Norma Hukum dalam Skema
Pengujian Undang-Undang
Tanto Lailam
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 55183.
E-mail: tanto_tatanegara@yahoo.com
Naskah diterima: 30/01/2014 revisi: 30/02/2014 disetujui: 30/03/2014
Abstrak
Kajian ini mengelaborasi konstruksi pertentangan norma hukum dalam skema pengujian Undang-Undang. Hasil analisis, meliputi: Pancasila dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai “pertentangan norma”; Mahkamah Konstitusi menguji seluruh Undang-Undang yang lahir sebelum dan sesudah amandemen dengan tolok ukur UUD 1945 yang sedang berlaku; Undang-Undang Dasar 1945 harus
dimaknai sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution) guna menegakan
hukum dan keadilan; Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD baik secara vertikal maupun horizontal; aspek keberlakuan sebuah Undang-Undang merupakan bagian dari pengujian materiil, bukan pengujian formil; makna “bertentangan dengan UUD 1945” harus dielaborasi secara komprehensif dalam putusan dengan mengutamakan tegaknya hukum dan keadilan; Mahkamah Konstitusi tidak boleh mengutamakan penafsiran original intent dan mengenyampingkan model penafsiran lain jika hal tersebut justru menyebabkan tidak berjalannya konstitusi; ketentuan non konstitusi dapat dibenarkan dalam pengujian formil, namun dalam pengujian materiil tidaklah tepat; pengeyampingan asas hukum acara “nemo judex idoneus in propria causa” dapat dibenarkan demi tegaknya konstitusi dan mengutamakan asas curia novit, pertentangan norma secara fomil dapat disimpangi oleh asas kemanfaatan demi substansi Undang-Undang; putusan berlaku surut menyebabkan ketidakkepastian hukum yang adil.
Abstract
Š‡ •–—†› ‡Žƒ„‘”ƒ–‡† ‘• –Š‡ …‘••–”—…–‹‘• ‘ˆ ò…‘•ÔŽ‹…– ‘ˆ Ž‡‰ƒŽ •‘”••ó ‹• …‘••–‹–—–‹‘•ƒŽ ”‡˜‹‡™ •…Š‡•‡ä Š‡”‡ ƒ”‡ ‡Ž‡˜‡• ’”‘„Ž‡•• ƒ• ”‡•—Ž– ‘ˆ –Š‹• •–—†›á™Š‹…Š ‹•…Ž—†‡ã Š‡ ‹†‡‘Ž‘‰› ‘ˆ –Š‡ •–ƒ–‡ò ƒ•…ƒ•‹Žƒóƒ• ƒ •–ƒ•†ƒ”† ”‡˜‹‡™ ‘ˆò…‘•ÔŽ‹…– ‘ˆ Ž‡‰ƒŽ •‘”••óƒ…– ƒ‰ƒ‹••–w•z{…‘••–‹–—–‹‘•â ‘••–‹–—–‹‘•ƒŽ …‘—”– Šƒ• ƒ ”‡˜‹‡™ ‘ˆ ƒ…–
passed
before and after 1945 Constitution amendment with standard
‘ˆ w•z{ …‘••–‹–—–‹‘•âw•z{ …‘••–‹–—–‹‘• ‹• ò–Š‡ Ž‹˜‹•‰ …‘••–‹–—–‹‘•ó ˆ‘” –Š‡ ‡•ˆ‘”…‹•‰ ‘ˆ Žƒ™ ƒ•† Œ—•–‹…‡â ‘••–‹–—–‹‘•ƒŽ …‘—”– Šƒ• ƒ—–Š‘”‹–› –‘ ”‡˜‹‡™ ‘ˆ ƒ…– ƒ‰ƒ‹••– w•z{ …‘••–‹–—–‹‘• „› ˜‡”–‹…ƒŽ ƒ•† Š‘”‹œ‘•–ƒŽ ’‡”•’‡…–‹˜‡â‡•ˆ‘”…‡ƒ„‹Ž‹–› ƒ•’‡…– ‘ˆconstitutional review is a ’ƒ”– ‘ˆ •ƒ–‡”‹ƒŽ ”‡˜‹‡™á•‘– ˆ‘”•ƒŽ ”‡˜‹‡™â–Š‡ •‡ƒ•‹•‰ ‘ˆò…‘•ÔŽ‹…– ‘ˆ Ž‡‰ƒŽ •‘”••ó •—•– „‡ …‘•’”‡Š‡•† ‡Žƒ„‘”ƒ–‡† ‹• –Š‡ †‡…‹•‹‘•• –‘ ‡•ˆ‘”…‹•‰ ‘ˆ Žƒ™ ƒ•† Œ—•–‹…‡â ‘••–‹–—–‹‘•ƒŽ ‘—”– †‘‡• •‘– —•‡† ’”‹‘”‹–› ‘ˆ –Š‡ ‘”‹‰‹•ƒŽ ‹•–‡•– ‹•–‡”’”‡–ƒ–‹‘• ƒ•† ”‡•ƒ‹•‡† —•ˆ—ŽÔ‹ŽŽ‡† ‘ˆ ‘–Š‡” •‘†‡Ž ‹•–‡”’”‡–ƒ–‹‘• ‹ˆ ‘”‹‰‹•ƒŽ ‹•–‡•– ‹•–‡”’”‡–ƒ–‹‘• …ƒ—•‡† ‹•‡ˆˆ‡…–‹˜‡•‡•• ‘ˆ …‘••–‹–—–‹‘•â•‘• …‘••–‹–—–‹‘• „‡ ’‡”•‹––‡† ˆ‘” –Š‡ ˆ‘”•ƒŽ ”‡˜‹‡™á „—– ‹• •ƒ–‡”‹ƒŽ ”‡˜‹‡™ ‹• •‘– ‹•’Ž‡•‡•–â ò•‡•‘ Œ—†‡š ‹†‘•‡—• ‹• ’”‘’”‹ƒ …ƒ—•ƒó ‘ˆ ’”‘…‡†—”ƒŽ Žƒ™ ’”‹•…‹’Ž‡ …ƒ• ”‡•ƒ‹•‡† —•ˆ—ŽÔ‹ŽŽ‡† „› ò‹—• …—”‹ƒ •‘˜‹–ó ’”‹•…‹’Ž‡ –‘ ’”‘•‘–‡ ‘ˆ –Š‡w•z{…‘••–‹–—–‹‘•â–Š‡ ˆ‘”•ƒŽ ”‡˜‹‡™ ‘ˆò…‘•ÔŽ‹…– ‘ˆ Ž‡‰ƒŽ •‘”••ó…ƒ• ”‡•ƒ‹•‡† —•ˆ—ŽÔ‹ŽŽ‡† „› —–‹Ž‹–› ’”‹•…‹’Ž‡ –‘ ’”‹‘”‹–› ‘ˆ Ž‡‰ƒŽ •—„•–ƒ•…‡â –Š‡ ”‡–”‘ƒ…–‹˜‡ †‡…‹•‹‘• …ƒ—•‡† Ž‡‰ƒŽ —•…‡”–ƒ‹•Ž›ä
Key wordsã…‘•ÔŽ‹…– ‘ˆ Ž‡‰ƒŽ •‘”••áconstitutional review
PENDAHULUAN
Sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida, norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis,
sekaligus berkelompok-kelompok.1 Dalam arti bahwa norma hukum tersebut
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara Indonesia, yaitu: Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan
sumber bagi semua norma hukum di bawahnya).2
Bangunan piramida hukum ini untuk menentukan derajat norma masing-masing susunan norma hukum yang lebih tinggi dan norma yang lebih rendah. Konsekuensi bangunan piramida hukum adalah jika terdapat norma hukum/ peraturan yang saling bertentangan (pertentangan norma), maka yang dinyatakan
1 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998, h. 25-26 2 Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem
berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Dalam konteks ini berlaku asas
hukum Ž‡š •—’‡”‹‘”‹ †‡”‘‰ƒ– Ž‡‰‹ ‹•ˆ‡”‹‘”‹ (hukum yang derajatnya lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).3 Selain itu, konsekuensi
bangunan piramida hukum tersebut adalah adanya harmonisasi antar berbagai lapisan hukum (misalnya setingkat Undang-Undang), dalam arti bahwa antar norma hukum dalam lapisan/ jenjang yang sama tidak boleh saling bertentangan.
Untuk menilai pertentangan norma hukum setiap negara memiliki skema yang berbeda. Setelah amandemen UUD 1945, di Indonesia kewenangan pengujian norma dipusatkan pada kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang) dan Mahkamah Konstitusi (menguji Undang-Undang terhadap UUD). Pengujian norma hukum/Undang-Undang terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas Undang-Undang (constitutionality of law), yang mana konsekuensinya harus ada mekanisme yang dapat menjamin bahwa Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pemberian kewenangan pengujian Undang-Undang pada Mahkamah Konstitusi tidak diatur secara detail dan jelas dalam konstitusi maupun dalam
Undang-Undang organik, sehingga untuk melihat desain pengujian Undang-Undang-Undang-Undangkhas
Indonesia harus melakukan elaborasi komprehensif terhadap peraturan terkait berikut putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini yang membuat skema pengujian Undang-Undang baik ranah teoritis maupun praktik masih menyisakan berbagai problem: lemahnya bangunan nilai-nilai Pancasila/Pembukaan sebagai tolok ukur, tidak tepatnya penggunaan dualisme konstitusi sebagai tolok ukur, lemahnya penggunaan tolok ukur “UUD 1945” sebagai konstitusi yang hidup, ketentuan yang tidak jelas mengenai pemahaman pengujian norma hukum vertikal dan horizontal oleh Mahkamah Konstitusi dan batasan pengujian formil dan materiil serta implikasinya, rumitnya menyusun makna “bertentangan dengan UUD”, ragamnya menyusun makna pertentangan norma hukum melalui penafsiran hukum, tidak adanya batasan penggunaan ketentuan non konstitusi, pertentangan antar asas-asas hukum acara dalam praktik, ketidakjelasan batasan pengenyampingan pertentangan norma hukum dan pemberlakuan surut demi nilai hukum. Dalam arti terkadang Mahkamah Konstitusi membuat putusan progresif terkait permasalahan tersebut, dan terkadang Mahkamah Konstitusi terjebak pada
pemahaman yang kurang tepat dalam memahami pertentangan norma hukum yang menyebabkan lemahnya bangunan sistem hukum.
PEMBAHASAN
1. Pancasila dan/ atau Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 24C UUD 1945 dan UU Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara jelas dan rinci apakah pengujian Undang-Undang dilakukan berdasarkan norma Pembukaan atau Pasal-pasal UUD, sebab dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal. Dalam pandangan Maria Farida bahwa UUD 1945 terdiri atas dua kelompok norma, pembukaan dan batang tubuh (pasal-pasal). Pembukaan UUD 1945
dimaknai sebagai •–ƒƒ–•ˆ—•†ƒ•‡•–ƒŽ•‘”• atau norma fundamental negara,
sedangkan batang tubuh (pasal-pasal) dimaknai sebagai staatsgrundgezts
atau aturan dasar negara.4 Pembukaan UUD 1945 sebagai norma dasar
kedudukannya lebih utama di bandingkan Pasal-pasal UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain
adalah Pancasila,5 atau jiwa Pancasila,6 yang merupakan ‰‡•‡”ƒŽ ƒ……‡’–ƒ•…‡
‘ˆ –Š‡ •ƒ•‡ ’Š‹Ž‘•‘’Š› ‘ˆ ‰‘˜‡”••‡•–ä7 Meminjam bahasa Notonagoro bahwa Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan penting dalam tertib hukum
Indonesia, yaitu: ’‡”–ƒ•ƒ, menjadi dasarnya, karena pembukaan yang
memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia; dan
kedua, memasukkan diri di dalamnya sebagai ketentuan hukum yang tertinggi sesuai dengan kedudukannya asli sebagai asas bagi hukum dasar lainnya,
baik yang tertulis (UUD 1945) maupun yang convention, dan peraturan di
bawahnya.8
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 adalah satu kesatuan norma konstitusi, walaupun pembukaan memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi dibanding pasal-pasal, namun tidak dapat dikatakan bahwa pembukaan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
pasal-pasal, keduanya adalah norma-norma konstitusi yang •—’”‡•‡ dalam
4 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., h. 48 5 Ibid., h. 40
6 Dahlan Thaib, Ni’matul Huda, dan Jazim Hamidi, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, 2005, h. 84
7 0DKIXG 0' ³&HUDPDK .XQFL .HWXD 0. 3DGD .RQJUHV 3DQFDVLOD 3DGD 7DQJJDO 0HL ´ GDODP $JXV :DK\XGL 5R¿TXO 8PDP $KPDG
Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan MK, 2009, h. 14
tata hukum nasional (national legal order).9 Batu uji dalam pengujian Undang-Undang adalah UUD 1945, baik Pembukaan maupun Pasal-pasal, apakah suatu ketentuan Undang-Undang melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 tidak hanya pasal-pasal, melainkan juga cita-cita dan
prinsip dasar yang terdapat Pembukaan UUD 1945.10
Dalam pengujian Undang-Undang terdapat persoalan yang muncul, bagaimana desain penilaian pertentangan norma yang diinginkan Pancasila dan/atau UUD 1945 dan apakah Pancasila/Pembukaan UUD 1945 bisa menjadi tolok ukur dalam pengujian Undang-Undang ataukah cukup dengan pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945 yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai Pancasila, ataukah elaborasi keduanya sebagai kesatuan sistem. Mengingat sampai saat ini sangat jarang ada pihak yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang dengan menggunakan tolok ukur Pembukaan UUD 1945 (Pancasila). Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”, hal ini memiliki konsekuensi bahwa seluruh peraturan perundang-undangan dalam bangunan piramida hukum harus sesuai dan tidak boleh bertentangan terhadap Pancasila. Untuk menilai pertentangan norma hukum terhadap Pancasila dapat dilakukan melalui penafsiran hukum dalam pengujian Undang-Undang, artinya bahwa pengujian Undang-Undang merupakan suatu mekanisme untuk menjamin suatu peraturan perundang-undnagan sesuai atau tidak bertentangan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam praktik justru terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengunakan tolok ukur Pembukaan UUD 1945 (Pancasila), seperti: Putusan No.140/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pengujian Undang-Undang ini menggunakan tolok ukur Sila 1 Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Sila 1 tersebut menurunkan Undang-Undang yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip
9 -LPO\ $VVKLGGLTLH GDODP ³,PSOLNDVL 3HUXEDKDQ 8QGDQJ XQGDQJ 'DVDU 7HUKDGDS 3HPEDQJXQDQ +XNXP 1DVLRQDO´ 5R¿TXO 8PDP $KPDG 0 $OL 6DID¶DW 5D¿XGLQ 0XQLV 7DPDU HG Konstitusi dan Kenegaraan Indonesia Kontemporer: Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Para Pakar Hukum, Bekasi, The Biography Institute, 2007, h. 11
utama serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (•‡’ƒ”ƒ–‹‘• ‘ˆ •–ƒ–‡ ƒ•† ”‡Ž‹‰‹‘•), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme.
Sementara itu, Putusan No. 5/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan tolok ukur pasal-pasal UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan hal di atas, Mahkamah Konstitusi dapat menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur dalam menilai pertentangan norma hukum baik melalui
’‡•ƒŠƒ•ƒ•Ð‹Ž‘•‘Ћ …‹–ƒ Š—•—• „‡”•‡‰ƒ”ƒá ’‡•ƒˆ•‹”ƒ• Š—•—• ›ƒ•‰ •‡”—Œ—•
pada spirit moralitas konstitusi, dan tolok ukur ini dapat diterapkan secara langsung. Selain itu, bahwa desain pertentangan norma tidak semata pada kerangka yuridis (bertentangan dengan norma hukum di atasnya/UUD
s{vwá –‡–ƒ’‹ Œ—‰ƒÐ‹Ž‘•‘Ћ• „‡”–‡•–ƒ•‰ƒ• †‡•‰ƒ• …‹–ƒ Š—•—• ƒ•…ƒ•‹Žƒ †ƒ•
sosiologis (bertentangan dengan tujuan hukum dalam masyarakat dalam konteks keadilan sosial dan kemanfaatan hukumnya). Artinya dalam konteks
ini bahwa Pancasila merupakan batu uji dalam constitutional review karena
Pancasila adalah sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945,11 hal
ini tentunya berlandaskan pemikiran bahwa Pancasila sebagai dasar, ideologi
†ƒ•Ð‹Ž•ƒˆƒ– „ƒ•‰•ƒ †ƒ• •‡‰ƒ”ƒá•‡”–ƒ •‡”—’ƒ•ƒ• •—•„‡” †ƒ”‹ •‡‰ƒŽƒ •—•„‡”
hukum negara, sehingga setiap materi peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.12
2. Dualisme Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang
Pembatalan Pasal 50 UU Mahkamah Konstitusi merupakan pintu masuk pengujian Undang sebelum amandemen UUD 1945. Artinya Undang-Undang yang lahir dengan landasan UUD 1945 sebelum amandemen, KRIS 1949, UUDS 1950 secara otomatis dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab berdasar ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 memberikan ketentuan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan di bawah UUD akan tetap berlaku sebelum diganti yang baru.
11 Moh.Mahfud MD, “Pancasila sebagai Tonggak Konvergensi Pluralitas Bangsa”, dalam Surono dan Mifthakhul Huda (ed), Prosiding Sarasehan Nasional 2011: Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstituisionalitas Indonesia, Yogyakarta, MK dan Universitas Gadjah Mada, 2011, h.27
12 Tanto Lailam, dalam “Desain Tolok Ukur Pancasila dalam Pengujian Undang-undang untuk Mewujudkan Keadilan Substantif, Jurnal Konstitusi P3KP Fakultas Hukum Universitas Jambi Volume II No.1 h. 65-66
Pembatalan Pasal 50 UU Mahkamah Konstitusi dikaitkan dengan Pasal 24C UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
’‡”–ƒ•ƒ †ƒ• –‡”ƒ•Š‹” ›ƒ•‰ ’—–—•ƒ••›ƒ „‡”•‹ˆƒ–Ћ•ƒŽ —•–—• •‡•‰—Œ‹ •†ƒ•‰æ
Undang terhadap UUD. Frasa terakhir “menguji Undang-Undang terhadap UUD” memunculkan pertanyaan, apakah (1) Undang-Undang diuji terhadap UUD yang melandasi pembentukannya (misalnya Undang-Undang yang lahir pada masa berlakunya UUDS 1950 diuji terhadap UUDS 1950 tersebut) atau (2) seluruh Undang-Undang yang lahir sebelum atau setelah amandemen UUD 1945 diuji terhadap terhadap konstitusi positif (UUD 1945 hasil amandemen), atau (3) Undang-Undang tersebut diuji terhadap konstitusi yang melandasi dan sekaligus konstitusi yang sedang berlaku.
Terdapat konsekuensi terkait hal di atas, yaitu: jika Undang-Undang sebelum amandemen diuji berdasarkan konstitusi yang melandasi tentu menyebabkan permasalahan hukum. Yang menjadi pertanyaan, apakah tepat Undang-Undang yang masih berlaku diuji terhadap UUD yang sudah tidak berlaku? Perubahan UUD 1945 berarti terdapat suatu tertib hukum
baru (new legal order) yang mengakibatkan tertib hukum yang lama (old
legal order) kehilangan daya lakunya, misalnya saat ini ketentuan pasal-pasal dalam UUDS 1950 sudah tidak memiliki daya laku. Sehingga segala produk hukum yang lahir sebelum amandemen harus diuji terhadap UUD 1945 hasil amandemen. Konteks pertentangan norma hukum yang ideal dan perlu dipahami oleh Mahkamah Konstitusi adalah pertentangan norma hukum baik sebelum maupun sesudah amandemen UUD 1945 terhadap UUD 1945 yang sedang berlaku, hal ini yang kemudian menimbulkan konsekuensi pembatalan sebuah Undang-Undang atau pasal/ayat tertentu. Akan keliru jika Mahkamah Konstitusi membatalkan atau tidak membatalkan Undang-Undang sebelum amandemen dengan dalih bertentangan/tidak dengan konstitusi yang melandasinya, sementara norma-norma dalam konstitusi tersebut sudah tidak memiliki daya laku dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, akan tidak tepat jika Mahkamah Konstitusi menguji terlebih dahulu terhadap konstitusi yang melandasinya dan kemudian menguji terhadap konstitusi yang sedang berlaku.
Namun, fakta dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdapat Undang-Undang yang diuji terlebih dahulu terhadap konstitusi yang menjadi landasannya sebelum menguji terhadap konstitusi yang sedang berlaku
(UUD 1945), misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.8/PUU-VII/2010 tentang pengujian Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Undang-Undang Dasar Sementara, dalam argumentasi Mahkamah Konstitusi dikatakan bahwa Undang-Undang
a quo tidak bertentangan dengan UUD yang melandasinya, dengan demikian pembentukan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 adalah konstitusional karena sesuai dengan ketentuan-ketentuan UUDS 1950 yang berlaku ketika itu. Jika merujuk pada pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Undang-Undang
a quo tidak bertentangan dengan UUDS 1950, sehingga tetap dapat dinyatakan berlaku. Bangunan argumentasi ini kurang tepat, argumentasi hanya menguraikan bahwa Undang-Undang telah dibentuk oleh Presiden bersama DPR (asas kelembagaan yang tepat), padahal dalam pengujian formil yang dinilai adalah fakta proses pembentukan Undang-Undang “apakah prosesnya sesuai dengan UUD”, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi tidak menguraikan fakta yang mana yang konstitusional dan mana yang tidak konstitusional.
Pelaksanaan pengujian formil ini sangat sulit jika objek yang diuji Undang-Undang yang dibentuk sebelum amandemen UUD 1945, rekam fakta pembentukan Undang-Undang tidaklah komprehensif, sehingga sulit juga untuk menilai atau menemukan pertentangan norma hukum secara formil. Kesulitan menemukan rekam fakta pembentukan Undang-Undang yang
menjadi latar belakang penilaian Undang-Undang a quo bersifat konstitusional.
Namun, argumentasi lain dalam putusan yang sama bahwa Undang-Undang
a quo bersifat inkonstitusional secara materiil, bahwa Undang-Undang a quo
tidak dapat diteruskan keberlakuannya karena terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang dianut dari kedua konstitusi yang mendasarinya, sehingga
materi muatan Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan kasus tersebut, idealnya Mahkamah Konstitusi menguji seluruh Undang-Undang terhadap UUD 1945 amandemen, sebab suatu norma yang lebih rendah dengan sendirinya akan tercerabut atau tidak berlaku lagi, apabila norma hukum yang ada diatasnya yang menjadi dasar dan menjadi
sumber berlakunya tersebut dicabut atau dihapus.13 Artinya dalam hal ini
perlu dilakukan pengujian Undang-Undang, jika materi Undang-Undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945 ternyata tidak bertentangan dengan
13 7DX¿TXURKPDQ 6\DKXUL GDODP ³Hubungan Norma Hukum Konstitusi dan Norma Hukum di Bawahnya”, 5R¿TXO 8PDP $KPDG 0 $OL 6DID¶DW 5D¿XGLQ 0XQLV 7DPDU HG Op.Cit., h. 145
UUD 1945 amandemen tidak akan menimbulkan masalah, dan Undang-Undang tersebut dapat dinyatakan tetap berlaku. Namun jika Undang-Undang-Undang-Undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945 bertentangan dengan UUD 1945 tentu menjadi persoalan baru, mana yang harus diikuti, tentu UUD 1945 amandemen yang harus diikuti daripada peraturan yang statusnya lebih rendah. Konsekuensinya semua peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 amandemen, baik yang dibuat sebelum maupun sesudah amandemen UUD 1945. Dalam konteks teori daya laku konstitusi, maka semua peraturan perundang-undangan yang masih
berlaku legitimasinya adalah konstitusi yang telah berubah tersebut.14
3. Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi yang Hidup
Pasal 24C UUD 1945 mengatur mengenai kewenangan pengujian Undang Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini tidak dijelaskan apakah UUD 1945 yang dimaksud adalah teks belaka atau sebagai konstitusi yang hidup dalam masyarakat sehingga mampu menyesuaikan dengan perkembangan peradaban. Berkaitan dengan makna UUD tersebut, menurut Saldi Isra bahwa konstitusi adalah teks, benda mati yang berisi
”ƒ•‰•ƒ‹ƒ• •ƒŽ‹•ƒ–ä ‡••‹’—• †‡•‹•‹ƒ•á †ƒŽƒ• •‘•–‡•• ЋŽ‘•‘Ћ •‘••–‹–—•‹
merupakan teks yang “hidup”, karena itu fungsinya harus berisi pasal-pasal yang mampu melewati berbagai zaman, namun sayang sering kali pasal konstitusi gagal “hidup” dan mampu berlari mengikuti perkembangan
peradaban manusia.15
Jimly Asshiddiqie menguraikan bahwa salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya mendekatkan UUD 1945 sebagai konstitusi kepada masyarakat
umum serta menumbuhkan the living constitution adalah karena pembahasan
masalah konstitusi dan materi muatan yang terkandung di dalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan teori, dan rujukan praktik yang berasal
dari luar negeri.16 Permasalahan pemahaman konstitusi tersebut jangan sampai
menyebabkan tidak berjalannya konstitusi sebagai pedoman hidup bersama, tentu pilihan yang tepat bagi Mahkamah Konstitusi adalah menggunakan
pemahaman the living constitution sebagai jalan menegakan konstitusi. Hal ini
14 -LPO\ $VVKLGGLTLH GDODP ³3DVDO 88 0. GDQ 3HODNVDQDDQ 3XWXVDQ 0.´ 5R¿TXO 8PDP $KPDG 0 $OL 6DID¶DW 5D¿XGLQ 0XQLV 7DPDU HG Op.Cit., h. 11
15 Saldi Isra, 2011, dalam “Kata Pengantar”, Feri Amsari, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, h. xv
dipertegas oleh pernyataan Mahfud MD sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dalam Pidato Penutupan Rapat Kerja Mahkamah Konstitusi-RI pada tanggal 22-24 Januari 2010, bahwa Mahkamah Konstitusi menganut hukum progresif, sebuah konsep hukum yang tidak terkukung pada konsep teks Undang-Undang semata, tetapi juga memperhatikan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, Mahkamah Konstitusi tidak sekedar peradilan yang hanya menjadi corong
sebuah Undang-Undang (bouche de la loi).17
Merujuk pada pandangan Satjipto Rahardjo bahwa hukum bukan apa yang
ditulis atau dikatakan dalam teks, hukum tidak hanya peraturan (rule) tetapi
juga perilaku (behavior), hukum sebagai teks akan diam dan hanya melalui
perantaraan manusia ia menjadi hidup,18 teks hanya sekedar œ‘•„‹‹ (mayat
hidup) yang menakutkan, merusak, dan mengganggu kenyamanan hidup dan
kehidupan manusia19 jika tidak dapat diterapkan dan jika bertentangan dengan
perilaku hukum masyarakat. Hukum dilihat tidak hanya yang tertulis, tetapi
juga spirit dan jiwa yang ada di dalamnya,20 selain itu Mahkamah Konstitusi
dalam menguji suatu Undang-Undang wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi maupun Undang-Undang sebagai penjabaran dari
s{vwä ƒ†‹ Œ‹•ƒ ƒ†ƒ •†ƒ•‰æ •†ƒ•‰ ›ƒ•‰ •‡•‹•„—Ž•ƒ• •‘•ÐŽ‹•á ƒ–ƒ—
jika ada Undang-Undang yang tidak bermanfaat, tidak menciptakan kepastian hukum, tidak berkeadilan juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD sebab UUD 1945 merupakan cerminan perilaku masyarakat. Selain itu, jika ada Undang-Undang yang tidak berorientasi pada tata nilai yang berlaku (kosmologi Indonesia) juga harus dibatalkan, sebab dapat saja Undang-Undang
ketinggalan atau tidak sesuai dari kenyataan-kenyataan yang masyarakat (het
recht hink achter de feiten aan).
Jika merujuk pada ketentuan teks UUD 1945, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menguji Perpu, namun karena adanya pemahaman bahwa Perpu substansinya sama dengan Undang-Undang dan tidak boleh ketentuan dalam Perpu tersebut melanggar hak konstitusional sedetik pun, maka Mahkamah
17 Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di MK (Dari %HU¿NLU +XNXP 7HNVWXDO NH +XNXP 3URJUHVLI Padang dan Jakarta, Pusako FH Universitas Andalas dan Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK Republik Indonesia, 2010, h. 2
18 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum Yang Baik, Jakarta, Kompas, 2009, h. 20-21
19 6XGMLWR ELQ $WPRUHGMR GDODP ³1HJDUD +XNXP 'DODP 3HUVSHNWLI 3DQFDVLOD´ $JXV :DK\XGL 5R¿TXO 8PDP $KPDG Saldi Isra, Sindung Tjahyadi,
dan Yudi Latif (ed), Op.cit., h. 199-200
Konstitusi menafsirkan bahwa “lembaga” nya memiliki kewenangan menguji Perpu sebab tidak ada lembaga lain yang dapat menguji Perpu terhadap UUD 1945.
4. Pengujian Norma Vertikal dan/atau Horizontal
UUD 1945 mengandung pembatasan fungsi pengujian norma yang menunjukkan bahwa seolah-olah yang terpenting dan sering menjadi masalah adalah derajat sebuah norma hukum dalam konteks norma vertikal, ketentuannya tertuang jelas dan lembaga yang menyelesaikan pertentangan norma secara vertikal (Mahkamah Konstitusi dan MA). Sementara norma-norma yang sederajat dan berkelompok (horizontal) seolah-olah tidak menimbulkan masalah, padahal secara faktual banyak Undang-Undang yang
•‡†‡”ƒŒƒ– Œ—•–”— •‡•‹•„—Ž•ƒ• •ƒ•ƒŽƒŠ •‘•ÐŽ‹• Š—•—• á „ƒ•›ƒ• •†ƒ•‰æ
Undang yang saling bertentangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum
yang telah dijamin UUD 1945, dan persoalannya terkadang prinsip Ž‡š •’‡…‹ƒŽ‹•–
derogat legi generali tidak mampu memberikan solusi terhadap persoalan ini, apalagi Indonesia belum memiliki desain yang menguji pertentangan norma hukum yang sederajat.
Pasal 24C UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang terhadap UUD, dalam hal ini tidak dijelaskan apakah satu Undang-Undang saja atau diperluas dalam pengertian bahwa dua Undang-Undang atau lebih yang saling bertentangan dapat diujikan melalui Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahfud MD, dalam pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa alasan ketentuan pengawasan yang ada dalam Undang-Undang Komisi Yudisial bersifat rancu dan tak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam Undang-Undang lain. Apa yang ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah kerancuan Undang-Undang Komisi Yudisial dengan Undang-Undang lain, kalau benar ini yang menjadi alasan, maka putusan Mahkamah Konstitusi melampaui batas alias tidak benar. Sebab pembenturan isi satu Undang-Undang dengan Undang-Undang-Undang-Undang lainnya tidak dapat diselesaikan melalui
Œ—†‹…‹ƒŽ ”‡˜‹‡™ä21
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka pemberlakuan Undang-Undang No.45 Tahun 1999
dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, padahal substansi dua Undang-Undang tersebut berbeda, namun
–‡–ƒ’ †‹„ƒ–ƒŽ•ƒ• †‡•‰ƒ• ƒŽƒ•ƒ• •‡„ƒ‰ƒ‹ •‘Ž—•‹ •‘•ÐŽ‹• †‹ •ƒ•›ƒ”ƒ•ƒ– ƒ•‹„ƒ–
berlakunya dua Undang-Undang tersebut. Contoh lain adanya pembatalan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954, pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa:
–ƒ–ƒ …ƒ”ƒ ’‡•„‡•–—•ƒ• †ƒ• •‡•ƒ•‹••‡ •‡”Œƒ ’ƒ•‹–‹ƒ ƒ•‰•‡– ›ƒ•‰ †‹ƒ–—” †ƒŽƒ• •†ƒ•‰æ •†ƒ•‰ ‘ä| ƒŠ—• w•{z –‡ŽƒŠ †‹ƒ–—” Œ—‰ƒ †ƒŽƒ• •†ƒ•‰æ •†ƒ•‰ ‘äx} ƒŠ—• xvv•á •‡Š‹•‰‰ƒ ƒ’ƒ„‹Žƒ •†ƒ•‰æ
•†ƒ•‰ ‘ä| ƒŠ—• w•{z –‡–ƒ’ †‹’‡”–ƒŠƒ••ƒ• ƒ•ƒ• •‡•‹•„—Ž•ƒ• •‡–‹†ƒ•’ƒ•–‹ƒ• Š—•—• ›ƒ•‰ Œ—•–”— „‡”–‡•–ƒ•‰ƒ• †‡•‰ƒ• w•z{ä
Penulis sedikit berbeda dengan pandangan Mahfud MD di atas, berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 dapat ditafsirkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya memiliki kewenangan untuk menguji “satu” Undang-Undang terhadap
UUD 1945, tetapi ketentuan ini merupakan pintu masuk (‡•–”› ’‘‹•–) untuk
menilai pertentangan norma Undang-Undang yang sederajat terhadap UUD 1945, artinya dua atau lebih Undang-Undang yang saling bertentangan secara horizontal dapat diuji dengan alasan bahwa pertentangan norma horizontal tersebut bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945. Misalnya dua Undang-Undang yang saling bertentangan dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1). Pasal 28D UUD 1945 mengandung arti bahwa UUD 1945 menjamin sistem hukum Indonesia yang berkepastian hukum yang adil, sehingga Undang-Undang yang saling bertentangan jelas akan merusak bangunan sistem hukum yang diinginkan oleh UUD 1945, sekalipun konsekuensinya salah satu dari Undang-Undang tersebut di batalkan, sementara Undang-Undang yang lainnya tetap berlaku.
5. Batasan Pengujian Formil dan Materiil
Ketentuan UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara jelas dan rinci dalam menilai dan menentukan pertentangan norma hukum, baik secara materiil maupun pengujian formil. Dalam pandangan M. Fajrul Falaakh bahwa pengaturan yang singkat dalam UUD 1945 terkait tidak diaturnya ketentuan Undang-Undang dapat diuji secara materiil
dan formil merupakan permasalahan dalam Œ—†‹…‹ƒŽ ”‡˜‹‡™.22 Sebagai contoh
adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 mengenai pengujian
Undang-Undang No. 45 Tahun 1999, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam
menyatakan Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 bukan
berdasarkan pada materi (materiil) maupun proses pembentukan (formil), tetapi keberlakuan sebuah Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi memaknai pengujian ini sebagai bagian dari pengujian formil dengan mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/Pmahkamah Konstitusi/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 4 ayat
(3) yang mengatur mengenai pengujian formilá oleh Mahkamah Konstitusi
hanya menguji aspek keberlakuan sebuah Undang-Undang.23 Sementara
itu pengaturan mengnai Pengujian Materiil termuat pada Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005.
Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie bahwa pengujian keberlakuan merupakan bagian dari pengujian formil dengan mendasarkan argumen bahwa pengujian formil termasuk pengujian atas hal-hal yang tidak termasuk
dalam pengujian materiil,24 namun argumen tersebut kuranglah tepat, sebab
dalam pengujian Undang-Undang a quo didasarkan pada pertimbangan materi
atau substansi Undang-Undang a quo yang secara keseluruhan menimbulkan
•‡–‹†ƒ•’ƒ•–‹ƒ• Š—•—• †ƒ• •‡…ƒ”ƒ •‘•‹ƒŽ ’‘Ž‹–‹• †ƒ’ƒ– „‡”ƒ•‹„ƒ– •‘•ÐŽ‹• †ƒŽƒ•
masyarakat, bukankah ini bagian dari pengujian materiil dimana materinya/ substansinya yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan substansinya
Œ‹•ƒ †‹–‡”ƒ’•ƒ• ƒ•ƒ• •‡•‹•„—Ž•ƒ• •ƒ•ƒŽƒŠ †ƒ• •‘•ÐŽ‹• †‹ †ƒŽƒ• •ƒ•›ƒ”ƒ•ƒ–
Papua.
Permasalahan lainnya adalah konsekuensi yang ditimbulkan dalam pengujian formil dan materiil, dalam pengujian formil jika proses pembentukan Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945 maka Undang-Undang tersebut secara keseluruhan dinyatakan tidak berlaku. Sementara dalam pengujian materiil jika materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka yang harus dibatalkan adalah muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang bertentangan.
Hal yang berbeda dihadirkan dalam Putusan No.001-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang
23 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK,
Jakarta, 2010, h. 95
Ketenagalistrikan, bahwa ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68, khususnya
yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal
tersebut merupakan Œƒ•–—•‰ dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 padahal
seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi
atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam
ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran “menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia. Konteks ini adalah pengujian materiil, idealnya yang harus di batalkan adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, namun secara faktual justru keseluruhan Undang-Undang ini dinyatakan batal.
6. Makna Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
Hasil penelitian Saldi Isra dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, mempertanyakan ƒ’ƒ•ƒŠ ›ƒ•‰ †‹•ƒ••—† †‡•‰ƒ•
bertentangan dengan UUD w•z{ë,25 Perolehan hasil penelitian tersebut ditemukan pasal-pasal yang bersifat menjelaskan dan mengelaborasi ketentuan
UUD 1945 justru dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.26 Menurut
Machmud Aziz bahwa pengertian bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi perlu mendapat penjelasan yang tepat.27
Pandangan Saldi Isra di atas ada benarnya, misalnya pengujian Undang-Undang No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dalam halaman 194 Putusan No. 006/PUU-IV/2006 secara ekplisit dinyatakan bahwa Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 sepanjang mengenai pengawasan, Pasal 24 ayat (1) sepanjang yang menyangkut hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) UU Komisi Yudisial serta Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B UUD 1945. Selain itu dalam kasus pengujian Undang-Undang No. 31 Tahun 1999,
Mahkamah Konstitusi telah melanggar dengan membuat vonis —Ž–”ƒ ’‡–‹–ƒ,
dalam arti bahwa Mahkamah Konstitusi telah masuk atau mengintervensi
25 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers,
2010, h.308, lihat juga Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda, Op.cit., h. 100
26 Ibid., h. 101
27 Machmud Aziz, dalam “Aspek-Aspek Konstitusional Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”,Jurnal Konstitusi Volume 3 No.3 September 2006, h. 142
ranah legislatif karena memutus tanpa ada alasan yang kuat bahwa bagian dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang dibatalkan bertentangan dengan
dengan seluruh atau bagian dari UUD.28
Salah satu penyebab putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai kurang tepat di atas adalah sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD, bahwa Mahkamah Konstitusi sering menciptakan perspektif sendiri di luar perspektif teori yang terkonstruksi dalam konstitusi (UUD 1945), dalam kasus pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu belum tentu benar, tetapi sudah pasti mengikat. Kebenaran putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat relatif, tergantung pada pilihan perspektif, dalil, atau pasal-pasal yang dipergunakan untuk memutus, artinya sebuah putusan Mahkamah Konstitusi bisa salah jika yang dipakai untuk memutus adalah perspektif, dalil, dan pasal-pasal lain. Dalam bahasa sehari-hari dapatlah dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu bisa “sesuka-suka Mahkamah Konstitusi” dengan kebenaran yang relatif karena logikanya hanya dibangun dari perspektif tertentu yang hanya bisa logis dari perspektif itu sendiri.29
Untuk itu, makna bertentangan dengan UUD 1945 harus dielaborasi secara tepat dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi, jangan sampai penilaian pertentangan norma justru menyebabkan tidak berjalannya konstitusi, sehingga lebih lanjut menyebabkan ambruknya bangunan negara hukum Pancasila. Setiap pengujian harus berlandaskan pada patokan-patokan dan tak dapat hanya bermain dalam lapangan perspektif teoritis yang sangat luas, patokan dasarnya adalah apa yang sebenarnya diinginkan sebagai politik hukum pembentukan Mahkamah Konstitusi. Isi konstitusi suatu negara adalah apa yang ditulis dan latar belakang pemikiran apa yang melahirkan tulisan/ teks isi konstitusi tersebut tanpa harus terikat dengan teori dan apa yang
berlaku di negara lain,30 selain itu, harus menjadikan konstitusi sebagai the
Ž‹˜‹•‰ …‘••–‹–—–‹‘•ä
7. Ragamnya Metode Penafsiran
Belum adanya kriteria penggunaan metode penafsiran hukum dalam menentukan pertentangan norma hukum, hal ini disebabkan pemahaman
28 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, h. 109
29 Moh. Mahfud MD., dalam “Komisi Yudisial dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita”, Bunga RampaiKomisi Yudisal dan Reformasi Peradilan, Jakarta,
Komisi Yudisial, 2007, h. 7-8
dan implementasi pertentangan norma hukum tidak dapat dilakukan tanpa kewenangan untuk menginterpretasikan pasal-pasal dalam peraturan
perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum.31 Sehingga, perlu adanya
batasan dan kriteria yang jelas dalam menilai dan menentukan pertentangan norma hukum, hal ini dapat dilakukan dengan memperjelas ketentuan-ketentuan yang masih menimbulkan permasalahan atau kurang jelas.
Pandangan Mahfud MD terkait dengan ketidakjelasan tolok ukur dalam memaknai pertentangan norma hukum yang berdasarkan pada pemaknaan,
kriteria, penggunaan penafsiran original intent sebagai metode penafsiran
dalam pengujian norma hukum, hal ini terkait dengan teori apa yang menjadi dasar dan semangat dalam perumusan konstitusi maupun pembentukan
peraturan perundang-undangan. Hakim boleh menggunakan original intent
suatu produk hukum sebagai tolok ukur, hal ini berdasarkan fakta bahwa secara teoritis pengujian norma hukum tersebut bertujuan untuk mengetahui makna atau maksud utama/maksud sebenarnya dari isi konstitusi atau peraturan
perundang-undangan.32 Sebab dengan pemahaman ‘”‹‰‹•ƒŽ ‹•–‡•–á maka
orisinilitas ataupun gagasan dan semangat asli dari suatu rumusan peraturan perundang-undangan dapat terlindungi, selain itu Mahkamah Konstitusi harus
menjadikan original intent sebagai tolok ukurnya.33 Dalam pandangan lain
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya semata-mata terpaku pada
metode penafsiran ‘”‹‰‹•ƒŽ‹••‡ yang mendasarkan diri pada original intent
perumusan Pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi UUD itu sendiri
secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan.34
Rifqi S. Assegaf memberikan ilustrasi penafsiran hukum oleh Mahkamah Konstitusi yang dinilai kontroversial oleh masyarakat, misalnya penggunaan penafsiran historis dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU/2006 perihal Pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rifqi
S.Assegaf membenarkan dan menyetujui penafsiran historis (’‡•ƒˆ•‹”ƒ•original
intent) yang digunakan sebagai dasar pertimbangan, sebab tiada maksud atau tujuan dari penyusun Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjadikan hakim
31 Abdul Latif, Fungsi MK: Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta, Total Media, 2009, h. 244 32 Tim Penyusun Hukum Acara MK, Op.cit., h. 65.
33 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, h.280 34 Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK, Op.cit., h. 77-78.
konstitusi sebagai objek pengawasan Komisi Yudisial, namun penggunaan
metode penafsiran historis an sich dalam putusan ini dapat diperdebatkan
karena tidak ada ancaman atau tujuan konstitusional yang terlanggar jika hakim konstitusi diawasi oleh Komisi Yudisial. Lanjut Rifqi, bahwa idealnya Mahkamah Konstitusi menggunakan penafsiran teleologis mengingat prinsip akuntabilitas dalam negara hukum yang demokratis sebagai penyeimbang
prinsip independensi peradilan.35
Menurut Majelis Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/
PUU/2006,36 bahwa argumen Mahkamah Konstitusi dengan penggunaan
penafsiran original intent menyebabkan argumen yang anti akuntabilitas, sebab
penafsiran original intent tidak mudah dilakukan dan sering menimbulkan
kontroversi karena multi interpretasi makna original intent itu sendiri.37
Kontroversi tidak sebatas itu, menurut Majelis Eksaminasi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sangat kontroversial, meliputi: (1) putusan Mahkamah Konstitusi di luar harapan masyarakat karena menganulir pasal-pasal strategis dalam upaya menciptakan peradilan yang bersih; (2) Mahkamah Konstitusi dinilai bertindak terlalu jauh melampaui kewenangannya ketika menganulir beberapa pasal yang terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial; (3) putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini terkesan dipaksakan karena klasula-klasula yang dinilai oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945, sesungguhnya justru menjelaskan lebih detail ketentuan yang belum diatur secara jelas oleh Pasal 24B UUD 1945; (4) dengan putusan yang demikian, Mahkamah Konstitusi memiliki kecenderungan menjadi lembaga
yang hegemonik dan berpotensi mengancam keseimbangan konsep •‡’ƒ”ƒ–‹‘•
‘ˆ ’‘™‡”• dan prinsip checks and balances yang menjadi dasar munculnya
Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945.38
8. Urgensi Ketentuan Non Konstitusi?
UUD 1945 secara singkat menentukan “ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang (Pasal
35 5LITL 6 $VVHJDI 3XWXVDQMahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Komisi Yudisial: Momentum Penguatan Gerakan Anti ´0D¿D 3HUDGLODQ´ makalah di sampaikan dalam Diskusi Publik Eksaminasi Putusan MK tentang UU KY yang diselenggarakan oleh PuKAT UGM dan Indonesian Court Monitoring, Yogyakarta, 28 September 2006, h. 5
36 0DMHOLV (NVDPLQDVL WHUGLUL GDUL 3URI 'U <RKDQHV 8VIXQDQ 6 + 0 + )LUPDQV\DK $UL¿Q 6 + ,ZDQ 6DWULDZDQ 6 + 0 &/ 'UV /XNPDQ +DNLP
Saifuddin, M.Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc., Sahlan Said S.H., dan Saldi Isra, S.H., M.PA, Majelis Eksaminasi dibentuk oleh Pusat Kajian Anti Korupsi FH-UGM dan Indonesia Court Monitoring dan melakukan rapat pada tanggal 26-27 September 2006, lihat Hasil Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU/2006 perihal Pengujian Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, h. 5
37 Ibid. h. 4 38 Ibid., h. 1
22A)”. Ketentuan UUD 1945 ini secara eksplisit “menyerahkan” kewenangan kepada lembaga legislatif untuk mengatur ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang, yang kemudian dibentuk Undang-Undang No.12 Tahun 2011 (sebelumnya berlaku Undang-Undang-Undang-Undang No. 10 Tahun 2004). Problem yang terkait Pengujian Undang Undang yakni terkait tolok ukur yang digunakan, sebab UUD 1945 tidak menentukan tata cara pembentukan Undang-Undang.
Dalam pandangan M. Fajrul Falaakh bahwa, misalnya dalam pengujian Undang-Undang No.3 Tahun 2009, bahwa yang akan terjadi adalah menguji suatu fakta tentang tata cara pembentukan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang MA yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, praktis pengujian formil pada tingkat ini adalah pengujian tentang pembentukan Undang-Undang berdasarkan tolok ukur Undang-Undang (sederajat), termasuk yang menjadi tolok ukur adalah Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dalam kenyataan bahwa Undang-Undang juga mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan tata tertib yang berlaku pada dan bagi masing-masing lembaga yang terlibat dalam pembentukan Undang-Undang. Hal ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana pengujian formil terhadap pembentukan
Undang-Undang harus mengikuti peraturan non konstitusi?39
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-VII/2009 perihal pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 terhadap UUD 1945, dalam halaman 82-83 diuraikan bahwa: “Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 08/DPR RI/2005
merupakan bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk melakukan
pengujian formil, karena hanya berdasarkan Peraturan Tata Tertib tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang yang dibahasnya sebagai syarat pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945. Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal yang prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya, padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi,
39 Dikutip dari M.Fajrul Falaakh, pendapat sebagai ahli dalam pengujian undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
pengujian secara formil tersebut harus dilakukan, oleh sebab itu sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil proseduralnya itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.
Putusan di atas menimbulkan perdebatan dikalangan ahli hukum, termasuk lembaga pembentuk Undang-Undang, sebab pengujian formil di Mahkamah Konstitusi bisa saja tolok ukur tidak hanya UUD 1945 saja, tetapi juga Undang-Undang yang memiliki kedudukan sederajat, Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil proseduralnya itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi. Putusan ini menimbulkan pro dan kontra, sebab UUD 1945, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi maupun dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tidak mengatur secara jelas terkait hal ini, yang menjadi pertanyaan apa dan bagaimana desain penggunaan non konstitusi dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Pro-kontra ini berusaha diselesaikan oleh lembaga pembentuk Undang-Undang dengan mengesahkan Undang-Undang-Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 50A mengatur ketentuan pembatasan penggunaan non konstitusi sebagai tolok ukur.
Berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-IX/2011 ketentuan Pasal 50A Undang-Undang No.8 Tahun 2011 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, argumentasi hukum yang dibangun Mahkamah Konstitusi adalah Indonesia sebagai negara hukum yang demokrasi konstitusional atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum, salah satu syarat setiap negara yang
menganut paham rule of law dan …‘••–‹–—–‹‘•ƒŽ †‡•‘…”ƒ…› adalah prinsip
konstitusionalisme (…‘••–‹–—–‹‘•ƒŽ‹••), antara lain yaitu prinsip yang
menempatkan UUD atau konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara.
9. Problem Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum acara Mahkamah Konstitusi merupakan hukum yang mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi, sebagai hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari hukum konstitusi yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Dalam hukum acara terdapat asas-asas hukum acara atau prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai panduan atau ruh dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Asas diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan konstitusi, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Namun, mengingat sifatnya yang umum dan tidak merujuk pada tindakan atau kasus tertentu, setiap asas memiliki pengecualian, misalnya asas peradilan terbuka untuk umum dapat dikesampingkan untuk
perkara-perkara tentu yang sifatnya tertutup.40
Problem yang muncul adalah pertentangan antar asas-asas hukum acara yang asas-asas tersebut sangat urgen bagi tegaknya hukum dan keadilan, pertentangan asas-asas hukum acara ini terkait dengan kewenangan pengujian yang objeknya adalah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sendiri dan Undang-Undang lain yang memiliki keterkaitan dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Hal ini terkait dengan asas •‡•‘ Œ—†‡š ‹†‘•‡—•
‹• ’”‘’”‹ƒ …ƒ—•ƒá bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri atau perkara yang berkaitan dengan kepentingannya.
Disisi lain Mahkamah Konstitusi terikat dengan asas ius curia novit, asas ius
curia novit mengamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penyelesaian masalah hukum yang diajukan kepadanya.
Dalam hal lain, selain memperkuat dan menambah kewenangan, dalam putusan lain Mahkamah Konstitusi justru terjebak pada logika anti akuntabilitas, menurut Majelis Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 005/PUU/ IV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah menyimpangi asas
•‡•‘ Œ—†‡š ‹†‘•‡—• ‹• ’”‘’”‹ƒ …ƒ—•ƒábahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Dengan dalih bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab konstitusional untuk mengawal UUD sehingga dapat mengesampingkan prinsip imparsialitas. Pengesampingan asas ini tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat karena kewajiban tersebut tidak boleh dijalankan dengan melanggar prinsip universalitas hukum acara
(†—‡ ’”‘…‡••) yang mengharuskan hakim memegang teguh prinsip keadilan dan imparsialitas. Penyimpangan ini dapat menimbulkan penyalahgunaan
kekuasaan (ƒ„—•‡ ‘ˆ ’‘™‡”) akibat adanya benturan kepentingan (…‘•ÔŽ‹…– ‘ˆ
interest), padahal untuk menjaga prinsip imparsialitas hakim konstitusi harus terbebas dari benturan kepentingan dalam membuat putusan. Atas dasar
demikian, karena mengenyampingkan asas •‡•‘ Œ—†‡š ‹†‘•‡—• ‹• ’”‘’”‹ƒ
causa, maka hakim konstitusi telah melakukan Œ—†‹…‹ƒŽ •‹•…‘•†—…–.41 10. Pengenyampingan Pertentangan Norma Demi Nilai Hukum
Luasnya makna pertentangan norma hukum, terutama dalam pengujian
formil,42 hal ini disebabkan belum adanya batasan dan kriteria yang jelas dalam
menentukan pertentangan norma hukum tersebut. Sebagai contoh Putusan No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan contoh nyata adanya pergeseran makna pertentangan norma hukum secara formil atau dalam bahasa yang lebih gambang adalah adanya pengenyampingan pertentangan norma hukum secara formil demi asas kemanfaatan hukum (materi muatan).
Pendapat Mahkamah Konstitusi yang merujuk pada hasil temuannya bahwa pembentukan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 telah terbukti “cacat prosedural” atau pembentukan Undang-Undang yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Idealnya jika merujuk pada logika positivisme hukum yang menekankan kepastian teks hukum (Undang No.24 Tahun 2003), maka Undang-Undang tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini merupakan putusan yang bernalar hukum progresif yang tidak terkungkung oleh kepastian teks, tetapi lebih melihat proses dan materi sebagai satu kesatuan sistem dalam Undang-Undang. Argumentasi yang dibangun Mahkamah Konstitusi, jika Undang-Undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan
yang tidak lebih baik karena: (i) dalam Undang-Undang a quo justru terdapat
substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari Undang-Undang yang diubah; (ii) sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam sistem
41 Hasil Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU/2006 perihal Pengujian Undang-undang No.22 Tahun 2004, Op.cit., h. 3. 42 Tim Penyusun Hukum Acara MK, Op.cit. h. 95.
kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai Undang-Undang, antara lain Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan
Undang-Undang No.3 Tahun 2009.43
Penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan Undang-Undang, namun secara materiil Undang-Undang tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum dan materinya lebih baik, sehingga penilaian cacat prosedural tersebut dijadikan koreksi pembentukan Undang-Undang. Pengenyampingan esensi pengujian formil demi asas kemanfatan hukum adalah tepat dan benar, sebab pengujian formil terkait dengan proses pembentukan harus melihat terlebih dahulu substansi/materi Undang-Undang yang dilahirkan. Proses pembentukan Undang-Undang memberikan pengaruh terhadap kualitas Undang-Undang yang dihasilkan, namun jika proses yang cacat prosedural tetapi kualitas materinya baik dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka Undang-Undang tersebut tidak harus dibatalkan. Pilihan jika terjadi pertentangan antara formalitas dengan substansi, maka demi keadilan substantif yang harus diutamakan Mahkamah Konstitusi adalah substansi Undang-Undang, artinya pertentangan norma hukum secara formil diperbolehkan disimpangi
demi materi Undang-Undang yang berkualitas/baik.44
Substansi Undang-Undang yang baik inilah sebagai jalan untuk mencapai
–—Œ—ƒ• Š—•—•á•‡„ƒ„ •‡…ƒ”ƒÐ‹Ž‘•‘Ћ• –—Œ—ƒ• Š—•—• ƒ†ƒŽƒŠ •‡•…ƒ’ƒ‹ •‡†ƒ•ƒ‹ƒ•á
kedamaian dalam arti keserasian antara nilai ketertiban dengan ketentraman.45
‡”†ƒ•ƒ”•ƒ• –—Œ—ƒ•Ð‹Ž‘•‘Ћ• –‡”•‡„—–á •ƒ•ƒ ƒ•ƒ• •‡•ƒ•ˆƒƒ–ƒ• †ƒ”‹ •†ƒ•‰æ
Undang adalah Undang-Undang tersebut memberikan kontribusi bagi penataan kelembagaan hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang dalam Undang-Undang terdahulu menimbulkan banyak permasalahan. Asas perlunya pengaturan merupakan asas bahwa pembentukan Undang-Undang yang
43 Tanto Lailam, dalam “Desain Pengujian Formil dalam Praktik Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstititusi PKK Fakultas Hukum Universitas Kan-juruhan Malang Volume II No.1 September 2013, h. 87.
44 Tanto Lailam, dalam “Asas-asas Hukum Sebagai Tolok Ukur Pertentangan Norma dalam Putusan Pengujian Undang-undang, Jurnal Konstititusi PKK Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Volume II No.1 Septermber 2013, h. 54.
45 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano, Ikthisar Antinomi: Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, 1993,
berkaitan dibentuk untuk mengatasi masalah,46 jadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dibentuk untuk mengatasi permasalahan kekosongan hukum
†ƒ• •‘•ÐŽ‹• ƒ•–ƒ”ƒMahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
11. Pemberlakuan Surut Demi Nilai Hukum
Permasalahan lainnya adalah Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengandung ketentuan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh berlaku surut dan berlaku prospektif. Dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi ketentuan ini justru disimpangi dan membuat ketentuan baru bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat berlaku surut dan menjangkau permasalahan yang hadir sebelum putusan tersebut. Dengan bangunan argumentasi bahwa demi nilai kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal hukum maka untuk kasus-kasus tertentu Mahkamah
dapat memberlakukan putusannya secara surut (retroaktif).
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diketengahkan dalam kajian ini, meliputi: (1) Pancasila dan UUD 1945 merupakan satu kesatuan yang utuh, walaupun keduanya memiliki norma yang berbeda, dan keduanya dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai apakah norma hukum bertentangan dengan Pancasila dan/atau UUD 1945; (2) Mahkamah Konstitusi menguji seluruh Undang-Undang yang lahir sebelum dan sesudah amandemen dengan tolok ukur UUD 1945 yang sedang
berlaku; (3) UUD 1945 harus dimaknai sebagai konstitusi yang hidup (the living
constitution); (4) Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD baik secara vertikal maupun horizontal; (5) Aspek keberlakuan sebuah Undang-Undang yang menjadi bagian dalam pengujian lebih dekat dan tepat dipahami dalam kerangka pengujian materiil, bukan formil; (6) Makna “bertentangan dengan UUD 1945” harus dielaborasi secara komprehensif dalam putusan Mahkamah Konstitusi; (7) Pilihan penafsiran dalam menentukan pertentangan norma hukum dapat dilakukan dan dipilih berdasarkan ukuran
yang jelas, Mahkamah Konstitusi tidak boleh mengutamakan penafsiran original
intent dan mengenyampingkan model penafsiran lain jika hal tersebut justru menyebabkan tidak berjalannya konstitusi. (8) Ketentuan non konstitusi dapat
46 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta:
dibenarkan dalam pengujian formil, namun dalam pengujian materiil tidaklah
tepat. (9) Pengesampingan asas hukum acara “•‡•‘ Œ—†‡š ‹†‘•‡—• ‹• ’”‘’”‹ƒ …ƒ—•ƒó
dapat dibenarkan demi tegaknya konstitusi melalui pemberian kewenangan kepada
Mahkamah Konstitusi (asas curia novit). (10) Pengesampingan pertentangan
norma secara formil dapat dilakukan demi asas kemanfaatan yang mengutamakan substansi Undang, (11) Putusan berlaku surut dalam pengujian Undang-Undang dalam putusan tertentu kurang memberikan kepastian hukum yang adil.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latif, 2009, ” —•‰•‹ ã ’ƒ›ƒ ‡™—Œ—†•ƒ• ‡‰ƒ”ƒ —•—• ‡•‘•”ƒ•‹ó,
Yogyakarta, Total Media
Artidjo Alkostar, 2008, “ ‘”—’•‹ ‘Ž‹–‹• †‹ ‡‰ƒ”ƒ ‘†‡”•ó, Yogyakarta, Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia Press
Bagir Manan, 2003, ” ‡‘”‹ †ƒ• ‘Ž‹–‹• ‘••–‹–—•‹óáYogyakarta, FH UII Press
Dahlan Thaib, Ni’matul Huda, dan Jazim Hamidi, 2005, “ ‡‘”‹ †ƒ• —•—• ‘••–‹–—•‹ó,
Jakarta, Rajawali Pers
Jazim Hamidi, 2006, “ ‡˜‘Ž—•‹ —•—• •†‘•‡•‹ƒã ƒ••ƒá ‡†—†—•ƒ•á†ƒ• •’Ž‹•ƒ•‹
—•—• ƒ••ƒŠ ”‘•Žƒ•ƒ•‹w} ‰—•–—•w•z{†ƒŽƒ• ‹•–‡• ‡–ƒ–ƒ•‡‰ƒ”ƒƒ• ó, Jakarta, Konstitusi Press
Jimly Asshiddiqie, 2006, —•—• …ƒ”ƒ ‡•‰—Œ‹ƒ• •†ƒ•‰æ—•†ƒ•‰, Jakarta, Yasrif
Watampone
__________, 2008, “ ‡•—Œ— ‡‰ƒ”ƒ —•—• ƒ•‰ ‡•‘•”ƒ–‹•óáJakarta, Konstitusi Press
M. Fajrul Falaakh, “Konstitusi Dalam Berbagai Lapisan Makna”, Jurnal Konstitusi
‘Ž—•‡ y ‘•‘”y ‡’–‡•„‡” xvv|á h. 113
__________, makalah pendapat ahli dalam pengujian Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang MA, dalam putusan MK No.27/PUU-VII/2009, h. 41.
Machmud Aziz, “Aspek-Aspek Konstitusional Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan”á—”•ƒŽ ‘••–‹–—•‹ ‘Ž—•‡ y ‘äy ‡’–‡•„‡” xvv|, h. 142
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, “Ž•— ‡”—•†ƒ•‰æ—•†ƒ•‰ƒ•ã ƒ•ƒ”憃•ƒ”
†ƒ• ‡•„‡•–—•ƒ••›ƒó, Yogyakarta, Kanisius
Moh. Mahfud MD, 2007, “Komisi Yudisial dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita”, Bunga
ƒ•’ƒ‹ ‘•‹•‹ —†‹•ƒŽ †ƒ• ‡ˆ‘”•ƒ•‹ ‡”ƒ†‹Žƒ•áJakarta, Komisi Yudisial. __________, 2009, “Ceramah Kunci Ketua MK Pada Kongres Pancasila Pada Tanggal