih banyak siswa yang memperoleh nilai dibawah KKM.

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam hasil belajar adalah faktor model dan media pembelajaran yang digunakan yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Pemilihan model dan media pembelajaran sangat penting dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match berbantuan media terjadi kesepakatan antara siswa tentang aturan-aturan dalam berkolaborasi. Masalah yang dipecahkan bersama akan disimpulkan bersama. Peran guru hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar antara kelas eksperimen yang diberikan perlakuan (treatment) dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran biasa (konvensional). Jika hasil belajar IPA siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol, maka model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match memberikan pengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V. Untuk

(24)

mengetahui langkah pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka dapat digambarkan bagan kerangka berpikir sebagai berikut:

(25)

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir Kelas Kontrol Pretest Pembelajaran

Konvensional Kelas Eksperimen Hasil Pretest tidak ada perbedaan yang signifikan Pretest

Pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Make a Match Berbantuan Media

1. Pembagian kartu berupa pertanyaan dan jawaban

2. Pembagian kelompok

3. Siswa mendiskusikan kartu yang sudah didapat bersama kelompoknya

4. Siswa mencari pasangan kartu berdasarkan kartu yang didapat 5. Siswa presentasi dan menempel

kartu 6. Pembahasan 7. Kesimpulan Posttest Posttest Hasil Belajar IPA

(26)

2.8 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2010: 84). Peneliti mengemukakan hipotesis penelitian yaitu terdapat perbedaan pada hasil belajar IPA yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match sebagai berikut:

H0 = tidak ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran

kooperatif tipe Make a Match berbantuan media dengan pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V semester II SD Negeri Munding Kabupaten Semarang tahun pelajaran 2014/2015.

Ha = ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe

Make a Match berbantuan media dengan pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V semester II SD Negeri Munding Kabupaten Semarang tahun pelajaran 2014/2015.

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam rangka meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan merupakan

Allah telah meniadakan (Menghapuskan )aspek dari hukum taurat yang telah membuat bangsa Israel menjadi bangsa yang terpisah/istimewah. Di dalam Yesus Kristus, kamu yang dahulu

Pembelajaran berbasis kecerdasan emosional dan spiritual akan membuat peserta didik berinteraksi satu dengan lainnya untuk mendapatkan solusi terbaik terhadap permasalahan yang

No Nama Penyedia Hasil Evaluasi Administrasi 1 KAP.. Kumalahadi,Kuncara,Sugen g Pamudji

yang berupa karyawan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja saat ini.. 432 dan thinking another job yaitu tindakan karyawan untuk mulai memikirkan

Pengaruh kepercayaan Terhadap Niat Beli Kosmetik Maybelline Disurabaya variabel kepercayaan menjadi variabel kedua, berdasarkan uji t yang telah di lakukan oleh

Penyimpangan yang dilakukan oleh para mahasiswa dengan keikutsertaan mereka dalam permainan judi online, dapat terjadi karena terdapat sesuatu yang membuat mereka tertarik

Pada penelitian ini, ukuran karbon aktif yang semakin kecil mengakibatkan penyaringan karbon aktif dari sampel harus dilakukan berulang-ulang dan terjadi kesulitan