• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Sosio-Historis terhadap Pengaruh Asiria terhadap Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia di Israel Selatan. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Sosio-Historis terhadap Pengaruh Asiria terhadap Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia di Israel Selatan. Oleh"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

i

Kajian Sosio-Historis terhadap Pengaruh Asiria terhadap Gaya

Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia di Israel Selatan

Oleh

Eleksio Petrich Pattiasina

71 2011 043

Tugas Akhir

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi

Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga,

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Kata Pengantar

“Leadership is the capacity to translate vision into reality.” Warren Bennis

Pernyataan Warren Bennis dengan jelas menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan kapasitas untuk merealisasikan visi ke dalam kenyataan. Kepemimpinan tidaklah identik dengan jabatan saja, lebih daripada itu sosok kepemimpinan seyogiannya dapat menginsirasi, memberi ruang kepada orang lain untuk berkembang dan bertumbuh secara holistik. Penulis mengkaji kepemimpinan dalam konstalasi dunia perjanjian lama, khususnya perpolitikan maupun yang berdampak pada kehidupan sosial saat itu. Penulis mengkaji sebuah bangsa adidaya yang mengambil alih bangsa lain sehingga akan mempengaruhi struktur sosial, bahkan gaya kepemimpinan dari raja-raja saat itu. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis akan merekonstruksi dari segi sosio-historis akibat dari pengaruh bangsa Asiria terhadap gaya kepemimpinan raja-raja Yehuda (Hizkia, Manasye dan Yosia). Dunia perjanjian lama menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan aspek sangat penting yang membawa perubahan dalam kehidupan sosial. Penulis meyakini bahwa tema kepemimpinan sangatlah relevan pada dunia saat ini dan akan datang.

Atas rampungnya tulisan ini, penulis haturkan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena tuntunannya, tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Juga penulis menyadari bahwa dukungan dari berbagai pihak membantu proses penulisan ini. Pertama-pertama kepada orang tua dan keluarga yang telah mengorbankan banyak hal bagi penulis, mulai dari awal perkuliahan sampai saat ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih dan hormat. Kemudian, penulis ungkapkan rasa terima kasih dan kagum kepada Ivana Gabriela yang telah memberikan support selama ini dan memberikan pelajaran berharga sepanjang proses perkuliahan sampai saat ini. Ungkapan terima kasih penulis kepada Ibu Pdt Dr. Retnowati dan Ibu Ira Mangililo, Ph.D yang telah membimbing penulis sampai akhirnya dapat menyelesaikan tulisan ini dengan baik, penulis banyak belajar dari proses bimbingan yang dilakukan. Bagi Bapak Pdt. Yusak Setyawan, Ph.D dan Bapak Gusti Menoh, M.Hum selaku reviewer tugas akhir ini. Dengan masukan dan kritik yang membangun bagi penulis untuk terus belajar melakukan yang terbaik dalam segala hal. Penulis mengucapkan ungkapan terima kasih kepada Fakultas Teologi UKSW yang selama ini memberi pencerahan kepada penulis, juga bagi angkatan 2011 ungkapan terima kasih penulis ucapkan, karena telah belajar bersama-sama dalam proses menjadi teolog-teolog muda masa depan.

(6)

vi

Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik maupun saran sangatlah diharapkan oleh penulis untuk memberikan kualitas yang lebih baik dalam penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.

Salatiga, 1 Oktober 2015

(7)

vii

Daftar Isi

Cover ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Tidak Plagiat ... iii

Persetujuan Akses ... iv

Kata Pengantar ...v

Daftar Isi ... vii

Abstrak ... viii

1. Pendahuluan ...1

1.1Latar Belakang ...1

1.2Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian ...2

1.3Manfaat Penelitian ...2

1.4Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ...3

1.5Sistematika Penulisan ...3

2. Landasan Teori...3

2.1Kepemimpinan dalam Arti Luas ...3

2.2Kepemimpinan dalam Dunia Israel Kuno ...4

2.3Konsep-konsep Kepemimpinan ...4

2.3.1Kepemimpinan Transformatif ...5

2.3.2Kepemimpinan Transaksional ...5

2.3.3Kepemimpinan Kharismatik ...6

2.3.4Kepemimpinan Tradisional ...7

2.4Teori Core Periphery sebagai Kajian Kekuasaan Dunia Israel Kuno ...8

2.5Teori Sumber DH dalam Bingkai Kekuasaan Israel ...10

3. Kajian Sosio-Historis Kepemimpinan ...12

3.1Tinjauan Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Perjanjian Lama ...12

3.2Perkembangan Kekuasaan Kerajaan Israel ...13

3.3Pengaruh Asiria terhadap Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia ..15

3.4Kekuasaan Raja Hizkia Menghadapi Gempuran Asiria ...17

3.5Pergolakan Kepemimpinan Raja Manasye ...19

3.6Reformasi Kepemimpinan Raja Yosia ...20

4. Relevansi Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia bagi Dunia Masa Kini ...22

4.1Kepemimpinan Kristen Masa Kini ...23

5. Penutup ...24

(8)

viii

Abstrak

Dunia perjanjian lama tidak bisa lepas dari adanya suatu bangsa berkuasa yang dapat mempengaruhi sebuah bangsa atau wilayah menjadi bangsa taklukan. Tulisan ini membahas kekuasaan Asiria yang mempengaruhi gaya kepemimpinan raja Israel Selatan saat itu, yakni Hizkia, Manasye dan Yosia. Kisah sejarah yang penuh dengan intrik mengenai jatuh bangunnya Israel Selatan yang sangat berbau politik, dan berpengaruh pada kebijakan yang diturunkan.Entah itu Israel Selatan harus melawan kepada bangsa adidaya dalam hal ini Asiria atau tunduk kepadanya. Dengan menggunakan pendekatan Sosio-Historis juga memakai pendekatan teori core and periphery (pusat dan pinggiran) akibat dari imperialisme besar-besaran yang terjadi saat itu kepada Israel Selatan yang termasuk sebagai bangsa pinggiran, sedangkan bangsa Asiria sebagai bangsa pusat yang memainkan peranan kunci dalam perpolitikkan saat itu.Dengan menggunakan konsep-konsep kepemimpinan sebagai analisa kritis terhadap gaya kepemimpinan ketiga raja tersebut. Prinsip kepemimpinan tersebut menjadi dasar bagi pembaca untuk menghadapi tantangan zaman yang begitu kuat yang pada akhirnya dipahami bahwa kepemimpinan merupakan suatu seni yang harus terus menerus diperbaharui sesuai dengan situasi dan konteks yang ada.Dengan menggunakan strategi-strategi yang baik untuk kemajuan suatu kelompok maupun organisasi dalam masyarakat.

(9)

- 1 -

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Pemerintahan dan kerajaan sebenarnya tidak bisa lepas dari yang namanya pemimpin seperti halnya pemimpin provinsi seperti gubernur, pemimpin negara yakni presiden, dan berbagai kedudukan kepemimpinan lainnya. Hal ini merupakan sesuatu yang mutlak karena pemimpin merupakan sosok yang menjadi panutan dan harus memberi tempat bagi orang lain untuk selalu bertumbuh dan berkembang sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya. Pemimpin harus memprioritaskan kepentingan orang banyak, bukan semata-mata kepentingan pribadi atau golongan. Meskipun dalam setiap masa pasti ada tantangan dan hambatan yang mempengaruhi seorang pemimpin, baik pengaruh dari dalam (kelompok atau organisasi) maupun dari luar (kekuasaan). Lebih daripada itu kepemimpinan merupakan suatu seni yang harus dimiliki oleh seseorang dalam upaya untuk menggerakan orang lain (individu maupun kelompok) untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Secara spesifik yang akan dibahas lebih lanjut adalah kepemimpinan dari dunia timur dekat kuno, yakni bangsa Yehuda dengan pergolakan politik, ekonomi maupun budaya menghadapi bangsa di sekitarnya.

Tulisan ini membahas mengenai jatuh bangunnya kekuasaan Yehuda menghadapi bangsa adidaya Asiria. Coote mengatakan bahwa runtuhnya kerajaan Israel Utara di tangan Asiria tersebut menyebabkan Yehuda di Selatan tidak bebas sepenuhnya. Asiria masih terus

membayangi kerajaan Yehuda dengan sangat ketat.1 Hal menarik yang dapat dilihat dari

relasi tersebut adalah bagaimana reaksi raja-raja Israel Selatan ketika mereka menjalankan kepemimpinan yang dibayang-bayangi oleh kekuasaan imperialisme Asiria tersebut. Imperialisme merupakan suatu kebijakan dimana suatu negara besar dapat memegang kendali atas daerah lain agar daerah itu dapat dipelihara atau berkembang. Dalam tulisan ini memaparkan mengenai kekuasaan pasca raja Salomo, terutama pada ketiga raja tersebut (Hizkia, Manasye dan Yosia). Pengaruh kekuasaan Asiria tersebut berimbas sangat jelas di dalam gaya kepemimpinan raja-raja yang berkuasa pada masa pasca Salomo. Fokus utama yang dikritisi ialah bagaimana pelaksanaan kepemimpinan ketika Asiria membayangi Yehuda secara ketat. Tulisan ini dibatasi pada tiga raja, yaitu Hizkia, Manasye dan Yosia karena pada masa mereka Asiria dalam puncak kekuasaan dan juga saat itu kekuasaan Asiria mulai

1 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik; Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan Israel (Jakarta:

(10)

- 2 -

melemah. Kerajaan Israel saat itu ibarat orang yang berusaha menghindari permasalahan dan tergesa-gesa dalam menyikapi keadaan sekitarnya. Hal ini menjadi sesuatu yang penting karena dalam sejarahnya banyak sekali muncul pandangan-pandangan yang mempengaruhi cara orang Israel melihat diri mereka yang tercatat di dalam kitab-kitab Deuteronomy History (DH) Yosua sampai 2 Raja-Raja. Dengan melihat keadaan tersebut, maka dapat terlihat bahwa pengaruh kekuasaan Asiria mengakibatkan ketiga raja tersebut harus berinteraksi dengan kekuasaan Asiria. Hal ini akan nyata di dalam setiap kebijakan yang mereka ambil. Entah itu kebijakan yang menolak atau melawan,kebijakan dimana Israel menjadi bangsa taklukan yang patuh, tetapi juga pada akhirnya mereka menjadi bangsa taklukan yang berangsur-angsur terbebas dan melihat kesempatan (kekosongan) itu sebagai ajang untuk memperbaiki keadaan yang hancur.

1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Dua rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu: Pertama, Bagaimana pengaruh kekuasaan Asiria terhadap gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia ditinjau dari konteks sosio-historisnya?Kedua, Bagaimana gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia berdampak terhadap pola kepemimpinan masa kini dengan kehidupan pembaca dalam konteks Indonesia?

Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: Pertama, menjelaskan dan melakukan tinjauan kritis pengaruh kekuasaan Asiria terhadap gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye danYosia ditinjau dari konteks sosio-historisnya.Kedua, Melakukan tinjauan kritis terhadap gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia serta dampaknya pada kepemimpinan masa kini, terkhusus dalam konteks Indonesia.

1.3 Manfaat Penelitian

Secara teoritis kajian sosio historis ini dapat menjadi sumbangan terhadap pemahaman yang lebih kompleks dan mendalam kepada mahasiswa/i teologi di Indonesia mengenai pengaruh Asiria terhadap gaya kepemimpinan dari raja-raja di Israel Selatan, khususnya Hizkia, Manasye dan Yosia. Juga Menjadi bahan referensi dalam bidang Perjanjian Lama, yakni sebagai suatu acuan terhadap pemahaman mendasar dan mendalam yang terkait dengan studi kepemimpinan.Secara praktis kajian sosio historis ini menjadi acuanbagi pemimpin-pemimpin gereja dan masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas kepemimpinannya ditinjau dari gaya kepemimpinan Perjanjian Lama yang relevan digunakan saat ini sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang beradab (civil society).

(11)

- 3 -

1.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode hermeneutik dengan pendekatan sosio-historis. Dalam hal ini pendekatan sosio-historis digunakan untuk dapat melihat dan menganalisis keadaan sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya yang ada pada saat itu dan khususnya berhubungan dengan situasi di Israel Selatan saat itu yang berhubungan dengan bangsa Asiria. Metode Hermeneutik dengan pendekatan sosio-historis ini berguna untuk menganalisis latar belakang sejarah dan situasi sosial yang terjadi pada masa

tertentu, khususnya pada masa Perjanjian lama dengan lebih kritis dan mendalam.2

Teknik pengumpulan data dilakukan dari penelusuran dan pengkajian terhadap

bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data.3 Sumber data tersebut berupa literatur yang

berhubungan dengan penulisan ini sehingga penulis menggunakan metode studi kepustakaan, kemudian penulis mengolah data dengan mengidentifikasi, mengkritisi dan menganalisa berdasarkan sumber pustaka yang relevan. Hasil pengolahan data maupun analisa diharapkan dapat menjawab masalah yang diteliti.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulis membagi sistematika penulisan penelitian ini dalam lima bagian. Pada bagian pertama berisikan pendahuluan. Bagian kedua memuat Landasan Teori yang menjelaskan konsep kepemimpinan, teori Core Periphery, dan teori sumber DH. Bagian ketiga memuat pembahasan serta analisa sosio-historis pengaruh Asiria terhadap gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia. Bagian keempat berisi mengenai Relevansi gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia bagi kepemimpinan masa kini. Terakhir bagian kelima akan memuat penutup tulisan ini.

2. Landasan Teori

2.1 Kepemimpinan dalam Arti Luas

Kepemimpinan dilihat dari akar katanya, yakni pimpin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan bahwa pemimpin merupakan suatu keadaan dalam mengepalai suatu perkumpulan/organisasi, menuntun, memandu dan melatih orang yang dipimpinnya. Dari kepemimpinan tersebut lahirlah gaya kepemimpinan masing-masing orang. Setiap pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing, serta keunikan yang tidak dimiliki oleh pemimpin lain. Untuk itu tidak ada gaya kepemimpinan yang benar-benar ideal,

2 Norman K Gottwald, Sociological Method in The Study of Acient Israel (New York: Orbis Books, 1983), 27. 3 H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Madah Univeristy Press, 1983), 79.

(12)

- 4 -

setiap gaya kepemimpinan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Maka, setiap pemimpin perlu untuk mengembangkan diri dan kemampuan untuk mengetahui konteks dan kondisi yang dialami oleh kelompok yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan juga dapat dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik maupun budaya di sekitarnya. Dengan demikian perlu adanya visi dari suatu kelompok atau organisasi, agar dalam menjalankan kepemimpinannya dapat berjalan bersama-sama dengan orang yang dipimpin. Kadarman mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni atau proses untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain agar mereka mau berusaha untuk mencapai tujuan yang hendak

dicapai kelompok.4 Menurut Chung dan Megginson kepemimpinan didefinisikan sebagai

kesanggupan mempengaruhi perilaku orang lain dalam suatu arah tertentu.5 Dari definisi

tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk tercapainya suatu tujuan tertentu.

2.2 Kepemimpinan dalam Dunia Israel Kuno

Di dalam dunia Israel kuno ketika raja menjadi seorang pemimpin kepada umatnya, ia menjadi tokoh sentral dan menjadi panutan bangsanya. Dalam hal ini Raja Yehuda di Selatan, yakni Hizkia, Manasye dan Yosia yang menjadi obyek dalam penelitian ini sebagai sosok pemimpin ketika kerajaan mereka mendapatkan perlawanan dari Asiria ataupun secara langsung, kerajaan Yehuda di Selatan ditindas oleh Asiria, saat-saat tersebutlah sosok pemimpin ditentukan. Retnowati menyatakan bahwa, “Banyak orang menjadi pemimpin tetapi tidak semua orang dapat menjadi leader karena leader membutuhkan komitmen,

integritas dan idealisme”.6 Dengan demikian kepemimpinan merupakan bagian yang paling

penting dari sejarah umat manusia, mulai dari dunia Israel Kuno sampai dunia saat ini membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi leader bagi komunitas maupun dalam kelompoknya.

2.3 Konsep-konsep Kepemimpinan

Retnowati membagi konsep-konsep kepemimpinan menjadi beberapa bagian7, dan

penulis menggunakan empat konsep kepemimpinan yang menjadi suatu dasar pemikiran untuk menganalisis pola kepemimpinan raja-raja Yehuda di Selatan (Hizkia, Manasye dan Yosia) konsep-konsep kepemimpinan tersebut sebagai berikut:

4 Kadarman, A.M, Pengantar Ilmu Manajemen: buku panduan mahasiswa (Jakarta:PT Gramedia Pustaka

Utama, 1996), 110.

5Stan Kosen, Aspek Manusiawi dalam Organisasi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986) , 181.

6Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas

Teologi UKSW, 2012), 9.

(13)

- 5 -

2.3.1Kepemimpinan Transformatif

Para pemimpin transformasional mengidentifikasi, mengartikulasi dan membantu orang lain menginternalisasi nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan bersama. Model kepemimpinan ini selalu berupaya memberi peluang bagi pengikutnya untuk mengembangkan diri mereka. Pemimpin transformatif ini terus memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya dan juga mendampingi mereka dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Model kepemimpinan transformatif ini tidak hanya dilihat pada hasilnya tetapi pada proses yang dilalui kelompok atau organisasi yang dipimpinnya. Dalam kepemimpinan transformatif, kepemimpinan dapat didefinisikan juga sebagai suatu seni

untuk menciptakan kesesuaian paham atau kesepakatan.8

Kepemimpinan transformatif juga tidak lepas dari pelaksanaan pengaruh.9 Menurut

Keating kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang

atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.10 Hal ini berarti adanya hubungan

yang kolektif kolegial antara pemimpin dan pengikut, tetapi hal tersebut tidak diwarnai oleh dominasi ataupun penekanan dari pihak pemimpin. Dalam melakukan suatu transformasi

kepemimpinan, perlu dilihat tindakan atau perilaku.11 Paham tersebut dapat dihubungkan

dengan tindakan-tindakan seorang pemimpin dalam mengarahkan atau mendorong anggotanya. Hal tersebut memberi pemahaman baru terhadap anggotanya juga memberi perhatian yang lebih dalam perilaku pemimpin terhadap anggota, terkhusus masalah kesejahteraan dan perasaan mereka.

2.3.2Kepemimpinan Transaksional

Pola kepemimpinan transaksional merupakan kepemimpinan yang menekankan pada transaksi antara pemimpin dan para pengikutnya. Dalam menjalankan organisasi pemimpin transaksional mendasari kepemimpinannya dengan reward dan punishment, pengikut yang berhasil mencapai tujuan yang diharapkan mendapat reward, sedangkan yang tidak berhasil mencapai tujuan yang diharapkan atau gagal mendapat punishment. Model kepemimpinan ini sebenarnya dapat memacu kinerja anggota atau orang yang dipimpin, tetapi di sisi lain pekerjaan dan tugas mereka dapat menjadi beban selama mereka melaksanakannya. Sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan kepemimpinan transformasional, karena pola

8 Ralph M. Stogdill. A Handbook of Leadership, The Free Press (London: Collier Macmillan Publishers, 1974), 9. 9Ralph M. Stogdill, A Handbook,9-10.

10 Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 9. 11 Ralph M. Stogdill, A Handbook, 10-11.

(14)

- 6 -

kepemimpinan transformasional bersama-sama maju di dalam memajukan suatu organisasi yang dipimpinnya. Kepemimpinan transformasional, khususnya dalam suatu organisasi tidak menjadikan suatu pekerjaan atau tanggung jawab sebagai suatu beban moral yang harus dikerjakan ‘dengan paksaan’, meskipun dalam kepemimpinan transaksional ini dapat memacu seseorang untuk bekerja lebih baik lagi dan untuk mencapai target, tetapi yang dilihat bukan prosesnya melainkan hasil yang akan didapatkan, penghargaan atau hukuman.

2.3.3Kepemimpinan Kharismatik

Kepemimpinan kharismatik pertama kali dimunculkan oleh Weber.Teori tentang kharisma dan aplikasinya banyak ditemukan dari teori terhadap beberapa tokoh sejarah yang sebagian besar adalah nabi Yahudi dan pendeta Yahudi. Konsep kharisma itu sendiri sudah sangat tua. Kharisma adalah kata kuno. Sumbernya sering dikutip dari kata Yunani kuno “kairismos”. Istilah ini bahkan mundur lebih jauh ke zaman Persia kuno. Bagi orang Persia dan Yunani kharisma berarti sebuah pemberian para dewa yang dianugerahkan kepada seseorang. Kepemimpinan model ini terkadang menjadi hal yang lumrah dari dunia Israel kuno, karena raja-raja pada saat itu menganuhgerahkan takhta mereka kepada penerusnya, yaitu anak mereka sehingga secara tidak langsung memberi perhatian bahwa kepemimpinan model ini hanya didapatkan oleh keturunan raja atau dewa saja. Kepemimpinan Kharismatik

dikatakan merupakan suatu kepribadian seseorang yang mempunyai pengaruh.12 Paham atau

pandangan ini muncul ketika para pakar mencoba menjelaskan mengapa beberapa orang lebih mampu menjalakan suatu kepemimpinan dibandingkan dengan yang lainnya. Bigham mendefinisikan seorang pemimpin sebagai seseorang yang memiliki sejumlah sifat dan watak

yang memadai dari suatu kepribadian.13Model kepemimpinan Kharismatik memiliki

sifat-sifat tertentu yang membedakannya dengan orang yang dipimpinnya.

Dalam Kepemimpinan Kharismatik yang sangat kental terlihat adalah relasi

kekuasaan.14 Dari pandangan ini, kekuatan dan kekuasaan merupakan suatu hubungan antara

pemimpin dengan yang dipimpin, dimana yang memimpin lebih mendominasi atau mempengaruhi daripada dipengaruhi. Hal tersebut terjadi, karena kekuasaan dan kekuatan yang ia miliki untuk mempengaruhi orang lain sesuai keinginannya. Gaya kepemimpinan ini yang membedakan dengan kepemimpinan transformasional dan transaksional, karena gaya kepemimpinan ini hanya berfokus pada seorang pemimpin saja, tanpa banyak mempedulikan

12 Ralph M. Stogdill. A Handbook, 8-9.

13 BighamW.V., The Pyschological Foundations of Management (Shaw: New York, 1927), 54. 14 Ralph M. Stogdill, A Handbook, 12.

(15)

- 7 -

orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan kharismatik sangat mirip dengan kepemimpinan tradisional yang berpusat pada sang pemimpin sebagai sentral dari segala sesuatunya

2.3.4Kepemimpinan Tradisional

Kepemimpinan tradisional digambarkan ibarat sapu lidi, semua nilai sosial berkisar pada pemimpin. Kurang ada perserikatan horizontal antara orang-orang yang setara karena semuanya bergantung kepada hubungan vertikal dengan pemimpin-pemimpin. Dalam masyarakat ‘sapu lidi’ solidaritas hanya tergantung pada tali pengikatnya. Jika tali pengikatnya lemah atau hilang, maka solidaritas semacam itu akan pudar. Kepemimpinan model ini mirip dengan kepemimpinan kharismatik yang menekankan pada sosok pemimpinnya, dan hal ini cenderung membuat suatu komunitas tidak berkembang dan maju, karena pemimpinnya hanya fokus pada dirinya sendiri, tidak melihat komunitasnya sebagai suatu sarana yang sangat penting untuk didayagunakan. Kepemimpinan sebagai titik pusat

proses-proses kelompok.15 Dapat diketahui bahwa pemimpin merupakan sosok yang tidak

bisa dipisahkan oleh kelompoknya dan ia menjadi titik pusat dan penentu dalam kelompok tersebut. Kepemimpinan merupakan pusat dari kegiatan yang terjadi, mulai dari prosesnya hingga setiap perubahan yang terjadi. Kepemimpinan merupakan gejala dari setiap kelompok atau gejala sosial yang terjadi. Dalam gaya kepemimpinan ini sangatlah sulit suatu organisasi untuk berkembang, karena hanya bergantung pada seorang pemimpin saja, tetapi dalam budaya Israel Kuno gaya kepemimpinan ini seringkali dipakai sebagai suatu kebudayaan yang turun menurun, yakni seorang raja yang memimpin bangsanya dengan kekuasaan berpusat pada dirinya sendiri.

Dengan adanya konsep-konsep mengenai kepemimpinan tersebut, pola pikir dan tindakan yang dilakukan oleh raja-raja Yehuda di Selatan dapat diketahui secara implisit berdasarkan konsep kepemimpinan tersebut. Hal tersebut juga dapat memberi kemudahan bagi penulis ketika menganalisis lebih dalam pengaruh Asiria terhadap gaya kepemimpinan mereka. Dari model-model kepemimpinan di atas, yakni kepemimpinan transformatif, kepemimpinan transaksional, kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan tradisional digunakan sebagai suatu acuan dalam menganalisis hubungan timbal balik antara Asiria dengan raja-raja Yehuda di Selatan yang berkuasa saat itu. Bagaimana kepemimpinan mereka mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga dapat turun ke kebijakan yang mereka lakukan. Ini

(16)

- 8 -

dapat terlihat pada teori yang akan digunakan selanjutnya, yakni teori core and periphery dalam menganalisis tulisan ini dengan lebih lugas dan sistematis.

2.4 Teori Core Periphery sebagai Kajian Kekuasaan Dunia Israel Kuno

Dunia Israel kuno secara eksplisit terdapat bangsa adidaya dan bangsa non adidaya. Dari hal tersebut dapat diambil suatu benang merah yang berhubungan, yakni di setiap zaman sudah pasti ada suatu bangsa yang berkuasa dan yang ditindas (tidak berkuasa). Hukum rimba berlaku yang menyatakan “siapa yang menang atau yang kuat dialah yang berkuasa.” Dalam hal ini yang menjadi subyek penelitian ialah bangsa adidaya Asiria yang berhubungan dengan bangsa non adidaya Israel Selatan (Yehuda) yang pada masa itu bersama-sama mempunyai pengaruh dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Inilah yang akan mempengaruhi gaya kepemimpinan raja-raja Yehuda di Selatan (Hizkia, Manasye dan Yosia) yang berkuasa saat itu hal tersebut dikarenakan situasi dan perubahan-perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi gaya kepemimpinan serta kebijakan yang akan dilakukan oleh raja-raja Yehuda saat itu.

Sebuah permainan politik yang sangat menarik antara kekuasaan bangsa adidaya dengan bangsa taklukan di dunia timur dekat kuno, dimulai dari pemerintahan Mesir yang begitu hebat sehingga menguasai daratan timur dekat kuno tahun 2600 SZB (Sebelum Zaman Bersama), kemudian kerajaan-kerajaan besar masuk, yakni Babilonia, kerajaan Hitti, kerajaan Akadia, kerajaan Asiria dan kira-kira pada tahun 1000-971 SZB baru munculnya kerajaan

Daud (Israel).16 Terjadinya pergolakan politik yang begitu kuat yang didasari oleh

penguasaan wilayah satu dengan yang lainnya. Pada perjalanannya ketika muncul kerajaan yang besar, kuat dan semakin berkembang, maka saat itu disebut sebagai kerajaan core sedangkan bangsa yang ditindas, maupun dikuasai disebut dengan kerajaan periphery. Teori core and periphery merupakan suatu pengendalian kawasan berdasarkan sebuah sistem politik yang dipusatkan. Dalam hal ini suatu kekuasaan bisa sangat besar tergantung sejauh

mana kerajaan tersebut dapat menguasai secara politis daerahnya.17 Perbedaan inti dari

kelompok core and periphery, terlihat jelas dari kekuataan ekonomi dan politik masing-masing kelompok tersebut. Kelompok terkuat ialah negara core yang mengambil keuntungan paling banyak, bahkan dapat memanipulasi sistem politik sampai batas-batas tertentu.

16 Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1987),

71-78.

(17)

- 9 -

Sedangkan negara periphery merupakan pihak yang paling dieksploitir, baik dari sumber

daya manusia maupun sumber daya alamnya.18

Jika terjadi demikian, maka sebuah pemerintahan akan kuat dan lemah ditentukan oleh pemasukan maupun produksi yang dilakukan. Menurut Wallerstein, hubungan timbal balik dari pembagian budaya kerja secara khusus menekankan dalam produksi, dalam hal ini pembagian kerja mengacu pada kekuatan dan hubungan produksi perekonomian secara

keseluruhan.19 Pembagian kerja ini menyebabkan adanya dua daerah yang saling bergantung,

yakni negara inti dan negara pinggiran (core and periphery), hal ini akan mempengaruhi secara menyeluruh perkembangan struktur maupun sistem sosial.

Konsep negara inti dan pinggiran ini sangat berkaitan dengan teori sistem dunia yang mana berhubungan erat dengan sistem kapitalisme yang dilakukan oleh negara inti atau dikatakan sebagai negara maju sehingga negara inti dapat mengambil maupun mengeksploitasi negara pinggiran dalam hal tenaga kerja maupun dari barang-barang mentah yang didapatkan, dapat dipastikan negara inti ini sangatlah diuntungkan dengan berbagai kemewahan yang didapatkan, mulai dari perekonomian, perpolitikan, secara otomatis negara inti ini dapat menguasai negara pinggiran dengan otoritas yang mereka miliki. Oleh karena negara inti mendapatkan kontrol penuh terhadap perdagangan internasional dan mendapat surplus modal dari perdagangan tersebut untuk keuntungan negara mereka sendiri. Ritzer menyatakan bahwa area geografis core mendominasi dan mengeksploitasi bagian luar dari core. Sedangkan bagian periphery merupakan wilayah-wilayah yang memberikan

bahan-bahan mentah ke bagian inti dan dieksploitasi secara besar-besaran olehnya.20

Negara pinggiran sangatlah bergantung pada negara inti dalam hal permodalan, karena perindustrian mereka yang belum begitu maju, dikarenakan negara pinggiran tidak memiliki pemerintah pusat yang kuat sehingga dapat dikendalikan oleh negara-negara lain. Wallerstein berpendapat bahwa dunia terlalu kompleks jika dijelaskan hanya dengan model dua kutub (inti dan pinggiran), karena ada banyak negara yang terletak di dua posisi tersebut yang tidak dapat dan juga tidak tepat dikatakan sebagai negara inti maupun negara pinggiran. Dengan demikian Wallersterin menambahkan negara semi periphery atau negara semi

18 Bdk. Arief Budiman, Teori Pembangunan, 109.

19 Chase-Dunn, Christoper and HallThomas. Core/Periphery Relations in Precapitalist World (San Francisco:

Westview Press, 1991), 6.

20 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta:

(18)

- 10 -

pinggiran yang bisa dikatakan sebagai negara inti yang mengalami penurunan atau negara peripheri yang berusaha meningkatkan posisinya dalam sistem dunia.21

2.5 Teori Sumber DH dalam Bingkai Kekuasaan Israel

Pada rentang masa kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia ini, maka perlu melihat dari sudut pandang sumber DH sebagai bingkai besar kekuasaan Israel saat itu. Coote menyatakan bahwa tulisan DH muncul sebelum masa pembuangan, bahkania muncul saat

raja Yosia memerintah di Yehuda.22 Inilah yang dikenal dengan sumber Deuteronomis atau

sumber Dh dalam pentateuch. Sejarah deuteronomistik merupakan sejarah tentang kedaulatan dinasti Daud. Coote menyatakan bahwa raja Israel tidak melegitimasi dirinya sendiri, sering kali hal itu merupakan kekhasan raja-raja dari Timur Dekat Kuno. Raja Israel dipilih oleh

dewa.23 Ini merupakan bagian dari unsur politik yang terjadi saat itu sehingga akan

berpengaruh terhadap kebijakan yang raja Israel lakukan.

Cross menyatakan bahwa sumber DH ditulis dalam dua bagian. Bagian pertama (Dtr1)

ditulis oleh seseorang yang hidup pada masa Raja Yosia kira-kira 100 tahun sesudah kehancuran Israel Utara tahun 722 SZB atau tepatnya sekitar 622 SZB di Yerusalem ketika Yosia memerintah sebagai raja Yehuda. Ada dua tema yang mendominasi tulisan Dtr1 ini, pertama,akibat dosa Yerobeam dan kedua, kesetiaan Daud dan Yerusalem. Titaley dalam tulisan Robert Coote menyatakan bahwa Dosa Yerobeam tampak dari pemisahan Israel Utara dengan menghidupkan kembali kultus utara termasuk Sikhem dan Betel (1 Raj. 13:34) sebagai tandingan kultus Bait Allah di Yerusalem sehingga orang-orang Israel Utara tak perlu lagi beribadah ke Yerusalem. Hakikat dari ibadah ke Yerusalem adalah penegasan otoritas keluarga Daud atas wilayah utara sekaligus orang-orangnya. Jadi, ketika Yerobeam menghidupkan kembali kultus-kultus di utara, hal itu dilihat oleh keluarga Daud sebagai pembangkangan terhadap keluarga Daud di Selatan. Itulah dosa terbesar Yerobeam. Oleh

karena itu, adalah sah bila Israel di Utara hancur.24 Dtr1 diperkirakan terdapat dalam sebagian

besar sumber DH sampai 2 Raja-Raja 23:25 yang menekankan kesalehan dan ketaatan Yosia.

21 http://legacy.fordham.edu/halsall/MOD/Wallerstein.asp/ "Modern History Sourcebook: Summary of

Wallerstein on World System Theory". Diakses 8 Juni 2015. 18.33 WIB.

22 David Robert Ord dan Robert B. Coote, Apakah Alkitab Benar? : memahami kebenaran Allah pada masa kini

(Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 99.

23 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik (Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan Israel) (jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2014), 14.

(19)

- 11 -

Bagian kedua (Dtr2) ditulis pada masa pembuangan.25 Coote memperkirakan bahwa

penulis Dtr1yang berhubungan dengan masa pemerintahan Raja Yosia adalah imam-imam

tradisi Lewi yang berhubungan dengan Silo dan Musa dibawah pimpinan safan, juru tulis

Yosia. Sedangkan Dtr2 merupakan pekerjaan lanjutan yang dikerjakan oleh penulis-penulis

istana yang berlatarbelakang para imam di pembuangan. Akibatnya, terjadi perubahan terhadap sejarah Deuteronomis, khususnya bagi hukum Yosia yang menawarkan kesempatan murah untuk bertobat. Dari perubahan inilah yang menjadikan raja Manasye sebagai

penyebab kejatuhan Yehuda.26

Dua bagian yang Cross sebutkan itulah yang menjadi latar belakang penulisan sumber DH ini. Intinya adalah bahwa Israel Utara sebenarnya adalah bagian dari Yehuda di Selatan. Oleh karena itu, tidaklah salah kalau Yosia merasa berdaulat atas Israel Utara itu. Tulisan-tulisannya tersebut merupakan upaya ideologis untuk mengembalikan Israel Utara ke dalam

pangkuan Yehuda kembali.27 Tulisan ini dilakukan Yosia setelah menyadari bahwa Asiria

sedang memasuki masa kehancurannya setelah hampir satu abad menguasai Palestina dan berbagai daerah lainnya mulai dari Tiglath-Pilezer III menjadi raja Asiria tahun 745-727 SZB

sampai Assyurbanipal tahun 668-627 SZB.28 Selama itu, Yehuda menjadi kerajaan taklukan

yang harus taat pada Asiria. Kehancuran Israel Utara setelah memisahkan diri dari Yerusalem adalah akibat keinginan mereka untuk memberontak terhadap Asiria. Dengan melakukan kajian menggunakan teori sumber DH sebagai bagian dari kekuasaan Israel, maka tulisan ini diperkaya dengan dasar-dasar sosio-historis latar belakang tulisan di dunia perjanjian lama.

Tulisan ini membahas lebih mendalam mengenai pengaruh Asiria terhadap gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia. Oleh karena teori-teori tersebut sangatlah relevan dan tepat, karena masing-masing teori mempunyai suatu sudut pandang yang akan berguna untuk membangun dan memperkaya tulisan ini. Penulis melihat adanya suatu keterkaitan antara dunia perjanjian lama dengan teori sistem dunia yang digunakan, terlebih khusus core and periphery untuk melihat pengaruh kekuasaan terhadap Israel Selatan akibat imperialisme besar-besaran dari Asiria. Dari dasar tersebut akan mempengaruhi gaya kepemimpinan masing-masing raja pada masa itu, pada akhirnya gaya kepemimpinan akan membawa

25 Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essays in the History of The Religion of Israel,

(Cambridge: Harvard University Press, 1973), 288

26 Robert B. Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2004), 79-80

27 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik, 7. 28 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik, 8.

(20)

- 12 -

dampak dan pengaruh di dalam kebijakan yang dibuat sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat dan kebudayaan dari masyarakat itu sendiri.

3. Kajian Sosio-Historis Kepemimpinan

3.1 Tinjauan Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Perjanjian Lama

Dalam setiap konteks kepemimpinan tidak bisa terlepas dari budaya, karena budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok yang diwariskan turun temurun, dari suatu generasi ke generasi yang lainnya. Maka dapat dipahami bahwa suatu budaya dapat terbentuk dari setiap kebiasaan yang dilakukan oleh kelompok, baik adat istiadat, sistem agama maupun sistem politik yang tanpa disadari itu menjadikan suatu perubahan yang mendasar dari pemahaman setiap masyarakat akan seorang pemimpinnya. Endraswara menyatakan bahwa budaya merupakan sesuatu yang hidup,

berkembang dan bergerak menuju titik tertentu.29 Budaya yang hidup merupakan budaya

yang terus menerus berubah dengan berjalannya waktu, untuk mendasari pemahaman dalam kajian sosio-historis penelitian ini, maka perlu melihat budaya perjanjian lama yang terjadi saat itu yang mempengaruhi setiap pemimpin atau raja-raja dalam mengambil keputusan dan kebijakan.

Perkembangan kepemimpinan yang ada di dunia israel kuno, seperti yang ada di dalam perjanjian lama. Ditelusuri dari kepemimpinan zaman pra monarki yang didasarkan pada liga suku-suku, dimana hanya terdapat bét-av (Rumah Bapa), klan, dan suku. Setiap suku dipimpin oleh kepala suku atau tetua yang akan menghakimi setiap masalah, contoh kepemimpinan saat itu dapatdilihat pada para hakim, Musa (Kharismatis), dan Abraham. Pada masa Saul yang termasuk pada zaman pra monarki pun adanya kepala suku yang dipilih. Dalam hal ini Saul, Musa, Debora termasuk pemimpin yang memiliki Kharisma sehingga dapat dipilih untuk memimpin saat itu. Dalam dunia Israel kuno Musa yang sebagai pemimpin Israel saat itu, disebut juga sebagai nabi dan unsur kepemimpinan Kharismatis sangatlah terlihat dari Musa, yakni melalui panggilan Yahweh menghadapi bangsanya di Mesir dan yang merangsang mereka supaya membebaskan diri dari Mesir. Bahkan, semakin menyelami sejarah dunia Israel kuno, semakin nyatalah pengaruh tokoh-tokoh kharismatis sebagai pemimpin-pemimpin bangsa. Pada umumnya pemimpin-pemimpin yang membebaskan bangsa Israel dengan cara membangkitkan semangat Israel dan menggerakan

(21)

- 13 -

mereka sampai mereka bertindak seperti pahlawan bersifat kharismatik.30 Kepemimpinan

Kharismatik menurut Retnowati yang mengutip dari pandangan Weber mengacu kepada seseorang yang memperoleh wewenang kepemimpinan melalui suatu pemberian dewa yang

tidak dikenal kepada individu tertentu dan didasarkan pada kepercayaan.31

Budaya yang ada di dalam dunia perjanjian lama, termasuk kekuasan raja-raja tidak semata-mata merupakan bagian dari keturunan atau penerusan tradisi dari pemerintahan sebelumnya ke pemerintahan selanjutnya, tetapi dapat terlihat juga dari setiap masa kekuasaan raja-raja yang mempunyai gaya kepemimpinan berbeda. Perbedaan gaya kepemimpinan ini dipengaruhi oleh faktor politik, stabilitas ekonomi, perubahan sosial dan tradisi yang ada. Hal-hal tersebut secara langsung, disadari maupun tidak itu merupakan sebuah bagian dari sistem yang sangatlah kuat dan hal tersebut tidak bisa terpisah satu dengan yang lainnya. Maka, penulis melakukan analisis kritis dan mendalam mengenai hal tersebut dengan melihat proses perkembangan kekuasaan kerajaan Israel untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam budaya perjanjian lama.

3.2 Perkembangan Kekuasaan Kerajaan Israel

Dalam perkembangannya, seiring dengan berdirinya Israel menjadi suatu kerajaan, disitulah Israel membutuhkan pemimpin, sebagai raja. Raja pertama Israel ialah Saul yang mengklaim hak istimewa kerajaan sebagai kepala komandan angkatan bersenjata Israel di

penghujung abad ke-11 SZB (Sebelum Zaman Bersama).32 Kemudian raja atau pemimpin

berikutnya yang berlangsung sampai kepada pemerintahan Daud, Salomo dan Rehabeam, mereka tidak memimpin di dalam kekosongan kekuasaan Asiria. Kepemimpinan mereka selalu berinteraksi dengan dunia luar atau di sekitar Israel, yakni bangsa-bangsa adidaya yang menguasai dunia timur dekat kuno, mulai dari Mesir, Asiria, Babilonia dan Persia. Ketika masa pemerintahannya Raja Daud membangun kekuasaan dengan menikahi anggota keluarga yang berkuasa dan kaya. Di samping itu Daud berinteraksi dengan situasi di sekitarnya, yakni dengan cara menarik dukungan dari musuh orang Israel yaitu orang Filistin. Sebagai imbalan Daud menerima Ziklag, daerah Selatan Gat sebagai tanah imbalan juga memperoleh banyak

sumber makanan saat itu.33 Hal ini merupakan bagian dari gaya kepemimpinan raja Daud

30 TH.C. Vriezen, Agama Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 144.

31Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas

Teologi UKSW, 2012), 26.

32 Robert B.Coote & Mary P. Coote, Kuasa,Politik & Proses Pembuatan Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2004), 31.

(22)

- 14 -

yang dapat dikatakan gaya kepemimpinan transformasional, yakni pemimpin yang dapat membaca situasi, juga dapat memanfaatkannya dengan baik sehingga melihat suatu celah yang menjadikan peluang untuk bertindak maju.

Pada masa Raja Salomo justru kekuasaan Mesir mulai menguat kembali, oleh karena itu Salomo memelihara hubungan baik dengan tetangga-tetangganya yang kuat dengan mengusahakan hubungan perdagangan dengan para pedagang asing, termasuk mengizinkan pelaksanaan kultus para partner dagang di kerajaannya, dan membuat hubungan-hubungan perkawinan yang berharga. Hal itu terlihat ketika Raja Salomo membangun bait suci yang

dibantu oleh rancangan arsitek Fenisia dan juga bantuan bahan dari Hiram, raja Tirus.34

Dalam pemerintahan Salomo tidak terdapat banyak perlawanan yang berarti dari bangsa sekitar sehingga Salomo dapat melakukan interaksi yang baik dengan bangsa-bangsa tetangga. Pada masa setelah pemerintahan raja Salomo, yakni ketika pemerintahan raja Rehabeam yang mana saat itu kerajaan Israel berpisah (Israel Utara dan Israel Selatan). Raja-raja saat itu harus senantiasa berhadapan dengan kekuasaan yang lain yang sudah menguasai kekuasaan timur dekat kuno, yakni Asiria. Raja-raja di Utara harus senantiasa menghadapi kekuasaan Asiria sehingga pada akhirnya mereka hancur dan dikalahkan, sedangkan raja-raja di Selatan meskipun mereka tidak ditaklukan secara penuh oleh raja Asiria, tetapi di dalam berbagai kapasitas mereka tetap harus berhubungan dengan raja Asiria, baik dengan melawan atau mereka tunduk terhadap kebijakan raja Asiria dan sikap raja-raja tersebut akan menentukan gaya kepemimpinan mereka. Kepemimpinan adalah pengaruh oleh pihak

tertentu atas pihak lain untuk pelaksanaan/tujuan maksud pemimpin.35

Menyadari bahwa dunia Perjanjian Lama merupakan dunia yang kompleks dan dapat dikatakan ‘rumit’, maka penulis melihat dari relasi-relasi tersebut ditinjau dari aspek sosio-historis yang terjadi saat itu, juga dari berbagai sudut pandang analisis yang lain. Penulis mengkaji dari pemerintahan ketiga raja Yehuda, yakni Hizkia ketika ia menjadi raja kira-kira

716-687 Sebelum Zaman Bersama, Manasye 687-643 SZB dan Yosia 641-609 SZB.36 Dari

masa pemerintahan raja-raja tersebut, terdapat banyak gejolak politik yang terjadi baik dari dalam pemerintahannya maupun dipengaruhi oleh faktor perpolitikan dunia Israel kuno saat itu, yakni hubungannya dengan ‘dunia luar’ yang juga mempengaruhi perekonomian Yehuda.

34 Robert B.Coote & Mary P. Coote, Kuasa,Politik, 41-42.

35 Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas

Teologi UKSW, 2012), 12.

36 Norman K Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1987),

(23)

- 15 -

Khususnya, ketika pemerintahan ketiga raja tersebut ada di dalam ‘pengaruh’ suatu kekuasaan yang besar dan menjadi suatu momok mencekam bagi pemerintahan Yehuda.

3.3 Pengaruh Asiria terhadap Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia

Kerajaan Yehuda (722-586 SZB) Kerajaan Asiria (900-680 SZB)

Hizkia Manasye Yosia Tiglath-Pileser I Shalmanaser III Tiglath-Pileser III Shalmananeser V Sargon II Sennacherib Esarhaddon Ashurbanipal37

Tabel di atas menunjukkan bahwa sepanjang tahun 900-680 SZB Asiria menjadi kerajaan yang sangat besar dan menjadi bangsa yang ditakuti oleh bangsa lain saat itu. Penulis mengkaji garis pemerintahan sejak raja Hizkia, Manasye dan Yosia di bawah pengaruh kerajaan Asiria dengan raja Sennacherib, Esarhaddon sampai Ashurbanipal. Oleh karena masa tersebut merupakan masa jatuh dan bangunnya bangsa Yehuda, bahkan masa dimana Asiria berkuasa dan melemah. Penulis mengkaji lebih lanjut pengaruh kekuasaan bangsa Asiria terhadap gaya kepemimpinan ketiga raja Yehuda (Hizkia, Manasye dan Yosia) dalam masa tersebut yang akan mempengaruhi setiap kebijakan yang diturunkan kepada bangsa Yehuda

Asiria adalah salah satu bangsa yang terletak di tepi barat sungai Tigris daerah Mesopotamia. Asiria sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar menyerang Palestina pada abad 9 SZB. Pada masa iniAsiria menjadi kuat dan berjaya sehingga dalam periode ini menjadi periode kekuasaannya dan abad ke 7 SZB banyak kejadian yang secara mendalam mempengaruhi kehidupan bangsa-bangsa yang berdiam di

sekitar Asia Barat Daya Kuno, termasuk bangsa Israel dan Mesir.38Asiria mempertahankan

kekuasaan mereka atas bangsa-bangsa yang mereka kuasai dengan jalan mengorganisasikan

37Sumber Tabel dari Buku: Norman K Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia:

Fortress Press, 1987), 66.

(24)

- 16 -

negeri itu ke dalam wilayah-wilayah pemerintahannya.39 Dalam pemerintahan Asiria terjadi

imperialisme besar-besaran ke wilayah-wilayah yang termasuk dalam pemerintahannya. Imperialisme merupakan suatu kebijakan dimana suatu negara besar dapat memegang kendali atas daerah lain agar daerah itu dapat dipelihara atau berkembang. Akibat dari imperialisme tersebut, terciptalah suatu pandangan adanya negara yang kuat dan lemah, adanya penjajah dan yang dijajah, pada akhirnya terbagi atas negara core and periphery. (Lihat Gambar di bawah)

40

Gambar di atas menunjukkan bahwa Yehuda berada di tengah-tengah bangsa yang berkuasa saat itu, yakni Asiria, Mesir, Babilonia dan Median. Dari gambar tersebut, Yehuda

berada di bawah pengaruh Asiria,41 akibatnya Yehuda menjadi bangsa pinggiran sehingga

dimanfaatkan oleh Asiria dari segi ekonomi, politik dan struktur sosial. Bangsa Yehuda tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali tunduk dan takluk dalam keadaan seperti itu. Gambar tersebut menjadi dasar penulis dalam menganalisa kepemimpinan raja Hizkia, Manasye dan Yosia di tengah-tengah kekuasaan adidaya yang berada di sekitar bangsaYehuda.

39 Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid 1 (Jakarta: Cempaka Putih, 1997),

106-107.

40Sumber gambar dari Buku: Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction

(Philadelphia: Fortress Press, 1987), 75.

41Melihat garis putus-putus hitam (Bangsa Asiria) yang mengelilingi bangsa Yehuda.

(25)

- 17 -

3.4 Kekuasaan Hizkia Menghadapi Gempuran Asiria

Hizkia pada masa kekuasaannya dikenal sebagai seorang raja yang perkasa sekaligus bijaksana pada saat itu. Di dalam masa kepemimpinannya ia melakukan reformasi di kerajaannya, tetapi Hizkia mendapatkan suatu persoalan dari politik luar negerinya yang terjadi saat itu, yakni gejolak antara Asiria dan Mesir yang sama-sama merupakan suatu imperium besar saat itu. Baru pada tahun 713-712 SZB Hizkia menggabungkan dirinya pada

suatu persekutuan yang memusuhi Asiria di bawah pimpinan Asydod.42 Meskipun pada

akhirnya menerima konsekuensi yang serius terhadap kerajaannya, tetapi Hizkia tetap melakukan suatu pemberontakkan terhadap Asiria saat itu, terutama dari Sanherib Raja Asiria yang datang dan mengepung Yerusalem saat itu. Dengan kiat dan persiapan yang dilakukan oleh Hizkia, pada tahun 705 SZB Hizkia bergabung dalam suatu pemberontakkan yang terkoordinasi yang melibatkan Sidon, Askelon, Ekron di Siro-Palestina dan Kasdim di

Babel.43 Ini merupakan suatu pemberontakkan besar-besaran terhadap Asiria saat itu. Seiring

dengan berjalannya waktu, kerajaan Yehuda mengalami penjajahan atas Asiria dan semakin lama Yehuda mengalami penipisan ekonomi yang berimbas kepada masyarakat pedesaan sehingga pada akhirnya Hizkia harus membayar upeti kepada Sanherib raja Asiria saat itu. Menurut Budiman yang mengutip dari pandangan Blomstrom dan Hettne, bahwa penguasaan tidak hanya dalam bentuk pengendalian yang ketat, tetapi cukup dengan sistem upeti sebagai

tanda takluk. Semakin jauh dari pusat kekuasaan, semakin bebas daerah tersebut.44 Maka,

secara tidak langsung upeti yang diberikan Hizkia kepada Sanherib menunjukkan bahwa Hizkia takluk di bawah pengendalian Asiria.

Bukti kuat yang menyatakan bahwa kota-kota Yehuda takluk kepada Sanherib, yakni dengan adanya Prisma Taylor yang merupakan bagian dari Prisma Sanherib yang adalah sejumlah prasasti tanah liat yang berbentuk tabung persegi dan di dalamnya memuat raja Sanherib yang terkenal karena mengepung Yerusalem pada zaman pemerintahan raja Hizkia. Isi dari Prisma Taylor yang telah diterjemahkan dari bahasa Akadia (Bahasa Semitik) sebagai berikut:

42Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1987),

368.

43Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible, 369. 44 Arief Budiman, Teori Pembangunan, 108.

(26)

- 18 -

“Karena Hizkia, raja Yehuda, tidak mau takluk kepada bebanku, aku datang memeranginya dan dengan kekuatan senjata dan dengan keperkasaan kekuatanku, aku merebut 46 dari kota-kotanya yang dilindungi dengan kuat.”45

Dengan adanya fakta yang yang menunjukkan bahwa kekuasaan Asiria saat itu begitu mendominasi Yehuda, mulai dari merebut kota-kota wilayah Yehuda, bahkan sampai membuat raja Hizkia ditawan oleh mereka. Hal ini merupakan invasi kedua dari Asiria kepada Yehuda, dan menariknya saat itu Yerusalem tidak jatuh di bawah pemerintahan

Sanherib raja Asiria.46 Pada akhirnya Hizkia membayar upeti kepada Sanherib untuk

menyelamatkan bangsanya dari dominasi Asiria. Tidak cukup melakukan hal tersebut, Hizkia secara besar-besaran melakukan reformasi terhadap hal-hal yang bersifat religius saat itu, yakni melakukan gerakan anti Asiria dengan menghapuskan segala bentuk penyembahan kepada dewa-dewa Asiria saat itu.

Dengan mengalami dan menghadapi situasi seperti ini, Hizkia secara alamiah memiliki kharisma, dimana itu merupakan suatu bawaan dari karakter individual masing-masing pemimpin yang ditunjang oleh kejeliaan, keberanian, dan kecerdasan memanfaatkan

kesempatan.47 Ini merupakan faktor yang penting bagi Hizkia, dimana sebagai seseorang

yang dikenal bijaksana juga berkharisma, ia dapat melihat setiap situasi dan kondisi yang dihadapinya dengan pandangan ke depan. Meskipun pada akhirnya dalam situasi yang sulit ia memilih untuk memberi upeti terhadap Sanherib raja Asiria, tetapi ini merupakan suatu tahap penting dari seorang pemimpin ketika menghadapi masa yang sulit, harus berani mengambil resiko tetapi harus juga dengan jeli melihat setiap kesempatan yang ada. Sebagai seorang pemimpin, Hizkia menggabungkan karakter kharisma yang dimilikinya dengan gaya kepemimpinan transformatif dengan membayar upeti sebagai jaminan agar bangsa Yehuda tidak didominasi oleh Asiria. Raja Hizkia memainkan sandiwara politik dengan sangat baik, meskipun bangsa Yehuda melemah saat itu, oleh karena dominasi Asiria, tetapi Hizkia mempunyai strategi untuk tetap menjalankan kebijakan untuk tunduk demi kepentingan bangsa Yehuda.

45 James B. Pritchard, Ancient Near Eastern Texts Related to the Old Testament (Princeton, NJ: Princeton

University Press, 1965) 287-288.

46Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible, 369.

47Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas

(27)

- 19 -

3.5 Pergolakan Kepemimpinan Raja Manasye

Hizkia yang kemudian meninggal digantikan oleh anaknya, Manasye. Dari masa pemerintahan Manasye inilah pemerintahan Asiria semakin menjadi-jadi. Hal itu disebabkan oleh masa pemerintahan sebelumnya, yakni Raja Hizkia yang telah membuat bangsa Asiria ‘naik pitam’ melihat kebijakan yang dilakukannya dengan tidak mau taat kepada Asiria, bahkan membuat suatu program Anti Asiria. Seperti diketahui bahwa ketika Yehuda di bawah pemerintahan Raja Ahaz sangat tunduk kepada Asiria dengan menerapkan segala kebijakan Asiria di tengah-tengah bangsa Yehuda. Bahkan raja Ahaz sampai memberikan

anaknya sebagai korban persembahan bagi dewa Molokh (Dewa kesuburan)48. Sama halnya

ketika pemerintahan Manasye yang juga mengorbankan anaknya demi tunduk dibawah pemerintahan Asiria, tetapi jika melihat hal yang positif dari raja Manasye, yakni ia bukanlah penyebab utama dari kehancuran Yerusalem dan kejatuhan Yehuda, ia hanya sebagai

kambing hitam di dalam situasi yang penuh tekanan dan menjebak tersebut.49 Dengan kata

lain Manasye sebagai seorang raja sangatlah pintar melihat situasi meskipun yang ia pilih nantinya akan membawa kepada kehancuran yang lebih besar, tetapi tidak ada pilihan lain ketika menghadapi situasi tersebut selain taat kepada Asiria.

Hal ini memperlihatkan bahwa Asiria sebagai bangsa yang mendominasi saat itu dan Yehuda sebagai bangsa yang didominasi tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungan yang sangat menguntungkan terjadi pada bangsa inti (Asiria), tetapi tidak terjadi pada Yehuda. Dengan demikian Manasye sebagai seorang pemimpin menyadari bahwa ia ikut terlibat dalam catur perpolitikan yang ada saat itu dengan mengorbankan ‘bidaknya’ (anaknya) kepada Molokh, tetapi juga bisa melihat ke depan yakni dengan mementingkan kesejahteraan bangsanya dari penindasan Asiria. Jika dilihat secara sepintas Manasye merupakan sosok pemimpin yang menganut aliran Utilitarian dengan memegang teguh prinsip the greatest good to the greatest number, yakni semakin banyak kebahagiaan semakin banyak keuntungan yang didapatkan. 50 Meskipun Manasye mengorbankan anaknya kepada Molokh, tetapi ia lebih banyak memikirkan tentang kesejahteraan bangsanya. Tidak dapat dipungkiri masa pemerintahan raja

48 Wim van der Weiden dan Mgr Suharyo, Pengantar Kitab suci PL (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), 51. 49 Merry Kristina Rungkat dan John A. Titaley, “Pengorbanan Anak dalam 2 Raja-Raja 21:6 menurut Teori

Pengorbanan,” dalam Waskita Vol IV nomor 2 April 2013.

50 Sudarminta, J., Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Yogyakarta:

(28)

- 20 -

Manasye merupakan masa pemerintahan terlama oleh raja-raja Yehuda, yakni kurang lebih

50 tahun sejak 687-642 SZB.51

Penulis mengidentifikasi Manasye merupakan tipikal pemimpin yang seringkali menggunakan gaya kepemimpinan transaksional dalam hubungannya dengan Asiria. Manasye adalah seorang pemimpin yang menginginkan hubungan diplomatiknya dengan Asiria stabil sehingga Manasye selalu mendapat penghargaan (reward) ketika taat kepada Asiria dan sebaliknya akan mendapat hukuman (punishment) dari Asiria jika melakukan hal yang melanggar kesepakatan. Meskipun gaya kepemimpinan demikian sulit berkembang, tetapi ini merupakan suatu tantangan bagi Manasye sebagai seorang pemimpin untuk mengembangkan suatu gaya kepemimpinannya di tengah-tengah situasi yang sulit seperti ini. Meski demikian, dibalik itu semua, Manasye melakukan transformasi yang ‘tidak kelihatan’ untuk kesejahteraan bangsanya ke depan. Raja Manasye mempunyai pandangan agar bangsa Yehuda tidak dibayangi oleh kekuasaan Asiria, ia mengorbankan hal yang berharga dalam hidupnya, juga dengan strategi untuk tunduk dan takluk kepada Asiria. Dengan kata lain biarlah Yehuda menjadi bangsa kelas rendah saat ini (pinggiran), tetapi ia yakin bahwa ke depannya bangsa Asiria akan takluk dan Yehuda akan bangkit dari keterpurukan. Ini merupakan suatu hal yang menarik dari kepemimpinan Manasye, yakni menjadikan keterpurukan menjadi suatu strategi untuk bangkit suatu saat. Oleh karena kepemimpinan membutuhkan suatu seni dalam menyikapi situasi yang terjadi. Kepemimpinan Manasye dalam kondisi tersebut masuk pada kategori visioner, terkhusus condong pada kepemimpinan transformasional, demi membawa perubahan bersama pada masa yang akan dating. Tunduk bukan berarti menyerah, takluk bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Lihai disertai keberanian dalam bertindak merupakan hal yang melekat pada raja Manasye.

3.6 Reformasi Kepemimpinan Raja Yosia

Ketika Manasye meninggal, ia digantikan oleh Yosia yang merupakan anak dari raja Amon. Pada pemerintahan Yosia 641-609 SZB sangat diuntungkan oleh karena pada tahun 627 SZB pemerintahan Asiria jatuh dengan meninggalnya raja Asiria terakhir, yakni Asyurbanipal. Ini merupakan masa pemerintahan puncak bagi Yehuda, karena terlepas dari cengkraman Asiria pada masa-masa sebelumnya, maka saat ini Yosia ingin membangun suatu gerakan reformasi besar-besaran dibawah kepemimpinannya. Menurut Budiman yang mengutip pandangan Wallerstein, bahwa negara-negara bisa “naik atau turun kelas,”

(29)

- 21 -

misalnya negara core bisa menjadi negara periphery atau sebaliknya negara periphery bisa

menjadi negara core.52 Naik dan turunnya kelas tersebut ditentukan oleh sistem dunia atau

dengan kata lain interaksi yang terjadi di sekitar bangsa-bangsa Israel Kuno saat itu. Kenaikan kelas menurut Wallerstein terjadi dengan merebut kesempatan yang datang, juga kenaikan kelas terjadi karena negara tersebut menjalankan kebijakan untuk memandirikan

negaranya.53 Ini merupakan saat yang tepat bagi pergerakan Yosia untuk menaikan kelas

bangsa Yehuda, yakni dengan adanya kesempatan ketika Asiria melemah dan inilah saatnya bagi bangsa Yehuda di bawah kepemimpinan Hizkia untuk meletakkan fondasi untuk memandirikan negaranya.

Yosia ingin melanjutkan gerakan ekspansi kepemimpinan Hizkia yang pada waktu itu tidak mampu dilanjutkan oleh besarnya tekanan dari bangsa Asiria. Tetapi hal yang mencengangkan dari pandangan Coote, yakni yang melatarbelakangi reformasi Yosia justru adalah kehadiran Asiria dan bukan ketidakhadirannya. Dengan runtuhnya Asiria ketika Assurbanipal Agung meninggal pada 627 SZB, Niniwe runtuh pada 612 SZB dan pada tahun 609 hampir tidak ada lagi yang tersisa dari kerajaan Asiria. Kemudian Asiria dengan cepat

digantikan oleh Babel.54Menurut Ritzer, negara-negara yang kuat di wilayah core memainkan

peran kunci dalam perkembangan kapitalisme dan pada akhirnya memberikan landasan

ekonomi untuk kematiannya sendiri.55 Sangat terlihat jelas bahwa perkembangan Asiria telah

sampai pada masa puncak dan sudah terlena dengan apa yang mereka miliki, tanpa memikirkan pengaruh kekuasaan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Pada akhirnya Asiria yang merupakan negara adidaya menyerah dan kalah dalam konstelasi perpolitikan saat itu sehingga kesempatan ini merupakan momen penting bagi Yehuda untuk bangkit dari keterpurukan melalui raja Yosia.

Saat yang tepat dengan adanya celah sebagai suatu kesempatan bagi Yosia untuk melakukan reformasi besar-besaran di dalamnya. Melihat dari masa kepemimpinan yang ‘kosong’ itu, raja Yosia menggencarkan ekspansinya untuk melakukan pembersihan yang besar terhadap Yehuda kemudian pada Israel yang lebih luas. Reformasi yang dilakukan oleh Yosia pada umumnya merupakan reformasi agama dan juga merupakan bagian dari

52 Arief Budiman, Teori Pembangunan, 109. 53 Arief Budiman, Teori Pembangunan, 110-111.

54 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik; Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan Israel (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2014), 87.

(30)

- 22 -

sentralisasi terhadap Yerusalem yang merupakan kebijakan pemulihan wilayah oleh keluarga

Daud.56 Dalam masa pemerintahannya ini, Yosia mengembangkan gaya kepemimpinan yang

transformatif.Hal tersebut dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar Yehuda, maka Yosia sebagai pemimpin dengan memikirkan secara cerdik bahwa ini merupakan situasi yang tepat dalam melakukan reformasi besar-besaran, sebelum bangsa Babel menyebar lebih luas, maka Yosia merupakan sosok yang lihai dalam kepemimpinannya dan reformasi yang dilakukannya ini merupakan tujuan utama dari Sejarah Deuteronomistik.

4. Relevansi Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia bagi Dunia Masa Kini Pada akhirnya ketika mengkaji ketiga raja tersebut, penulis melihat bahwa akibat dunia luar (eksternal) sangat berpengaruh terhadap kualitas bangsa mereka. Baik relasi antara bangsa core (Asiria) dan bangsa periphery (Yehuda), juga berdampak bagi gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia dalam setiap masa jatuh dan bangkitnya Yehuda. Ini yang menjadi titik tolak bagi tulisan ini, khususnya menyikapi kepemimpinan masa kini yang cenderung tidak menentu, ironisnya banyak pemimpin yang mengikuti arus zaman, bahkan terbawa arus tersebut. Pengikutnya menjadi korban akibat dari kepemimpinan yang tidak bisa menempatkan situasi dan tidak bisa mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada.

Secara umum diketahui bahwa setiap masa kepemimpinan pasti akan menghadapi setiap tantangan dan hambatan di dalamnya, tetapi di balik setiap tantangan dan hambatan harus dilihat pasti ada suatu kekuatan dan kesempatan yang terbaik untuk melalui semuanya itu. Layaknya permainan catur, harus ada pengorbanan jika mau melangkah lebih baik, sama halnya sebagai seorang pemimpin terkadang mengorbankan ‘bidaknya’, tetapi itu merupakan suatu strategi dan seni untuk melakukan suatu transformasi bagi kelompok maupun organisasi untuk mencapai suatu tujuan bersama yang lebih baik. Terlebih khusus bagi gereja yang saat ini menghadapi gempuran dan tantangan besar-besaran akibat pengaruh globalisasi yang menyebar luas di setiap lini kehidupan, mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mempengaruhi setiap kehidupan manusia. Maka dari itu, sebagai pemimpin harus melihat hal tersebut sebagai suatu tantangan untuk mengambil suatu pilihan dan keputusan yang bijak dan matang dalam menjalani kehidupan ini, agar bukan manusia

(31)

- 23 -

yang diperalat oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) itu sendiri melainkan sebagai manusia dapat melihat hal tersebut dengan bijak.

Penelitian kepustakaan ini jika direlevansikan bagi kehidupan masa kini, terkhusus bagi negara Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2016 mendatang dengan berbagai tantangan yang akan datang dari setiap negara manapun. Untuk itu Indonesia harus mampu bersaing secara global sehingga mampu menjawab tantangan MEA 2016. Oleh karena MEA membuka arus perdagangan barang, jasa, tenaga profesional, dan sebagainya. Pada akhirnya kesempatan kerja semakin terbatas, dan semakin tingginya pengangguran. Dalam hal ini negara Indonesia ketika menghadapi MEA 2016 secara langsung maupun tidak langsung akan masuk dalam bagian negara periphery (pinggiran), dan yang akan menjadi negara adidaya adalah negara-negara yang mempunyai produk-produk mumpuni. Ketika hal ini terjadi, maka Indonesia menjadi negara yang dikuasai oleh negara core (pusat), tanpa memiliki daya saing yang kuat untuk menghadapi semua itu. Maka dari itu, kepemimpinan pada sebuah pemerintahan sangatlah diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Kepemimpinan yang membangun dan melakukan transformasi bagi perubahan negara, terkhusus bagi kepentingan rakyat, bukan untuk orang yang ‘berkepentingan’ dengan mengatasnamakan rakyat.

4.1 Kepemimpinan Kristen Masa Kini

Suatu refleksi melihat konteks kepemimpinan Kristen masa kini yang mana dibutuhkan integritas dari seorang pemimpin, dibutuhkan suatu transformasi secara besar-besaran. Pada masa kini, pemimpin yang baik bukan hanya mempunyai intelektual yang mumpuni, melainkan dapat menyeimbangkan antara spiritualitas dan intelektual. Agar kepemimpinan Kristen dapat menjadi garam dan terang di tengah-tengah masyarakat, sehingga dapat membawa perubahan yang berarti. Dalam hal ini bukan hanya pemimpinnya saja yang melakukan suatu transformasi kehidupan, melainkan setiap pengikutnya harus bersama-sama melangkah maju membuat perubahan yang berarti bagi orang lain dengan melihat konteks dan situasi yang terjadi. Meskipun acap kali tantangan dan hambatan akan selalu ada, tetapi hal tersebut harus dilihat sebagai sesuatu kesempatan untuk memperbaharui gaya kepemimpinannya. Kepemimpinan Kristen harus mempunyai strategi layaknya Hizkia, Manasye dan Yosia, di mana mereka melakukan suatu pengorbanan, perlawanan dan perubahan yang besar-besaran, itu semua tidak lepas dari visi dan misi mereka untuk mempertahankan bangsa Yehuda. Tanpa adanya suatu visi dan misi yang kokoh bagi

(32)

- 24 -

kepemimpinan Kristen, maka sangatlah sulit untuk melakukan suatu perubahan, karena terkadang visi dan misi tersebut hanya terjebak dalam lingkup teoritis semata, tanpa dinyatakan di dalam kehidupan nyata hari lepas hari. Pada akhirnya kepemimpinan Kristem akan berhenti pada kepemimpinan tradisional yang menjadikan seorang pemimpin sebagai tolak ukur dalam suatu komunitas. Maka dari itu, transformasi kepemimpinan sangat perlu dalam hal mengembangkan pola pikir pemimpin bersama dengan orang yang dipimpin (bersifat transformasional) sehingga ide-ide cemerlang dapat terealisasi dalam kehidupan nyata sesuai dengan kebutuhan, dan juga konteks sosial yang ada.

5. Penutup

Hizkia, Manasye dan Yosia dalam pemerintahannya menunjukkan sebuah kualitas pemimpin yang mempunyai pandangan ke depan, serta mampu bertahan di tengah pergolakan yang didominasi oleh bangsadominan (core), yakni Asiria yang memegang peranan penting dalam masa pemerintahan ketiga raja tersebut yang dalam konteks ini bagian dari bangsa pinggiran (periphery). Sejak adanya imperialisme besar-besaran dari Asiria terhadap Yehuda, maka tanpa disadari penindasan secara struktural terjadi secara besar-besaran, yakni hubungan antara bangsa besar (Asiria) dengan Yehuda saat itu. Adanya hubungan timbal balik, tetapi hubungan yang terjadi di sini bukanlah hubungan yang saling menguntungkan (Simbiosis Mutualisme), melainkan hubungan yang cenderung selalu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain (Parasitisme). Inilah yang menjadikan suatu ancaman bagi pemimpin-pemimpin Yehuda saat itu, tetapi di sisi lain ini menjadi suatu peluang bagi bangsa Yehuda dalam membangun strategi menghadapi bangsa Asiria yang mendominasi saat itu dan kemudian menjadi titik tolak pergerakan bangsa Yehuda yang dengan jeli melihat suatu kesempatan, sama halnya ketika mereka melihat setiap tembok yang kokoh dan besar pasti mempunyai suatu titik untuk dirobohkan. Ini merupakan siasat bagi Yehuda sebagai bangsa core untuk menaikan kelasnya dari dinamika perpolitikan yang dilalui sampai pada akhirnya bisa melakukan reformasi bagi bangsanya sendiri.

Kepemimpinan dalam masyarakat dapat membawa transformasi sosial yang lebih baik, tekhusus untuk membentuk suatu masyarakat madani atau masyarakat yang beradab, oleh karena kepemimpinan merupakan suatu hal yang krusial dalam suatu masyarakat. Meskipun tantangan maupun hambatan yang pasti selalu ada, tetapi kepemimpinan masa kini patut belajar dari ketiga raja (Hizkia, Manasye dan Yosia) tersebut dalam menghadapi

Gambar

Tabel  di  atas  menunjukkan  bahwa  sepanjang  tahun  900-680  SZB  Asiria  menjadi  kerajaan  yang  sangat  besar  dan  menjadi  bangsa  yang  ditakuti  oleh  bangsa  lain  saat  itu
Gambar  di  atas  menunjukkan  bahwa  Yehuda  berada  di  tengah-tengah  bangsa  yang  berkuasa saat itu, yakni Asiria, Mesir, Babilonia dan Median

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengembangan instrumen penelitian terdiri dari dua bagian yaitu uji validitas dan uji reliabilitas yang digunakan untuk menguji tiap item pernyataan yang terdapat

Termasuk di dalamnya adalah mentaati peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan, bekerja sesuai dengan standar operasional perusahaan, selain itu karyawan juga

Laporan skripsi dengan judul “ Sistem Sertifikasi Laik Sehat pada Depot Air Minum di Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus Berbasis Web ” telah dilaksanakan dengan

Sikap kritis dalam diri penerima stimulus tidak muncul begitu saja tetapi berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, bagaimana proses mediasi orang tua dengan

Kawasan hutan mangrove di stasiun riset Yayasan Gajah Sumatera (YAGASU) Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan dipilih sebagai tempat penelitian karena

Pengujian BET dilakukan untuk mengetahui luas permukaan aktif dari WO 3 dalam bentuk serbuk menggunakan alat Quantachrome autosorb iQ, prosesnya dengan memberikan pemanasan

Data yang diperoleh pada percobaan penetapan titik layu permanen menunjukkan bahwa tanaman mengalami layu permanen (mati) setelah tanaman mengalami cekaman kekeringan selama 22

Abstrak ² Penelitian ini bertujuan menganalisis nomina yang berelasi dengan air dalam bahasa Bali khususnya leksikon berkategori nomina yang dihasilkan oleh