• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Kualitas kehidupan bekerja adalah dinamika multidimensional yang. (Lau & Bruce dalam Considine & Callus, 2001).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Kualitas kehidupan bekerja adalah dinamika multidimensional yang. (Lau & Bruce dalam Considine & Callus, 2001)."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kualitas Kehidupan Bekerja

1. Definisi Kualitas Kehidupan Bekerja

Kualitas kehidupan bekerja adalah dinamika multidimensional yang meliputi beberapa konsep seperti jaminan kerja, sistem penghargaan, pelatihan dan karir peluang kemajuan, dan keikutsertaan di dalam pengambilan keputusan (Lau & Bruce dalam Considine & Callus, 2001).

Menurut Lau & May (1998) kualitas kehidupan bekerja didefinisikan sebagai strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Sedangkan Walton (dalam Kossen, 1986) mendefinisikan kualitas kehidupan bekerja sebagai persepsi pekerja terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka.

Jewell & Siegel (1998) mengemukakan bahwa berbagai macam komponen dari kesejahteraan karyawan secara umum yang lebih penting adalah lingkungan kerja yang aman dan sehat, hubungan yang baik dengan supervisor, dukungan dan persahabatan rekan sekerja, kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu, derajat kepuasan dengan situasi kerja dan kesempatan untuk bertumbuh dan pengembangan diri jika diperlukan. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan hasil interaksi individu, pekerjaan, organisasi global dan multidimensi ini adalah kualitas kehidupan kerja.

(2)

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas kehidupan bekerja adalah persepsi pekerja mengenai kesejahteraan, suasana dan pengalaman pekerja di tempat mereka bekerja, yang mengacu kepada bagaimana efektifnya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan pribadi pekerja.

2. Aspek Kualitas Kehidupan Bekerja

Walton (dalam Kossen, 1986) mengatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja adalah persepsi pekerja terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka. Suasana pekerjaan yang dimaksudkan adalah berdasarkan kepada delapan aspek, yaitu:

a). Kompensasi yang mencukupi dan adil

Gaji yang diterima individu dari kerjanya dapat memenuhi standar gaji yang diterima umum, cukup untuk membiayai suatu tingkat hidup yang layak dan mempunyai perbandingan yang sama dengan gaji yang diterima orang lain dalam posisi yang sama.

b). Kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat

Individu tidak ditempatkan kepada keadaan yang dapat membahayakan fisik dan kesehatan mereka, waktu kerja mereka juga sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Begitu juga umur adalah sesuai dengan tugas yang dipertanggungjawabkan kepada mereka.

(3)

Pekerja diberi autonomi, kerja yang mereka lakukan memerlukan berbagai kemahiran, mereka juga diberi tujuan dan perspektif yang diperlukan tentang tugas yang akan mereka lakukan. Pekerja juga diberikan kebebasan bertindak dalam menjalankan tugas yang diberikan dan pekerja juga terlibat dalam membuat perencanaan.

d). Peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan

Suatu pekerjaan dapat memberi sumbangan dalam menetapkan dan mengembangkan kapasitas individu. Kemahiran dan kapasitas individu itu dapat dikembangkan dan dipergunakan dengan sepenuhnya, selanjutnya peningkatan peluang kenaikan pangkat dan promosi dapat diperhatikan serta mendapatkan jaminan terhadap pendapatan.

e). Integrasi sosial dalam organisasi pekerjaan

Individu tidak dilayani dengan sikap curiga, mengutamakan konsep egalitarianism, adanya mobilitas untuk bergerak ke atas, merasa bagian dari suatu tim, mendapat dukungan dari kelompok-kelompok primer dan terdapat rasa hubungan kemasyarakatan serta hubungan antara perseorangan.

f). Hak-hak karyawan

Hak pribadi seorang individu harus dihormati, memberi dukungan kebebasan bersuara dan terwujudnya pelayanan yang adil.

g). Pekerja dan ruang hidup secara keseluruhan

Kerja juga memberikan dampak positif dan negatif terhadap ruang kehidupan seseorang. Selain berperan di lingkungan kerja, individu juga mempunyai

(4)

peranan di luar tempat kerja seperti sebagai seorang suami atau bapak dan ibu atau isteri yang perlu mempunyai waktu untuk bersama keluarga.

h).Tanggung jawab sosial organisasi

Organisasi mempunyai tanggung jawab sosial. Organisasi haruslah mementingkan pengguna dan masyarakat secara keseluruhan semasa menjalankan aktivitasnya. Organisasi yang mengabaikan peranan dan tanggung jawab sosialnya akan menyebabkan pekerja tidak menghargai pekerjaan mereka.

B. Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3)

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Keselamatan kerja merupakan keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. (Suma’mur, 1989) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 dalam (Markkanen, 2004) menerangkan bahwa Undang-undang ini meliput i semua tempat kerja dan menekankan pentingnya upaya atau tindakan pencegahan primer, serta memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.

Menurut Suma’mur (1996), berpendapat bahwa kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan beserta prakteknya yang bertujuan agar para pekerja atau masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan

(5)

setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan serta terhadap penyakit umum.

Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan memberikan ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam Pasal 23, menyebutkan bahwa kesehatan kerja dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik tanpa membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan supaya mereka dapat mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan program perlindungan tenaga kerja.

Melihat beberapa uraian diatas mengenai pengertian keselamatan dan pengertian kesehatan kerja diatas, maka dapat disimpulkan mengenai pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu bentuk usaha atau upaya bagi para pekerja untuk memperoleh jaminan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam melakukan pekerjaan yang mana pekerjaan tersebut dapat mengancam dirinya yang berasal dari individu sendiri dan lingkungan kerjanya.

Pada hakekatnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu keilmuan multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keamanan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga kerja terhadap resiko bahaya dalam melakukan pekerjaan serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan atau pencemaran lingkungan kerja.

Menurut Setyawati & Djati (2008) secara umum terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu (1) tindakan atau perbuatan manusia yang tidak

(6)

memenuhi keselamatan (unsafe human acts) dan (2) keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition).

C. Kelelahan

1. Definisi Kelelahan

Kata kelelahan (fatigue) menunjukkan keadaan yang berbeda–beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur, 1996). Kelelahan merupakan suatu perasaan yang bersifat subjektif. Istilah kelelahan mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Budiono, dkk., 2003). Kelelahan akibat kerja seringkali diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, performansi kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto, 2003).

Menurut Nurmianto (2005), kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statispun (static muscular loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan RSI (Repetition StrainInjuries), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive).

Kelelahan juga merupakan masalah yang dapat menimpa semua tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Penyebab terjadinya kelelahan yaitu intensitas dan lamanya kerja fisik dan mental, iklim kerja, penerangan,

(7)

kebisingan, rasa khawatir, konflik, tanggung jawab, status gizi dan kesehatan. Kelelahan merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga terjadilah pemulihan (Grandjean, 1988).

2. Gejala Kelelahan

Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara subyektif dan obyektif antara lain; (1) Perasaan lesu, ngantuk dan pusing; (2) Kurang mampu berkonsentrasi; (3) Berkurangnya tingkat kewaspadaan; (4) Persepsi yang buruk dan lambat; (5) Berkurangnya gairah untuk bekerja; (6) Menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Budiono, dkk., 2003).

Beberapa gejala tersebut dapat menyebabkan penurunan efisiensi dan efektivitas kerja fisik dan mental. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk kerja (Budiono, dkk., 2003).

Suma’mur (1996) membuat suatu daftar gejala yang ada hubungannya dengan kelelahan yaitu; (1) Perasaan berat di kepala; (2) Menjadi lelah seluruh badan; (3) Kaki merasa berat; (4) Menguap; (5) Merasa kacau pikiran; (6) Menjadi mengantuk; (7) Merasakan beban pada mata; (8) Kaku dan canggung dalam gerakan; (9) Tidak seimbang dalam berdiri; (10) Mau berbaring; (11) Merasa susah berpikir; (12) Lelah bicara; (13) Menjadi gugup; (14) Tidak dapat berkonsentrasi; (15) Tidak dapat mempunyai perhatian terhadap sesuatu; (16) Cenderung untuk lupa; (17) Kurang kepercayaan; (18) Cemas terhadap sesuatu; (19) Tak dapat mengontrol sikap; (20) Tidak dapat tekun dalam pekerjaan; (21)

(8)

Sakit kepala; (22) Kekakuan di bahu; (23) Merasa nyeri di punggung; (24) Merasa pernafasan tertekan; (25) Haus; (26) Suara serak; (27) Merasa pening; (28) Spasme dari kelopak mata; (29) Tremor pada anggota badan; (30) Merasa kurang sehat

Gejala 1-10 menunjukkan pelemahan kegiatan, 11–20 menunjukkan pelemahan motivasi dan 21–30 gambaran kelelahan fisik akibat keadaan umum (Suma’mur, 1996).

3. Jenis Kelelahan

Kelelahan kerja berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur, 1996). Grandjean (1988) mengatakan kelelahan kerja dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a) Kelelahan Otot (Muscular Fatigue)

Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu disebut kelelahan otot secara fisiologi, dan saat gejala yang ditunjukan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik, namun juga pada makin rendahnya gerakan. Pada akhirnya kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti: melemahnya kemampuan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja, sehingga dapat mempengaruhi produktivitas kerjanya. Gejala Kelelahan otot dapat terlihat pada gejala yang tampak dari luar atau external signs.

(9)

b) Kelelahan Umum (General Fatigue)

Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya terasa berat dan merasa “ngantuk”. Kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan dirumah, sebab- sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi.

4. Penyebab Kelelahan

Berdasar penyebab kelelahan, penyebab kelelahan dibedakan atas kelelahan fisiologis, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan (fisik) ditempat kerja, antara lain: kebisingan, suhu dan kelelahan psikologis yang disebabkan oleh faktor psikologis (konflik- konflik mental), monotoni pekerjaan, bekerja karena terpaksa, pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk (Grandjean, 1988).

5. Hubungan Kelelahan Fisik dan Psikis (Mental)

Manusia adalah suatu psiko-somatis, selamanya tidak dapat diadakan pemisahan antara fisik dan psikis. Oleh karena itu, kelelahan yang disebabkan oleh faktor fisik tidak dapat dipisahkan pula dengan kelelahan psikis, dan begitu sebaliknya. Hal-hal yang mungkin terjadi:

(10)

d) Pekerjaan fisik dapat menimbulkan kelelahan fisik, namun dapat juga menimbulkan kelelahan psikis.

e) Pekerjaan psikis dapat menimbulkan kelelahan fisik. f) Kelelahan fisik dapat mengurangi kegiatan psikis dan fisik.

Singkatnya dapat dikatakan bahwa antara fisik dan psikis, serta antara kelelahan fisik dan kelelahan psikis mempunyai hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi (Ahmadi, 2003).

6. Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan

Faktor penyebab kelelahan kerja berkaitan dengan sifat pekerjaan yang monoton (kurang bervariasi), intensitas lamanya pembeban fisik dan mental. Lingkungan kerja misalnya kebisingan, pencahayaan dan cuaca. Faktor psikologis misalnya rasa tanggungjawab dan khawatir yang berlebihan, serta konflik yang kronis atau menahun, status kesehatan dan status gizi.

Menurut Siswanto (1991) faktor penyebab kelelahan kerja berkaitan dengan:

a) Pengorganisasian kerja yang tidak menjamin istirahat dan rekreasi, variasi kerja dan intensitas pembebanan fisik yang tidak serasi dengan pekerjaan. b) Faktor Psikologis, misalnya rasa tanggungjawab dan khawatir yang

berlebihan, serta konflik yang kronis/ menahun.

c) Lingkungan kerja yang tidak menjamin kenyamanan kerja serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan pekerja.

(11)

e) Monoton (pekerjaan atau lingkungan kerja yang membosankan).

Menurut Suma’mur (1996) terdapat lima kelompok sebab kelelahan yaitu: a) Keadaan monoton.

b) Beban dan lamanya pekerjaan baik fisik maupun mental.

c) Keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan. d) Keadaan kejiwaan seperti tanggungjawab, kekhawatiran atau konflik. e) Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kelelahan. Kelelahan merupakan hasil dari berbagai ketegangan yang dialami oleh tubuh manusia sehari-hari. Pada saat mempertahankan kesehatan dan efisiensi, banyaknya istirahat dan pemulihan harus seimbang dengan tingginya ketegangan kerja. Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu berhenti kerja juga dapat memberikan penyegaran.

Menurut Setyawati (dalam Wignjosoebroto, 2003) faktor individu seperti umur juga dapat berpengaruh terhadap waktu reaksi dan perasaan lelah tenaga kerja. Pada umur yang lebih tua terjadi penurunan kekuatan otot, tetapi keadaan ini diimbangi dengan stabilitas emosi yang lebih baik dibanding tenaga kerja yang berumur muda yang dapat berakibat positif dalam melakukan pekerjaan.

7. Mekanisme Kelelahan

Keadaan dan perasaan kelelahan adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu saraf pusat (cortex cerebri), yang dipengaruhi oleh dua sistem

(12)

antagonistic yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat terdapat dalam thalamus yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan kecenderungan untuk tidur. Sistem penggerak terdapat dalam formasio retikularis yang dapat merangsang peralatan dalam tubuh kearah bekerja, berkelahi, melarikan diri dan sebagainya.

Sistem penghambat dan penggerak kelelahan (Suma’mur, 1996). Maka keadaan seseorang pada suatu saat sangat tergantung kepada hasil kerja diantara dua sistem antagonis dimaksud. Apabila sistem penghambat lebih kuat seseorang dalam keadaan lelah. Sebaliknya manakala sistem aktivitas lebih kuat seseorang dalam keadaaan segar untuk bekerja. Konsep ini dapat dipakai menjelaskan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang tidak jelas. Misalnya peristiwa seseorang dalam keadaan lelah, tiba-tiba kelelahan hilang oleh karena terjadi peristiwa yang tidak diduga sebelumnya atau terjadi tegangan emosi. Dalam keadaan ini, sistem penggerak tiba-tiba terangsang dan dapat mengatasi sistem penghambat. Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat dari pada sistem penggerak (Satalaksana, 1979).

Kelelahan yang terus menerus terjadi setiap hari akan berakibat terjadinya kelelahan yang kronis. Perasaan lelah tidak saja terjadi sesudah bekerja pada sore hari, tetapi juga selama bekerja, bahkan kadang-kadang sebelumnya. Perasaan lesu tampak sebagai suatu gejala. Gejala-gejala psikis ditandai dengan perbuatan-perbuatan anti sosial dan perasaan tidak cocok dengan sekitarnya, sering depresi, kurangnya tenaga serta kehilangan inisiatif. Tanda-tanda psikis ini sering disertai

(13)

kelainan-kelainan psikolatis seperti sakit kepala, vertigo, gangguan pencernaan, tidak dapat tidur dan lain-lain.

Kelelahan kronis demikian disebut kelelahan klinis. Hal ini menyebabkan tingkat absentisme akan meningkat terutama mangkir kerja pada waktu jangka pendek disebabkan kebutuhan istirahat lebih banyak atau meningkatnya angka sakit. Kelelahan klinis terutama terjadi pada mereka yang mengalami konflik-konflik mental atau kesulitan-kesulitan psikologis. Sikap negatif terhadap kerja, perasaan terhadap atasan atau lingkungan kerja memungkinkan faktor penting dalam sebab ataupun akibat (Suma’mur, 1996).

Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan saraf pusat, terdapat sistem aktivasi dan inhibisi. Kedua sistem ini saling mengimbangi tetapi kadang-kadang salah satu dari padanya lebih dominan sesuai dengan keperluan. Sistem aktivasi bersifat simpatis, sedangkan inhibisi adalah parasimpatis. Agar tenaga kerja berada dalam keserasian dan keseimbangan, kedua sistem tersebut harus berada pada kondisi yang memberikan stabilitasi kepada tubuh (Suma’mur, 1989).

8. Pengukuran Kelelahan

Grandjean (dalam Tarwaka & Sudiajeng, 2004), sampai saat ini belum ada metode pengukuran kelelahan yang baku karena kelelahan merupakan suatu perasaan subyektif yang sulit diukur dan diperlukan pendekatan secara multidisiplin. Namun demikian diantara sejumlah metode pengukuran terhadap kelelahan yang ada, umumnya terbagi kedalam 6 kelompok yang berbeda, yaitu:

(14)

a) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan

Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Namun demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti; target produksi; faktor sosial; dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas output (kerusakan produk, penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan causal factor (Tarwaka & Sudiajeng, 2004). b) Pengujian Psikomotorik

Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot.

Sanders dan McCormick (dalam Tarwaka & Sudiajeng, 2004) mengatakan bahwa waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik saat suatu stimulasi terjadi. Waktu reaksi terpendek biasanya berkisar antara 150 s/d 200 milidetik. Waktu reaksi tergantung dari stimuli yang dibuat; intensitas dan lamanya perangsangan; umur subjek; dan perbedaan-perbedaan individu lainnya.

(15)

Setyawati (dalam Tarwaka & Sudiajeng, 2004) melaporkan bahwa dalam uji waktu reaksi, ternyata stimuli terhadap cahaya lebih signifikan daripada stimuli suara. Hal tersebut disebabkan karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada stimuli cahaya. Alat ukur waktu reaksi telah dikembangkan di Indonesia biasanya menggunakan nyala lampu dan denting suara sebagai stimuli.

c) Mengukur frekuensi subjektif kelipan mata (Flicker fusion eyes)

Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, disamping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja (Tarwaka & Sudiajeng, 2004).

d) Perasaan kelelahan secara subjektif (Subjektive feelings of fatigue)

Subjective Self Rating Tes dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar pernyataan yang terdiri dari:

1. 10 Pernyataan tentang pelemahan kegiatan: (1) Perasaan berat di kepala

(2) Lelah di seluruh badan (3) Berat di kaki

(4) Menguap (5) Pikiran kacau

(16)

(6) Mengantuk

(7) Ada beban pada mata (8) Gerakan canggung dan kaku (9) Berdiri tidak stabil

(10) Ingin berbaring

2. 10 Pernyataan tentang pelemahan motivasi: (1) Susah berfikir

(2) Lelah untuk bicara (3) Gugup

(4) Tidak berkonsentrasi

(5) Sulit untuk memusatkan perhatian (6) Mudah lupa

(7) Kepercayaan diri berkurang (8) Merasa cemas

(9) Sulit mengontrol sikap (10) Tidak tekun dalam pekerjaan

3. 10 Pernyataan tentang gambaran kelelahan fisik : (1) Sakit dikepala (2) Kaku di bahu (3) Nyeri di punggung (4) Sesak nafas (5) Haus (6) Suara serak

(17)

(7) Merasa pening

(8) Spasme di kelopak mata (9) Tremor pada anggota badan (10) Merasa kurang sehat

e) Pengujian Mental

Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan. Baurdon Wiersma test, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan konsentrasi. Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma tes lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental.

Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kelelahan biasanya terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh karena beberapa faktor, seperti monotoni, kerja otot statis, alat dan sarana kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pemakainya, stasiun kerja yang tidak ergonomik, sikap paksa dan pengaturan waktu kerja-istirahat yang tidak tepat. Sumber kelelahan dapat disimpulkan dari hasil pengujian tersebut.

(18)

D. Shift Work

1. Pengertian Shift Work

Sistem shift merupakan suatu sistem pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan (Muchinsky, 1997). Sistem shift digunakan sebagai suatu cara yang paling mungkin untuk memenuhi tuntutan akan kecenderungan semakin meningkatnya permintaan barang-barang produksi. Sistem ini dipandang akan mampu meningkat produktivitas suatu perusahaan yang mengggunakannya. Menurut Landy (dalam Muchinsky, 1997), jadwal kerja shift adalah adanya pengalihan tugas atau pekerjaan dari satu kelompok karyawan pada kelompok karyawan yang lain. Sedangkan menurut Riggio (1990), mendefinisikan kerja shift sebagai suatu jadwal kerja dimana setiap karyawan secara bergantian datang ke tempat kerja agar kegiatan operasional tetap berjalan.

Gordon dan Henifin (dalam Muchinsky, 1997), mengatakan bahwa kerja shift adalah jadwal kerja yang menggunakan jam kerja yang tidak seperti biasanya, akan tetapi jam kerja tetap dimulai dari pukul 07.00-09.00 pagi. Sedangkan menurut White dan Keith (dalam Riggio, 1990), mendefinisikan shift kerja sebagai jadwal kerja di luar periode antara jam 08.00-16.00. Pigors dan Myers (dalam Aamodt, 1991), mengatakan shift kerja adalah suatu alternatif untuk memperpanjang jam kerja bagi kehadiran karyawan bila itu dibutuhkan untuk meningkatkan hasil produksi.

Pelaksanaan dari shift itu sendiri adalah dengan cara bergantian, yakni karyawan pada periode terntentu bergantian dengan karyawan pada periode

(19)

berikutnya untuk melakukan pekerjaan yang sama. Karyawan yang bekerja pada waktu normal digunakan istilah diurnal, yaitu individu atau karyawan yang selalu aktif pada waktu siang hari atau setiap hari. Sedangkan karyawan yang bekerja pada waktu malam hari digunakan istilah nocturnal, yaitu individu atau karyawan yang bekerja atau aktif pada malam hari dan istirahat pada siang hari (Riggio, 1990).

Kesimpulan dari beberapa definisi di atas adalah, bahwa shift kerja merupakan sistem pengaturan waktu kerja yang memungkinkan karyawan berpindah dari satu waktu ke waktu yang lain setelah periode tertentu, yaitu dengan cara bergantian antara kelompok kerja satu dengan kelompok kerja yang lain sehingga memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan.

2. Penggunaan Jadwal Shift Kerja

Tidak ada keseragaman waktu shift kerja, bermacam-macam perusahaan menggunakan shift yang berbeda. Biasanya dalam sehari dibagi menjadi tiga shift masing-masing selama delapan jam (Muchinsky, 1997), yaitu :

a) Shift pagi pukul 07.00 – 15.00 b) Shift siang pukul 15.00 – 23.00 c) Shift malam pukul 23.00 – 07.00

Duchon (dalam Timpe, 1992), membagi jadwal shift kerja menjadi : a) 8 jam : terdiri dari shift pagi, shift siang dan shift malam

(20)

Duchon (dalam Timpe, 1992) juga menambahkan, bahwa shift kerja tersebut memiliki rotasi, yang merupakan pergantian jadwal kerja antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lainnya. Ada dua bentuk rotasi, yaitu : a) 4 – 4 : yaitu jadwal shift kerja 4 hari kerja dan 4 hari libur.

b) 2 – 3 – 2 : yaitu jadwal shift kerja 2 hari kerja, 3 hari libur dan 2 hari kerja. Jadwal kerja 2 – 3 – 2 ini adalah jadwal shift kerja yang paling sering digunakan oleh pabrik-pabrik atau perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelayanan.

Kesimpulan berdasarkan beberapa uraian di atas, bahwa jadwal shift kerja terdiri dari 8 jam dan 12 jam dalam sehari. Dimana shift kerja 8 jam dibagi menjadi shift pagi, shift siang dan shift malam, sedangkan shift kerja 12 jam dibagi menjadi shift pagi dan shift malam.

3. Alasan Perusahaan Menggunakan Jadwal Shift

Glueck (1982) menyatakan, ada beberapa alasan mengapa suatu organisasi atau perusahaan menggunakan jadwal kerja shift, yaitu:

a) Karena kemajuan teknologi; pada proses industri yang berkesinambungan, seperti pada perusahaan minyak, kimia, dimana mesin-mesin tidak dapat sewaktu-waktu dihentikan tanpa menimbulkan kerugian biaya.

b) Alasan ekonomi; biaya peralatan yang harus dikeluarkan, jika hanya satu shift mungkin terlalu mahal.

c) Permintaan pasar; yaitu terdapat peningkatan permintaan terdapat produk tertentu sehingga dibutuhkan lebih dari satu shift.

(21)

Beberapa jasa juga harus beroperasi selama 24 jam, seperti rumah sakit, pompa bensin, pabrik, pemadam kebakaran dan polisi (Glueck, 1982). Sehingga banyak dari pihak organisasi atau perusahaan mengambil kebijakan untuk memberlakukan kerja shift bagi karyawan-karyawannya.

4. Pengaruh Shift Work

Sistem shift kerja memberikan kemungkinan meningkatnya hasil produksi perusahaan sehubungan dengan permintaan barang-barang produksi yang juga meningkat. Selain berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas perusahaan ternyata sistem shift kerja ini juga membawa dampak yang kurang baik, terutama terhadap kesehatan karyawan baik secara fisik, sosial maupun psikologis. Keluhan psikologis yang dialami karyawan adalah mereka merasa depresi, tidak puas terhadap jam kerja mereka, menjadi cepat marah dan stres (Muchinsky, 1997).

Secara garis besar, Mc.Cormick (dalam Glueck, 1982) mengungkapkan sistem shift kerja akan memberikan pengaruh pada:

a) Karyawan itu sendiri; meliputi kesehatan fisik, hubungan keluarga, partisipasi sosial, sikap keluarga dan sebagainya.

b) Perusahaan; seperti pada produktivtas, absensi, turn over dan sebagainya. Sedangkan menurut Bohle dan Tilley (2002), kerja dengan sistem shift ternyata memberikan dampak terhadap karyawan yanng dapat mempengaruhi :

a) Quality of Life

Shift kerja memiliki dampak terhadap kualitas kehidupan dari individu atau karyawan yang bekerja dengan sistem shift. Hal tersebut berkaitan

(22)

dengan masalah kesehatan, kebiasaan makan, kebiasaan tidur (circadian rhytms), stress, dan juga hubungan interpersonal dalam kehidupan sosial individu.

b) Performance

Dampak shift kerja pada karyawan terlihat dari performance mereka selama melakukan pekerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana tingkat absensi karyawan, kecelakaan kerja yang terjadi dan juga kinerja karyawan.

c) Fatigue

Pada umumnya karyawan yang bekerja dengan sistem shift lebih sering mengeluh mengenai kelelahan dalam bekerja. Hal tersebut merupakan pemicu utama yang dapat menyebabkan karyawan stress dalam bekerja.

Aamodt (1991), melaporkan hasil penelitian dari beberapa survey yang menunjukkan bahwa shift kerja cenderung menimbulkan terganggunya fungsi tubuh, seperti gangguan tidur dan masalah pencernaan. Selain itu shift kerja juga memberikan pengaruh pada karyawan yang berkaitan pada hubungan dengan keluarganya, partisipasi sosial dan kesempatan untuk beraktivitas di waktu luang.

Muchinsky (1997) mengungkapkan, bahwa karyawan yang bekerja dengan sistem shift mengalami banyak masalah psikologis dan penyesuaian sosial. Kebanyakan masalah psikologis dihubungkan dengan gangguan irama sirkulasi, bahwa tubuh telah terprogram untuk mengikuti ritme tertentu. Shift kerja ini mengganggu ritme tidur, makan dan percernaan serta ritme bekerja karyawan, sehingga karyawan sering mengeluh kurang tidur, kurang nafsu makan dan mudah

(23)

marah. Menurut Aamodt (1991), shift kerja memberikan efek lebih pada karyawan laki-laki, sedangkan karyawan wanita cenderung menyesuaikan jadwal mereka pada kebutuhan rumah tangga.

Landy (dalam Muchinsky, 1997), melakukan penelitian dimana terdapat beberapa fakta bahwa pekerja yang sering berpindah-pindah dari satu shift ke shift lainnya mengalami efek-efek kelembanan tergantung dari arah mana mereka mulai bekerja. Meers, Maasen, dan Verhaagen (dalam Muchinsky, 1997), melaporkan bahwa karyawan shift mengalami penurunan kesehatan selama 6 bulan pertama kerja, dan penurunan menjadi semakin berat setelah 4 tahun. Banyak efek-efek psikologis dan sosial kerja shift dikarenakan tidak cocoknya jadwal karyawan dengan jadwal lainnya. Karena ituah, karyawan yang bekerja malam dan tidur pada pagi hari mungkin siap untuk bersosialisasi pada sore hari. Sayangnya, hanya sedikit orang yang ada disekitarnya, dan ketika keluarganya sedang beraktivitas, karyawan pekerja shift menggunakan waktunya untuk tidur dan beristirahat.

Kerja shift memang menimbulkan efek-efek tertentu bagi karyawan, tetapi seberapa jauh efek tersebut muncul ditentukan oleh beberapa faktor (Aamodt, 1991), yaitu:

a) Waktu shift; yaitu pada shift dimana karyawan bekerja, apakah pada shift pagi, siang atau malam. Masing-masing shift mempunyai karakteristik tersendiri yang relatif berbeda satu sama lain. Karakteristik tiap shift yang berbeda ini akan membawa efek yang berbeda pula pada karyawan.

(24)

b) Frekuensi rotasi; berapa sering jadwal tersebut berputar. Semakin sering berpindah shift maka akan semakin banyak masalah yang ditimbulkan. c) Keluarga; pembagian waktu untuk anggota keluarga, bagaimana

menyesuaikan waktu yang dimiliki karyawan dengan waktu yang dimiliki oleh anggota keluarga yang lain.

d) Kemampuan adaptasi ritme tubuh; bagaimana tubuh dapat menyesuaikan atau beradaptasi dengan jadwal kerja shift tersebut. Jika tubuh tdak dapat beradaptasi dengan cepat maka dapat timbul masalah kesehatan pada karyawan.

e) Keunikan kerja shift atau kesempatan untuk bersosialisasi; efek sosial dari kerja shift sebetulnya dapat dikurangi jika suatu daerah banyak organisasi atau perusahaan yang juga memberlakukan kerja shift. Semakin banyak yang menggunakan jadawal kerja shift akan semakin banyak rumah makan, toko-toko, pabrik yang buka pada malam hari, sehingga makin banyak pula individu-individu yang dapat diajak untuk bersosialisasi. Semua yang telah diuraikan di atas adalah efek dari kerja shift terhadap karyawan. Dari uraian dapat diambil kesimpulan, bahwa shift kerja dapat membawa efek-efek fisiologis dan psikologis bagi karyawan. Efek fisiologis yaitu; kemampuan adaptasi ritme tubuh yang dapat menimbulkan masalah kesehatan pada karyawan seperti kurang tidur, kelelahan, kurangnya nafsu makan, dan gangguan pencernaan. Sedangkan efek psikologis yaitu; mudah marah, dan perasaan depresi akibat kurangnya kesempatan karyawan untuk bersosialisasi denga keluarga maupun dengan orang lain.

(25)

E. Perbedaan Kelelahan Antara Shift Pagi Dan Malam

Kata kelelahan (fatigue) menunjukkan keadaan yang berbeda–beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur, 1996). Kelelahan merupakan suatu perasaan yang bersifat subjektif. Istilah kelelahan mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Budiono, dkk., 2003). Menurut Grandjean (1988), kelelahan merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga terjadilah pemulihan.

Grandjean (1988) mengatakan bahwa ada dua jenis kelelahan yaitu: g) Kelelahan Otot (Muscular Fatigue)

Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu disebut kelelahan otot secara fisiologi, dan saat gejala yang ditunjukan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik, namun juga pada makin rendahnya gerakan. Pada akhirnya kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti: melemahnya kemampuan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja, sehingga dapat mempengaruhi produktivitas kerjanya. Gejala Kelelahan otot dapat terlihat pada gejala yang tampak dari luar atau external signs.

h) Kelelahan Umum (General Fatigue)

Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik

(26)

maupun psikis, segalanya terasa berat dan merasa “ngantuk”. Kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan dirumah, sebab- sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi.

Dua jenis kelelahan ini terjadi dikarenakan adanya faktor penyebab dari kelelahan tersebut. Menurut Grandjean (1988), penyebab kelelahan dibedakan atas kelelahan fisiologis, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan (fisik) ditempat kerja, antara lain: kebisingan dan suhu. Sedangkan kelelahan secara psikologis disebabkan oleh faktor psikologis (konflik- konflik mental), monotoni pekerjaan, bekerja karena terpaksa, pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk.

Wicken, et al. (2004) mengatakan bahwa gangguan tidur (sleep distruption) dapat menyebabkan kelelahan, yang antara lain dapat dipengaruhi oleh kekurangan waktu tidur dan gangguan pada circadian rhythms akibat jet lag atau shift kerja. Menurut Nurmianto (2005) kelelahan circadian yang disebabkan oleh irama kerja siang atau malam dapat mengakibatkan fungsi tubuh bervariasi baik pada manusia maupun hewan. Circadian dalam fungsi tubuh menunjukkan peningkatan pada siang hari dan menurun pada malam hari, seperti suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, volume pernafasan, produksi adrenalin, kemampuan mental, ekskresi, dan kapasitas fisik (Grandjean, 1988). Fungsi tubuh yang mengalami gangguan dapat mempengaruhi perasaan seseorang. Aamodt (1991), melaporkan hasil penelitian dari beberapa survey yang menunjukkan bahwa shift kerja cenderung menimbulkan terganggunya fungsi tubuh, seperti gangguan tidur dan masalah pencernaan.

(27)

Sistem shift merupakan suatu sistem pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan (Muchinsky, 1997). Menurut Landy (dalam Muchinsky, 1997), jadwal kerja shift adalah adanya pengalihan tugas atau pekerjaan dari satu kelompok karyawan pada kelompok karyawan yang lain. Pelaksanaan dengan cara bergantian ini, yakni karyawan pada periode terntentu bergantian dengan karyawan pada periode berikutnya untuk melakukan pekerjaan yang sama. Karyawan yang bekerja pada waktu normal digunakan istilah diurnal, yaitu individu atau karyawan yang selalu aktif pada waktu siang hari atau setiap hari. Sedangkan karyawan yang bekerja pada waktu malam hari digunakan istilah nocturnal, yaitu individu atau karyawan yang bekerja atau aktif pada malam hari dan istirahat pada siang hari (Riggio, 1990).

Setiap perusahaan menggunakan macam-macam shift yang berbeda. Duchon (dalam Timpe, 1992), membagi jadwal shift kerja menjadi :

a) 8 jam : terdiri dari shift pagi, shift siang dan shift malam b) 12 jam : terdiri dari shift pagi dan shift malam

Pada perusahaan yang akan diteliti menggunakan dua macam shift kerja, yaitu shift siang dan malam. Sesuai pembagian jadwal shift kerja yang dikemukakan oleh Duchon (dalam Timpe, 1992), shift ini termasuk dalam penggolongan 12 jam kerja.

Menurut Bohle dan Tilley (2002), kerja dengan sistem shift ternyata memberikan dampak terhadap karyawan yang dapat mempengaruhi quality of life, performance, dan fatigue. Jadwal shift yang paling nyata menunjukkan dampak

(28)

ini adalah jadwal shift malam hari. Menurut Grandjean (1988), hal ini terjadi karena bekerja pada malam hari dapat menyebabkan fungsi tubuh mengalami penurunan dan organisme mangalami pemulihan dan pembaharuan energi (trophotropic phase). Sedangkan selama siang hari seluruh organ dan fungsi tubuh siap untuk melakukan aktivitas (ergotropic phase). Hal ini yang menjadi dasar peneliti ingin melihat bagaimana perbedaan kelelahan karyawan yang bekerja pada shift pagi dan malam di perusahaan produksi.

F. Hipotesis

Hipotesis yang ingin dibuktikan kebenarannya melalui penelitian ini adalah “Terdapat perbedaan Kelelahan antara Shift Pagi dan Malam”.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti terlihat pada menu utama diatas terdapat lima button yang dapat digunakan untuk menampilkan halaman-halaman yang lain pada multimedia pembelajaran grafik

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : „‟ Pengaruh

Karena itu perusahaan memerlukan sebuah mekanisme untuk mengelola pengetahuan atau Knowledge Management, sehingga pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat

Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa penurunan nilai pH larutan, atau dikenal dengan sebutan acid- neutralizing capacity (ANC)

Begitu juga dengan tajaman kapak persegi di situs Loyang Mendale yang menujukkan tipe bifasial, sehingga dapat dikatakan bahwa kapak persegi dan belincung di Pulau Weh

Dalam hal ini SIG mempunyai manfaat yang dapat digunakan untuk menganalisis dalam proses penentuan lokasi bandara yang sesuai dengan parameter yang telah ditentukan, yaitu

Segmentasi pasar wisata pada Bukit Mas Cottage & Resto adalah wisatawan domestik yang tinggal di sekitar Kota Bandar Lampung, dengan tujuan untuk refreshing dan liburan menikmati

Untuk semua kriteria, suatu alternatif akan dipertimbangkan memiliki nilai kriteria yang lebih baik ditentukan oleh nilai f dan akumulasi dari nilai ini menentukan nilai