• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unnes Journal of Life Science

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Unnes Journal of Life Science"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

47

Unnes J Life Sci 3 (1) (2014)

Unnes Journal of Life Science

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/UnnesJLifeSci

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR

KUALITAS PERAIRAN DI EKOSISTEM MANGROVE WILAYAH TAPAK

KELURAHAN TUGUREJO KOTA SEMARANG

Jamaludin Afif

, Sri Ngabekti, Tyas Agung Pribadi

Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel

________________ Sejarah Artikel: Diterima Desember 2013 Disetujui Februari 2014 Dipublikasikan Mei 2014 Keywords: Diversity Makrozoobenthos Tapak Mangrove ecosystem

____________________

Abstrak

___________________________________________________________________

Kota Semarang memiliki Ekosistem Mangrove yang terletak di Tapak Tugurejo. Ekosistem ini dikelilingi oleh berbagai industri dan kemungkinan besar membuang limbahnya ke lingkungan. Hal ini dapat berdampak pada keanekaragaman makhluk hidup di dalam perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan. Metode purposive sampling digunakan untuk menentukan 9 stasiun pengumpulan sampel. Sampel diambil sebanyak 3 kali dengan selang waktu 2 minggu. Data kemudian dianalisis menggunakan Indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi. Hasil penelitian menemukan 15 spesies makrozoobentos, yang didominasi oleh Cerithidea cingulata. Nilai Indeks Keanekaragaman pada ekosistem mangrove rendah (0,86). Kualitas perairan di ekosistem mangrove termasuk dalam kriteria mutu air kelas II.

Abstract

___________________________________________________________________

Semarang has mangrove ecosystem in the areal of Tapak Tugurejo. The ecosystem is surrounded by various industries and most probably these plants discharge the sewage to the environment. This might impact on the living creatures in the water. The research was aimed to investigate makrozoobenthos diversity as the indicators water quality. The purposive sampling was used to select 9 stations to collect the samples. The samples were taken three times with the interval of two weeks. Data were analyzed for the diversity index, evenness index, and dominance index. Result find that there were 15 species of macrozoobenthos, Cerithidea cingulata is dominated. The diversity index in mangrove ecosistem is low (0,86). The water quality in mangrove ecosystem include in criteria water quality class II.

© 2014 Universitas Negeri Semarang  Alamat korespondensi:

Gedung D6 Lt.1, Jl. Raya Sekaran, Gunungpati, Semarang, Indonesia 50229 E-mail: [email protected]

(2)

J Afif dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)

48

PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove merupakan kawasan yang unik karena terletak di daerah muara sungai atau pada kawasan estuaria. Pada ekosistem mangrove terdapat kehidupan berbagai jenis hewan yang hidupnya bergantung pada mangrove. Menurut Dahuri (2003) ekosistem mangrove memiliki fungsi penting dalam perikanan laut, yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), asuhan (nursery

ground) pembesaran atau mencari makan (feeding ground). Kawasan pesisir dan laut Kota

Semarang dengan panjang pantai mencapai 21,6 Km tercatat 279 gugusan mangrove dengan rerata luas 0,3 hektare dan luas kelompok maksimum mencapai 8,52 hektare (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang 2010). Salah satu ekosistem mangrove terletak di Tapak Tugurejo Kota Semarang.

Mata pencaharian utama penduduk Tapak sebagian besar adalah nelayan dan petani tambak. Ikan bandeng merupakan jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan petani tambak. Selain itu beberapa petani juga melakukan budidaya udang dan ikan nila (Bintari 2011). Kondisi wilayahnya didukung ekosistem mangrove yang menjadi daerah penyangga bagi ekosistem di sekitarnya, terutama ekosistem di areal tambak. Perekonomian warga sangat tergantung pada pertambakan. Kawasan ini memiliki jenis mangrove yang beragam, antara lain adalah

Avicennia marina, Rhizopora Apiculata dan Rhizophora mucronata.

Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini mengakibatkan semakin meningkatnya kegiatan industri di Indonesia. Dari kegiatan industri selain memberikan dampak positif, juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif ini kebanyakan berkaitan dengan aspek lingkungan, yaitu pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat polusi dan limbah yang dihasilkan industri. Di kawasan Tugu

terdapat banyak pabrik, diantaranya adalah pabrik pengepakan ikan, pabrik sabun, pabrik makanan, penyablonan gelas, dan pabrik mebel. Diduga dari pabrik–pabrik tersebut membuang limbahnya ke sungai baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi ekosistem mangrove yang aliran sungainya mengalir menelusuri sekitar area ekosistem mangrove. Selain mempengaruhi kualitas sungai, limbah-limbah tersebut dapat mempengaruhi keberadaan organisme yang hidup di ekositem mangrove.

Pada bagian dasar atau substrat mangrove dihuni oleh berbagai macam organisme, salah satunya adalah bentos. Makrozoobentos berperan aktif dalam proses penguraian bahan organik terutama dalam biodegradasi sisa-sisa tanaman mangrove dan logam berat pencemar lingkungan (Setiawan 2010). Makrozoobentos juga memiliki peranan penting dalam siklus nutrien di dasar perairan dan juga berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus alga plantonik sampai konsumen tingkat tinggi. Keberadaan makrozoobentos dapat dijadikan indikator kualitas perairan, jadi makrozoobentos merupakan bioindikator untuk mendeteksi baik atau tidaknya kualitas lingkungan suatu perairan (Odum 2003).

Berdasarkan hal di atas dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dan mengetahui kualitas perairan kawasan ekosistem mangrove wilayah Tapak Tugurejo Kota Semarang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah ekosistem perairan mangrove Tapak Tugurejo pada bulan Februari-Maret 2013 (musim penghujan). Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling yaitu berdasarkan pertimbangan terwakilinya

(3)

J Afif dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)

49

gambaran keseluruhan ekosistem. Pengambilan sampel dibagi menjadi 9 stasiun yang berbeda dengan teknik pengambilan komposit. Substrat berikut makrozoobentos dikeruk kemudian ditumpahkan ke dalam ember yang berukuran 1 liter. Substrat yang didapat disaring menggunakan saringan berukuran 1 mm. Makrozoobentos yang telah disortir dari substrat selanjutnya dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 70% dan dilabeli. Makrozoobentos diidentifikasi dan dihitung jumlah dan jenis individu di Laboratorium Biologi UNNES. Waktu pengambilan sampel sebanyak 3x dengan selang waktu 2 minggu. Data makrozoobentos dianalisis indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’), indeks kemerataan/ Evenness (e) (Fachrul 2007), dan indeks dominasi (D) (Odum 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perhitungan indeks keanekaragaman, kemerataan jenis dan indeks dominansi per stasiun penelitian pada 3x pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.. Nilai H’, e dan D makrozoobentos di

seluruh wilayah ekosistem mangrove.

No Stasiun penelitian individu ∑ ∑ spesies H’ e D

1 I 1 1 0 0 0 2 II 2 1 0 0 0 3 III 35 6 0,54 0,7 0,37 4 IV 82 6 0,67 0,86 0,26 5 V 17 8 0,68 0,31 0,76 6 VI 14 4 0,53 0,88 0,33 7 VII 27 6 0,64 0,82 0,28 8 VIII 4 2 0,24 0,81 0,62 9 IX 10 4 0,57 0,94 0,28 10 Total 192 15 0,86 0,73 0,2

Keterangan : H’: Indeks keanekaragaman, e: indeks kemerataan, D: indeks dominansi

Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) makrozoobentos secara total sebesar 0,86 (kategori rendah). Rendahnya

nilai H’ dikarenakan keberadaan pabrik di sekitar hulu Sungai Tapak yang diduga membuang limbahnya ke dalam sungai, sehingga perairan ekosistem mangrove tercemar. Taqwa (2010) menyatakan bahwa suatu perairan estuaria yang tercemar karena ulah manusia akan berakibat rendahnya nilai keanekaragaman jenis organisme air. Faktor lain yang diduga mempengaruhi rendahnya indeks keanekaragaman menurut Wijayanti (2007) diantaranya adalah substrat dasar, DO dan kandungan BOD.

Nilai indeks keanekaragaman (H’) per stasiun penelitian di ekosistem Mangrove wilayah Tapak berkisar antara 0 - 0,68 (Tabel 1). Fachrul (2007) menyatakan nilai keanekaragaman di bawah 1 termasuk rendah. Rendahnya nilai keanekaragaman dikarenakan keberadaan pabrik di sekitar hulu Sungai Tapak yang diduga membuang limbahnya ke dalam sungai, sehingga perairan ekosistem mangrove tercemar.

Stasiun penelitian I dan II nilai indeks keanekaragamannya terendah (Tabel 1). Hal ini dikarenakan saat pengambilan sampel pada minggu pertama, kondisi fisik perairan berubah karena banjir. Selain hal itu, stasiun I dan II terletak berdekatan dengan pabrik, dan diduga pabrik membuang limbahnya ke perairan stasiun penelitian. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun I dan II ini dapat dipengaruhi oleh rendahnya nilai DO yaitu berkisar antara 4,23–4,77 mg/L (Tabel 3).

Indeks keanekaragaman di stasiun III-IX (Tabel 1) berkisar antara 0,24 (Stasiun VIII) sampai 0,68 (Stasiun V). Rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada Stasiun VIII dipengaruhi oleh keberadaan mangrove yang relatif sedikit pada sekitar area stasiun tersebut. Sedikitnya mangrove yang terdapat di stasiun VIII berpengaruh pada sedikitnya serasah yang ada, sehingga makrozoobentos jumlahnya tidak banyak.

(4)

J Afif dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)

50

Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun V (Tabel 1) merupakan yang tertinggi dari seluruh stasiun penelitian (0,68). Stasiun penelitian V merupakan muara sungai, Wijayanti (2007) berpendapat tingginya nilai indeks keanekaragaman pada muara sungai dapat diduga karena terjadi proses pemulihan ekosistem mangrove dari masukan limbah industri di sekitar ekosistem mangrove. Selain hal tersebut beberapa spesies yang ditemukan pada stasiun V merupakan spesies yang menghuni lautan.

Tabel hasil pengamatan pertama menunjukkan nilai indeks keanekaragaman pada stasiun penelitian III, IV, VI, VII dan IX yang hampir seragam. Pada masing masing stasiun penelitian tersebut memiliki kondisi mangrove yang cenderung rimbun. Rimbunnya kondisi mangrove menunjukkan ekosistem tersebut memiliki kandungan organik yang tinggi. Hal ini diperoleh dari proses dekomposisi serasahan yang melibatkan makrozoobentos dan organisme kecil (bakteri, protozoa dan lainnya).

Hendrasari (2003) menyatakan makrozoobentos memanfaatkan serasah (daun-daun) dari mangrove yang banyak mengandung unsur hara dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu makrozoobentos juga berperan penting mempercepat proses dekomposisi serasah yang menghasilkan hara untuk pertumbuhan dan perkembangan mangrove (Wibisono 2005).

Dari keseluruhan data yang didapatkan, spesies yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah Cerithidea cingulata dari kelas Gastropoda (Tabel 3), yang ditemukan pada stasiun III, IV, VI, VII, dan IX. Jumlah total yang ditemukan sebanyak 72 individu. Spesies ini dapat digunakan sebagai spesies bioindikator. Menurut Yusuf dan Gentur (2004) spesies Cerithidea cingulata memiliki pola perkembangbiakan yang sangat tinggi, dan hidupnya berkelompok dalam jumlah yang besar. Yusuf dan Gentur (2004) juga

menyatakan spesies Cerithidea cingulata memiliki ekosistem perairan payau atau sekitar tambak dan daerah muara sungai. Sebaran spesies

Cerithidea cingulata mencakup keseluruhan dari

ekosistem mangrove yang rimbun.

Wardhana (1995) menyatakan bahwa gastropoda bersifat mobile (memiliki kemampuan untuk berpindah tempat). Hal ini dapat mengindikasikan dengan terdapatnya spesies

Cerithidea cingulata pada hampir seluruh stasiun

penelitian, menunjukkan bahwa kondisi ekosistem mangrove dalam keadaan stabil.

Perhitungan indeks keanekaragaman (H’), kemerataan jenis (e), dan indeks dominansi (D) per periode pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari tiga kali periode pengambilan sampel, nilai indeks keanekaragaman spesies tertinggi berkisar antara 0,40-0,86 (Tabel 2). Pada minggu awal pengambilan sampel, jumlah individu yang diperoleh paling sedikit. Hal ini disebabkan oleh banjir yang terjadi di sungai Tapak. Pada periode pengambilan minggu ke 2 dan 3 jumlah individu yang diperoleh cenderung semakin banyak. Menurut Fachrul (2007) bahwa klasifikasi tingkat pencemaran air berdasarkan indeks keanekaragaman < 1 dapat digolongkan dalam perairan yang tercemar berat.

Hasil pengukuran kualitas air pada setiap stasiun penelitian di ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 3. Kondisi faktor lingkungan dari hasil pengukuran lebih tinggi dari kisaran kriteria mutu air kelas II (PP No. 82, 2001). Kandungan oksigen terlarut (DO) lebih tinggi dari kriteria mutu, yakni berkisar antara 4,22– 5,62 mg/L. Tingginya oksigen terlarut dapat dipengaruhi oleh suhu yang stabil dalam stasiun penelitian (31oC – 33oC). Semakin tinggi

kandungan DO pada suatu perairan, semakin berkualitas perairan tersebut, dan sebaliknya (Wardhana 1995).

Kandungan BOD dan COD yang didapatkan sedikit di atas kriteria mutu air kelas II. Kisaran BOD pada penelitian adalah

(5)

3,11-J Afif dkk./Unnes 3,11-Journal of Life Science 3 (1) (2014)

51

5,27 mg/L. Kadar BOD yang sedikit di atas kriteria mutu air kelas II menunjukkan bahwa perairan ekosistem mangrove wilayah Tapak dalam kondisi tercemar. Tingginya kadar BOD diduga karena banyaknya bahan organik pada perairan tersebut. Bahan organik alami dapat berasal dari sisa dekomposisi serasah mangrove, atau berasal dari buangan limbah industri yang terletak disekitar hulu sungai Tapak sehingga mencemari ekosistem mangrove Tapak.

Tabel 2. Nilai H’, e dan D makrozoobentos per

pengambilan sampel.

No Taksa pada pengambilan ke-- Jumlah total individu

1 2 3 Gastropoda 1 Bellamya javanica 0 10 8 2 Cerithidea cingulata 8 26 38 3 Marginella quinqueplicata 3 10 8 4 Murex trapa 0 1 0 5 Nassarius margaritifer 0 0 1 6 Oliva oliva 0 4 5 7 Strombus canarium 0 0 1 8 Telescopium telescopium 2 10 11 9 Vexilla lineate 0 14 9 Bivalvia 10 Arca granulosa 0 5 2 11 Cayatis inflata 0 0 1 12 Hysteroconcha affinis 0 0 1 13 Mytilis viridis 0 0 1 14 Scapharca inaequivalvis 0 1 0 Crustacea 15 Uca demani 0 7 5 ∑ 13 88 91 ∑ Spesies 3 10 13 H' 0,40 0.86 0.83 E 0,27 0.86 0.42 C 0,41 0,15 0.21

Keterangan : Pengambilan sampel pertama tanggal 24 Januari 2013, kedua tanggal 7 Februari 2013, dan ketiga tanggal 28 Februari 2013.

Kadar COD yang didapatkan saat penelitian berkisar 25,13-30,33 mg/L. Sama dengan BOD, tinggi kadar COD yang sedikit di atas kriteria mutu air kelas II pada perairan menunjukkan bahwa perairan tersebut sedikit

tercemar. Tingginya kadar COD dapat disebabkan tingginya aktivitas penguraian oksidasi senyawa organik perairan tersebut. Wardhana (1995) menyatakan, dengan mengukur COD akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik yang diuraikan secara biologis.

Tabel 3. Kualitas air yang diperoleh pada

stasiun penelitian di Ekosistem Mangrove. Faktor Lingkungan Abiotik Kisaran Stasiun I – IX Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas II (PP No. 82/2001) Suhu air (oC) 31-33 - Suhu Substrat (oC) 28-30 - pH air 6-7 6-9 pH substrat 6-8 - DO (mg/L) 4,12-5,62 4 BOD (mg/L) 3,11-5,27 2 COD (mg/L) 25,13-30,33 25 Salinitas (‰) 0-23 -

Substrat dasar Lumpur -

Struktur substrat dasar akan menentukan kemelimpahan dan komposisi jenis hewan makrozoobentos (Barnes 1987). Substrat dasar pada penelitian rata-rata berupa lumpur (Tabel 3), kecuali pada stasiun V yang merupakan muara sungai memiliki substrat dasar berupa lumpur berpasir. Nybakken (1992) menyatakan bahwa substrat dasar yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan fauna atau komunitas makrozoobentos.

Salinitas yang diperoleh berkisar 1-23 ‰. Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal. Salinitas yang tinggi mempengaruhi komposisi ekosistem. Stasiun V memiliki salinitas tertinggi (20-23‰) dibandingkan stasiun lainnya, hal ini dikarenakan stasiun V terletak pada muara sungai yang berbatasan secara langsung dengan

(6)

J Afif dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)

52

laut. Spesies yang ditemukan pada stasiun V merupakan spesies yang hidup pada habitat laut. Dari hasil pengamatan, dapat disimpulkan keanekaragaman jenis makrozoobentos dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia lingkungan perairan. Pada kesembilan stasiun, tampak bahwa faktor lingkungan yang paling berpengaruh adalah jenis substrat dasar, kandungan oksigen terlarut (DO), dan kandungan BOD. Interaksi antar semua komponen ekosistem dalam ekosistem mangrove memungkinkan terjadinya proses daur ulang secara alami terhadap bahan pencemar tidak bernilai menjadi bahan bernilai.

SIMPULAN

Keanekaragaman makrozoobentos di wilayah ekosistem mangrove Tapak Tugurejo Kecamatan Tugu Kota Semarang tergolong rendah. Kualitas perairan di ekosistem mangrove wilayah Tapak Tugurejo Semarang berdasarkan keanekaragaman makrozoobentos termasuk kriteria mutu air kelas II (PP No.28 Tahun 2008, Peraturan Menteri LH RI).

DAFTAR PUSTAKA

Barnes DR. 1987. Invertebrate Zoology. USA : College Publising The Dryden Press.

Bintari. 2011. Kondisi Mangrove Tugurejo. On line at http://www.bintari.org/index.

php/in/lingkup-kerja/konservasi-pesisir /3-kondisi-mangrove-tugurejo [diakses tanggal 23 februari 2012}

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. 2010.

Online at

http://diskanlut-jateng.go.id/index.php/read/budidaya_ ikan/profil [diakses tanggal 23 Februari 2012] Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi.

Jakarta. Bumi Aksara.

Hendrasari N. 2003. Indeks Keanekaragaman Bentos Di Kawasan Mangrove Pantai Probolinggo.

Jurnal Aksial, Majalah Ilmiah Teknik Sipil. 5(2):

62-67.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan

Ekologis. Jakarta : PT Gramedia.

Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ruswahyuni. 2008. Struktur Komunitas

Makrozoobentos Yang Berasosiasi Dengan Lamun Pada Pantai Berpasir Di Jepara. Jurnal

Saintek Perikanan. 3(2): 33-36.

Setiawan D. 2010. Studi Komunitas Makrozoobentos Di Perairan Sungai Musi Sekitar Kawasan Industri Bagian Hilir Kota Palembang.

Prosiding Seminar Nasional Limnologi. 5:

217-228.

Taqwa A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton Dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove Di Kawasan Konservasi Mangrove Dan Bekantan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Tesis) Semarang: Universitas Diponegoro.

Wardhana AW. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offest.

Wibisono WS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: Grasindo.

Wijayanti H. 2007. Kajian kualitas perairan di pantai kota Bandar Lampung berdasarkan komunitas hewan makrobenthos (Tesis). Semarang : Universitas Diponegoro.

Yusuf M & Gentur H. 2004. Dampak Pencemaran Tehadap Kualitas Perairan Dan Strategi Adaptasi Organisme Makrobenthos Di Perairan Pulau Tirangcawang Semarang. Ilmu

Gambar

Tabel 1..  Nilai  H’,  e  dan  D  makrozoobentos  di  seluruh wilayah ekosistem mangrove
Tabel  3.  Kualitas  air  yang  diperoleh  pada   stasiun  penelitian  di  Ekosistem  Mangrove

Referensi

Dokumen terkait

Dalam upaya fungsionalisasi Alquran maka perlu dilakukan pembacaan ayat-ayat eskatologis dengan menggunakan makna tingkat kedua, sehingga deskripsi tentang kiamat,

Pengolahan data mengenai pembahasan masalah-masalah yang terjadi pada scraper conveyor dan hydraulic excavator beserta cara menanggulangi masalah tersebut, adapun

Hal ini hanya merupakan kontruksi teoritis yang dalam realita sebenarnya tidak selalu mengikuti urutan tersebut ( untuk mempermudah pemahaman secara menyeluruh).

Pipa bor terjepit adalah masalah yang serius dan terjadi pada operasi pemboran, pipa bor terjepit akan berpengaruh pada kenaikan estimasi biaya operasional dan mengakibatkan

Fasilitas Edu-wisata Pembudidayaan Mangrove Wonorejo di Surabaya ini merupakan fasilitas yang dibuat dengan mengunakan pendekatan vernakular sehingga menghasilkan

Hasil uji F dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independen, Produksi Tebu Domestik (X1) dan Nilai Tukar (X2) secara bersama-sama berpengaruh secara

Metode AHP membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan didasari dari berbagai

Variabel kemampuan kerja memiliki hubungan yang positif dengan kinerja pegawai Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota