1. HUBUNGAN ANTARA KETERISOLASIAN DAN KEMISKINAN DI KECAMATAN DLINGO (BANJARHARJO I DAN BANJARHARJO II)
Yori Alief Darmansyah yorialiefd@gmail.com
Umi Listiyaningsih Listyaningsih_umi@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik sosial-ekonomi dan faktor penyebab kemiskinan di Dusun Banjarharjo I dan Dusun Banjarharjo II. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan data yang berasal dari kuisioner, wawancara, sumber terkait dan hasil dokumentasi. Penelitian ini merupakan sampel jenuh atau sensus, dengan responden penelitian adalah rumahtangga penerima program beras miskin dengan total 162 KK, (71 KK berada di Dusun Banjarharjo I dan 91 berada di Dusun Banjarharjo II). Data hasil penelitian akan diolah, secara deskriptif dan korelasi dengan Kendall Tau. Hasil penelitian menjelaskan 1) Kondisi kemiskinan di kedua dusun adalah sama, 2) Tingkat kemiskinan di kedua dusun tergolong parah, dengan pengeluaran untuk konsumsi lebih dari 50,1-75 % dari total pengeluaran. Kemiskinan di daerah penelitian berhubungan dengan rendahnya sumberdaya manusia; jumlah anggota rumahtangga miskin yang sedikit; kepemilikan aset ternak dan barang elektronik serta kendaraan yang sedikit; dan waktu tempuh menuju lokasi sekolah dasar yang lama.
Kata kunci : kemiskinan, keadaan sosial ekonomi rumahtangga miskin; proporsi pengeluaran rumahtangga terhadap pangan; faktor penyebab kemiskinan; Kecamatan Dlingo
Abstract
This research explore socio-economics characteristic and the cause of poverty in Sub-Village Banjarharjo I and Banjarharjo II. This is quantitative research which uses data from questionnaire, interview, related resource, and photo documentation. The respondents are all households whom the
recipient of government “Beras Miskin” program. They are 162 household who successfully
interviewed ( 71 households from Banjarharjo I sub village and 91 households from BanjarharjoII sub village). The data is processed and analyzed by descriptive and correlative with Kendall Tau. The results explain: 1) the characteristic of poor household in both Banjarharjo I and Banjarharjo II are same. 2) Poverty level in both sub-village is severe, with proportion on consume house expenditure from 50,1 until 75 % of total family spent. Poverty level has correlate with age and education level; member of head household; less livestock and electronic plus transportation assets owned by household; and longtime period consumed by household to elementary school in one go.
Keywords: isolation, characteristic of poor household, poverty level, factors that correlate with poverty
PENDAHULUAN
Negara-negara di dunia sedang
menghadapi tantangan yang sama, yaitu
menurunkan jumlah penduduk miskin.
Komitmen ini tertuang dalam beberapa acara seperti “Deklarasi Johannesburg” dan “Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
menghasilkan Millenium Development Goals (MDG’s). Kedua kegiatan ini menghasilkan tujuan salah satunya adalah mengurangi jumlah penduduk dunia yang miskin hingga tahun 2015 (Hadad, 2003). Indonesia adalah salah satu negara yang berusaha mengurangi tingkat kemiskinan.
Indonesia sedang berupaya
menanggulangi kemiskinan agar integrasi
nasional dapat tercapai. Optimisme ini terlihat dari penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun 2008 hingga 2013. Jumlah penduduk miskin usia produktif di Indonesia menurun dari tahun 2008 (34,96 juta jiwa) hingga Maret 2013 (28,07 juta jiwa), namun naik pada bulan September 2013 (28,55 juta jiwa) (Gambar 1).
Gambar 1 Jumlah Penduduk Miskin Indonesia dari tahun 2008 hingga September 2013
Sumber : www.bps.go.id
Program penanggulangan kemiskinan
yang telah digulirkan pemerintah belum mampu memberantas kemiskinan secara maksimal
dikarenakan kurang memperhatikan
karakteristik dari kemiskinan itu sendiri. Chamber (1983) dalam bukunya yang berjudul
“Rural Development : Putting The Last First”
menjelaskan bahwa dalam upaya mempelajari kehidupan kaum miskin menggunakan istilah “Belajar Terbalik”. Ada enam hal yang
dijelaskan yaitu dengan (1) memahami
kehidupan mereka dengan bertanya dan
mendengarkan (2) belajar dari orang yang palin miskin, (3) menggali keterampilan teknis yang dimiliki, (4) penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan dengan melibatkan semua
elemen masyarakat, (5) Belajar sambil bekerja, dan (6) permainan simulasi. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Salim, dkk (2010), bahwa dalam perencanaan yang baik dan benar, tidak hanya “Berpikir global, bertindak lokal” yang artinya memasukan pemikiran skala dunia (global) dalam setiap tindakan perencanaan tingkat desa, kecamatan, atau kabupaten (lokal), tetapi perlu mempertimbangkan “Berpikir lokal, bertindak global” yang artinya setiap perencanaan memperhatikan karakteristik dari setiap komponen yang terkandung. Suyanto
(2013) menjelaskan bahwa upaya
penanggulangan kemiskinan perlu melihat permasalahan kemiskinan secara komprehensif dan berkelanjutan. Karakteristik kemiskinan diidentifikasi sehingga ditemukan prioritas
permasalahan yang dihadapi oleh suatu
kelompok masyarakat.
Penelitian dilakukan di dua dusun di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo yaitu Dusun Banjarharjo I dan Dusun Banjarharjo II. Kecamatan Dlingo dipilih menjadi lokasi penelitian karena presentase (%) Kepala keluarga miskin terbesar di Kabupaten Bantul pada tahun 2013. Tinggi wilayahnya berada diantara 25 hingga 100 meter diatas permukaan laut, menyebabkan aksesibilitas di kecamatan ini terhambat. Secara fisiografis, kedua dusun memiliki bentuk memanjang dari relief yang cenderung bergelombang pada Banjarharjo I dan curam pada Banjarharjo II sehingga dapat diketahui adakah perbedaan faktor penentu kemiskinan di kedua dusun tersebut
TUJUAN
1. Mengetahui karakteristik penduduk miskin
di Kecamatan Dlingo, D.I. Yogyakarta
2. Mengetahui tingkat kemiskinan di
Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta
3. Mencari faktor yang berhubungan dengan
aspek kemiskinan di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta
METODE PENELITIAN Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Teknik pengumpulan data digunakan
kuisioner, wawancara, dan dokumentasi.
Responden penelitian adalah semua populasi, dikenal dengan penelitian sensus, atau sampling
jenuh. Populasi yang ditetapkan dalam
penelitian ini adalah semua keluarga penerima bantuan beras miskin di Dusun Banjarharjo I
dan Banjarharjo II. Hal yang menjadi
pertimbangan dalam pemilihan responden
karena ketersediaan data. Berdasarkan hasil listing dengan masing-masing kepala dusun di Banjarharjo I dan Banjarharjo II, terdapat 71 keluarga yang berada di Banjarharjo I dan 91 keluarga di Banjarharjo II.
Teknis Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan
mengenai karakteristik sosial ekonomi
rumahtangga miskin adalah analisis deskriptif kualitatif, sedangkan teknik analisis untuk menentukan faktor penyebab kemiskinan adalah analisis inferensial dengan korelasi.
a. Karakteristik Penduduk Miskin
. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
analisis inferensial. Analisis deskriptif
digunakan untuk menjelaskan tingkat
kemiskinan di Dusun Banjarharjo I dan Dusun Banjarharjo II. Analisis yang digunakan adalah analisis frekuensi dan tabulasi silang. . Analisis ini menggunakan SPSS 20. Hasil dari analisis primer akan diperkuat dengan data sekunder
hasil pengumpulan data publik yang
dikumpulkan, hasil dokumentasi berupa foto, ataupun pernyataan narasumber yang akan memperkuat analisis peneliti.
b. Tingkat Kemiskinan dan Faktor yang
Berpengaruh
Tingkat kemiskinan menggunakan
analisis frekuensi dan tabulasi silang, sedangkan korelasi yang digunakan adalah non-parametrik Kendall Tau. Hal ini dikarenakan uji normalitas tidak terpenuhi, maka uji korelasi yang dipakai adalah uji korelasi Spearman atau Kendall Tau. Penelitian ini menggunakan Uji Kendall Tau
karena data yang diperoleh tidak terdistribusi normal. Pemilihan uji kendall tau didasarkan pada korelasi kendall tau lebih dapat diandalkan
karena distribusi lebih cepat mendekati
distribusi normal, dan korelasi kendall tau dapat
menjadi penduga parameter populasinya
sehingga banyak digunakan dalam penelitian Alur penelitian mengenai karakteristik sosial ekonomi rumahtangga miskin dan faktor penyebab kemiskinan di Kecamatan Dlingo disajikan dalam diagram alir penelitian pada Gambar 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Penduduk Miskin 1. Karakteristik Demografi
Penduduk usia miskin di kedua dusun
paling banyak di prime age atau usia menengah
di usia produktif (35 tahun hingga 54 tahun) yaitu 86 responden (53,09 %), sedangkan kepala keluarga memasuki usia tua (60 hingga 64 tahun) dan usia tua (> 65 tahun) hanya 28,4 %. Hal ini menunjukan bahwa kepala rumahtangga memiliki kemampuan fisik yang lebih baik, terutama dalam pekerjaan yang membutuhkan tenaga kasar seperti buruh bangunan, atau buruh tani. Kepala keluarga dengan umur tua dianggap masih mampu melakukan kegiatan yang bersifat ringan dengan jam kerja yang sedikit (Tabel 3)
Tabel 3. Jumlah KK Menurut Umur
Dusun Banjarharjo I memiliki rata-rata anggota rumahtangga 3 orang. Kepala keluarga yang tidak memiliki anggota rumahtangga dan memiliki hanya satu anggota rumahtangga berjumlah 13 kepala rumahtangga, kepala keluarga yang memiliki jumlah anggota
rumahtangga antara 2 – 3 orang adalah 45
kepala rumahtangga, sedangkan yang memiliki jumlah anggota rumahtangga 4 hingga 6 orang adalah 13 kepala rumahtangga (Gambar 3). Dusun Banjarharjo I sudah mengikuti program
Keluarga Berencana, sebab anggota
rumahtangga paling banyak didominasi antara 2 – 3. Jika diasumsikan dalam keluarga tersebut pasangan kepala keluarga masih hidup, maka jumlah kepemilikan anak hanya satu atau paling
banyak dua orang. Jumlah anggota
rumahtangga dengan kelompok ≤ 1 anggota, adalah yang perlu diperhatikan.
Gambar 3 Jumlah Anggota Rumahtangga di Daerah Penelitian
Sumber : Data Primer, 2015 2. Karakteristik Pendidikan dalam
Keluarga
Kualitas pendidikan di Banjarharjo I
tergolong kurang baik. Kepala keluarga
memiliki persentase tidak lulus sekolah dasar sebanyak 47,89 % atau sekitar 34 orang. Kondisi pendidikan pasangan rumahtangga atau istri memiliki tingkat yang lebih baik yaitu 38 % telah lulus sekolah dasar, meskipun 32 %
pasangan rumahtangga belum mampu
mengentaskan pendidikan sekolah dasar. Jika diperbandingkan dengan tingkat pendidikan anak dari masing-masing keluarga rawan miskin dan miskin, menunjukan bahwa pendidikan anak keluarga miskin sudah lebih baik jumlah lulusan sekolah menengah pertama dan menengah atas sudah lebih banyak jika dibandingkan orang tua mereka. Sebagian besar anak atau sekitar 47,89 % memang lulusan sekolah dasar, namun data tersebut hanya menunjukan status pendidikan terakhir anak, sehingga memerlukan data-data pada tahun selanjutnya jika ingin melihat
perkembangan pendidikan anak keluarga
miskin.
Tingkat pendidikan keluarga miskin di
Banjarharjo II sudah lebih baik jika
dibandingkan dengan Dusun Banjarharjo I. Sebagian besar (45,05 %) kepala keluarga telah berhasil mengentaskan pendidikan sekolah dasar, meskipun 34,07 % masih belum mampu
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.
Kondisi pendidikan pasangan keluarga atau istri sebagian besar (50%) adalah tamatan sekolah dasar. Namun 26 % sisanya tidak menyelesaikan
KK* % Pasangan KK* % Anak ** % KK* % Pasangan KK* % Anak ** % Tidak sekolah 34 47,89 19 32 0 0 31 34,07 21 26 0 0 SD 19 26,76 23 38 34 47,89 41 45,05 41 50 59 52,21 SM P 15 21,13 16 27 27 38,03 17 18,68 17 21 40 35,4 SM A 3 4,225 2 3 10 14,08 2 2,198 3 4 14 12,39 Total 71 100 60 100 71 100 91 100 82 100 113 100 Jenjang Pendidikan Banjarharjo I Banjarharjo II Keterangan :
* Data Primer, 2015 ** Data BKKBN Kecamatan Dlingo, 2015
n % n %
0-1 35 49,30 33 36,26
2-3 35 49,30 53 58,24
>3 1 1,41 5 5,49
Total 71 100,00 91 100,00
Sumber : Data Primer, 2015 ART yang
bekerja
Banjarharjo I Banjarharjo II
Pertanian % Jasa % Industri % Total
Banjarharjo I 19 26,76 37 52,11 15 21,13 71
Banjarharjo II 20 21,98 51 56,04 20 21,98 91
Sumber: Data Primer, 2015
Lapangan Pekerjaan Utama
sekolah dasar. Pendidikan pasangan
rumahtangga di dusun ini lebih baik jika dibandingkan dengan Dusun Banjarharjo I, karena 21% % pasangan rumahtangga telah tidak mampu menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama. Pendidikan anak dari keluarga miskin sudah lebih baik daripada orangtua mereka. Sebanyak 52,21 % anak sudah lulus dari sekolah dasar, dan 35,4 anak telah
mampu menyelesaikan sekolah menengah
pertama, bahkan terdapat 12,39 % yang telah lulus sekolah menengah pertama.
Tabel 4 Jumlah KK, Pasangan, dan Anak berdasarkan jenjang pendidikan terakhir
3. Karakteristik Ekonomi
Dusun Banjarharjo I memiliki jumlah keluarga dengan anggota rumahtangga bekerja paling banyak pada kelompok hanya satu atau bahkan tidak memperkerjakan anggota sama
sekali dan kelompok dengan anggota
rumahtangga yang bekerja antara 2 hingga 3 orang yaitu 49,30 %. Jika dibandingkan dengan Dusun Banjarharjo II, hampir setengah dari seluruh keluarga miskin (58,24 %) memiliki setidaknya 2 hingga 3 orang yang bekerja (Tabel 5). Istri dengan kondisi tubuh yang masih kuat akan membantu bekerja sebagai buruh tani dan penganyam bambu; anak laki-laki dengan umur > 15 akan bekerja sebagai buruh tani, dan buruh tukang; sedangkan anak perempuan membuat kerajinan dengan upah terpisah dari pasangan kepala rumahtangga.
Tabel 5 Jumlah dan Presentase ART yang bekerja
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pasangan kepala rumahtangga adalah industri
rumahan, yaitu membuat tampah atau kerajinan bambu. Dusun Banjarharjo I sebanyak 41 orang (57,75 %) bekerja di sektor industri, sedangkan di Dusun Banjarharjo II sebanyak 68 orang (74,73 %). Hanya seperempat dari pasangan kepala rumahtangga yang tidak bekerja (28,17 % terdapat di Dusun Banjarharjo I dan 16,48 %
terdapati di Dusun Banjarharjo II).
Kemungkinan istri telah meninggal, atau telah berusia lanjut sehingga dari segi tubuh sudah tidak mampu bekerja (Tabel 6).
Tabel 6 Jumlah dan presentase Pasangan Rumahtangga berdasarkan Jenis Pekerjaan
Kepala rumahtangga di Banjarharjo I cenderung lebih banyak yang bekerja di sektor jasa (52,11 %), sebanyak 37 orang. Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian adalah 19 orang (26,67 %), dan sektor industri sebanyak 15 orang (21,13 %) (Tabel 7). Sektor jasa terserap di baik di lapangan pekerjaan formal dan informal. Masyarakat yang bekerja di sektor formal berprofesi sebagai buruh baik di pabrik, tenaga pembantu di instansi pemerintah dan
pendidikan seperti kantor kepala desa,
puskesmas, SD, dan SMP). Sektor jasa informal adalah buruh, baik tani dan buruh bangunan. Pekerjaan sebagai seorang buruh, artinya masyarakat melakukan diversifikasi pekerjaan agar penghasilan keluarga bertambah.
Tabel 7 Jumlah dan Persentase Lapangan Pekerjaan Utama KK
Aset digunakan sebagai bantalan ekonomi jika suatu keluarga mengalami kejadian yang membutuhkan biaya besar seperti penyakit, atau kegagalan panen. Jika diperbandingkan antara nilai rata-rata kedua dusun, nilai jual tanah di
n % n % Pertanian 1 1,41 1 1,10 Jasa 9 12,68 7 7,69 Industri 41 57,75 68 74,73 Tidak bekerja 20 28,17 15 16,48 Total 71 100,00 91 100,00 Banjarharjo I Banjarharjo II
Sumber : Data Primer, 2015
Jenis Pekerjaan
Banjarharjo I Banjarharjo II
Nilai Jual Tanah 26.626.750 28.752.200
Nilai Jual Tanaman 1.780.400 3.365.800
Nilai Jual Ternak 1.730.600 1.707.600
Nilai Jual Barang Elektronik
dan kendaraan 4.212.300 5.424.450
Nilai Jual Emas 214.577 150.000
Jumlah Tabungan 436.619 84.600
Jenis Aset Ekonomi Dusun (Rp)
Sumber : Data Primer, 2015
0 -25 26,1 -50 50,1-75 75,1 -100
Banjarharjo I 3 8 36 24 71
Banjarharjo II 3 3 53 32 91
Total
Sumber : Data Primer, 2015
Proporsi Pangan (%)
Banjarharjo II lebih tinggi daripada Banjarharjo I (Tabel 8). Nilai aset tanaman yang paling banyak dimiliki keluarga di Banjarharjo II memiliki nilai jual hampir dua kali nilai aset tanaman di Banjarharjo I. Aset tabungan dan emas yang dimiliki rumahtangga di Banjarharjo II lebih rendah. Bentuk investasi masyarakat tidaklah berupa simpanan di bank ataupun emas, tetapi lebih ke tanaman berharga.
Tabel 8 Nilai Jual Aset Ekonomi
TINGKAT KEMISKINAN DAN FAKTOR YANG BERPENGARUH
1. Tingkat Kemiskinan
Rumahtangga miskin di daerah penelitian terserap di sektor informal. Karakteristik mata pencaharian di sektor informal adalah waktu, kesempatan, dan penghasilan cenderung tidak tetap. Oleh karena itu, pengeluaran untuk
konsumsi diprioritaskan untuk kegiatan
konsumsi pangan (> 50%). Konsumsi pangan masih menjadi fokus alokasi pengeluaran baik di Dusun Banjarharjo I dan Banjarharjo II.
Rumahtangga di Banjarharjo I rata-rata mengeluarkan biaya untuk pangan sebesar 67,31 % dari total pengeluaran keluarga. Dari hasil wawancara, 36 orang mengeluarkan pangan pada rentang 50,1 hingga 75 %. Pada tingkat
kemiskinan kronis, sebanyak 24 orang
mengeluarkan 75,1 hingga 100 pengeluaran hanya untuk makan (Tabel 9). Kepala keluarga yang mengeluarkan 100 % pengeluaran hanya untuk pangan adalah kepala keluarga yang
berumur tua. Mereka hidup dengan
mengandalkan remitan dari anak atau pemberian dari tetangga. Kebutuhan pangan dibeli dan
diambil dari ladang pertanian. Sebagian
masyarakat berprofesi sebagai buruh tani dengan
sistem pembayaran adalah bagi hasil beras. Hal ini dituturkan salah satu responden yang T (40 tahun) berprofesi sebagai buruh petani.
1 “Kalau buruh tani di sini mas Kami buruh dengan sistem paro. Yang punya lahan memperkerjakan beberapa orang, nanti kalau panen kami membagi hasil
padinya. Biasanya pemilik dapat
setengah, sedangkan buruh dibagi rata sesuai jumlah yang bekerja. Sesuai
kesepakatan awal” (Dusun Banjarharjo II,
Rumahtangga di Banjarharjo II
mengeluarkan biaya rata-rata hampir sama dengan Banjarharjo I, yaitu 68 % dari total
pengeluargan keluarga. Berdasarkan hasil
wawancara, proporsi pangan paling banyak dikeluarkan adalah pada rentang 50,1 hingga 75 % sebanyak 53 keluarga. Tingkat paling kronis, sebanyak 32 orang mengeluarkan proporsi
pangan sebanyak 75,1 hingga 100 %.
Kebanyakan warga yang mengeluarkan pangan 100% dari pengeluaran di kedua dusun adalah kepala keluarga yang berumur sudah tua (>70%). Anak-anak dari kepala keluarga tersebut sudah memiliki keluarga dan tinggal hanya didekat dari rumah kepala keluarga tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu responden S (70 tahun) :
Tabel 9 Persentase Proporsi Pangan Keluarga
2. Faktor yang Berpengaruh
a. Sumberdaya Manusia yang Rendah
Hubungan antara kemiskinan dan umur kepala rumahtangga memiliki nilai 0,181 (Tabel 11). Tingkat kemiskinan akan semakin tinggi apabila umur kepala rumahtangga juga semakin tua. Umur kepala rumahtangga berhubungan dengan kemampuan produktivitas dalam hal pekerjaan. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan struktur umur di kedua dusun. Dusun Banjarharjo I memiliki struktur umur kepala rumahtangga tua yaitu > 65 tahun sebanyak 22,54 % dari penduduk miskin total. Kepala rumahtangga di Dusun Banjarharjo II memiliki usia produktif antara umur 35 hingga 65 tahun (Tabel 10).
≤ 1 % 2-3 % 4 - 6 %
Banjarharjo I 13 18,3 45 63,4 13 18,3 71
Banjarharjo II 6 6,6 59 64,8 26 28,6 91
Sumber : Data Primer, 2015
Total Jumlah Anggota Rumahtangga
Tabel 10 Jumlah Penduduk Menurut Umur Dusun Banjarharjo I Dusun Banjarharjo I Jumlah % Jumlah % ≤ 34 5 7,04 9 9,89 35 - 39 7 9,86 14 15,38 40 -44 12 16,90 11 12,09 45-49 10 14,08 11 12,09 50-54 6 8,45 14 15,38 55-59 7 9,86 9 9,89 60-65 8 11,27 13 14,29 >65 16 22,54 10 10,99 Total 71 100 91 100
Sumber : Data Primer, 2015
Kepala keluarga miskin di Dusun
Banjarharjo II relatif mampu keluar dari kemiskinan sebab dari segi fisik lebih kuat. Jenis pekerjaan utama kepala rumahtangga di kedua dusun paling besar terserap ke sektor jasa (52,1 % untuk Banjarharjo I, dan 56,04 % untuk Banjarharjo II). Pekerjaan yang paling sering dilakukan adalah buruh baik buruh tani maupun
buruh bangunan. Kedua pekerjaan ini
membutuhkan tenaga otot. Jika dikaitkan dengan umur kepala rumahtangga, maka Dusun Banjarharjo I lebih tidak berdaya dan mendapatkan upah yang relatif lebih rendah untuk sebagian besar kepala rumahtangga yang berusia tua. Kepala rumahtangga usia tua cenderung berdiam diri di rumah. Hal ini akan terjadi di Dusun Banjarharjo II pada 5 hingga 10 tahun yang akan datang. Dusun Banjarharjo II akan mengalami peningkatan rasio beban ketergantungan sekitar 5 hingga 10 tahun lagi sebab penambahan kelompok umur 60 hingga 65 menjadikan penduduk tua akan jauh lebih tinggi daripada Dusun Banjarharjo I, jika tidak ada kematian yang terjadi untuk kelompok umur ini.
Tabel 11 Korelasi Umur KK dengan Tingkat Kemiskinan
b. Jumlah Anggota Rumahtangga
Kemiskinan di daerah penelitian disebabkan oleh jumlah anggota rumahtangga. Berdasarkan uji dengan Kendal Tau, nilai korelasi – 0,166
maka tingkat kemiskinan rumahtangga
dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga (Tabel 12). Jumlah anggota rumahtangga di daerah penelitian bukan berarti tanggungan, melainkan salah satu strategi bertahan hidup masyarakat dengan cara pelibatan anggota rumahtangga untuk meningkatkan pendapatan.
Tabel 12 Korelasi Jumlah ART dengan Tingkat Kemiskinan
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar kepala keluarga tinggal bersama 2 hingga 3 anggota rumahtangga (Tabel 13). Jika diasumsikan setiap anggota rumahtangga adalah satu pasangan kepala rumahtangga dan anak dari kepala rumahtangga, maka program KB di Kecamatan Dlingo tergolong berhasil, meskipun di Dusun Banjarharjo II, kepemilikan anggota rumahtangga antara 4 hingga 6 orang masih tinggi (28,6 %). Kelompok jumlah anggota rumahtangga ≤ 1 di Dusun Banjarharjo I memiliki nilai lebih tinggi dari Banjarharjo II yaitu 13 orang atau 18,3 %.
Tabel 13 Jumlah Anggota Rumahtangga
c. Kepemilikan Aset Ternak yang Rendah Bagi Keluarga Miskin
Kepemilikan ternak di daerah penelitian
memiliki korelasi dengan kemiskinan.
Berdasarkan uji dengan Kendall Tau, nilai hubungan keduanya adalah -0,147 yang artinya rumahtangga miskin hanya memiliki sedikit hewan ternak. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga miskin yang memiliki ternak, besar aset yang paling banyak dimiliki di kedua dusun berbeda (Tabel 14).
N % N % 0 36 50,7 47 51,6 10.000 - 500.000 6 8,5 19 20,9 600.000 - 1.500.000 11 15,5 7 7,7 1.600.000 - 5.000.000 10 14,1 5 5,5 5.000.000 - 10.000.000 5 7,0 10 11,0 > 10.500.000 3 4,2 3 3,3 Total 71 100,0 91 100,0 Banjarharjo I Banjarharjo II Besar Aset Ternak
Sumber : Data Primer, 2015
Tabel 14 Korelasi antara Tingkat Kemiskinan dengan Hewan
Ternak
Kepemilikan aset ternak terbesar di Dusun Banjarharjo I adalah antara Rp 600.000,00 hingga Rp 1.500.000,00 sebanyak 11 kepala rumahtangga. Ternak yang dimiliki adalah anak kambing hingga kambing dewasa. Harga anak kambing antara Rp 600.000 hingga Rp 700.000 sedangkan kambing jantan dewasa adalah Rp 800.000 dan kambing betina dewasa adalah Rp 1.000.000. Kepemilikan aset terbesar kedua sebanyak 10 orang dengan besar aset antara Rp 1.600.000,00 hingga Rp. 5.000.000,00. Aset yang dimiliki antara kambing dewasa hingga anakan sapi. Harga anak sapi berkisar antara Rp 3.000.000 hingga Rp. 5.500.000. Dusun Banjarharjo II memiliki pola yang berbeda, terdapat 19 orang yang hanya memiliki aset ternak antara Rp 10.000 hingga Rp. 500.000. Aset yang dimiliki adalah unggas seperti ayam dan bebek. Sedangkan terdapat 10 keluarga yang memiliki aset Rp 5.000.000 hingga Rp 10.000.000 (Tabel 15).
Tabel 15 Jumlah dan Persentase Kepemilikan Aset Ternak
d. Kepemilikan Aset Barang Elektronik dan Kendaraan yang Rendah
Masyarakat miskin di daerah penelitian cenderung memiliki aset barang elektronik dan kendaraan yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji Kendall Tau untuk mengukur korelasi antara kemiskinan dan kepemilikan aset barang elektronik dan kendaraan dengan
nilai – 0,329. Nilai ini berarti semakin miskin seseorang memiliki nilai aset yang rendah (Tabel 16).
Tabel 16 Korelasi antara tingkat kemiskinan dan aset elektronik+kendaraan
e. Waktu Tempuh ke Sekolah Dasar Satu Kali Perjalanan
Terdapat korelasi antara kemiskinan dengan waktu tempuh menuju ke sekolah dasar. Berdasarkan hasil uji dengan Kendall Tau, nilai ujinya adalah 0,118. Hal ini berarti kemiskinan di daerah penelitian disebabkan oleh waktu tempuh ke sekolah dasar yang relatif lebih lama (Tabel 17).
Tabel 17 Korelasi Tingkat Kemiskinan dengan Lama Perjalanan ke SD
Sekolah dasar yang terdekat dari Dusun Banjarharjo I dan Banjarharjo II adalah Madrasah Ibditiyah Ma’arif Ngliseng dan SD 2 Banjarharjo. Letak Madrasah Ibditiyah Ma’arif Ngliseng berada di RT 06, Dusun Banjarharjo II. MI Ma’arif berdekatan dengan RT 04 – 06 Dusun Banjarharjo II. Akses menuju ke Madrasah Ibditiyah Ma’arif Ngliseng melewat jalanan yang menurun namun kondisi jalan relatif baik. SD 2 Banjarharjo terletak di RT 01 Dusun Banjarharjo II. Letaknya berada dekat dengan RT 01 – 03 Dusun Banjarharjo II, dan Dusun Banjarharjo I. Kondisi jalan relatif bergelombang, dengan kondisi kualitas jalan yang kurang baik karena berlubang, dan sebagian jalan lain yang mengelupas. Hal ini menunjukan bahwa kondisi infrastruktur jalan yang semakin baik, maka akan berdampak
terhadap aksesibilitas ke prasarana pendidikan karena efisiensi waktu yang semakin baik (Gambar 5.5).
Akses menuju MI Ma’arif Ngliseng harus melewati jalanan menurun dengan relief miring dengan kelas > 30% (Permana, 2014) (Gambar 4.9.A). Sistem pengaspalan adalah makadam dengan penetrasi, sehingga kualitas jalan tergolong baik dan halus (Gambar 7). Jalanan ini adalah satu-satunya jalan penghubung baik masuk ataupun keluar dari RT 04 – 06, Dusun Banjarharjo II, sehingga banyak warga yang melintasi jalan ini. Sekolah ini biasanya diakses
oleh murid yang berasal dari RT 04 – 06 karena
adanya program bantuan dari pemerintah yaitu membebaskan biaya SPP dan gedung sekolah, serta memberikan uang saku sebesar Rp 200.000,00 untuk murid yang berasal dari keluarga miskin. Jika dilihat dari akses Dusun Banjarharjo II (khususnya RT 04 – 06) menuju ke sekolah dasar lebih sulit karena terkendala faktor kemiringan jalan, meskipun sekolah tersebut gratis. Hal ini diterangkan salah satu responden KR (36 tahun) :
“ Alhamdulillah masuk sekolah mudah mas. Tidak bayar uang masuk, SPP, dan gedung soalnya sudah dibayar oleh pemerintah. Malah anak saya diberi uang saku Rp 200.000,00 untuk beli keperluan sekolah seperti sepatu, tas pas dulu kelas 1” (Banjarharjo II, 15 Juli, 2015)
Gambar 4. Kondisi Kemiringan Jalan Curam pada Jalan Penghubung A
menuju MI Ma’arif
(Foto : Darmansyah. 2015)
Akses menuju ke Sekolah Dasar Negeri 2 Banjarharjo dapat melewati jalur B atau C (Gambar 5). Jalur B biasanya dilewati oleh
masyarakat dari RT 01 – 03 Dusun Banjarharjo
II, sedangkan jaluar C digunakan untuk sebagian RT 01 Banjarharjo II dan Dusun Banjarharjo I. Kondisi jalur B relatif datar, namun kondisi jalan penghubung berlubang dan mengelupas
(Gambar 5). Warga yang melintasi jalan ini diharuskan untuk pelan agar motor atau sepeda yang dikendarai tidak masuk ke lubang. Jalan ini adalah jalan penghubung antar RT sehingga tidak terlalu ramai dilintasi warga. Hal ini menunjukan bahwa akses jalan Banjarharjo II
(RT 02 – 03) relative terhambat karena kualitas
jalan yang rusak. Jalur C relatif bergelombang dengan kualitas jalan tergolong baik. Tipe jalan adalah tipe macadam dengan penetrasi. Jalan ini tergolong cukup ramai karena jalan penghubung antar dusun (Gambar 6).
Gambar 5 Jalan Penghubung B menuju SD N 2 Banjarharjo
(Foto : Darmansyah. 2015)
Gambar 6 Jalan Penghubung C menuju ke SD N 2 Banjarharjo
Gambar 7 Letak D dan Sarana Jalan Menuju Lokasi SD
(Sumber : Data Primer, Peta RBI, dan Citra Google Earth, 2015
KESIMPULAN
1. Struktur usia kepala rumahtangga di daerah
penelitian memiliki umur pada kelompok
prime age sebesar 53,09 % dengan jumlah
anggota rumahtangga yang biasanya
dimiliki oleh kepala rumahtangga adalah 2
hingga 3 orang. Sebagian besar
rumahtangga miskin memperkerjakan 2-3 anggota keluarganya. Tingkat pendidikan kepala keluarga tergolong rendah (< SD) sehingga, mata pencaharian utama kepala keluarga di daerah penelitian yang banyak dipilih adalah sektor jasa informal untuk
kepala keluarga, dan industri untuk
pasangan kepala keluarga. Aset yang
dimiliki keluarga miskin di Dusun
Banjarharjo I untuk tanah, barang elektronik dan kendaraan relatif lebih rendah, aset tanaman yang dimiliki lebih ke tanaman produksi buah, aset investasi meliputi emas dan tabungan lebih tinggi daripada Dusun Banjarharjo II.
2. Tingkat kemiskinan di daerah penelitian
tergolong parah (pola konsumsi antara 50,1
– 75 % dari total pengeluaran). Kemiskinan
di daerah penelitian berhubungan dengan rendahnya sumberdaya manusia; jumlah anggota rumahtangga miskin yang sedikit;
kepemilikan aset ternak dan barang
elektronik serta kendaraan yang sedikit; dan waktu tempuh menuju lokasi sekolah dasar yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, R. 1983. Rural Development :
Putting the Last First. Great Birtain :
Bulter & Tanner Ltd, Former and London.
Hadad, I. 2003. Pengentasan Kemiskinan dalam
Pembangunan Berkelanjutan dan
Perubahan Produksi yang Ramah
Lingkungan. Seminar dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional ke-VIII tanggal 14-18 Juli 2003. Dipublikasikan Permana, A. 2014. Mitigasi Bencana dengan
Pemetaan Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Salim, S. A., Harun, Ismet B., dan Napitupulu,
E. P. 2010. Mengusik Tata
Penyelenggaraan Lingkungan Hidup dan
Permukiman. Bandung : Kelompok
Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB.
Suyanto, Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan
dan Strategi Penanganannya. Malang: