• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pentahapan Proses Integrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pentahapan Proses Integrasi"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan moneter regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh suatu konsep dasar, yakni bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan. Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan integrasi keuangan dan moneter ini pun terus melakukan perbaikan seiring dengan perkembangan ekonomi.

Bab ini secara khusus akan meninjau secara teoritis mengenai pengertian, pentahapan, dan manfaat yang diperoleh dari adanya integrasi ekonomi regional. Hasil studi empiris juga akan dipaparkan dalam bab ini untuk melengkapi argument-argumen terkait dengan teori ekonomi dan moneter regional.

2.1. Pentahapan Proses Integrasi

Pasar keuangan di suatu kawasan dikatakan telah terintegrasi secara penuh apabila masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi kebijaksanaan dan atau ketentuan yang sama dalam pasar keuangan (single set of

rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama

terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated

equally) ketika beroperasi di pasar keuangan (Baele et al, 2004). Definisi integrasi

keuangan tersebut sangat terkait dengan the law of one price yang merupakan definisi lain dari integrasi keuangan. The law of one price ini pada dasarnya menyebutkan bahwa apabila suatu pasar keuangan mempunyai resiko dan tingkat pengembalian yang identik, maka aset keuangan tersebut haruslah mempunyai harga yang sama, terlepas dari tempat transaksi keuangan di mana aset keuangan tersebut dilangsungkan.

Definisi integrasi keuangan ini baik secara teoritis maupun dalam prakteknya tidak mengalami banyak perdebatan. Namun demikian, dalam ranah teori integrasi keuangan, perdebatan yang seringkali muncul ialah terkait dengan bagaimana proses integrasi keuangan ini harus dijalankan. Haruskah integrasi

(2)

keuangan dan moneter di suatu kawasan didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) atau tidak? Ada dua kelompok pendapat mengenai hal tersebut, kelompok pertama berpendapat bahwa integrasi keuangan harus didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) di kawasan tersebut. Kelompok kedua berpendapat bahwa integrasi keuangan dan moneter tidak harus didahului adanya integrasi perdagangan. Perkembangan dari aliran pendapat ini, kemudian diikuti oleh munculnya berbagai pandangan yang memperkuat fenomena bahwa integrasi moneter merupakan langkah untuk memperkuat integrasi di sektor riil.10

Melihat pengalaman di Asia khususnya ASEAN+3, inisiatif integrasi keuangan dan moneter yang meningkat setelah krisis keuangan di Asia tahun 1997 dapat dikatakan mengikuti pendapat yang kedua, dimana proses integrasi keuangan dan moneter berlangsung tanpa didahului oleh adanya integrasi sektor riil. Kondisi ini berbeda dengan pengalaman Eropa di mana proses menuju integrasi keuangan dan moneter didahului oleh integrasi sektor riil terlebih dahulu. 2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi

Teori awal mengenai tahapan dalam mencapai integrasi ekonomi, secara populer disebut sebagai Coronation Theory. Teori ini berpandangan bahwa integrasi sektor riil yang dilakukan melalui liberalisasi perdagangan dan mobilitas faktor produksi adalah sebagai prasyarat dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh (Sholihah dan Saicu, 2007). Teori ini berdasarkan pengalaman kawasan Eropa dalam proses menuju pembentukan Uni Eropa. Pada proses tersebut, inisiatif dimulai dengan adanya kerjasama di sektor riil yaitu melalui pembentukan komunitas batubara dan baja eropa (The European Coal and Steel

Community-ECSC) melalui Threaty of Paris pada tahun 1951 dengan enam

negara anggota, yaitu Belgia, Jerman Barat, Luksemburg, Prancis, Italy, dan Belanda.

Pengalaman sukses ECSC mendorong keenam negara tersebut untuk mengintegrasikan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1957 keenam negara tersebut menandatangani Treaties of Rome, the European Atomic Energy Community-EEC). Selanjutnya negara anggota menetapkan pembebasan hambatan

10 Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R.

(3)

perdagangan di antara mereka dan membentuk suatu pasar tunggal (common

market) sebelum pada akhirnya mewujudkan suatu mata uang tunggal Euro. Dari

perjalanan tersebut dapat diketahui bahwa negara-negara kawasan eropa melakukan proses yang panjang dalam menuju sebuah integrasi moneter (monetary union) dengan mengawalinya dari inisiatif integrasi di sektor riil/perdagangan.

Proses integrasi yang terjadi di Eropa maupun di belahan bumi lainnya menunjukan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling terbuka. Secara harfiyah, kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai penggabungan. Jovanovic (2006) menggunakan istilah integrasi dalam ranah ekonomi pertama kali pada konteks organisasi dalam suatu industri. Sementara itu, Timbergen (1962) membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi dan sebagai bentuk penyerahan kebijakan pada lembaga bersama.

Pada sisi lain, Balassa dalam Sholihah dan Saicu (2007) membedakan integrasi sebagai konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara negara yang berbeda, maupun dalam konsep statis yang melihat ada atau tidaknya perbedaan dalam diskriminasi. Di tengah berbagai perbedaan definisi yang berkembang, Jovanovic (2006) menyimpulkan bahwa konsep integrasi ekonomi sebagai sebuah proses di mana sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan tingkat kemakmurannya. Integrasi juga mensyaratkan paling tidak, adanya beberapa pembagian tenaga kerja dan kebebasan mobilitas yang bebas atas faktor produksi.11

Balassa menyebutkan bahwa usaha-usaha untuk menuju integrasi ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut dibagi dalam lima tahap dimulai dari integrasi sektor perdagangan dalam bentuk free trade area dan

custom union, dilanjutkan dengan pasar bersama (common market), economic union, dan terakhir adalah integrasi ekonomi secara total. Secara lebih ringkas

tahapan integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 1.

(4)

Tabel 1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa Tahapan Keterangan

Prefential Trading Area (PTA)

Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk produk-produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif (bukan menghilangkan).

Free Trade Area

(FTA)

Suatu kawasan di mana tarif dan kuota antar negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.

Custom Union Merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan

komiditi antar negara anggota tetapi menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota.

Common Market Merupakan Custom Union yang juga meniadakan

hambatan-hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien.

Economic Union Interation

Merupakan suatu Common Market dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural)

Total Economic Penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti

dengan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota.

Sumber : Sholihah dan Saichu, 2007

Teori tahapan/tingkat integrasi lainnya yang hampir mirip dengan Balassa adalah teori yang dikemukan oleh Griffin dan Pustay (2002). Griffin dan Pustay menyusun integrasi ekonomi dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang dapat dilihat pada Gambar 1.

(5)

TINGGI

Uni Politik

Uni Ekonomi

Pasaran Bersama

Persekutuan Pabean

Kawasan Perdagangan Bebas

RENDAH

Meliputi integrasi politik dan ekonomi

Pasaran pabean + mengkoordinasikan kebijakan ekonomi di antara

negara-negara anggota

Persekutuan Pabean + menghapuskan hambatan pergerakan factor produksi

di antara negara-negara anggota

Kawasan perdagangan bebas + menyeragamkan kebijakan perdagangan untuk negara-negara

Menurunkan hambatan tariff dan non tariff terhadap sesama negara anggota,

namun masing-masing negara berhak menentukan sendiri kebijakan perdagangannya terhadap negara

Sumber : R. W. Griffin dan M. W. Pustay, 2002

Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi Menurut Griffin dan Pustay

Untuk memperjelas berbagai tahapan mengenai integrasi yang dikemukakan oleh Balassa maupun Griffin dan Pustay, maka pada bahasan selanjutnya akan diberikan berbagai teori terkait dengan integrasi ekonomi. Berdasarkan literatur yang terkumpul, terdapat berbagai landasan teori integrasi ekonomi antara lain : (i) teori custom union, (ii) teori common market, dan (iii) teori model gravitasi.

(6)

2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi

Pergerakan barang dan jasa di antara negara yang sepakat membentuk integrasi difasilitasi oleh upaya penghapusan tarif dan hambatan non tarif (NTB) yang mendistorsi perdagangan intra negara-negara tersebut. Salah satu teori yang membahas pendekatan tariff dalam kaitannya dengan perbedaan secara geografis adalah teori custom union (CU). Teori CU ini merupakan teori integrasi neo-clasic dan teori perrdagangan yang paling berkembang. Pembahasan teori ini dilakukan mengingat CU merupakan tahapan penting dalam rangkaian tahap integrasi. 1. Teori Custom Union

CU adalah tipe integrasi ekonomi dimana negara-negara yang berpartisipasi dalam kesepakatan tersebut tidak hanya melakukan penghapusan tarif dan hambatan kuantitatif lainnya di antara anggota terhadap barang yang berasal dari negara-negara tersebut, tetapi juga menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota yaitu Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Dalam CU tidak terdapat kebutuhan untuk menerapkan preferential rules

of origin sebagaimana dalam FTA.

2. Teori Common Market (CM)

Dalam teori CM ini, mobilitas faktor produksi dalam suatu kawasan adalah kondisi integrasi pasar di mana tidak terjadi perlakuan diskriminasi (Juvanovic, 2006). Tidak adanya diskriminatif ini, di mana faktor produksi bebas, akan mendorong alokasi faktor produksi yang efisien melalui pergerakan faktor tersebut menuju tempat dengan tingkat produktifitas yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produktifitas antara CU dan CM.

3. Model Gravitasi

Model Gravitasi dikembangkan oleh Tinbergen pada 1962 dan Linnemann pada 1996 (Helmers dan Pasteels, 2005) yang menunjukkan bahwa perdagangan mengikuti prinsip-prinsip fisik dari gravitasi yakni dua kekuatan yang bertentangan menentukan volume perdagangan bilateral di antara negara-negara melalui (i) tingkat aktifitas dan pendapatan ekonomi, serta (ii) tingkat hambatan perdagangan. Hal-hal yang termasuk dalam hambatan perdagangan yaitu biaya transportasi, kebijakan-kebijakan perdagangan, ketidakpastian, perbedaan budaya dan karakteristik geografi.

(7)

Teori-teori integrasi yang dikemukakan merupakan serangkaian teori yang mendukung tahapan integrasi ekonomi di seluruh dunia. Integrasi ekonomi yang telah dilakukan oleh Eropa menjadi sebuah momentum baru kebangkitan ego regional dalam membuat suatu komunitas ekonomi. Merujuk pada berbagai teori integrasi ekonomi, menjadi sebuah pertanyaan yakni seperti apa dan bagaimana negara-negara di Eropa berhasil menjadi sebuah komunitas ekonomi baru? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas secara singkat bagaimana proses yang telah dilalui oleh Uni Eropa, dan bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3 mempersiapkan diri dalam menyongsong sebuah komunitas ekonomi baru di kawasan tersebut.

2.2. Cerita Sukses Eropa

Keberhasilan Eropa menuju kesatuan Ekonomi dan Moneter dimulai dengan penandatanganan Treaty of Paris pada tahun 1951 yang mengawali pembentukan the European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara (yaitu Belgia, Belanda, Luksemburg, Jerman Barat, Italia, dan Perancis) dan

Treaties of Rome (1957) sebagai dasar pembentukan the European Anatomic Energy Community (EUROATOM) dan the European Economic Community

(EEC). Tiga Komunitas tersebut pada akhirnya dilebur menjadi Masyarakat Eropa (European Community).

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di The Haque, Belanda tahun 1969, disepakati bahwa Masyarakat Eropa akan secara progresif menuju pembentukan

European Monetary Union (EMU) dalam waktu sepuluh tahun kemudian,

tepatnya pada tahun 1979. Untuk mencapai sasaran tersebut, dibentuk sebuah komite pakar yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Lukemburg, Pierre Werner, untuk mengkaji berbagai elemen yang diperlukan bagi pembentukan kesatuan ekonomi dan moneter tersebut. Namun demikian, seiring dengan terjadinya gejolak ekonomi dikawasan tersebut pada tahun 1970-an, maka rencana pembentukan EMU ini pun sempat terabaikan mengingat masing-masing negara mefokuskan dirinya pada pencapaian kepentingan domestik mereka.

Adanya kepentingan bersama yaitu mengendalikan fluktuasi nilai tukar di antara anggota Masyarakat Eropa menyebabkan kerja sama di bidang moneter

(8)

tetap tumbuh meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu masyarakat di Eropa berinisiatif membentuk sebuah mekanisme untuk mengelola batas fluktuasi antara mata uang anggota Masyarakat Eropa secara lebih tegas dalam sistem

snake in the tunnel. Sistem snake ini mengatur tingkat margin fluktuasi di antara

mata uang negara anggota terhadap mata uang anggota Masyarakat Eropa lainnya dan juga terhadap dollar AS. Margin fluktuasi terhadap dollar AS ini turut dijaga ketat mengingat dollar AS masih merupakan referensi utama bagi mata uang negara Masyarakat Eropa. Namun demikian, sistem snake ini tidak mencapai sasaran yang dikehendaki terutama karena adanya kebijakan ekonomi yang beragam di Eropa pasca krisis minyak bumi tahun 1973. Kegagalan sistem snake ini pada akhirnya menumbuhkan semangat untuk kembali mewujudkan EMU. Akhirnya pada tahun 1979 dibentuklah European Monetary System (EMS) bagi pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa.

Ada tiga proses transisi utama yang ditempuh oleh Eropa untuk menuju EMU. Pada tahap pertama, yaitu Juli 1990-Desember 1993, arus transaksi neraca modal (capital account) dan jasa keuangan dibebaskan secara substansial dalam kawasan negara Masyarakat Eropa. Pada tahap kedua, yaitu Januari 1994-Desember 1998), the European Monetary Institute (EMI) dibentuk sebagai embrio bagi pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa. EMI berfungsi untuk memperkuat kerja sama antar negara dan bank sentral, melakukan koordinasi kebijakan moneter dan mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk membentuk suatu European Central Bank System (ECBS). Pada saat yang sama, berdasarkan Maasttricht Treaty (1993), beberapa indikator divergen konvergensi nominal mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran, dan pinjaman pemerintah. Pada tahap ketiga, (yaitu mulai Januari 1999), 11 negara anggota Masyarakat Eropa bergerak menuju penggunaan mata uang tunggal, euro, dan penggunaan sebuah bank sentral bersama, yaitu the

European Central Bank (ECB).

2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3

Pembentukan European Union (EU) merupakan prestasi keberhasilan yang selalu menjadi tolak ukur integrasi ekonomi kawasan. Beberapa inisiatif

(9)

integrasi yang mencoba mengikuti EU seperti Latin American Free Trade Area dan East African Common Market justru mengalami kegagalan.

Mencermati perjalanan integrasi di Eropa, banyak pelajaran dan pengalaman pembentukan yang dapat diambil bagi ASEAN. Namun demikian, para pemimpin ASEAN+3 perlu memperhatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan yang ada di kawasan ASEAN+3 dan juga perbedaan-perbedaan latar belakang sejarah anggota ASEAN. Beberapa pembelajaran yang dapat diambil ASEAN bila membandingkan dengan kondisi awal European Economic Community pada tahun 1950-an antara lain adalah (Plummer, 2005) :

1. Perbedaan Lingkungan Kelembagaan

Integrasi di Eropa pada 1950-an dipicu oleh semangat kawasan yang baru saja dilanda kehancuran Perang Dunia II dan timbulnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga motivasi politik dan sosial dalam upaya penyatuan kawasan di Eropa sangat jauh berbeda dengan latarbelakang upaya integrasi di ASEAN+3. Meskipun kecil, ASEAN+3 juga berperan menjaga perdamaian di Asia Tenggara pada khususnya dengan menjaga stabilitas politik kawasan. Perkembangan kelembagaan di ASEAN berbeda dengan di Eropa karena (i) negara-negara ASEAN yang relatif baru, (ii) keragaman tingkat kelembagaan sosial dan politik di ASEAN yang relatif lebih tinggi, dan (iii) keterbatasan dana dalam pengembangan kelembagaan di ASEAN.

2. Perbedaan Lingkungan Ekonomi Internasional

Kemajuan tingkat keterbukaan pada saat ini sangat mewarnai perkembangan pasar global. Keterbukaan di pasar global dipicu antara lain : (i) meningkatnya pengurangan hambatan perdagangan internasional dengan adanya putaran-putaran perundingan seperti GATT, WTO, dan juga liberalisasi unilateral, (ii) meningkatnya aliran modal global (termasuk aliran modal asing). Tetapi di lain sisi, biaya yang harus dibayar dengan adanya integrasi regional, yaitu memperbesar trade diversion, lebih besar daripada waktu yang lampau. Perkembangan regionalism yang pesat ditunjukkan dengan meningkatnya pembentukan grup-grup perdagangan dalam WTO yang mencapai lebih dari 200. Grup perdagangan tersebut banyak yang merupakan mitra dagang penting ASEAN sehingga dapat mempengaruhi eksistensi ASEAN.

(10)

3. Perbedaan Tingkat Perkembangan Ekonomi

Negara yang tergabung dalam ASEAN pada saat ini mempunyai keragaman tingkat ekonomi yang bervariasi dan dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan yaitu (i) kelompok negara maju, (ii) kelompok negara ”dinamis”, (iii) kelompok negara pendapatan menengah, dan (iv) kelompok negara belum maju. Sehingga memerlukan proses konvergensi yang cukup panjang untuk mencapai tingkatan perkembangan yang hampir sama.

4. Perbedaan Tingkat Keterbukaan Ekonomi

Dibandingkan dengan Eropa, secara umum ekonomi ASEAN lebih kecil tetapi lebih terbuka, kecuali untuk negara-negara CLMV (Cambodia, Laos,

Myanmar, and Vietnam). Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi pada 1950-an

tetapi juga pada saat ini dibanding mayoritas negara-negara maju. 2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3

Krisis keuangan Asia 1997-1998 yang memperburuk kinerja ekonomi negara anggota ASEAN utama mendorong ASEAN untuk memperluas kerja sama ekonomi dan keuangannya mencakup Cina, Korea, dan Jepang (ASEAN+3)12. Tujuan kerja sama tersebut adalah memperkuat dialog kebijakan, koordinasi dan kerjasama dalam isu-isu bersama mengenai keuangan, moneter, dan fiskal. Kerja sama tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu : (i) review perkembangan ekonomi terkini dan dialog kebijakan (Economic Review and Policy Dialogue-ERPD), (ii) Chiang Mai Initiative (CMI), (iii) Asian Bond Market Initiative (ABMI), dan (iv) ASEAN+3 Research Group.

Tujuan ERPD adalah untuk mendukung upaya pencegahan krisis keuangan melalui pengimplementasian secara cepat dan tepat berbagai langkah kebijakan perbaikan. ERPD memfokuskan diri pada isu-isu yang menjadi kepentingan bersama. ERPD pun bertujuan untuk mempersiapkan landasan bagi penyediaan bantuan darurat, seperti CMI, pada saat terjadi krisis. Di bawah kerangka ERPD, menteri keuangan ASEAN+3 bertemu satu tahun satu kali (sementara para wakilnya bertemu dua tahun satu kali) untuk membahas isu-isu ekonomi dan kebijakan.

12 The Joint Statement on East Asia Corporation, November 1999 merupakan landasan utama

(11)

Sedangkan CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan keuangan regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga internasional, melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3. Selain itu, CMI juga memperluas ASEAN Swap Arrangement (ASA), yang semula dibentuk oleh lima negara ASEAN pada tahun 1977, dan berkembang menjadi seluruh negara ASEAN dengan jumlah komitmen yang meningkat pula.

Pada Agustus 2003, ASEAN+3 menyetujui inisiatif pengembangan pasar obligasi Asia (ABMI). Sebagai inisiatif utama dalam mengembangkan pasar modal yang efisien dan likuid sehingga penggunaan tabungan Asia untuk kebutuhan investasi di Asia dapat terlaksana dengan lebih baik. Selain itu, ABMI juga bertujuan untuk mendukung upaya mengatasi permasalahan ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch) dan jatuh tempo pinjaman (maturity mismatch).

Kegiatan ABMI difokuskan pada dua sasaran, yaitu : (i) mendorong akses pasar melalui perluasan berbagai kelompok penerbit obligasi, dan (ii) meningkatkan infrastruktur pasar modal di Asia. Untuk mencapai kedua sasaran tersebut, saat ini terdapat empat kelompok kerja teknis yang terdiri dari (i) New

securitized debts instrument, yang memfokuskan pada metode-metode sekuritas

surat-surat utang sehingga dapat diperdagangkan di pasar obligasi, (ii) Credit

guarantee and investment mechanisme, yang meneliti berbagai pilihan mekanisme

dan skema penjaminan obligasi untuk proyek-proyek investasi, (iii) Foreign

exchange transactions and settlement issues, yang meneliti berbagai isu berkaitan

dengan upaya meminimalkan resiko-resiko transaksi obligasi antar negara, dan (iv) Rating system, yang memfokuskan pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan harmonisasi ketentuan dan peraturan lembaga pemeringkat kredit di negara-negara anggota, sehingga penilaiannya atas obligasi yang diterbitkan masing-masing negara anggota dapat diperbandingkan.

Untuk mendukung pengembangan upaya-upaya kerja sama ekonomi di ASEAN+3 terutama berkaitan dengan isu-isu jangka menengah-panjang, ASEAN+3 mendirikan ASEAN+3 Research Group pada Nopember 2003. Tujuannya adalah menggali berbagai ide untuk meningkatkan kerja sama keuangan dan mendorong stabilitas keuangan di dalam kawasan melalui

(12)

masukan-masukan akademik dari para peneliti atau lembaga-lembaga penelitian di negara ASEAN+3.

Selain berbagai kegiatan kerja sama yang telah dilakukan di kawasan ASEAN+3, ada pula beberapa langkah integrasi yang terjadi di ASEAN+3. Untuk melihat sejauh mana proses integrasi yang terjadi di ASEAN+3, pada pembahasan selanjutnya akan di bahas mengenai integrasi regional di kawasan ASEAN+3. 2.3. Integrasi Regional ASEAN+3

Integrasi ekonomi regional salah satunya dilandasi oleh kedekatan geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan. Tujuan dari integrasi tersebut adalah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan kawasan dimaksud. Di Eropa, integrasi regional diawali dengan integrasi ekonomi (sektor riil) yang kemudian diikuti dengan integrasi moneter dan diakhiri dengan pembentukan mata uang tunggal Euro.

Di ASEAN+3, proses integrasi regional diawali dengan kerja sama ekonomi yang lebih banyak digerakkan oleh sektor swasta (market-led and

private sector driven integration), terutama sejak awal tahun 1990-an. Dalam

periode tersebut, peranan pemerintah dalam mendorong inisiatif kerja sama relatif terbatas pada bidang-bidang tertentu seperti perdagangan, investasi dan pembangunan infrastruktur lintas batas (cross-border infrastructure). Dicapainya kesepakatan perdagangan bebas seperti pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 1992 dan kerja sama kawasan Mekong (Greater Mekong

Sub-regional Cooperation) pada tahun yang sama menunjukan bahwa ASEAN sudah

memasuki tahapan integrasi ekonomi.

Kondisi tersebut berbeda dengan periode setelah krisis Asia 1997, di mana inisiatif pemerintah mulai semakin meningkat dalam kerja sama di kawasan. Hal ini tercermin dari perluasan kerja sama ekonomi di bidang keuangan dan moneter dengan tujuan untuk mencapai dan memelihara stabilitas keuangan regional, menjaga dan mendorong pertumbuhan regional dan domestik yang berkesinambungan, serta mengurangi ketergantungan pada lembaga keuangan internasional.

(13)

2.3.1. Latar Belakang Integrasi Moneter ASEAN+3

Pada 1 Januari 1999, negara-negara Uni Eropa meluncurkan mata uang tunggal mereka yang diberi nama Euro. Sejak awalnya, Euro sudah memaninkan suatu peranan penting sebagai mata uang internasional kunci. Hal itu sudah menjadikan Euro sebagai mata uang penting seperti dollar Amerika di kancah internasional. Negara Uni Eropa mungkin mempunyai beberapa kerugian dari sebuah mata uang tunggal tetapi mungkin juga mempunyai beberapa keuntungan lebih banyak dari hal tersebut. Untuk suatu hal, dengan adanya mata uang tunggal Euro, negara-negara Uni Eropa sangat tidak mungkin mengalami krisis seperti yang dialami negara-negara Asia di tahun 1997.

Sejak krisis, banyak negara di Asia Timur dan Asia Tenggara telah melakukan usaha-usaha yang kuat untuk mencegah terjadinya krisis mata uang. Para pemimpin sepuluh negara ASEAN dan tiga negara lainnya membuat kesepakatan di Chiang May Initiative (CMI) pada bulan Mei tahun 2000. CMI mencakup swap mata uang bilateral, dialog tentang kebijakan, dan pengembangan pasar obligasi regional. Selain itu, mereka mencoba untuk menyamai pengalaman dari negara-negara Uni Eropa, mengadopsi Unit Mata Uang Eropa (ECU) dan bahkan menuju keberhasilan mata uang tunggal Asia di masa depan.

Seperti pengalaman yang ditunjukkan oleh Eropa, negara Uni Eropa sudah mencapai suatu mata uang tunggal dengan suatu langkah pendekatan. Berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Eropa, negara-negara di Asia sangat mungkin mengambil tindakan pendekatan gradual/berjenjang sampai terbentuknya mata uang tunggal di Asia. Asia dapat mengambil pembelajaran dari pengalaman yang dilakukan Eropa. Walaupun demikian, bagaimana pun, hal ini menghadapi

bottlenecks. Beban yang paling utama dari suatu negara menetapkan mata uang

tunggal regional adalah kehilangan otonomi kebijakannya. Meski begitu, apabila manfaat yang diperoleh lebih besar dari biayanya, maka negara-negara anggota akan meluncurkan mata uang tunggal regional. Oleh karena itu pertanyaan kritisnya adalah bukan apakah suatu kawasan (dalam konteks ini ASEAN+3) akan membuat mata uang tunggal regional atau tidak, tetapi proses atau langkah apa yang akan diambil dan bagaimana cara yang harus dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi era mata uang tunggal Asia.

(14)

Pada konteks ini, Kuroda (2004) menyarankan menerapkan pendekatan lima tahapan. Pendekatan ini meliputi ; (1) Chiang Mai Initiative, (2) Asian Bond

Market Initiative, (3) Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements),

(4) Stabilitas Nilai Tukar intra regional (Intra-regional Exchange rate

stabilization), (5) Peningkatan posisi fiskal dari negara-negara yang pengambil

bagian/partisipan (improvement of the fiscal position of participating countries). Pendekatan dari Kuroda dapat menerangkan implementasi praktis berbagai kebijakan ke arah mata uang tunggal regional. Sementara itu, Kim (2007) menggunakan pendekatan tiga tahap agar menuju mata uang tunggal Asia. Ketiga tahapan ini meliputi ; (1) Koordinasi Kebijakan untuk Stabilitas nilai tukar, (2) Membuat Mata Uang Tunggal Regional (Asian Currency Unit), (3) Membuat Mata Uang Tunggal Asia.

2.3.2. Paralel Currency Asian Currency Unit (ACU)

Dewasa ini telah berkembang berbagai wacana dan studi mengenai kemungkinan pembentukan mata uang regional di ASEAN dengan mencari sistem nilai tukar bersama yang dapat memfasilitasi dan mempercepat integrasi moneter di kawasan ASEAN+3. Dalam hal ini, pengalaman Eropa dengan Sistem Moneter Eropa (European Monetary System-EMS) seringkali digunakan sebagai rujukan.

Melanjutkan inisiatif kerja sama regional yang sudah berjalan di kawasan ASEAN+3, proses untuk integrasi moneter diawali dengan peningkatan efektifitas dialog dan tinjauan kebijakan dengan masing-masing negara yang tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang dianut, untuk selanjutnya bertahap bergerak ke proses integrasi yang lebih dalam. Pelaksanaan dialog dan tinjauan kebijakan di kawasan ASEAN+3 lambat laun dapat membangun kepercayaan dan membantu meningkatkan hubungan kerja untuk koordinasi kebijakan dan memperkuat dukungan keuangan di antara negara-negara yang terlibat dalam CMI, dan pada akhirnya menciptakan lingkungan politik dan ekonomi yang kondusif untuk memperkenalkan sistem nilai tukar bersama.

Dalam masa transisi kearah pencapaian common currency area yang akan memakan waktu yang cukup lama, terdapat tiga alternatif sistem nilai tukar yang dapat dipertimbangkan untuk diadopsi, yaitu (i) sistem peg terhadap satu mata

(15)

uang asing (single currency peg), (ii) sistem mata uang parallel (parallel

currency), (iii) sistem peg terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang

(currency basket). Pembentukan Asian Currency Unit untuk konteks ASEAN+3, menggunakan sistem parallel currency mengikuti pengalaman Eropa dalam pembentukan European Currency Unit.

Dalam sistem nilai tukar parallel, terdapat penciptaan mata uang sintesis, di mana mata uang sintesis tersebut digunakan bersamaan dengan mata uang domestik masing-masing negara anggota. Mata uang sintesis tersebut dibentuk dari sekeranjang mata uang yang terdiri dari mata uang negara-negara di kawasan yang berpartisipasi dalam pembentukan sistem tersebut. Mata uang domestik masing-masing negara anggota kemudian dikaitkan kepada mata uang sintesis yang dijadikan mata uang bersama. Menurut Kurniati (2007), contoh populer penerapan parallel currency adalah ECU dalam EMS dan Special Drawing Rights (SDR) dari International Monetary Fund (IMF).

Sebagai gambaran, ECU merupakan unit moneter yang dibentuk dari mata uang domestik negara-negara yang tergabung dalam EMS. Dengan demikian, ECU mencerminkan rata-rata tertimbang kinerja nilai tukar kawasan. EMS diadopsi oleh anggota masyarakat eropa (European Community) untuk menjaga stabilitas dengan membatasi fluktuasi nilai tukar antar negara anggota. Dalam hubungan tersebut, EMS mensyaratkan mata uang domestik negara anggota dalam sistem dikaitkan dengan ECU. ECU juga digunakan oleh lembaga supranational Masyarakat Eropa sebagai alat satuan hitung (unit of account), serta sebagai denominasi untuk perdagangan dan investasi.

Dengan tujuan untuk stabilitas nilai tukar dalam kawasan, untuk kawasan Asia Timur, sistem nilai tukar parallel yang dibentuk lebih sesuai dengan mengikuti pola pembentukan ECU (European Currency Unit), yaitu dengan membentuk ACU (Asian Currency Unit). ACU dibangun dari sekeranjang mata uang negara anggota di kawasan Asia Timur yang berpartisipasi dalam sistem nilai tukar tersebut. ACU digunakan sebagai numeraire untuk transaksi perdagangan dan keuangan di kawasan, sementara transaksi di luar negeri tetap memiliki kendali atas mata uang domestik dan kebijakan moneternya. Adapun pembentukan Asian Currency Unit dapat dilihat pada Gambar 2.

(16)

Negara Anggota Kawasan ASEAN-5

Membentuk Mata Uang Sintesis ACU

Negara A

Negara B

Negara D Negara C

Keranjang mata uang yang terdiri dari mata uang negara

anggota kawasan (dengan bobot tertimbang tertentu)

Sumber : Kurniati, 2007

Gambar 2. Pembentukan Asian Currency Unit

Dalam penelitian ini, setelah ACU nanti terbentuk dengan mengikuti tahapan-tahapan yang telah dilakukan oleh Eropa, maka penggunaan ACU untuk setiap anggota negara ASEAN+3 akan disimulasikan dengan memberikan guncangan/schok terhadap mata uang ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota. Penggunaan simulasi ini bertujuan untuk melihat bagaimana indikator makroekonomi (dalam hal ini inflasi) berfluktuasi menuju sebuah keseimbangan baru setelah kedua nilai tukar tersebut di shock. Adapun model yang digunakan untuk pembahasan tersebut adalah dengan menggunakan metode Vector

Autoregressive (VAR).

2.3.3. Vector Autoregressif (VAR)

Vector Autoregressif (VAR) secara umum digunakan untuk

memperkirakan (forecasting) data deret waktu yang berhubungan dan untuk menganalisa dampak random error secara dinamis pada sistem. Metodologi VAR

(17)

mengacu pada model persamaan simultan dengan mempertimbangkan variabel endogen secara bersama-sama. Setiap variabel endogen dijelaskan dengan lag-nya sendiri dan lag dari variabel endogen lainnya di dalam model. Biasanya, tidak ada variabel eksogen di dalam model.

Dalam model, variabel dinyatakan sebagai variabel eksogen, endogen predetermin (eksogen ditambah lag variabel endogen). Sebelum model diestimasi, harus dipastikan bahwa persamaan model adalah teridentifikasi, baik teridentifikasi secara tepat (exactly identified) maupun lebih (over identified).

Pendekatan VAR menggunakan pemodelan dengan memodelkan setiap variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi masa lampau (lag). Lag dari variabel endogen terlihat disisi kanan setiap persamaan. Asumsi bahwa error tidak memiliki korelasi serial, tidak perlu dikhawatirkan karena korelasi serial bisa diselesaikan dengan menambah lag. Model VAR bersifat atheoritical, artinya tidak ada pedoman khusus yang digunakan dalam penentuan banyaknya lag agar dihasilkan model sebaik mungkin.

Model VAR memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:

1. Metode VAR sederhana, sehingga tidak perlu menentukan variabel endogen dan eksogen. Seluruh variabel dalam model VAR adalah endogen.13

2. Estimasi VAR sederhana. Metode OLS biasa dapat digunakan untuk setiap persamaan secara terpisah.

3. Hasil peramalan dengan menggunakan metode ini dalam beberapa kasus lebih baik dibandingkan dengan model persamaan simultan yang lebih rumit.

Model VAR memiliki beberapa kekurangan sebagai berikut:

1. Tidak seperti model persamaan simultan, model VAR adalah a-theoretic karena model ini menggunakan informasi sebelumnya. Perlu diingat, dalam model persamaan simultan, memasukkan atau mengeluarkan variabel tertentu memainkan peranan penting dalam identifikasi model. 2. Model ini lebih fokus pada konteks peramalan sehingga kurang cocok

untuk analisis kebijakan.

(18)

3. Tantangan terbesar dalam model VAR adalah memilih jumlah atau panjang lag yang tepat.

4. Untuk sejumlah m variabel dalam model VAR, seluruh variabel m harus stasioner secara bersama-sama. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, maka harus dilakukan transformasi terlebih dahulu (misalnya melalui first

differencing). Transformasi akan sulit dilakukan jika data memiliki tingkat

integrasi yang berbeda, misalnya dua variabel yang terintegrasi pada tingkat level [ I(0) ] dan tingkat satu [ I(1) ].

5. Koefisien individual dalam estimasi model VAR seringkali sulit diterjemahkan, sehingga digunakan Impulse Response Function (IRF)14 untuk melacak dampak suatu variabel terhadap variabel lainnya.

Dari rangkaian pembentukan ACU dan simulasi untuk pemilihan nilai tukar setiap negara anggota ASEAN+3, ada sebuah proses sebelum menuju Kesatuan Integrasi Regional. Salah satunya adalah menurut Baharumshah et al (2006), yang mengatakan bahwa suatu kawasan dapat mencapai terjadinya kesatuan moneter regional harus memenuhi kondisi OCA agar integrasi ekonomi yang terjadi dapat lebih efisien. Oleh karena itu berikut akan dituliskan beberapa tinjauan terkait mengenai OCA.

2.4. Optimum Currency Area (OCA)

Pada dasarnya teori Optimum Currency Areas terkait dengan bagaimana perekonomian suatu negara dengan wilayahnya diberikan independensi ataupun kebebasan dengan tujuan membentuk intergrasi moneter untuk berbagi satu mata uang bersama. Dalam perdagangan internasional, penggunaan mata uang yang berbeda dengan satuan nilai yang berbeda menghasilkan ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran suatu negara. Sehingga, mata uang dapat menjadi suatu alat kebijakan untuk kompensasi ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran ketika hal tersebut diperbolehkan untuk mengapresiasi dan mendepresiasi nilai relatif yang berhubungan dengan mata uang tersebut. Akan tetapi, ekonomi yang lebih kecil terkadang mengalami kesulitan untuk mengizinkan mata uangnya mengambang bebas dalam pasar uang. Depresiasi suatu mata uang dapat

(19)

meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan negaranya, tetapi perekonomian negara kecil tidak mampu mendukung tekanan nilai-nilai yang menjatuhkan mata uangnya sebelum keadaannya stabil kembali. Depresiasi mata uang domestik akan mengurangi daya beli lokal sedangkan daya beli dari asing akan meningkat.

Oleh karena itu, banyak perekonomian yang lebih kecil boleh menentukan dan menerapkan nilai tukar tetap dimana mata uang mereka ditetapkan oleh mata uang negara lain, biasanya digunakan dollar Amerika. Apabila hal itu merupakan sebuah kasus, pertanyaannya adalah apakah semua negara dengan perekonomian kecil perlu mengadopsi satu sistem nilai tukar tetap untuk menstabilkan nilai dari mata uang mereka.

Teori mengenai OCA pertama kali dikemukan oleh Robert A. Mundell dengan tulisannya yang berjudul A Theory of Optimum Currency Areas. Teori ini muncul pada akhir periode Bretton Woods dalam debat mengenai pro dan kontra dari flexible exchange rate (Kucerova, 2003). Perdebatan ini muncul karena sistem Bretton Wood telah memaksimalkan capital control pada banyak negara. Meskipun banyak penelitian tentang pilihan rezim exchange rate sejak awal tahun 1950an, Mundell adalah yang pertama kali mengungkapkan konsep optimum

currency area memungkinkan untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Mundell

mencoba untuk menjawab pertanyaan kapan seharusnya suatu wilayah mempunyai mata uang sendiri dan wilayah yang bagaimana yang sesuai dengan sebuah common currency area (Broz, 2005).

Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Area (OCA) mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply dan demand yang simetrik dan memenuhi beberapa kriteria atau kondisi tertentu. Kriteria tersebut meliputi :

1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external

facor mobility yang rendah.

2. Memiliki upah dan harga yang stabil.

3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional (budaya, peundang-undangan, kemakmuran, dll) namun mobilitas tersebut tidak mudah apabila melewati/di luar batasan-batasan nasional (national

(20)

borders). Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor

pendukung.

Selanjutnya, Krugman-Obstfeld,15 mendefinisikan OCA sebagai suatu kelompok negara-negara dalam suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat terutama karena faktor perdagangan (barang dan jasa) serta mobilitas faktor produksi. Definisi ini merupakan hasil pengamatan Krugman dan Obstfeld yang menyimpulkan bahwa sebuah kawasan yang menetapkan suatu nilai tukar tetap di antara negara-negara anggota akan berhasil mewujudkan semua tujuannya apabila tingkat output dan keterkaitan sektor perdagangan di antara negara-negara tersebut tinggi.

Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori OCA. Kenen dalam Bergman (2000) mengemukakan bahwa sebuah currency

area dibentuk dari negara-negara yang memproduksi dan mengekspor

barang-barang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur yang sama. Kriteria Kenen meliputi :

1. Mempunyai sedikit goncangan asimetris, dan

2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Yang pada dasarnya hal ini dapat melawan guncangan asimetrik.

Sedangkan McKinnon (1963) mengemukakan bahwa sebuah OCA dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan yang tinggi. Di lain pihak, Ngian dan H Yuen,16 mengungkapkan bahwa OCA merupakan suatu keadaan dimana negara-negara yang tergabung dalam kerjasama tersebut secara bersama menetapkan sistem nilai tukar tetap (mata uang masing-masing negara anggota di peg terhadap satu mata uang jangkar) dan menjalankan kebijakan moneter bersama.

Melihat bagaimana proses integrasi di kawasan Eropa, dalam perjalanannya, teori OCA ini tidak dapat diimplementasikan oleh Uni Eropa karena beberapa alasan yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya.

15 Definisi OCA menurut Krugman-Obstfeld dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis

Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.

16 Definisi OCA oleh Ngian dan H Yuen dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis

Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.

(21)

Oleh sebab itu, pendekatan lain digunakan untuk menggantikan pra syarat OCA yakni pra syarat yang dikenal dengan Maastricht Treaty Convergence Criteria. 2.5. Maastricht Treaty Convergence Criteria

Dalam Integrasi ekonomi, penyatuan pasar bukan hanya terjadi pada pasar barang. Pasar-pasar jasa pun mengalami proses konsolidasi yang sangat dinamis. Industri perbankan dan sektor keuangan lainnya mulai dapat memasuki wilayah negara lain. Seperti halnya di Eropa, setelah adanya integrasi di sektor riil, integrasi ekonomi di sektor lainnya pun mulai merambah antar negara-negara anggota Uni Eropa.

Suatu hal yang menarik adalah perkembangan yang terjadi sehubungan dengan mata uang antar negara. Sebagaimana dimaklumi, dengan terjadinya perbedaan penggunaan mata uang tersebut, perdagangan antar negara di antara sesama anggota akhirnya memperhitungkan perkembangan nilai mata uang tersebut. Pada masa berlakunya sistem Brettonwoods, dimana semua mata uang dikaitkan dengan US Dollar, maka hubungan mata uang antarnegara anggota pada hakikatnya tidaklah banyak berubah dari waktu ke waktu.

Namun, dengan runtuhnya sistem tersebut melalui Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, maka hubungan mata uang antar negara anggota tidaklah linier. Hal itulah yang mendasari negara-negara di Eropa akhirnya memiliki kesepakatan untuk mengkaitkan mata uang mereka satu sama lain, melalui apa yang disebut dengan Snake in the Tunnel. Bahkan, diantara negara Belgia, Belanda, dan Luxemburg, kesempatan itu lebih sempit lagi sehingga muncul istilah worm atau cacing di antara mereka dan Snake di antara anggota komunitas yang lebih besar.

Sistem tersebut terus berlangsung sampai tahun 1979, yakni pada saat sistem tersebut diformalisasikan secara lebih sistematis melalui terbentuknya EMS, dan ERM merupakan tulang punggung dari sistem tersebut. Perkembangan itu terus berlangsung sampai munculnya suatu kesepakatan baru yang lebih ambisius. Kesepakatan baru tersebut disepakati di Belanda pada Bulan Desember Tahun 1991, di suatu kota di ujung selatan negara tersebut yang berbatasan dengan Jerman, Belgia, dan Perancis.

(22)

Oleh karena itu, kesepakatan tersebut diberi nama kota itu, yakni Trakta

Maastricht atau Maastricht Treaty. Kesepakatan tersebut menjadi mengikat

setelah diratifikasi oleh negara-negara anggota pada tahun 1992. Dengan kesepakatan tersebut, hubungan mata uang antar negara anggota akhirnya lebih didekatkan lagi. Untuk itu, negara-negara anggota harus mengadopsi suatu kebijakan yang mendekatkan perekonomian mereka melalui apa yang disebut sebagai kriteria konvergensi. Kriteria tersebut mencakup laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit APBN yang diperlukan, dan rasio utang terhadap PDB yang terjadi di setiap negara.

2.6. Penelitian Empiris Terkait

Penelitian mengenai Asian Currency Unit oleh Ogawa dan Shimizu (2005) membahas empat estimasi pendekatan Asian Monetary Unit (AMU). Pendekatan tersebut berdasarkan variabel trade volume intra kawasan, GDP nominal, GDP-PPP, dan international reverse. Diantara semua itu, variabel pendekatan AMU dengan menggunakan bobot variabel GDP-PPP dan bobot variabel trade lebih tepat dari sudut pandang stabilitas AMU. Dari indikator divergen yang dihitung, hanya Dollar Singapura dan Dollar Brunei yang mengalami deviasi sebesar 2.5 persen dari benchmark rates. Selebihnya, sebagian besar mata uang negara ASEAN+3 (Cina, Jepang, dan Korea) mengalami deviasi lebih dari tiga puluh persen pada periode Noverber tahun 2004 dengan menggunakan benchmark harga dasar tahun 2001. Penelitian ini tidak hanya melakukan penghitungan secara nominal, melainkan juga secara penghitungan riil.

Setelah memahami penelitian yang dilakukan oleh Ogawa dan Shimizu di atas, Baharumshah et al. (2005) mengkonstruksi Regional Monetary Unit (RMU) ASEAN-5 +3 (Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Cina, Jepang, dan Korea) untuk dibandingkan dengan penelitian Ogawa dan Shimizu (2005) yang mengkonstruksi RMU berdasarkan tiga belas negara ASEAN+3 (Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, Cina, Jepang, dan Korea). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah delapan negara (ASEAN-5 +3) mempunyai potensi untuk bekerjasama dalam membentuk International trade dan economic cooperation untuk

(23)

memfasilitasi pembentuk Asean Monetary Union (AMU). Landasan pokok delapan negara saja yang dilibatkan dalam penelitiannya adalah karena lima negara lainnya seperti Brunei Darussalam, Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Laos (i) data makroekonomi yang dibutuhkan dalam rentang lima belas tahun kebelakang tidak tersedia dengan baik, (ii) Sebagian dari negara tersebut sedang mengalami transisi ekonomi, (iii) biaya untuk memperoleh data-data makroekonomi yang diperlukan akan membutuhkan biaya yang besar. Kesimpulan dari penelitian ini tidak menemukan perbedaan signifikan antara RMU ASEAN+3 dan RMU ASEAN-5 +3.

Melalui pendekatan yang berbeda, Moon dan Rhee (2007) membahas pembentukan Regional Currency Unit untuk ASEAN-5 +3 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Cina, Jepang, dan Korea). Penentuan Variabel Ekonomi yang digunakan adalah GDP-PPP, GDP Nominal, Intra Trade, dan CMI-Swap dengan rentang waktu data penelitian dari tahun 2000-2006. Penelitian ini mengeksplorasi penentuan bobot serta fluktuasi nilai tukar dengan menggunakan RCU dan untuk digunakan sebagai referensi integrasi moneter. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa dengan mengestimasi nilai tukar RCU terhadap USD diperoleh dua temuan. Pertama adalah nilai RCU dengan basis penghitungan GDP nominal berfluktuasi paling tinggi dan RCU dengan basis penghitungan GDP-PPP berfluktuasi paling rendah. Kedua adalah dari estimasi pergerakan mata uang setiap negara selama periode waktu 2000-2006, mata uang Won Korea terapresiasi paling tinggi mencapai lima belas persen, sementara mata uang Peso Philipina mengalami depresiasi tertinggi yang melebihi lima belas persen pada periode waktu yang sama.

Sementara itu, Guman dan Palit (2008) mengevaluasi kelayakan penggunaan Asian Currency Unit untuk ASEAN+4 (ditambah Cina, Korea, Jepang, dan India).serta perekonomian negara Australia dan Selandia Baru. Dalam penelitian tersebut, Guman dan Palit menambahkan jumlah observasi penelitian. Penentuan variabel ekonomi yang digunakan adalah variabel GDP nominal, GDP-PPP, dan Ekspor Intra Regional dengan rentang waktu data penelitian 2001-2007. Dari hasil penelitiannya, Guman dan Palit menyimpulkan bahwa seharusnya proposal integrasi ekonomi dan moneter ASEAN+3 yang dibahas dalam beberapa

(24)

waktu terakhir melibatkan perekonomian India, Australia, dan Selandia Baru. Hal tersebut akan berdampak pada besarnya pangsa integrasi finansial di wilayah tersebut terhadap perekonomian dunia. Secara lebih ringkas, penelitian empiris yang terkait dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penelitian Empiris Terkait

Penulis Judul Variabel Ekonomi Observasi Rentang Data

Ogawa dan

Shimizu (2005) A Deviation Measurment for Coordinating Exchange Rate Policies in East Asia 1. GDP nom 2. GDP-PPP 3. Total Trade 4. International Reserve ASEAN+3 2000-2004 Bhaharumshah

et. al. (2006) Toward Greater Financial Stability in The Asia Region

s.d.a. ASEAN-5 +3 2000-2005

Moon dan Rhee

(2007) Regional Currency Unit and Exchange Rate Coordination in East Asia 1. GDP-PPP 2. GDP nom 3. Intra Trade 4. CMI-Swap ASEAN-5 +3 2000-2006

Gupta dan Palit

(2008) Feasibility of an Asian Currency Unit 1. GDP nom 2. GDP-PPP 3. Ekspor Intra Regional ASEAN+4 +Aus dan New Zealand

2001-2007

2.7. Kerangka Pemikiran

Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 mengguncang fundamental ekonomi negara-negara di Asia. Gejolak nilai tukar, merupakan efek penularan (contagion effect) dari krisis yang terjadi di Thailand yang menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang mengkhawatirkan. Kondisi stagflasi dan ketidakstabilan ekonomi melanda perekonomian negara-negara di Asia. Penurunan nilai tukar yang tajam disertai dengan terputusnya aksesibilitas sumber luar negeri karena ketakutan dan ketidakpercayaan investor menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis sebagai akibat tingginya ketergantungan terhadap komoditas barang, jasa, dan modal luar negeri. Para kreditur mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang harus dipenuhinya. Pemutusan hubungan kerja juga sangat mewarnai kegiatan-kegiatan

(25)

ekonomi negara di kawasan Asia. Pada saat yang bersamaan, kenaikkan laju inflasi yang tidak terkendali, seperti Indonesia tergolong tinggi 77.6 % (Bank Indonesia, 2008) dan beberapa negara Asia lainnya serta terjadinya penurunan penghasilan masyarakat akibat merosotnya kegiatan ekonomi masyarakat menjadikan daya beli menurun, hal ini kian menciptakan terjadinya kemiskinan.

Dampak dari krisis ini dirasakan cukup sulit untuk berbagai negara terutama negara yang mengalami pelemahan nilai tukar dan inflasi yang tinggi. Oleh karena itu, kecenderungan proses integrasi dan moneter di suatu kawasan pada dasarnya selain memberikan manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari proses tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau resiko yang mungkin dihadapi apabila tidak terlibat dalam proses tersebut. Menyadari hal tersebut, banyak pengambil kebijakan mencoba untuk menempuh kebijakan liberalisasi perdagangan atau mencapai kesepakatan integrasi ekonomi dengan negara lain, khususnya pada konteks ini adalah ASEAN+3.

Kebijakan maupun kesepakatan integrasi tersebut digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan guna meningkatkan kesejahteraan (welfare state) yang kokoh. Didasari oleh pemikiran tersebut, sekaligus untuk memperkuat daya saing kawasan dalam menghadapi kompetisi global dan regional, negara-negara di kawasan Asia Tenggara tergabung dalam forum ASEAN telah menyepakati untuk meningkatkan proses integrasi di antara negara-negara dalam kawasan tersebut melalui pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan diharapkan dapat diperluas menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN+3.

Berdasarkan pengalaman Eropa, keputusan integrasi ekonomi secara penuh dilandasai oleh kesepakatan trakta Maastricht. Oleh karena itu, dalam penentuan inetgrasi di kawasan ASEAN+3 perlu merujuk apa yang telah dilakukan oleh Eropa. Dalam penelitian ini dikaji bagaimana kesiapan negara-negara di Kawasan ASEAN+3 memenuhi konvergensi Maastricht sebagai upaya integrasi ekonomi secara penuh.

Untuk menuju suatu integrasi moneter yang komperhensif memang tidak semudah yang diharapkan. Eropa melewati perjalan transisi yang sukup panjang

(26)

sebelum akhirnya mampu menjadi sebuah Uni Moneter Regional Eropa. Oleh sebab itu, diperlukan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh kawasan ASEAN+3 antara lain penerapan Regional Currency Unit (RCU) yang pernah dilakukan oleh eropa dengan ECU-nya ketika memberlakukan EMS. Dalam konteks ASEAN+3, penerapan RCU akan diberi nama ACU sesuai dengan nama kawasan Asia. Adapun tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama adalah (i) Kontruksi model ACU, (ii) Kriteria Penentuan Bobot ACU, dan (iii) Penentuan Indikator Divergen.

Setelah model ACU diperoleh dengan menggunakan pendekatan matematis dan deskriptif, selanjutnya adalah menjawab manfaat yang akan dihasilkan apabila kawasan ASEAN+3 menerapkan ACU. Penentuan manfaat dari ACU dilakukan dengan cara melihat bagaimana pergerakan inflasi masing-masing negara ASEAN+3 ketika suatu negara memilih menggunakan mata uang domestik dan nilai tukar ACU. Rangkaian kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.

(27)

Depresiasi Nilai Tukar Inflasi tidak terkendali GDP Rendah Dampak Krisis Bergabung

Membentuk Kesatuan Moneter Regional ASEAN+3 Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN+3

Konstruksi ACU Bobot ACU Mata Uang Domestik

INFLASI

Maastricht Treaty Criteria

OCA

Siap Tidak Siap

Uji Kovergensi Tidak Konvergen

ACU Indikator Divergen Tidak Bergabung Unemployment mennigkat Krisis Ekonomi 1997

Konvergen Mata Uang Tunggal

Kawasan Eropa

ECU

Mata Uang Euro (1999)

European Monetary Unit Background Kesuksesan Eropa Kutub Perekonomian Amerika Kutub Perekonomian Eropa

Keterangan : Latar Belakang Lingkup Penelitian

Gambar

Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi Menurut Griffin dan Pustay
Gambar 2. Pembentukan Asian Currency Unit
Tabel 2. Penelitian Empiris Terkait
Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan di SMAN 10 Bandarlampung ini bertujuan untuk men- deskripsikan pengaruh strategi scaffolding dalam model pembelajaran SiMaYang untuk meningkatkan

Tabel 1 diketahui bahwa pada kelompok dengan kebiasaan tidak bernafas melalui mulut, tingkat maloklusi ringan paling sedikit terjadi pada usia 18 tahun yaitu sebanyak

mulai dari kebiasaan, tatacara, sampai adat. Perilaku tak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial dikarenakan pelanggaran terhadap rambu-rambu

Di dalam suatu penelitian yang diimplementasikan ke dalam suatu kode program dengan menggunakan aplikasi yang terdapat di dalam sistem komputer, berikut ini merupakan

Diagnosis asbestosis dapat ditegakkan dengan adanya riwayat Pajanan asbestos, adanya selang waktu yang sesuai antara Pajanan dengan timbulnya manifestasi klinis, gambaran

Adapun yang keluar sebagai pemenang adalah pasangan Kusdinar Untung Yuni Sukowati – Dedy Endriyatno (pasangan YUDY) yang diusung oleh Partai Gerindra dan PKS,

Ketika proses ‘revitalisasi’ penyelidikan oleh Polri tidak juga menghasilkan sesuatu yang baru dan yang bisa menghidupkan kembali penegakan hukum atas kasus Munir, pada Oktober 2006,