• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN PROJECT

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas Hulu Di Dusun

Sumbersari Desa Tawangargo Kecamatan Karangploso

Kabupaten Malang

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1

KELAS P

ASISTEN : NURLAILI DESY RATNAWATI

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

i

Judul : Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas Hulu Di Dusun Sumbersari Desa Tawangargo Kecamatan

Karangploso Kabupaten Malang Penyusun : Kelompok 1

Kelas : P

Ketua Kelompok : Muhammad Iqmar Noorrahman 165040207111140 Anggota Kelompok : 1. Febi Wulandari 165040201111031

2. Tri Afriliasari 165040201111084

3. Nashiha Fillah Imaniyah 165040201111115 4. Fika Ardlina Fardani 165040201111134

5. Yesi Aprilia 165040201111197

6. Fauzia Nur Huda 165040201111247

7. Muhammad Riant Daffa 165040207111071 8. Srimayanti Br Girsang 165040207111147

(3)

ii DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB II. PENDEKATAN METODE ... 3

2.1 Iventarisasi Sumberdaya Lahan ... 3

2.2 Tingkat Erosi Tanah ... 5

2.3 Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 6

BAB III. KONDISI SUMBERDAYA LAHAN ... 11

3.1 Kondisi Umum DAS Mikro ... 11

3.2 Kemampuan Lahan ... 12

3.3 Erosi ... 15

3.4 Permasalahan Lahan ... 16

BAB IV. PERENCANAAN KONSERVASI ... 18

4.1 Rekomendasi Detail Konservasi ... 18

4.2 Analisis Kelebihan Rekomendasi ... 20

BAB V. KESIMPULAN ... 22

DAFTAR PUSTAKA ... 23

(4)

iii

DAFTAR TABEL

1. Tingkat Bahaya Erosi ... 5

2. Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 12

3. KKL Satuan Peta Lahan 1 ... 13

4. KKL Satuan Peta Lahan 2 ... 13

5. KKL Satuan Peta Lahan 3 ... 14

(5)

iv

DAFTAR GAMBAR

(6)

v

DAFTAR LAMPIRAN

1. Form Penilaian Kelas Kemampuan Lahan ... 25

2. Form Sketsa ... 28

3. Transek Aktual dan Rekomendasi ... 29

4. Data Curah Hujan Tahun 2005-2014 ... 30

5. Data Tanah di Lahan Pengamatan ... 31

6. Perhitungan Nilai Erosi Yang Diperbolehkan ... 32

7. Perhitungan Nilai Erosivitas ... 34

8. Perhitungan Nilai Erodibilitas ... 36

9. Perhitungan Nilai Lenght and Sloope ... 37

10. Perhitungan Nilai Crop Aktual ... 39

11. Perhitungan Nilai Crop Rekomendasi ... 40

12. Perhitungan Nilai Pengelolaan Aktual dan Rekomendasi ... 41

13. Peta Aktual ... 42

14. Peta Rekomendasi ... 43

15. Perhitungan BI ... 44

(7)

1

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sumber daya lahan (land resource) merupakan salah satu komponen sumber daya alam (natural resource) yang turut berperan dalam proses produksi pertanian, termasuk peternakan dan kehutanan. Parameter-parameter sumber daya lahan meliputi tanah, iklim, air, topografi, serta vegetasi termasuk padang rumput dan hutan. Kondisi sumber daya lahan dan lingkungan pertanian di Indonesia saat ini telah mengalami kerusakan yang signifikan. Luas lahan kritis dari tahun ke tahun semakin bertambah. Awal tahun 2000, data luas lahan kritis di Indonesia tercatat 23,25 juta ha, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 77,8 juta ha (Anwar, 2007). Peningkatan data luas lahan kritis yang sangat besar tersebut menunjukkan bahwa laju kerusakan sumber daya lahan akibat pengelolaan yang kurang terkendali menjadi semakin mengkhawatirkan. Kegiatan manusia seperti pembangunan pertanian, pertambangan, industri, perumahan, infrastruktur dapat menyebabkan kerusakan dan kemunduran produktivitas sumber daya lahan akibat hilangnya tanah lapisan atas yang subur.

Kemunduran produktivitas lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi. Erosi ialah suatu proses atau peristiwa hilangnya permukaan tanah lapisan atas. Tanah yang tererosi disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Tanah yang mengalami erosi terutama pada lahan pertanian, menyebabkan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah mengalami penurunan. Hal tersebut menyebabkan unsur-unsur hara dan bahan organik tanah serta hasil tanaman berkurang yang menyebabkan lahan pertanian mengalami penurunan produktivitas di setiap tahunnya. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan pencegahan erosi untuk mencegah terjadinya lahan kritis. Tanpa adanya upaya pencegahan erosi, jumlah hara dan C-organik tanah yang hilang dari lahan pertanian akan terus bertambah, dan apabila dibiarkan terus menerus maka kemunduran produktivitas lahan akan terjadi dengan sangat cepat. Hal tersebut diduga terjadi pada lahan pertanian yang terdapat di UB forest.

(8)

2

Meluasnya lahan kritis ataupun erosi perlu di identifikasi agar dapat ditetapkan teknik penanggulangannya dengan melakukan konservasi yang sesuai. Konservasi ialah suatu upaya atau tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Penentuan tindakan konservasi perlu memperhatikan biaya serta keefisien konservasi yang digunakan. Penentuan tindakan konservasi ini dilakukan agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Salah satu konservasi yang dapat diterapkan ialah konservasi tanah air (KTA). Konservasi tanah dan air dapat berfungsi untuk meningkatkan lahan-lahan pertanian hingga dapat berproduksi dan menghasilkan pangan bagi kebanyakan masyarakat (Kartasapoetra, 2005). Oleh karena itu, kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami tindakan konservasi yang dilakukan untuk memperbaiki lahan yang mengalami kemunduran produktivitas.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya project teknologi konservasi sumberdaya lahan yaitu:

a. Mengetahui tingkat terjadinya atau besarnya erosi di lahan UB forest b. Menentukan rekomendasi tindakan Konservasi Tanah Air (KTA) c. Menentukan besarnya biaya yang dibutuhkan dalam melakukan

(9)

3

BAB II. PENDEKATAN METODE 2.1 Iventarisasi Sumberdaya Lahan

Pendekatan inventarisasi lahan, terdapat beberapa kriteria data yang harus diperoleh untuk penentuan tingkat erosi lahan seperti terangkumnya informasi tentang curah hujan, erodibilitas tanah, kemiringan lereng, tata guna lahan, jenis tanah, vegetasi, teknik pengelolaan tanah. Dari data tersebut sehingga dapat diketahui tingkat besarnya erosi yang terjadi pada lahan. Data primer yang diperoleh langsung di lapang melalui proses survei lahan. Hal yang dilakukan dalam survei lapang meliputi pengamatan kondisi umum, pengambilan sampel, dan pengukuran parameter biofisik lingkungan.

Menurut Dephut (2005) data primer dapat diperoleh dari survey langsung di lapangan, sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari penelusuran terhadap data/dokumen penunjang yang berasal dari hasil kajian atau penelitian sebelumnya. Data sekunder merupakan pengumpulan data dari instansi terkait. Hasil yang diharapkan berupa data uraian, data angka, atau peta mengenai keadaan wilayah studi. Data primer metode pencarian data dan informasi yang dilakukan diperoleh secara langsung di lapangan umumnya berupa observasi dan wawancara melalui kuisioner. Data tersebut akan dianalisa, dievaluasi dan ditabulasi untuk disajikan dalam bentuk peta. Sehingga menghasilkan kesimpulan terkait evaluasi dan rekomendasi tentang penggunaan lahan yang terbaik dan pula disajikan dalam bentuk laporan akan kondisi lahan tersebut. Berikut ini adalah langkah langkah terkait pengukuran indeks erosivitas :

a. Erosivitas Hujan

Indeks erosivitas dilakukan dengan menggunakan data curah hujan. Data curah hujan diperoleh dari data yang telah ada sebelumnya.Setelah data curah hujan di ketahui dimasukkan dalam rumus perhitungan indeks erosivitas. Erosivitas hujan (R) dapat dihitung dengan menggunakan data curah hujan bulanan yang digunakan untuk menghitung RM dengan rumus Bols (1978) dengan menggunakan data curah hujan bulanan di 47 stasiun penakar hujan di pulau Jawa yang dikumpulkan selama 38 tahun menentukan besarnya erosivitas hujan tahunan rata-rata:

(10)

4

Keterangan : Hb = Rata-rata hujan bulanan (cm) Rb = Indeks erosivitas

b. Erodibilitas Tanah

Erodibilitas tanah menunjukan tingkat kepekaan tanah terhadap daya rusak hujan.Perhitungan indeks erodibilitas tanah ditentukan melalui beberapa faktor yang mempengaruhi erodibilitas tanah yaitu tekstur (persen pasir, debu dan liat), persen bahan organik, struktur tanah dan permeabilitas tanah (Wischemeier et al., 1971).Persen pasir, debu, liat dapat dilakukan dengan menggunakan metode feeling method, sedangkan persen bahan organik dapat diperkirakan dengan melihat tingkat bahan organik di lapangan.Struktur tanah dapat diketahui dengan mengambil agregat tanah utuh di lapangan.Sedangkan untuk permeabilitas dapat dihitung dengan menggunakan pipa paralon dari besi, kemudian tanah diberi air dan dihitung kecepatan air menjenuhkan tanah.Setelah semua faktor diketahui nilainya dapat dimasukkan dalam rumus perhitungan indeks erodibilitas tanah menggunakan nomograf, kemudian hasilnya dibandingkan antara perhitungan dengan rumus dan dengan nomograf. Erodibilitas (K) dapat ditentukan menggunakan dengan rumus Hammer (1978) yaitu :

Keterangan : K= erodibilitas tanah

M= (% debu +% pasir sangat halus)(100 - % liat) A= % bahan organik (% Corganik x 1,724) B = kode struktur tanah

C = kode permeabilitas tanah c. Panjang Lereng

Pengukuran panjang lereng dengan sebelumnya menentukan mapping unit mikro yang paling dominan, selanjutnya pengukuran panjang lereng dapat diketahui melalui berapa besar jarak yang ditempuh dalam mengelilingi lereng tersebut.

Rb : 10,80 + 4,15 Hb

(11)

5

Keterangan : LS = Panjang dan kemiringan lereng L = Panjang Lereng (m)

S = Kemiringan (%) d. Vegetasi

Faktor tanaman merupakan angka perbandingan erosi dari lahan yang ditanami sesuatu jenis tanaman dengan erosi pada plot kontrol.Besarnya angka ini dengan melihat kemampuan tanaman untuk menutup tanah. Semakin padat pertanaman maka akan semakin besar hujan yang terintersepsi sehingga erosi akan menurun. Selain itu, sistem perakaran dapat mengurangi erosi yaitu melalui sistem perakaran yang luas dan padat dapat mengurangi erosi (Utomo, 1994). e. Pengelolaan Tanah

Perhitungan nilai faktor pengelolaan dengan cara membagi kehilangan tanah dari lahan yang diberi perlakuan dengan kehilangan tanah dari petak baku. Pengelolaan tanah yang baik dapat memperlambat laju erosi.Laju erosi dapat dipercepat ketika manusia mengekploitaso alam dengan budidaya tanaman yang salah.Namun hal tersebut juga dapat dikendalikan dengan mengkonversi lahan seperti reboisasi. Selanjutnya pendugaan erosi atau besarnya kehilangan tanah dapat dihitung dengan melibatkan semua faktor yang mempengaruhi erosi yaitu erosivitas, erodibilitas, panjang dan kemiringan lereng yang akan dihasilkan besarnya kehilangan tanah pada suatu lahan dalam ton/ha/tahun.

2.2 Tingkat Erosi Tanah

Pada dasarnya tanaman mampu mempengaruhi erosi karena adanya 1). Intersepsi air hujan oleh tajuk dan adsobsi melalui energi air hujan, sehingga memperkecil erosi, 2). Pengaruh terhadap struktur tanah melalui penyebaran akar -akarnya, 3). Pengaruh terhadap limpasan permukaan, 4). Peningkatan aktifitas mikroorganisme dalam tanah, dan 5). Peningkatan kecepatan kehilangan air karena transpirasi. Vegetasi juga dapat menghambat aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi, selain itu juga penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penyerapan air melalui vegetasi) (Nur’saban, 2006).

(12)

6

Pengambilan data sekunder di lapangan sangat diperlukan untuk melengkapi penelitian ini diantaranya mengukur panjang dan kemiringan lereng, jenis vegetasi umum yang ada di lapangan, tindakan konservasi yang pernah dilakukan, data jenis tanah, data curah hujan dan data penggunaan lahannya. Prediksi erosi pada sebidang tanah dapat dilakukan menggunakan model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith tahun 1985 (Tunas, 2005) yang diberi nama Universal Soil

Loss Equation (USLE) dengan persamaan sebagai berikut:

Keterangan :

A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/thn) R = faktor curah hujan

K = faktor erodibilitas tanah LS = faktor panjang lereng

C = faktor vegetasi penutup tanah

P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah

Menurut Dewi et.al (2012), Kriteria tingkat bahaya erosi dapat disesuaikan berdasarkan dengan kelas-kelas yang sudah ditentukan. Berikut ini merupakan tabel tingkat bahaya erosi :

Tabel 1. Tingkat Bahaya Erosi Kelas Tingkat Bahaya

Erosi Kehilangan Tanah Kriteria

I <15 Sangat Ringan

II 15-60 Ringan

III 60-180 Sedang

IV 180-480 Berat

V >480 Sangat Berat

2.3 Klasifikasi Kemampuan Lahan

Lahan memiliki beragam jenis jika dilihat berdasarkan penyusunnya. Berdasarkan kesamaan dan kemiripan sifat dan ciri morfologi, fisika dan kimia, serta mineralogi lahan dapat dikumpulkan dan dikelompokkan yang biasa disebut dengan klasifikasi. Klasifikasi kemampuan atau kapabilitas lahan menurut Rayes (2007) merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan pengelolaan lainnya. Penentuan kemampuan lahan merupakan suatu tahap awal dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan.

(13)

7

Sedangkan menurut Arsyad (2010), klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan lestari. Hal ini menjadi sebuah acuan dalam pemanfaatan lahan, sehingga tetap mendapatkan hasil yang optimum dan tetap menjaga kelestarian ekologi.

Pengelompokkan kapabilitas lahan menurut Rayes (2007) dimaksudkan untuk beberapa tujuan, diantaranya yaitu membantu pemilik lahan maupun pengguna lainnya dalam melakukan interpretasi peta tanah, menjelaskan kepada pengguna secara lebih rinci tentang pemanfaatan peta tanah yang ada, serta memungkinkan untuk mengelompokkan potensi tanah secara umum beserta keterbatasan penggunaan dan masalah dalam pengelolaannya. Arsyad (2010) mengemukakan bahwa penggunaan lahan dibagi menjadi dua golongan yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Dalam kasus ini klasifikasi kemampuan lahan akan lebih khusus untuk penggunaan lahan pertanian. Lahan yang diperuntukan untuk bidang pertanian harus tepat, karena apabila tidak sesuai dengan potensi, maka hasil pertanian juga tidak akan maksimal bahkan akan menimbulkan kerugian.

Pengelompokkan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan USDA yang diungkapkan oleh Klingebiel dan Montgomery dalam Rayes (2007) dijelaskan bahwa lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu kelas, sub-kelas, dan satuan pengelolaan (management unit). Penggolongan ke dalam kelas, sub-kelas dan unit/satuan. Pengelolaan didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Di dalam sistem klasifikasi USDA ini, tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII; dimana ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I meningkat sampai kelas VIII (Arsyad, 2010). Dibawah ini merupakan penjelasan lebih rinci terkait kelas-kelas dalam klasifikasi kemampuan lahan.

(14)

8 1. Kelas I

Tanah yang dikelompokkan pada kelas ini sesuai untuk berbagai penggunaan (pertanian, padang penggembalaan, hutan, dan cagar alam). Tanah pada kelas I umumnya bertopografi datar-agak datar, bahaya erosi ringan. Memiliki kedalaman efektif yang dalam, drainase baik. Kesuburan tanah sangat tinggi, serta tanggap terhadap pemberian pupuk. Meskipun tanah pada kelas I subur, namun masih memerlukan tindakan pemupukan, pengapuran, dan upaya-upaya lain yang bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah.

2. Kelas II

Tanah pada kelas II memerlukan pengelolaan tanah secara berhati-hati, termasuk tindak konservasi untuk mencegah tanah dari kemerosotan atau untuk meningkatkan hubungan air dan udara jika tanah digunakan untuk pertanian. Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam kelas II dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim, padang rumput, pengembalaan. Hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam.

3. Kelas III

Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat daripada tanah kelas II sehingga mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka margasatwa. Tanah yang termasuk kedalam kelas III merupakan tanah yang selalu basah, permeablitas rendah sehingga apabila digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian akan memerlukan drainase dan pengelolaan tanah yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga memudahkan pengolahan tanah.

4. Kelas IV

Tanah-tanah dalam kelas IV memiliki kendala yang sangat berat sehingga membatasi penggunaan atau memerlukan tindakan pengelolaan yang sangat hati-hati atau keduanya. Tanah-tanah kelas IV mungkin hanya cocok untuk dua atau tiga macam tanaman yang memiliki produksi rendah. Tanah dalam kelas

(15)

9

IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau suaka alam.

5. Kelas V

Tanah pada kelas V memiliki bahaya erosi yang kecil atau bahkan tidak memiliki bahaya, tetapi memiliki pembatas lain yang sulit dihilangkan sehingga pilihan penggunaan lahannya menjadi sangat terbatas yaitu untuk padang rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, atau suaka alam. Tanah-tanah ini menyulitkan karena beberapa hal diantaranya yaitu topografi yang datar atau hampir datar. Tergenang air, sering dilanda banjir, berbatu, serta memiliki iklim yang kurang mendukung.

6. Kelas VI

Tanah-tanah dalam kelas VI memiliki penghambat yang berat sehingga tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pertanian. Penggunaan tanah yang termasuk kedalam kelas IV hanya terbatas untuk padang rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam.

7. Kelas VII

Tanah-tanah yang termasuk kedalam kategori kelas VII memiliki pembatas yang berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan lahan pertanian dan penggunaannya terbatas sebagai padang rumput, hutan produksi, dan suaka alam. Pembatas-pembatas pada lahan kelas VII yang sulit dihilangkan diantaranya adalah lereng yang sangat curma, erosi berat, tanah dangkal, berbatu, tergenang, dan lain sebagainya.

8. Kelas VIII

Tanah dan landform dalam kelas VIII memiliki pembatas yang menghalangi penggunaan tanah ini untuk produksi tanaman secara komersial dan membatasi penggunaan hanya untuk pariwisata dan suaka alam. Tnah-tanah yang termasuk kedalam kelas ini sebaiknya dibiarkan secara alami. Contoh lahan kelas VIII adalah tanah-tanah yang telah rusak atau sangat terdegradasi, tanah dengan singkapan batuan, pantai berpasir, tempat pembuangan sisa-sisa bahan tambang, dan lahan hampir gundul lainnya.

Berdasarkan kelas-kelas kemampuan lahan yang telah diuraikan di atas, terdapat pembahasan mengenai pembatas dalam penggunaan lahan. kemampuan

(16)

10

lahan menurut Arsyad (2010), disusun dari beberapa parameter seperti kemiringan lereng, tekstur tanah, drainase tanah, permeabilitas tanah, kedalaman tanah, kepekaan erosi dan ancaman banjir sehingga faktor-faktor tersebutlah yang menjadi penyebab munculnya pembatas atau ancaman pada kelas-kelas lahan.

Proses dalam melakukan analisa kemampuan lahan, terdapat beberapa metode yang umum digunakan diantaranya yaitu metode survey dengan teknik metode pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling dan metode analisis yang digunakan adalah teknik weight factor matching. Penggunaan metode analisis tersebut menurut Arsyad (2010), didasarkan pada pencocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan data kualitas lahan yang mempertimbangkan faktor pembatas yang paling berat. Data yang digunakan sebagai parameternya merupakan data sekunder yang kemudian dianalisis sesuai dengan kriteria kemampuan lahannya. Paramater yang digunakan dalam klasifikasi kemampuan lahan ini yaitu kemiringan lereng, kondisi drainase, permeabilitas tanah, jenis tanah, tekstur tanah, kedalaman tanah, dan data erosi. Dari data parameter-parameter tadi dilakukan proses analisis secara deskriptif sesuai dengan klasifikasi kemampuan lahan. Setiap parameter akan memiliki sistem kaslifikasi sendiri, sehingga apabila data-data telah dikumpulkan dapat dilakukan perbandingan antara pengelolaan lahan saat pengamatan dengan rekomendasi kemampuan lahan yang sesuai untuk lahan tersebut.

(17)

11

BAB III. KONDISI SUMBERDAYA LAHAN 3.1 Kondisi Umum DAS Mikro

Pelaksanaan fieldwork praktikum Teknologi Konservasi dan Sumber Daya Lahan dilaksanakan di DAS Mikro Desa Tawangargo Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Lokasi fieldwork bertempatkan diwilayah lereng Gunung Arjuno. Kegiatan fieldwork dilaksanakan pada Minggu, 30 September 2018 dan Kamis, 18 Oktober 2018.

Berdasarkan pengamatan pada lahan yang dilakukan selama fieldwork, didapatkan hasil bahwa lahan pada plot kami terbagi atas 3 SPL yang dimana SPL tersebut dibedakan berdasarkan tingkat kelerengan. SPL 1 memiliki tingkat kelerengan sebesar 54 % dengan tutupan lahan berupa tumbuhan pinus. SPL 2 memiliki tingkat kelerengan sebesar 34 % dengan tutupan lahan berupa tumbuhan pinus dan tanaman kopi. SPL 3 memiliki tingkat kelerengan sebesar 2,9 % dengan tutupan lahan berupa tanaman kopi serta wortel. DAS Mikro ini merupakan lahan yang baru akan dibuka oleh masyarakat wilayah tersebut. Oleh karena itu masih banyak ditemukan tumbuhan tahunan bahkan tanaman liar yang ditemui di lahan tersebut. Penggunaan lahan pada kawasan DAS Mikro tersebut berupa tegakan (hutan) serta semak. Namun sebagian besar wilayah DAS Mikro tersebut telah mengalami pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai lahan tanaman semusim.

(18)

12

3.2 Kemampuan Lahan

Penilaian terhadap suatu lahan perlu dilakukan dalam rangka mengetahui potensi dari suatu lahan serta penghambat yang ada di lahan tersebut. Klasifikasi kemampuan lahan merupakan penilaian komponen-komponen lahan secara sistematis dan dikelompokkan kedalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat yang menjadi potensi serta penghambat dalam penggunaan lahan (Arsyad, 1989). Susunan dari klasifikasi kemampuan lahan menurut Sitorus (1985) dapat dibagi menjadi 3 komponen peting yaitu kelas kemampuan lahan, sub-kelas kemampuan lahan dan satuan kemampuan lahan seperti pada tabel berikut:

Tabel 2. Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan Devisi Kelas Kemampuan Lahan Sub-Kelas Kemampuan Lahan Satuan Pengelolahan Satuan Peta Tanah Dapat diolah Tidak Dapat Diolah I II III IV V VI VII VIII III e, erosi IIIw, banjir IIIs, tanah, dll IIIe1,1 IIIe2,2 IIIe3,3 Serix Seriy Seriz

Kegiatan evaluasi serta analisis kemampuan lahan merupakan upaya untuk memanfaatkan lahan sesuai dengan potensi dari lahan itu sendiri dengan tujuan untuk menyusun suatu kebijakan, pemanfaatan lahan, serta pengolahan lahan secara berkesinambungan. Menurut Suratman et.al (1993) penyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah dapat disusun dengan cepat dan tepat sebagai dasar pijakan dalam mengatasi benturan pemanfaatan penggunaan lahan atau sumber daya alam dengan didukung oleh proses analisis dan evaluasi kemampuan lahan. Salah satu komponen yang diperlukan dalam kegiatan evaluasi dan analisis kemampuan lahan adalah peta kemampuan lahan. Berdasarkan hasil pengamatan, lahan pada plot kami di bagi menjadi 3 SPL yang didasarkan pada perbedaan tingkat kemiringan lahan seperti pada gambar tabel dibawah ini.

(19)

13 Tabel 3. KKL Satuan Peta Lahan 1

FORM PENILAIAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SPL 1

Faktor Pembatas Hasil Pengamatan

Lapang Kelas

Tekstur Tanah Lempung berdebu I

Lereng 54 % VII

Drainase Agak Baik II

Kedalaman Efektif >120 cm I

Tingkat Erosi Sedang IV

Permeabilitas Sedang I

Batu/ Kerikil - I

Bahaya Banjir Ringan I

Faktor Pembatas Lereng (e)

Kelas Kemampuan Lahan VII

Sub Kelas VII e

Berdasarkan hasil dari pengamatan didapatkan data yang menunjukan kondisi aktual dari DAS Mikro Tawangargo. Pada SPL 1 di plot kami memiliki kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatas yang berupa kelerengan lahan, serta memiliki Sub Kelas VII e .

Tabel 4. KKL Satuan Petak Lahan 2

FORM PENILAIAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SPL 2

Faktor Pembatas Hasil Pengamatan

Lapang Kelas

Tekstur Tanah Lempung berdebu I

Lereng 34,4 % VI

Drainase Agak Baik II

Kedalaman Efektif >120 cm I

Tingkat Erosi Sedang IV

Permeabilitas Sedang I

Batu/ Kerikil - I

Bahaya Banjir Ringan I

Faktor Pembatas Lereng (e)

Kelas Kemampuan Lahan VI

Sub Kelas VI e

Berdasarkan hasil dari pengamatan didapatkan data yang menunjukan kondisi aktual dari DAS Mikro Tawangargo. Pada SPL2 di plot kami memiliki kelas kemampuan lahan VI dengan faktor pembatas yang berupa kelerengan lahan, serta memiliki Sub Kelas VI e.

(20)

14 Tabel 5. KKL Satuan Petak Lahan 3

FORM PENILAIAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SPL 3

Faktor Pembatas Hasil Pengamatan

Lapang Kelas

Tekstur Tanah Lempung berdebu I

Lereng 2,9% I

Drainase Agak Baik I

Kedalaman Efektif >120 cm I

Tingkat Erosi Tidak Ada I

Permeabilitas Sedang I

Batu/ Kerikil - I

Bahaya Banjir Ringan I

Faktor Pembatas -

Kelas Kemampuan Lahan -

Sub Kelas

-Berdasarkan hasil dari pengamatan didapatkan data yang menunjukan kondisi aktual dari DAS Mikro Tawangargo. Pada SPL 3 di plot kami memiliki kelas kemampuan lahan I. Faktor yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah adalah tekstur tanah, tingkat kelerengan, dan kedalaman efektif (Soil Survey Staff, 1993) . Berdasarkan kegiatan fieldwork didapatkan data bahwa pada SPL 1 memiliki kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya adalah lereng, SPL 2 memiliki kelas kemampuan lahan VI dengan faktor pembatasnya berupa lereng, SPL 3 memiliki kelas kemampuan lahan I. Kondisi suatu lahan yang memiliki kelas kemampuan lahan VI dan VII memiliki hambatan yang cukup berat sehingga menyebabkan lahan tersebut tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. Beberapa tanah yang berada dikelas kemampuan lahan VI memiliki daerah perakaran yang cukup dalam, namun terletak paa lereng yang curam dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi tanah yang berat. Tanah yang memiliki kelas kesesuaian lahan VII bisa digunakan untuk tanaman pertanian namun harus dibentuk ters bangku yang ditunjang dengan cara vegetativ untuk konservasi tanah. Hambatan atau ancaman yang tidak dapat dihilangkan dan sering terjadi pada kelas kemampuan lahan VI dan VII yakni: (1) Lereng yang cukup curam; (2) Telah tererosi berat; (3) Kedalaman efektrif akar; (4) Iklim yang tidak sesuai. Akan lebih baik jika lahan tersebut dibiarkan dalam keadaan alami sebagai hutan lindung atau cagar alam. Ancaman pada lahan

(21)

15

kelas VIII berupa lereng yang curam, berbatu, serta kapasitas menahan air rendah (Tukidal, 2006).

3.3 Erosi

Pada pengamatan di lokasi project, didapatkan 3 SPL pengamatan. Besaran erosi ini juga dapat dipengaruhi oleh tutupan lahan serta pengaruh intesitas curah hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Asdak (2005) yang menyatakan bahwa erosivitas adalah kemampuan air hujan yang menyebabkan erosi. Berikut dibawah ini merupakan tabel hasil besarnya nilai erosi pada lahan yang diamati.

Tabel 6. Hasil Perhitungan Nilai Erosi

SPL R K LS C P A Edp

1 102667,39 0,32 5,344 0,8388 0,15 22.048,81 30,6 2 102667,39 0,32 2,108 0,8189 0,15 8.506,97 26 3 102667,39 0,32 0,632796 0,8189 1,923 32.738,195 23

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada SPL 1, Nnilai erosi yang terjadi yaitu 22.048,81 ton/ha/thn sedangkan nilai erosi yang diperbolehkan adalah 30,6 ton/ha/thn. Nilai erosi lebih besar dibandingkan dengan nilai erosi yang diperbolehkan sehingga perlu dilakukan teknik konservasi untuk mengurangi besarnya erosi. Jenis erosi yang terjadi pada SPL 1 adalah erosi percik dan di beberapa bagian ada yang erosi permukaan dikarenakan terdapat beberapa aliran buangan (drainase) yang juga terhitung dalam plot yang diamati. Hal tersebut terjadi karena kemiringan lereng masih cenderung tinggi. Menurut Munir (2003), kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap limpasan, sehingga semakin curam lereng, maka semakin besar pula kecepatan limpasan yang terjadi.

Pada SPL 2, nilai erosi sebesar 8.506,97 ton/ha/thn sedangkan nilai erosi yang diperbolehkan adalah 26 ton/ha/thn. Nilai erosi ini lebih besar daripada erosi yang diperbolehkan sehingga perlu dilakukan teknik konservasi. Jenis erosi yang terjadi pada SPL 2 adalah erosi percik. Hal ini berkaitan dengan vegetasi yang menutupi lahan, karena lahan yang kami amati merupakan lahan yang memiliki tutupan yang cenderung jarang dan seresah yang tak dibersihkan oleh karena itu kami menyimpulkan erosi yang terjadi ialah erosi percik dan erosi permukaan. Menurut Lathifah (2013), vegetasi tegakan tinggi dan vegetasi penutup tanah mempu menghambat laju air. Vegetasi tegakan tinggi mampu mengikat dan

(22)

16

mempertahankan material tanah sesuai dengan kedalmaan akar pohon. Sedangkan vegetasi penutup tanah mampu menghambat limpasan permukaan yang berpotensi mengikis permukaan tanah.

Pada SPL 3, nilai erosi sebesar 32.738,195 ton/ha/thn sedangkan nilai erosi yang diperbolehkan adalah 23 ton/ha/thn. Nilai erosi pada SPL 3 lebih besar daripada nilai erosi yang diperbolehkan sehingga perlu dilakukan teknik konservasi. Hal ini disebabkan oleh penggunaan teras atau pengolahan yang berbeda dari SPL sebelumnya. Perubahan pengolahan lahan terkhususnya penggunaan teras ini dapat meningkatkan bahaya erosi. Menurut Fadhil et.al (2013), perubahan penggunaan lahan pada kemiringan tertentu dari yang dapat meningkatkan bahaya erosi pada suatu lahan.

3.4 Permasalahan Lahan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa permasalahan yang terjadi terletak pada curamnya kelerengan yang ada, kelerangan ini berpotensi menyebabkan erosi yang melebihi erosi yang diperbolehkan. Berdasarkan kelas kemampuan lahan dari ketiga SPL yang diamati didapati beberapa faktor pembatas yaitu kelerengan dan kedalaman tanah. Pada SPL 1 memiliki kelas kemampuan lahan VII e, SPL 2 memiliki kelas kemampuan lahan VI e, s , dan SPL 3 memiliki kelas kemampuan lahan VIs.

SPL 1 memiliki vegetasi utama berupa pinus. Adanya penanaman pinus di SPL 1 memberikan perlindungan ketanah sebagai penahan limpasan air hujan. Namun karena kanopi dari pinus sendiri yang jarang menyebabkan masih banyaknya air hujan yang lolos tajuk. Kondisi permukaan tanah pada SPL 1 ini juga tidak sepenuhnya tertutupi oleh vegetasi. Adanya tanaman penutup lahan atau cover crop sangat berpengaruh untuk mengatasi potensi erosi. Pengadaan tanaman penutup tanah yang sedikit banyak dapat melindungi energi air hujan yang dapat merusak tanah (Alvyanti, 2006). Adanya vegetasi penutup tanah yang baik, seperti rumput, jenis-jenis leguminose, semak belukar atau pepohonan pada kondisi yang ideal dapat resisten terhadap erosi dan mampu menyerap air hujan sehingga dapat menghilangkan pengaruh topografi terhadap erosi.

SPL 2 memiliki penggunaan lahan berupa agroforestri dengan tutupan lahan pinus dan kopi. Potensi erosi yang ada di SPL 2 ini lebih rendah

(23)

17

dibandingkan SPL 1, hal ini dikarenakan vegetasi yang ada di SPL ini lebih bervariasi. Menurut Alvyanti (2006), cara penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang tanah dalam waktu yang sama dengan pola tanam berupa tumpangsari, tumpang gilir, dan sistem campuran dapat memperkecil laju kerusakan tanah, baik yang disebabkan oleh erosi maupun rendahnya bahan organik.

SPL 3 memiliki penggunaan lahan berupa agroforestri dengan tutupan lahan pinus dan kopi. Keadaan lahan di SPL 3 cukup baik, hal ini dikarenakan bentuk permukaan di SPL ini cukup datar selain itu terdapat beragam vegetasi dari yang berupa tanaman tegakan hingga semusim. Potensi erosi yang ada di SPL 3 ini lebih rendah dibandingkan SPL 1 dan SPL 2, hal ini dikarenakan kelerngan serta vegetasi yang ada di SPL 3 ini lebih bervariasi. Menurut Alvyanti (2006), cara penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang tanah dalam waktu yang sama dengan pola tanam berupa tumpangsari, tumpang gilir, dan sistem campuran dapat memperkecil laju kerusakan tanah, baik yang disebabkan oleh erosi maupun rendahnya bahan organik.

Potensi erosi yang terjadi pada ketiga SPL tersebut disebabkan oleh kelerengan yang tergolong sangat curam. Karena semakin curam suatu lereng, maka persentase kemiringannya semakin tinggi sehingga semakin cepat laju limpasan permukaan, dengan semakin singkatnya waktu untuk infiltrasi, volume limpasan juga semakin besar. Dengan kata lain semakin meningkatnya persentase kemiringan maka erosi akan semakin besar (Alvyanti, 2006) kemiringan lereng sangat penting diperhatikan karena berpengaruh terhadap pergerakan air serta kemampuannya memecah dan membawa partikel tanah akan bertambah. Hal ini sesuai dengan pendapat Alviyanti (2006) yang mengemukakan bahwa semakin besar kemiringan lereng, maka erosi yang terjadi lebih besar.

(24)

18

BAB IV. PERENCANAAN KONSERVASI 4.1 Rekomendasi Detail Konservasi

Berdasarkan hasil survei kondisi lahan pengamatan, maka dapat dilakukan rekomendasi yang tepat terkait kondisi lahan. Rekomendasi yang dilakukan dapat berupa konservasi tanah dan air yang dapat diperbaiki dengan memberikan rekomendasi vegetasi yang disesuaikan dengan kemampuan lahan. Rekomendasi untuk konservasi berupa jenis tanaman tahunan dan musiman, tanaman tahunan berupa pinus, mahoni, dan kayu manis. Sedangkan untuk tanman musiman yaitu cabai, kubis, dan sawi. Konservasi berupa vegetasi disesuaikan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan. Pada lahan pengamatan terdapat tiga SPL. SPL 1 memiliki kelas kemampuan lahan VIIe, SPL 2 memiliki kelas kemampuan lahan VI e , dan SPL 3 memiliki kelas kemampuan lahan I.

SPL 1

Pada SPL 1 dapat dilakukan konservasi vegetatif dan konservasi mekanik dengan menanam tanaman tahunan dan pembuatan teras individu. Tanaman tahunan yang direkomendasikan ditanam adalah tanaman pinus dan mahoni. Menurut Idjudin (2011), menyatakan bahwa penggunaan jenis tanaman tahunan efektif karena dapat mengurangi tingkat erosi dan mempunyai perakaran yang dalam, sehingga dapat menembus lapisan kedap air, serta mampu merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai massa yang lebih ringan.

Berikut merupakan syarat tumbuh tanaman pinus atau Pinus merkusii relatif mudah, dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh di tanah yang becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe hujan A sampai C, pada ketinggian 200 sampai 1700 m dpl, kadang tumbuh di bawah ketinggian 200 m dpl dan mendekati daerah pantai (Amalia, 2013). Berdasarkan syarat tumbuh pinus tersebut, maka tanaman pinus dapat tumbuh pada lahan SPL 1.

Tanaman mahoni terrnasuk jenis tanaman yang tidak memiliki persyaratan tipe tanah secara spesifik, mampu bertahan hidup pada berbagai jenis tanah bebas genangan, dan reaksi tanah sedikit asarn - basa tanah, gersang atau marginal, walaupun tidak hujan selama berbulan-bulan, mahoni masih mampu untuk bertahan hidup. Namun demikian, pertumbuhan akan optimal pada tanah

(25)

19

subur, bersolum dalam dan aerasi baik pH 6,5 sampai 7,5. Tumbuh baik sampai ketinggian 1000 meter dari permukaan laut meski masih tumbuh pada ketinggian maksimum 1.500 meter dpl, banyak terdapat pada daerah iklim tropis basah sampai daerah beriklim musim (tipe iklim A-C Menurut Schmidt-Ferguson). curah hujan 1.500 - 5000 mm/ tahun, dan suhu udara rata-rata 11-360C meski pada daerah kurang hujanpun (tipe D) jenis mahoni masih dapat tumbuh (BPH dan Dinas Lingkungan Hidup, 2017). Berdasarkan syarat tumbuh tanaman mahoni tersebut, maka tanaman mahoni dapat tumbuh pada lahan SPL 1. SPL 2

Pada SPL 2 dapat dilakukan konservasi vegetatif dengan menanam tanaman tahunan. Tanaman tahunan yang dapat ditanam adalah tanaman pinus dan kopi. Berikut merupakan syarat tumbuh tanaman pinus atau Pinus merkusii relatif mudah, dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh di tanah yang becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe hujan A sampai C, pada ketinggian 200 sampai 1700 m dpl, kadang tumbuh di bawah ketinggian 200 m dpl dan mendekati daerah pantai (Amalia, 2013). Berdasarkan syarat tumbuh pinus tersebut, maka tanaman pinus dapat tumbuh pada lahan SPL 2.

Tanaman tahunan lainnya yang dapat direkomendasikan pada SPL 2 adalah tanaman kopi. Menurut Djaenuddin (2003), tanaman kopi memiliki dyarat tumbuh yaitu dapat ditanam pada ketinggian 0-1000 mdpl dengan ketinggian optimal yaitu 400-800 mdpl. Temperatur rata-rata antara 21-240C. Curah hujan yang paling optimal untuk pertumbuhan kopi adalah 2000-3000 mm/tahun. Berdasarkan syarat tumbuh tanaman kopi tersebut, maka dapat direkomendasikan bahwa tanaman kopi dapat ditanam pada SPL 2.

SPL 3

Pada SPL 3 dapat dilakukan konservasi vegetatif. Dengan kelas kemampuan lahan I dan kelerengan yang terbilang datar yaitu 2,9%. Maka pada SPL ini sangat sesuai untuk ditanami tanaman semusim. Tanaman semusim yang dapat ditanam pada lahan ini adalah cabai, sawi, dan kubis. Tanaman cabai dapat dijadikan sebagai tanaman sela dan sebagai tambahan penghasilan bagi petani.

(26)

20

Tanaman semusim berupa, cabai, kubis dan sawi. Berikut merupakan syarat tumbuh tanaman cabai, yaitu lereng < 3%, pH 5,5-6,8, batuan < 5%, kelas drainase baik, tekstur tanah lempung, lempung liat berpasir, debu, lempung liat berbedu, lempung berliat, tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0-1800 mdpl (Widodo, 2002).

Teknik konservasi vegetatif lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penanaman tanaman kayu manis. Tanaman tahunan yang dapat ditanam untuk konservasi vegetatif adalah tanaman kayu manis. Berikut ini merupakan syarat tumbuh dari tanaman kayu manis, yaitu memiliki tekstur tanah betekstur agak kasar, sedang, agak halus, dan halus, curah hujan 2000-2500 mm/th, kelerengan yaitu kurang dari 30%, drainase yaitu baik,sedang, agak terhambat dan agak cepat, kedalaman efektif yaitu >100 cm, tingkat erosi, yaitu sangat rendah permeabilitas, batu atau kerikil < 5%, bahaya banjir tidak pernah terjadi banjir (Suryani, 2015).

4.2 Analisis Kelebihan Rekomendasi

Pada SPL 1 dilakukan konservasi vegetatif dengan penanaman pohon pinus mahoni. Dari segi ekonomi pohon pinus dapat menjadi sumber komoditi perdagangan yang menguntungkan, cukup banyak menyerap tenaga kerja setempat dan merupakan penghasil bahan industri. Pada aspek sosial sebagai dampak langsung dari manfaat ekonomi dari hutan pinus yang dimanfaatkan secara baik dapat memperbaiki penghidupan masyarakat disekitarnya. Secara ekologis pohon pinus adalah jenis kayu yang mampu membentuk penutupan vegetasi permanen bersama jenis-jenis tumbuhan lain, sehingga fungsi hidrologi dan konservasi tanah dapat tercapai. Pinus secara genetis mempunyai potensi yang dapat dikembangkan sebagai tanaman pengendali tanah longsor karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: memiliki perakaran yang dalam, intersepsi dan evapotranspirasi yang tinggi, pohonnya tidak terlalu berat atau ringan, dan produk utama yang bukan berupa kayu (Pudjiharta, 2005). Keuntungan menanaman tanaman mahoni yaitu kayu mahoni termasuk bahan mebel bernilai tinggi karena dekoratif dan mudah dikerjakan. Biasanya ditanam secara luas di daerah tropis dalam program reboisasi dan penghijauan. Dalam sistem agroforestri

(27)

21

digunakan sebagai tanaman naungan dan kayu bakar (Departemen Kehutanan 2001).

Pada SPL 2 dilakukan konservasi vegetatif dengan penanaman tumpangsari antara tanaman pinus dengan tanaman kopi. Rekomendasi agroforestri kopi memiliki banyak keuntungan. Salah satunya yaitu dapat mengatasi kebutuhan akan lahan pertanian dengan tetap mempertahankan fungsi hutan dan lingkungan. Agroforestri berbasis kopi mempunyai peran dalam konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, penambahan unsurhara, modifikasi iklim mikro, penambahan cadangan karbon, menekan serangan hama dan penyakit kopi dan peningkatan pendapatan petani. Selain itu agroforestri berbasis kopi juga berperan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim pada agroforestri berbasis kopi diwujudkan dalam bentuk konservasi lahan, air, dan biodiversitas serta pengendalian iklim mikro, sedangkan mitigasi dalam bentuk penambahan cadangan karbon sehingga emisi CO2 dapat dikurangi (Hairiah dan Ashari, 2013).

Pada SPL 3 dilakukan konservasi vegetatif dengan penanaman tanaman tahunan kayu manis, cabai, sawi, dan kubis. Tanaman kayu manis dapat diolah menjadi bermacam-macam produk seperti dalam bentuk bubuk, minyak atsiri atau oleoresin. Semakin bertambahnya penduduk dan manfaat senyawa kimia yang terkandung pada kayumanis menunjukan bahwa pengembangan tanaman kayumanis masih mempunyai prospek untuk meningkatkan pendapatan petani, devisa dan sebagai tanaman tabungan bagi masyarakat. Selain itu, tanaman kayumanis juga dapat berfungsi sebagai tanaman penghijauan dan konservasi lahan, khususnya di tebing-tebing dan kaki pegunungan serta daerah aliran sungai (Rusli dan Abdullah, 1988). Tanaman cabai, sawi, dan kubis dapat digunakan untuk tanaman konsumsi dan dapat dimanfaatkan musiman dan dapat menambah nilai ekonomis. Menurut Ibrahim dan Ramlin (2018), Kebutuhan akan tanaman sawi dan kubis akan terus meningkat, tanaman ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan memiliki beberapa khasiat lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh.

(28)

22

BAB V. KESIMPULAN

Berdasarkan pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan nilai erosi yang terdapat pada lahan pengamatan melebihi dari erosi yang diperbolehkan. Nilai erosi pada SPL 1 sebesar 22.048,81 ton/ha/thn, pada SPL 2 sebesar 8.506,97 ton/ha/thn, pada SPL 3 sebesar 32.738,195 ton/ha/thn. Nilai erosi tersebut telah melebihi nilai erosi yang diperbolehkan disetiap SPL nya. Nilai erosi yang diperbolehkan pada SPL 1 sebesar 30,6 ton/ha/thn, pada SPL 2 sebesar 26 ton/ha/thn, dan pada SPL 3 sebesar 23 ton/ha/thn. Dengan adanya erosi tersebut perlu adanya upaya perbaikan dan rekomendasi konservasi.

Rekomendasi konservasi yang disarankan adalah dengan menggunakan konservasi vegetatif dengan menanam tanaman pinus, kayu manis, cabai, kubis dan sawi serta menggunakan konservasi yaitu memperbaiki teras bangku yang terdapat pada lahan pengamatan. Sehingga dengan adanya tindakan konservasi ini mampu mengurangi besarnya nilai erosi yang terjadi. Besarnya nilai erosi setelah dilakukannya tindakan konservasi Pada SPL 1 adalah 20.101,82 ton/ha/thn, pada SPL 2 adalah 6.544,62 ton/ha/thn dan pada SPL 3 adalah 27.356,62 ton/ha/thn.

(29)

23

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Pertanian Lahan Kering. World Agroforestry Centre. ICRAF Southeast Asia

Alviyanti, Vivin. 2006. Kajian Erosi Dan Aliran Permukaan Pada Berbagai Sistem Tanam Di Tanah Terdegradasi. Jember

Amalia, Rizky Fitri. 2012. Kesesuaian Lahan Pinus merkusii Jungh et de Vriese Pada Areal Bekas Tegakan Tectona grandis Linn. f. (Studi Kasus di RPH Wanareja KPH Banyumas Barat). Bogor : IPB.

Anwar, S. 2007. Luas Lahan Kritis di Indonesia. Informasi disampaikan kepada para pemangku kepentingan, agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Ditjen RLPS, Jakarta.

Arsyad, S. 2006. Konservasi tanah dan air. Edisi Kedua. Bogor. Serial Pustaka IPB Press.

Balai Pengelolaan Hutan Wilayah Lebak danTangerang Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten. 2017. Budidaya Mahoni. Serang : Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten.

Bols, P.L. 1978. Iso Erodents Map of Java Madura. Technical Assistant Project ATA 105, Soil Research Institute, Bogor, Indonesia. 39 pp.

Buckman, Harry O. 1982. Ilmu Tanah. Jakarta: Bharata Karya Aksara

Dariah, dkk. 2013. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik. Balai Penelitian Tanah. Departemen Kehutanan Dan Pengembangan Balai Besar Penelitian Bioteknologi Dan Pemuliaan Tanaman Hutan. 2009. Budidaya Tanaman Suren 5 Juli 2009. Yogyakarta

Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial: Jakarta.

Dewi, I.G.A.S.U., N. M. Trigunasih., T. Kusmawati. 2012. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air Pada Derah Aliran Sungai Saba. E - Jurnal Agroekoteknologi Tropika, Universitas Udayana, Bali.

Djaenuddin, M. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Kmoditas Pertanian. Jakarta : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Hairiah, K dan S. AsharI. 2013. Pertanian Masa Depan Agroforestri, Manfaat, Layanan Lingkungan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013 Malang 21 Mei 2013. Hlm 23-35.

Hammer, W. I. 1978. Soil Conservation Report INS/78/006. Technical Note No. 7. Soil Research Institute , Bogor.

Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 13: 40 – 50.

Hudson, Winthrop.1972. Code-Mixing; Linguistic and Socio Cultural Meaning: The International Journal of Language Society and Culture.

Ibrahim, Y. dan Ramlin, T. 2018. Respon Tanaman Sawi Terhadap Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Kulit Pisang dan Bonggol Pisang. J. Agropolitan 5 (1) : 64-68

Idjudin, A. Abbas. 2011. Peranan Konservasi Lahan dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal Sumber Daya Lahan. Vol. 5 No 2.

(30)

24

Nur’saban, M. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Sebagai Upaya Melestarikan Kemampuan Fungsi Lingkungan. Geomedia, Yogyakarta. Vol. IV. No. 4:2.

Pudjiharta, Ag. 2005. Permasalahan Aspek Hidrologis Hutan Tusam dan Upaya Mengatasinya. Jurnal Analisis Kehutanan 2 (2) : 129-144. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Rayes, M.L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: PT. Andi.

Rusli, S. dan A. Abdullah. 1988. Prospek pengembangan kayu manis di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian

Sitanala Arsyad. 1989. Konservasi Tanah Dan Air. IPB, Bogor.

Sitorus, Santan. 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. PT. Tarsito, Bandung. Soil Survey Staff. 1993. Soil Survey Manual. Soil Conservation Service. U. S.

Departement of Agriculture (USDA).

Suratman Worosuprojo, Suharyadi, Suharyanto ( 1993). Evaluasi Kemampuan Lahan untuk Perencanaan Prnggunaan Lahan dengan Metode GIS di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, UGM.

Suryani, Adeha. 2015. Kesesuaian Lahan Kayu Manis di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Jurnal Nasional Ecopedon. JNEP Vol. 2(1).

Tukidal, Yunianto. 2006. Bahan Ajar Evaluasi Lahan untuk Perencanaan Lahan. UGM. Yogyakarta.

Tunas, I. G. 2005. Prediksi Erosi Lahan DAS Bengkulu Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Jurnal SMARTEK, Vol III. No. 3: 137-145.

Utomo, Wani Hadi. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Widodo, W. D. 2002. Memperpanjang Umur Produktif Cabai (60 kali petik) . Jakarta: Penebar Swadaya.

Wischmeier, W.H., C.B. Johnson, and B.V. Cross. 1971. A soil erodibility nomograph for farmland and construction sites. J.Soil and Water Cons. 26: 189-193.

(31)

25 LAMPIRAN

Lampiran 1. Form Penilaian Kelas Kemampuan Lahan

Satuan Peta Lahan 1

FORM PENILAIAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SPL 1

Faktor Pembatas Hasil Pengamatan

Lapang Kelas

Tekstur Tanah Lempung berdebu I

Lereng 54 % VII

Drainase Sedang II

Kedalaman Efektif >120 cm I

Tingkat Erosi Sedang IV

Permeabilitas Sedang I

Batu/ Kerikil - I

Bahaya Banjir Ringan I

Faktor Pembatas Lereng (e)

Kelas Kemampuan Lahan VII

Sub Kelas VII e

(32)

26

Satuan Peta Lahan 2

FORM PENILAIAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SPL 2

Faktor Pembatas Hasil Pengamatan

Lapang Kelas

Tekstur Tanah Lempung berdebu I

Lereng 34,4 % VI

Drainase Sedang II

Kedalaman Efektif >120 cm I

Tingkat Erosi Sedang IV

Permeabilitas Sedang I

Batu/ Kerikil - I

Bahaya Banjir Ringan I

Faktor Pembatas

Lereng (e)

Kelas Kemampuan Lahan VI

Sub Kelas VI e

(33)

27

Satuan Peta Lahan 3

FORM PENILAIAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SPL 3

Faktor Pembatas Hasil Pengamatan

Lapang Kelas

Tekstur Tanah Lempung berdebu I

Lereng 2,9% I

Drainase Sedang I

Kedalaman Efektif >120 cm I

Tingkat Erosi Rendah I

Permeabilitas Sedang I

Batu/ Kerikil - I

Bahaya Banjir Ringan I

Faktor Pembatas -

Kelas Kemampuan Lahan I

Sub Kelas I

(34)

28 Lampiran 2. Form Sketsa

Tim Pengamat : Kelompok P1 Penggarap :

Blok : Kelompok P1 Pemilik :

Dusun : Tawangargo Koordinat :

Desa : Sumbersari

Sekala Peta : 1:100

Titik Awal Titik Depan Jarak Lapangan (m) Jarak Pada

Peta (cm) Arah T0 T1 6,5 6,5 192 derajat dari arah utara T1 T2 15,2 15,2 145 derajat dari arah utara T2 T3 12 12 145 derajat dari arah utara T3 T4 8,5 8,5 106 derajat dari arah utara

T4 T5 26 26 87 derajat dari arah

utara T5 T6 16,3 16,3 236 derajat dari arah utara T6 T7 8,2 8,2 237 derajat dari arah utara T7 T8 8,2 8,2 236 derajat dari arah utara T8 T9 23,8 23,8 240 derajat dari arah utara

(35)

29 Lampiran 3. Transek Aktual dan Rekomendasi

Aktual

(36)

30 Lampiran 4. Data Curah Hujan Tahun 2005-2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

STASIUN KLIMATOLOGI KARANGPLOSO

Jl.. Zentana No.33 Karangploso Malang

Telp :(0341) 464827, 461595 ; Fax :(0341) 46482 ;Email : zentana33@yahoo.com , Website : staklimkarangploso.info

DATA CURAH HUJAN TAHUN 2005-2014

Tahun Unsur

Klimatologi Satuan Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Des

2005 Curah Hujan Millimeter 293 109 223 101 68 159 50 0 0 117 107 334

2006 Curah Hujan Millimeter 227 353 250 220 270 36 0 0 0 11 70 213

2007 Curah Hujan Millimeter 96 168 222 183 52 75 15 7 0 146 478 644

2008 Curah Hujan Millimeter 384 410 741 51 46 5 0 0 0 0 268 461

2009 Curah Hujan Millimeter 317 549 167 210 142 15 0 0 10 318 296 341

2010 Curah Hujan Millimeter 735 436 607 120 588 267 208 210 166 390 471 537

2011 Curah Hujan Millimeter 234 322 356 249 293 26 0 0 18 77 636 424

2012 Curah Hujan Millimeter 304 473 366 97 69 50 4 0 0 69 169 442

2013 Curah Hujan Millimeter 509 289 396 255 114 186 118 5 0 84 397 329

2014 Curah Hujan Millimeter 249 113 329 271 332 60 3 12 0 84 636 496

(37)

31 Lampiran 5. Data Tanah di Lahan Pengamatan

Jenis Data Hasil

Umur Kelestarian 400 tahun

Sub Ordo Udept = Andept

BI (g/cm3) 0,73

% debu+pasir sangat halus 55

% liat 32

% bahan organik 3,44

struktur tanah Granuler Sedang

(38)

32

Lampiran 6. Perhitungan Nilai Erosi Yang Diperbolehkan

Satuan Peta Lahan 1

= = 0,42 cm/ tahun = 0,42 cm/tahun x 0,72 g/cm3 = 0,306 g/cm2/tahun = 0,306 x 10-3/ 10-8/ tahun = 0.306 x 105kg/ha/tahun = 0,306 x 105 x 10-3 ton/ha/tahun = 0,306 x 102 ton/ha/tahun = 30,6 ton/ha/tahun

Satuan Peta Lahan 2

= = 0,42 cm/ tahun = 0,42 cm/tahun x 0,64 g/cm3 = 0,26 g/cm2/tahun = 0,26 x 10-3/ 10-8/ tahun = 0.26 x 105kg/ha/tahun = 0,26 x 105 x 10-3 ton/ha/tahun = 0,26 x 102 ton/ha/tahun = 26 ton/ha/tahun

Satuan Peta Lahan 3

= = 0,42 cm/ tahun = 0,42 cm/tahun x 0,56 g/cm3

(39)

33 = 0,23 g/cm2/tahun = 0,23 x 10-3/ 10-8/ tahun = 0,23 x 105kg/ha/tahun = 0,23 x 105 x 10-3 ton/ha/tahun = 0,23 x 102 ton/ha/tahun = 23 ton/ha/tahun

(40)

34 Lampiran 7. Perhitungan Nilai Erosivitas

= 10.80 + 4.15 (utomo dan Mahmud,1984) Keterangan :

Rb = Erosivitas bulanan

CHb= Curah hujan bulanan ( satuan dalam cm)

Bulan CHb Rata-rata Rb Januari 3348 334,8 13905 Februari 3222 322,2 13382,1 Maret 3657 365,7 15187,35 April 1757 175,4 7302,35 Mei 1974 197,4 8202,9 Juni 879 87,9 3658,65 Juli 398 39,8 1662,5 Agustus 234 23,4 981,9 September 194 19,4 815,9 Oktober 1296 129,6 5389,2 November 3528 352,79 14651,585 Desember 4221 422,1 17527,95 Total 102667,39 Perhitungan : Rb. Januari = 10,80 + 4,15 (3348) = 13905 Rb. Februari = 10,80 + 4,15 (3222) = 13382,1 Rb. Maret = 10.80 + 4,15 (3657) = 15187,35 Rb. April = 10,80 + 4,15 (1757) = 7302,35 Rb. Mei = 10,80 + 4,15 (1974) = 8202,9

(41)

35 Rb. Juni = 10,80 + 4,15 (879) = 3658,65 Rb. Juli = 10.80 + 4,15 (398) = 1662,5 Rb. Agustus = 10,80 + 4,15 (234) = 981,9 Rb. September= 10,80 + 4,15 (194) = 815,9 Rb. Oktober = 10,80 + 4,15 (1296) = 5389,2 Rb.November = 10,80+ 4,15 (3528) = 14651,585 Rb. Desember = 10,80+ 4,15 (4221) = 17527,95

Rb Total = [ ∑ Rb. Januari - Rb. Desember ] = 102667,39

(42)

36 Lampiran 8. Perhitungan Nilai Erodibilitas

Jenis Data Hasil Kode

% debu+pasir sangat halus (M) 55 -

% liat (M) 32 -

% bahan organik (a) 3,44 -

struktur tanah (b) Granuler Sedang 3

permeabilitas tanah (c) Sedang 3

100 K = 1,292 [ 2,1 M 1,14 (10 -4 ) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3) ] K = , , , ( )( ) , ( ) , ( ) = , , ( ) , ( )( , ) , ( ) , ( ) = , , ( ) , ( )( , ) , ( ) , ( ) = , , ( , ) ( )( , ) ( , ) ( ) = , , ( )( , ) ( , ) = , , ( , ) ( , ) = , , ( , ) = , , = , , = , = 0,32

(43)

37

Lampiran 9. Perhitungan Nilai Lenght and Sloope

Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), dihitung menggunakan rumus sebagai berikt (Morgan,1979)

Dengan LS = faktor panjang dan kemiringan lahan S = kemiringan lahan (%)

λ = panjang lereng (m)

Rumus tersebut berlaku untuk lahan dengan kemiringan < 22%, sedangkan untuk lahan dengan kemiringan lebih curam digunakan rumus Gregory et al. (1977) sebagai berikut :

Dengan T = faktor topografi/ LS

= panjang lereng dalam meter m = 0,5 untuk lereng 5% atau lebih 0,4 untuk lereng 3,5% - 4,9% 0,3 untuk lereng < 3,4% C = 34,7046

= sudut kemirigan lahan, dalam derajat

Satuan Peta Lahan 1

LS = ( , , )

0,5

x 34,7046 x (cos 24,32) 1,503 x 0,5 (sin 24,32) 1,249 + (sin 24,32) 2,249 = (1,10) 0,5 x 34,7046 x (0,911) 1,503 x 0,5 x (0,411) 1,249 + (0,411) 2,249 =1,05 x 34,7046 x 0,869 x 0,5 x 0,329 + 0,135 =5,209 + 0,135 =5,344 LS = λ (1,38 + 0,965 S + 0,138 S 2 T = ( λ , )

(44)

38

Satuan Peta Lahan 2

LS = ( , , )

0,5

x 34,7046 x (cos 15,41) 1,503 x 0,5 (sin 15,41) 1,249 + (sin 15,41) 2,249 = (0,43) 0,5 x 34,7046 x (0,964) 1,503 x 0,5 x (0,265) 1,249 + (0,265) 2,249

= 0,66 x 34,7046 x 0,964 x 0,5 x 0,190 + 0,050 = 2,058 + 0,050

= 2,108

Satuan Peta Lahan 3

T = ( , ) x (1,38 + 0,965) x s x 0,138 x s 2 ) = ( , ) x (1,38 + 0,965) x 2,9 x 0,138 x (2,9 2 )) = 0,075 (1,38 + 2,7985 + 1,166058) = 0,075 (5,33908) = 0,4004 = 0,632796

(45)

39 Lampiran 10. Perhitungan Nilai Crop Aktual

Jenis Tanaman Nilai C

Kopi 0,6 Pinus 1,00 Rumput 0,290 Jagung 0,673 Bunga Kol 0,900 Bengkulin 0,900 Jahe 0,900 Cabai 0,900 Wortel 0,900 Kubis 0,900 Sawi 0,900 Bero 1,00

Satuan Peta Lahan 1

C = = ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )( ) = ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) = 0,8388

Satuan Peta Lahan 2

C =

=

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

=

( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) = 0,8189

Satuan Peta Lahan 3

C =

=

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

=

( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) = 0,8189

(46)

40

Lampiran 11. Perhitungan Nilai Crop Rekomendasi

Jenis Tanaman Nilai C

Kopi 0,6 Pinus 1,00 Rumput 0,290 Mahoni 1,00 Kayu Manis 0,20 Cabai 0,900 Kubis 0,900 Sawi 0,900

Satuan Peta Lahan 1

C =

=

( ) ( ) ( ) ( )

=

( , ) ( , ) ( , ) = 0,7633

Satuan Peta Lahan 2

C =

=

( ) ( ) ( ) ( )

=

( , ) ( , ) ( , ) = 0,63

Satuan Peta Lahan 3

C =

=

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

=

( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) ( , ) = 0,6843

(47)

41

Lampiran 12. Perhitungan Nilai Pengelolaan Aktual dan Rekomendasi

Satuan Peta Lahan 1

P = = 0, 5

= 0,15

Satuan Peta Lahan 2

P = = 0, 5

= 0,15

Satuan Peta Lahan 3

P = = (0, 0,8) + ( 0,2)

= 0,104 + 0,2 = 1,923

(48)

42 Lampiran 13. Peta Kondisi Aktual

(49)

43 Lampiran 14. Peta Rekomendasi

(50)

44 Lampiran 15. Perhitungan BI

Satuan Peta Lahan 1

Silinder Massa Total Kadar Air Sub Sampel

Diameter Tinggi Mt Tb + c To + c Cawan

5 cm 6 cm 109,8 g 56,9 g 45,5 g 6,5 g Volume = ¼ x 3,14 x D2 x t =¼ x 3,14 x 52 x 6 =117,75 cm3 Kadar Air =( ) ( ) ( ) = , , , , =0,29 Mp = = , , =85,11 g BI = = , , =0,72 g/cm3

Satuan Peta Lahan 2

Silinder Massa Total Kadar Air Subsampel

Diameter Tinggi Mt Tb + c To+c Cawan

5 cm 6 cm 91,5 g 55,4 g 46,8 g 6,2 g

Volume = ¼ x 3,14 x D2 x t =¼ x 3,14 x 52 x 6 =117,75 cm3

(51)

45 Kadar Air =( ) ( ) ( ) = , , , , =0,21 Mp = = , , =75,61 BI = = , , =0,64 g/cm3

Satuan Peta Lahan 3

Silinder Massa

Total Kadar Air Subsampel

Diameter Tinggi Mt Tb + c To+c Cawan

5 cm 6 cm 98 g 57 g 41 g 7 g Volume = ¼ x 3,14 x D2 x t =¼ x 3,14 x 52 x 6 =117,75 cm3 Kadar Air =( ) ( ) ( ) = =0,47

(52)

46 Mp = = , =66,66 BI = = , , =0,56 g/cm3

(53)

47

Lampiran 16. Perhitungan Nilai Erosi Metode USLE Kondisi Aktual

Satuan Peta Lahan 1

A =

= 02667, 9 0, 2 5, 44 0,8 88 0, 5 = 22.048,81 ton/ha/thn

Satuan Peta Lahan 2

A =

= 02667, 9 0, 2 2, 08 0,8 89 0, 5 = 8.506,97 ton/ha/thn

Satuan Peta Lahan 3

A =

= 02667, 9 0, 2 0,6 2796 0,8 89 ,92 = 32.738,195 ton/ha/thn

Kondisi Rekomendasi

Satuan Peta Lahan 1

A =

= 02667, 9 0, 2 5, 44 0,76 0, 5 = 20.101,82 ton/ha/thn

Satuan Peta Lahan 2

A =

= 02667, 9 0, 2 2, 08 0,6 0, 5 = 6.544,62 ton/ha/thn

Satuan Peta Lahan 3

A =

= 02667, 9 0, 2 0,6 2796 0,684285 ,92 = 27.356,62 ton/ha/thn

Gambar

Gambar 1. Kondisi DAS Mikro Tawangargo

Referensi

Dokumen terkait

Namun pada metode pemodelan terbalik informasi yang dihasilkan berupa nilai prediksi faktor emisi melalui hasil pengukuran udara di ruas jalan utama Kota Bandung..

Transfer unilateral umumnya mengacu pada kiriman atau pemberian dana dari individu dan pemerintah domestik kepada pihak asing, serta berbagai kiriman dari pihak

1. Inovasi produk iPLAN Syariah dapat dijadikan pilihan bagi nasabah muslim yang ingin mendapatkan perlindungan jiwa dengan fitur wakaf manfaat asuransi dan wakaf

Jumlah nilai pokok kredit yang dibeli sebesar Rp1.040.141 telah berkurang sebesar Rp333.308 yang merupakan pembayaran angsuran kredit oleh debitur dari tanggal 31 Oktober 2000

 Temporal reference systems modelled after ISO 19108 now need to inherit correctly from ISO 19111 classes (as per ISO 19111:2007)  Support is required for abstract

Menurut hasil observasi saat melakukan penelitian pada lokasi taman baca, untuk dimensi pencahayaan terlihat pada tabel III.29 bahwa persepsi pemustaka mengenai

hipotesis yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut bahwa Rasio LDR, IPR, APB, NPL, IRR, BOPO, FBIR dan FACR secara bersama-sama

Dan juga terhadap pelaksanaan yang sesungguhnya untuk dapat mencapai tujuan dari pengendalian penjualan, yaitu mencapai volume penjualan yang dikehendaki dengan biaya yang