• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. PERMASALAHAN Latar Belakang Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1. PERMASALAHAN Latar Belakang Permasalahan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1. PERMASALAHAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan merupakan suatu hal yang mendasar dalam kehidupan manusia karena pendidikan dan kehidupan manusia selalu berjalan bersama. Dengan kata lain, di mana ada kehidupan manusia, maka disana pula ada pendidikan1, atau

manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Pendidikan dibutuhkan Manusia untuk mengenal atau mengetahui hal-hal yang ada di sekitarnya misalnya benda-benda, alam, lingkungannya. Hal-hal tersebut dapat diketahui melalui pengamatan, bertanya atau membaca. Proses pengenalan ini dibutuhkan agar manusia dapat bertahan dalam menjalani kehidupannya. Dalam proses ini manusia tidak sendirian. Karena manusia hidup sebagai makhluk sosial, maka proses pengenalan itu baik langsung atau tidak langsung terjadi dalam kehidupan bersama dengan orang lain. Hal yang langsung atau tidak langsung yang diterima seseorang di dalam interaksinya dengan orang lain inilah yang kemudian membentuk tingkah laku dan kepribadian seseorang dalam masyarakat. Misalnya: bahasa, kebiasaan makan, tata karma dan lain-lain. Dalam proses pengenalan ini sebenarnya telah ada perbuatan mendidik.

Kita mengenal dua macam pendidikan yang ada dalam masyarakat. Pertama, pendidikan yang bersifat akademik yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga masyarakat misalnya sekolah, perguruan tinggi dan lain-lain. Kedua, pendidikan yang diperoleh dalam interaksi seseorang dalam masyarakat (norma-norma, adat istiadat).

1

(2)

Selama ini masyarakat menganggap bahwa pendidikan yang utama adalah melalui sekolah, karena sekolah memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut2:

ƒ Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan dan makin tinggi pendidikan seseorang, makin besar harapan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik (ijazah masih menjadi syarat penting untuk suatu jabatan)

ƒ Sekolah membuka kesempatan untuk memperbaiki nasib. Melalui pendidikan orang dari status sosial yang rendah, dapat meningkatkan status sosialnya ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan gelar akademis sangat membantu untuk menduduki tempat terhormat dalam masyarakat dan pekerjaan.

ƒ Sekolah menyediakan tenaga pembangunan. Pendidikan di sekolah dipandang sebagai alat untuk menyiapkan tenaga terampil dan ahli dalam segala sektor pembangunan.

ƒ Sekolah merupakan tempat mengembangkan ilmu pengetahuan yang menghasilkan penemuan-penemuan baru yang dibutuhkan oleh manusia.

Dari fungsi-fungsi tersebut di atas maka tampaknya fungsi sekolah yang utama adalah meningkatkan intelektualitas dari murid–murid. Hal ini mengakibatkan nilai dan tujuan sesungguhnya yang dicari dan diperjuangkan dalam pendidikan menjadi bergeser. Nilai kognitif yang terlihat dalam pencarian NEM (nilai ebtanas murni) sangat menonjol. Hal ini akhirnya membuka peluang terjadinya praktek penyimpangan terhadap pendidikan di lingkungan sekolah.3 Misalnya, pembuatan NEM palsu dibeberapa daerah, ijazah palsu, nilai ujian palsu, dan sebagainya. Padahal tujuan pendidikan yang sebenarnya bukan hanya menitikberatkan pada pendidikan intelektual, tetapi juga pendidikan afektif (berkaitan dengan perasaan) dan pendidikan psikomotorik (berkaitan dengan ketrampilan)4. Dengan demikian berbicara tentang pendidikan berarti berbicara mengenai suatu proses yang mengarah kepada suatu perubahan yang lebih baik pada diri manusia dan perubahan ini diharapkan dapat meliputi seluruh aspek hidup manusia misalnya, perasaan, pengetahuan, nilai, keterampilan dan lain-lain. Semua hal yang merupakan hasil belajar tersebut mengakibatkan manusia berubah dalam sikap

2

Prof.Dr.S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, p.14-15

3

Prof.Dr. Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. P.63

4

(3)

dan tingkah lakunya. Maka, dapat dipahami mengapa pendidikan disebut sebagai perbuatan yang fundamental, karena pendidikan adalah proses memanusiakan manusia atau Driyarkara menyebutnya dengan istilah Hominisasi dan Humanisasi5. Hominisasi adalah proses yang terjadi dalam hidup manusia untuk sampai pada kemanusiaannya di mana ia dapat mengerti diri, menempatkan diri, mengambil sikap dan menentukan dirinya. Humanisasi adalah tingkat perkembangan yang lebih tinggi dari manusia di mana manusia mampu untuk mengembangkan kebudayaannya. Misalnya, manusia mengusahakan alam dan menciptakan barang-barang yang berguna bagi manusia dengan menggunakan teknik-teknik tertentu (membuat alat-alat pertanian, alat-alat produksi yang modern/pabrik-pabrik). Dari uraian tersebut, maka dalam perbuatan mendidik ada gambaran tentang manusia tertentu yang ingin dicapai. Dan pemanusiaan itu dianggap berhasil manakala dengan itu lahir manusia-manusia yang sarat dengan tampilan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu dapat dilihat dari sisi pribadi (Bertanggung jawab, pekerja keras, mandiri), sosial (cara seseorang hidup bermasyarakat), dan sebagai makhluk Tuhan.

Dari uraian tersebut diatas maka proses memanusiakan manusia menjadi tugas utama dalam pendidikan. Dan sekolah yang merupakan salah satu corak pendidikan memiliki tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan hal tersebut. Sekolah diharapkan mampu untuk menyiapkan peserta didik menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Hal ini dapat terwujud jika sekolah menjadi tempat dimana peserta didik memiliki kebebasan untuk mengembangkan pemikirannya, kreatif, kritis dan peduli terhadap lingkungan disekitarnya terutama yang menyangkut dengan masalah-masalah sosial. Sehingga sekolah seharusnya bukan saja mencetak individu-individu yang memajukan dirinya sendiri tetapi juga dapat memajukan orang lain (masyarakat).

Namun tujuan diatas lebih kepada sebuah kegiatan menabung (banking system). Para murid dalam proses ini adalah celengan dan guru adalah penabung. Murid hanya diisi dengan pengetahuan yang sudah jadi dan melafalkannya.

5

(4)

Pendidikan semacam ini hanya akan membuat murid menjadi penonton dan peniru dan bukan pencipta, miskin daya cipta dan kreatifitasnya. Murid menerima atau menilai sesuatu hanya berdasarkan pada pandangan orang lain. Pendidikan seperti ini hanya akan membuat seseorang menutup diri terhadap lingkungan sekitarnya sehingga ia tidak mampu untuk membuat penilaian atau menganalisis situasi karena ia telah dibiasakan untuk menerima pandangan orang lain.

1.2. Rumusan masalah

Penyusun melihat bahwa pendidikan gaya bank inilah yang dikritik oleh Paulo Freire. Ia memandang pendidikan semacam ini sebagai suatu penindasan karena mematikan daya kreasi seseorang. Implikasinya pada saat yang akan datang, murid akan menjadikan diri mereka sebagai duplikat gurunya, dan pada saat itulah akan lahir generasi baru, manusia penindas yang mematikan daya kreasi seseorang. Murid menjadi orang yang terasing dari dunia (tidak mengenal lingkungannya) karena selama ini hanya diisi pengetahuan dan pemahaman yang hanya bersumber dari satu pihak yaitu guru dan tidak melibatkan peran serta murid. Pendidikan yang sebenarnya harus melibatkan tiga unsur :

ƒ Pengajar

ƒ Pelajar atau anak didik ƒ Realitas dunia

Yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar, sementara yang ketiga adalah objek yang tersadari atau disadari. Hubungan dialektis semacam inilah yang harus terdapat dalam pendidikan. Pendidikan seharusnya membuat orang menjadi sadar siapa dirinya, sadar akan lingkungannya sehingga ia mampu memberi arti pada dunia. Untuk mencapai kearah tersebut, maka Paulo Freire memperkenalkan idenya mengenai konsientisasi dalam pendidikan.6

Pendidikan yang dimaksud adalah tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak manusia begitu saja tetapi melibatkan murid dalam realitas sosial,

6

(5)

untuk memahami persoalan-persoalan yang ada dalam realitas tersebut dan ikut memecahkan persoalan tersebut, sehingga manusia tidak menjadi makhluk yang pasif, menyesuaikan diri dengan dunia (beda dengan binatang yang hanya sekedar berada di dunia).

Tujuan dari pendidikan ini adalah membuka kesadaran diri dan kesadaran akan lingkungan seseorang sehingga ia mampu melihat hubungan yang satu dengan yang lain, yang menciptakan sebuah realitas, kemudian membuat analisa dan penilaian dari situasi tersebut.

Pemikiran Freire tentang konsientisasi ini lahir dari suatu situasi di Brazil, dimana rakyat hidup dalam keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan. Fungsi sekolah yang seharusnya membuat orang maju dalam berpikir, bertindak, membebaskan orang dari kebodohan justru dapat menjadi alat untuk membelenggu pola pikir dan kreatifitas orang lain. Disini Freire menunjukan bahwa sekolah bisa menjadi alat untuk membebaskan tetapi juga dapat menjadi alat untuk menindas orang lain. Melalui konsientisasi Freire ingin membuka pola pikir masyarakat Brazil untuk tidak pasrah terhadap kemiskinan dan ketidakadilan yang diciptakan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atas mereka. Masyarakat yang dicita-citakan Freire adalah masyarakat yang turut berperan serta dalam menjawab masalah- masalah yang dihadapinya dan dapat merubah situasi dirinya dan situasi lingkungannya kearah kehidupan yang lebih manusiawi.

Pemikiran Freire ini memang memberikan masukan bagi negara-negara lain khususnya negara-negara didunia ketiga untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang biasanya dihadapi oleh negara-negara tersebut misalnya, masalah-masalah ekonomi, sosial maupun politik. Walaupun demikian, proses pembangkitan kesadaran ini tidak dapat begitu saja diterapkan di Indonesia, karena Indonesia tidaklah sama seperti Brazil walaupun banyak masalah-masalah yang sama. Struktur sosial dan budaya masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Brazil, ditambah dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam sedangkan Brazil yang berlatar masyarakat Kristen, tentu ikut mempengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakatnya.

(6)

Penulis hendak menguraikan beberapa hal yaitu: apakah yang Paulo Freire maksudkan dengan konsientisasi, mengapa Paulo Freire memandang perlunya konsientisasi dalam pendidikan, tinjauan teologis terhadap konsientisasi.

Mengacu pada pertanyaan ini, maka penyusun memilih judul :

Konsientisasi dalam Pendidikan Menurut Paulo Freire (Suatu Tinjauan Teologis)

3. Alasan Pemilihan Judul

Penyusun melihat Paulo Freire sebagai salah satu tokoh pendidikan yang begitu berjasa dalam dunia pendidikan (khususnya di Brazil), dimana pemikirannya juga memberikan inspirasi dibelahan dunia lain. Karena itu penyusun tertarik untuk meninjau pemikirannya tentang konsientisasi dalam pendidikan.

4. Tujuan Penulisan

Memaparkan pendapat Freire tentang konsientisasi dalam pendidikan dan meninjau pendapat Freire tersebut.

5. Metode Penulisan

Penyusun menggunakan metode deskriptif analitis untuk meninjau pandangan Paulo Freire tentang konsientisasi dalam pendidikan dengan menggunakan sumber-sumber dari berbagai literatur.

(7)

6. Sistematika Penulisan

Bab 1 Pendahuluan

Pada bagian ini penyusun akan mengemukakan antara lain: latar belakang masalah, permasalahan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, sistematika penulisan.

Bab II Konsientisasi dalam pendidikan menurut Paulo Freire

Pada bagian ini penyusun akan memaparkan pemikiran Paulo Freire tentang konsientisasi

Bab III Tinjauan Teologis

Bagian ini berisi suatu tinjauan telogis yang berupa refleksi teologis terhadap pemikiran Freire tentang konsientisasi

Bab IV Penutup

Skripsi ini akan ditutup dengan kesimpulan atas semua pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

1) Benar. 7) Bahwa anak adalah pembelajar aktif. 9) Bahasa adalah alat untuk berkembang/alat untuk berkomunikasi. 10) Satu kata yang diungkapkan anak sebenarnya dapat merupakan

Angkutan Perdesaan adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kabupaten yang tidak termasuk dalam trayek kota yang berada pada wilayah ibukota

Kalsium berfungsi dalam pengerasan tulang sehingga daerah yang tidak mengalami kalsifikasi menjadi rapuh serta terjadi deformitas yang progresif pada tulang dan lempeng

Abstrak— Pada Tugas Akhir ini telah dibuat sistem konversi dokumen identitas individu menjadi suatu tabel, yaitu sebuah sistem yang mampu mengkonversi citra dokumen

dipersiapkan dan dibantu untuk merencanakan tentang karirnya. Ketika duduk di bangku sekolah menegah, siswa sudah harus diperluas pandangannya bahwa pengotakan karir

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas tersusunnya tulisan yang berjudul Pelaksanaan dan Pe- nerimaan Program Keluarga Berencana Pada Masyarakat

Karena disana pun ada yang berdakwah kepada Allah dan menyeru kepada Aqidah ini, akan tetapi itu adalah perjuangan perorangan, berbeda dengan perjuangan disini

Menurut Kotler (2005:298) sales promotion adalah “berbagai kumpulan alat-alat insentif, yang sebagian besar berjangka pendek, yang dirancang untuk merangsang pembelian