Jurnal Ecosystem Volume 18, Nomor 3, September – Desember 2018
FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK EKONOMI-SOSIAL KEPUTUSAN TEMPORARY MIGRATION SEKTOR PERTANIAN PADA SAAT LEAN SEASONDI KOTA MAKASSAR Oleh
Rizka Jafar1), Ripa Fajarina Laming2), dan Wayrohi Meilvidiri3)
Email:[email protected], [email protected], [email protected]
1)2)
Fakultas Ekonomi, Universitas Bosowa
ABSTRAK
Migrasi temporer di Kota Makassar disebabkan oleh kehidupan di daerah pedesaan yang bergantung pada siklus pertanian. Siklus pertanian yang bergantung pada alam dan musim mengakibatkan terdapat waktu di mana para petani tidak memiliki aktivitas pertanian (lean
season). Pada saat ini, hampir tidak ada aktivitas pertanian sehingga angka kemiskinan dan
tingkat pengangguran musiman pekerja di sektor pertanian akan menjadi tinggi. Petani juga menghadapi kekurangan pendapatan yang diiringi dengan kenaikan harga beras dan komoditas lain, sehingga daya beli rumah tangga petani akan menjadi turun. Dengan demikian, perilaku migrasi pekerja pertanian dari daerah pedesaan ke kota dianggap sebuah tindakan yang dapat memenuhi kebutuhannya serta keluarganya dalam jangka pendek selama lean season. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap faktor penyebab dan dampak ekonomi-sosial keputusan temporary migration sektor pertanian pada saat lean season di Kota Makassar.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis mix methods. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara metode survei. Sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan dengan cara mengkonversi data primer dari respoden dan beberapa instansi terkait yang kemudian diregresi dengan alat bantu aplikasi statistik Amos 21.
Hasil temuan statistik menemukan bahwa secara langsung variabel household condition tidak berpengaruh terhadap migration cost. Variabel agricultural season berpengaruh positif (0.557) signifikan (0.004) pada taraf 1% terhadap migration decision Sedangkan, migration cost tidak memengaruhi keputusan bermigrasi. Keputusan melakukan migrasi temporer pada saat
lean season ini secara jangka panjang menimbulkan dampak sosial dan ekonomi baik di daerah
asal maupun di Kota Makassar.
Kata Kunci: Migrasi Temporer, Lean Season, Kota Makassar I. PENDAHULUAN
Fenomena migrasi temporer merupakan hal yang sangat wajar ditemui di Indonesia begitu pula di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, di mana kehidupan di daerah pedesaan begitu bergantung pada kehidupan siklus pertanian. Perilaku anggota keluarga yang melakukan migrasi dari daerah pedesaan ke kota-kota sekitarnya merupakan sebuah
tindakan untuk dapat memenuhi
kebutuhannya serta upaya yang dilakukan dalam rangka membiayai keluarganya dalam jangka pendek selama lean season. Terdapat dua saat di mana lean season berlangsung; dari pertengahan akhir April hingga awal Juni dan dari akhir bulan Juli sampai awal bulan Oktober. Pada saat ini hampir tidak ada aktivitas pertanian alternatif, sehingga pada
waktu ini angka kemiskinan dan tingkat pengangguran musiman pada pekerja di
sektor pertanian akan menjadi tinggi.
Sedangkan sektor non-agrikultur di daerah pedesaan tidak cukup untuk menyerap
kelebihan pengangguran musiman ini,
sehingga kemungkinan untuk melakukan migrasi temporer sangat mungkin dilakukan pada periode tersebut.
Dari aspek ketersediaan nafkah dan lapangan pekerjaan, desa dianggap sebagai daerah yang tidak menarik. Selain adanya kesenjangan sosial ekonomi antara desa dan kota serta efek urban primacy yang dimiliki
daerah perkotaan menjadi daya tarik
tersendiri bagi migran terhadap keputusan bermigrasi. Para migran lebih memilih untuk
melakukan perpindahan temporer
pilihan-Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
pilihan yang eksis di pedesaan dengan kesempatan yang akan didapatkan di kota. Faktor lain yang menyebabkan pilihan
bermigrasi temporer adalah kurangnya
keterampilan yang dimiliki, pendapatan dari sektor pertanian pada saat normal (di luar
lean season), perbedaan tingkat upah antara
desa-kota, informasi mengenai ketersediaan lapangan kerja di daerah perkotaan pada saat paceklik, keberadaan anggota keluarga/sanak famili di daerah tujuan, dan ketersediaan dana transportasi serta akomodasi lain yang dibutuhkan pelaku migrasi adalah penghalang utama untuk melakukan migrasi permanen (Elkan, 1967; Zug, 2006; Mendola, 2008; Sonchoy, 2015).
Siklus produksi pertanian tradisional ditandai dengan permintan tenaga kerja yang melimpah dalam jangka pendek, diikuti oleh musim panen yaitu ketika pasar kerja melimpah, dan diiringi periode relatif tidak aktif pada musim setelah musim panen dan tanam. Kesempatan kerja di pedesaan bervariasi langsung dengan musim di bidang pertanian. Keadaan perekonomian pedesaan selama siklus panen terdiri atas dua musim:
peak season ditandai dengan pasar tenaga
kerja yang ketat, dan lean season ditandai dengan permintaan tenaga kerja rendah dan tidak pasti.
Pada peak season (yaitu periode tanam-panen), pasar tenaga kerja kompetitif berlaku
dan semua pencari kerja berpotensi
mendapatkan pekerjaan pada tingkat upah pasar tertentu. Asumsi mendasar tentang pasar tenaga kerja pada saat peak season adalah bahwa produktivitas seseorang (fungsi dari asupan nutrisinya yang berarti semakin
baik nutrisi rumah tangga petani
produktivitasnya semakin tinggi, begitupula sebaliknya) dan pasar beroperasi berdasarkan suku bunga (discount factor) yaitu, upah didasarkan pada produktivitas (semakin tinggi produktivitas pekerja, maka semakin tinggi pula pendapatan yang akan diterimanya).
Di lain sisi, lean season merujuk pada
periode relatif tidak adanya aktivitas
pertanian. Selama puncak musim tanam dan panen tenaga kerja di pedesaan sebagian besar akan bekerja, sedangkan pada saat lean
season terjadi kenaikan angka pengangguran
dan setengah pengangguran, menyebabkan pasar tenaga kerja pedesaan mengalami kesulitan. Pasar tenaga kerja pertanian tidak
beroperasi, rata-rata pendapatan keluarga juga biasanya kurang dapat memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga petani. Jika terdapat kemungkinan migrasi, rumah tangga bebas mengalokasikan sumber dayanya pada pasar tenaga kerja pedesaan atau pasar tenaga kerja perkotaan di periode ini. Tetapi, aliran
pendapatan dari pekerjaan di kota
diasumsikan tidak pasti dan mirip dengan pendapatan pedesaan pada saat lean season.
Pada saat lean season, petani yang tidak memiliki lahan akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan karena permintaan tenaga kerja cenderung rendah serta adanya ketidakpastian akan ketersediaan lapangan kerja di daerah asal dan daerah tujuan. Migrasi temporer akan terjadi pada
tenaga kerja sektor pertanian yang
menganggur untuk bekerja terutama di sektor informal setelah musim tanam dan sebelum musim panen. Kemudian pekerja ini akan kembali ke daerah asal mereka sebelum atau mendekati musim panen-tanam berikutnya yaitu ketika permintaan tenaga kerja pertanian melimpah.
Karakteristik migran umumnya adalah laki-laki dan berusia produktif, akan tetapi perempuan umumnya memulai migrasi lebih
cepat pada usia yang lebih muda
dibandingkan laki-laki, keputusan ini diambil karena migran perempuan belum berumah tangga atau ditinggal suami. Migran adalah buruh tani atau petani dengan lahan terbatas dan berasal dari rumah tangga miskin di desa. Sebagian besar migran berpendidikan rendah dan umumnya buta huruf dan memilih bekerja di sektor informal (Deshingkar dan Grimm, 2005). Sebab, sektor ini tidak memerlukan keahlian khusus dan tingkat pendidikan yang tinggi sehinga upah yang mereka peroleh umumnya jauh di bawah upah minimum provinsi dan kondisi kerja yang tidak menyenangkan.
Pada umumnya keputusan migrasi temporer tenaga kerja agraris merupakan respon terhadap tekanan ekonomi, sosial, dan demografi di daerah asal berupa upah dan produktivitas yang rendah serta gejala
under-employment yang parah di sektor pertanian.
Kepemilikan lahan yang terbatas, rendahnya ketersediaan lapangan kerja non pertanian, dan ukuran rumah tangga yang besar mengakibatkan para migran ini berusaha
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
diversifikasi pendapatan di luar pedesaan dan di luar sektor pertanian, seperti sektor pedagangan, konstruksi, industri, dan jasa (Hugo, 1981). Lebih lanjut Sonchoy (2015) mengemukakan rendahnya penghasilan di sektor pertanian, kemiskinan, dan hambatan
sumber daya membuat migran harus
mengerahkan segala sumber daya yang dimilikinya untuk membangun networking atau untuk berinvestasi pada skill yang dibutuhkan di pasar kerja informal di daerah perkotaan.
Pilihan menentukan keputusan
melakukan mobilitas non permanen juga disebabkan oleh faktor yang mengikat seseorang untuk tetap tinggal dan faktor yang mendorong seseorang meninggalkan daerah asal. Para pelaku mobilitas non-permanen (temporary migrants) melakukan perubahan tempat aktivitas kerja di luar wilayah yang biasa ditinggali (bekerja di tempat tujuan), tetapi keluarga mereka umumnya masih tinggal di daerah asal (Oberai, 1987). Dengan kata lain, para migran ini meninggalkan daerah asalnya hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka menganggap tempat tinggal permanen mereka adalah tetap di daerah asal, di mana istri dan anak-anaknya tinggal (Jellinek, 1986 dalam Haryono, 1999). Apabila tidak bekerja/berusaha lagi pada umumnya mereka akan pulang ke daerah asal.
Di sisi yang berbeda, keberadaan
migran temporer secara umum akan
menimbulkan dampak positif dan negatif di daerah asal dan tujuan. Dampak positifnya sesuai dengan tujuan migran yakni semakin meningkatnya pendapatan sehingga dapat
memenuhi kebutuhannnya, tersediannya
lapangan kerja baru, terjadinya transformasi gaya hidup dan sebagainya, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan para migran
adalah semakin meningkatnya jumlah
penduduk, menyempitnya lahan pertanian, munculnya pengangguran dan meningkatnya kriminalitas. Masalah yang demikian ternyata terus berlangsung sampai saat ini di Kota Makassar. Permasalahan ini menjadi sulit diatasi sebab pemerintah setempat tidak memiliki informasi yang cukup mengenai jumlah dan ke mana tujuan para migran temporer. Oleh karena itu, penelitian ini akan melakukan kajian terhadap berbagai masalah yang terkait dengan proses pengambilan keputusan serta dampak ekonomi dan sosial
migran temporer pada saat lean season di Kota Makassar.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian mix
methods model Concurrent Triangulation strategy. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan metode Purposive
Sampling, menggunakan kuesioner dan wawancara. Responden dalam penelitian ini adalah individu yang berkarakteristik sebagai migran temporer sektor pertanian yaitu tenaga kerja yang melakukan commuting dan migrasi sirkuler dalam jangka pendek (kurang dari 8
bulan) di wilayah Kota Makassar.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak berdasarkan profesi migran di 14 kecamatan di Kota Makassar untuk melihat sebaran pendatang temporer.
Data yang dikumpulkan melalui
wawancara dan kuesioner terdiri dari ±34 item pertanyaan yang dikelompokkan ke dalam 4 kategori variabel yaitu: migration
decision (Y2), migration cost (Y1), household
condition (X1), dan agricultural season (X2), selanjutnya diolah ke dalam model persamaan
Simultaneous Equation Model berikut:
(1)
Migration decision (Y2) merupakan
fungsi dari migration cost (Y1) dan
agricultural season (X2). Migration cost (Y1) merupakan fungsi dari household condition (X1).
………… (2)
Persamaan substruktur selanjutnya
di-reduced form pada persamaan Simultaneous Equation Model yang kemudian didistribusikan ke dalam persamaan estimasi untuk model migration decision baru:
(3)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Musim dan Perilaku Pekerja Sektor Pertanian
Migrasi temporer pada saat lean season diketahui merupakan sebuah strategi yang sangat beresiko atau sebuah kegiatan yang agak spekulatif karena adanya ketidakpastiaan prospek kerja di daerah-daerah tujuan
migrasi, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan hilangnya pendapatan
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
tangga migran. Sebab pendapatan ini
digunakan untuk biaya migrasi namun pulang dengan tangan kosong sementara anggota keluarga yang ditinggalkan kelaparan atau tidak dapat memenuhi kebutuhan primernya (Bryan, Chowdhury, dan Mobarak, 2014).
Keberhasilan melakukan migrasi
melibatkan biaya. Selain biaya transportasi, calon migran membutuhkan biaya lain yang beragam baik di tempat tujuan dan tempat asal. Biaya di tempat tujuan meliputi biaya pencarian kerja, biaya untuk mendukung diri sendiri saat dalam pencarian kerja, biaya akomodasi, dan sebagainya. Biaya migrasi dapat bervariasi tergantung pada akses rumah tangga terhadap sumber daya strategis
tertentu (networking). Networking yang
dilakukan oleh para migran ini terutama berasal dari penduduk desa yang sama, di mana penduduk ini biasanya menjalin
komunikasi lewat telpon dengan para
penduduk yang telah melakukan mobilitas temporer dan mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan sebelumnya. Jaringan sosial
seperti ini merupakan strategi untuk
mendapatkan pekerjaan maupun
mengembangkan usaha terutama pada awal beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Sehingga di awal migrasi musiman temporer, jenis pekerjaan bahkan tempat kerja pelaku mobilitas temporer cenderung seragam untuk daerah asal yang sama akibat pola recruitment dari jaringan sosial ini. Para pelaku mobilitas temporer memperoleh pekerjaan melalui kawan, kerabat atau saudara yang telah berada di daerah tujuan sebelumnya sehingga jenis pekerjaan dari daerah asal yang sama cenderung homogen.
B. Kalender Pertanian di Sulawesi Selatan dan Waktu Migrasi di Kota Makassar
Pada saat lean season, keluarga petani pedesaan menghadapi persoalan ekonomi,
kelaparan dan kemiskinan. Masyarakat
pedesaan ini terbagi menjadi dua kelompok yakni: 1) mereka yang memiliki luas lahan terbatas (hasil produksi hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, hasil pertanian tidak diperjual belikan); dan 2) mereka yang tidak memiliki lahan dan bekerja sebagai buruh tani (upah kerja umumnya berupa bagi hasil panen atau dengan upah yang sangat minim berkisar antara Rp 50,000,- hingga Rp 100,000,- per hari untuk
sekali panen/tanam). Karena rendahnya
kesejahteraan petani pada saat ini, maka satu-satunya cara yang paling mungkin dilakukan adalah bermigrasi ke daerah perkotaan dengan tujuan memperoleh kesempatan kerja dan keinginan memperbaiki kesejahteraan keluarga. Waktu bermigrasi ini disesuaikan dengan ada tidaknya aktivitas pertanian. Perbedaan musim panen/tanam ini pun bervariasi tergantung daerah asal migran dan jenis tanaman utama yang menjadi sumber pendapatan keluarga petani.
Waktu puncak migrasi tenaga kerja pertanian ke Kota Makassar berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan adalah pada bulan Januari dan Februari. Pada bulan ini sama sekali tidak ditemukan aktivitas pertanian di daerah asal responden sehingga angka kemiskinan di daerah ini diasumsikan juga sangat tinggi. Berdasarkan kelompok tanaman utama, responden dibedakan menjadi tiga kategori yakni padi, rumput laut, dan
palawija. Hampir semua responden
menyatakan bahwa setelah padi ditanam, lahan tersebut tidak memerlukan penangan khusus, dibiarkan terbengkalai dan hanya sesekali diperiksa hingga musim panen tiba. Sehingga, petani padi mengalami puncak lean
season pada bulan Januari dan Februari. Bagi
petani rumput laut, lean season terjadi pada pada bulan November hingga Februari pada saat musim hujan, sebab pada saat ini kualitas rumput laut menjadi sangat rendah dan kuantitasnya menjadi berkurang, dan harga
jualnya pun merosot sangat tajam.
Sedangkan, petani palawija bermigrasi pada bulan November hingga Februari, April-Mei, dan Agustus-September. Kelompok petani lainnya dianggap tidak representatif untuk menggambarkan pola migrasi temporer, sebab sampel yang ditemui sangat terbatas.
C. Migrasi Temporer Sektor Pertanian pada saat Lean Season di Kota Makassar
Terdapat empat faktor yang
menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: (a) Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal misalnya, tanah yang subur, kekerabatan yang tinggi, adanya variasi pekerjaan non-tani, dan tersedianya fasilitas sosial yang lengkap akan menarik individu untuk tetap tinggal dan menetap di daerah asal. Namun jika yang
terjadi adalah sebaliknya maka akan
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
daerah asalnya. (b) Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan seperti tersedianya variasi lapangan pekerjaan, fasilitas sosial lengkap, harapan mendapat upah tinggi. (c) Rintangan-rintangan antara adalah mengenai
jarak, biaya perjalanan, medan yang
ditempuh, dan lama waktu perjalanan yang ditempuh. Walaupun rintangan antara dalam hal ini jarak selalu ada, tetapi tidak selalu
menjadi faktor penghalang.
Rintangan-rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda pada masing-masing individu. (d) Keinginan melakukan migrasi terutama disebabkan oleh faktor pribadi, sebab pada
akhirnya keputusan seseorang untuk
bermigrasi kembali pada respon seseorang (Lee dalam Munir, 2000).
Klasifikasi migrasi yang lebih jauh dikemukakan dalam penelitian ini adalah migrasi temporal yang melahirkan konsep migrasi; commuting (aktivitas ulang-alik tenaga kerja setiap hari), sirkuler (lebih dari 2 hari dan kurang dari 6 bulan, misalnya pada saat lean season), dan permanen (lebih dari 6 bulan dan tercatat sebagai penduduk di daerah tujuan) (Sumaryanto dan Pasaribu, 1997
dalam Sinuraya dan Saptana, 2012;
Dustmann, dan Weiss, 2007). Dari
pengamatan ditemukan terdapat dua
klasifikasi bahwa migran temporer di Kota Makassar: commuter (ulang-alik atau sekali seminggu); dan migran sirkuler (lebih dari seminggu hingga 8 bulan). Fenomena ini timbul dari kelangkaan lapangan kerja alternatif non-agraris di pedesaan pada saat
lean season karena hampir semua penduduk
pedesaan sangat bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber penghasilan utama mereka.
Terdapat beberapa cara untuk
mengatasi masalah keuangan pada saat ini:
pertama, beberapa pekerja yang memiliki
kelebihan simpanan dari sisa hasil panennya biasanya akan menarik tabungan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kedua, pekerja akan menanam jenis tanaman lain seperti sayuran dan kacang-kacangan yang masa panennya lebih cepat sebagai sumber makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Ketiga, mereka akan meminjam kepada keluarga, kerabat, atau tetangga, akan tetapi bentuk pinjaman ini biasanya bukan berupa uang tetapi bahan
makan seperti beras, beras jagung, dan mie
instan. Pinjaman ini nantinya dapat
dikembalikan dalam bentuk yang sama di kemudian hari atau juga dapat diganti dengan
uang seharga yang sama berdasarkan
kesepakatan bersama. Keempat, meminjam
uang kepada tengkulak dengan cara
menggadaikan atau menjual tanamannya sebelum panen dengan harga saat itu (ijon), karena institusi keuangan hampir tidak bekerja secara efektif di sektor hulu pertanian (masalah ketidakpastian, kepercayaan yang rendah, kredit yang beresiko tinggi, dan banyaknya kredit bermasalah). Akan tetapi, pinjaman ini sangat beresiko sebab tingkat bunga pinjaman relatif sangat besar (dalam beberapa kasus ditemukan besar bunga lebih dari 10% dari pinjaman). Kelima, sebagian kecil pekerja sektor pertanian yang memiliki keluarga yang tinggal di luar pedesaan atau bekerja di sektor lain mendapatkan kiriman bantuan dalam bentuk uang ataupun barang kebutuhan sehari-hari. Dan keenam, pekerja
melakukan migrasi temporer ke Kota
Makassar untuk mencari kerja di sektor informal seperti menjadi buruh kasar harian bangunan, supir, pa’ ogah, pengemudi bentor, dan pedagang untuk mendapatkan tambahan pendapatan yang dapat dikirimkan ke keluarga mereka di daerah asal secara bertahap atau mengumpulkan pendapatan yang diperoleh kemudian kembali pada saat musim panen tiba.
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
Gambar 1. Waktu Bermigrasi dan Upah Buruh Tani Per Panen-Tanam/HariGambar 2. Alasan Bermigrasi, Kepemilikan dan Pengolahan Lahan
Sumber: diolah
Mantra (2000) mengklasifikasikan
mobilitas penduduk yakni; mobilitas
permanen dan mobilitas non-permanen
(temporary/sirculer migration); perbedaannya didasarkan pada ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan atau pergerakan penduduk yang bersifat sementara ke daerah lain dengan intensitas yang tinggi untuk
kembali ke daerah asal. Sedangkan
berdasarkan bentuknya, migrasi
diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi utama yakni: dimensi spasial, temporal, dan sektoral (Rahmi dan Rudiarto, 2013).
Keputusan migrasi temporer adalah mutlak sebagai satu-satunya cara untuk memperoleh pendapatan karena kurangnya lahan pekerjaan dan terjadinya lean season di
daerah asal yang kemudian memaksa
seseorang untuk melakukan mobilisasi ke daerah lain yang dianggap memberikan peluang yang lebih baik. Kondisi ini
tercermin pada Gambar 2 yang
memperlihatkan waktu bermigrasi, upah, alasan bermigrasi, kepemilikan lahan migran, dan pengolahan lahan. Berdasarkan Waktu
bermigrasi sebanyak 51% responden
melakukan migrasi pada saat tidak ada kegiatan pertanian, sedangkan sebanyak 49%
adalah penglaju. Sebagian migran
mengatakan bahwa aktivitas pertanian hanya terjadi pada saat waktu tanam dan panen, di mana pada waktu ini hanya berkisar 4 minggu tanam. Selain waktu tersebut hampir tidak ada
pekerjaan apapun bagi mereka untuk
memperoleh pendapatan.
Terbatasnya kepemilikan lahan di daerah pedesaan mengakibatkan rendahnya pendapatan petani. Rendahnya upah tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan merupakan alasan utama responden melakukan migrasi ke Kota Makassar. Upah pekerja agraris per panen-tanam rata-rata berkisar Rp50,000-Rp100,000 per hari (Gambar 3). Upah ini adalah satu-satunya sumber pendapatan petani selama peak season, bagi buruh tani (73%) pendapatan ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya selama lean
season (beberapa responden hanya dibayar
dengan gabah kering hasil panen). Adapun responden yang memiliki lahan (26%) dalam
penelitian ini merupakan petani yang
memiliki lahan terbatas yang hasil
produksinya hanya untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Pendapatan responden ini berkisar Rp150,000-Rp500,000 per panen.
Jurnal Ecosystem Volume 18, Nomor 3, September – Desember 2018
Gambar 3 Biaya MigrasiSumber: diolah
Berdasarkan alasan migrasi temporer (Gambar 3) ditemukan bahwa sebanyak
57.1% migran melakukan mobilisasi
disebabkan karena tidak ada pekerjaan lain yang ada di daerah asal pada saat lean season, sedangkan 26.2% menyatakan bahwa mereka bermigrasi ke Kota Makassar karena ingin mencari tambahan pendapatan. Kelompok ini adalah mereka yang memiliki lahan pertanian dan mengolah lahannya sendiri, ketika melakukan migrasi lahan tersebut dibiarkan terbengkalai karena mereka mengatakan bahwa setelah dipanen dan ditanam, lahan
tersebut tidak memerlukan penanganan
khusus. Selain itu lahan tersebut biasanya akan diolah sebelum atau sesudah ke dan dari Kota Makassar, atau dikelola oleh keluarga yang menetap di daerah asal. Sebanyak 16.7% melakukan migrasi dengan alasan tidak menerima bantuan dari pemerintah (raskin, bantuan kesehatan, dan pendidikan), tidak memiliki tabungan untuk bertahan pada saat
lean season, dan lainnya (termasuk tidak
memiliki asset sebagai sumber pendapatan dan melakukan sistem ijon pada saat mengalami kesulitan keuangan). Berdasarkan
kepemilikan lahan, responden yang
melakukan migrasi temporer ke Kota
Makassar memiliki persentase yang sama besarnya antara yang memiliki lahan dan tidak memiliki lahan. Kemudian berdasarkan pengolahannya sebanyak 60% responden
adalah buruh tani sedangkan sisanya
mengolah sendiri lahan pertaniannya.
Biaya migrasi ini terdiri dari 3 kategori yakni; biaya transportasi, konsumsi harian, dan biaya mencari kerja di Kota Makassar. Besarnya biaya transportasi bergantung pada lama perjalanan dan jarak tempuh daerah asal pekerja pertanian. Biaya transportasi tertinggi yang harus dikeluarkan untuk bermigrasi berkisar antara Rp350,000,- hingga Rp 1,500,000,- (lama perjalanan lebih dari 1 hari). Biaya ini dikeluarkan oleh respoden yang berasal dari luar Sulawesi seperti dari Palu, Jawa Barat, dan NTT. Sedangkan biaya transportasi terendah adalah responden yang daerah asalnya dari Kab. Maros yakni
Rp10,000, menggunakan sepeda motor
sebagai satu-satunya moda transportasi
bermigrasi, dan lama perjalanan kurang dari 2 jam. Kemudian responden yang berasal dari Kab. Takalar mengeluarkan biaya transportasi berkisar Rp10,000,- hingga Rp50,000,-; migran ini umumnya menggunakan sepeda motor untuk berangkat ke Kota Makassar (jarak tempuh ±30 km; waktu tempuh kurang dari 2 jam). Sedangkan responden dari Kab.
Gowa mengeluarkan biaya transportasi
sebesar Rp10,000,- hingga Rp100,000,-. dengan menggunakan berbagai macam moda transportasi mulai dari sepeda motor hingga truk yang digunakan sebagai modal kerja untuk mengangkut barang dagangannya seperti pasir dan batu bata. Kisaran biaya
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
transportasi responden yang berasal dari Kab. Jeneponto adalah Rp25,000 - Rp80,000 besarnya biaya ini bervariasi tergantung dari jarak tempuh antara Kab. Jeneponto dan Kota Makassar. Semua responden menggunakan mobil sewa sebagai moda transportasi utama mereka untuk bermigrasi. Di samping itu, biaya transportasi masing-masing responden yang berasal dari Kab. Bantaeng yakni Rp50,000,- dan Bone sebesar Rp500,000,- (menggunakan truk sendiri).
Besarnya konsumsi harian responden di Kota Makassar berkisar antara Rp10,000,-hingga Rp125,000,-. Konsumsi harian ini
tergantung dari kemampuan berhemat
responden di daerah tujuan, frekuensi makan per hari (rata-rata 2 kali sehari), dan ada tidaknya konsumsi rokok. Misalnya beberapa responden yang berasal dari Kab. Takalar dan Jeneponto mengonsumsi sebesar Rp10,000,- per hari karena mereka membawa bekal dari daerahnya masing-masing berupa beras dan ikan kering. Sedangkan untuk responden yang merokok umumnya mengeluarkan biaya
tambahan sebesar Rp22,000,- per
bungkus/hari, sehingga konsumsi harian
mereka berkisar Rp50,000,- hingga
Rp80,000,-. Adapun yang pengeluarannya melebihi Rp80,000,-/hari adalah responden yang tidak bermigrasi sendiri.
Selain biaya transportasi dan konsumsi, migran juga harus membawa biaya tambahan yang dipergunakan selama mencari pekerjaan di Kota Makassar. Biaya ini bervariasi
tergantung dari lama menetap, jenis
pekerjaan, dan lama mencari pekerjaan di Kota Makassar. Bagi responden yang kembali ke daerah asalnya ±3 bulan, biaya mencari kerja akan lebih besar. Hal ini ditemukan pada responden yang bekerja sebagai buruh bangunan, supir, dan beberapa pedagang, seperti yang berasal dari Kab. Jeneponto, Bantaeng, dan luar Sulawesi. Kemudian adapun komponen lain yang memengaruhi besarnya biaya ini yakni ada tidaknya tempat
tinggal responden selama bermigrasi.
Ditemukan beberapa responden yang tinggal di barak pekerja tidak mengeluarkan biaya
tempat tinggal, sebaliknya beberapa
responden yang menetap di rumah sewa akan mengeluarkan biaya yang lebih besar. Dari hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa sumber biaya bermigrasi bagi responden penglaju berasal dari tabungan atau pinjaman yang selanjutnya digunakan sebagai modal usaha di Kota Makassar. Penghasilan migran ini kemudian akan digunakan sebagai modal berikutnya ketika ber-commuting dari dan ke Kota Makassar.
Gambar 4 Daerah dan Pekerjaan Migran di Kota Makassar
Sumber: diolah
Daerah tujuan migran di Kota
Makassar sangat bergantung pada lokasi tempat kerja, utamanya daerah di sekitar pasar dan konstruksi bangunan. Hal ini dikarenakan sebagian besar migran yang berasal dari daerah pedesaan sekitar Kota Makassar bekerja sebagai pedagang kaki lima dan buruh harian bangunan tidak tetap,
sedangkan migran yang berasal dari luar Sulawesi memilih bekerja di sektor lain. Daerah utama tujuan migran adalah Kec. Rappocini yang didominasi oleh migran yang berasal dari Kab. Gowa dan Takalar. Mereka umumnya berprofesi sebagai pedagang kaki lima. Daerah ini juga merupakan jalur lalu lintas utama di Kota Makassar serta
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
merupakan daerah perkantoran dan
perdagangan. Di Kec. Tamalanrea dan Biringkanaya juga merupakan salah satu daerah favorit migran, khususnya yang berasal dari Kab. Gowa, Maros, dan Sinjai. Daerah ini merupakan daerah pembangunan pemukiman/perumahan sehingga kebanyakan migran yang berasal dari daerah-daerah tersebut bekerja sebagai buruh kasar, buruh bangunan, serta pedagang pasir dan batu bata.
Daerah tujuan selanjutnya adalah Kec. Ujung Tanah, Panakkukang, Manggala, dan Makassar adalah daerah tujuan migran temporer yang mencari nafkah sebagai buruh bangunan, supir truk, penjual ikan, dan porter pelabuhan peti kemas. Di lain pihak, sebagian besar migran yang berasal dari Jawa bekerja di sektor konstruksi tetapi sebagai tenaga kerja kontrak atau tetap karena mereka memiliki keterampilan yang lebih baik dan memiliki jaringan formal serta informasi yang lebih luas mengenai kondisi lapangan kerja di sektor ini. Hal serupa juga ditemukan pada migran yang berasal dari NTT yang memilih bekerja sebagai supir pete-pete. Mereka
cenderung memilih untuk menetap di Kota Makassar lebih lama tanpa melihat ada tidaknya aktivitas pada saat musim pertanian.
Hasil penelitian atas faktor demografi responden memperlihatkan 86% pelaku migrasi adalah laki-laki dan hanya 14% perempuan. Responden perempuan yang ditemui umumnya ikut bermigrasi dengan suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan dan ikut bekerja untuk menambah penghasilan keluarga serta tetap menjalankan tugasnya dalam menyediakan makanan dan mencuci pakaian bagi kelompok buruh di
tempat kerja. Alasan lain responden
perempuan bermigrasi ke Kota Makassar adalah masalah keluarga (ditinggal suami dan memiliki anak yang menjadi tanggungannya), namun mengalami krisis keuangan pada saat
lean season sebab pendapatannya di sektor
pertanian tidak cukup dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Responden ini hanya bekerja sebagai buruh pertanian yang upahnya berupa gabah kering hasil panen, tidak memiliki aset, dan tidak terampil.
Gambar 5 Demografi Migran Temporer Sektor Pertanian Di Kota Makassar
Sumber: diolah
Para pekerja agraris yang melakukan migrasi berusia antara 21 hingga 52 tahun. Sebanyak 40% migran berusia antara 37-47 tahun dan terdapat 26% berusia 26-36 tahun. Kelompok migran yang berusia 15-25 tahun terdiri atas 19% dan sisanya sebanyak 14% berusia di atas 48 tahun. Di samping itu, berdasarkan daerah asal migran, sebagian besar berasal dari daerah Gowa (14 orang)
dan Takalar (9 orang). Hal ini desebabkan karena Kab. Gowa dan Takalar merupakan daerah tetangga yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar dengan jarak yang
tidak terlalu jauh, sehingga biaya
transportasinya lebih murah. Grafik 5.6 juga memperlihatkan terdapat 8 orang responden yang berasal dari Kab. Jeneponto; 3 orang berasal dari Kab. Bantaeng; 2 orang dari Kab.
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
Sinjai; masing-masing 1 orang yang berasal dari Kab. Maros, Bulukumba dan Bone, dan 3 orang berasal dari luar Sulawesi.
Sekitar 82% responden yang
melakukan perpindahan temporer dari daerah asal ke Kota Makassar memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4-7 orang, dan terdapat 17% yang beranggotakan lebih dari 7 orang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, berarti semakin besar pengeluaran rumah tangga. Dengan demikian, keputusan untuk bermigrasi ke kota menjadi semakin
tinggi. Sisanya 5% responden hanya
beranggotakan 2 orang.
D. Household Condition, Agricultural Season terhadap Migration Decision Melalui Migration Cost Pekerja Sektor Pertanian di Kota Makassar
Hasil temuan statistik menemukan bahwa secara langsung variabel household
condition tidak berpengaruh terhadap
migration cost dengan probability 0.831.
Variabel agricultural season berpengaruh positif (0.557) signifikan (0.004) pada taraf 1% terhadap migration decision atau dengan kata lain, perubahan 1% pada musim pertanian akan menaikkan keputusan pekerja agraris untuk bermigrasi sebesar 55.7%. Hal ini terjadi sebab para pekerja di sektor pertanian akan tetap berada di daerah asal
mereka untuk melakukan aktivitas
panen/tanam. Sedangkan, biaya bermigrasi (biaya transportasi, konsumsi harian per hari, dan biaya mencari kerja) tidak memengaruhi keputusan bermigrasi, karena responden menyatakan tidak adanya lapangan pekerjaan alternatif di pedesaan.
Hasil statistik pengaruh tidak langsung
household condition melalui migration cost
terhadap migration decision ditampilkan dalam Tabel 5.4. Dari tabel tersebut maka terlihat bahwa variabel household condition yaitu jenis tanaman utama, usia, jumlah
anggota keluarga, dan jenis makanan
substitusi memiliki hubungan positif dan berpengaruh signifikan pada taraf 10%. Dari sampel yang ditemui, mayoritas migran temporer berasal dari Kabupaten Gowa dan Takalar, di mana kedua kabupaten ini merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar (jaraknya tidak terlalu jauh dan waktu tempuh relatif singkat), sehingga modal bermigrasi tidak terlalu mahal. Ditemukan juga konsumsi harian
migran laki-laki di Kota Makassar umumnya lebih tinggi akibat konsumsi rokok. Sebagian migran ini juga memilih untuk melakukan
commuting dan berprofesi sebagai pedagang
sehingga ketika mereka tiba di Kota Makassar mereka tidak perlu menunggu atau memiliki koneksi untuk terserap sebagai tenaga kerja.
E. Dampak Migrasi Temporer Sektor Pertanian di Kota Makassar
Efek yang muncul dari migrasi
temporer secara umum dapat berakibat positif dan negatif baik bagi daerah asal maupun tujuan. Dampak positif migrasi terlihat dari perubahan kondisi ekonomi rumah tangga migran di daerah asal karena meningkatnya pendapatan migran di Kota Makassar. Sedangkan efek negatifnya yaitu terjadinya
underdevelopment yakni pertumbuhan daerah
asal melambat oleh karena adanya mobilisasi tenaga kerja terutama sektor pertanian dari daerah asal. Di sisi lain, dampak positif yang diperoleh Kota Makassar sebagai daerah tujuan migrasi yakni terjadinya peningkatan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi karena efek urban primacy yakni dominasi Kota Makassar terhadap daerah di sekitarnya melalui aktivitas dan konsentrasi ekonomi, alokasi sumber daya, pusat pemasaran, pemerintahan, sosial politik. Sedangkan efek
negatif bagi Kota Makassar yaitu
overcrowded population di daerah tertentu
pada saat jam kerja dan masalah sosial lainnya (kemacetan, masalah keamanan, pungli, pemukiman kumuh, dan sanitasi yang rendah). Dampak ini lebih mengarah pada dampak non-ekonomi, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Zimmermann (2014) yang mengemukakan bahwa walaupun aktivitas migrasi temporer didorong oleh motif
ekonomi, akan tetapi dampak yang
timbulkannya lebih banyak bersifat non-ekonomi.
Rendahnya kemampuan daerah asal
untuk menyediakan lapangan pekerjaan
terutama di luar musim pertanian memaksa sebagian besar pekerja sektor pertanian untuk melakukan mobilisasi ke Kota Makassar. Sehingga, terjadi overcrowded di Kota Makassar pada waktu dan daerah tertentu. Hal ini terutama karena pekerja sektor pertanian yang berasal dari daerah Gowa, Takalar, dan Maros mencari pekerjaan lain selain petani dan memilih untuk menjadi penglaju dari daerah asal mereka ke Kota Makassar setiap
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
hari atau bahkan seminggu sekali tanpa melihat ada tidaknya lean season (lihat Gambar 5.1, Grafik 5.3, dan 5.4). Aktivitas ulang-alik ini juga menimbulkan masalah lain bagi Kota Makassar yaitu kemacetan pada saat working hours. Hal ini sejalan dengan konsep mengenai Autochthonous Commuter, yakni penduduk luar kota yang bermigrasi dari dan ke pusat kota karena adanya motif ekonomi, yaitu untuk bekerja. Penduduk ini memutuskan tetap bertempat tinggal pedesaan karena enggan untuk tinggal jauh dari lingkungan keluarga dan faktor budaya (Hugo, 1981).
Dampak selanjutnya adalah masalah antara para migran dan petugas keamanan, di mana para migran yang bekerja sebagai pedagang di Kota Makassar tidak memiliki ijin berdagang serta berjualan di pinggir jalan
atau trotoar dan dianggap melanggar
ketertiban umum terutama kemacetan arus
lalu lintas. Masyarakat migran ini
menimbulkan permasalahan bagi pemerintah kota dalam melakukan penataan kota, sebab keberadaan mereka dianggap mengganggu keindahan dan ketertiban, sehingga kesan
kumuh dan kotor tidak terhindarkan.
Seringkali Satpol PP yang bertugas
mentertibkan jalan agar terlihat lebih rapi dan meminimalisir terjadinya kemacetan jalan terlibat percekcokan dengan para migran. Bahkan untuk sebagian sampel yang ditemui
mengatakan bahwa untuk menghindari
penggusuran dengan Satpol PP mereka berjualan langsung di atas kendaraan pribadi mereka sehingga apabila ada penertiban mereka akan segera berpindah dan kembali lagi pada saat penertiban usai. Dalam kasus lain pada buruh harian pasir dan batu merah di Kacamatan Tamalanrea ditemukan pula para migran harus membayar pungutan liar kepada petugas keamanan agar dagangan mereka tidak ditertibkan dan dapat terus berjualan di lokasi yang sama.
Akibat migrasi temporer lainnya adalah munculnya pemukiman kumuh dan rendahnya sanitasi. Hal ini ditemui pada migran agraris yang berprofesi sebagai buruh bangunan yang menetap di barak kerja yang berlokasi di daerah konstruksi secara berkelompok dengan fasilitas sanitasi yang tidak layak bahkan sangat minim. Lain halnya pada migran yang bekerja sebagai pedagang buah yang menetap selama 5-6 hari di Kota Makassar. Mayoritas
pekerja ini tidak memiliki koneksi di daerah tujuan, akibatnya mereka tidak memiliki
tempat peristirahatan dan akan terus
berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Umumnya mereka menggunakan masjid, pelataran toko/perkantoran, dan pos jaga sebagai tempat beristirahat di malam hari. Kemudian migran yang bekerja sebagai supir truk akan memilih untuk beristirahat di dalam truknya dan menggunakan masjid sebagai tempat untuk mandi, mencuci, dan buang air.
Oleh karena tingginya minat migrasi temporer ke Kota Makassar, maka jumlah tenaga kerja agraris di daerah pedesaan
menjadi berkurang. Para pekerja ini
cenderung memilih bekerja pada sektor informal dan berpergian setiap hari atau seminggu sekali. Lebih jauh, hal ini mengakibatkan kualitas hasil panen menjadi lebih rendah sebab lahan pertanian hanya dikelola pada saat tanam dan panen. Selain waktu tersebut, lahan pertanian dibiarkan terbengkalai tanpa adanya pengelolaan lebih lanjut.
Adapun dampak lain dari migrasi temporer secara ekonomi yang ditemukan adalah meningkatnya pendapatan pedagang makanan dan minuman di Kota Makassar. Sebab migran ini memilih untuk membeli makanan jadi ketika bermobilisasi ke kota dengan alasan lebih praktis dan efisien. Sedangkan dampak migrasi temporer pada angka pengangguran tidak ditemukan, sebab mayoritas migran bekerja sebagai tenaga kerja sektor informal dan umumnya langsung bekerja ketika tiba di Kota Makassar. Hal ini juga berarti tidak akan memengaruhi naik atau turunnya upah minimum dan kurangnya lapangan pekerjaan bagi penduduk asli.
Dampak ekonomi lain yang umumnya ditimbulkan oleh migrasi temporer adalah kemiskinan di daerah tujuan. Akan tetapi hasil penelitian menujukkan bahwa dampak kemiskinan terhadap Kota Makassar tidak terjadi. Sebab sebagian besar migran yang datang ke Kota Makassar langsung bekerja
dan memiliki pendapatan, sehingga
paradigma bahwa migran agraris merupakan penduduk miskin tidak ditemukan. Walaupun pendatang ini nampak seperti penduduk miskin tetapi dari sisi konsumsi harian migran
melebihi kriteria kemiskinan Bappenas
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
konsumsi migran per hari sebesar Rp50,000,- hingga Rp70,000,- per hari.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Waktu terjadinya lean season di Sulawesi Selatan dan kalender migrasi temporer tenaga kerja agraris ke Kota Makassar terbagi atas 3 kategori berdasarkan
jenis tanaman utama keluarga petani
responden yakni: a) Petani beras, puncak migrasi terjadi pada Bulan Januari-Februari, b) Puncak migrasi petani rumput laut adalah pada saat musim hujan yaitu antara Bulan November hingga Februari, dan c) Migrasi petani palawija terjadi pada bulan November-Februari, April-Mei, dan Agustus-September. Faktor utama pendorong migrasi temporer di Kota Makassar adalah kondisi rumah tangga (jenis tanaman utama, usia, jumlah anggota keluarga, dan jenis makanan pengganti); musim pertanian (waktu panen, pengolahan lahan, dan pengelolaan lahan ketika migrasi);
dan biaya migrasi (biaya perjalanan,
konsumsi harian, biaya mencari kerja). Migrasi temporer pekerja sektor pertanian di Kota Makassar umumnya didominasi oleh autochthonous commuter yang berasal dari Kab. Gowa dan Takalar, berprofesi sebagai pedagang (buah, tape uli, dan ikan), buruh kasar, buruh bangunan, serta pedagang pasir dan batu bata. Sedangkan migran yang berasal dari Kab. Jeneponto bekerja sebagai buruh kasar harian di sektor konstruksi jalan, baik pada saat lean dan no
lean season. Daerah konsentrasi migran
pertanian pada saat lean season di Kota Makassar adalah Kec. Rappocini, Kec. Tamalanrea, Kec. Biringkanaya, dan Kec. Ujung Tanah. Dampak migrasi temporer adalah overcrowded population dan masalah
sosial lainnya (kemacetan, masalah
keamanan, pungli, pemukiman kumuh, dan sanitasi yang rendah).
B. Saran
Pekerja sektor pertanian sebaiknya melakukan diversifikasi jenis tanaman selain tanaman utama (off season vegetable) sehingga petani memiliki pekerjaan alternatif dan tambahan pendapatan pada saat lean
season. Diperlukan koordinasi antara Pemkot
Makassar dan Pemda asal migran berkaitan dengan kontrol migrasi sehingga tenaga kerja
tidak keluar dari daerahnya. Melalui
penyediaan lapangan kerja atau penambahan lahan produktif di daerah asal. Sebaiknya pengawasan dan pendataan mengenai migran temporer yang ada di Kota Makassar dilakukan. Sehingga pola migrasi baik
autochthonous commuter maupun sirkuler
dapat diketahui dan tidak menjadi beban bagi daerah tujuan serta dapat digunakan sebagai acuan membuat dan merencanakan kebijakan pembangunan serta pelayanan publik yang tepat. Perlunya koordinasi antara Dishub dan Polantas Kota Makassar dalam mengatur dan mengantisipasi ruas jalan dan arus kendaraan yang menjadi jalur masuk commuting migran terutama pada saat jam kerja untuk mengurai kemacetan. Pemda Kota Makassar juga
sebaiknya mensosialisasikan dan
mempermudah ijin penggunaan kawasan PKL Center bagi penglaju yang berprofesi sebagai pedagang sehingga masalah kemacetan, keamanan, dan pungli dapat diminimalisir. Di samping itu, penyedia lapangan kerja sektor
konstruksi dan bangunan sebaiknya
menyediakan tempat tinggal yang layak dengan fasilitas air bersih dan sanitasi yang memadai bagi migran temporer.
DAFTAR PUSTAKA
Bryan, Gharad; Shyamal Chowdhury; and
Ahmed Mushfiq Mobarak. 2014.
―Under-Investment in a Profitabel Technology: The Case of Seasonal Migration in Bangladesh.‖ NBER Working Paper no. 20172. Cambridge, MA: National Bureau of Economic Research.
Deshingkar, P. dan Grimm S., 2005. Internal migration and development: a Global perspective. International Organization for Migration, Migration Research Series No.19. Switzerland. Avalaible at: www.odi.org/resurcess/docs/68.pdf. Dustmann, C., dan Weiss, Y., 2007. ―Return
Migration: Theory and Empirical Evidence. Centre for Research and Analysis of Migration‖. Department of
Economics, University College
London. Available at:
http://www.creammigration.org/publ_u ploads/CDP_02_07.pdf. Diakses pada 31 Juli 2018
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
Elkan, Walter. 1967. ―Circular Migration and the Growth of Towns in East Africa.‖ International Labour Review 96, no. 6: 581–89.
Sinuraya, J. F; -, Saptana. 2012. Migrasi Tenaga Kerja Pedesaan Dan Pola
Pemanfaatannya. Soca
(Socio-Economic of Agriculturre and Agribusiness). Available at:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/ar ticle/view/4212. Diakses: 31 Juli 2018. Haryono, Tri Joko S. 1999. Jaringan Sosial
Migran Temporer: Studi Pada Migran
Temporer Asal Desa Kepatihan,
Kecamatan Selogiri, Kabupaten
Wonogiri yang Bermigrasi ke Jakarta. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia. Hugo. G. 1981. Population Mobility in West
Java. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Keban, Yeremias T. 1994. Studi Niat Bermigrasi di Tiga Kota: Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan, Jurnal Prisma No.7 Juli 1994.
Kesuma, Aria. 2015. Pola dan Arus Migrasi
di Indonesia,
http://www.kompasiana.com/ariakesum
a/pola-dan-arus-migrasi-di-indonesia_55c35e10a223bdf9066c9558
. Diakses pada 16 Mei 2017 pukul 15.20.
Khandker, Shahidur R.; Gayatri B. Koolwal;
and Hussain A. Samad. 2009.
Handbook on Impact Evaluation: Quantitative Methods and Practices. Washington, DC: World Bank.
Mantra, Ida Bagus. 2000. Demografi Umum, Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Mendola, Mariapia. 2008. ―Migration and
Technological Change in Rural
Households: Complements or
Substitutes?‖ Journal of Development Economics 85, nos. 1–2: 150–75. Oberai, A.S. 1987. Migration, Urbanisation
and Development in Background
Papers for Training in Population, Human Resources and Development
Planning, Paper No.5. Geneva:
International Labour Office.
R. Munir. 2000. ―Migrasi‖, Dasar-dasar
Demografi edisi 2000. Lembaga
Penerbit UI : Jakarta
Rahmi, Aulisah dan Iwan Rudiarti. 2013. ―Karakteristik Migrasi dan Dampaknya
terhadap Pengembangan Pedesaan
Kecamatan Kedungjati, Kabupaten
Grobogan‖. Jurnal Pembangunan
Wilayah dan Kota Vol 9, No 4 (2013): JPWK Vol 9 No 4 December 2013.
Available at:
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/p wk/issue/view/1284. Diakses pada: 31 Juli 2018.
Shoncoy, Abu S. 2015. Seasonal Migration and Microcredit During Agricultural
Lean Seasons: Evidence from
Northwest Bangladesh. The
Developing Economies 53, no. 1 (March 2015): 1–26.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian
Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Zug, Sebastian. 2006. ―Monga—Seasonal
Food Insecurity in Bangladesh:
Bringing the Information Together.‖ Journal of Social Studies 111. Dhaka:
Centre for Social Studies.
http://bangladesch.org/fileadmin/redakt ion/Bilder/B_Globales_Lernen/B3.2Oe ffentlichkeitsarbeit/Mediathek/Studien/ S_Zug_Article_Monga.pdf.
Jurnal Ecosystem Volume 18 Nomor 3, September - Desember 2018
LAMPIRAN TABELTabel 1 Kalender Pertanian/Migrasi
Tabel 2 Pengaruh Langsung
Estimate S.E. C.R. P
Migration Cost <--- Household Condition .010 .049 .214 .831
Migration Decision <--- Agricultural Season .557 .193 2.889 .004
Migration Decision <--- Migration Cost .062 .516 .119 .905
Tabel 3 Pengaruh Tidak Langsung
Estimate P Keterangan
Pengaruh Tidak Langsung Household
Condition Melalui Migration Cost terhadap Migration Decision
.0006 .0752 Positif Signifikan (taraf
10%) Sumber: diolah Kabupaten Musim Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Kabupaten Kabupaten Musim Tanam Panen Tanam Panen Gowa Keterangan September Oktober Takalar Puncak Migrasi Agricultural Calender Seawed/Migration Schedule
Bantaeng Jeneponto
Januari Februari Puncak Migrasi
Mei Juni Juli Agustus September Oktober Maret April
Keterangan
November Desember Januari Februari
Jawa Barat November Desember Jeneponto Keterangan Flores Bulukumba Bantaeng Maros Sinjai Bone
Agricultural Calender Rice/Migration Schedule
Gowa Takalar
Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
Puncak Migrasi
Puncak Migrasi Puncak Migrasi
Agricultural Calender Palawija/Migration Schedule