• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Definisi kebudayaan dijelaskan oleh Tylor dalam Agus (2006 : 34) sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Definisi kebudayaan dijelaskan oleh Tylor dalam Agus (2006 : 34) sebagai berikut:"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori

2.1. Konsep Kebudayaan

Definisi kebudayaan dijelaskan oleh Tylor dalam Agus (2006 : 34) sebagai berikut: Keseluruhan hidup manusia yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,

hukum moral, adat-istiadat, dan lainnya dari kemampuan dan kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Beals dalam Agus (2006 : 34) mengatakan bahwa suatu kebudayaan adalah satu set cara berpikir dan bertindak yang dipelajari yang mencirikan pengambilan keputusan apapun sebagai kelompok manusia. Terdapat lima komponen sistem budaya, yaitu, kelompok atau masyarakat, lingkungan, benda yang dihasilkan oleh budaya yang bersangkutan, tradisi budaya yang ditempuh secara kolektif dan aktivitas atau perilaku. Koentjaraningrat (1990 : 180-187) menekankan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu;

1.Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3.Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Koentjaraningrat (1990 : 203) juga mengatakan bahwa, setiap unsur budaya, seperti; bahasa; organisasi sosial; teknologi dan peralatan; ilmu pengetahuan; religi atau sistem upacara keagamaan dan kesenian, terdiri dari gagasan atau ide, tindakan, dan benda hasil

(2)

tindakan tersebut. Banyak kebudayaan memiliki suatu unsur kebudayaan atau beberapa pranata tertentu yang merupakan suatu unsur pusat kebudayaan, sehingga digemari oleh sebagian besar masyarakat dan dengan demikian mendominasi banyak aktivitas atau pranata lainnya dalam kehidupan masyarakat.

2.2 Konsep Ritual

Menurut Hornby dalam Agus (2006 : 96), ritual dapat dikategorikan dalam dua bentuk dalam Bahasa Inggris, yakni; ritual yang merupakan kata sifat dari upacara (rites), dan ritual yang merupakan kata benda. Sebagai kata sifat, ritual adalah segala sesuatu yang dihubungkan dengan upacara keagamaan, seperti ritual tari-tarian. Sedangkan sebagai kata benda, adalah segala yang bersifat upacara keagamaan, seperti upacara dalam suatu tempat peribadatan.

Dalam antropologi agama, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun ke sawah, upacara menolak bahaya, upacara mengobati penyakit, dan upacara karena siklus perubahan kehidupan manusia (Norbeck dalam Agus, 2006 : 97).

Menurut Malefjit dalam Agus (2006 : 97), motif diadakannya suatu ritus berbeda-beda, tergantung pada agama yang melaksanakan ritus tersebut. Ritus berhubungan dengan kekuatan supernatural dan kesakralan akan sesuatu. Karena itu, istilah ritus atau ritual dipahami sebagai upacara keagamaan yang berbeda sama sekali dengan aktivitas ekonomis, rasional sehari-hari. Alam di sekitar dipercaya memiliki kekuatan gaib dalam bentuk animisme dan dinamisme, lalu diperlukan tindakan khusus yang dinamakan dengan ritus. Banyaknya upacara dan persembahan dalam masyarakat, mengingatkan

(3)

bahwa kehidupan mereka tidak terlepas dari rangkaian ritus. Memberikan persembahan merupakan ritus yang dilakukan terhadap sesuatu yang dianggap penting.

Dalam setiap agama, upacara ritual atau ritus biasa dikenal dengan ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembayang. Durkheim dalam Agus (2006 : 102) mengatakan bahwa upacara-upacara ritual adalah untuk meningkatkan solidaritas, untuk menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu. Masyarakat yang melakukan ritual larut dalam kepentingan bersama.

2.3 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang Terhadap Agama

Agama adalah sebuah sistem yang terdiri dari ajaran (kepercayaan), ritual (aktivitas), dan jemaah (organisasi) (Nakamaki, 2003 : 11). Menurut Swyngedouw dalam Swanson (1993 : 60), bangsa Jepang menaruh minat yang sedikit sekali terhadap hal-hal yang berbau religi, dan ritual yang terkait dengan agama. Beberapa orang Jepang dalam satu sisi ataupun sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Salah satu karakteristik dari sifat keagamaan orang Jepang adalah bahwa mereka sering kali mengikuti kegiatan keagamaan tergantung dari waktu acara keagamaan tersebut diadakan. Tetapi setelah acara tersebut berakhir, kehidupan normal mereka kembali berjalan seperti biasanya tanpa sedikitpun adanya keterkaitan dengan hal-hal yang bersifat keagamaan tersebut. Kebanyakan orang Jepang tidak melihat adanya kontradiksi dalam meminta ”berkah” (blessing) atau keuntungan di dalam berbagai macam organisasi keagamaan. Dalam beberapa peristiwa. mereka melakukan pemujaan di kuil Shinto, dan dalam lain peristiwa kuil Buddha menjadi tempat perlindungan mereka. Bukan menjadi pengecualian bahwa orang yang sama, bisa saja mengunjungi gereja Kristiani di lain waktu. Dalam semua cara yang berbeda-beda ini, para pemuja dapat mengadaptasikan

(4)

diri mereka dalam peraturan tempat dan berperilaku sebagai layaknya umat yang percaya terhadap agama yang mereka jalankan.

Banyak teori telah dikemukakan untuk menjelaskan hubungan tersebut dalam Nipponkyo (Agama Bangsa Jepang). Berdasarkan pada fenomena ini, dijelaskan dalam Nipponkyo bahwa, nilai sakral ketuhanan dan segala sesuatu yang di bawahinya merupakan anggota dari masyarakat Jepang, dari unit terkecil yakni keluarga sampai sebuah negara secara keseluruhan, sehingga dapat berjalan seiringan untuk pemeliharaan keharmonisan yang ada di antaranya.

Masyarakat modern Jepang tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mendeklarisasikan bahwa mereka beragama ketika ditanyakan, tetapi agama di Jepang selalu menjadi tempat orang Jepang dalam ritual keagamaan daripada dianggap sebagai pemegang dari suatu kepercayaan yang spesifik (Reader, 1993 : 34).

Untuk memberikan pandangan tentang agama Jepang secara keseluruhan, perlu dijelaskan beberapa ciri-ciri umum pada masa sekarang ini yang muncul melalui dunia keagamaan orang Jepang. Menurut Reader (1993 : 40-41), ketujuh ciri-ciri tersebut, yakni;

1. pengaruh timbal balik yang berarti tidak hanya bermacam-macam agama bercampur baur, tetapi orang Jepang dan keluarga berpartisipasi dalam ritual dalam sejumlah tradisi agama,

2. kedekatan antara manusia, Tuhan dan alam,

3. arti penting keagamaan terhadap keluarga dan leluhur, 4. penyucian sebagai prinsip dasar kehidupan keagamaan,

5. pentingnya festival (matsuri) sebagai perayaan utama keagamaan, 6. pembagian ke dalam musim,

(5)

7. terdapat sebuah hubungan yang dekat antara agama dengan negara.

Dalam ketujuh ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari Shinto, yang merupakan terapan yang mendasar dalam keagamaan Jepang (Reader, 1993 : 42).

Menurut Kuroda dalam Tanabe (1999 : 452), Shinto dipandang sebagai kepercayaan asli masyarakat Jepang setempat, berlangsung sejak masa prasejarah sampai masa sekarang. Menurut Reader (1993 : 64), Shinto seringkali dideskripsikan sebagai agama nasional Jepang. Dapat ditegaskan bahwa Shinto merupakan kepercayaan bangsa Jepang yang berkaitan dengan orang Jepang dan lingkungan serta dunia tempat mereka tinggal. Kami, atau dewa Shinto, muncul di dunia bangsa Jepang, dan mitos serta legenda Shinto yang berkaitan dengan penciptaan dan permulaan negara Jepang. Shinto juga merupakan sebuah kepercayaan yang berfokus pada kesatuan dan komunitas bangsa Jepang.

Nelson dalam Schnell (2000 : 165) mengatakan bahwa dalam kemasyarakatan Jepang, penggunaan teknologi yang maju berdampingan dengan adanya kegiatan keagamaan yang bersifat ketakhyulan. Shinto tidak terlihat sebagai agama, melainkan sebuah identitas kebudayaan orang Jepang.

Banyak orang telah mendiskusikan peranan Shinto dalam sejarah dan kebudayaan bangsa Jepang, tetapi tergantung pada masing-masing orang, terdapat pandangan dan interpretasi yang berbeda-beda. Ichiro dalam Tanabe (1999 : 453), mendefinisikan Shinto dan ”Shintoness” sebagai ”hasrat yang mendasari kebudayaan Jepang.” sebagai berikut:

Shinto has been the crucial element bringing the great mix of religions and rituals absorbed by the Japanese people into coexistence. Moreover, it has forced them to become Japanese in character.

(6)

Shinto telah menjadi eleman penting yang membawa campuran yang luar biasa dari agama dan ritual yang terserap oleh bangsa Jepang ke dalam hidup yang berdampingan. Terlebih, hal tersebut telah menjadikan bangsa Jepang dalam karakter.

Masao dalam Tanabe (1999 : 453-454) membagi pandangan tentang Shinto menjadi beberapa kelompok, yaitu;

1. Shinto dengan orang Jepang, merupakan hal yang abadi atau ada terus-menerus. Hal ini merupakan ”hasrat yang mendasari kebudayaan Jepang”, sebuah otonomi yang mendasar dalam perubahan dan pemahaman bermacam-macam elemen kultural yang diimpor dari luar Jepang. Dalam kalimat Norinaga, beberapa elemen kultural dari berbagai periode (bahkan Buddhisme dan Konfusianisme) adalah Shinto pada periode tersebut.

2. Walaupun seseorang dapat saja berkata bahwa Shinto sebagai sebuah agama yang bersamaan dengan Buddha dan Taoisme, ”Shintoness” adalah sesuatu yang lebih dari hal itu. Hal tersebut merupakan hasrat kultural atau energi bangsa Jepang, yang diwujudkan dalam adat kebiasaan yang lebih penting daripada suatu agama. Di sinilah, ”Shinto duniawi” ditekankan.

3. Berdasarkan pada pola pikir ”berbagai macam kealamiahan agama Jepang,” seseorang mungkin beragama Buddha ataupun Shinto pada saat yang bersamaan, dianggap sebagai karakteristik kebudayaan Jepang yang tidak dapat diubah.

Menurut Nelson dalam Schnell (2000 : 165), Shinto ada terus-menerus karena, Shinto merupakan hal yang pokok dalam mendefinisikan sebuah pengertian akan identitas kultural dan Shinto tidak terkekang oleh ajaran agama yang terpusat, pemimpin yang kharismatik dan kitab suci.

(7)

2.4 Konsep Shinto

Menurut Japanese Religion –A Survey By The Agency For Cultural Affairs- (1990 : 29), Shinto adalah suatu bentuk kepercayaan praktisi keagamaan masyarakat Jepang. Shinto tidak mempunyai pendiri maupun kitab suci, tetapi kepercayaan utama dan ritualnya telah terjaga selama bertahun-tahun yang lalu. Berikut ini akan saya paparkan tentang arti dan aspek Shinto.

2.4.1 Arti dan Aspek Shinto

Menurut Ono (1998 : 2), kata Shinto secara harafiah memiliki arti Jalan Ketuhanan, dan merupakan kepercayaan terhadap kami (dewa bagi orang Jepang). Bentuk kepercayaan terhadap kami ini sudah ada sejak zaman terdahulu dan masih ada sampai masa sekarang ini. Kata Shinto terdiri dari dua ideografi, yaitu 神 (shin), yang

disamakan dengan istilah kami dalam masyarakat asli Jepang, dan 道 (dō atau tō), dibaca

michi yang memiliki arti ”jalan”. Dalam bahasa mandarin disebut dengan Shentao (

道), dalam konteks konfusianisme, kata Shentao digunakan dalam pengertian hukum

alam dan untuk menunjukkan jalan menuju kehidupan setelah kematian. Mengenai Shinto, Tanaka (1990 : 294-295) mengatakan sebagai berikut:

一般的に「神道」と言った場合、日本民族などの国有の神、神霊に基づい て 発生し、展開してきた宗教の総称」であるとされているが、神や神霊 についての信念や伝統的な祭祀ばかりでなく、広く生活習俗や伝承されて いる考え方などもその中に含まれる。

(8)

Secara umum Shinto adalah sebuah kata yang dipakai untuk mewakili kepercayaan tradisional bangsa Jepang yang berbasis kepercayaan terhadap dewa dan roh dan bukan hanya itu saja, secara luas ajaran Shinto juga menjadi pedoman bagi bangsa Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Shinto dalam istilah yang sederhana adalah nilai dasar orientasi bangsa Jepang dalam berbagai bentuk dan perkembangannya telah mempengaruhi sejarah Jepang serta hubungannya dengan kebudayaan asing.

Menurut Ono (1998 : 3), dalam aspek personalnya ”Shinto” menyatakan secara tidak langsung kepercayaan dalam kami, praktisinya dilakukan menurut pemikiran kami, serta kehidupan spiritual dicapai melalui pemujaan dan komunikasi dengan kami. Dalam aspek umumnya, Shinto bukan hanya sekedar kepercayaan, tetapi merupakan perilaku dan sikap, ide, dan cara melakukan sesuatu selama dua milenium dan telah menjadi bagian utuh dalam cara hidup orang Jepang. Demikianlah, Shinto merupakan sebuah kepercayaan individual di dalam kami, dan sebuah cara hidup bersama menurut pikiran kami, yang muncul berabad-abad yang lalu seperti berbagai macam pengaruh etnik dan kultural, baik itu pengaruh asli maupun pengaruh asing, yang bersumbu pada kesatuan negara di bawah keluarga kerajaan.

Menurut Honda (2006 :14), yang dimaksud dengan fenomena Shinto adalah sebagai berikut: 神道という現像については、たとえばお祭りえをしてきたとか、神社に祈 ってきたとか、神社に神様の前でご祈祷するとか、神様についての物語が 書かれている神道古典であるとか、あるいは神道についての言葉で説明し た神道思想家たちの考えていたことといった、いわず神道の歴史を材料に します。 Terjemahannya:

(9)

Yang dimaksud dengan fenomena Shinto misalnya; melaksanakan perayaan ibadah di kuil Shinto, memanjatkan doa di depan para dewa yang ada di kuil, cerita mengenai para dewa yang ditulis dalam catatan kuno Shinto, atau penjelasan para sejarahwan Shinto, dapat dikatakan penjelasan tersebut merupakan sejarah Shinto yang dimaterikan.

Menurut Kuroda dalam Swanson (1993 : 7), menjelaskan bahwa Shinto telah lama dianggap sebagai sebuah elemen yang penting sekali dalam kepercayaan bangsa Jepang yang membawa hal tersebut menjadi suatu keistimewaan dan individualitas. Orang awam biasanya memandang Shinto antara lain; Shinto menanggung kepercayaan primitif, termasuk pemujaan terhadap alam dan hal-hal yang tabu terhadap kegare (kekotoran), tetapi tidak memiliki sistem doktrin yang jelas; Shinto ada dalam bemacam-macam bentuk, yakni; sebagai kepercayaan rakyat tetapi pada saat yang sama memiliki bentuk yang tetap suatu kepercayaan yang terorganisir, contohnya; ritual dan organisasi. Shinto juga memegang peranan penting dalam mitologi Jepang kuno dan menetapkan sebuah dasar pemujaan terhadap roh leluhur dan kaisar.

Sejarahwan Sōkichi dalam Swanson (1993 : 10) telah mempelajari keberadaan kata Shinto dalam kesusastraan awal Jepang dan membagi artinya menjadi enam katagori :

1.) kepercayaan keagamaan yang ditemukan pada adat kebiasaan asli bangsa Jepang, termasuk kepercayaan takhyul.

2.) kewenangan, kekuasaan, aktivitas, atau perbuatan kami, status kami, menjadi kami, atau kami itu sendiri.

3.) konsep dan ajaran mengenai kami.

4.) ajaran yang dipropagandakan oleh kuli-kuil tertentu. 5.) ”jalan ketuhanan” sebagai norma moral.

6.) sekte Shinto yang menjunjung tinggi satu aliran seperti yang ditemukan dalam agama baru.

(10)

Sōkichi menegaskan bahwa dalam Nihon Shoki, Shinto berarti kepercayaan religius yang ditemukan dalam adat-istiadat asli Jepang. Ada tiga aspek utama dalam ajaran Shinto, yaitu; (1) pertalian terhadap alam, (2) keharmonisan dengan kami, (3) ritual penyucian.

Shinto memiliki beberapa aspek yang sampai sekarang masih populer, seperti; keberadaan kamidana (altar Shinto) di rumah orang Jepang, peranan Tuhan dalam pemberian berkah pada kehidupan, dan kepopuleran festival (matsuri). Shinto sangat berkaitan erat dengan kesuburan, produksi, dan pemeliharaan terhadap komunitas masyarakat. Sebagai aspek Shinto yang sampai sekarang masih berkelanjutan, festival sangat terkenal di dalam masyarakat Jepang saat ini. Upacara tanam padi dan upacara sejenis agricultural masih diadakan di kuil Shinto yang ada di seluruh pelosok daerah Jepang (Reader, 1993 :64-65).

2.4.2 Pengertian Kami

Holtom dalam Reader (1993 : 77), menjelaskan bahwa arti kami yang luas muncul pada kesusastraan Jepang yang ditulis oleh sarjana besar pada abad ke-8, Mootori Norinaga, sebagai berikut:

I do not yet understand the meaning of the term, kami. Speaking in general, however, it may be said that kami signifies, in the first place, the deities of heaven and earth that appear in the ancient records and also the spirits of shrines where they are worshipped. It is hardly necessary to say that it includes human beings. It also includes such objects as birds, trees, plants, seas, mountains and so forth. In ancient usage, anything whatsoever which was outside the ordinary, which possessed superior power or which was awe-inspiring was called kami.

Terjemahannya :

Saya tidak begitu mengerti tentang arti dari bentuk kami. Jika berbicara secara umum, bagaimanapun bisa dikatakan bahwa kami menandakan, pada urutan pertama, penguasa surga dan bumi yang muncul di catatan kuno dan juga

(11)

merupakan jiwa daripada kuil, tempat di mana kami dipuja. Sulit dikatakan bahwa hal tersebut termasuk juga manusia. Hal tersebut juga termasuk objek seperti burung, pohon, tumbuhan, laut, gunung, dan sebagainya. Di dalam catatan kuno, segala sesuatu yang di luar hal yang biasa, yang mana memiliki kekuatan atau sangat menginspirasi disebut sebagai kami.

Kami adalah sebuah kata dengan berbagai macam arti yang mungkin tidak ada definisi yang tepat dalam pengartiannya. Terjemahan secara literal berdasarkan karakter hurufnya adalah ” yang di atas ”, dan biasanya digunakan untuk menyatakan secara tidak langsung suatu bentuk kekuasaan. Orang Jepang terdahulu tidak sembarangan dalam mengaplikasikannya terhadap beberapa objek, yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa yang dianggap memiliki kekuasaan, mistis, kekuatan, ataupun sesuatu yang tidak dapat dipahami.

Menurut Ono (1998 : 7), di antara objek dan fenomena yang telah ada pada zaman terdahulu yang dikatakan sebagai kami adalah kualitas pertumbuhan, kesuburan, dan produktivitas ; fenomena alam, seperti angin, dan guntur ; objek alam, seperti matahari, gunung, sungai, pohon dan batu karang ; beberapa binatang ; dan roh-roh leluhur.

2.4.3. Konsep Tsumi (Kekotoran) dan Konsep Oni Dalam Shinto

Ritual utama dalam Shinto adalah upacara penyucian atau biasa disebut dengan oharai (Picken, 1994 : 171). Selain itu, kekotoran tersebut dapat timbul melalui berbagai cara. Dalam sub bab ini sebelum menjelaskan tentang oharai, akan saya paparkan tentang konsep tsumi dan konsep oni dalam Shinto, yang memiliki kaitan dengan oharai.

2.4.3.1 Konsep Tsumi Dalam Shinto

Menurut Picken (1994 : 171-172), Tsumi memiliki makna yang luas termasuk “polusi“, “penyakit“, dan ”bencana.” Aksi atau tindakan tertentu, situasi, atau suatu

(12)

keadaan yang tidak diundang dapat menyebabkan kekotoran dan keadaan tersebut harus dihilangkan dengan tindakan pencegahan atau dengan ritual penyucian.

Ama-tsu tsumi. Berkaitan dengan Ama-tsu-kami atau dewa surga (heavenly kami), terdapat Ama-tsu-tsumi atau kekotoran surga (heavenly impurities). Ini adalah perlambangan dari perilaku buruk kami bintang, Susano-o-no-mikoto, yang sangat bertentangan dengan Amaterasu.

Kuni-tsu-tsumi. Berkaitan dengan Kuni-tsu-kami atau dewa bumi (earthly kami), terdapat Kuni-tsu-tsumi atau kekotoran bumi (earthly impurities). Hal ini termasuk terluka sampai meninggal, perilaku yang tidak sopan, penggunaan ilmu hitam, penyakit menular tertentu, kerusakan yang disebabkan oleh burung-burung yang merugikan, luka (kega), dan hal-hal lainnya di luar kendali manusia. Manusia secara moral bertanggung jawab atas beberapa hal ini, tetapi kebanyakan tidak. Kekotoran (impurities) di Jepang termasuk pada hal-hal yang terjadi pada masyarakat, yang dapat membahayakan hidup mereka.

Magatsubi-no-kami. Ada juga godaan dari Magatsubi-no-kami (dari daratan Yomi) yang pengaruhnya hanya dapat dihilangkan oleh dewa penyucian (naobi-no-kami).

2.4.3.2 Konsep Oni Dalam Shinto

Menurut Tanaka (1997 : 339), figur oni menyerupai manusia, tetapi oni memiliki tanduk seperti kerbau dan cakar seperti macan, oni memiliki mulut yang lebar dan memakai kostum yang terbuat dari kulit macan. Zaman dahulu dikatakan bahwa oni dapat memakan manusia dan karakter mereka sangat bengis, kekuatan yang dahsyat, dan berani. Kami yang bersifat kuat, seperti; kami angin dan halilintar, digambarkan sebagai oni.

(13)

Hearn (2007 : 641) mengatakan bahwa oni merupakan sosok roh jahat atau jin yang datang dari dunia lain ke dunia manusia, serta dapat membawa bencana atau berkah. Diluar dari kekuatannya yang luar biasa dan menakutkan, oni dianggap sebagai makhluk yang bertentangan, memiliki sifat baik dan jahat, dan sering dijadikan objek pemujaan dan pengusiran. Karakter huruf oni (鬼) dalam bahasa Cina dibaca gui dan ditujukan

pada jiwa dari seorang yang telah meninggal, sementara di Jepang dibaca sebagai oni (setan atau jin), mono (roh yang mendiami suatu tempat), atau kami. Berdasarkan kepercayaan tentang karakter oni, konsep oni dapat dibagi menjadi dua jenis utama: (1) roh jahat atau kami yang bersifat jahat, (2) oni sebagai kami yang bersifat baik. Jenis yang pertama adalah oni yang membawa melapetaka, kematian, dan kelaparan, yang dahulu kala dianggap sebagai makhluk yang tidak kelihatan. Jenis yang kedua dapat dilihat pada masa sekarang ini dari upacara dan festival pada tahun baru, misalnya; festival pengunjungan kami yang disebut dengan Namahage dimana orang memakai topeng oni, tarian sakaki-oni di perfektur Aichi untuk mengusir roh jahat.

2.4.4 Unsur-Unsur Penting Upacara Dalam Shinto

Dalam semua upacara yang dilaksanakan oleh kuil, kecuali kegiatan sederhana pemujaan yang dilakukan oleh perseorangan, melibatkan empat elemen di dalamnya: penyucian (harai), persembahan (shinsen), doa (norito), dan pesta simbolik (naorai). Jika diamati, sederhana atau rumitnya keempat hal ini tergantung pada acara yang dilaksanakan. Hal ini merupakan ciri-ciri khusus Shinto bahwa pemujaan kami tidak hanya dari kedalaman hati seseorang, tetapi dalam sebuah tindakan nyata dari ritual keagamaan (Ono, 1998 : 51).

(14)

2.4.4.1 Harai (Penyucian)

Berbagai macam tindakan ritual dilaksanakan dengan tujuan untuk menghilangkan segala jenis kontaminasi atau keadaan tercemar baik secara fisik maupun batin, menghindari kesialan, mencegah bencana dan malapetaka, dan mematahkan kutukan magis. Kekotoran tersebut dapat timbul melalui berbagai cara. Kekotoran dapat timbul karena adanya kontak dengan kekotoran secara fisik, penyakit maupun penyakit yang diberikan oleh kami sebagai hukuman atas suatu kesalahan, atau yang disebabkan oleh roh jahat. Segala jenis kekotoran tersebut harus dihilangkan dengan ritual penyucian (Holtom, 1995 : 29).

Satu-satunya cara untuk menghilangkan tsumi adalah penyucian, atau disebut juga oharai. oharai memiliki tiga bentuk dasar;

1.) Harai dilakukan oleh pendeta dengan menggunakan harai-gushi, kertas pita wasiat yang secara simbolik memercikan seluruh tempat dan orang tersebut untuk disucikan.

2.) Misogi melibatkan tindakan pemercikan air dengan tangan di dalam sebuah ember kecil, dengan mandi di sungai atau laut, atau dengan berdiri di bawah air terjun yang mengalir.

3.) Imi melibatkan menghindari kata-kata atau tindakan tertentu. Contoh, kata kiru (memotong) seharusnya tidak boleh diucapkan pada saat upacara pernikahan. Kata deru (keluar) juga merupakan kata yang tabu (Picken, 1994 : 172).

Penyucian dilakukan untuk menghilangkan semua polusi, ketidakbenaran, dan roh jahat yang mungkin membahayakan kehidupan manusia. Penyucian dapat dilakukan oleh para umat ataupun oleh pendeta (Ono, 1998 : 51 – 52).

(15)

Menurut Picken (1994 : 172-174), para pendeta melakukan banyak macam ritual penyucian sepanjang tahun, salah satunya adalah yaku-barai. Yaku-barai merupakan upacara untuk menentramkan kami yang membawa masalah, atau penyucian seseorang untuk menghindari tahun yang kerap kali terjadi bencana. Kadang-kadang diterjemahkan juga sebagai ” pengusiran roh jahat.” Orang Jepang percaya pada kenyataan adanya ketidakberuntungan dan malapetaka kemudian mereka mencoba untuk mencegah hal ini dengan melakukan upacara penyucian.

2.4.4.2 Shinsen (Persembahan)

Kami disambut dalam komunitas masyarakat dan oleh masyarakat, dan kemudian persembahan disajikan. Persembahan tersebut disebut dengan shinsen. Persembahan yang biasanya diletakkan di atas meja altar adalah garam, sake, air, mochi, ikan (biasanya ikan tai), rumput laut (konbu), sayuran, buah dan padi-padian. Bahan persembahan dapat terdiri dari berbagai macam objek. Simbol persembahan yang biasa digunakan adalah sakaki, dan gohei. Berbagai macam bentuk hiburan juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk persembahan kepada kami, seperti; drama, musik, tarian, sumo, dan panahan.

2.4.4.3 Norito (Doa)

Menurut Picken (1994 : 175-179), Oharai disertai dengan pembacaan norito yang ditujukan pada kami, terdiri dari kata-kata khusus yang disusun dalam suara yang menyenangkan. Hal ini berasal dari kepercayaan pada kotodama, kekuatan mistik dan spiritual yang terletak dalam kata-kata. Kepercayaan pada kotodama ini berdasarkan pada kepercayaan Jepang kuno yang mempercayai bahwa kata-kata yang indah dapat

(16)

membawa keberuntungan, dan melalui kata-kata yang berlawanan dapat membawa ketidakberuntungan. Menurut Philippi dalam Havens (1990 : 398), norito adalah kata-kata yang memiliki arti, yang dapat menggerakan kekuatan religius di dalam diri manusia sebagaimana dapat menggerakan kekuatan spiritual termasuk kami dan roh orang yang telah meninggal.

2.4.4.4 Naorai (Makan Bersama)

Persembahan diangkat dari altar untuk berbagai penggunaan. Kadangkala digunakan oleh pendeta atau diberikan, atau dikonsumsi pada saat naorai atau diberikan kepada para umat untuk dibawa pulang (Picken ,1994 : 175-179).

2.4.5 Benda yang Dianggap Suci Dalam Shinto

Berikut ini akan dijelaskan beberapa alat penting yang digunakan pada upacara menurut kepercayaan Shinto, yaitu;

1. Gohei

Simbol persembahan, yakni; gohei, yang terdiri dari tongkat yang tersusun kertas putih yang dilipat-lipat dan digantung zig-zag, diletakkan pada bagian tengah sebelum pintu ruang kecil altar, merupakan sebuah persembahan kepada kami dan pada saat yang bersamaan juga merupakan simbol dari kehadiran kami. Warna kertas yang dipakai kadang berwarna, emas, silver, merah, biru tua atau warna logam, bahkan selain kertas kain juga dapat dipakai untuk gohei (Ono, 1998 : 21 - 25).

2. Mame

Mame merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk penyucian dalam Shinto. Kacang-kacangan, dan bibit tanaman merupakan sumber dari kehidupan dan

(17)

dapat dipergunakan untuk menghindari roh jahat serta dapat memastikan produktivitas masa depan. Selain itu, kacang-kacangan merupakan objek yang dianggap sebagai sumber tenaga dan digunakan dalam ritual penyucian. Mame juga menandakan kekuatan tubuh dan kesehatan Hearn (2007 : 497).

3. Hamaya dan Hamayumi

Picken (1994 : 181), mengatakan bahwa busur (hamaya) dan anak panah (hamayumi) merupakan simbol kekuatan yang dapat mematahkan ketidakberuntungan. 4. Sake

Yarrow (2005 : 35) mengatakan, penggunaan sake dalam sebuah ritual sakral keagamaan membedakan antara tradisi dengan minuman beralkohol. Sake bukan hanya minuman beralkohol, tetapi juga merupakan sebuah media untuk beinteraksi dengan kami, dan roh-roh para leluhur. Kami dapat diundang melalui ritual dan sake. Sake merupakan sebuah wujud hadiah terhadap kedatangan dan sebagai wujud mengantar kami untuk pulang ke tempatnya. Penggunaan sake terlebih dahulu muncul dalam kojiki, dikatakan bahwa sake merupakan minuman para dewa (kami).

2.5 Konsep Matsuri

Menurut Japanese Religion –A Survey by The Agency for Cultural Affairs-, (1990 : 42), dalam bahasa Jepang, matsuri menunjuk pada dua arti yang terpisah tetapi berkaitan dengan fenomena yang ada dalam masyarakat Jepang, yaitu; festival masyarakat setempat dan kegiatan keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut mengandung arti, menghadirkan kami sebagai tamu kehormatan pada sebuah tempat yang sakral, memberikan ekspresi ritual sebagai rasa kesadaran diri dan rasa terima kasih, mempersembahkan doa tidak hanya atas kebaikan kami serta berkat nyata yang

(18)

diberikan, tetapi juga untuk pembebasan dari hal yang buruk dan ketidakberuntungan, menyenandungkan kegembiraan hidup dalam lagu, serta menghargai keharmonisan di antara seluruh bentuk eksistensi yang ada dalam kehidupan. Dalam artinya yang kedua, kata matsuri memberikan kesan menyebarkan keinginan kami dalam keikutsertaan seseorang dalam aktivitas yang membuat alam semesta selaras dengan kehidupan, sadar bahwa berkah dan kekuatan hidup adalah bergantung pada kami.

Mengenai matsuri, Yanagawa (1991 : 82) mengatakan sebagai berikut:

今祭りという言葉を定義もしないで使っていますが、ここで祭りと言って るのは、日本の「祭り」という意味よりもかなり広いので、人によっては 「祝祭」という語を使って、これは英語の festival の訳語として使うこともあ りますが、儀式もあると同時に、人々の楽しみという要素もあり、全体と してお祝いとか喜びとかいうものが一つの基調のことです。 Terjemahannya:

Saat ini, kata matsuri digunakan tanpa mendefinisikannya terlebih dahulu, tetapi yang dimaksud dengan matsuri di sini adalah karena memiliki arti yang lebih luas daripada arti ”matsuri” Jepang, tergantung pada masing-masing orang, matsuri dapat diartikan ”hari besar nasional”, dipergunakan juga dalam terjemahan bahasa Inggrisnya yaitu festival, pada saat yang bersamaan terdapat upacara di dalam matsuri, unsur-unsur kesenangan pun ada, secara keseluruhan melakukan perayaan dan kesenangan merupakan salah satu dasar yang ada di dalamnya.

Menurut Danandjaja (1997 : 300-303), festival di Jepang dapat digolongkan menjadi dua kategori besar; matsuri (pesta rakyat), dan nenchū gyōji (hari raya tahunan). Matsuri merupakan folklor Jepang asli yang berhubungan dengan Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada tanggal-tanggal tertentu. Sedangkan nenchū gyōji termasuk festival berskala lebih besar yang dilaksanakan setiap tahun dan berhubungan dengan musim, dan banyak di antaranya berasal dari folklor Cina dan Buddha. Di Jepang terdapat beberapa jenis matsuri, misalnya matsuri untuk memohon para dewa (seperti

(19)

memohon untuk keberhasilan panen), untuk mengucapakan terima kasih kepada para dewa, jenis lainnya yaitu; untuk mengusir penyakit dan bencana alam. Ada pula matsuri yang bersifat serius dan khusyuk tetapi ada juga yang meriah. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci. Sebagian di antaranya berasal dari upacara penanaman padi dan upacara kesejahteraan spiritual penduduk setempat. Festival atau upacara seperti ini diambil dari ritus-ritus Shinto kuno yang bertujuan untuk mendamaikan hati para dewa dan menjamin kesuburan pertanian. Beberapa ritus Shinto telah diintegrasikan dengan ritus dan upacara dari Cina, sehingga disahkan menjadi festival resmi di dalam kalender tahunan yang harus dirayakan (nenchū gyōji).

Matsuri memiliki dua aspek besar. Aspek pertama adalah komunikasi di antara para dewa dengan manusia, sedangkan aspek yang kedua yakni komunikasi di antara para peserta matsuri itu sendiri. Aspek pertama mencakup ritus penyucian atau penyucian diri (purificatory rites/monoimi), persembahan sesajian (shinsen), dan pesta makan diantara para dewa dengan manusia (naorai). Aspek kedua, yakni menikmati hiburan dan keramaian yang diadakan selama berlangsungnya matsuri. Matsuri berhubungan erat dengan pertanian padi, terutama dengan siklus penanamannya. Oleh karena itu, festival yang dirayakan pada musim semi dan gugur dianggap sebagai festival tahunan yang terpenting. Pesta rakyat musim semi bertujuan untuk mengusahakan agar panen membawa hasil yang baik dan berlimpah, sedangkan pesta rakyat musim gugur diadakan untuk mengucap syukur pada para dewa atas panen yang berlimpah.

Picken (1994 : 176) mengatakan bahwa inti dari kegiatan Shinto di setiap kuil adalah festival. Ribuan matsuri diadakan di seluruh penjuru Jepang setiap tahunnya. Acara pemujaan kami yang diadakan setiap komunitas disebut dengan festival. Festival merupakan bagian lingkaran acara tahunan pada semua kuil di seluruh daerah. Setiap

(20)

kuil memiliki masing-masing acara tahunannya sendiri, kebanyakan berkaitan dengan pertanian, khususnya menanam padi, perlindungan pada waktu menanam padi, dan memanen padi. Festival mengikuti rangkaian dasar acara, dan komunitas lokal menambahkan aktivitas khusus serta sebuah sentuhan warna lokal tergantung pada acara yang akan berlangsung. Rangkaian utama dari acara tersebut adalah membacakan doa untuk kami, memberi persembahan kepada kami, dan berinteraksi dengan kami.

2.6 Konsep Mame-maki Dalam Setsubun

Menurut Hicks dalam Danandjaja (1997 : 306), Setsubun adalah pesta rakyat yang pada dasarnya merupakan upacara pengusiran roh jahat, yang kini diadakan setiap tanggal tiga atau empat Febuari. Pada hari itu diadakan pelemparan kacang kedelai (Mame-maki) untuk mengusir roh jahat, sehingga upacara ini digolongkan ke dalam ritus penangkal pengaruh jahat (exorscim) dengan maksud melenyapkan pengaruh jahat yang dapat mendatangkan bencana.

Secara harafiah Setsubun berarti pembagian musim. Istilah Setsubun pada mulanya dipergunakan untuk menunjuk malam sebelum hari pertama dari dua puluh empat bagian penanggalan surya di Jepang, yang dikenal dengan nama setsu. Kemudian istilah ini dipergunakan dalam arti yang lebih spesifik lagi, yaitu hari terakhir dari setsu, yang disebut daikan (dingin yang sangat), yang sama dengan malam dari risshun (hari pertama dari musim semi), yakni hari tahun baru penanggalan surya kuno, dan permulaan tradisional musim semi.

Pada festival ini, kacang-kacangan (biasanya kacang kedelai) ditebarkan di dalam maupun di luar rumah atau bangunan, disertai dengan berteriak ” oni wa soto, fuku wa uchi! ” (enyahlah keburukan, datanglah keberuntungan!). Sudah menjadi adat kebiasaan,

(21)

pada hari itu para anggota keluarga makan kacang dalam jumlah yang sesuai dengan usia masing-masing.

Setsubun merupakan festival keagamaan yang penting bagi masyarakat Jepang. Pada puncak upacaranya, diadakan pelemparan kacang kedelai sambil mengucapkan mantra untuk mengusir roh jahat dan mendatangkan keberuntungan.

Upacara melemparkan kacang kedelai (Mame-maki) diadopsi dari Cina oleh kerajaan pada abad ke-9. Ketika itu ritual ini masih disebut dengan istilah Tsuina, yang merupakan upacara yang berasal dari Cina yang disebut Zhui nuo atau Chui nuo. Tsuina secara harafiah berarti ”mengusir kemalangan”, dan diselenggarakan oleh kerajaan pada hari raya tahun baru. Ritual pelemparan kacang tersebut masuk dalam festival Setsubun pada zaman Muromachi (1333 – 1568 Masehi). Sejak itulah ritual ini disebut Mame-maki.

Menurut Picken (1994 : 181), Setsubun merupakan festival yang berasal dari negara Cina, yang diselenggarakan di kuil Shinto pada awal musim semi. Mencegah kesialan dan harapan datangnya keberuntungan yang disimbolisasikan dengan melempar kacang.

Referensi

Dokumen terkait

Ri R in ng gk ka as sa an n S Se es si i Introduction 10 menit Menyampaikan latar belakang, tujuan dan hasil belajar, sert langkah- langkah kegiatan Mengingatkan

Karena tidak ada perintah dalam kitab suci untuk memindahkan hari istirahat dari hari terakhir ke hari pertama dalam minggu itu, umat Protestan harus menguduskan hari Sabat mereka

Dalam keseimbangan pada film Slepping Beauty, lebih memperlihatkan bagaimana kehidupan raja dan ratu, ketika mereka telah mempunyai seorang anak yang telah lama mereka

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh jumlah pemberian air dan media tanam terhadap produksi tanaman pakcoy (Brassica rapa L.) dengan

Isolat bakteri penambat N non-simbiotik pada sampel tanah HTA1 memperlihatkan bentuk, tepian dan elevasi yang berbeda-beda dengan warna koloni yang didominasi oleh

orang sungguh dikatakan dan diakui sebagai orang beriman katolik jika dia telah dibaptis atau menerima sakaramen baptis sehingga tidaklah cukup hanya mengatakan Saya percaya

Menimbang : bahwa dengan adanya dinamika pemahaman terhadap pelaksanaan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan belanja

Berdasarkan hasil pengujian sistem maka dapat disimpulkan bahwa keakuratan sistem menggunakan metode K-Means clustering dalam proses segmentasi, GLCM dalam ekstraksi ciri