• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Disonansi Kognitif Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Disonansi Kognitif Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

- Landasan Teori.

2.1.1 Teori Disonansi Kognitif

Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil sikap-sikap yang tidak bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya. Namun demikian, dalam kenyataannya manusia seringkali terpaksa harus melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya (Agung, 2007: 125). Dasar dari teori disonansi kognitif yaitu bahwa adanya disonansi akan menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, hal ini akan memotivasi seseorang untuk mengurangi disonansi tersebut dan mencapai konsonansi. Arti disonansi adalah adanya suatu inkonsistensi dan perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat penyangkalan dari satu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri inidividu. Disonansi kognitif mengacu pada inkonsistensi dari dua atau lebih sikap-sikap individu, atau inkonsistensi antara perilaku dan sikap. Dalam teori ini, unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa saja yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau perilakunya. Menurut Noviyanti (2008) teori ini mampu membantu untuk meprediksi

(2)

kecenderungan individu dalam merubah sikap dan perilaku dalam rangka untuk mengurangi disonansi yang terjadi.

Teori disonansi kognitif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh interaksi antara skeptisisme profesional auditor dan faktor-faktor yang mempengaruhinya terhadap pemberian opini auditor. Persyaratan profesional auditor memiliki sikap skeptisisme profesional, sehingga dapat mengumpulkan bukti audit yang memadai dan tidak dengan mudah menerima penjelasan dari klien sebagai dasar untuk memberi opini audit yang tepat dalam laporan keuangan.

2.1.2 Theory of Planned Behavior

Menurut Ajzen (1991) Theory Planned of Behavior ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia biasanya akan berperilaku pantas (behave in a sensible manner). Tujuan dan manfaat dari teori ini adalah untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasi perilaku, baik kemauan individu itu sendiri maupun bukan kemauan dari inidividu tersebut.

Pada dasarnya teori ini merupakan fungsi dari tiga dasar determinan. Pertama, terkait dengan sikap dasar seseorang (person in nature) disebut dengan attitude toward the behavior (sikap seorang terhadap perilaku). Contohnya adalah sikap seorang terhadap intuisi, terhadap orang lain, atau terhadap suatu objek. Dalam hal ini, sikap auditor terhadap lingkungan dimana ia bekerja (kantor), terhadap atasannya atau terhadap penjelasan dari

(3)

kliennya, dan tentunya terhadap pemberian opininya atas laporan keuangan. Fungsi dasar determinan yang kedua menggambarkan pengaruh sosial (sosial influence) yang disebut norma subjektif (subjective norm). Persepsi seseorang terhadap perilaku yang bersifat normatif (sesuai dengan norma yang.

2.1.3 Pengertian Auditing

Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan (Arens, 2012:4). Auditor harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan guna mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti itu. Auditor juga harus memiliki sikap mental independen. Kompetensi orang-orang yang melaksanakan audit akan tidak ada nilainya jika mereka tidak independen dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti.

Auditing merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (MulyadI, 2008:11)

(4)

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai informasi tentang kegiatan dan kejadian ekonomi yang bertujuan untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

2.1.4 Pemberian Opini Auditor

Opini auditor merupakan pendapat yang diberikan oleh auditor tentang kewajaran penyajian lapoaran keuangan perusahaan tempat auditor melakukan audit. Ikatan Akuntan Indonesia (2012) menyatakan bahwa: “Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab auditor bersangkutan”.

Auditor menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan auditan, dalam semua hal yang material, yang didasarkan atas kesesuaian penyusunan laporan keuangan tersebut dengan prinsip akuntansi berterima umum (Mulyadi, 2002). Jika auditor tidak dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup atau jika hasil pengujian auditor menunjukkan

(5)

bahwa laporan keuangan yang diauditnya disajikan tidak wajar, maka auditor perlu menerbitkan laporan audit selain laporan yang berisi pendapat wajar tanpa pengecualian.

Terdapat lima pendapat yang mungkin diberikan oleh akuntan publik atas laporan keuangan yang diauditnya (Mulyadi, 2002:34). Pendapat tersebut adalah :

- Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

- Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas (Unqualified Opinion Report with Explanatory Language).

- Pendapat Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinien) - Pendapat tidak Wajar (Adverse Opinion)

- Pernyataan tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion)

1. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi yang berterima umum dalam penyusunan laporan keuangan, konsistensi penerimaan prinsip akuntansi berterima umum tersebut, serta pengungkapan memadai dalam laporan keuangan.

Laporan audit yang berisi pendapat wajar tanpa pengecualian adalah laporan keuangan yang paling dibutuhkan oleh semua pihak, baik oleh klien, pemakai informasi keuangan, maupun oleh auditor. Kata wajar dalam paragraf pendapat mempunyai makna:

(6)

a. Bebas dari keragu-raguan dan ketidakjujuran b. Lengkap informasinya

2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas (Unqualified Opinion Report with Explanatory Language). Jika terdapat hal-hal yang memerlukan bahasa penjelas, namun laporan keuangan menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan klien, auditor dapat menambahkan laporan hasil aduitnya dengan bahasa penjelas. Berbagai penyebab paling penting adanya tambahan bahasa penjelas :

a. Adanya ketidak pastian yang material

b. Adanya keraguan atas kelangsungan hidup perusahaan

c. Auditor setuju dengan penyimpangan terhadap prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

3. Pendapat Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinien)

Auditor memberikan pendapat wajar dengan pengecualian dalam laporan audit, jika auditor menjumpai kondisi-kondisi berikut ini

a. Lingkup audit dibatasi oleh klien

b. Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi penting karena

(7)

kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien maupun auditor.

c. Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.

d. Prinsip akuntansi berterima umum yang digunakan dalam laporan keuangan tidak diterapkan secara konsisten.

4. Pendapat tidak Wajar (Adverse Opinion)

Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsip akuntansi berterima umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan klien. Auditor juga akan memberikan pendapat tidak wajar jika ia tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup untuk mendukung pendapatnya. Jika laporan keuangan diberi pendapat tidak wajar oleh auditor, maka informasi yang terdapat dalam laporan keuangan sama sekali tidak dapat dipercaya dan tidak dapat digunakan oleh pemakai informasi keuangan untuk pengambilan keputusan.

5. Pernyataan tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion)

Jika auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan, maka laporan audit ini disebut dengan laporan tanpa pendapat

(8)

(no opinion report). Kondisi yang menyebabkan auditor menyatakan tidak memberikan pendapat adalah :

1. Pembatasan yang luar biasa sifatnya terhadap lingkungan audit. 2. Auditor tidak independen dalam hubungannya dengan kliennya.

2.1.5 Gender

Kata “gender” berasal dari bahasa inggris “sex” yang berarti “jenis kelamin”. Sedangkan Gender dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 353) berarti jenis kelamin. Istilah gender menurut Dewi (2014) adalah suatu konsep kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam mengelola, mencatat dan mengkomunikasikan hal atau informasi untuk menjadi suatu hasil.

Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminim adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Gender mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan sebagainya (Mosse dalam Anantyo, 2014).

(9)

Hofstede dalam Sasmito (2013) menjelaskan perbedaan karakteristik sifat pria yang maskulin dengan sifat wanita yang feminim dalam lingkungan pekerjaan, yaitu (1) pria memandang bahwa hidup adalah untuk bekerja, sedang wanita memandang bahwa bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, (2) manager pria cenderung curang dan sombong dalam memimpin, sedang manajer wanita lebih banyak menggunakan intuisi dan berusaha mencapai konsesus dalam memimpin, (3) pria lebih menekankan pada pengakuan hak, persaingan sesama rekan keja, dan kinerja, sedangkan wanita lebih menekankan pada persamaan, solidaritas dan kualitas dalam bekerja, (4) dalam memecahkan konflik pria lebih senang bertarung sebagai jalan keluarnya, sedang wanita memecahkan masalah cenderung dengan kompromi dan negosiasi sebagai jalan keluarnya.

Anantyo (2014) menyatakan bahwa perempuan seringkali lebih baik dalam melakukan organisasi dan memiliki motivasi yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan juga terlihat lebih dewasa daripada laki-laki. Satu manifestasi dari hal faktor ini adalah bahwa perempuan memelihara hubungan dengan percakapan dan keterampilan herbal.Sedangkan menurut Sasmito (2013) dalam pengetahuan mengenai masalah keuangan, pria dan wanita

memiliki kecenderungan yang berbeda dalam cara mengelolanya. Pria lebih berani berinvestasi atau. mengembangkan usaha sedangkan wanita cenderung menggunakan uangnya untuk ditabung karena takut terhadap ketidakpastian kondisi ekonomi masa depan. Penelitian lain yang dilakukan

(10)

oleh Salsabila dan Prayudiawan (2011), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan atau kesetaraan komitmen organisasional, komitmen profesional, motivasi dan kesempatan kerja antara auditor pria dan wanita, tetapi untuk kepuasan kerja menunjukkan adanya perbedaan antara auditor pria dan wanita. Artinya antara auditor pria dan wanita memiliki komitmen yang sama dalam melakukan suatu pekerjaan audit tetapi memiliki kepuasan yang berbeda dalam menghasilkan sebuah hasil kerja yang berkualitas. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sujatmoko (2011) bahwa komitmen organisasi, komitmen professional, motivasi, dan kesempatan kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor pria dan wanita, tetapi pada kepuasan kerja tidak terdapat perbedaan antara auditor pria dan wanita..

2.1.6 Tipe Kepribadian

Dalam berbagai literatur psikologi, definisi klasik Allport mengenai arti kepribadian (personality) adalah yang paling sering digunakan. Allport menjelaskan bahwa“Personality is a dynamic organisation, inside the person, of psychophysical systems that create the person‟s characteristic patterns of behaviour, thoughts and feelings.”

Kepribadian seseorang dibentuk oleh dua faktor utama, yaitu (1) faktor keturunan atau faktor genetis adalah merupakan faktor dasar dari pembentuk kepribadian seseorang, dan (2) faktor lingkungan, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang berdasarkan dimana seseorang tumbuh dan dibesarkan. Dalam penelitian ini, tipe kepribadian dikelompokkan

(11)

berdasarkan Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya yang bernama Isabel Briggs Myers berdasarkan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung. Dalam MBTI, tipe kepribadian manusia dibedakan menjadi 4 pasang preferensi (ringkasan cara pengukuran tipe kepribadian Myers-Briggs dapat dilihat pada lampiran 1), yaitu: (1) preferensi Extraversion dan Introversion (E dan I), (2) preferensi Sensing dan Intuition (S dan N), (3) preferensi Thinking dan Feeling (T dan F), dan (4) preferensi Judging dan Perceiving (J dan P).

2.1.7 Independensi

Standar umum kedua pada Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 04 dalam IAI (2011) berbunyi : “Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Standar ini mengharuskan auditor bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapa pun, sebab bagaimana pun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak, yang justru sangat penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya. Auditor harus bebas dari setiap kewajiban terhadap kliennya dan tidak memiliki suatu kepentingan dengan kliennya.

(12)

Menurut Hanny (2011) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik yaitu (1) Ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada klien dan (3) Lamanya hubungan antara akuntan publik dengan klien. Sedangkan menurut Supriyono (1988) terdapat 6 faktor yang mempengaruhi independensi auditor yaitu (1)Ikatan kepentingan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Jasa-jasa lainnya selain jasa audit, (3) Lamanya hubungan audit antara akuntan publik dengan klien, (4) Persaingan antar KAP, (5) Ukuran KAP dan (6) Audit fee.

Yusdy (2012) juga menyatakan bahwa terdapat 4 faktor yang dapat digunakan untuk mengukur independensi auditor antara lain (1) Lama hubungan dengan klien, (2) Tekanan dari klien, (3) Telaah dari rekan auditor dan (4) Pemberian jasa non audit. Selain itu juga, Dwiyanti (2010) memproksikan independensi di dalam penelitiannya menjadi 6 sub variabel yang terdiri dari (a) Pengungkapan kecurangan klien, (b) Besarnya fee audit, (c) Fasilitas-fasilitas dari klien, (d) Penggantian auditor, (e) Lamanya waktu mengaudit klien, (f) Pemberian jasa non audit.

2.1.8 Kompetensi

Standar umum pertama pada Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 04 dalam IAI (2011) berbunyi : “Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor”. Standar umum pertama menegaskan bahwa dalam melaksanakan

(13)

audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing.

Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten junior yang baru masuk ke dalam karier auditing harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Sifat dan luasnya supervisi dan review terhadap hasil pekerjaan tersebut harus meliputi keanekaragaman praktik yang luas. Auditor independen yang memikul tanggung jawab akhir atas suatu perikatan, harus menggunakan pertimbangan matang dalam setiap tahap pelaksanaan supervisi dan dalam review terhadap hasil pekerjaan dan pertimbangan-pertimbangan yang dibuat asistennya. Pada gilirannya, para asisten tersebut harus juga memenuhi tanggung jawabnya menurut tingkat dan fungsi pekerjaan mereka masing-masing.

2.1.9 Skeptisisme Profesional Auditor

SPAP (Standar Profesional Akuntan Publik, 2012) menyatakan skeptisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap

(14)

bukti audit. Kautsarrahmelia (2013) mengartikan skeptisme profesional auditor sebagai berikut “Professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior…”. Skeptisme profesional digabungkan ke dalam literatur profesional yang membutuhkan auditor untuk mengevaluasi kemungkinan kecurangan material. Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan prilaku orang lain (SPAP, 2012).

Skepticism merupakan bagian penting dalam filsafat. Melalui filsafat dan pemikiran disiplin ilmu, skeptisisme menjadi bagian kosakata auditing (Tuanakotta, 2011:77). Karena auditing melandasi profesi akuntansi, maka digunakanlah istilah professional skepticism atau skeptisisme professional. Tuanakotta (2011:78) mendefinisikan professional skepticism dalam konteks evidence assessment atau penilaian atas bukti audit. Menurut IFAC skeptisisme merupakan tindakan auditor yang selalu melakukan penialaian kritis, terus mempertanyakan kesahihan dari bukti audit yang diperoleh, waspada terhadap bukti audit yang kontradiktif, dan mempertanyakan keandalan dokumen dan jawaban atas pertanyaan serta informasi lain yang diperoleh dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan perusahaan/instansi.

Kemahiran profesional harus diterapkan juga dalam melakukan pengujian dan prosedur, serta dalam melakukan penilaian dan pelaporan hasil pemeriksaan.Kemahiran profesional menuntut pemeriksa untuk melaksanakan

(15)

skeptisme profesional, yaitu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti pemeriksaan. Pemeriksa menggunakan pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dituntut oleh profesinya untuk melaksanakan pengumpulan bukti dan evaluasi obyektif mengenai kecukupan, kompetensi dan relevansi bukti. Karena bukti dikumpulkan dan dievaluasi selama pemeriksaan, skeptisme profesional harus digunakan selama pemeriksaan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan kualitas audit, antara lain:

No Nama Peneliti dan

Tahun Penelitian Judul Penelitian Hasil Peneltian

1 Butarbutar (2012)

Pengaruh Kompetensi,

Independensi, Motivasi, Gender Terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris Pada Badan

Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan Perwakilan Jawa Timur)

-Terdapat pengaruh antara Kompetensi terhadap kualitas audit.

-Tidak terdapat pengaruh antara indepedensi terhadap kualitas audit.

-Terdapat pengaruh antara tingkat motivasi terhadap kualitas audit.

-Tidak terdapat pengaruh antara gender terhadap kualitas audit. 2 Maghfirah Gusti dan Syahril Ali (2008) Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman serta Keahlian Audit dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor oleh Akuntan Publik

-Skeptisisme professional auditor mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketepatan

pemberian opini auditor -Tiga variabel lain yaitu etika, pengalaman dan keahlian audit mempunyai hubungan yang tidak signifikan

(16)

3 Tania Kautsarrahm

elia (2013)

Pengaruh Independensi, Keahlian, Pengetahuan Akuntansi dan Auditing serta Skeptisme Profesional Auditor terhadap Ketepatan Pemberian Opini Audit oleh Akuntan Publik

-Independensi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

ketepatan pemberian opini audit.

-Keahlian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

ketepatan pemberian opini audit.

-Pengetahuan akuntansi dan auditing berpengaruh signifikan dan positif terhadap ketepatan pemberian opini audit. -Skeptisme professional berpengaruh signifikan dan positif terhadap ketepatan pemberian opini audit 4 Sabrina K. dan Indira Juniarti (2012) Pengaruh Pengalaman, Keahlian, Situasi Audit, Etika dan Gender terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor Melalui Skeptisme Profesional Auditor (Studi Kasus Pada KAP Big Four di Jakarta)

-Penelitian ini

membuktikan situasi audit berpengaruh positif dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme professional auditor. -Sedangkan faktor lainnya pengalaman, keahlian, situasi dan etika tidak berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini. Faktor pengalaman, etika, keahlian, gender tidak berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini melalui skeptisisme sebagai variabel intervening.

5 Hafifah Nasution (2012)

Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit Dan Tipe Kepribadian Terhadap Skeptisme Profesional Dan Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan

-Beban kerja berpengaruh negatif terhadap skeptisme professional dan Beban kerja berpengaruh negatif terhadap peningkatan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan

(17)

-Pengalaman audit berpengaruh positif terhadap skeptisme professional dan Pengalaman audit berpengaruh positif terhadap peningkatan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan -Auditor dengan tipe kepribadian kombinasi ST dan NT memiliki skeptisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor dengan tipe kepribadian lainnya dan Auditor dengan tipe kepribadian

kombinasi ST dan NT akan lebih meningkatkan kemampuan

mendeteksinya bila dihadapkan gejala-gejala kecurangan dibandingkan dengan auditor dengan tipe kepribadian lainnya

6 Lisnawati Dewi (2010)

Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor,

Independensi, Keahlian, Etika Profesi, Pengalaman, Dan Situasi Audit Terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor

-Skeptisisme Profesional Auditor berpengaruh positif terhadap Ketepatan

Pemberian Opini Auditor - Independensi berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor - Keahlian berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor -Etika Profesi berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor -Pengalaman berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor -Situasi Audit berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor

(18)

2.3 Kerangka Konseptual

Gambar 2.3 Kerangka Teoritis

Gambar 2.3 di atas menjelaskan secara garis besar alur pemikiran dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari kerangka diatas terlihat bahwa variabel bebas gender dapat mempengaruhi pemberian opini auditor sebagai variabel terikat. Variabel bebas berikutnya yaitu tipe kepribadian dapat mempengaruhi pemberian opini auditor sebagai variabel terikat. Variabel bebas berikutnya yaitu independensi dapat mempengaruhi pemberian opini auditor sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel bebas kompetensi auditor juga mempengaruhi pemberian opini auditor sebagai variabel terikat. Selain itu juga, skeptisme professional dapat memperkuat hubungan antara variabel bebas gender, tipe kepribadian, independensi dan kompetensi auditor terhadap pemberian opini auditor sebagai variabel terikat.

Gender (X1) Kompetensi (X4) Tipe Kepribadian (X2) Independensi (X3) Skeptisme Profesional (Z) Pemberian Opini Auditor (Y)

(19)

2.4 Hipotesis Penelitian

2.4.1 Pengaruh Gender Auditor terhadap Pemberian Opini Auditor Teori disonansi kognitif membantu menjelaskan pengaruh gender terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor. Sifat psikologis manusia yang pada dasarnya mencari kenyamanan dalam segala situasi membuat teori ini menjadi dasar mengapa wanita dan pria berbeda cara berpikir dan berperilaku serta pengolahan informasi. Profesi akuntan adalah profesi yang menuntut adanya kemampuan dalam memproses informasi (secara kognitif) teori ini juga menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia akan mencari jalan keluar dari permasalahan yang membuatnya tidak nyaman karena adanya unsur kognitif yang bertolak belakang. Sama hal nya dengan auditor yang dalam fungsi profesionalnya mengharuskan segala sesuatunya sesuai dengan standar yang berlaku.

Unsur kognitif yang berbeda antara pria dan wanita juga memacu perbedaan pemberian opini auditor atas laporan keuangan. Pria cenderung untuk meminimalkan usaha kognitif dalam menerima informasi dari klien, sedangkan wanita akan cenderung menggunakan strategi pengolahan informasi secara terperinci. Hal ini membuat skeptisisme profesional auditor nya berbeda hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Noviyanti (2008) yang menyatakan bahwa wanita menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor pria. Chung dan Monroe (2001) membuktikan bahwa auditor wanita lebih akurat dibandingkan dengan auditor pria dalam melakukan

(20)

penugasan yang kompleks. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis kelima penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1: Gender berpengaruh terhadap Pemberian Opini Auditor

2.4.2 Pengaruh Tipre kepribadian Auditor terhadap Pemberian Opini Auditor

Menurut (Allport, 1995:248) kepribadian adalah organisasi dinamis dan sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Kepribadian juga merupakan sesuatu yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arahan pada tingkah laku individu. Sehingga, tipe kepribadian juga turut mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Penelitian Noviyanti (2008) menyatakan bahwa Tipe kepribadian mempengaruhi kemampuan para pengambil keputusan untuk memproses sejumlah besar informasi, tekanan waktu, dan ketahanan diri. Ia juga mempengaruhi aturan dan pola komunikasi dari seorang pengambilan keputusan.

H2 : Tipe kepribadian auditor berpengaruh terhadap pemberian opini auditor

2.4.3 Pengaruh Independensi Auditor terhadap Pemberian Opini Audit

Teori disonansi kognitif menjelaskan bahwa terjadi kesenjangan akibat inkonsistensi dua elemen kognitif yang menimbulkan ketidaknyamanan secara psikologis (Agung, 2007: 126). Teori ini

(21)

membantu menjelaskan bahwa kesenjangan terjadi akibat pemberian opini yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya akibat tidak adanya sikap independensi dari seorang auditor. Independensi berarti sikap mental bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, dan tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi, 2010). Penelitian Hasyim (2013) menyatakan bahwa independensi berpengaruh positif signifikan terhadap ketepatan pemberian opini audit.

Hal ini terjadi karena seorang auditor yang tidak independen berarti tidak mempunyai kejujuran dalam dirinya dalam mempertimbangkan fakta, dapat memihak pada suatu kepentingan tertentu, informasi yang diberikan tidak objektif, dan tidak bebas dari pengaruh/bujukan/pengendalian dari pihak lain sehingga dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya dapat berpihak pada salah satu pihak tersebut. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H3 : Independensi auditor berpengaruh terhadap pemberian opini auditor

2.4.4 Pengaruh kompetensi Auditor terhadap Pemberian Opini Audit

Menurut Dwiyanti (2010) probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis atau kompetensi yang dimiliki auditor. Standar umum pertama PSA Nomor 04 dalam IAI (2011) menegaskan

(22)

seorang auditor dalam melakukan audit harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Auditor selain menjalani pelatihan teknis yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum, juga harus memiliki kesadaran secara terus-menerus untuk mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya.

H4 : Kompetensi auditor berpengaruh terhadap pemberian opini auditor

2.4.5 Pengaruh skeptisme professional terhadap hubungan antara gender auditor terhadap pemberian opini auditor

fenomena banyaknya auditor wanita melatarbelakangi adanya perbedaan tingkat skeptisisme profesional antara wanita dengan pria. Hal ini didukung dengan penelitian Noviyanti (2008) yang menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat skeptisisme profesional yang lebih tinggi dari pria. Skeptisisme profesional tersebut akan mempengaruhi pemberian opini auditor atas laporan keuangan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan adanya pengaruh tidak langsung antara gender dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional yang dimiliki auditor tersebut. Maka hipotesis nya adalah:

H5: skeptisme professional berpengaruh terhadap hubungan antara gender auditor terhadap pemberian opini auditor.

(23)

2.4.6 Pengaruh skeptisme professional terhadap hubungan antara Tipe Kepribadian auditor terhadap pemberian opini auditor

Tipe kepribadian seseorang diduga juga mempengaruhi skeptisme profesional auditor. Noviyanti (2008) menyatakan bahwa sikap yang mempunyai dasar genetik cenderung lebih kuat dibandingkan dengan sikap yang tidak mempunyai dasar genetik. Jadi dapat dikatakan bahwa perbedaan kepribadian individual menjadi dasar dari sikap seseorang termasuk sikap skeptisme profesional auditor.

H6: skeptisme professional berpengaruh terhadap hubungan antara tipe kepribadian auditor terhadap pemberian opini auditor.

2.4.7 Pengaruh skeptisme professional terhadap hubungan antara independensi auditor terhadap pemberian opini auditor

Menurut Badeni (2013:39) sikap dapat dibentuk dari beberapa komponen seperti keyakinan dan tindakan nyata. Teori ini membantu menjelaskan bahwa sikap skeptis profesional auditor dibentuk dari keyakinan seorang auditor yang dilihat dari independensinya. Independensi sendiri berarti sikap mental bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, dan tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi, 2010).

(24)

H7: skeptisme professional berpengaruh terhadap hubungan antara tipe kepribadian auditor terhadap pemberian opini auditor.

2.4.8 Pengaruh skeptisme professional terhadap hubungan antara kompetensi auditor terhadap pemberian opini auditor

Ika dan Nisa ilmi (2014) menyatakan bahwa auditor yang dengan pengetahuan, pengalaman, pendidikan dan pelatihan yang memadai dan dapat melakukan audit secara objektif dan cermat. Bukti dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, maka skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. Sehingga terlihat adanya hubungan yang positif antara kompetensi auditor dengan skeptisme profesional auditor, yang mengharuskan penggunaan keahlian profesional dengan cermat dan seksama.

H8: skeptisme professional berpengaruh terhadap kompetensi hubungan antara kompetensi auditor terhadap pemberian opini auditor.

Gambar

Gambar 2.3 Kerangka Teoritis

Referensi

Dokumen terkait

Kesadaran masyarakat dalam melakukan pola hidup sehat memang masih sangat rendah, hal ini juga menjadi salah satu penyebab yang memiliki keterkaitan yang sangat erat

Keterampilan remaja dalam mengatur emosi sangat penting untuk keberhasilan menjalin hubungan dengan orang lain, dengan menjalin hubungan dengan orang lain maka

Hal ini sebagai akibat dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal huruf a yang menyatakan, bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria den- gan seorang

Akibat hukum ini telah ada sejak perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang PHUXSDNDQ ³UDVDK VDQDN´ (hubungan anak-DQDN EXMDQJ JDGLV

Dari penilitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa penerapan sistem bagi hasil akad mudharabah pada Tabungan Tamaraini sudah menerapkan sistem bagi hasilnya

Penerapan konsep permakultur pada sekolah alam, dapat membuat desain sekolah alam menjadi lebih ramah lingkungan dengan sistem desain sekolah alam yang memiliki sifat

Saat ini, kata matsuri digunakan tanpa mendefinisikannya terlebih dahulu, tetapi yang dimaksud dengan matsuri di sini adalah karena memiliki arti yang lebih luas daripada

Pencapaian tujuan ini menyangkut aspek masukan, proses, keluaran serta nilai derajat kebaikan, keutamaan, dan kesempurnaan (degree of excellence). Pencapaian tujuan