• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORELASI ANTARA PERINTAH TAQWA DAN MENCARI WASĪLAH DALAM AL-QUR AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KORELASI ANTARA PERINTAH TAQWA DAN MENCARI WASĪLAH DALAM AL-QUR AN"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI ANTARA PERINTAH TAQWA DAN MENCARI

WASĪLAH DALAM AL-QUR’AN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh: Zahara Difa 11150340000083

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)

i

KORELASI ANTARA PERINTAH TAQWA DAN MENCARI

WASĪLAH DALAM AL-QUR’AN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh: Zahara Difa 11150340000083

Pembimbing

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA. NIP 19690822 199703 1 002

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

ii

Skripsi yang berjudul KORELASI ANTARA PERINTAH TAKWA DAN MENCARI WASĪLAH DALAM AL-QUR‟AN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 November 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

Jakarta, 28 Februari 2021 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Fahrizal Mahdi, Lc.,MIRKH NIP. 19820816 201503 1004 Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. Syahrullah, M.A NIP. 19820221 200901 1 024 NIP. 19780818 200901 1 016

Pembimbing,

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A NIP. 19690822 199703 1 002

(5)
(6)

iv

Zahara Difa, NIM 11150340000083

Korelasi Antara Perintah Taqwa dan Mencari Wasīlah Dalam Al-Qur’an.

Tujuan Penelitian ini ialah untuk mengungkap dan memahami perbedaan perintah dalam mencari Wasīlah dengan perintah bertaqwa serta memberikan pemahaman kepada masyarakat dan pembaca bahwa wasīlah (tawassul) itu sebuah perantara agar tercapainya suatu tujuan.

Penelitian ini bersifat kualitatif, di mana data yang digunakan berupa dokumentasi kepustakaan. Sumber data primer yang digunakan oleh penulis yaitu Kitab al-Qur‟an dan Terjemah Kemenag Tahun 2017.

Sedangkan sumber data sekunder yang dipakai penulis untuk mendukung dan memperkuat data primer dalam kajian ini, penulis merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik maupun kontemporer. Serta ditambah dengan beberapa jurnal, artikel, skripsi yang dianggap penting untuk dikutip serta bisa mendukung dan menambah pembahasan-pembahasan terkait.

Hasil dari penelitian ini ialah, Pertama makna Taqwa dalam QS. al-Mā‟idah [5]: 35 yaitu menjalankan segala apa yang di perintahkan dan menjauhi apa saja yang dilarang, dan berusaha menghindari murka Allah Swt. Kedua Taqwa dan Wasīlah saling berkaitan erat karena tujuan dari taqwa yaitu wasilah (mendekatkan diri kepada Allah Swt). Sebab ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas garis yang harus kita tempuh sebagai seorang muslim dalam menuju kejayaan dan kemenangan jiwa. Di mana semua itu dapat kita raih dengan cara bertaqwa kepada Allah swt serta berwasilah, yaitu mengatur jalan agar dapat cepat sampai (qurbah) kepada Allah swt dengan beribadah, amal shalih dan do‟a. Ketiga Wasīlah ialah segala sesuatu amal yang diperbuat dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh sebab itu Wasīlah ialah tidak lain usaha dari masing-masing orang, karena kelak di akhirat nanti akan di timbang segala amal perbuatan baik maupun buruknya seseorang. Maka Wasīlah itu ialah amal dan usaha sendiri bukanlah memakai perantara orang lain, sebab di hadapan Allah swt, semua makhluk adalah sama.

(7)

v

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat, iman, jasmani dan rohani tiada henti kepadanya. Penulis meminta agar selalu diberi kesehatan, kemudahan, kesabaran dan kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini, berkat kasih sayang serta petunjuk dan rahmat-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata, menjadi kalimat serta paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini.

Shalawat serta salam, senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda Rasulallah SAW, yakni Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya. Sesungguhnya Beliau dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan itu sampai kepada kita semua saat ini.

Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “KORELASI ANTARA PERINTAH TAQWA DAN

MENCARI WASĪLAH DALAM AL-QUR’AN” ini tidak akan selesai

dengan daya upaya penulis dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Lubis, Lc., MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2019-2024. Beliau merupakan rektor perempuan pertama di UIN Jakarta. Semoga di bawah kepemimpinannya UIN semakin baik dari sisi akademis, keilmuan dan lain-lain sehingga cita-cita UIN menjadi World Class University dapat segera terwujud.

(8)

2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta jajarannya. Semoga Ushuluddin bisa lebih baik lagi dari segala sisi, agar fakultas tercinta ini akan tetap menjadi jantungnya UIN Jakarta dan dapat bersaing dengan Fakultas UIN lainnya dari dalam maupun luar negeri.

3. Terima kasih kepada Dr. Eva Nugraha, MA. Selaku ketua jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH, selaku Sekretaris Jurusan. Dan seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah banyak memberikan ilmu, wejangan dan motivasi selama saya menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin. Semoga semua yang saya dapatkan selama saya menempuh pendidikan Strata 1 (S1) ini dapat bermanfaat di luar nanti.

4. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku dosen penasihat akademik yang telah mendoakan dan memberikan masukan kepada saya di tengah kesibukannya sebagai dosen.

5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA. Selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan waktunya di tengah kesibukan beliau. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan arahannya selama ini.

6. Teruntuk seluruh keluarga, kedua orang tua yang penulis cintai, adik, suami, dan anak yang selalu memberikan doa, semangat, kasih sayang serta jerih payah kepada penulis dengan tanpa henti.

7. Seluruh rekan penulis di program ilmu al-Quran dan Tafsir angkatan 2015, khususnya teman-teman Princess yang selalu memberi dukungan satu sama lain, terima kasih untuk Cindy Parinduani, Cucu Nurhayati, Elisa Fauziyah, Indri Noviyanti, Miftah Nur Sabda, Nafisatun Nafiah, Nuraida, Rizka Safrina Putri dan Siti Rahayu N

(9)

yang telah menemani dan berbagi cerita canda tawa baik dalam suka maupun duka.

8. Kepada keluarga besar IQTAF B 2015. Terima kasih untuk segala kebersamaan kita, untuk semua cerita dan pengalaman yang sangat menyenangkan dalam setiap pembelajaran.

Jakarta, 05 Oktober 2020

(10)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987

1. Padana Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

ا

tidak dilambangkan

ب

b Be

ت

t Te

ث

ṡ es dengan titik atas

ج

j Je

ح

ḥ ha dengan titik bawah

خ

kh ka dan ha

د

d De

ذ

ż zet dengan titik atas

ر

r Er

ز

z Zet

س

s Es

ش

sy es dan ye

ص

ṣ es dengan titik bawah

ض

ḍ de dengan titik bawah

ط

ṭ te dengan titik bawah

(11)

ع

„ koma terbalik di atas hadap kanan

غ

gh ge dan ha

ؼ

f Ef

ؽ

q Qi

ؾ

k Ka

ؿ

l El

مػ

m Em

ن

n En

و

w We

ه

h Ha

ء

‟ Apostrof

ي

y Ye 2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـَــ a Fathah

ـِــ i Kasrah

ـُــ u Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

(12)

و ـَــ au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اَى Ā a dengan topi di atas

ْيِى Ī i dengan topi di atas

ْىُى Ū u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (ـّــ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (

ةرو

ﺮﻀﻟ

ا

) tidak ditulis ad-darūrah melainkan al-darūrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbūtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2). Namun,

(13)

jika huruf ta marbūtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1

ﺔﻘ

ﺮﯾ

ط

Tarīqah

2

ﯿ

ﻣﻼﺳﻹ

ا

ﺔﻌﻣﺎﺠﻟ

ا

al-jāmī‟ah al-islāmiyyah

3

د

ﻮﺟﻮﻟ

ا ة

ﺪﺣ

و

wahdat al-wujūd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskanpermulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Ḥāmid al-Ghazālī bukan Abū Ḥāmid Al-al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al- Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

(14)

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (Fi„il), kata benda (Isim), maupun huruf (Ḥarfu) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas

Kata Arab Alih Aksara

ْذِﻌَتْﺳٱَف

لﻟٱِب

fasta'iż billāh

َك نَغَزنَي

َنِﻣ

شﻟٱ

ِنََٰطْي

yanzagannaka minasy-syaiṭāni

ِوََٰﻟِإ

ِسﺎ نﻟٱ

Ilāhin-nās

َنِﻣ

ِﺔ نِْلْٱ

ِسﺎ نﻟٱَو

Minal-jinnati wan-nās

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Fazl al-Rahmān.

(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan Pustaka ... 6 E. Metodologi Penelitian ... 10 1. Jenis Penelitian ... 11 2. Sumber Data ... 11 3. Analisa Data ... 12 F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KAJIAN TEORI AL-TAQWA, AL-WASĪLAH, DAN MUNASABAH ... 14

A. Kajian Teori Tentang al-Taqwa ... 15

1. Pengertian Kebahasaan dan Istilah ... 15

2. Ciri-ciri Orang Muttaqin ... 19

3. Hasil dari Ketaqwaan: Di Dunia dan Di akhirat ... 21

B. Kajian Teoritis Tentang Wasīlah ... 23

1. Pengertian Kebahasaan dan Istilah ... 23

2. Perbedaan antara Wasīlah dan Tawassul... 24

3. Bertawassul Melalui Manusia yang Masih Hidup dan Sudah Wafat ... 26

4. Bertawassul dengan Amal Kebaikan ... 28

(16)

BAB III KAJIAN AYAT 35 SURAH AL-MᾹ’IDAH ... 30

A. Posisi Ayat Sebagai Makkiyah atau Madaniyyah ... 31

B. Kandungan Ayat... 33

C. Korelasi dengan Ayat Sebelumnya ... 40

BAB IV ANALISA KORELASI PERINTAH BERTAQWA DENGAN PERINTAH MENCARI AL-WASILAH DALAM SURAH AL-MᾹ’IDAH AYAT 35 ... 44

A. Sapaan dengan Ungkapan Yā Ayyuha Al-ladzina Amanu ... 46

B. Fungsi Athf dalam Ayat Ini ... 47

C. Taqwa Sebagai Standar Orang yang Beriman ... 48

D. Contoh-contoh Perbuatan Kategori Wasīlah ... 50

BAB V PENUTUP ... 58

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

(17)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an dapat dipelajari bukan hanya dari segi susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, tetapi juga kandungan yang tersurah dan tersirat, bahkan sampai kepada kesan bagi orang yang membacanya. Redaksi ayat-ayat al-Qur‟an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai ragam penafsiran sesuai dengan sudut pandang mereka.1

Al-Qur‟an hadir untuk menyelamatkan manusia dari keburukan di akhirat. Keburukan di akhirat ditandai dengan masuknya neraka. Maka petunjuk al-Qur‟an yang menjadi wahyu Nabi SAW masuk surga dan terhindar dari neraka-Nya.

Dalam al-Qur‟an terdapat kata yang mendapat nilai lebih, Makna lafadz Taqwa berasal dari kata

ﺔيﺎقو

-

ىﻘي

-

ىقو

waqā-yaqī-wiqāyah, yang berarti memelihara, menjaga, dan lain sebagainya.2 Taqwa juga berarti menghindar, taqwa dalam arti ini mencakup tiga aspek yaitu: menghindar dari sikap kufur dengan jalan beriman kepada Allah, berupaya melaksanakan perintah Allah sejauh kemampuan yang dimiliki dan menjauhi larangan-Nya, menghindar dari segala aktifitas yang menjauhkan pikiran dari Allah. Arti ini merupakan salah satu dari arti konotatif. Taqwa dapat diartikan dengan kondisi perasaan takut, maksudnya rasa takut terhadap hari kiamat dan penguasa hari tersebut, takut akan siksa-Nya, azab, dan hari kiamat.

1 Said Agil Husain al-Munawwar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesehatan Hakiki

(Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003), xii.

2

(18)

Secara etimologi, term taqwa-yang terulang dalam al-Qur‟an sebanyak 259 kali dengan segala derivasinya-mengandung makna yang cukup beragam, di antaranya: memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan.3

Dalam istilah taqwa biasanya diartikan sederhana sebagai “takut kepada Tuhan” yang dilaksanakan dengan “menjauhi segala larangan-Nya, menjalankan semua perintah-Nya.” Inilah pengertian umum dikalangan umat islam tentang arti taqwa.4

Taqwa menurut bahasa adalah takut, sedangkan menurut istilah menjalani apa yang telah di syariatkan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Allah memerintahkan orang muslim untuk bertaqwa sebelum memerintahkan hal-hal lain, agar taqwa itu menjadi pendorong bagi mereka untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya.

Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Mā‟idah ayat 35:

َنيِذ ﻟا ﺎَهُّ يَأ ﺎَي

ِف اوُﺪِىﺎَﺟَو َﺔَليِﺳَﻮْﻟا ِوْيَﻟِإ اﻮُغَ تْ باَو َو لﻟا اﻮُﻘ تا اﻮُنَﻣآ

َنﻮُحِلْفُ ت ْمُك لَﻌَﻟ ِوِليِبَﺳ

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Dalam penafsiran Ibnu Kaṣir QS. al-Mā‟idah ayat 35 adalah Allah SWT memerintahkan pelayannya untuk takut pada-Nya. Lafaz takut ketika disertai dengan penyebutan makna yang menunjukkan ketaatan kepada-Nya, maka artinya adalah untuk menahan diri dari hal-hal terlarang dan untuk meninggalkan batasan.5

Al-Wasīlah adalah sesuatu yang digunakan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. al-Wasīlah adalah berisi makna “nama posisi

3 Irsyadunnas, “Amar Dalam Al-Qur‟an (Kajian Tentang Ayat-ayat Taqwa)”, Jurnal

Penelitian Agama, Vol. XII No.3 (September-Desember 2003), 504.

4 Moh.Arif, “Membangun Kepribadian Muslim melalui Taqwa dan Jihad”, Jurnal

Studi Agama, Vol. 7 No. 2 (Desember 2013), 344.

5 ṣalah „Abdul Fattah al-Khalidi, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Terj. Engkos

(19)

tertinggi di surga, posisi utusan Allah, dan tempat tinggalnya di surga.” Posisi ini adalah bagian dari surga yang paling dekat dengan Tahta. Dalam kitab Sahih Bukhāri disebutkan melalui garis Muhammad ibn al-Munqādir, dari Jabir bin „Abdullah, yang memberi tahu kita bahwa Rasulullah bersabda:

ِتآ ،ُﺔَمِئﺎَﻘْﻟا ِةَﻼ صﻟاَو ،ُﺔ ﻣ ﺎ تﻟا ِةَﻮْع ﺪﻟا ِهِذى بَر مُهّلﻟَا :ءاﺪنﻟا عمسي ينﺣ لﺎق نﻣ"

ﺎَفَشﻟا وﻟ تلﺣ لاا ،ُوتْﺪَعَو يِذ ﻟا اَدْﻮُمْ مُ ﺎَﻣﺎَﻘَﻣ وْثَﻌْ باَو ،َﺔَلْ يﻀفﻟاَو َﺔَلْ يِﺳَﻮﻟا اًﺪ مَُمُ

َمْﻮَ ي ُﺔَع

ُﺔَﻣﺎَيِﻘﻟا

"

“Barang siapa ketika mendengar azan (yakni sesudahnya) mengucapkan doa berikut, yaitu: "Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini dan keutamaan, dan tempatkanlah dia pada posisi yang dipuji seperti yang anda janjikan padanya, “ia akan menerima syafaatnya pada hari pengadilan.”6

Dari itu di sinilah Allah menyuruh kaum mu‟minin supaya bertaqwa kepada-Nya dan mencari jalan yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan amal soleh dan jangan sampai terpedaya dengan agama mereka, seperti yang dialami orang-orang ahli kitab.7 Dalam kitab al-Ghunyah-nya, Syaikh al-Jailānī mengemukakan beberapa jalan menuju ketaqwaan. Pertama, melepaskan diri dari tindakan ẓalīm kepada orang lain dan hak-hak mereka, kedua, menjauhi kemaksiatan dan segala dosa, besar maupun kecil, ketiga, menyibukkan diri dengan mengusir dosa-dosa dalam hati yang merupakan induk dosa.8 Dalam menjelaskan taqwa di sini terdapat hubungan menjelaskan makna wasīlah.

Dalam kitab Tafsir al-Ṭabari menjelaskan maksud lafazh

ﺔليﺳو

di sini adalah

ﺔبﺮﻘﻟا

(kedekatan) pendapat tersebut sama dengan pendapat para ahli

6 Qs. Mā‟idah-ayat-35-37.

7 Moh.Arif, “Membangun Kepribadian Muslim melalui Taqwa dan Jihad”, 346. 8 Muhammad Sholikhin, Menyatu diri dengan Ilahi (Yogyakarta: Narasi, 2010), Cet.

(20)

takwil.9 Dalam mencermati beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa di dalam taqwa terkandung pengertian pengendalian diri oleh manusia akan dorongan emosinya dan penguasaan terhadap kecendrungan hawa nafsunya. Begitu indah dan sempurnanya ajaran Allah.

Dalam konteks ṭabaṭaba‟i menjelaskan bahwa taqwa itu memiliki makna filosofis yang dalam. Dalam jiwa seseorang terdapat dua potensi, yaitu potensi berbuat baik (taat) dan potensi berbuat jahat (maksiat). Dua potensi tersebut tidak dapat berkumpul dalam satu waktu. Manusia taqwa adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi kebaikan (taat), yang ada dalam dirinya, dengan cara berbuat ihsan.10 Dalam penjelasan di atas tampaknya disepakati oleh Hamka, di mana dia menjelaskan dalam tafsirnya al-Azhar, bahwa dalam kalimat taqwa terkandung arti yang lebih komprehensif, yaitu cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar, berani, dan lain-lain. Intinya, kata Hamka ungkapan Taqwa mengandung makna memelihara hubungan baik dengan Allah, dengan memperbanyak amal saleh. Hal tersebut dilakukan bukan karena takut, tetapi karena ada kesadaran diri sebagai hamba Allah.11

Dari pemaparan di atas bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk bertaqwa dan memerintahkan pula untuk mencari wasilah, akan tetapi kedua hal ini walaupun terhubung satu sama lain dengan adanya wawu „Athf (

و)

dintara kedua perintah tersebut adanya perbedaan fungsi dan pelaksanaan nya, maka menurut penulis sangatlah menarik untuk dibahas sehingga penulis beri judul skripsi ini yaitu

9 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008), Cet. I, 855.

10 Irsyadunnas, “„Amar Dalam Al-Qur‟an (Kajian Tentang Ayat-ayat Taqwa)”, Jurnal

Penelitian Agama, 2.

11 Irsyadunnas, “„Amar Dalam Al-Qur‟an (Kajian Tentang Ayat-ayat Taqwa)”, Jurnal

(21)

“KORELASI ANTARA PERINTAH TAQWA DAN MENCARI

WASĪLAH DALAM AL-QUR’AN”.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah ditulis, penulis dapat memberikan identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:

a. Apa Makna Taqwa dalam al-Qur‟an?

b. Apakah Taqwa memiliki maksud yang berbeda? c. Apa makna Wasilah dala al-Qur‟an ?

d. Apa perbedaan Wasilah dengan Tawasul dalam al-Qur‟an

e. Apa Korelasi Taqwa dengan Wasilah dan apa dimaksud dari Wasilah dalam QS. al-Mā‟idah ayat 35?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang ada maka dapat dikatakan taqwa dalam al-Qur‟an memiliki makna yang beragam, di antaranya memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan.

Oleh karena itu, penulis akan membatasi pembahasan tentang taqwa agar penelitian ini objektif dengan memberikan rumusan masalah sebagai berikut: Apa Korelasi antara perintah Taqwa dengan Wasilah dan apa dimaksud dari Wasilah dalam QS. al-Mā‟idah ayat 35?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengungkap dan memahami perbedaan perintah dalam mencari wasilah dengan perintah bertaqwa.

b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat dan pembaca bahwa wasilah (tawassul) itu sebuah perantara agar tercapainya suatu tujuan.

(22)

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah dapat berguna bagi pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami masalah wasilah dan taqwa.

b. Manfaat Praktis

Dapat dijadikan acuan sebagai sarana pembelajaran terhadap mahasiwa dan khususnya masyarakat yaitu agar mengetahui lebih dalam lagi penjelasan dan pemahaman makna wasilah dalam al-Qur‟an dan menurut pandangan ulama.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah menelaah karya-karya tulis seputar ayat dan penafsiran tentang Tawasul dan Taqwa baik berupa kitab, buku, skripsi, jurnal ataupun tesis, untuk kemudian penulis cari perbedaan temanya dengan karya tulis yang sedang penulis susun, baik itu kekurangan maupun kelebihan yang ada sebelumnya. Dalam mencari data-data yang penulis butuhkan, penulis menemukan beberapa tulisan yang berkaitan tapi tidak sama dengan kajian yang akan dibahas oleh penulis. Tulisan-tulisan tersebut yaitu:

Pertama, Muhtadin12 dalam artikel nya menjelaskan bahwa taqwa

berarti menghindar atau bisa disebut dengan kondisi takut terhadap Allah SWT, takut akan siksa-Nya, azab, dan hari kiamat. Berupaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

12 Muhtadin, “Komunikasi Trasedental pada Taqwa, Dzikir, dan Falah dalam makna

semantik/ majazi”, Jurnal Pustaka Komunikasi, No.1 Vol 1, Universitas Prof. Dr. Moestopo, (2013).

(23)

Kedua, Moh Arif 13 dalam artikelnya yang berjudul “Kepribadian Muslim melalui Taqwa dan Jihad”. Menjelaskan taqwa dapat menumbuhkan etos pemilah dalam diri manusia yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Format dari Taqwa ini juga untuk menghindarkan diri dari maksiat qalbu.

Ketiga, Irsyadunnas 14 dalam artikelnya yang menjelaskan makna

taqwa sesungguhnya yang dimaksud oleh kalimat ittaqullah adalah menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah. Jika dipahami secara tesktual, kontradiksi dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang lain memerintahkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Keempat, Dwin Afina Aninnas 15 Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN

Sunan Ampel Surabaya dalam skripsinya yang berjudul “Penafsiran tentang Tawasul dalam Tafsir al-Iklil fi ma‟ani al-Tanzil karya K.H Misbah bin Zaenal Musthafa (Analisis Penafsiran Surah al-Mā‟idah ayat 35). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peneliti menjelaskan menafsirkan tawasul sebagai amal taat yang menjadi sebab seseorang dekat dengan Allah. Menurutnya amalan ziarah kubur sudah benar, akan tetapi yang menjadi persoalan yakni kesalahan orang-orang bodoh melakukan amalan ziarah kubur sebagai wasilah (perantara). Selanjutnya dalam tafsirnya ia menambahkan keterangan musyrik amali dan kafir amali, dalam menafsirkan Mbah Misbah merujuk kepada dalil, hadis, pendapat mufassir lain untuk memperkuat pendapatnya.

13 Moh. Arif, “Membangun Kepribadian Muslim Melalui Taqwa dan Jihad”, Jurnal

Studi Agama, No.2 Vol 7, STAIN Tulung Agung, (2013).

14 Irsyadunnas, “Amar dalam al-Qur‟an (kajian tentang ayat-ayat Taqwa)”, jurnal

penelitian Agama Vol XII No. 3 Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, (2003).

digilib.uin-suka.ac.id.

15 Dwin Afina Aninnas, Penafsiran tentang Tawasul dalam Tafsir iklil fi ma‟ani

al-Tanzil karya K.H. Misbah bin Zaenal Musthafa (Analisis Penafsiran surat al-Mā‟idah

(24)

Kelima, Lailatul Badriah 16 Tafsir Hadits IAIN Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dalam Skripsinya yang berjudul “ayat-ayat Tawasul dalam Perspektif Muhammad bin Abdul Wahhab” dalam skripsinya dijelaskan tentang perintah tawasul terdapat dalam surah al-Mā‟idah ayat 35 tentang perintah untuk mencari jalan (wasilah) yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Makna tawasul dalam surah al-Mā‟idah ayat 35 tersebut meliputi tawasul dengan orang-orang (pribadi-pribadi) yang memiliki keutamaan disisi Allah, seperti para Nabi, orang Shaleh baik di dunia maupun setelah mereka mati. Dalam pandangan Muhammad Bin Abdul Wahhab tawasul yang disyariatkan adalah tawasul yang langsung kepada Allah. Menurutnya, orang yang bertawasul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan orang kafir yang menyembah berhala.

Keenam, Siti Asifah 17 Tafsir Hadits IAIN Sunan Ampel Surabaya

dalam skripsi yang berjudul “Tawasul menurut al-Qur‟an” dalam skripsinya membahas ada tiga macam tawasul yang disyari‟atkan yaitu berdasarkan al-Qur‟an dan hadits, pertama tawasul kepada Allah SWT dengan salah satu nama-Nya yang baik, kedua tawasul kepada Allah SWT dengan amal shalih, ketiga tawasul kepada Allah SWT dengan doa orang yang shalih. Menurutnya bertawasul itu hukumnya boleh dan sangat dianjurkan dalam islam. Yang mana telah disebutkan dalam surah al-Mā‟idah ayat 35 dan surah al-Isra‟ ayat 57.

Ketujuh, buku karya Shalah Abdul Fattah al-Khalidi.18 Buku ini

berjudul Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, dalam buku ini membahas

16 Lailatul Badriyah, Ayat-ayat Tawasul dalam Perspektif Muhammad bin Abdul

Wahhab, Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Semarang, 2009.

17 Siti Asifah, Tawasul menurut Al-Qur‟an, Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan

Ampel Surabaya, 1998.

18 Ṣalah Abdul Fattah al-Khalidi, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid II (Jakarta Timur:

(25)

tentang makna taqwa yaitu penyebutan taat kepada-Nya, yang dimaksud adalah mencegah diri dari hal-hal yang diharamkan dan meninggalkan semua larangan. Dalam buku ini juga menjelaskan makna dari wasilah (jalan), yang dimaksud dengan wasilah adalah mendekatkan diri kepada Allah, sesuatu yang dijadikan media untuk mendapatkan tujuan

Kedelapan, Abdullah Affandi dan M. Su‟ud 19 dalam artikelnya

memberikan penjelasan tentang makna taqwa yang luas, makna taqwa sendiri tidak hanya takut. Taqwa kepada Allah, menurut Muhammad Abduh adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala perintah-Nya, akan tetapi pada umumnya memberi gambaran mengenai keadaan, sifat-sifat, dan ganjaran bagi orang-orang yang bertaqwa.

Kesembilan, Faisal Muhammad Nur 20 dalam artikelnya menjelaskan

bahwa tawasul merupakan masalah kontroversial dan selalu diperdebatkan baik kalangan para ulama klasik maupun cendekiawan muslim modern (kontemporer) pada masa kini. Konsep tawasul yang dipraktekkan oleh sebagian masyarakat muslim berlandaskan pada pengajaran al-Qur‟an dan al-Sunnah dan bukan permasalahan baru dalam dunia islam.

Kesepuluh, Dede Ridwanullah 21 dalam skripsinya dijelaskan

bagaimana pandangan para mufassir Indonesia kontemporer tentang tawasul, tujuan hakiki tawasul adalah Allah dan yang dijadikan tawasul adalah hanya perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pemahaman tawasul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara

19 Abdullah Affandi, M. Su‟ud, Antara Taqwa dan Takut (Kajian Semantik Leksikal

dan Historis terhadap al-Qur‟an), Jurnal al-Hikmah, No. 2 Vol 4, Bangkalan STIUDA, (2006).

20 Faisal Muhammad Nur, Konsep Tawasul dalam Islam, Jurnal Substantia No. 2 Vol

13, Banda Aceh, IAIN Ar-Raniry, (2011).

21 Dede Ridwanullah, Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer tentang

(26)

tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Corak pemikiran para mufassir Indonesia seperti, pemikiran Quraish Shihab, ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik pemikiran keislaman Quraish Shihab adalah bersifat rasional dan moderat. Sifat rasional pemikirannya tidak untuk memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer, tetapi lebih memberikan penjelasan dan signifikansi khazanah agama klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi kemungkinan pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap sangat menjaga kebaikan tradisi lama.

Dari hasil penelitian tersebut penulis tidak ditemukan dalam pembacaan di atas adalah korelasi antara perintah taqwa dan mencari wasilah yang disebutkan dalam surah al-Mā‟idah ayat 35.

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang dipakai untuk mencari. Mencatat, menemukan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai tujuan.22 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian library research, merupakan penelitian yang mengambil bahan-bahan kajiannya pada berbagai sumber, baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti itu sendiri atau disebut dengan sumber primer, maupun sumber yang ditulis oleh orang lain mengenai yang ditelitinya. Karena penelitian ini bertujuan menelaah atau mengkaji suatu kitab, ayat atau buku

22 Cholid Nur Boko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara

(27)

mengenai taqwa dan wasilah, maka jenis penelitian yang sesuai adalah penelitian pustaka yang bercorak deskriptif-analitis.23

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu:

a. Sumber data primer:

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya serta menurut informasi atau data penelitian.24 Dalam penulisan skripsi ini, sumber data primer yang digunakan oleh penulis yaitu Kitab al-Qur‟an dan Terjemah Kemenag Tahun 2017.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder adalah data yang telah disusun, dikembangkan, dan diolah kemudian tercatat.25 Sumber data sekunder yang dipakai penulis untuk mendukung dan memperkuat data primer dalam kajian ini, penulis merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik maupun kontemporer. Serta ditambah dengan beberapa jurnal, artikel, skripsi yang dianggap penting untuk dikutip serta bisa mendukung dan menambah pembahasan-pembahasan terkait.

3. Analisa Data

Data-data yang diperoleh dianalisi melalui metode tahlily. Metode tahlily ini digunakan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an yang membahas tentang Wasilah dan yang berkaitan dengannya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini mencakup pengertian umum kosa kata, Munasabah/hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, Sabab an-Nuzul (kalau ada), makna ayat global, hukum yang dapat ditarik,

23 Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi

(Jakarta: PT. Renika Cipta, 2006, Cet. I), 95-96.

24 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian (Jakarta: Kencana, 2012), 137. 25

(28)

yang tidak jarang menghidang aneka pendapat ulama mazhab dan menambahkan uraian tentang aneka Qira‟at , I‟rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistimewaan susunan kata-katanya.26

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dalam penyusunan skripsi, penulis membagi penjelasannya menjadi beberapa bab dengan sistematika tersebut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab yaitu latar belakang masalah, permasalahan yang terdiri dari identifikasi, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab dua, merupakan bagian dari landasan teori taqwa dan wasilah. Bab ini menjelaskan konsep taqwa, pengertian secara kebahasaan dan istilah, ciri-ciri orang bertaqwa, hasil dari ketaqwaan di dunia dan di akhirat. Konsep wasilah, pengertian kebahasaan dan istilah, perbedaan antara wasilah dan tawasul, dan pandangan ulama tentang tawasul.

Bab tiga, pada bab ini akan difokuskan mengenai kajian surah al-Mā‟idah ayat 35 mengenai posisi ayat sebagai makkiyah atau madaniyyah, korelasi dengan ayat sebelumnya, asbabun nuzul, kejadian umum surah al-Mā‟idah ayat 35.

Bab empat, analisa korelasi taqwa dan wasilah membahas pemaknaan kata wasilah dan taqwa, hasil dari taqwa, hasil dari wasilah, contoh-contoh perbuatan kategori wasilah.

Bab lima, di dalam bab ini menyusun kesimpulan pembahasan yang dirumuskan dalam berbagai pernyataan. Pernyataan-pernyataan itu

26

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Kententuan dan Aturan yang Patut

(29)

merupakan jawaban atas masalah pokok yang diajukan dalam penelitian ini dan akan diakhiri dengan kata penutup.

(30)
(31)

15

KAJIAN TEORI AL-TAQWA, AL-WASĪLAH, DAN MUNASABAH

Taqwa adalah sikap jiwa yang bersandarkan kesadaran ketuhanan dan perilaku Muslim dalam menjaga, melindungi dirinya dalam hubungan dengan Allah, sehingga terpelihara nilai dan harkat kemanusiaanya dalam menuju puncak hubungan yang suci dengan Allah swt.1 Taqwa merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling penting. Ia adalah peranan penting yang akan menjadikan kehidupan manusia mulia di dunia dan akhirat.2

A. Kajian Teori Tentang al-Taqwa 1. Pengertian Kebahasaan dan Istilah

Menurut Bahasa kata “Taqwa” berasal dari kata:

ىقو

-ىﻘي

ﺔيﺎقو

waqā-yaqī-wiqāyah, yang berarti memelihara,

menjaga, dan lain sebagainya.3

Dalam istilah taqwa biasanya diartikan sederhana sebagai bentuk “takut kepada Tuhan” yang dilaksanakan dengan “menjauhi segala larangan-Nya, menjalankan semua perintah-Nya.” Inilah pengertian umumnya di kalangan umat Islam, tentang arti taqwa. 4

Secara etimologi, Term taqwa diulang dalam al-Qur‟an sebanyak 259 kali dengan segala derivasinya mengandung makna cukup beragam, diantaranya: memelihara, menutupi, menghindari, menjauhi dan menyembunyikan.5

1 Leni Harnita, Makna Taqwa Perbandingan Tafsir Klasik dan Modern (Kajian Tafsir

Ibnu Kaṣīr dan Al-Misbah), (Skripsi S1., Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwa IAIN Curup, 2018), x.

2

Heri Afrizal, dkk, Ibadah Hati (Jakarta Timur: Hamdalah, 2008), 87.

3 Muhtadin, Komunikasi Transedental pada Taqwa, 116.

4 Moh. Arif, Membangun Kepribadian Muslim melalui Taqwa dan Jihad, 344. 5 Tutik Hamidah. Didin Chonytha, Tafsir Tematik (Konsep Al-Qur‟an tentang Taqwa

(32)

Kata taqwa yang diungkapkan dalam bentuk fi`il Mudhari ditemukan sebanyak 54 kali. Dalam bentuk ini, al-Qur‟an menggunakan kata itu untuk arti: (1) menerangkan berbagai ganjaran, kemenangan, dan pahala yang diberikan kepada al-Muttaqīn (orang-orang yang bertaqwa), seperti dalam QS. al-Ṭalāq [65]: 5. (2). menerangkan keadaan atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga ia diharapakan dapat mencapai tingkat taqwa, yang diungkapakan dalam bentuk la‟allakum tattaqûn seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 183, dan (3) menerangkan ancaman dan peringatan bagi orang-orang yang tidak bertaqwa, seperti dalam QS. al-Mu‟minūn [23]: 32.6

Kata taqwa yang dinyatakan dalam fi`il `Amr sebanyak 86 kali, 78 kali diantaranya mengenal perintah untuk bertaqwa yang ditujukan kepada manusia secara umum. Objek taqwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah taqwa tersebut bervariasi, yaitu: (1) Allah sebagai objek sebanyak 56 kali, misalnya pada QS. al-Baqarah [2]: 231 dan QS. al-Syu‟arā‟ [26]: 131; (2) Neraka sebagai objeknya ditemukan sebanyak 2 kali, yaitu pada surah al-Baqarah [2]: 24 dan QS. Āli Imrān [3]: 131, (3) Fitnah/ siksaan sebagai objek taqwa ditemukan satu kali, yaitu pada QS. al-Anfāl [8]: 25, (4) objeknya berupa kata rabbakum al-ladzi khalaqalakum dan kata-kata lain yang semakna berulang sebanyak 15 kali seperti dalam QS. al-Ḥajj: [22]: 1. Dari 86 ayat yang menyatakan perintah bertaqwa pada umumnya (sebanyak 82 kali) objeknya adalah Allah, dan hanya 4 kali yang objeknya bukan Allah melainkan neraka, Hari kemudian, dan siksaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang berbicara mengenai taqwa dalam Alquran pada dasarnya yang dimaksudakan adalah ketaqwaan kepada Allah Swt. Perintah itu pada

6 M. Qurais Shihab, Ensiklopedia Alquran Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,

(33)

dasarnya menunjukan bahwa orang-orang yang akan terhindar dari api neraka dan siksaan hari kemudian nanti adalah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt.7

Kata taqwa merupakan bentuk Maṣdar dari kata ittaqā-yattaqi

-

يَﻘ تا

يِﻘ تَ ي

yang berarti “menjaga diri dari segala yang membahayakan”.8 Sebagian ulama berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi dari sesuatu”. Kata taqwa dengan pengertian ini dipergunakan di dalam Qur‟an, misalnya pada QS. al-Mu‟min, [40]: 45 dan QS. al-Ṭūr [52]: 57.

Kata taqwa didalam al-Qur‟an sering dihubungkan dengan kata iman seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 103, QS. al-A‟rāf [7]: 96 QS. Āli Imrān [3]: 179, QS. al-Anfāl [8]: 29, dan QS. Muhammad [47]: 36. Al-Qur‟an menyebutkan orang yang bertaqwa dengan Muttaqī jamaknya al-Muttaqīn yang berarti “orang yang bertaqwa” kata itu disebut al-Qur‟an sebanyak 50 kali digunakan al-Qur‟an untuk (1) menggambarkan bahwa orang-orang yang bertaqwa dicintai oleh Allah Swt. Dan diakhirat nanti akan diberi pahala dan tempat yang paling baik, yaitu surga, seperti yang diungkapkan QS. al-Nabā [78]: 31, (3) menggambarkan bahwa Allah merupakan wali (pelindung) bagi orang-orang yang bertaqwa, seperti diungkapkan dalam QS. al-Jāsyiyah [45]: 19, (4) menggambarkan bahwa beberapa kisah yang terjadi merupakan peringatan dan teladan bagi

7

M. Qurais Shihab, Ensiklopedia Alquran Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 989.

8 Abdullah Affandi. M.Su‟ud, Antara Taqwa dan Takut (kajian Semantik Leksikal

dan Historis terhadap al-Qur‟an), Jurnal al-Hikmah, No.2 Vol 4, Bangkalan STIUDA,

(34)

orang yang bertaqwa, seperti yang diungkapkan dalam QS. al-Anbiyā‟ [21]: 48 dan QS. al-Hāqqah [69]: 48.9

Bila kata taqwa digunakan berdasarkan kaitannya dengan Allah (Ittaqullāh),10 maka makna taqwa adalah melindungi diri dari azab-Nya dan hukuman-Nya.11 Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Ṭanṭawi yang menjelaskan bahwa taqwa secara bahasa berarti melindungi dan menjaga diri dari segala sesuatu yang membahayakan dan menyakiti.12 Al-Rāghib al-Asfahānī menyebutkan bahwa taqwa mempunyai makna dasar memelihara dan menjaga, dan dari makna dasar inilah taqwa mengandung beberapa pengertian, yaitu: pertama, menjaga sesuatu dari yang menyakitkan dan membahayakan. Kedua, menjaga diri dari yang ditakutkan. Ketiga, menghalangi antara dua hal. Keempat, bertameng (berlindung) dengan sesuatu atau dengan orang ketika menghadapi musuh atau sesuatu yang dibenci. Kelima, menghadapi sesuatu dan melindungi diri (dari bahayanya). Keenam, mengambil perisai untuk menutupi dan menjaga. Ketujuh, menjaga diri dan menolak hal-hal yang tidak disukai. Kedelapan, hati-hati, waspada dan menjauh dari yang menyakitkan.

Kesembilan, takut kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya.13

Di dalam pembahasan buku “Terapi Salat Tahajud”14, terdapat pengertian taqwa yang luas. Taqwa adalah fase kematangan yang sempurna. Ia merupakan hasil interaksi antara Islam, iman, dan iḥsān.

9 Qurais Shihab, Ensiklopedia Alquran Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007),

999.

10 Lihat QS. al-Baqarah : 196, 203, QS. al-Nisa: 4, 7, dan 8. 11

Muhammad Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir al-Manār, (Kairo: al-Hayah al- Mishriyyah al-„amah lilkitab, 1990), 105.

12 Muhammad Sayyid Ṭanṭawi, al-Tafsir al-Waṣit, Juz I (Kairo: Nahdah al-Misr,

1997), 13.

13

Lihat Tesis Achmad Fatony, Konsep Taqwa Perspektif Hamka Dalam Tafsir

al-Azhar (Telaah Penafsiran Ayat Taqwa Dalam Beberapa Surah al-Qur‟an), (Surabaya:

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2019), 17.

14 Moh. Sholeh, Terapi Shalat Tahajud Menyembuhkan berbagai Penyakit (Jakarta:

(35)

Taqwa adalah ilmu, amal, naluri, hati, dan etika. Taqwa merupakan kondisi ketika antara kalbu, pikiran, dan anggota tubuh berinteraksi secara harmonis.

Ketaqwaan dalam pengertian ini akan menjadi tenaga pengarah manusia kepada tingkah laku yang baik dan terpuji serta menjadi penangkal atas tingkah laku buruk, menyimpang atau tercela.15

Dari definisi taqwa yang telah dijelaskan di atas maka taqwa itu memiliki 5 unsur yaitu memiliki rasa takut, beriman, berilmu, konsisten menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta sangat berkeinginan untuk mendapatkan Ridha-Nya dan terbebas dari adzab-Nya.

2. Ciri-ciri Orang Muttaqin

Ciri-ciri orang bertaqwa (Muttaqin) terdapat di dalam al-Qur‟an seperti:  QS. al-Baqarah [2]: 3-4

َﻼ صﻟا َنﻮُميِﻘُيَو ِبْيَغْﻟﺎِب َنﻮُنِﻣْؤُ ي َنيِذ ﻟا

َلِزنُأ ﺎَِبِ َنﻮُنِﻣْؤُ ي َنيِذ ﻟاَو َنﻮُﻘِفنُي ْمُىﺎَنْ قَزَر ﺎ ِمَِو َة

َنﻮُنِقﻮُي ْمُى ِةَﺮِخ ْلْﺎِبَو َكِلْبَ ق نِﻣ َلِزنُأ ﺎَﻣَو َكْيَﻟِإ

“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.

Berdasarkan ayat di atas ciri-ciri orang bertaqwa yaitu: beriman terhadap yang ghaib, mendirikan shalat, menginfakkan sebagian rezeki Allah, beriman terhadap al-Qur‟an, dan kitab-kitab sebelumnya, dan yakin terhadap kehadiran hari kiamat.

 QS. al-Baqarah [2]: 177

۞

ِو لﻟﺎِب َنَﻣآ ْنَﻣ ِبِْﻟا نِكََٰﻟَو ِبِﺮْغَمْﻟاَو ِقِﺮْشَمْﻟا َلَبِق ْمُكَىﻮُﺟُو اﻮُّﻟَﻮُ ت نَأ ِبِْﻟا َسْي ﻟ

َتَيْﻟاَو ََٰبَْﺮُﻘْﻟا يِوَذ ِوِّبُﺣ َٰىَلَع َلﺎَمْﻟا ىَتآَو َينِّيِب نﻟاَو ِبﺎَتِكْﻟاَو ِﺔَكِئ َﻼَمْﻟاَو ِﺮِخ ْلْا ِمْﻮَ يْﻟاَو

َٰىَﻣﺎ

15

(36)

َمْﻟاَو

َنﻮُفﻮُمْﻟاَو َةﺎَك زﻟا ىَتآَو َة َﻼ صﻟا َمﺎَقَأَو ِبﺎَقِّﺮﻟا ِفَو َينِلِئﺎ سﻟاَو ِليِب سﻟا َنْباَو َينِكﺎَس

اوُﺪَىﺎَع اَذِإ ْمِىِﺪْهَﻌِب

ۖ

ِسْأَبْﻟا َينِﺣَو ِءا ﺮ ﻀﻟاَو ِءﺎَﺳْأَبْﻟا ِف َنيِﺮِبﺎ صﻟاَو

ۖ

َنيِذ ﻟا َكِئََٰﻟوُأ

اﻮُقَﺪَص

ۖ

ُى َكِئََٰﻟوُأَو

َنﻮُﻘ تُمْﻟا ُم

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.

Bahwa ciri-ciri orang bertaqwa itu: beriman kepada Allah dan hari akhir, malaikat, kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, miskin, ibnu sabil, peminta-minta, memerdekakan hamba, mendirikan salat, menunaikan zakat, menepati janji jika berjanji, sabar dalam kesempitan dan kesengsaraan dalam peperangan.

 QS. al-zumar [39]: 33

َنﻮُﻘ تُمْﻟا ُمُى َكِئََٰﻟوُأ ِوِب َق ﺪَصَو ِقْﺪِّصﻟﺎِب َءﺎَﺟ يِذ ﻟاَو

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.

Dari ayat di atas bahwa orang yang bertaqwa itu adalah Muhammad Saw dan yang membenarkan kerasulannya.

 QS.at-Taubah [9]: 109

ﺎَفَش َٰىَلَع ُوَنﺎَيْ نُ ب َس ﺳَأ ْن ﻣ مَأ ٌﺮْ يَخ ٍناَﻮْضِرَو ِو لﻟا َنِﻣ َٰىَﻮْﻘَ ت َٰىَلَع ُوَنﺎَيْ نُ ب َس ﺳَأ ْنَمَفَأ

َم نَهَﺟ ِرﺎَن ِف ِوِب َرﺎَهْ نﺎَف ٍرﺎَى ٍفُﺮُﺟ

ۖ

ا َمْﻮَﻘْﻟا يِﺪْهَ ي َلا ُو لﻟاَو

َينِمِﻟﺎ ظﻟ

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu

(37)

bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Dari ciri orang bertaqwa di atas secara umum termasuk juga dalam persoalan Islam dan Iman.16 Ciri-ciri yang disebutkan tentu tidak komprehensif.

Inti dari taqwa menurut Nurchalish Madjid adalah “kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita. Taqwa ialah kalau kita mengerjakan segala sesuatu, kita kerjakan dengan kesadaran penuh bahwa Allah beserta kita, Allah menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah memperhitungkan perbuatan kita.” Inti tersebut dirumuskan oleh Nurchalish Madjid berdasarkan QS. al-Ḥadīd [57]: 4.17

Dalam al-Qur‟an, juga telah disebutkan jaminan (balasan) yang dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang bertaqwa (muttaqin). Pertama, jaminan ampunan dan mendapatkan surga. Kedua, diberikan baginya jalan keluar dari permasalahan hidup. Ketiga, diberikan jaminan rezeki dari arah yang tidak terduga sebelumnya.18

3. Hasil dari Ketaqwaan: Di Dunia dan Di Akhirat

Taqwa adalah bekal hidup paling berharga dalam diri seorang muslim. Kata taqwa sudah seringkali kita mendengarnya, bahkan di tiap bulan Ramadhan, kata taqwa pun menghiasi ceramah-ceramah dan kultum yang diadakan.19 Taqwa menjadi modal utama bagi setiap muslim, bekal yang paling baik menjamin keselamatan dan kebahagiaan manusia. Demikian agama Islam ini membina kehidupan manusia, diawali dengan tauhid, dari

16

Sehat Sultoni Dalimunte, Menutur Agama dari Atas Mimbar (Yogyakarta: Deepublish, Juli 2017) 77-79.

17 Sehat Sultoni Dalimunte, Menutur Agama dari Atas Mimbar 77-79. 18 Hasanul Rizqa, “Ciri-ciri orang yang bertaqwa”, Diakses, 13 Mei, 2019. 19

(38)

tauhid menebarkan iman dan dipelihara terus menerus, menciptakan suatu sikap hidup muslim yang bernama taqwa.20

Adapun hasil dari tanaman pohon taqwa di dunia apabila dalam suatu hidup kenegaraan itu mendapat karunia dan ridha Allah SWT, kalau penguasa suatu negeri yang menjadi suri tauladan rakyat, keamanan dan ketentramannya memiliki sifat-sifat taqwa, disiplin, menegakkan keadilan, pemaaf, tidak hasad dan balas dendam niscaya akan selalu mudah dalam hidup.21 Dengan tertanamnya pohon taqwa di dalam hati masing-masing, tumbuh suburnya pohon taqwa dapat memberikan kenikmatan kepada seluruh manusia yang bertaqwa. Karena itu Tuhan menempatkan manusia taqwa sebagai manusia yang paling mulia di sisi Allah SWT.22 ini merupakan contoh dari sebagian hasil ketaqwaan di dunia.

Perjuangan hidup untuk bertaqwa yang diperintahkan dalam ayat yang terdahulu tujuannya adalah mati dalam keadaan Islam. Keistimewaan atau hasil dari orang yang bertaqwa ketika di akhirat kelak ialah menurut hadis Rasulullah SAW, akhir kehidupan yang baik apabila seseorang muslim mati mampu mengucapkan zikrullah: “Lā ilaha illa-allah”, dijamin masuk surga. Keadaan itu tentu saja tercapai bilamana dalam kehidupannya selalu dipenuhi dengan iman dan amal shaleh, dan dalam hidupnya selalu dihiasi dengan zikrullah.23

Buah taqwa diberikan didunia dan akhirat, adapun hasil dari taqwa di dunia sudah dijelaskan di atas, dan hasil taqwa di akhirat baru beberapa, karena ada banyak sekali keistimewaan orang-orang yang bertaqwa di dunia dan akhirat.

20

Hj. Ajeng Kartini “Taqwa Penyelamat Ummat” Al-„Ulum. Vol. 52, no. 2 (April 2012): 34.

21 Hj. Ajeng Kartini “Taqwa Penyelamat Ummat”, 34. 22 Hj. Ajeng Kartini “Taqwa Penyelamat Ummat”, 33. 23

(39)

Di akhirat orang yang bertaqwa mendapatkan kemenangan dan keberuntungan (QS. al-Nūr [24]: 52), akan selamat dari siksa Allah pada hari kiamat (QS. Maryam [19]: 71-72), diterima segala amal ibadahnya. (QS. al-Mā‟idah [5]: 27), dan lain sebagainya.24

B. Kajian Teoritis Tentang Wasīlah 1. Pengertian Kebahasaan dan Istilah

Al-Wasīlah adalah sesuatu yang digunakan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan pengertian dari segi istilah adalah sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.25

Ibn al-Manẓur berkata:”al-Wasīlah maknanya mendekatkan diri, Fulan wassala (mendekatkan diri) kepada Allah dengan suatu wasīlah, artinya ia melakukan suatu amal yang dengannya ia berupaya mendekatkan diri kepada Allah Ta‟ala.26

Ibnu Kaṣīr berkata, Wasīl adalah orang yang memiliki keinginan. Wasilah artinya pendekatan, perantara dan sarana yang dapat memenuhi keinginan. Bentuk pluralnya adalah wasā‟il. Al-Fairuzabadi menjelaskan “Wassala ilaihi tauṣilan” artinya ia mendapatkan apa yang ia inginkan dengan memanfaatkan sarana yang ia gunakan.27

Ibnu Faris menerangkan Wasīlah artinya kemauan dan hasrat. Apabila ia ingin kebutuhannya terpenuhi, maka perbuatannya disebut wasala. Wasil artinya orang yang ingin kebutuhannya dipenuhi oleh Allah. Al-Raghib al-Ashfahani bertutur, wasilah artinya menginginkan sesuatu

24 Effendy Akmal, “Buah Taqwa, diberikan didunia dan akhirat”, diakses, 05

November, 2011.

25 Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Metode Kajian Hukum Islam (Kuningan: Hidayatul

Qur‟an, 2019), 109.

26 Farihatni Mulyati, “Makna Wasilah Dalam Surah Al-Maidah Ayat 35 dan Surah

Al-Isra‟ Ayat 57 (Antara yang Tidak Membolehkan dan Yang Membolehkan Wasilah)”,

Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 14 No. 25 (April 2016):64.

27

(40)

dengan kemauan yang keras, kata ini lebih khusus daripada wasilah, karena ia (wasilah) mengandung makna kemauan yang keras.28

Makna wasilah menurut bahasa Arab seperti disebutkan di atas adalah merupakan kebenaran umum, tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya.

2. Perbedaan antara Wasilah dan Tawassul

Menurut Bahasa tawassul berarti permintaan atau permohonan, sedang wasīlah mempunyai arti wasithah atau perantaraan atau bisa diartikan jalan.29

Tawassul yang berawal dari fi‟il madhi wassala, menurut arti etimologi mempunyai arti sebagai

ُﺔَبْﺮُﻘْﻟا

atau

ُب ﺮَﻘَ تﻟَا

artinya mendekatkan diri dengan suatu perantaraan (wasīlah). Dengan demikian arti wasīlah adalah sesuatu yang untuk mendekatkan diri kepada yang lainnya. 30

Wasilah itu sarana agar hamba terhubung kepada Allah SWT. Dengan wasilah, ibadah menjadi bernilai dihadapan Allah SWT. Dalam surah al-Mā‟idah ayat 35 sudah menjelaskan tentang ajakan untuk bertaqwa, selain ajakan bertaqwa juga perintah ber-sarana bagi orang-orang beriman. Temukan cara untuk menyembah Tuhan, dalam hal ini kita diperintahkan untuk berperang (serius).31

28 Farihatni Mulyati, “Makna Wasilah Dalam Surah Al-Maidah……64 29

Dede Ridwanullah, Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer tentang

Tawassul (Skripsi Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang, 2012), 11

30 Dede, Pandangan para Mufassir Indonesia…, 11

31 Muhammad Syarif, Salman Al-Farizi, “Wasilah” Diakses, 19 Februari, 2020,

(41)

Bentuk tata Bahasa dari ayat di atas adalah perintah

اﻮُغَ تْ باَو

, yang berarti perlu untuk menemukan makna dalam ibadah. Lakukan segala upaya untuk tetap berhubungan dengan Allah SWT. 32

“Tawassul” mempunyai arti darajah (kedudukan) atau qurbah (kedekatan), atau wasīlah (penyampai/penghubung). Sehingga sewaktu dikatakan bahwa wasala fulan ilallah wasilatan idza „amala „amalan taqarraba bihi ilaihi berarti seseorang telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu perbuatan sewaktu melakukan perbuatan perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.33 Apakah setelah mengetahui perbedaan yang besar antara sifat-sifat makhluk dan Khaliq ini kita boleh menyerupakan kondisi orang yang menjadi perantara kepada Allah dengan kondisi perantara kepada hamba? Alangkah mustahil karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan perantara, Dia Maha Kaya dari bantuan semesta alam, Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan dia lebih dekat dengan hamba-Nya daripada urat leher. Perantara hanya berlaku bagi hamba.

Maka tawassul kepada-Nya harus dengan perkara yang dapat mendekatkan kita kepada-Nya, yaitu aneka amal saleh. Inilah tawassul yang disyariatkan dan yang sejalan dengan kehendak Allah seperti yang telah dijelaskan di atas.34

32 Muhammad Syarif, Salman Al-Farizi, “Wasilah” Diakses, 19 Februari, 2020,

http://m.idrisiyyah.or.id/read/article/1490/wasilah.

33

Syekh H. Ahmad Sabban al-Rahmaniy bin asy-Syekh al-„Arif Billah Abdurrahman Rajagukguk, Titian Para Sufi & Ahli Makrifah (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 221.

34 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I, Ringkasan Ibnu Kaṣīr (Jakarta: Gema Insani, 1999),

(42)

3. Bertawassul Melalui Manusia yang Masih Hidup dan Sudah Wafat

Pandangan ulama Ahlusunnah Wal Jamaah, ucapan Ibnu Abdil Wahab dan Ibnu Taimiyah bahwa ulama telah ijmak atas kafirnya pelaku tawassul itu tidak benar. Al-Alusi (wafat, 1270 H/1854 M) dalam tafsirnya mengutip pendapat Tajuddin al-Subki (wafat, 771 H/1370 M) menyatakan: “Tawassul dan istighosah dengan Nabi kepada Allah itu baik dan tidak ada satupun ulama salaf dan khalaf yang mengingkarinya. Kecuali Ibnu Taimiyah yang telah merubahnya dari jalan yang lurus. Ia mengada-mengada sesuatu yang tidak diucapkan oleh seorang alim dan menyebabkan pertentangan di kalangan umat”. 35

Pandangan Tajuddin al-Subki atas bolehnya tawassul ini didukung oleh sejumlah dalil dari Qur‟an dan Hadis. Dari Qur‟an, misalnya QS. al-Nisā‟ [4]: 64 “Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka.” Kemudian kisah Nabi Yusuf dalam QS. Yūsuf [12]: 97-98 di mana Nabi Yusuf dan saudaranya bertawassul pada ayahnya untuk meminta ampun pada Allah “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Dalam QS. al-Mā‟idah [5]: 35 ada kata “al-wasīlah” yang oleh sebagian tafsir dimaknai sebagai anjuran tawassul. Isi lengkap ayat tersebut adalah “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan (al-wasīlah) yang mendekatkan diri kepada-Nya”.

Tafsir Ruhul Ma‟ani menyatakan: “sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil atas disyariatkannya istighatsah (meminta tolong) pada orang soleh dan menjadikan mereka sebagai wasīlah (tawassul) antara Allah dan hamba.36

35 A. Fatih Syuhud, Ahlussunnah Wal Jamaah Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta

Damai (Malang: Pustaka Alkhoirot, 2019), 429.

36

(43)

Dengan pemahaman yang telah dikembangkan oleh kelompok ahlu sunnah wal jama‟ah bahwa para Nabi hidup dikuburnya, mengenali semua orang yang menziarahinya dan menjawab salam yang ditujukan kepadanya.

Adapun para ulama yang membolehkan bertawasssul kepada Rasulullah baik Rasulullah masih hidup ataupun telah wafat sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Nisa‟ [4]: 64 yaitu:

ِنْذِإِب َعﺎَطُيِﻟ لاِإ ٍلﻮُﺳَر ْنِﻣ ﺎَنْلَﺳْرَأ ﺎَﻣَو

َكوُءﺎَﺟ ْمُهَسُفْ نَأ اﻮُمَلَظ ْذِإ ْمُه نَأ ْﻮَﻟَو ِو لﻟا

ﺎًميِﺣَر ﺎًبا ﻮَ ت َو لﻟا اوُﺪَﺟَﻮَﻟ ُلﻮُﺳ ﺮﻟا ُمَُلَ َﺮَفْغَ تْﺳاَو َو لﻟا اوُﺮَفْغَ تْﺳﺎَف

“Dan kami tidak mengutus Rasul melainkan untuk ditaati, sesungguhnya jikalau mereka disaat menganiaya diri mereka, mereka datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampunan untuk mereka, tentulah mereka mendapatkan ampunan Allah, Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Nisa‟ [4]: 64).

Dengan pemahaman yang telah dikembangkan oleh kelompok ahlu sunnah wal jama‟ah bahwa para Nabi hidup dikuburnya secara barzakhiah, mengenali semua orang yang menziarahinya dan menjawab semua salam yang ditujukan kepadanya.37 Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa boleh bertawassul dengan Rasulullah manakala beliau masih hidup dan haram bertawassul dengan Rasulullah SAW setelah wafat. Ibnu Taimiyah merupakan penentang kesepakatan para ulama yang telah membolehkan bertawassul dengan Rasulullah setelah wafat.38

Para ulama ahlu sunnah wal jama‟ah, berpendapat bahwa boleh bertawassul dengan Rasulullah, dan dengan para auliyā‟ baik semasa hidup maupun setelah wafat.

37 Faisal Muhammad Nur, “Konsep Tawassul Dalam Islam”. Jurnal Substantia,

vol.13, no. 2 (Oktober 2011): 270.

38

(44)

Bertawasul kepada mereka pada hakikatnya adalah untuk mengambil barkah sebab dengan merekalah terkabulnya do‟a dan tercapai segala cita-cita karena mereka semua adalah orang-orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah.39

Oleh sebab itu, maka boleh bertawassul kepada mereka semua, baik masih hidup maupun sesudah wafat, karena kita bertawassul bukan pada kekuatan mereka tetapi karena mereka adalah kekasih Allah.

4. Bertawassul dengan Amal Kebaikan

Para ulama sepakat bahwa tawassul kepada Allah dengan wasilah amal saleh adalah hal yang disyariatkan dalam Islam.40 Dan tawassul jenis ini diperbolehkan secara ittifaq melalui puasa, shalat, membaca Alquran, dan shadaqah.41 Termasuk ke dalamnya adalah meminta kepada Allah dengan amal-amal saleh, seperti tauhid, iman, zakat, haji, takut kepada Allah, baik secara terang-terangan mau pun tersembunyi, muamalah yang baik, bertetangga yang baik, akhlak yang baik, berbakti kepada orang tua, jihad dalam ketaatan, amal yang mendatangkan rida Allah, dzikir kepada Allah, amar makruf dan nahi mungkar, dermawan dan murah hati, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang saleh yang disyariatkan, meninggalkan perkara yang dicela, dan ketaatan lainnya yang yang mendekatkan kepada Allah.42

Hal ini telah di cantumkan dalam al-Qur‟an yaitu:

ِرﺎ نﻟا َباَذَع ﺎَنِقَو ﺎَنَ بﻮُنُذ ﺎَنَﻟ ْﺮِفْغﺎَف ﺎ نَﻣآ ﺎَن نِإ ﺎَن بَر َنﻮُﻟﻮُﻘَ ي َنيِذ ﻟا

39

Faisal Muhammad Nur, “Konsep Tawassul Dalam Islam”, 271

40 Ahmad Sadie, Sunah, Bukan Bidah, Meluruskan Kesalahpahaman, Menjawab

Tuduhan Tentang Tahlilan, Peringatan Maulid Nabi, Tawasul (Jakarta: Zaman, 2017),

226.

41

Nur Hidayat Muhammad, Meluruskan Vonis Wahabi (Kediri: Nasyrul „Ilmi Publishing, 2012), 245.

42 Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn „Abd al-Salam Khidr, Rahasia dan

(45)

“(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,”.

َنيِﺪِىﺎ شﻟا َعَﻣ ﺎَنْ بُتْكﺎَف َلﻮُﺳ ﺮﻟا ﺎَنْﻌَ ب تاَو َتْﻟَزْ نَأ ﺎَِبِ ﺎ نَﻣآ ﺎَن بَر

“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)”.

C. Kajian Munasabah

Louis Ma‟luf dalam Qamus al-Munjid menguraikan kata Munasabah bahwa secara harfiyah, terambil dari kata nảsaba-yunảsibu-munảsabatan yang berarti dekat (qảrib), dan yang menyerupai (mitsảl). Muqảrabah,yang mengandung arti mendekatkan dan menyesuaikan al-Suyūti juga mengurai kata munảsabah berarti, perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan, dan kepantasa. Kata al-munảsabah, ada sinonim (murảdif) dengan kata al-muqảrabah dan al-musyảkalah, yang masing-masing berarti kedekatan dan persamaan.43

Abu Zayd ketika dia memahami munasabah antar ayat dan surah adalah bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagiannya saling berkaitan. Selain itu, ia menegaskan, bahwa mengaitkan antarayat dan surah itu adalah tugas mufasir. Oleh karena itu, mufassir mempunyai peranan penting dalam menangkap cakrawala teks.

Abu Zayd membagi dua bahasan munāsabah: pertama, munāsabah

antarsurah, dan kedua munāsabah antarayat.44

Ada hal yang mendasar bagi Abu Zayd ketika memahami munūsabah antar ayat, secara langsung mengenai munāsabah antar ayat menggiring kita ke dalam inti kajian kebahasaan terhadap mekanisme teks. Sedang

43 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah

(Jakarta: AMZAH, 2015), 115-116.

44

Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah….., 165.

(46)

kajian munāsabah antarsurah berusaha membangun kesatuan umum bagi teks yang didasarkan pada pelbagai macam hubungan yang kebanyakan bersifat interpretatif.

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Sampai dengan bulan April 2016 Inflasi

Patogenesis diare kronis !elibatkan berbagai %aktor yang sangat ko!pleks$ Perte!uan @o!!on&ealth Association o% Pediatric /astrointestinal and Nutrition

5.3.4 Apakah setiap kegiatan yang menjadi tanggung jawab satuan organisasi/ kerja yang Saudara pimpin telah dilakukan pencatatan yang baik, sistematis, akurat dan andal sehingga

Laporan Tugas Akhir yang ditulis dengan judul “RANCANG BANGUN MIXER ALIRAN CYCLONE PADA CONVERTER KIT UNTUK PENGUJIAN MESIN BENSIN DENGAN BAHAN BAKAR LIQUIDIFIED

dan keunggulan produk atau merek pada konsumen; membentuk persepsi tertentu akan produk atau merek; membentuk selera akan produk atau merek ataupun membujuk konsumen untuk

Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi 29 44 Semua SOP/Protokol teknis untuk pelaksanaan UTBK tetap berlaku 1 Peserta masuk ruang ujian dengan. mengikuti protocol

(2) Bagan Struktur Organisasi Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah tercantum dalam Lampiran XXIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati

Di dalam literatur lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah menurut Ja’far Khadim Yamani, ilmu kedokteran