• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Agency theory atau teori keagenan pertama kali dicetuskan oleh Michael

C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1976 (Jensen et al, 1976 dalam Kurniasih dan Sari, 2013). Teori keagenan merupakan teori yang menjelaskan tentang sebuah fenomena ketidaksamaan kepentingan antara principal dengan agent. Menurut Muliati (2011), teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak lain disebut principal. Principal (pemilik perusahaan) mendelegasikan wewenang kepada agent (manajemen perusahaan) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggung jawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.

Adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan seperti ini dapat menimbulkan adanya masalah keagenan atau agency problem (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Kurniasih dan Sari, 2013). Masalah keagenan muncul karena kedua pihak akan berpikir untuk memenuhi kepentingan masing-masing sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.

(2)

Principal (Pemegang saham) akan fokus pada peningkatan nilai sahamnya

sedangkan agent (manajer) fokus pada pemenuhan kepentingan pribadi.

Eisenhard (1989) dalam Noviawan dan Septiani (2013) menyatakkan ada tiga asumsi dasar yang melandasi teori keagenan, yaitu: (1) asumsi tentang sifat manusia, (2) asumsi tentang keorganisasian dan (3) asumsi tentang informasi. Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,

efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen. Sedangkan asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.

Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Hanafi (2004), akibat adanya asimetri informasi tersebut, dapat menimbulkan dua masalah yang muncul, yaitu: adverse selection dan moral hazard. Adverse selection, yaitu suatu keadaan

dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai seuatu kelalaian dalam menjalankan tugas. Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul ketika agent atau manajer tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.

Menurut Gitman (2007) agency problem adalah masalah yang timbul akibat tindakan manajer yang lebih mengutamakan pemenuhan tujuan pribadinya

(3)

bila dibandingkan dengan tujuan perusahaan. Untuk mengatasi atau me-minimize masalah agensi tersebut maka dapat dilakukan dengan dua cara, sebagai berikut :

1. Market Forces

Market forces merupakan pemegang saham yang memiliki saham mayoritas,

seperti investor institusional yang biasanya berupa perusahaan asuransi jiwa, mutual fund, perusahaan dana pension. Melalui hak suara mayoritas maka diyakinkan akan dapat mengatasi masalah agensi. Hal tersebut dilakikan dengan cara memberikan tekanan kepada manajer untuk bekerja dengan lebih baik ataupun mengganti manajemen yang dianggap tidak dapat memenuhi kesejahteraan pemegang saham atau pemilik perusahaan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengancam dengan mengatakan perusahaan lain akan melakukan takeover yang dapat merestrukturisasi manajemen. Tujuan dari hal tersebut adalah menimbulkan motivasi bagi manajemen agar bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan.

2. Agency Cost

Agency Cost merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk mengurangi

agency problem sekaligus untuk pemenuhan kesejahteraan para pemegang saham.

Biaya yang dikeluarkan antara lain, berasal dari biaya insentif yang akan diberikan kepada manajer untuk memaksimalkan harga saham. Selain itu, biaya keagenan juga timbul karena adanya pengawasan terhadap setiap tindakan manajer, dimana sistem pengawasan tersebut dikenal dengan corporate governance.

(4)

2.1.2 Pajak

2.1.2.1 Pengertian Pajak

Pajak adalah sumber penerimaan terbesar Negara yang digunakan dalam APBN. Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1 berbunyi :

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Beberapa definisi tentang pajak yang dikemukakan para ahli di bidang perpajakan untuk menjadi bahan perbandingan antara lain :

Resmi (2016) menurut Soemitro mendefinisikan pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang meruakan sumber utama untuk membiayai public investment.

S. I. Djajadiningrat yang dikutip dalam buku Resmi (2016) mendefinisikan bahwa pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan ciri-ciri yang melekat pada definisi pajak sebagai berikut :

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

(5)

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.

2.1.3 Tindakan Pajak Agresif

Definisi tindakan pajak agresif dalam penelitian ini mengacu pada pengertian pajak agresif yang digunakan oleh Frank et al. (2009), yaitu suatu tindakan yang bertujuan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik menggunakan cara yang tergolong atau tidak tergolong tax evasion. Tax evasion merupakan hambatan-hambatan yang terjadi dalam pemungutan

pajak sehingga berkurangnya penerimaan kas negara. Ridha dan Martani (2014) pajak agresif adalah tindakan yang tidak hanya dari ketidakpatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, namun juga berasal dari aktivitas penghematan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan Hanlon dan Heizman (2013) mendefinisikan pajak agresif adalah strategi penghindaran pajak untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak perusahaan dengan menggunakan ketentuan yang diperbolehkan maupun memanfaatkan kelemahan hukum dalam peraturan perpajakan atau melanggar ketentuan dengan menggunakan celah yang ada namun masih di dalam area grey area.

(6)

Tindakan pajak agresif yaitu keinginan perusahaan untuk meminimalkan beban pajak yang dibayar dengan cara yang legal, ilegal, maupun kedua-duanya (Yoehana, 2013). Tindakan pajak agresif juga dinilai dari seberapa besar perusahaan tersebut mengambil langkah penghindaran pajak dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam peraturan perpajakan. Maka dengan begitu, perusahaan akan dianggap semakin agresif terhadap perpajakan.

Berdasarkan pendapat Frank et al, Ridha dan Martani, Hanlon dan Heiziman, dan Yoehana dapat disimpulkan bahwa tindakan pajak agresif adalah suatu tindakan atau strategi penghindaran pajak untuk mengurangi beban pajak perusahaan dengan penghindaran pajak yang melanggar peraturan perpajakan atau dengan menggunakan celah hukum atau loop-holes.

2.1.4 Keuntungan dan Kerugian dari Tindakan Pajak Agresif

Saat memutuskan untuk melakukan suatu tindakan pajak yang agresif, pembuat keputusan (manajer) akan memperhitungkan keuntungan dan kerugian tindakan yang dilakukannya. Ada tiga keuntungan tindakan pajak agresif yang akan dipaparkan di sini. (1) Keuntungan berupa penghematan pajak yang dibayarkan perusahaan kepada negara, sehingga porsi kas yang dinikmati pemilik/pemegang saham menjadi lebih besar. (2) Keuntungan (baik langsung atau tidak langsung) bagi manajer yang mendapatkan kompensasi dari pemilik/pemegang saham atas tindakan pajak agresif yang dilakukannya. (3) Keuntungan berupa kesempatan bagi manajer untuk melakukan rent extraction (Chen et al. 2010).

(7)

Sedangkan kerugian dari tindakan pajak agresif antara lain adalah kemungkinan perusahaan mendapat sanksi/penalti dari fiskus pajak, dan turunnya harga saham perusahaan. Kemungkinan harga saham mengalami penurunan, dikarenakan pemegang saham lainnya mengetahui tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer dilakukan dalam rangka rent extraction (Desai dan Dharmapala, 2006).

Menurut Hidayanti (2013) terdapat keuntungan dan kerugian dari tindakan pajak agresif. Keuntungan dari melakukan tindakan pajak agresif, yaitu:

1. Penghematan pajak yang akan dibayarkan perusahaan kepada negara, sehingga jumlah kas yang dinikmati pemilik atau pemegang saham dalam perusahaan menjadi besar.

2. Secara langsung maupun tidak langsung manajer mendapatkan kompensasi atau bonus dari pemilik/pemegang saham atas tindakan pajak agresif yang dilakukan.

Sedangkan kerugian dati tindakan pajak agresif diantaranya adalah : 1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi atau penalty dari fiskus pajak.

2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak, yang menyebabkan turunnya harga saham perusahaan.

Keuntungan dan kerugian dari tindakan pajak agresif ini membuat manajer sebagai pembuat keputusan perusahaan harus memperhitungkan tindakan yang diambilnya. Bila keputusan yang diambil oleh manajer menyebabkan kerugian, maka dapat menyebabkan konflik antara pemilik perusahaan atau pemegang

(8)

saham dan manajer. Semakin buruk konflik antara kedua pihak ini membawa dampak buruk terhadap perusahaan, konflik ini dikenal dengan nama agency problem (Hidayanti, 2013).

2.1.5 Corporate Risk

Risiko perusahaan mencerminkan penyimpangan atau deviasi standar dari

earning baik penyimpangan itu bersifat kurang dari yang direncanakan atau mungkin

lebih dari yang direncanakan, semakin besar deviasi earning perusahaan mengidentifikasikan semakin besar pula risiko perusahaan yang ada (Budiman dan Setiyono, 2012) .Pihak eksekutif dalam sebuah perusahaan memiliki dua karakter dalam menjalankan tugasnya, yaitu risk taker dan risk averse (Low, 2006). Pemimpin perusahaan yang memiliki karakter risk taker cenderung lebih berani dalam mengambil keputusan walaupun keputusan tersebut berisiko tinggi, karena mereka termotivasi untuk mendapatkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi (Dewi, 2013). Oleh karena itu mereka akan terus berusaha mendatangkan aliran kas yang tinggi untuk memenuhi tujuan pemilik perusahaan.

Pemimpin perusahaan umumnya memiliki karakter risk taker atau risk averse yang tercermin pada besar kecilnya corporate risk yang ada (Budiman dan Setiyono, 2012). Bila pemimpin perusahaan memiliki karakter risk taker, maka corporate risk akan semakin tinggi. Corporate risk dapat dilihat dari nilai standar deviasi earning (Paligorova, 2010). Standar deviasi earning yang dimaksud adalah penyimpangan dari outcome yang diterima dengan yang diekspektasikan (Hartono, 2013:257).

Risiko merupakan penyimpangan atau deviasi dari outcome yang diterima dengan yang diekspektasikan, dan risiko ini memiliki kaitan dengan return yang diperoleh perusahaan (Hartono, 2013:257). Dengan demikian dapat diartikan bahwa

(9)

semakin besar nilai standar deviasi tersebut, maka mengindikasikan semakin besar pula risiko yang ada. Mengacu pada penelitian Dyreng et al. (2010), pengukuran risiko perusahaan dalam penelitian ini dihitung melalui standar deviasi dari laba sebelum pajak (Income Before Tax Expense) dibagi dengan total aset perusahaan.

2.1.6 Corporate Governance

Corporate governance atau yang dikenal dengan tata kelola sebuah

perusahaan muncul karena adanya pemisah antara kepemilikan dan pengelola perusahaan yang dapat menimbulkan agency problem. Agency problem adalah konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan antara manajer dengan pemilik perusahaan. Sehingga memerlukan sistem pemonitoran serta pengawasan yang dikenal dengan istilah tata kelola perusahaan (corporate governance).

Saat ini pemahaman mengenai tata kelola perusahaan telah banyak berkembang, baik secara teoritis maupun empiris. Hal ini disebabkan peran penting dari sebuah tata kelola perusahaan yang telah membuktikan keberhasilannya dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak menentu. Selain itu tata kelola perusahaan yang baik juga merupakan salah satu faktor yang diperhatikan oleh para investor untuk mempertimbangkan apakah akan melakukan investasi atau tidak. Dapat juga dikatakan bahwa pemahaman mengenai sebuah tata kelola perusahaan merupakan tuntunan terhadap pengelola perusahaan agar tata kelola perusahaan menjadi lebih baik.

2.1.6.1 Pengertian Corporate Governance

Menurut Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002, Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh

(10)

organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)

menyatakan bahwa corporate governance adalah suatu struktur berhubungan yang memiliki keterkaitan dengan tanggung jawab diantara pihak-pihak terkait yang terdiri dari pemegang saham, anggota dewan direksi dan komisaris termasuk manajer yang dibentuk untuk mendorong terciptanya suatu kinerja yang kompetitif yang diperlukan dalam mencapai tujuan utama suatu perusahaan. Sedangkan menurut The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG), corporate governance adalah proses dan struktur yang ditetapkan dalam

menjalankan perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya.

Menurut Shaw (2003), corporate governance adalah suatu proses pengambilan keutusan dalam kondisi yang pasti ataupun belum pasti dimana peran penting dari corporate governance adalah untuk mengetahui serta memonitor risiko yang akan risiko dating. Sedangkan menurut Kim, Nofsingner, dan Mohr (2010), corporate governance adalah suatu sistem pengawasan dan penyeimbang yang terintegraasi serta rumit yang dilibatkan untuk mencegah serta menngatasi timbulnya konflik yang dapat menyebabkan agency problem dimana pihak yang melakukan pemonitoran dapat dibedakan menjadi pihak-pihak dari

(11)

salam struktur perusahaan, pihak yang berasal dari luar perusahaan dan berasal dari pemerintah.

Menurut Fadhilah (2014) Corporate Governance adalah suatu mekanisme yang mengatur dan mengendalikan perusahaan melalui hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.

2.1.6.2 Prinsip-prinsip Corporate Governance

Prinsip dasar Corporrate Governance yang dikeluarkan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menyatakan bahwa kerangka kerja Corporate Governance seharusnya :

1. Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan, dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan.

2. Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemmegang saham asing, dengan adanya keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider tranding). 3. Mengakui hak-hak stakeholders sesuai dengan hukum yang berlaku dan

(12)

dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.

4. Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan (stakeholders).

5. Tanggungjawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang saham.

2.1.6.3 Unsur-Unsur Corporate Governance

Menurut OECD (Organization for Econoimic Cooperation and Development), ada empat unsur penting dalam Corporate Governance, yaitu :

1. Fairnes (Keadilan). Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak para pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.

2. Transparency (Transparansi). Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas, dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan perusahaan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.

3. Accountability (Akuntabilitas). Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris.

(13)

4. Responsibility (Pertanggungjawaban). Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.

Menurut Prasetyo (2009) unsur-unsur good corporate governance ini diharapkan menjadi titik rujukan bagi para regulator (pemerintah) dalam membangun framework bagi penerapan good corporate governance. Bagi para pelaku usaha dan pasar modal unsur-unsur ini dapat menjadi guidance atau pedoman dalam mengolaborasi best practices bagi peningkatan nilai dan kelangsungan hidup perusahaan.

2.1.6.4 Tujuan dan Manfaat Corporate Governance

Tujuan dari pelaksanaan corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) (FCGI, 2004). Menurut Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG, 2000), manfaat yang bisa diperoleh perusahaan apabila menerapkan corporate governance :

1. Meminimalkan agency cost, yaitu biaya yang timbul sebagai akibat pendelegasian kewenangan kepada manajemen, termasuk biaya penggunaan sumber daya perseroan oleh manajemen untuk kepentingan pribadi maupun dalam rangka pengawasan terhadap perilaku manajemen itu sendiri.

2. Meminimalkan cost of capital, yaitu biaya modal yang harus ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman kepada kreditur.

3. Meningkatkan nilai saham perusahaan, dengan pengelolaan perusahaan yang baik tentu akan dapat menarik minat dan kepercayaan para investor untuk

(14)

menanamkan modalnya. Adanya penanaman modal yang besar oleh para investor akan membantu peningkatan pada nilai saham perusahaan.

Meningkatkan citra perusahaan, dengan berhasilnya peningkatan harga saham maka akan menimbulkan image positif terhadap opini yang berkembang di masyarakat.

2.1.6.5 Mekanisme Corporate Governance

Menurut Noviawan dan Septian (2013) mekanisme corporate governance merupakan suatu prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang mengawasan atau mengontrol pengambilan keputusan. Fadhilah (2014) berpendapat bahwa mekanisme dalam pengawasan corporate governance dibagi menjadi dua yaitu :

1. Mekanisme internal adalah cara untuk pengendalian perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komposisi Dewan Direksi, proporsi dewan komisaris dan pertemuan dengan board of director.

2. Mekanisme external adalah seperti pengendalian oleh perusahaan, struktur kepemilikan, dan pengendalian pasar.

Mekanisme Corporate Governance yang baik akan memberikan perlindungan kepada para pemegang saham dan kreditur untuk memperoleh kembali atas investasi dengan wajar, tepat dan seefesien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak sebaik mungkin untuk kepentingan perusahaan. Menurut Boediyono (2005) mekanisme corporate governance

(15)

merupakan suatu sistem yang mampu mengendalikan dan mengarahkan kegiatan oprasional perusahaan serta pihak-pihak yang terlibat didalamnya, sehingga dapat digunakan untuk menekan terjadinya masalah keagenan.

2.1.7 Size

2.1.7.1 Definisi Size

Size atau ukuran perusahaan adalah ukuran yang menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan, yang dapat dinilai dari nilai pasar saham, kapitalisasi pasar, total asset, dan lain-lain (Widjadja, 2009). Pada dassarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium-size), dan perusahaan kecil (small firm).

Ngadiman dan Puspitasari (2014) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan perusahaan menjadi perusahaan besar dan kecil dengan berbagai cara seperti total aktiva atau total asset perusahaan, nilai pasar saham, nilai equity, jumlah tenaga kerja rata-rata tingkat penjualan, jumlah penjualan dan lain-lain.

Daniel (2013) mendefinisikan ukuran perusahaan sebagai penentu besaran, dimensi, atau kapasitas dari suatu perusahaan, sebagai penentu sebuah perusahaan besar, atau kecil dapat dilihat dari nilai total aktiva, penjualan bersih, dan kapitalisasi pasar. Sementara itu, Purwanto (2011) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah besarnya lingkup atau luasnya perusahaan dalam menjalankan oprasinya.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa ukuran perusahaan adalah suatu skala yang menentukan besar kecilnya

(16)

perusahaan yang dapat dilihat dari nilai equity, nilai penjualan, jumlah karyawan dan nilai total aktiva.

2.1.7.2 Klasifikasi Size

UU No. 20 Tahun 2008 mengklasifikasikan ukuran perusahaan ke dalam empat kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar. Pengklasifikasian ukuran perusahaan tersebut didasarkan pada total aset yang dimiliki dan total penjualan tahunan perusahaan tersebut.

UU No. 20 Tahun 2008 tersebut mendefinisikan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar sebagai berikut :

“Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan /atau badan usaha perorangan yang memiliki kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,

(17)

dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

4. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumalah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia”.

Adapun kriteria ukuran perusahaan yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2008 diuraikan dalam tabel 2.1 sebagai berikut :

Tabel 2.1

Kriteria Ukuran Perusahaan

Ukuran Perusahaan

Kriteria Assets (tidak termasuk

tanah & bangunan tempat usaha)

Penjualan Tahunan Usaha Mikro Maksimal 50 juta Maksimal 300 juta

Usaha Kecil > 50 juta – 500 juta > 300 juta – 2,5 milyar Usaha Menengah > 500 juta – 10 milyar > 2,5 milyar – 50 milyar

Usaha Besar > 10 milyar > 50 milyar

2.1.7.3 Pengukuran Size

Untuk melakukan pengukuran terhadap ukuran perusahaan IAI (2002) dalam Nasution (2013) mengemukakan bahwa :

“Total assets adalah segala sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari transaksi masa lalu dan diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi bagi perusahaan di masa yang akan datang”.

(18)

Ukuran perusahaan yang didasarkan pada total assets yang dimiliki oleh perusahaan diatur dengan ketentuan BAPEPAM No. 11/PM/1997, yang menyatakan bahwa perusahaan menengah atau kecil adalah badan hukum yang didirikan di Indonesia yang memiliki jumlah kekayaan (total assets) tidak lebih dari Rp. 100.000.000.000 (seratus milyar rupiah).

Berdasarkan uraian diatas, maka untuk menentukan ukuran perusahaan digunakan ukuran log total aktiva, karena ukuran ini dinilai memiliki tingkat kestabilan yang lebih dibandingkan nilai variabel keuangan lainnya dan cenderung berkesinambungan antar periode (Jogiyanto, 2000 dalam Prakosa, 2014). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

2.1.8 Profitabilitas

Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Berdasarkan hasil pengujian, profitabilitas tidak berpengaruh terhadap ETR atau agresivitas pajak. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi ataupun rendah sama-sama memiliki kecenderungan untuk melakukan agresivitas pajak.

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pengembalian selama waktu tertentu. Untuk mengukur profitabilitas perusahaan, peneliti menggunakan Return On Asset (ROA) mengacu pada penelitian Hidayanti (2013). ROA diperoleh dengan membagi operating income dengan total aset. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

(19)

2.1.9 Leverage

2.1.9.1 Pengertian Leverage

Menurut Ngadiman dan Puspitasari (2014) leverage dapat diartikan sebagai gambaran kemampuan perusahaan untuk menggunakan aktiva atau dana yang mempunyai beban tetap untuk memperbesar tingkat penghasilan bagi pemilik perusahaan. Leverage menunjukkan seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh hutang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal.

Riyanto (1995) mendefinisikan leverage sebagai penggunaan aktiva atau dana dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya tetap atau beban tetap, sedangkan Kurniasih dan Sari (2013) mendefinisikan leverage sebagai penambahan jumlah hutang yang mengakibatkan timbulnya pos biaya tambahan berupa bunga atau interest dan pengurangan beban pajak.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa leverage merupakan gambaran kemampuan perusahaan untuk menggunakan aktiva atau dana tersebut yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham.

2.1.9.2 Jenis-jenis Leverage

Menurut Khairiyah et al., (2014) leverage dibedakan menjadi tiga, yaitu operating leverage, financial leverage dan total leverage.

1. Operating Leverage adalah seberapa besar perusahaan menggunakan beban tetap oprasional.

(20)

2. Financial Leverage adalah penggunaan dana untuk kegiatan oprasional yang dibiayai oleh hutang dan memiliki konsekwensi beban tetap yang berupa biaya bunga atas hutang tersebut.

3. Total Leverage adalah kombinasi operating leverage dan financial leverage.

2.1.9.3 Rasio Leverage

Menurut Riyanto (1995) rasio leverage adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan hutang, sehingga dapat menggambarkan hubungan antara hutang perusahaan terhadap modal maupun aset, sedangkan menurut Agusti (2014) definisi rasio leverage adalah rasio yang menggambarkan sumber dana operasi yang digunakan oleh perusahaan dan menunjukkan resiko yang dihadapi perusahaan.

Dari rasio ini dapat diketahui besarnya jumlah hutang yang digunakan perusahaan untuk membiayai kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan modal sendiri. Dalam Riyanto (1995) terdapat 5 (lima) jenis rasio yang dapat digunakan untuk mengukur leverage yang terangkum dalam tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2

Jenis-Jenis Rasio Leverage

Rasio Metode Perhitungan Keterangan

Debt to Assets

Ratio

Digunakan untuk mengukur berapa persen perusahaan yang dibelanjai dengan hutang.

(21)

Debt to Equity Ratio

Perbandingan antara total hutang (hutang lancar dan hutang jangka panjang) dan modal sendiri (ekuitas) dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri, perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Long Term Debt to Equity Ratio Digunakan untuk mengukur bagian dari modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk hutang jangka panjang.

Tangible Assets

Debt Coverae

Digunakan untuk mengukur besarnya aktiva tetap tangible yang digunakan untuk menjamin hutang jangka panjang.

Times Interest Earned Ratio

Perbandingan antara laba bersih sebelum bunga dan pajak dengan beban bunga dan merupakan rasio yang mencerminkan besarnya jaminan keuangan untuk membayar bunga utang jangka panjang.

Sumber : Bambang Riyanto, 1995

2.1.9.4 Pengukuran Leverage

Menurut Waluyo, et al., (2015) Leverage adalah rasio yang mengukur kemampuan utang baik jangka panjang maupun jangka pendek untuk membiayai asset perusahaan. Rasio ini dapat melihat sejauh mana perusahaan dibiayai oleh

(22)

modal. Untuk mengukur leverage dalam penelitian ini menggunkan presentase dari total hutang terhadap ekuitas perusahaan pada suatu periode yang disebut dengan Debt to Equity Ratio (DER). DER mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Selain itu, DER juga dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

2.2 Hubungan Logis Antara Variabel dan Perumusan Hipotesis

2.2.1 Hubungan Corporate Risk terhadap Tindakan Pajak Agresif

Pihak eksekutif dalam sebuah perusahaan memiliki dua karakter dalam menjalankan tugasnya, yaitu risk taker dan risk averse (Low, 2006). Pemimpin perusahaan yang memiliki karakter risk taker cenderung lebih berani dalam mengambil keputusan walaupun keputusan tersebut berisiko tinggi, karena mereka termotivasi untuk mendapatkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi (Dewi, 2013). Oleh karena itu mereka akan terus berusaha mendatangkan aliran kas yang tinggi untuk memenuhi tujuan pemilik perusahaan. Tindakan pajak agresif bertujuan untuk mengurangi laba kena pajak, sehingga dapat mengurangi pembayaran pajak dan akhirnya dapat meningkatkan aliran kas masuk perusahaan. Peningkatan aliran kas ini lah yang dapat meningkatkan insentif yang akan diterima oleh eksekutif dari para pemegang saham.

Dyreng et. al. (2010) menguji pengaruh individu Top Executive terhadap penghindaran pajak perusahaan. Dengan mengambil sampel sebanyak 908

(23)

pimpinan perusahaan yang tercatat di ExecuComp diperoleh hasil bahwa pimpinan perusahaan (Executive) secara individu memiliki peran yang signifikan terhadap tingkat penghindaran pajak. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Budiman dan Setiyono (2012) dan Dewi (2013) yang menyatakan bahwa corporate risk yang merupakan proksi dari karakter eksekutif berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka diajukan hipotesis sebagai berikut :

H1 : Corporare Risk berpengaruh terhadap Tindakan Pajak Agresif

2.2.2 Hubungan Corporate Governance terhadp Tindakan Pajak Agresif

Penerapan tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik diharapkan mampu meningkatan transparansi dalam pelaporan keuangan, sesuai dengan prinsip dasar dari corporate governance itu sendiri. Transparansi yang tinggi dapat menyeimbangkan jumlah informasi yang dimiliki oleh pihak manajemen dan pemilik, termasuk juga pihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan. Adanya keseimbangan informasi ini tentunya dapat mengurangi konflik agensi yang ada di dalam perusahaan, seperti tindakan pajak agresif. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan jumlah informasi yang seimbang, kesempatan bagi pihak manajemen untuk melakukan tindakan pajak agresif dapat dikurangi dengan tingkat pengawasan yang lebih tinggi melalui informasi yang berkualitas.

Penelitian Desai dan Dharmapala (2006) merupakan contoh penelitian empiris yang memperlihatkan pengaruh corporate governance terhadap penghindaran pajak. Desai dan Dharmapala (2006) dengan menggunakan data perusahaan yang terdapat dalam Compustat database (periode 1993-2002), telah

(24)

meneliti pengaruh praktik corporate governance terhadap hubungan antara kompensasi/insentif manajemen dengan tindakan penghindaran pajak. Penelitian ini dilakukan dengan membagi sampel menjadi dua kelompok (perusahaan well-governed dan perusahaan poorly well-governed) berdasarkan tingkat praktik corporate

governance masing-masing perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh

kompensasi/insentif manajemen terhadap tindakan penghindaran pajak perusahaan berbeda antara perusahaan yang memiliki praktik corporate governance baik dengan yang memiliki praktik corporate governance buruk.

Hubungan antara kompensasi/insentif manajemen dengan tindakan penghindaran pajak lebih berefek negatif pada perusahaan dengan tingkat praktik corporate governance buruk (poor corporate governance).

Selain Desai dan Dharmapala (2006), Sartori (2009) juga telah meneliti hubungan antara corporate governance dengan tindakan pajak agresif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan good corporate governance dapat meningkatkan kepatuhan pajak perusahaan, atau dengan kata lain dapat menurunkan tindakan pajak agresif berupa penghindaran pajak. Hal ini dapat terjadi karena prinsip good corporate governance dapat memberikan tingkat transparansi yang tinggi sehingga para manajer termotivasi untuk mematuhi sistem perpajakan yang ada, tanpa mengurangi kewajiban pajak perusahaan melalui tindakan pajak agresif. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka hipotesis penelitian yang dapat diambil yaitu :

(25)

2.2.3 Hubungan Size terhadap Tindakan Pajak Agresif

Menurut Rego (2003) dalam Dewi (2013) perusahaan besar memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan tindakan pajak agresif karena memiliki aktivitas bisnis yang lebih kompleks. Perusahaan yang termasuk dalam skala besar akan mempunyai sumber daya yang berlimpah yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Siegfried (1972) dalam penelitian Lanis dan Richardson (2007) menyatakan bahwa perusahaan besar akan lebih agresif terhadap pajak agar mencapai penghematan beban pajak yang optimal, dikarenakan perusahaan besar menginginkan laba dan kekuatan politik yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil sehingga mampu mengurangi beban pajak yang dikenakan.

Menurut Hidayanti (2013) semakin besar ukuran perusahaan maka akan semakin rendah ETR yang dimilikinya, hal ini disebabkan perusahaan mampu menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk membuat suatu perencanaan pajak yang baik. Namun perusahaan tidak selalu dapat menggunakan power yang dimilikinya untuk melakukan perencanaan pajak, karena adanya batasan berupa kemungkinan menjadi sorotan dan sasaran dari keputusan regulator, oleh karena itu ukuran perusahaan (size) dikontrol.

Dari hasil penggolongan perusahaan dapat dibandingkan antara perusahaan kecil dan menengah dengan perusahaan yang termasuk kategori besar. Perusahaan dengan kategori besar dapat membayar lebih banyak ahli pajak sehingga dapat mengalokasikan lebih banyak sumber daya dalam pengelolaan

(26)

pajak. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka hipotesis penelitian yang dapat diambil yaitu:

H3 : Size berpengaruh terhadap Tindakan Pajak Agresif

2.2.4 Hubungan Profitabilitas terhadap Tindakan Pajak Agresif

Profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba. Profitabilitas yang tinggi menyebabkan pembayaran pajak yang akan dilakukan perusahaan juga akan meningkat, sehingga CETR menjadi semakin tinggi (Prakosa, 2014).

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Frank, Lynch dan Rego (2007) serta Richardson dan Lanis (2012), yang mengatakan bahwa probabilitas berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Semakin tinggi tingkat probabilitas suatu perusahaan maka kecenderungan perusahaan untuk melakukan agresivitas pajak juga semakin meningkat. Perusahaan akan berusaha untuk mengurangi beban pajak untuk mempertahankan profit atau laba yang tinggi sehingga perusahaan akan cenderung melakukan tindakan pajak agresif. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4 : Profitabilitas berpengaruh terhadap Tindakan Pajak Agresif

2.2.5 Hubungan Leverage terhadap Tindakan Pajak Agresif

Leverage merupakan rasio hutang perusahaan. Penelitian Mulyani, et al.

(2014) menyatakan bahwa leverage yang tinggi akan menimbulkan beban bunga yang tinggi, sehingga pembayaran pajak menjadi semakin rendah, yang berimbas pada penurunan CETR. Jessica dan Toly (2014) menjelaskan leverage sebagai rasio yang timbul apabila dalam kegiatan operasionalnya perusahaan

(27)

menggunakan dana pinjaman atau menggunakan dana yang memiliki beban bunga. Apabila dikaitkan dengan pajak, perusahaan dimungkinkan menggunakan hutang dari kreditur untuk memenuhi kebutuhan operasional dan investasi perusahaan. Manfaat yang ditimbulkan dari penghematan pajak akibat adanya bunga membawa implikasi meningkatnya penggunaan utang perusahaan. Semakin tinggi nilai rasio leverage berarti semakin tinggi jumlah pendanaan dari utang pihak ketiga yang digunakan perusahaan dan semakin tinggi pula biaya bunga yang timbul dari utang tersebut, sehingga utang akan menimbulkan biaya bunga yang akan mengurangi laba bersih perusahaan yang selanjutnya beban pajak perusahaan juga mengalami penurunan. Penelitian Ozkan (2001) menyebutkan bahwa leverage yang tinggi dapat mengindikasikan adanya tindakan pajak agresif. Leverage adalah ukuran persentase total aset perusahaan yang diperoleh

dari pihak kreditur (Kieso et al, 2009:796). Mills (dalam Dunbar, 2011) berpendapat bahwa leverage mencerminkan kompleksitas transaksi keuangan perusahaan. Sehingga perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi memiliki kemampuan yang lebih untuk menghindari pajak melalui transaksi–transaksi keuangan. Graham dan Tucker (dalam Dunbar, 2011) menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang lebih tinggi kurang membutuhkan tax shield yang tidak berasal dari utang sehingga mengurangi perilaku pajak agresif.

Menurut Hadi dan Yenni (2014) perusahaan mengunakan hutang akan menimbulkan adanya bunga yang harus dibayar. Semakin tinggi leverage maka smakin tinggi pula resiko perusahaan, karena perusahaan harus membayar bunga hutang yang tinggi menggunakan hasil usahanya, sehingga mempengaruhi laba

(28)

bersih perusahaan. Terdapat hubungan positif antara ETR dengan leverage karena perusahaan menggunakan beban bunga perusahaan untuk mengurangi laba bersih perusahaan, sehingga beban bunga juga mengurangi penghasilan kena pajak perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H5 : Leverage berpengaruh terhadap Tindakan Pajak Agresif

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Suardijaya et al. (2015) yang menguji tentang tindakan pajak agresif pada Sektor Keuangan : eksplorasi corporate risk dan corporate governance. Data penelitian ini adalah 19

perusahaan Sektor Keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia selama periode 2012 – 2013. Hasil penelitian tersebut adalah tidak signifikan secara statistik.

Penelitian tersebut menggunakan beberapa variabel yang berbeda, dengan hasil penelitian yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah Winarsih dan Kusufi (2014) meneliti tentang tindakan pajak agresif dengan menggunakan variabel ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, ukuran komite audit dan corporate sosial responbility sebagai variabel independen. Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah tindakan pajak agresif dengan objek dari penelitian perusahaan manufaktur yang Listing di BEI pada tahun 2009 – 2012. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya faktor ukuran dewan komisaris yang terbukti berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif, sedangkan ukuran dewan

(29)

direksi, ukuran komite audit dan corporate sosial responbility tidak memiliki pengaruh terhadap tindakan pajak agresif.

Pada penelitian Dewi dan Sari (2015) meneliti tentang tax avoidance pajak dengan menggunakan variabel corporate risk, insentif eksekutif, kepemilikan institusional, komisaris independen dan komite audit sebagai variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tax avoidance dengan objek penelitian perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2011-2013. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel Kualitas Audit merupakan variabel yang terbukti berpengaruh terhadap tax aggressiveness, sedangkan Corporate Risk, Insentif Eksekutif, Kepemilikan Institusional, Komisaris Independen dan

Komite Audit tidak terbukti berpengaruh terhadap tax aggressiveness.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Tiaras dan Wijaya (2015) tentang agresivitas pajak pada perusahaan industri manufaktur di Indonesia. Dengan menggunakan variabel Leverage, Likuiditas, Proporsi Komisaris Independen, Size (Ukuran Perusahaan) dan Manajemen Laba. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel Leverage, Likuiditas dan Proporsi Komisaris Independen merupakan variabel yang tidak terbukti berpengaruh terhadap tingkat agresivitas pajak, sedangkan variabel Size (Ukuran Perusahaan) dan Manajemen Laba merupakan variabel yang terbukti berpengaruh terhadap tingkat agresivitas pajak.

Penelitian yang dilakukan oleh Hadi dan Yenni (2014) tentang agresivitas pajak pada perusahaan manufaktur di Indonesia. Dengan menggunakan variabel Leverage, Komposisi Dewan, Kepemilikan Manajerial, Return on Assets (ROA),

(30)

menunjukkan bahwa variabel Leverage, Komposisi Dewan, Kepemilikan Manajerial dan Return on Assets (ROA) merupakan variabel yang tidak terbukti berpengaruh terhadap agresivitas pajak, sedangkan variabel Size (Ukuran Perusahaan) dan Struktur Kepemilikan merupakan variabel yang terbukti berpengaruh terhadap agresivitas pajak.

Beberpapa penelitaian sebelumnya yang telah diuraikan diatas dapat dilihat dalam tabel 2.3 sebagai berikut :

Tabel 2.3

Ringkasan Penelitian Terdahulu

No. Nama Peneliti dan Tahun

Sampel dan Periode Penelitian

Variabel Penelitian dan Metode Analisis Hasil Penelitian 1. Winarsih dan Kusufi (2014) Perusahaan Manufaktur tang Listing di BEI periode 2009-2012 Variabel Dependen : Tindakan Pajak Agresif

Variabel Independen :

Corporate Social Responbility, Ukuran

Dewan Komisaris, Ukuran Dewan Direksi dan Ukuran Komite Audit. Metode Analisis : Regresi Linier Berganda. Variabel Ukuran Dewan Komisaris yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif, sedangkan variabel Ukuran Dewan Direksi, Ukuran Komite dan

Corporate Social Responbility yang tidak terbukti berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif. 2. Hadi dan Yenni

(2014) Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2010-2013. Variabel Dependen : Agresifitas Pajak. Variabel Independen : Struktur Kepemilikan, Komposisi Dewan, Kepemilikan Manajerial. Variabel Kontrol :

Size, Leverage, ROA

Metode Analisis : Regresi Linier Brganda. Variabel Leverage, Komposisi Dewan, Kepemilikan Manajerial dan Return on Assets (ROA) merupakan variabel yang tidak terbukti berpengaruh terhadap agresivitas pajak, sedangkan variabel Size (Ukuran Perusahaan) dan Struktur Kepemilikan merupakan variabel yang terbukti

(31)

berpengaruh

terhadap agresivitas pajak.

3. Tiaras dan Wijaya (2015) Perusahaan Industri Manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2010-2011. Variabel Dependen : Tingkat Agresivitas Pajak. Variabel Independen : Likuiditas, Leverage, Manajemen Laba, Proporsi Komisaris Independen, Ukuran perusahaan (size). Metode Analisis : Regresi Berganda. Variabel Leverage, Likuiditas dan Proporsi Komisaris Independen merupakan variabel yang tidak terbukti berpengaruh terhadap tingkat agresivitas pajak, sedangkan variabel Size (Ukuran Perusahaan) dan Manajemen Laba merupakan variabel yang terbukti berpengaruh terhadap tingkat agresivitas pajak. 4. Dewi, Gusti Ayu P

dan Sari, Maria M (2015) Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2011-2013. Variabel Dependen : Tax Avoidance. Variabel Independen : Corporate Risk, Corporate Governance, Kepemilikan Institusional, Komisaris Independen, Komite Audit dan Kualitas Audit. Metode Analisis : Regresi Linier Berganda. Variabel Corporate Risk, Corporate Governance, Kepemilikan Instusional, Komisaris Independen dan Komite Audit merupakan variabel yang tidak terbukti berpengaruh terhadap Tax Avoidance, sedangkan variabel Kualitas Audit merupakan variabel yang terbukti berpengaruh terhadap Tax Avoidance. 5. Suardijaya et al (2015) Perusahaan Sektor Keuangan yang terdaftar di BEI periode 2012-2013 Variabel Dependen : Tindakan Pajak Agresif. Variabel Independen : Corporate Risk, Corporate Governance. Variabel Kontrol : Size,Leverage dan Profitabilitas. Variabel Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Profitabilitas dan Leverage tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif, sedangkan variabel Corporate Risk memiliki pengaruh terhadap tindakan pajak agresif.

(32)

Metode Analisis : Regresi Linier Berganda.

Sumber : Dari Berbagai Jurnal

2.4 Kerangka Pemikiran

Corporate risk mencerminkan penyimpangan atau deviasi standart dari earning baik penyimpangan itu bersifat kurang dari yang direncanakan, semakin besar deviasi earning perusahaan mengidentifikasikan semakin besar pula risiko perusahaan yang ada (Budiman dan Setiyono 2012).

Corporate governance didefinisikan sebagai efektifitas mekanisme yang

bertujuan meminimumkan konflik keagenan, dengan penekana khusus pada mekanisme legal yang mencegah dilakukannya eksplorasi atas pemegang saham minoritas (Johnson dkk, 2000 dalam Kurniasih dan Sari, 2013).

Size adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan perusahaan menjadi

perusahaan besar dan kecil menurut berbagai cara seperti total asset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah penjualan (Machfodedz, 1994 dalam Kurniasih dan Sari, 2013).

Profitabilitas berguna untuk mengukur sejauh mana efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya (Siahan, 2004). Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih.

Leverage juga didefinisikan sebagai total hutang dibagi dengan total

(33)

yang harus dibayar. Pada peraturan perpajakan, yaitu pasal 6 ayat 1 UU nomor 36 tahun 2008 tentang PPh, bunga pinjaman merupakan biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense) terhadap penghasilan kena pajak. Beban bunga yang bersifat deductible akan menyebabkan laba kena pajak perusahaan menjadi berkurang. Laba kena pajak yang berkurang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan. (Sari, 2014).

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi tindakan pajak agresif, diantaranya adalah corporate risk, corporate governance, size, profitabilitas dan leverage. Gambar 2.1 Corporate Risk (X1) Corporate Governance (X2) Size (X3) Profitabilitas (X4) Tindakan Pajak Agresif (Y) Leverage (X5)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan di atas, pada artikel ini dibahas hasil penelitian mengenai pengaruh penyuluhan kesehatan gigi dan mulut dengan cara demonstrasi cara menyikat

Secara keseluruhan hasil analisis kepuasan pelanggan dengan menggunakan metode IPA pada 27 atribut secara umum rata-rata tingkat kesesuaian dari seluruh dimensi belum ada

· Lepaskan selalu daya listrik AC dengan mencabut kabel daya dari colokan daya sebelum menginstal atau melepaskan motherboard atau komponen perangkat keras lainnya.. ·

Guna meningkatkan kenyamanan dan kemudahan penggunaan ashitaba maka diformulasikan granul effervescent, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi dan fisiologi apendik, memahami patogenesa abses apendik, memahami dan mengerti diagnosa, pengelolaan

Untuk menghindari unsur subjektif dalam melakukan penyeleksian penerima beasiswa, maka tujuan dari penelitian ini yaitu menghasilkan suatu aplikasi sistem pendukung keputusan yang

Hal tersebut wajib dan patut dinilai sebagai bentuk aktif pemerintah dalam mengayomi masyarakat Republik Indonesia demi terjaga stabilitas, nama besar dan kedaulatan Negara

Berdasarkan data di atas, sebagai seorang dokter di Puskesmas tersebut, langkah-langkah apa saja yang akan saudara lakukan untuk memecahkan maslah kesehatan didaerah saudara