10
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Belajar
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010: 2). Pembelajaran matematika mempunyai tujuan yang ditinjau dari aspek kognitif yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Menurut Budiningsih (2012: 34) teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Hal ini pembelajaran matematika mementingkan proses pemecahan masalah. Adapun teori belajar menurut para ahli yaitu sebagai berikut:
1. Teori belajar Piaget
Pendapat piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut:
a. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
b. Perkembangan mental anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan yang sama bagi semua anak.
c. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
d. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu: (1) Kemasakan; (2) Pengalaman; (3) interaksi sosial; (3) Equilibration (proses dari ketiga faktor tersebut bersama-sama untuk membangun dan memperbaiki struktur mental). e. Ada 3 tahap perkembangan, yaitu:
a) berpikir secara intuitif ± 4 tahun; b) berpikir secara konkret ± 7 tahun; c) berpikir secara formal ± 11 tahun.
Perlu diketahui pula bahwa dalam perkembangan intelektual terjadi proses yang sederhana seperti melihat, menyentuh, menyebut nama benda dan sebagainya, dan adaptasi yaitu suatu rangkaian perubahan yang terjadi pada tiap individu sebagai hasil interaksi dengan dunia sekitarnya (Slameto, 2010: 12). Berdasarkan uraian di atas, bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Scramble dan TPS terhadap kemampuan pemecahan masalah sesuai dengan teori Piaget, karena pembelajaran ini mengutamakan peran peserta didik terlibat aktif terhadap masalah serta kegiatan guru dalam memberikan pelajaran metematika untuk menemukan pengetahuan yang dipelajarinya.
2. Teori belajar Bruner
Menurut Bruner proses belajar mementingkan partisipasi aktif dari tiap peserta didik, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk
meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan “discovery learning environment”, ialah lingkungan dimana peserta didik dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui (Slameto, 2010: 11). Berkaitan dengan belajar Bruner (Budiningsih, 2012: 41) perkembangan kognitif peserta didik terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
a. Enactive (penetapan)
Tahap enaktif, peserta didik melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya.
b. Iconic
Tahap ikonik, peserta didik memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.
c. Symbolic
Tahap simbolik, peserta didik telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Berdasarkan teori Bruner, model pembelajaran Scramble dan TPS terhadap kemampuan pemecahan masalah sesuai dengan teori Bruner karena peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam menemukan konsep dan prinsip pemecahan masalah matematika dan saat pembelajaran peserta didik sangat dimungkinkan memanipulasi objek-objek yang berkaitan dengan masalah yang diberikan oleh guru di dalam kelas.
3. Teori belajar David Ausubel
Menurut Ausubel (Dahar, 2006: 94), belajar diklasifikasikan ke dalam dua dimensi yaitu:
a. Berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan.
Informasi dapat dikomunikasikan pada peserta didik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
b. Menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta, konsep dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh peserta didik.
Peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, peserta didik itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Teori tersebut, berkaitan erat dengan kegiatan pemecahan masalah matematika yang dilakukan peserta didik dalam diskusi. Mereka dapat
mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam konsep pemecahan masalah yang yang telah mereka miliki sebelumnya.
4. Teori belajar Vygotsky
Teori Vygotsky (dalam Suprihatiningrum, 2013: 26) memberikan suatu sumbangan yang sangat berarti dalam kegiatan pembelajaran. Teori ini memberi penekanan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Teori Vygotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal dengan scaffolding (perancahan), yang mana perancahan mengacu kepada bantuan yang diberikan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih kompeten, yang berarti bahwa memberikan sejumlah dukungan kepada anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan anak tersebut untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar setelah ia mampu melakukannya sendiri.
Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik belajar atau bekerja pada daerah perkembangan terdekat (zone of proximal development) mereka dan yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi berada dalam percakapan dan kolaborasi diantara individu sebelum fungsi mental tersebut berada dalam individu. Dua implikasi utama teori Vygotsky di dalam pembelajaran, sebagai berikut.
a. Pembelajaran dapat direncanakan untuk menyediakan latihan pada bagian atas tingkat atau lapisan zona perkembangan terdekat bagi peserta didik secara individu atau bagi kelompok peserta didik.
b. Kegiatan-kegiatan pembelajaran kooperatif dapat direncanakan dengan kelompok-kelompok anak pada tingkat-tingkat kemampuan berbeda yang saling membantu.
c. Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga peserta didik semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, model pembelajaran Scramble dan TPS dengan alat peraga sesuai dengan prinsip Vygotsky, karena model pembelajaran Scramble dan TPS menitikberatkan pentingnya interaksi sosial orang lain dalam proses pembelajaran. Selain itu peserta didik dapat bekerja sama memecahkan masalah secara kelompok.
Penggolongan atau tingkatan jenis perilaku belajar terdiri dari 3 ranah atau kawasan yaitu
1) Ranah Kognitif menurut Taksonomi Bloom, et al (dalam Aunurrahman, 2009: 49) terdiri dari 6 jenis perilaku:
Bagan 2.1 Jenis perilaku dan kemampuan internal menurut Taxonomi Bloom,
dkk.
f) Evaluasi
Kemampuan menilai berdasarkan norma, e) Sintesis
Kemampuan menyusun
a) Pengetahuan, Kemampuan mengetahui atau mengingat istilah, fakta, aturan, urutan, metode
d) Analisis, Kemampuan memisahkan, membedakan, memerinci bagian-bagian, hubungan, dsb
c) Penerapan, Kemampuan memecahkan masalah, membuat bagan, menggunakan konsep, kaidah, prinsip, metode
b) Pemahaman, Kemampuan menerjemah, menafsirkan, memperkirakan, memahami isi pokok, mengartikan tabel
Rendah Tinggi
2) Ranah Afektif menurut Krathwohl dan Bloom et al (Aunurrahman, 2009: 50) terdiri dari 7 jenis perilaku, yaitu:
Bagan 2.2 Jenis perilaku dan kemampuan internal menurut
Taxonomi Krathwohl dan Bloom, dkk
3) Ranah psikomotorik menurut Simpson (Aunurrahman, 2009: 51), terdiri dari 7 perilaku atau kemampuan motorik, yaitu:
Bagan 2.3 Jenis perilaku dan kemampuan psikomotorik Taxonomi Simpson
e) Pembentukan pola hidup, kemampuan
menghayati nilai sehingga menjadi pedoman hidup d) Organisasi, Kemampuan membentuk sistem nilai sebagai pedoman hidup
c) Penilaian dan penentuan sikap, kemampuan memberikan nilai dan menentukan sikap
b) Partisipasi, kerelaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan
a) Penerimaan, Kemampuan menjadi peka tentang sesuatu hal dan menerima sebagaimana adanya
Rendah Tinggi
f) Penyesuaian, Kemampuan mengubah dan mengatur kembali
e) Gerakan Komplek
keterampilan banyak tahap, lincah
a) Persepsi,
Kemampuan memilah-milah dan kepekaan terhadap sesuatu hal d) Gerakan Terbiasa ,
keterampilan yang berpegang pada pola c) gerakan terbimbing ,
Kemampuan meniru contoh b) Kesiapan ,
Kemampuan bersiap diri secara fisik Rendah
Tinggi g) Kreativitas
Kemampuan menciptakan pola baru norma,
2.1.2 Motivasi
Motivasi berasal dari kata motif artinya kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan (disposisi internal). Motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif, saat orang melakukan suatu aktivitas. Motif ini tidak selalu aktif pada diri seseorang (Darsono et al., 2000: 27).
1. Macam-macam motivasi a. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri peserta didik sendiri. Suatu kegiatan/aktivitas yang dimulai dan diteruskan berdasarkan penghayatan suatu kebutuhan dan dorongan yang secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar. Dorongan ini datang dari “hati sanubari”, umumnya karena kesadaran akan pentingnya sesuatu. Atau dapat juga karena dorongan bakat apabila ada kesesuaian dengan bidang yang dipelajari.
b. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Motivasi ekstrinsik sebagai motivasi yang dihasilkan diluar perbuatan itu sendiri misalnya dorongan yang datang dari orang tua, teman-teman dan anggota masyarakat yang berupa hadiah, pujian, penghargaan maupun hukuman (Sardiman, 2011: 90) .
2. Fungsi Motivasi
Motivasi akan mempengaruhi kegiatan individu untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkan dalam segala tindakan. Menurut Nasution (2010: 76) menyatakan bahwa motivasi memiliki 3 fungsi, yaitu:
a. Mendorong manusia untuk berbuat;
b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai;
c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan yang serasi guna mencapai tujuan tersebut, dengan menyampingkan perbuatan-perbuatan yang tak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
Menurut Ali Imron (dalam Siregar dan Nara, 2010: 53) mengemukakan enam unsur atau faktor yang mempengaruhi motivasi dalam proses pembelajaran. Keenam faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Cita-cita/ aspirasi pembelajar; b. Kemampuan pembelajar; c. Kondisi pembelajar;
d. Kondisi lingkungan pembelajar;
e. Unsur-unsur dinamis belajar/ pembelajaran; f. Upaya guru dalam membelajarkan pembelajar.
Implikasi prinsip motivasi bagi guru tertampak pada perilaku-perilaku 1) Memilih bahan ajar sesuai minat peserta didik;
3) Mengoreksi segera mungkin pekerjaan peserta didik dan segera mungkin memberitahukan hasilnya kepada peserta didik;
4) Memberitahukan nilai guna dari pelajaran yang sedang dipelajari peserta didik (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 62).
Indikator motivasi dalam penelitian ini, menurut Uno dan Umar (2009: 21) yaitu sebagai berikut:
1) Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak berhenti sebelum selesai);
2) Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa); 3) Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi; 4) Ingin mendalami bahan/bidang pengetahuan yang diberikan;
5) Selalu berusaha berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasinya);
6) Menunjukan minat terhadap macam-macam masalah “orang dewasa”;
7) Senang dan rajin belajar, penuh semangat, cepat bosan dan tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat-pendapatnya;
8) Mengejar tujuan-tujuan jangka panjang (dapat menunda pemuasan kebutuhan sesaat yang ingin dicapai kemudian);
2.1.3 Keaktifan belajar
Peserta didik adalah yang melakukan kegiatan belajar. Oleh karena itu peserta didik harus aktif tidak boleh pasif. Dengan bantuan guru peserta didik harus mampu mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Peserta didik harus dipandang sebagai makhluk yang dapat diajar dan mampu belajar. Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa peserta didik adalah makhluk yang aktif. Peserta didik mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila peserta didik aktif mengalami sendiri (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 44).
Proses belajar, peserta didik selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan itu beraneka ragam bentuknya. Mulai dari kegiatan fisik yang mudah kita amati sampai kegiatan psikis yang susah diamati. Kegiatan fisik bisa berupa menggambar, membaca, berlatih keterampilan-keterampilan, dan sebagainya. Contoh kegiatan psikis dalam pembelajaran matematika misalnya menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan satu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan, dan sebagainya. Untuk dapat menimbulkan keaktifan belajar pada diri peserta didik dalam pembelajaran matematika, maka guru dapat melaksanakan perilaku-perilaku berikut:
1. Menggunakan multimetode dan multimedia;
3. Memberikan kesempatan pada peserta didik melaksanakan eksperimen dalam kelompok kecil;
4. Memberikan tugas untuk membaca bahan belajar, mencatat hal-hal yang kurang jelas, serta;
5. Mengadakan tanya jawab dan diskusi (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 62). Indikator keaktifan pada penelitian ini, menurut Sudjana (2009: 81) dapat dilihat dalam hal:
a. Turut serta dalam melakasanakan tugas belajarnya; b. Terlibat dalam pemecahan masalah;
c. Bertanya kepada peserta didik lain/ kepada guru apabila tidak memahami persoalaan yang dihadapinya;
d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperoleh untuk pemecahan masalah;
e. Melaksanakan diskusi kelompok;
f. Kesempatan menggunakan apa yang diperolahnya dalam menyelesaikan tugas/ persoalan yang dihadapinya.
2.1.4 Pembelajaran Matematika
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah kearah yang lebih baik (Darsono et al., 2000: 24). Dalam hal ini guru harus mengetahui kondisi peserta didik dan bisa berinteraksi baik dengan peserta didik agar tercipta pembelajaran tersebut dengan baik sehingga peserta didik bisa memahami materi yang diajarkan oleh guru dengan baik.
Menurut Suprihatiningrum (2013: 75) pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan informasi dan lingkungan yang disusun secara terencana untuk memudahkan peserta didik dalam belajar. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya berupa tempat ketika pembelajaran itu berlangsung, tetapi juga metode, media, dan peralatan yang diperlukan untuk menyampaikan informasi.
Menurut Darsono et al. (2000: 25) pembelajaran mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
1. Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis. 2. Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi peserta didik dalam
belajar.
3. Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang bagi peserta didik.
4. Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan menarik. 5. Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan
menyenangkan bagi peserta didik.
6. Pembelajaran dapat membuat peserta didik siap menerima pelajaran, baik secara fisik maupun psikologis.
Matematika adalah sebagai suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisis dan kontruksi, generalitas dan individualitas, dan mempunyai cabang-cabang antara lain aritmatika, aljabar, geometri, dan analisis (Uno dan Umar, 2009:109). Pembelajaran matematika adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh guru pelajaran matematika sedemikian rupa terhadap peserta didik, sehingga tingkah laku peserta didik berubah kearah yang lebih baik dalam mempelajari matematika. Sebagai guru matematika harus mengetahui kondisi peserta didik dan bisa berinteraksi baik dengan peserta didik agar tercipta pemberian ilmu dengan baik sehingga peserta didik bisa memahami materi yang diajarkan oleh guru dengan baik. Guru dalam mengajarkan matematika perlu memiliki strategi, metode, dan model pembelajaran yang sesuai.
2.1.5 Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Masalah diartikan sebagai sesuatu hal harus diselesaikan (Suharso, 2009: 312). Menurut Sudjana (2005a: 138) masalah timbul tatkala peserta didik mempunyai suatu tujuan tetapi ia tidak mengetahui bagaimana cara mencapai tujuan. Masalah dapat pula muncul apabila kebutuhan peserta didik tidak terpenuhi dengan baik. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa masalah adalah suatu situasi menantang yang harus diselesaikan seorang individu atau kelompok, akan tetapi individu atau kelompok tersebut tidak mempunyai aturan atau hukum tertentu yang langsung dapat menemukan solusinya. Oleh karenanya untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan suatu strategi berpikir yang disebut dengan pemecahan masalah.
Pemecahan masalah adalah upaya yang dilakukan peserta didik untuk mencari dan menetapkan alternatif kegiatan dalam menjembatani suatu keadaan pada saat ini dengan keadaan yang diinginkan (Sudjana, 2005a: 140). Menurut Nasution (2008: 170) pemecahan masalah dipandang sebagai proses di mana
peserta didik menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan masalah yang baru.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah usaha individu untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahamannya untuk menemukan solusi dari suatu masalah. Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika merupakan jawaban yang tepat terhadap masalah yang dialami peserta didik dalam persoalan-persoalan matematika.
Menurut Kramers (dalam Wena 2011: 60), tahap-tahap pemecahan masalah memuat empat langkah berikut:
1. Memahami masalah
Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, peserta didik tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar.
2. Membuat rencana penyelesaian
Kemampuan melakukan frase ini sangat tergantung pada pengalaman peserta didik menyelesaiakan masalah. Pada umumnya semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan peserta didik lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu masalah.
3. Melaksanakan rencana penyelesaian
Jika rencana penyelesaian masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat.
Melakukan pengecekan atas apa yang dilakukan mulai dari frase pertama sampai frase ketiga. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan dapat terkoreksi kembali
Sudjana (2005a: 144) menyebutkan salah satu pendekatan dalam pemecahan masalah itu disebut 5 M. Penerapan model 5 M terdiri atas lima langkah kegiatan sebagai berikut:
a. Memusatkan perhatian pada masalah
Memusatkan perhatian pada masalah dilakukan melalui kegiatan mengidentifikasi, menjelaskan dan merumuskan masalah.
b. Mencari alternatif pemecahan masalah.
c. Menyusun rencana upaya pemecahan masalah. d. Melaksanakan upaya pemecahan masalah, dan e. Menilai upaya pemecahan masalah.
Indikator pemecahan masalah pada penelitian ini, menurut NCTM (2003: 1) adalah:
a. Menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah;
b. Menyelesaikan masalah yang muncul didalam matematika;
2.1.6 Model Pembelajaran Scramble
Menurut Rober B. Taylor (dalam Huda 2013: 303) Scramble merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan konsentrasi dan kecepatan berpikir peserta didik. Metode ini mengharuskan peserta didik untuk menggabungkan otak kanan dan kiri. Dalam metode ini, mereka tidak hanya diminta untuk menjawab soal, tetapi juga menerka dengan cepat jawaban yang sudah tersedia namun masih dalam kondisi acak. Ketepatan dan kecepatan berpikir dalam menjawab soal menjadi salah satu kunci permainan metode pembelajaran Scramble. Skor peserta didik ditentukan oleh seberapa cepat soal-soal tersebut dikerjakan.
Sintak pembelajaran Scramble dapat diterapkan dengan mengikuti tahap-tahap berikut ini.
1. Guru menyajikan materi sesuai topik.
2. Setelah selesai menyajikan materi, guru membagikan lembar kerja dengan jawaban yang diacak susunannya.
3. Guru memberi durasi tertentu untuk pengerjaan soal dan mencari jawaban yang sesuai.
4. Peserta didik mengerjakan soal berdasarkan waktu yang telah ditentukan guru. 5. Guru mengecek durasi waktu sambil memeriksa pekerjaan peserta didik.
6. Jika waktu pengerjaan sudah habis, Peserta didik wajib mengumpulkan lembar jawaban kepada guru. Dalam hal ini, baik Peserta didik yang selesai maupun tidak selesai harus mengumpulkan jawaban tersebut.
7. Guru melakukan penilaian, baik di kelas maupun di rumah. Penilaian dilakukan berdasarkan seberapa cepat peserta didik mengerjakan soal dan seberapa banyak soal yang dikerjakan.
8. Guru memberi apresiasi dan rekognisi kepada peserta didik yang berhasil, dan memberi semangat kepada peserta didik yang belum cukup berhasil menjawab dengan cepat dan benar.
Kelelebihan model pembelajan Scramble, antara lain: a. Melatih peserta didik untuk berpikir cepat dan tepat;
b. Mendorong peserta didik untuk belajar mengerjakan soal dengan jawaban acak;
c. Melatih kedisplinan peserta didik.
Kelemahan model pembelajaran Scramble antara lain: a. Peserta didik bisa saja mencotek jawaban temannya; b. Peserta didik tidak dilatih untuk berpikir kreatif;
c. Peserta didik menerima bahan mentah yang perlu diolah dengan baik.
2.1.7 Model Pembelajaran TPS
TPS merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dari Universitas Maryland pada tahun 1981 dan diadopsi oleh banyak penulis di bidang pembelajaran kooperatif pada tahun-tahun selanjutnya. Strategi ini memperkenalkan gagasan tentang waktu „tunggu atau berpikir‟ (wait or think time) pada elemen interaksi pembelajaran kooperatif yang saat ini menjadi salah satu faktor ampuh dalam meningkatkan respons peserta didik terhadap pertanyaan (Huda, 2013: 206).
Seperti namanya “Thinking”, pembelajaran ini diawali dengan guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan oleh peserta didik. Guru memberi kesempatan kepada mereka memikirkan jawabannya. Selanjutnya, “Pairing”, pada tahap ini guru meminta peserta didik berpasang-pasangan. Beri kesempatan kepada pasangan-pasangan itu untuk berdiskusi. Diharapkan diskusi ini dapat memperdalam makna dari jawaban yang telah dipikirkannya melalui intersubjektif dengan pasangannya. Hasil diskusi intersubjektif di tiap-tiap pasangan hasilnya dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas. Tahap ini dikenal dengan “Sharing”. Dalam kegiatan ini diharapkan terjadi tanyajawab yang mendorong pada pengontruksian pengetahuan secara integratif. Peserta didik dapat menemukan struktur dari pengetahuan yang dipelajarinya (Suprijono, 2009: 91).
Manfaat TPS antara lain:
1. Memungkinkan peserta didik bekerja sendiri dan bekerja sama dengan orang lain;
2. Mengoptimalkan partisipasi peserta didik;
3. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan partisipasi mereka kepada orang lain.
TPS sebaiknya dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:
a) Peserta didik ditempatkan dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 anggota/siswa;
c) Masing-masing anggota memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri terlebih dahulu;
d) Kelompok membentuk anggota-anggotanya secara berpasangan. Setiap pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya;
e) Kedua pasangan lalu bertemu kembali dalam kelompoknya masing-masing untuk menshare hasil diskusinya (Huda, 2013: 206).
Sintak pembelajaran TPS dapat diterapkan dengan mengikuti tahap-tahap berikut ini:
a) Langkah 1 : Berpikir (Thinking)
Guru mengajukan pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan meminta peserta didik menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah.
b) Langkah 2 : Berpasangan (Pairing)
Guru meminta peserta didik untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi.
c) Langkah 3: Berbagi (Share)
Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas yang telah mereka bicarakan (Trianto, 2007: 61).
Kelebihan model pembelajaran TPS adalah:
1) Memungkinkan peserta didik untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung
memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan;
2) Peserta didik akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah;
3) Peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang;
4) Peserta didik memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh peserta didik sehingga ide yang ada menyebar; 5) Memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau peserta didik dalam proses
pembelajaran.
Kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah:
1) Bagi peserta didik yang malas akan mengandalkan pasangannya untuk mengerjakan soal tanpa mau ikut berpikir;
2) Tidak selamanya mudah bagi peserta didik untuk mengatur cara berpikir sistematik;
3) Lebih sedikit ide yang masuk
Jika ada perselisihan, tidak ada penengah dari peserta didik dalam kelompok yang bersangkutan sehingga banyak kelompok yang melapor.
2.1.8 Ketuntasan Belajar
Menurut Muslich (2008: 19) ketuntasan belajar berisi tentang kriteria dan mekanisme penetapan ketuntasan minimal per mata pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Ketuntasan belajar ideal untuk setiap indikator adalah 0-100%, dengan batas kriteria ideal minimum 75%;
2. Sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) per mata pelajaran dengan mempertimbangkan kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas, dan Sumber Daya (SD) pendukung;
3. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah batas kriteria ideal, tetapi secara bertahap harus dapat mencapai kriteria ketuntasan ideal.
KKM adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan (Depdiknas, 2009: 2).
KKM yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:
a. KKM Individual yaitu batas minimal nilai yang harus diperoleh peserta didik untuk dapat dikatakan tuntas adalah 77. Peserta didik yang mendapat nilai dibawah 77 dikatakan peserta didik belum tuntas.
b. KKM Klaksikal yaitu batas minimal banyaknya peserta didik yang mencapai nilai minimal 77 adalah sebesar 80% artinya jika banyaknya peserta didik yang mencapai KKM individual kurang dari 80% maka KKM klaksikal tersebut belum tuntas.
2.1.9 Alat Peraga dan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)
Proses belajar mengajar, ada dua unsur yang amat penting yaitu metode mengajar dan media pembelajaran (Arsyad, 2013: 19). Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikannya pesan atau informasi dalam proses belajar mengajar sehingga dapat merangsang perhatian dan minat peserta didik dalam belajar (Arsyad, 2013: 10).
Media pembelajaran dalam penelitian ini adalah Alat peraga dan LKPD. Alat peraga adalah media alat bantu pembelajaran, dan segala macam benda yang digunakan untuk memperagakan materi pelajaran (Arsyad, 2013: 9). Alat peraga dapat meningkatkan motivasi dan minat peserta didik dalam proses belajar mengajar. Hal ini dapat terjadi karena peserta didik dilibatkan secara aktif dalam belajar oleh guru.
LKPD adalah suatu media pembelajaran berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Adapun manfaat LKPD dalam proses pembelajaran antara lain dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan konsep pemecahan masalah, melatih peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan keterampilan proses sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran, membantu peserta didik menambah informasi konsep yang dipelajari melalui kegiatan belajar secara sistematis.
2.2 Tinjauan Materi
Kajian materi penelitian adalah luas permukaan dan volume bangun ruang dalam penelitian ini memfokuskan pada luas permukaan dan volume prisma dan limas yang didasarkan pada kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) seperti yang tertera dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dengan mengambil standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator tabel 2.1
Tabel 2.1 Standar Kompetensi, Komptensi Dasar dan Indikator Materi
Standar Kompetensi:
5. Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas, dan bagian-bagiannya, serta menentukan ukurannya
Kompetensi Dasar Indikator 5.3 menghitung luas permukaan
dan volume kubus, balok, prisma dan limas
a. Mencari rumus luas permukaan dan volume prisma dan limas.
b. Menghitung luas permukaan dan volume prisma dan limas.
c. Menggunakan rumus luas permukaan dan volume dalam pemecahan masalah.
2.2.9 Prisma
Gambar 2.4 Prisma Tegak Segitiga (a)
Rumus mencari luas permukaan dan volume Prisma adalah:
Luas permukaan Limas = luas alas + jumlah luas seluruh sisi tegak
2.2.10 Limas
Gambar 2.5 Kubus ABCD.EFGH (i) dan Limas Tegak Segitiga (ii)
Rumus mencari luas permukaan dan volume Prisma adalah:
( (Nuharini dan Wahyuni, 2008: 232)
2.3 Kerangka Berpikir
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan itu sebagai hasil dari proses belajar untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang dilakukan setelah proses belajar. Peserta didik di dalam pembelajaran matematika tidak terlepas dengan masalah kesulitan mempelajari matematika. Adapun kesulitan yang dihadapi peserta didik, yaitu peserta didik kesulitan menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah, kebanyakan
Volume limas = 𝟏𝟑 x luas alas x tinggi
peserta didik masih menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit, kurangnya peserta didik dalam pemahaman konsep materi matematika, kurangnya motivasi dan keaktifan untuk belajar matematika karena pelajaran matematika sulit. Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika. Di dalam memecahkan masalah, peserta didik diharapkan mampu memahami masalah, merancanng model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Proses pembelajaran terhadap kemampuan pemecahan masalah, keaktifan, motivasi dan hasil belajar peserta didik dalam masalah materi prisma dan limas yang diberikan oleh guru dan nilai yang mencapai batas ketuntasan merupakan beberapa hal yang diharapkan oleh guru saat berlangsungnya proses belajar mengajar. Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Untuk dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah tersebut, seringkali muncul kesulitan dalam setiap peserta didik. Kesulitan yang dialami peserta didik diantaranya adalah peserta didik yang kurang terlatih dalam mengembangkan ide-idenya, dan peserta didik juga kurang suka menghitung. Dalam pemecahan masalah peserta didik juga belum mampu berpikir kritis, serta kurang percaya diri dalam mengungkapkan pendapat sehingga peserta didik kurang meningkatkan kreativitas dan bekerjasama dalam kelompok.
Salah satu usaha guru agar dapat mengatasi kesulitan peserta didik dalam pembelajaran adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat sesuai materi sehingga menunjang tercapainya kegiatan pembelajaran yang kondusif dan
menarik bagi peserta didik. Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran Sramble dan TPS dengan berbantuan alat peraga. Model pembelajaran Scramble dan TPS pada penelitian ini merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Guru bukan pemberi informasi tetapi peserta didik yang mencari informasi dan membangun pengetahuannya sendiri melalui bantuan guru.
Penerapan pembelajaran matematika dengan model Scramble dikembangkan untuk melatih peserta didik berfikir cepat dan tepat, serta memudahkan peserta didik mencari jawaban. Dengan metode Scramble peserta didik mampu mendorong peserta didik untuk belajar mengerjakan soal setiap permasalahan yang dihadapi para peserta didik itu sendiri. Pembelajaran dengan model TPS memberi kesempatan pada peserta didik berprestasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan ide, peserta didik memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematika secara komprehensif dalam kelompok.
Berdasarkan uraian di atas, maka diharapkan dengan digunakannya model pembelajaran Scramble dan TPS pembelajaran menjadi efektif. Karena guru berperan sebagai fasilitator sehingga pembelajaran peserta didik lebih aktif dan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Dengan demikian penelitian ini, dapat mengetahui adanya perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah yang menggunakan model pembelajaran Scramble dan TPS pada pokok bahasan prisma dan limas.
Secara sistematis kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar:
Gambar 2.6 Bagan kerangka berpikir
Model Pembelajaran Konvensional memberikan penjelasan-penjelasan secara individual maupun klasikal .
Peserta didik kesulitan menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah, kurang memahami konsep, lemahnya penguasaan materi
Model Pembelajaran Scramble menjadikan
peserta didik untuk berpikir cepat dan tepat, Mendorong belajar mengerjakan soal dengan jawaban
acak;
a. didik untuk belajar
Model Pembelajaran TPS menjadikan pembelajaran menarik, Peserta didik aktif dan terlatih menerapkan konsep.
Penerapan pembelajaran Scramble dan TPS terhadap kemampuan pemecahan masalah
Model Pembelajaran Scramble efektif
Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran Scramble dan TPS
Motivasi dan keaktifan peserta didik kurang
Model Pembelajaran TPS
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang akan diajukan berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di sini adalah sebagai berikut:
1. Penerapan model pembelajaran Scramble materi Prisma dan Limas pada peserta didik kelas VIII efektif;
2. Penerapan model pembelajaran TPS materi Prisma dan Limas pada peserta didik kelas VIII efektif;
3. Terdapat perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang memperoleh model pembelajaran Scramble dan peserta didik yang memperoleh model pembelajaran TPS pada materi Prisma dan Limas kelas VIII.