• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kuantitas Penggunaan Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid Di Kelas III Dan Non Kelas III Rsup. Dr. Kariadi Semarang Pada Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Kuantitas Penggunaan Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid Di Kelas III Dan Non Kelas III Rsup. Dr. Kariadi Semarang Pada Tahun 2011"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KUANTITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI KELAS III DAN

NON KELAS III RSUP Dr. KARIADI SEMARANG PADA

TAHUN 2011

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana

strata-1 kedokteran umum

PRASTIKHA RAHMASARI VANIA PUTRI

G2A009118

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

TAHUN 2013

(2)
(3)

PERBEDAAN KUANTITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI KELAS III DAN NON KELAS III RSUP. Dr. KARIADI SEMARANG PADA TAHUN 2011

Prastikha Rahmasari Vania Putri1 , MMDEAH Hapsari2 , Selamat Budijitno3

ABSTRAK

Latar belakang : Angka kejadian demam tifoid pada anak yang dari tahun ke tahun semakin meningkat, akan meningkatkan potensi penggunaan antibiotik yang lebih banyak. Perbedaan karakteristik kelas perawatan dapat menyebabkan perbedaan kuantitas penggunaan antibiotik. Kuantitas penggunaan antibiotik di rumah sakit akan dinyatakan dalam Defined Daily Doses/100 pasien-hari.

Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengukur dan membedakan kuantitas penggunaan kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim pada anak dengan demam tifoid di kelas III dan non kelas III RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2011.

Metode : Merupakan penelitian observasional klinik dengan desain cross sectional. Pengambilan data dengan consecutive sampling. Analisa data dilakukan dengan uji independent t test. Uji Mann-whitney apabila persebaran data tidak normal.

Hasil : Kuantitas penggunaan antibiotik Kloramfenikol sebesar 30,51 DDD/100 pasien-hari (26,53 DDD/100pasien-hari kelas III dan 3,98 DDD/100pasien-hari non kelas III), Kuantitas Seftriakson sebesar 31,92 DDD/100pasien-hari (5,65 DDD/100pasien-hari kelas III dan 26,27 DDD/100pasien-hari non kelas III). Terdapat perbedaan kuantitas yang bermakna penggunaan kloramfenikol

( p = 0,00) dan seftriakson (p = 0,001) antara kelas III dan non kelas III.

Kesimpulan : Kloramfenikol lebih sering digunakan di kelas III dan Seftriakson lebih sering digunakan di non kelas III pada pasien anak dengan demam tifoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2011.

Kata kunci: Kuantitas penggunaan antibiotik, Kloramfenikol, Seftriakson,

Defined Daily Doses, Kelas perawatan, Demam tifoid.

1

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

2

Staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

3

Staf pengajar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

(4)

DIFERENCESS IN THE QUANTITY OF ANTIBIOTIC USAGE IN PEDIATRIC WITH TYPHOID FEVER IN CLASS III AND NON-CLASS III OF Dr. KARIADI HOSPITAL SEMARANG IN 2011.

ABSTRACT

Background. The incidence of typhoid fever in pediatric from year to year is increasing, intensifying the potential of more antibiotic usage. The different characteristics of classtreatment lead to differences in the quantity of antibiotic use. Quantity of antibiotic use in hospitals will be expressed in Defined Daily Doses/100 patient-days.

Objective.To assess and distinguish the quantity of chloramphenicol, ceftriaxone and cefotaxime in pediatric with typhoid fever in class III and non-class III Dr. Kariadi Hospital Semarang in 2011.

Method.This research isclinical observational using cross-sectional study. Data collected with consecutive sampling. The statistical analysisused was Independent t test. Mann-Whitney test when the data distribution is not normal.

Result.The quantity of chloramphenicol is 30.51 DDD/100 patient-days (26.53 DDD/100patient-daysclass III and 3.98 DDD/100patient-days non-class III), the quantity of ceftriaxone is 31.92 DDD/100 patient-days (5.65 DDD/100patient-daysclass III and 26.27DDD/100patient-daysnon-class III). There are significant differencesin the quantity ofchloramphenicol (p = 0.00) and ceftriaxon (p = 0.001) between class III and non-class III.

Conclusion.Chloramphenicol is mostly used in class III , on the contrary ,Ceftriaxone is more often used in non-class III in pediatric with typhoid fever in Dr. Kariadi Hospital Semarang 2011.

Keyword : Quantity of antibiotic usage, Chloramphenicol, Ceftriaxone, Defined Daily Doses, Class treatment, Typhoid fever.

(5)

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi masalah kesehatan terutama di negara – negara berkembang. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan setiap tahunnya. Data WHO memperkirakan demam tifoid menyerang 17 juta manusia dan menyebabkan 600 ribu kematian per tahun.3 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke- 3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, dengan data kematian 274 orang dengan case fatality rate sebesar 0,67.1

Untuk memperoleh data yang standar, WHO, 2011, merekomendasikan pengukuran kuantitas antibiotik dengan Defined Daily Doses(DDD) dan berdasarkan sistem klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical (ATC).2,4 DDD menyatakan rata-rata dosis pemeliharaan yang dianjurkan untuk suatu obat per hari yang digunakan atas indikasi pada orang dewasa.Jika tersedia dosis harian yang telah ditentukan dan indikasinya dalam suatu populasi anak, dapat digunakan dan dibandingan dengan nilai- nilai DDD. Kuantitas penggunaan antibiotik dinyatakan dalam DDD/100 pasien-hari untuk pengukuran di rumah sakit.2,4,10

DDD per 100 pasien per hari:2,4,10

x

Sesuai dengan protap pedoman penggunaan antibiotik untuk demam tifoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang, pengobatan lini pertama untuk demam tifoid tanpa komplikasi pada anak yaitu kloramfenikol dengan dosis 100mg/kgBB, frekuensi diberikan empat kali sehari dan durasi pemberian adalah 10-14 hari. Seftriakson sebagai lini kedua akan diberikan apabila dengan pemberian kloramfenikol selama lima hari tidak menunjukkan adanya perbaikan. Seftriakson diberikan dengan dosis 80mg/kgBB, frekuensi diberikan satu kali sehari dan durasi pemberian adalah lima hari secara intravena. Untuk pengobatan demam tifoid dengan

(6)

komplikasi diberikan penambahan metronidazol dengan dosis 15-30mg/kgBB, frekuensi pemberian tiga kali sehari dengan durasi pemberian selama

10 hari.7

Peresepan antibiotik dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah pengaruh dari supervisi, teman sejawat, produsen farmasi, pasien/keluarga pasien, perawat, ketersediaan obat, diskusi dengan sejawat, diskusi dengan supervisor dan diskusi ilmiah.5,6,8,9

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kuantitas penggunaan antibiotik Kloramfenikol, Seftriakson, dan Sefotaksim serta menguji beda kuantitas penggunaan ketiga antibiotik tersebut sebagai terapi pada anak dengan demam tifoid di kelas III dan non kelas III RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2011.

METODE

Penelitian dilakukan di Instalasi Catatan Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan cara observasional klinik dan desain cross sectional. Subjek penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling. Pada penelitian ini didapatkan 75 rekam medik sebagai sampel penelitian, dengan kriteria inklusi rekam medik yang memuat antibiotik dari pasien anak dengan demam tifoid yang dirawat inap di kelas III dan non kelas III RSUP Dr. Kariadi pada tahun 2011, sedangkan kriteria eksklusi rekam medik dimana pencatatan penggunaan antibiotik (dosis, frekuensi, durasi dan lama perawatan) tidak lengkap,rekam medik dari pasien anak demam tifoid yang mendapat program antibiotik belum selesai tetapi sudah pulang terlebih dahulu,rekam medik dari pasien anak dengan demam tifoid sebagai diagnosis sekunder. Kuantitas penggunaan antibiotik dihitung menggunakan program komputer untukmengubah dosis tersebut dalam bentuk Defined Daily Doses. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah karakteristik kelas perawatan (kelas III dan non kelas III) dengan variabel terikat adalah Kuantitas penggunaan antibiotik kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim pada demam tifoid. Kuantitas penggunaan antibiotik diuji dengan independent t test. Apabila persebaran data

(7)

tidak normal setelah dilakukan transformasi maka uji yang dilakukan adalah

Mann-whitney.

HASIL

Karakteristik subjek penelitian

Berdasarkan 75 rekam medikpasien yang dievaluasi dalam penelitian ini, distribusi jenis kelamin, umur, berat badan, kelas rawat dan status pulang dari rekam medik akan tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel

Kelas III Non kelas III

Frekuensi Presentase (%) Frekuensi Presentase (%) Jenis kelamin  laki-laki 29 55.8 14 60.9  perempuan 23 44.2 9 39.1 Total 52 100 23 100 Umur  0-5 tahun 30 57.7 11 47.8  6-10 tahun 19 36.5 6 26.1  11-15 tahun 3 5.8 6 26.1 Total 52 100 23 100 Berat badan  0-20 kg 41 78,85 14 60,87  lebih dari 20 kg 9 21,15 9 39,13 Total 52 100 23 100 Lama rawat  1-5 hari 16 30.8 10 43.5  6-10 hari 28 53.8 13 56.5  lebih dari 10 hari 8 15.4 0 0 Total 52 100 23 100 Status pulang  seizin dokter 52 52 23 23  pulang paksa 0 0 0 0 Total 52 100 100 100

(8)

Berdasarkan kultur yang dilakukan pada 54 pasien, didapatkan 35 pasien tidak ada pertumbuhan kuman baik dalam darah, urin maupun sekret. 19 pasien yang lain terdapat pertumbuhan kuman, dan hanya terdapat 3 dari kultur darah pasien yang positif kuman Salmonella Typhi. Dari data kultur dengan hasil Salmonella Typhi positif, dilakukan pengambilan data sensitifitas Salmonella Typhi terhadap berbagai jenis antibiotik . Didapatkan hasil sensitifitas 100 % kuman Salmonella Typhi pada semua antibiotik ( Ampisil sulbactam, Amikacin, Cefepime, Cefotaxime, Ceftazidime, Chloramphenicol, Ciprofloxacin, Fosfomycin, Gentamycin, Meropenem, Moxifloxacin, Piper + tazobactam, Tigecyclin, Cotrimoxazole, Imipenem sulbactam, Cefoperazon, Doripenem).

Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Anak dengan Demam Tifoid

Antibiotik pada demam tifoid

Apabila dilihat dari peresepan yang dilakukan pada 75 pasien, maka didapatkan distribusi penggunaan antibiotik dengan sistem klasifikasi ATC Amfenikol yaitu kloramfenikol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan sebanyak 80,6% pada kelas III dan seftriakson sebesar 85,71% pada non kelas III seperti yang tercantum pada tabel 2 dan tabel 3.

Tabel 2. Jenis Antibiotik yang Digunakan Berdasarkan Klasifikasi Sistem ATC Sistem

klasifikasi ATC

Kode ATC

Kelas III Non Kelas III Frekuensi Presentase (%) Frekuensi Presentase (%) Amfenikol J01BA 54 80,6 4 14,29 Sefalosporin generasi 3 J01DD 13 19,4 24 85,71 Total 67 100 28 100

(9)

Tabel 3. Jenis Antibiotik yang Digunakan

Jenis antibiotik Kode ATC

Kelas III Non Kelas III Frekuensi Presentase (%) Frekuensi Presentase (%) Kloramfenikol J01BA01 54 80,6 4 14,29 Seftriakson J01DD04 12 17,91 16 57,14 Sefotaksim J01DD01 1 1,49 8 28,57 Total 67 100 28 100

Defined Daily Doses (DDD) Antibiotik pada Demam tifoid

Pada penelitian ini didapatkan kuantitas penggunaan antibiotik paling tinggi terletak pada antibiotik kloramfenikol dengan DDD sebesar 26,53 DDD/100 pasien-hari pada kelas III dan antibiotik seftriakson sebesar 26,27 DDD/100 pasien-hari pada non kelas III, yang dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Kuantitas Penggunaan Antibiotik DDD/100 pasien-hari

Antibiotik Total dosis (g) DDD DDD/100 pasien-hari P Kelas III Non kelas III Kelas III Non Kelas III Kelas III Non Kelas III Kloramfenikol 301,06 16,37 100,35 5,46 26,53 3,98 0,00 Seftriakson 42,8 72 21,4 36 5,65 26,27 0,001 Sefotaksim 4,5 1,85 1,125 0,46 0,29 0,33 -

Setelah dilakukan uji beda, didapatkan hasil perbedaan yang bermakna penggunaan kloramfenikol (P=0,00) dan seftriakson (p=0,001) di kelas III dan non kelas III. Antibiotik sefotaksim tidak dapat dilakukan uji beda oleh karena data yang didapatkan pada penelitian ini sangat kecil. Hasil perbedaan kuantitas penggunaan antibiotik antar kelas perawatan tersaji pada tabel 5.

(10)

Tabel 5. Perbedaan Kuantitas Penggunaan Antibiotik antar kelas perawatan

Antibiotik N Rata-rata DDD tiap

antibiotik/100 pasien-hari P Kloramfenikol 0,00*  kelas III 54 0,33 ± 0,22  non kelas III 4 0,06 ± 0,17 Seftriakson 0,001**  kelas III 12 0,11 ± 0,24  non kelas III 16 0,36 ± 0,46 Sefotaksim ***  kelas III 1 -  non kelas III 8 0,3 ± 0,47

* Uji Independent t test

** Uji Mann-Whitney

*** tidak dapat diuji karena jumlah data yang didapatkan sangat kecil

Gambar 1. Kuantitas Penggunaan Antibiotik dengan DDD/100 pasien-hari antar kelas perawatan 26,53 DDD/100 pasien-hari 5,65 DDD/100 pasien-hari 3,98 DDD/100 pasien-hari 26,27 DDD/100 pasien-hari 0 5 10 15 20 25 30 Kloramfenikol Seftriakson Kelas III non kelas III

(11)

PEMBAHASAN

Perbedaan kuantitas penggunaan antibiotik antar kelas perawatan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal salah satunya adalah pengaruh supervisi dalam menetapkan peresepan. Berdasarkan studi intervensi yang dilakukan di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2003 – November 2004 didapatkan hasil sebagian besar dokter anak di Bangsal Anak rumah sakit tersebut (77,3%0 ) mengaku sangat dipengaruhi oleh supervisi dalam menetapkan peresepan antibiotik.13 Nilai DDD/100 pasien-hari pada kloramfenikol ( 26,53 ) di kelas III yang lebih tinggi daripada kloramfenikol (3,98 ) di non kelas III juga mungkin dapat dipengaruhi oleh faktor kepatuhan dokter PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) yang bertugas di kelas III bangsal anak yang cenderung meresepkan sesuai dengan protap terapi pada demam tifoid yaitu kloramfenikol sebagai lini pertama dan akan digantikan dengan seftriakson sebagai lini kedua apabila dengan pemberian kloramfenikol selama lima hari tidak menunjukkan adanya perbaikan. Namun demikian masih ada beberapa dokter yang langsung meresepkan seftriakson sebagai lini pertama pengobatan demam tifoid terutama pada kelas perawatan non kelas III. Beberapa alasan mengapa kloramfenikol banyak digunakan terutama pada kelas 3 antara lain klorafenikol memiliki harga yang murah, mudah diperoleh, jarang menimbulkan efek samping dalam pemakaian yang singkat, demam turun dalam waktu singkat (3-4 hari terapi), meningkatkan angka kesembuhan (± 90%), menurunkan mortalitas (10-15% menjadi 1-4%).11,12,15

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna penggunaan antibiotik seftriakson di kelas III dan non kelas III RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2011. Penggunaan antibiotik seftriakson pada non kelas III cukup tinggi yaitu sebesar 26,27 DDD/100 pasien-hari, kuantitas penggunaan antibiotik ini lebih tinggi (± 500%) daripada penggunaan seftriakson di kelas III yaitu sebesar 5,65 DDD/100 pasien-hari. Beberapa alasan mengapa cenderung seftriaskon digunakan sebagai terapi antibiotik daripada kloramfenikol antara lain, berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya didapatkan hasil terdapat respon klinis

(12)

yang baik dengan pemberian seftriakson sekali sehari. Lama turun rata-rata empat hari, semua hasil biakan menjadi negatif pada hari keempat dan tidak ditemukan adanya kekambuhan.14 Bahkan, pada penelitian yang dilakukan untuk menganilis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada anak yang dirawat di rumah sakit didapatkan hasil bahwa efisiensi biaya pada kelompok yang mendapatkan seftriakson lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan kloramfenikol.16

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Antibiotik kloramfenikol lebih sering digunakan di kelas III dan penggunaan antibiotik seftriakson lebih sering digunakan di non kelas III pada pasien anak dengan demam tifoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2011.

Saran

Diperlukan pada penelitian selanjutnya sebaiknya menggunaakan penelitian secara prospektif untuk menghitung kuantitas penggunaan antibiotik dengan berat badan sampel yang digunakan lebih homogen dan mengkaji lebih dalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan kuantitas penggunaan antibiotik antar kelas perawatan serta diperlukan adanya pelatihan dan pengawasan mengenai penggunaan antibiotik khususnya secara kuantitas sehingga peredaran dan penggunaan antibiotik bisa lebih bijak dan diperhatikan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada dr. MMDEAH Hapsari, Sp.A(K) dan Dr.dr. Selamat Budijitno, Msi.Med, Sp.B, Sp.B(K)onk yang telah memberikan saran-saran dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tidak lupa kepada dr.Helmia Farida, Sp.A,M.Kes selaku ketua penguji dan dr. Ninung Rose DK, Msi.Med, Sp.A(K) selaku penguji. Serta pihak-pihak lain yang telah membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia [internet] 2011. [cited

2012 September 25].Available from

http://www.depkes.go.id//downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESIA_ 2010.PDF

2. Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment. 13th Edition [internet]. 2011 [cited 2012 November 5]. Available from http://www.whocc.no/filearchive/publications/2010guidelines.pdf.

3. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva:2003.

4. WHO. Guidelines for ATC Classification and DDD Asigment. Oslo, Norway. WHO Collaborating Centre For Drug Statistics methodology; 2003.

5. World Health Organization. The role of education in the rational use of medicines. New Delhi: WHO; 2006.

6. Farida H. Kualitas penggunaan antibiotik pada anak dengan demam: pra dan pascapelatihan dokter tentang penggunaan antibiotik yang tepat di bagian Kesehatan Anak RS Dr. Kariadi Semarang [thesis]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2005.

7. Pedoman Penggunaan Antibiotik pada Anak. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUNDIP/RSUP Dr Kariadi; 2010.

8. Hadi U, Kolopaking EP, Gardjito W, Geyssens IC, Broek P. Antimicrobial resistence and antibiotics use in low-income and developing countries. Folia Medica Indonesiana. 2006; 42(3):183-95.

9. Meer J, Grol R. The process of antibiotic prescribing: can it be changed. In: Gould IM, Meer J, editors. Antibiotic policies: Fighting resistence. New York: Springer Science; 2008.

10. Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan R.I. Lokakarya Nasional ke Tiga. Strategy to Combat the Emergence and Spread of Antimicrobial Resistant Bacteria in Indonesia. Bandung. 2010.

(14)

11. Nelson JD. Salmonella infection. In wedgwood RJ, Davis SD, Ray CG, Kelly VC. Infections in children. Harper and Row Publisher; 1982.h.780-805.

12. Hoffmann SL, Typhoid fever. In Strickland GT, ed. Hunter’s Tropical Medicine, 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991.h. 350-7. 13. Helmia F, Herawati, MM Hapsari,dkk. Penggunaan antibiotik secara bijak

untuk mengurangi resistensi antibiotik : mungkinkah ? Studi Intervensi di Bagian Kesehatan Anak RS Dr. Kariadi . Semarang;2003.

14. Acharya G, Revoisier C, Butler T, Ho M, Tiwari M, Klaus SK, dkk. Pharmacokinetics of ceftriaxone. Antimikcrob Agents Chemother 1998;38: 241-8

15. Christie AB. Typhoid and paratyphoid fever. In: Infectious disease, 4th edition.Churchil-Livingstone;1987.h 100-154.

16. Musnelina L, Afdhal AF, Gani A, Andayani P. Analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid anak menggunakan kloramfenikol dan seftriakson di rumah sakit fatmawati Jakarta tahun 2001-2002. Makara 2004;8:59-64

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian  Variabel
Tabel 2. Jenis Antibiotik yang Digunakan Berdasarkan Klasifikasi Sistem ATC  Sistem
Tabel 3. Jenis Antibiotik yang Digunakan  Jenis antibiotik  Kode
Tabel 5. Perbedaan Kuantitas Penggunaan Antibiotik antar kelas perawatan  Antibiotik  N  Rata-rata DDD tiap

Referensi

Dokumen terkait

dalam konteks piawaian EMS, indikator prestasi boleh dihubungkan dengan aspek atau kesan alam sekitar organisasi, yang mana menyediakan fokus untuk objektif dan sasaran yang

(1) Dalam hal hasil Penilaian lebih lanjut memerlukan tambahan data dan atau kajian lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (4), diterbitkan surat

Abdul

Pada tahap ini dilakukan pengembangan konsep produk untuk pengeringan bersumber panas kompor biomassa guna memenuhi kebutuhan teknis yang telah ditetapkan. Dari proses

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui luasan wilayah yang tergenang akibat pengaruh pasang surut dan tinggi perencanaan reklamasi pada bulan Desember 2013

Berdasarkan analisis SWOT, strategi yang perlu dilakukan oleh usaha pembenihan ikan lele di Desa Babakan adalah Progresif, artinya usaha ini dalam kondisi prima

Tradisi Nuhune merupakan sebuah ritual pengasingan bagi perempuan yang akan menjadi ibu dalam hal ini perempuan yang kehamilannya memasuki masa bulan ke sembilan. Tradisi

→ Menjawab pertanyaan tentang materi Pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia masa kini yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau lembar kerja yang