• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSEKUSI OLEH JAKSA UNTUK PEMBAYARAN UANG PENGGANTI OLEH TERPIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN TINGGI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSEKUSI OLEH JAKSA UNTUK PEMBAYARAN UANG PENGGANTI OLEH TERPIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN TINGGI BALI"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN TAHUN TERAKHIR

PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

EKSEKUSI OLEH JAKSA UNTUK PEMBAYARAN UANG

PENGGANTI OLEH TERPIDANA KORUPSI DI

KEJAKSAAN TINGGI BALI

Dari ke 1 dari rencana 1 tahun

Ketua/Anggota Tim Dr. I Gede Artha, SH., MH Dr. Ni Nengah Adiyaryani, SH., MH I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH

Dibiayai Oleh DIPA PNBP Universitas Udayana TA – 2018 Sesuai Dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian

Nomor: 2530/UN.14.2.4/PP/2018, Tertanggal 25 Juni 2018

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)
(3)

iii RINGKASAN

Dalam penelitian ini membahas mengenai upaya Kejaksaan dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti kasus tindak pidana korupsi di Kejaksaan Tinggi Bali. Penelitian ini menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya permasalahan dalam penelitian ini. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia khusunya di Bali merupakan suatu permasalahan yang serius. Penelitian ini, menguraikan pula mengenai pembahasan dan permasalahan yang pertama dalam penelitian ini yang terdiri dari 4 ( empat ) bagian yaitu pertama adalah membahas mengenai fungsi Jaksa Penunutut terkait pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi yang meliputi fungsi Jaksa dalam merumuskan dakwaan, fungsi Jaksa dalam merumuskan surat tuntutan Penuntut Umum dalam tindak pidana korupsi, dan fungsi Jaksa Penuntut Umum selaku eksekutor atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Bagian kedua membahas mengenai dasar hukum pelaksanaan proses pengembalian uang pengganti. Bagian ketiga membahas mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian uang pengganti yang meliputi tahap penagihan, tahap pelelangan, tahap pembayaran uang pengganti dan tahapan gugatan perdata. Sedangkan bagian keempat membahas mengenai upaya penyelesaian yang dilakukan pihak Kejaksaan Tinggi Bali dalam hal telah terjadi tunggakan uang pengganti oleh terpidana tindak pidana korupsi. Penelitian ini juga menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua dalam penelitian ini yang terdiri dan 2 (dua) bagian yaitu pertama membahas tentang faktor penghambat yang dihadapi pihak Kejaksaan Tinggi Bali dalam upaya memenuhi pengembalian uang pengganti masuk ke kas Negara. Sedangkan bagian kedua membahas terkait faktor pendukung pihak Kejaksaan Tinggi Bali Guna memaksimalkan kinerjanya dalam pengembalian uang pengganti tindak pidana korupsi dapat masuk ke kas Negara. Bab terakhir merupakan bab penutup yang menguraikan simpulan dari hasil pembahasan yaitu pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti belum dapat berjalan secara optimal sehingga menjadi tunggakan atas pembayaran uang pengganti tersebut. Adapun upaya penyelesaian yang dilakukan pihak Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti yaitu melalui tindakan penagihan secara non litigasi kepada terpidana dan keluarganya maupun secara litigasi yakni melakukan penelusuran terhadap aset - aset yang masih dimiliki oleh terpidana (asset tracing) perampasan terhadap aset - aset yang diketahui merupakan hasil dan tindak nidana, pelaksanaan pidana subsider serta melalui instrument gugatan perdata. Adapun faktor penghambat yang dialami pihak Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali yaitu belum jelasnya aturan secara lengkap dan tegas dalam hal pengembalian uang pengganti, lamanya proses peradilan hingga putusan berkekuatan hukum tetap, adanya kepemilikan identitas ganda serta terpidana yang lebih banyak memilih menjalani pidana subsidair. Pihak Kejaksaan diharapkan gencar melakukan penagihan - penagihan secara berkala kepada terpidana dan keluarganya. Melakukan penelusuran aset terpidana (asset tracing) dengan teknologi yang memadai serta bekerja sama dengan pihak - pihak yang lebih berkompeten. Selain itu Jaksa Penuntut Umum diharapkan dapat menuntut pidana subsidair secara maksimal serta memaksimalkan intrumen gugatan perdata meskipun terpidana telah menjalani pidana subsidair. Adanya pembaharuan atas payung hukum terkait pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti demi mewujudkan hukum yang adil di masyarakat.

(4)

iv PRAKATA

Rasa puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, berkat Kerta Asung Wara Nugraha-Nya, brhasil disusun Laporan Perkembangan Kemajuan Penelitian yang berjudul “Eksekusi Oleh Jaksa Unku Pembayaran Uang Pengganti Oleh Terpidana Korupsi di Kejaksaan Tinggi Bali”.

Adapun penyusunan laporan perkembangan kemajuan penelitian ini adalah sebagai tindak lanjut proposal yang diajukan Tim Peneliti dan mendapat persetujuan. Secara substansial penelitian ini menyangkut usaha jaksa dalam mengeksekusi pembayaran uang pengganti dari terpidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Bali, setelah terpidana diputus hakim agar terpidananya mengembalikan kerugian keuangan negara. Penelitian ini pula bertujuan ikut menopang pencegahan hukum pemberantasan tindak pidana ikorupsi yang ke depan landasan hukumnya berupa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi selalu untuk direvisi sesuai dengan kebutuhan penegakkan hukum.

Kami Tim Peneliti menyadari bahwa penyusunan laporan perkembangan penelitian ini masih belum sempurna, kritik masukan kami terima dari berbagai pihak.

Denpasar, Agustus 2018 Tim Peneliti

(5)

v DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ... i HALAMAN PENGESAHAN ... ii RINGKASAN ... iii PRAKATA ... iv DAFTAR ISI ... v BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 a. Latar Belakang ... 1 b. Perumusan Masalah ... 5

c. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 20

BAB 4 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ... 25

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 44 DAFTAR PUSTAKA

(6)

1 BAB 1

PENDAHULUAN a. Latar Belakang

Negara Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang giat melaksanakan reformasi pembangunan sangat memburuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha - usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat di Indonesia.

Kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali merupakan landasan utama bagi setiap pengambilan kebijakan termasuk kebijakan legislatif untuk terus berupaya meningkatkan taraf hidup masyarakat yang pada dasarnya merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Perlu penjabaran lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar - benar dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktek - praktek pemerintahan yang terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan masyarakat secara luas yang tujuan akhiraya yakni kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat luas dengan berpedoman pada prinsip - prinsip keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur tersebut. yang berkaitan dengan rnanifestasi atas kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan untuk menjamin pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi. Kolusi dan Nepotisme maka dibentuk Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai pengganti Undang - Undang No.3 Tahun 1971. Lahirnya undang - undang ini diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan kesejahteraan rakyat, dengan sebuah penanggulangan terhadap sifat jahat yang terkadung dalam korupsi.

(7)

2 Perkembangan kuantitas korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sementara pemberantasannya masih sangat lamban. Korupsi di Indonesia sudah diibaratkan merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh pemerintahan sejak tahun 1960an, langkah - langkah pemberantasannya pun masih tersendat - sendat sampai sekarang.1 Korupsi juga berkaitan dengan kekuasaan, karena kekuasaan itu penguasa

dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya.2

Dewasa ini Indonesia sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Transparancy International dan Political and Economic Risk Consultancy yang berkedudukan di Hongkong, selalu menempatkan kedudukan yang rawan sepanjang menyangkut korupsi. Bahkan harus diakui bahwa korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak - hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.3 Berdasarkan Ensiklopedia Indonesia, korupsi merupakan gejala dimana para pejabat, badan - badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan pemalsuan. serta ketidakberesan lainnya.4

Semakin meningkatnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) ragam kejahatan pun semakin berkembang. Selam tmdak pidana korupsi di Indonesia berkembang pula tindak pidana pencucian uang atau yang dikenal dengan istilah money laundering. Praktik pencucian uang sering dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari kejahatan korupsi. Praktik pencucian uang (money laundering) adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh

1 Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek

Inlernasional, Mandar Maju, Bandung, h. 1.

2 Ibid

3 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008. Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum

Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.57.

4Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Graflka, Jakarta (Selanjutnya disebut Evi

(8)

3 dari dana atau modal yang sah.5 Pencucian uang kemudian dipergunakan sebagai tameng atas uang hasil kejahatan korupsi tersebut.

Upaya pemberantasan delik pencucian uang dalam perkembangannya tidak saja memberantas hasil dari kejahatan asal seperti narkotika tapi juga korupsi. Praktik pencucian uang dengan korupsi sebagai tindak pidana asal sangat populer di Indonesia. Praktek korupsi telah membawa negara mengalami keterpurukan dalam berbagai segi, diantaranya rendahnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan ini, namun hingga saat ini kejahatan serius yang disebut korupsi yang kemudian diikuti oleh tindak pidana pencucian uang menjadi kejahatan utama yang menjadi prioritas untuk diperangi. Bagaimanapun bentuknya, perbuatan - perbuatan pidana itu bersifat merugikan masyarakat dan anti sosial.6

Penegak hukum yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah penyidik, penuntut umum dan hakim. Hakim merupakan penentu terakhir dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian hakim tidak dapat bertindak aktif diluar konteks perkara yang diajukan ke persidangan oleh penuntut umum (jaksa). Sementara pihak yang aktif dalam melakukan penyidikan dan penuntutan adalah jaksa. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila disebutkan bahwa Kejaksaan menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian juga apabila dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi dan mengalami kegagalan atau belum berhasil, maka Kejaksaan pun akan dianggap gagal atau belum berhasil dalam proses penyelesaian masalah ini.

Hukum dan penegakan hukum merupakan faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan

5 N.H.T Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, h. 7.

(9)

4 hukum yang diharapkan.7 Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis dalam suatu negara hukum karena Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.

Dalam bidang pidana. sebagaimana disebutkan dalam Undang - Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang - undang. Kewenangan dalam ketentuan tersebut sebagaimana diatur misalnya dalam Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang No.20 Tahun 2001 juncto Undang - Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang - Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Setelah terjadinya tindak pidana korupsi dan yang tidak jarang terjadi disusul dengan tindak pidana pencucian uang kemudian muncul suatu permasalahan terkait pengembalian atas kerugian yang diderita negara dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang tersebut. Salah satu cara mengembalikan uang negara yang hilang tersebut adalah dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Dengan cara ini maka akan memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti. Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami.

7Soerjono Soekanto, 1983, Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,

(10)

5 b. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah terumus seperti berikut:

1) Upaya apa yang dilakukan oleh Jaksa bila terpidana korupsi menunggak pembayaran uang pengganti atas putusan hakim yang dijatuhkan?

2) Apa yang menjadi faktor – faktor penghambat bagi Jaksa di Kejaksaan Tinggi Bali dalam mengeksekusi uang pengganti dari terpidana korupsi?

c. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1) Tujuan Penelitian

Adapun penulisan penelitian ini memiliki tujuan pokok yang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

a) Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process ( ilmu sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam panggilannya atas kebenaran di bidang objeknya masing - masing. Terkait penelitian ini yaitu pengembangan keilmuan hukum pidana dalam permasalahan penerapan dan pelaksanaan pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

b) Tujuan Khusus

 Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya penyelesaian yang dilakukan pihak Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam hal telah terjadinya tunggakan uang pengganti oleh terpidana tindak pidana korupsi.

 Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor - faktor apa yang merupakan penghambat dan pendukung oleh Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam upaya memenuhi pengembalian uang pengganti masuk ke kas negara.

(11)

6 2) Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian, erdapat suatu manfaat penelitian. Selain bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga bisa bermanfaat bagi semua pihak dan tentunya mempunyai manfaat yang dianggap positif. Manfaat penelitian dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a) Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini akan bermanfaat bagi para peneliti terkait pengembangan wawasan keilmuan sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberikan masukan yang dianggap berguna dan bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu hukum terkait penerapan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 31 Tahun 1999, serta faktor - faktor penghambat dan pendukung dalam pelaksanaannya demi mengembalikan kerugian keuangan Negara yang diakibatkan akibat tindak pidana korupsi tersebut.

b) Manfaat Praktis

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bukan hanya kepada penulis namun juga dapat bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya Jaksa dan juga bermanfaat bagi kalangan masyarakat serta mahasiswa, khusunya bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mendalami hukum pidana. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat dalam hal mengetahui, memahami serta mengkaji lebih mendalam terkait upaya Kejaksaan dalam hal terjadinya tunggakan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi serta kendala -kendala apa yang timbul dalam pelaksanaannya. Bagi institusi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan hukum pidana khususnya

(12)

7 dalam penerapan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Dalam pelaksanaannya perlu ditinjau kembali oleh Jaksa dimana masih terdapat banyak kendala yang dihadapi dalam proses agar uang pengganti dapat masuk ke kas Negara. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pidana pembayaran uang pengganti yang bisa dijaruhkan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi selain pidana penjara dan pidana denda, demi mengoptimalkan pengembalian kerugian. keuangan Negara yang diakibatkan dari tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(13)

8 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin "corruptio" "corruption" (Inggris) dan "corruptie" (Belanda) arti harafiahnya merujuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur, yang dikaitkan dengan keuangan.8 Dalam Black's Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dari pihak-pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.9

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang yang sebagaimana diubah dalam ketentuan Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 2 dan Pasal 3 mendefmisikan korupsi sebagai berikut:

1) Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Definisi korupsi dalam Kamus lengkap Webster's Third New Internatonal Dictionary adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran

8 Chaerudin, dkk, Op Cit, h. 2 9 Ibid

(14)

9 tugas. Definisi lain korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar peraturan-peraturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.10

Korupsi dapat diartikan memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melalukan tugas karena lalai atau sengaja. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.11

Secara umum korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Selain itu, korupsi dapat didefmisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka12

Gejala korupsi itu muncul menurut Soerjono Soekanto ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum atau norma-norma lainnya.13 Menurut A.S Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and

10Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara)

, Sinar Grafika, Jakarta, h.4

11 Ibid 12 Ibid

13Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan Isu-isu Aktual

(15)

10 accepting of bribes ) serta kebusukan atau keburukan ( decay ).14 David L. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi dan menyangkut bidang kepentingan umum.15

Melihat banyaknya defmisi tentang tindak pidana korupsi, pada hakikatnya korupsi adalah tindakan setiap orang (pejabat publik) yang secara melawan hukum menerima pemberian/penawaran serta penerimaan hadiah untuk menguntungkan diri sendiri dengan cara menyalahgunakan kewenangan dengan tujuan tertentu yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara.

b. Jenis - Jenis Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) macam. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1) Perbuatan yang Merugikan Negara

Perbuatan yang merugikan Negara dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: a) Mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan merugikan negara.

Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal 2 Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenangm kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan.

2) Suap-menyuap

14 Elwi Danil, 2012, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasaanya), PT.Raja

Grafmdo Persada, Jakarta, h.4.

(16)

11 Suap menyuap yaitu suatu tindakan pembenan uang atau menerima uang atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

3) Penyalahgunaan Jabatan

Penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sediri dengan jalan merugikan negara. Hal ini sebagaimana rumusan Pasal 8 Undang -Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi..

4) Pemerasan

Berdasarkan definisi, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

a) Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada masyarakat.

b) Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada pengawai negeri yang lain. Korupsi ini diatur dalam Pasal 12 Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5) Korupsi yang Berhubungan dengan Kecurangan

Yang dimaksud dalam tipe korupsi ini yaitu kecurangan yang dilakukan oleh pemborong, pengawas proyek rekan TNI/Polri yang melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau terhadap keuangan negara atau yang dapat membahayakan keselamatan negara pada saat perang.

6) Korupsi yang Berhubungan dengan Pengadaan

Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah proses

(17)

12 seleksi yang disebut dengan tender. Pada dasarnya tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kopetitif, maka instansi tesebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf I Undang -Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

7) Korupsi yang Berhubungan degan Gratifikasi (Hadiah)

Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai Negeri atau Penyelengara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket, serta fasilitas lainnya.Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi16

c. Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi 2.3.1 Pengertian Uang Pengganti

Dalam perkembangannya, prospek pemberantasan korupsi di Indonesia mulai menemukan rohnya kembali pasca jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998. Kuatnya tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk serius memerangi korupsi direspon oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan. Salah satunya dengan mengeluarkan Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undamg No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

16 Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan

(18)

13 Salah satu persoalan yang mendapat perhatian lebih dalam pemberantasan korupsi adalah bagaimana mengembalikan kerugian negara yang hilang sebagai akibat dilakukannya perbuatan korupsi, baik itu dilakukan oleh perorangan maupun korporasi. Salah satu instrumen hukum pidana yang memungkinkan x penyelamatan uang negara dari perbuatan korupsi adalah dengan memaksimalkan instrumen hukum pidana uang pengganti. Sebagai sebuah sanksi, instrumen hukum ini dianggap lebih rasional untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi, yakni mencegah kerugian negara.

Pidana pembayaran uang pengganti pada dasarnya merupakan suatu hukuman yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain (negara) untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Definisi pidana pembayaran uang pengganti dapat ditarik dari ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantansan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah kedalam Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 yaitu pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak -banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi.

Pidana pembayaran uang pengganti, termasuk pidana tambahan yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(19)

14 d. Dasar Hukum Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama mengatur mengenai pembayaran uang pengganti adalah Peraturan Penguasa Militer Tanggal 9 April 1957 Nomor PRT/PM/06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 5 yang menyatakan "Barang siapa melakukan korupsi dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun, segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas atau diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah sama dengan harga harta benda yang diperoleh dari korupsi." Ketentuan Pasal tersebut menentukan mengenai besarnya uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana korupsi adalah sejumlah sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi. Akan tetapi jika harta benda yang diperoleh 'telah dirampas sama nilainya dengan kerugian negara, maka tidak ada kewajiban terpidana untuk membayar uang pengganti.

Selanjutnya pidana pembayaran uang pengganti ini terdapat dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda. Hal ini diatur dalam Pasal 40 ayat (3) yaitu "Si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi". Pidana membayar uang pengganti ini dijatuhkan disamping pidana perijara dan/atau denda serta perampasan segala harta benda yang diperoleh dari korupsi.

Dalam rangka melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di negara kita telah mengeluarkan 3 (tiga) peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, yaitu Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut mengatur tentang pidana uang pengganti bagi terdakwa kasus korupsi.

(20)

15 Pengaturan pidana uang pengganti dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa pembayaran uang pengganti jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan uang yang dikorupsi. Namun Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tersebut tidak secara tegas menentukan kapan uang pengganti itu harus dibayarkan, dan apa sanksinya bila pembayaran tidak dilakukan. Hanya dalam bagian penjelasan Undang-Undang tersebut disebutkan, apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi, berlakulah ketentuan-ketentuan tentang pembayaran denda. Pada saat itu masalah inilah yang coba diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung pada tahun 1985. Surat Edaran itu mendorong jaksa untuk melakukan gugatan perdata apabila eksekusi atas uang pengganti tidak bisa dilaksanakan karena berbagai hal.

Kelemahan hukum ini telah dikoreksi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undamg No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kedua Undang-Undang tersebut, ketentuan mengenai uang pengganti sudah lebih tegas, yaitu apabila tidak dibayar dalam tempo 1 (satu) bulan, terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke dalam penjara. Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan hakim, yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya.

Dalam ketentuan Pasal 17 jo 18 huruf b Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan "Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksyd dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18". Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 18 disebutkan "Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang

(21)

16 memberikan penekanan khusus mengenai besaran uang pengganti tersebut yakni sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Secara yuridis hal ini harus diartikan kerugian yang dapat dibebankan kepada terpidana adalah kerugian Negara yang besarnya nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja atau lalai yang dilakukan oleh terpidana.

Dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti yang sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dengan melihat ketentuan ini maka apabila dalam hal terpidana tidak mampu untuk membayar pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan kepadanya, jaksa dapat langsung menyita dan kermadian melelang harta benda yang dimiliki oleh tepidana tindak pidana korupsi tersebut.

Dalam Pasal 18 ayat (3) selanjutnya menyatakan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 18 ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Ketentuan terkait pengaturan uang pengganti selain di atur dalam ketentuan Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga saat ini telah diatur

(22)

17 lebih lanjut dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi adalah sebanyak - banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata - mata sejumlah kerugian negara yang diakibatkan. Terkait eksekusi atas uang pengganti itu sendiri selanjutnya dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi menyatakan sebagai.berikut:

1) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terpidana tidak melunasi pembayaran uang pengganti, jaksa wajib melakukan penyitaan terhadap harta benda yang dimiliki oleh terpidana. 2) Jika setelah dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terpidana

tetap tidak melunasi pembayaran uang pengganti, jaksa wajib melelang harta benda tersebut dengan berpedoman pada Pasal 273 ayat (3) KUHAP

3) Pelaksanaan lelang dilakukan selambat - lambatnya 3 bulan setelah dilakukan penyitaan.

4) Sepanjang terpidana belum selesai menjalani pidana penjara pokok, jaksa masih dapat melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta milik terpidana yang ditemukan.

Diadopsinya pidana uang pengganti kedalam sistem hukum pidana yang pada awalnya hanya dikenal dalam instrumen hukum perdata yang pada dasarnya dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang dianut undang - undang korupsi, baik yang lama maupun yang baru, setiap orang memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi. Apalagi ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti sesuai dengan jumlah yang dikorupsinya.

(23)

18 BAB 3

METODE PENELITIAN

Penentuan metode penelitian yang sangat tepat sangat penting dalam sebuah penelitian. Metode merupakan cara untuk melaksanakan pekerjaan, pemilihan metode yang tepat akan mempermudah suatu penelitian.

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris di dahului adanya kesenjangan antara das solen dan das sein. Penejitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis penelitian diantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan untuk mengjdentifikasi hukum yang hidup.17 Kegunaan penelitian hukum empiris rdalah untuk mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk juga proses penegakan hukumnya, karena penelitian jenis ini dapat mengungkapkan pomasalahan - permasalahan yang ada di balik pelaksanaan dan penegakan kstaan yang ada di masyarakat.

b. Sifat Penelitian

Dalam penelitian hukum empiris ini dipergunakan penelitian yang deskriptif Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala yang lain di dalam masyarakat.18 Lebih jelasnya lagi penelitian ini termasuk penelitian

survey deskriptif, yakni penelitian yang semata-mata bermaksud memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan pokok perhatiannya adalah pengukuran

17 Ade Saptomo, 2009, Pokok - Pokok Metodelogi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah

Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, h.42.

18 Amiruddin dan Zainal Asikin. 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

(24)

19 yang cermat dari satu atau lebih variabel terikat dalam suatu kelompok penduduk tertentu atau dalam sampel dari kelompok penduduk tenru.

c. Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum ada 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder.

1) Data Primer

Adalah data yang bersumber dan lapangan baik dari responden ataupun informan, yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Kejaksaan Tinggi daerah Bali dimana Kejaksaan Tinggi Daerah Bali merupakan institusi Kejaksaan yang berkedudukan di Ibukota Propinsi Bali dengan daerah hukum meliputi wilayah Propinsi Bali, yang membawahi 9 (sembilan) Kejaksaan Negeri.

2) Data Sekunder

Adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yakni data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data - data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Bahan hukum diklasifikasikan menjadi 3 (tiga):

a) Bahan Hukum Primer (primary law material) :

 Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP)

 Undang - Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

 Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

(25)

20

 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

 Undang - Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

 Peraturan Mahkamah Agung No.5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

b) Bahan Hukum Sekunder (secondary law material) :

 Buku - buku hukum;

 Hasil - hasil penelitian;

 Pendapat para pakar hukum, karya tulis yang dimuat dalam media massa.

c) Bahan Hukum Tersier (tertiary law material) :

 Kamus Hukum;

 Ensiklopedia.

d) Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh, mengumpulkan dan memahami data yang berkaitan dengan penulisan ini digunakan teknik sebagai berikut:

1) Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

(26)

21 2) Penelitian Lapangan

Metode ini merupakan suatu teknik unruk memperoleh data dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan. Dalam penelitian ini dilakukan pada Kejaksaan Tinggi daerah Bali. Dari penelitian Lapangan ini akan didapat data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik responden maupun informan.

3) Teknik Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai rujuan tertentu.19 Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada pihak Kejaksaan Tinggi Bali terkait upaya yang dilakukan pihak Kejaksaan khusunya jaksa yang membidangi tindak pidana khusus, dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti kasus tindak pidana korupsi. Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka, dialogis, sistematis, masih dimungkinkan adanya variable-variabel pertanyaan disesuaikan dengan situasi dan kondisi ketika wawancara dilakukan.

3.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik non - probabilitas / Non- Random Sampling. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non- random sampling memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk menentukan pengambilan sampelnya. Dalam teknik ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang hams diambil agar

19 Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Huhun, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta,

(27)

22 dapat dianggap mewakili populasinya. Tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Bentuk non- random sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pengambilan sampel dalam 'purposive sampling yaitu Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Dalam penelitian ini penentuan sample akan dilihat berdasarkan data - data putusan kasus tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang kemudian dapat menjabarkan bagaimana upaya yang ditempuh pihak Kejaksaaan Tinggi Daerah Bali dalam hal penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti tersebut.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Adapun teknik pengolahan dan analisis analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis secara deskriptif kualitatif, dengan menggambarkan hasil penelitian yang diperoleh disertai dengan penjelasan dan penginterprestasikan secara logis dan sistematis. Setelah data terkumpul, kemudian disusun secara sistematis yang didasarkan pada upaya Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Tinggi daerah Bali dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi.

(28)

23 BAB 4

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI a. Tata Cara Pelaksanaan Pengembalian Uang Pengganti

Putusan Pengadilan merupakan output dari suatu proses peradilan disidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi- saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti. Suatu putusan diambil setelah proses pembuktian selesai. Putusan pengadilan itu adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau penglepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.20

Dalam ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Hal tersebut juga tercantum dalam ketentuan Pasal 191 KUHAP yang menggolongan tiga macam putusan pengadilan yaitu :

1) Putusan bebas dari segala tuduhan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh karena perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan seperti apa yang didakwakan kepadanya.

2) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh karena perbuatan yang didakwakan kepada seorang terdakwa tersebut terbukti, namun bukan merupakan suatu tindak pidana. 3) Putusan yang mengandung pemidanaan adalah putusan yang

dijatuhkan kepada seorang terdakwa karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya

20 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti,

(29)

24 Dalam putusan pengadilan yang mengandung pemidanaan terkait perkara tindak pidana korupsi tercantum pidana pokok berupa pidana penjara dan pidana denda serta pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dengan bentuk pembayaran uang pengganti. Sebagai esensi penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pidana pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk uang pengganti menjadi tujuan penting dari proses peradilan tersebut.

Pengembalian kerugian keuangan negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi, setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilakukan dengan pembayaran uang pengganti secara langsung atau apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam jangka waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dapat dilakukan penyitaan terhadap harta bendanya kemudian di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut sebagaimana telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi merupakan pidana tambahan selain pidana terhadap terpidananya sendiri dan pidana denda. Berdasarkan Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : B-012/A/Cu.2/01/2013 tertanggal 18 Januari 2013 tentang Kebijakan Akuntansi Dan Pedoman Penyelesaian Atas Piutang Uang Pengganti Kejaksaan RI mendefinisikan bahwa uang pengganti adalah salah satu hukuman pidana tambahan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang harus dibayar oleh terpidana kepada negara yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Uang pengganti terjadi akibat adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) yang dijatuhkan kepada terpidana untuk dibayar/dikembalikan kepada negara, melalui kas negara/kas daerah/BUMN/BUMD atau diganti dengan pidana badan (subsidiair) bila tidak membayar uang pengganti. Adapun tahapan – tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti adalah sebagai berikut.

(30)

25 Tahap Penagihan

Undang - Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang - undang. Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka, dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 1, 2 dan penjelasannya).21

Proses penagihan dan terpidana membayar uang pengganti maka mekanisme pembayaran uang pengganti tersebut berdasarkan keputusan Jaksa Agung No : Kep -518/J.A/l 1/2001 tanggal 1 November 2001, dalam melaksanakan tugas untuk melakukan eksekusi ganti kerugian kepada negara Kejaksaan menerbitkan Surat Tagihan Denda/Uang Pengganti/biaya perkara (D-1), yang nantinya diserahkan kepada terpidana setelah adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Besarnya tagihan uang pengganti yang dibebankan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara sesuai dengan hasil korupsi yang dilakukan, sesuai yang ditentukan oleh putusan hakim pengadilan.

Setelah terbitnya D-l, maka Kejaksaan Negeri mengeluarkan Surat Pernyataan (D-2), yang pada intinya surat tersebut menyatakan kesanggupan atau tidak sanggup dari terpidana untuk membayar denda dan uang pengganti yang jumlahnya telah ditetapkan dalam putusan hakim pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan terbitnya surat ini batas waktu pembayaran sampai dengan 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam menyatakan kesanggupan membayar uang pengganti kerugian keuangan negara, jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan sesuai dengan putusan pengadilan yang memiliki

21 D.Andhi Nirwanto, 2013, Otonomi Daerah versus Desentralisasi Korupsi, Aneka Ilmu,

(31)

26 kekuatan hukum tetap yang mempertimbangkan jumlah kerugian yang dialami oleh negara.

Langkah berikutnya Kejaksaan Negeri akan menerbitkan kembali Tanda Terima Pembayaran Denda/Denda Ganti/Uang Pengganti/Biaya Perkara (D-3), surat ini merupakan sebagai bukti bahwa terpidana telah membayarkan uang pengganti kerugian keuangan negara yang dibayarkan melalui bendahara penerimaan Kejaksaan Negeri yang nantinya akan disetorkan atau dikembalikan kepada instansi yang dirugikan akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana.

Sedangkan proses yang terakhir adalah dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyerahan Denda/Denda Ganti/Uang Pengganti/Biaya Perkara (D-4) yang dimana uang dari terpidana kasus korupsi ini diserahkan kepada Jaksa, yang kemudian akan diserahkan kembali kepada bendahara penerimaan Kejaksaan Negeri. Pembayaran yang dilakukan oleh terpidana kepada Kejaksaan melalui transfer ke nomor rekening resmi Kejaksaan Negeri ataupun dapat dilakukan secara langsung kepada Jaksa Penuntut Umum kemudian diserahkan kepada bendahara penerimaan Kejaksaan Negeri yang nantinya dimasukkan ke dalam rekening resmi dari Kejaksaan Negeri.

Tahap Pelelangan

Sesuai dengan Surat Edaran Nomor B-012/A/Cu.2/01/2013 tanggal 18 Januari 2013 perihal Pedoman Penyelesaian dan Kebijakan akuntansi atas Piutang Negara Uang Pengganti Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atas laporan Keuangan Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2012, untuk mencapai upaya pengembalian keuangan negara dari terpidana, maka jaksa dapat melakukan penyitaan harta terpidana yang selanjutnya dilakukan pelelangan. Ini sesuai dengan Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor:B-779/F/Fjp/l0/2005 tanggal 11 Oktober 2005, tentang Eksekusi Uang Pengganti, angka 2 poin 2.4. dinyatakan bahwa: "dalam hal putusan hakim terhadap uang pengganti didasarkan pada Pasal 18 Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang -Undang No.20 Tahun 2001, dimana secara tegas mencantumkan dalam putusannya bahwa

(32)

27 apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 (satu) bulan atau waktu tertentu agar supaya harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk selanjutnya dilakukan lelang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku guna menutupi pembayaran uang pengganti; apabila terpidananya tidak memiliki harta benda atau harta bendanya tidak mencukupi agar supaya dilakukan eksekusi hukuman badan sesuai putusan hakim, sehingga tidak menjadi tunggakan atas eksekusi hukuman membayar uang pengganti. Dalam hal terpidananya melarikan diri agar aset-aset yang telah dapat disita segera dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan uang hasil lelang disetorkan ke kas Negara dengan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti Dalam hal melakukan penyitaan terhadap harta benda terdakwa hendaknya mengikuti tatacara penyitaan yang diatur dalam penerapan eksekusi pembayaran uang pengganti menurut Fatwa Mahkamah Agung RI Nomor: 37/T4/88/66/Pid tanggal 12 Januari 1988 yang antara lain:

1) Barang - barang terpidana yang masih ada disita untuk kemudian dijual secara lelang guna memenuhi kewajiban pidana pembayaran uang pengganti;

2) Penyitaan hendaknya dikecualikan atas barang - barang yang dipakai sebagai penyanggah mencari nafkah terpidana dan keluarganya;

3) Penyitaan hendaknya menghindari kesalahan penyitaan terhadap barang bukan milik terpidana agar jangan sampai terjadi perlawanan dari pihak ketiga

Dalam hal terpidananya melarikan diri, agar aset - aset yang telah dapat disita segera dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan uang hasil lelang disetorkan ke kas negara dengan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti. Sebelum diserahkan untuk dilakukan lelang dari aset milik terpidana, terlebih dahulu aset itu diserahkan kepada Bagian Pembinaan Kejaksaan Negeri. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan pendataan dan penginvetarisir barang - barang ataupun aset yang akan dilelang nantinya.

Kemudian tahapan yang dilakukan adalah menyerahkan harta/atau aset milik terpidana kepada lembaga yang berwenang untuk melakukan lelang dalam hal ini

(33)

28 termasuk dalam kewenangan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Pada proses lelang ini Jaksa tidak bisa melakukan intervensi atau mencampuri urusan lelang terhadap aset - aset milik terpidana. Karena hal ini sudah menjadi kewenangan mutlak dari KPKNL untuk melakukan lelang terhadap barang/atau aset milik terpidana kasus korupsi.

Terhadap eksekusi penyitaan dan lelang terhadap harta benda milik terdakwa yang dijatuhi pidana uang pengganti sebagai bentuk pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh jaksa tanpa memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat oleh karena penyitaan bukan berkaitan dengan penyidikan namun pelaksaan putusan. Hasil dari penyitaan tersebut kemudian dilelang, lalu hasil lelang tersebut digunakan untuk membayar uang pengganti guna pengembalian kerugian negara. Apabila setelah melakukan penelusuran terhadap harta kekayaan seorang terdakwa, Jaksa kemudian mendapati bahwa apabila dilakukan sita dan lelang terhadap harta terdakwa tersebut tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti yang telah diputus dalam putusan pengadilan, maka terdakwa secara otomatis harus menjalani pidana subsider dari pidana tambahan tersebut. Hal tersebut dikarenakan suatu pidana termasuk juga pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti tidak dapat dipresentasikan. Dengan kata lain, apabila harta seorang terdakwa tidak dapat memenuhi seluruh pidana pengembalian kerugian keuangan negara yang dijatuhkan terhadapnya, sisa uang pengganti yang tidak dapat dibayarkan, tidak dapat digantikan dengan pidana penjara dengan waktu tertentu.

Tahap Pembayaran Uang Pengganti

Setelah uang pengganti yang dibayarkan terpidana sudah masuk dalam rekening resmi dari Kejaksaan Negeri, maka mekanisme yang dilakukan selanjutnya adalah dengan menyerahkan uang pengganti akibat perbuatan terpidana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara kepada instansi yang dirugikan melalui rekening resmi dari kantor instansi tersebut. Penyerahan uang pengganti dari Kejaksaan Negeri kepada instansi yang bersangkutan diserahkan paling lambat waktu pengiriman

(34)

29 uang adalah 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam kepada rekening resmi instansi yang dirugikan terhitung sejak putusan itu dibacakan sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Jaksa Agung No : Kep -518/J.A/l 1/2001 tanggal 1 November 2001.

Dalam hal pihak yang dirugikan akibat korupsi yang dilakukan terpidana bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), maka uang pengganti tersebut dikirimkan kepada Kas Negara melalui rekening resmi bank yang sudah ditentukan sebagai bank rekening kas negara. Apabila yang dirugikan bersumber pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat dikembalikan melalui Bank Pemerintah Daerah (BPD) pada setiap provinsi masing - masing, sedangkan apabila yang dirugikan adalah instansi yang berada di tingkat Kabupaten/Kota maka dapat dikembalikan melalui rekening resmi Pemerintah Kota/atau Pemerintah Kabupaten.

Tahapan Gugatan Perdata

Dalam Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 juga telah mengatur secara jelas konsekuensi apabila salah satu unsur tindak pidana korupsi tidak cukup bukti namun secara nyata merugikan keuangan negara dan konsekuensi apabila seorang terdakwa meninggal dunia saat proses peradilan sedang berjalan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan 38 C.

Pengembalian kerugian keuangan negara berupa uang pengganti dalam undang - undang tindak pidana korupsi melalui jalur perdata sesungguhnya memperlihatkan keseriusan negara untuk mengembalikan aset hasil korupsi. Seorang tersangka atau terdakwa yang telah meninggal sekalipun tetap dimungkinkan dituntut untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang 'dilakukan melalui gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa.

Dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang - Undang No. 16 Tahun 2004 disebutkan " Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara

(35)

30 atau pemerintah". Dengan melihat ketentuan tersebut Jaksa selaku badan pemerintah sekalipun institusi hukum publik, dapat mengupayakan pemulihan kerugian keuangan negara dengan menempuh jalur perdata. Bahasa praktek sebutan wakil negara atau pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Jaksa dalam menggugat aset koraptor diberi sebutan Jaksa Pengacara Negara.22 Dalam proses perdata beban pembuktian

merupakan kewajiban penggugat. Beban pembuktian ada pada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini penggugat berkewajiban membuktikan antara lain :

1) Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara

2) Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa atau terpidana dan

3) Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.23

Tugas Jaksa sebagai Pengacara Negara harus diupayakan seoptimal mungkin agar dapat mengembalikan setiap hak - hak negara kepada negara untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat. Meskipun dalam prakteknya tetap ada hambatan seperti penanganan kasus secara perdata yang memakan waktu serta proses yang panjang. Selain itu juga harus menunggu putusan hakim hingga memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van geveijsde). Hambatan lain juga dapat dilihat secara keilmuan bahwa hukum acara perdata dalam pengajuan gugatan perkara korupsi tunduk pada prosedural hukum acara perdata umum (biasa), dengan mengacu pada asas pembuktian formal sedangkan korupsi memakai pembuktian materiil.

Dalam tindak pidana korupsi khusunya disamping penuntut umum wajib membuktikan kesalahan terdakwa, terdakwa juga dibebani pembuktian dalam hal menerangkan asal - usul perolehan harta kekayaannya. Pada proses pembuktian ini tidak jarang terdakwa akan berusaha mencari dasar pembenar perolehan asal -usul harta

22 Muhammad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di

Indonesia, Penerbit Kompas, Media Nusantara, Jakarta, h. 8.

(36)

31 kekayaannya bukanlah berasal dari tindak pidana korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut dengan "pembuktian terbalik terbatas". Namun demikian penuntut umum tetap harus membuktikan melalui dakwaan berlanjut berimbas pada tuntutan (requisitoir) bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan seperti dakwaan yang telah diformulasikan sebelumnya.

b. Penyelesaian Yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam Hal Telah Terjadinya Tunggakan Uang Pengganti

Penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melib'atkan tingkah laku manusia. Hukum tidak mungkin tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji -janji serta kehendak - kehendak yang tercantum dalam peraturan - peraturan hukum itu.24 Pendapat semacam ini serasi dengan apa yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo yang mengemukakan "penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide - ide menjadi kenyataan, proses perwujudan ide - ide inilah merupakan hakekat dari penegakan hukum"25

Penegakan hukum yang ideal pada dasarnya merupakan tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa dalam penegakan hukum semua hak dan kewajiban terlaksana dan terpenuhi disamping tercapainya tujuan dan proses penegakan hukum, baik itu jangka panjang maupun tujuan kontekstual.

Penegakan hukum merupakan penegakan kebijakan dengan proses yang meliputi antara lain tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang, tahap penerapan hukum pidana oleh badan yang berwenang, yang dapat pula disebut dengan tahap kebijakan yudikatif mulai dari kepolisian hingga pengadilan melalui tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang hingga putusan hakim, dan tahap pelaksanaan pidana atau yang dikenal dengan eksekusi, yang merupakan

24 Satjipto Raharjo,tt, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), BPHN,

Jakarta, h. 11.

(37)

32 pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana pidana, tahap ini dikenal pula dengan tahap kebijakan eksekutif atau administrative, yaitu pemberian pidana secara in concrete.

Tahap terakhir yaitu tahap eksekusi yaitu pemberian pidana secara in concrete mempunyai arti yang sangat penting dalam penegakan hukum, yaitu menegakkan aturan - aturan yang abstrak menjadi penegakan hukum yang konkrit. Ini menunjukan bahwa untuk menegakkan aturan - aturan yang abstrak memang dibutuhkan upaya untuk mengkonkritkannya. Dengan kata lain bahwa hukum yang in abstracto memerlukan proses tertentu untuk menjadikannya hukum yang in concreto.

Eksistensi dari penegakan hukum pidana materil adalah sejauh mana suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, hal ini sangat penting mengingat wibawa dari suatu putusan sebagai akhir dari proses penegakan hukum pidana terletak pada dapat tidaknya isi dari putusan hakim tersebut dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor.

Putusan hakim pada dasarnya mengandung beberapa aspek yuridis baik materil maupun formil. Putusan hakim beraspek materil dalam pengertian bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti adanya sehingga yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Sedangkan putusan hakim yang beraspek formil dalam pengertian adanya suatu kewajiban bagi jaksa selaku eksekutor untuk dapat melaksanakan putusan yang telah ditetapkan oleh hakim (Pengadilan).

Berbicara mengenai proses penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang pengganti yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis di Pengadilan Negeri Denpasar berikut didapat data terkait perkara korupsi dari seluruh Kabupaten dan Kota di Bali yang masuk ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dari tahun 2012 hingga tahun 2015 yakni sebagai berikut:

(38)

33 Berdasarkan data terkait pelaksanaan eksekusi terhadap pidana pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi Kejaksaan Tinggi Ball diatas dapat dilihat bahwa masih terdapat tunggakan uang pengganti semenjak tahun 2012 hingga tahun 2016. Jumlah yang berhasil dieksekusi belum sebanding dengan jumlah kerugian yang dialami negara akibat tindak pidana korupsi tersebut. Dari data tersebut dapat kita lihat pula bahwa jangka waktu dari penagihan oleh pihak Kejaksaan kepada terpidana memerlukan waktu yang cukup lama melebihi tenggang waktu yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 yakni 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak I Wayan Suardi, SH selaku Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali mengatakan bahwa apabila dalam hal pidana pembayaran uang pengganti telah terjadi tunggakan maka langkah pe_nyelesaian yang akan ditempuh antara lain yakni sebagai berikut:

1) Penagihan - penagihan secara khusus ( non - litigasi ) kepada terpidana dan keluarganya. Setelah dilakukan pembayaran oleh terpidana maka selanjutnya diberikan bukti pembayaran yang kemudian dicatat di dalam administrasi perkara bidang perdata dan tata usaha negara, bidang pembinaan dan bidang tindak pidana khusus.

2) Pelacakan aset (asset tracing) terpidana

Asset Tracing adalah suatu teknik yang digunakan oleh investigator atau auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat diidentifikasikan, dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan blocking of customer account (pemblokiran) atau freezing (pembekuan) dan foreclosure (penyitaan) untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dalam hal dilakukan pelacakan aset milik terpidana yang sulit penyelesaiannya maka Kejaksaan

(39)

34 Negeri / Tinggi akan bekerja sama dengan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung RI.

3) Perampasan aset terpidana

Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi).

4) Pengenaan pidana subsider

Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 18 ayat (3) bahwa terpidana yang tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti otomatis akan menjalani pidana penjara yang lamanya telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Hal ini pun diterapkan terhadap terpidana korupsi yang telah menunggak pembayaran atas uang pengganti tersebut.

5) Gugatan Perdata

Apabila secara non litigasi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan maka langkah selanjutnya yang akan ditempuh pihak Kejaksaan adalah dengan melalui gugatan perdata terhadap terpidana dengan dasar gugatan yaitu perbuatan melawan hukum terhadap sejumlah uang pengganti yang belum dibayar. Gugatan secara perdata dapat dilakukan terhadap tunggakan pembayaran uang pengganti meskipun terpidana telah selesai menjalani pidana pokok dan pidana subsider sebagai pengganti pidana pembayaran uang pengganti. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan "bahwa tiada suatu hukuman apapun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraannya". Uang pengganti yang menunggak meskipun telah digantikan dengan pidana subsider sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang - Undang No. 31 Tahun 1991 jo.Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditetapkan sebagai piutang

Referensi

Dokumen terkait

Endang sendiri juga demikian, apabila rumah tersebut laku dijual, uang digunakan untuk memenuhi kewajibannya agar keluarganya tidak akan terbebani nantinya dengan permasalahan

[r]

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada mata kuliah IPA terhadap sikap ilmiah dan hasil belajar mahasiswa jurusan

Analisis proses bisnis pendaftaran menggunakan usulan sistem dilakukan oleh pasien melalui website. Tahap pertama pasien membuat akun terlebih dahulu, apabila pasien

Pada tabel 1 menunjukkan beberapa penelitian berkaitan dengan metode yang digunakan untuk memprediksi hambatan pada kapal cepat.. Penelitian ini akan menganalisis

Independensi, komite audit, kualitas audit, manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap integritas laporan keuangan, sedangkan komisaris independen, kepemilikan manajerial,

Tari Payung yang dimaksudkan dalam topik ini merupakan salah satu bentuk pertunjukan Ronggeng. Pertunjukan Ronggeng ini berasal dari Kabupaten Pasaman Barat, yaitu