LAPORAN RANGKUMAN MATERI LINGUISTIK UMUM
PADA BAB 3 DAN BAB 4
OLEH :
DESTRIYADI
2125152872 / 2015
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
BAB 3
OBJEK LINGUISTIK : BAHASA
3.3 BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA
Objek kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri dan objek kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa. Dalam hal ini yang menjadi persoalannya apakah dan bagaimanakah faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang menjadi objek kajian linguistik makro itu. Kiranya yang dimaksud dengan faktor-faktor di luar bahasa itu tidak lain daripada segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa. Yang ingin di bicarakan dan yang memang erat kaitannya dengan bahasa adalah hubungan bahasa dengan masyarakat itu sendiri.
3.3.1 Masyarakat Bahasa
Kata masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat tinggal. Atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Yang dimaksud dengan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Masyarakat bahasa bisa melewati batas provinsi batas negara, bahkan juga batas benua. Orang Indonesia pada umumnya adalah bilingual, yaitu menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa daerahnya. Banyak juga yang multilingual, karena selain menguasai bahasa Indonesia, menguasai bahasa daerahnya sendiri, menguasai pula bahasa daerah lain, atau bahasa asing.
Jika sesama orang Indonesia lain dia menggunakan bahasa Indonesia, maka dia menjadi anggota masyarakat bahasa Indonesia. Jika pada kesempatan lain, dia menggunakan bahasa daerah sesama orang yang sedaerah, maka dia menjadi anggota masyarakat daerahnya. Memang ada pembagian fungsi antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia digunakan dalam tingkat nasional, sedangkan bahasa daerah digunakan pada tingkat kedaerahan.
3.3.2 Variasi dan Status Sosial Bahasa
Dalam beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Variasi bahasa tinggi ( variasi bahasa T ) yang digunakan dalam situasi-situasi resmi. Variasi bahasa rendah ( variasi bahasa R ) yang digunakan dalam situasi-situasi yang tidak formal. Adanya perbedaan variasi bahasa T dan variasi bahasa R disebut dengan istilah diglosia
3.3.3 Penggunaan Bahasa
Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
1. Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan.
2. Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.
3. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.
4. Act Sequences, yaitu hal yang menunjukkan pada bentuk dan isi percakapan.
5. Key, yaitu pada cara dan semangat dalam melakukan percakapan.
6. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan
7. Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan
8. Genres, yaitu yang menunjukkan pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Dalam berkomunikasi lewat bahasa harus diperhatikan faktor-faktor siapa lawan atau mitra bicara kita, tentang apa topiknya, situasinya bagaimana, tujuannya apa, ragam bahasa yang digunakan yang mana.
3.3.4 Kontak Bahasa
Dalam masyarakat yang terbuka , artinya masyarakatnya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut dengan kontak bahasa. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya bilingualisme dan
multilingualisme. Dalam masyarakat multilingual yang mobilitasnya geraknya tinggi, maka angota-anggota masyarakatnya akan cenderung untuk menggunakan dua bahasa atau lebih, baik sepenuhnya maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhannya. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual, atau monoglot; yang menguasai dua bahasa disebut bilingual; sedangkan yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut
multilingual, plurilingual, atau poliglot. Kefasihan seseorang untuk menggunakan dua buah bahasa sangat tergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu.
Dalam masyarakat yang bilingual dan multilingual sebagai akibat adanya kontak bahasa, dapat terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi, integrasi, alihkode, campurkode.
Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu.
Alihkode yaitu beralihnya penggunaan suatu kode entah bahasa atau pun ragam bahasa tertentu ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa yang lain). Alihkode dapat juga terjadi karena perubahan situasi, atau topik pembicaraan.
Campurkode terjadi tanpa sebab. Dalam campurkode ini dua kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam situasi santai. Dalam masyarakat Indonesia kasus campurkode ini biasa terjadi.
3.3.5 Bahasa dan Budaya
Salah satu objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas, bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Jadi, bahasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia. Tapi kebanyakan orang tidak mengenal hipotesis ini malah lebih mengenal kebalikan hipotesis ini yaitu kebudayaan lah yang mempengaruhi bahasa. Karena eratnya hubungan antara bahasa dan kebudayaan ini, maka ada pakar yang menyamakan kedua hal itu sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
3.4 KLASIFIKASI BAHASA
Pendekatan klasifikasi bahasa yang dapat disebutkan disini adalah pendekatan genetis, pendekatan tipologis, pendekatan areal, dan pendekatan sosiolinguistik.
Pendekatan genetis hanya melihat dari keturunan bahasa itu dan hasilnya disebut klasifikasi genetis. Pendekatan tipologis menggunakan kesamaan-kesamaan tipologi dan hasilnya disebut klasifikasi tipologis. Pendekatan areal menggunakan pengaruh timbal-balik antara suatu bahasa dengan bahasa yang lain untuk membuat klasifikasi. Pendekatan sosiolinguistik membuat klasifikasi berdasarkan hubungan bahasa itu dengan keadaan masyarakat.
3.4.1 Klasifikasi Genetis
Klasifikasi ini disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis keturunan bahasa-bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa proto akan pecah dua bahasa baru atau lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa-bahasa lain dan seterusnya seperti itu.
3.4.2 Klasifikasi Tipologis
Klasifikasi pada tataran morfologi pada abad XIX dibagi tiga kelompok, yaitu :
Kelompok pertama, adalah semata-mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi.
Kelompok kedua, adalah yang menggunakan akar kata sebagai klasifikasi.
Kelompok ketiga, adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi. 3.4.3 Klasifikasi Areal
Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak. Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam kontak sejarah bahasa-bahasa itu memberikan pengaruh timbal-balik dalam hal-hal tertentu yang terbatas.
3.4.4 Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat; tepatnya, berdasarkan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu.klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri atau kriteria, yaitu historisitas, standardisasi, vitalitas, dan homogenesitas. Historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu. Kriteria standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku, atau statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal. Vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam, kegiatan sehari-hari secara aktif, atau tidak. Homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu diturunkan.
3.5 BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA
Dalam pembicaraan mengenal bahasa tulis dan tulisan kita menemukan istilah-istilah huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, alograf, kaligrafi, dan grafiti. Huruf adalah istilah umum untuk graf dan grafem. Abjad atau alfabet adalah urutan huruf-huruf dalam suatu sistem aksara. Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan statusnya. Grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggambarkan fonem, suku kata, atau morfem, tergantung dari sistem aksara yang bersangkutan. Dalam kehidupan manusia aksara ternyata tidak hanya dipakai untuk keperluan menulis dan membaca, tetapi juga telah berkembang menjadi suatu karya seni yang disebut
kaligrafi, atau secara harfiah bisa diartikan sebagai seni menulis indah. Grafiti adalah corat-coret di dinding, tembok, pagar, dan sebagainya dengan huruf-huruf dan kata-kata tertentu.Biasanya digunakan untuk menyalurkan ekspresi kejiwaan, keinginan berontak, dan sebagainya.
Ada beberapa jenis aksara, yaitu aksara piktografis, aksara ideografis, aksara silabis, aksara fonemis. Semua jenis aksara itu tidak ada yang bisa merekam bahasa lisan secara sempurna. Banyak unsur bahasa lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan tepat dan akurat. Aksara latin adalah aksara yang bersifat silabis.
BAB 4
TATARAN LINGUISTIK (1) : MORFOLOGI
Runtunan bunyi bahasa ini dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan tingkatan-tingkatan kesatuannya yang ditandai dengan hentian-hentian atau jeda yang terdapat dalam runtunan bunyi itu.
Silabel merupakan satuan runtunan bunyi yang ditandai dengan satu satuan bunyi yang paling nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh sebuah bunyi lain di depannya, di belakangnya, atau sekaligus di depan dan di belakangnya. Adanya puncak kenyaringan atau sonoritas inilah yang menandai silabel itu.
Bidang linguisik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu
bunyi dan logi yaitu ilmu. Fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
4.1 FONETIK
Menurut urutan proses terjadinya, fonetik dibedakan menjadi tiga jenis fonetik, yaitu
fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Yang paling berurusan dengan dunia linguistik adalah artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sebetulnya alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai fungsi utama lain yang bersifat biologis. Dan kita perlu mengenal nama alat-alat itu untuk bisa memahami bagaimana bunyi bahasa itu diproduksi.
4.1.2 Proses Fonasi
Berkenaan dengan hambatan pada pita suara ini, perlu diketahui adanya empat macam posisi pita suara, yaitu (a) pita suara terbuka lebar, artinya tidak akan terjadi bunyi bahasa. Posisi ini adalah posisi untuk bernapas secara normal. (b) pita suara terbuka agak lebar, maka akan terjadilah bunyi bahasa yang disebut bunyi tak bersuara. (c) pita suara terbuka sedikit, maka akan terjadilah bunyi bahasa yang disebut bunyi bersuara (d) pita suara tertutup rapat-rapat, maka akan terjadilah bunyi hamzah atau glotal stop. Jadi, bunyi baru bisa dihasilkan kalau ada hambatan atau gangguan terhadap arus udara yang dipompakan dari paru-paru itu.
Tempat bunyi bahasa ini terjadi disebut tempat artikulatoris, proses terjadinya disebut proses artikulatoris dan alat yang digunakan juga disebut alat artikulatoris atau artikulator. Artikulator aktif adalah alat ucap yang bergerak atau digerakkan. Artikulatoris pasif adalah alat ucap yang tidak dapat bergerak, atau yang didekati oleh artikulator aktif. Keadaan, cara, atau posisi bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif disebut striktur.
4.1.3 Tulisan Fonetik
Tulisan fonetik yang dibuat untuk keperluan studi fonetik, sesungguhnya dibuat berdasarkan huruf-huruf dari aksara latin, yang ditambah dengan sejumlah tanda diakritik dan sejumlah modifikasi terhadap huruf latin itu. Dalam tulisan fonetik setiap huruf atau lambang hanya digunakan untuk melambangkan satu bunyi bahasa. Atau setiap bunyi bahasa, sekecil apa pun bedanya dengan bunyi yang lain, akan juga dilambangkan hanya dengan satu huruf atau lambang. Kalau dalam tulisan fonetik, setiap bunyi, baik yang segmental maupun yang suprasegmental, dilambangkan dengan akurat, artinya setiap bunyi mempunyai lambang-lambangnya sendiri, meskipun perbedaannya hanya sedikit., tetapi dalam tulisan fonemik hanya perbedaan bunyi yang distingtif saja, yakni yang membedakan makna, yang diperbedakan lambangnya. Bunyi-bunyi yang mirip tetapi tidak membedakan makna kata tidak diperbedakan lambangnya. Sistem tulisan ortografi dibuat untuk digunakan secara umum di dalam masyarakat suatu bahasa.
4.1.4 Klasifikasi Bunyi
Bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar. Jadi, bedanya bunyi vokal dan konsonan adalah arus udara dalam pembentukkan bunyi vokal, setelah melewati pita suara, tidak mendapat hambatan apa-apa, sedangkan konsonan arus udara itu masih mendapat hambatan atau gangguan. Bunyi konsonan ada yang bersuara ada yang tidak dan bunyi vokal semuanya bersuara, sebab dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit.
4.1.4.1 Klasifikasi Vokal
Menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tak bundar. Vokal tak bundar dikarenakan bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu. Vokal tak bundar karena bentuk mulut tidak membundar, melainkan melebar.
4.1.4.2 Diftong atau Vokal Rangkap
Disebut diftong karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Apabila ada dua buah vokal berturutan, namun yang pertama terletak pada suka kata yang berlainan dari yang kedua, maka di situ tidak ada diftong. Berdasarkan letak unsur-unsurnya, diftong dibedakan menjadi diftong naik dan diftong turun. Diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi bunyi yang kedua, sedangkan diftong turun karena posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi kedua.
4.1.4.3 Klasifikasi Konsonan
Bunyi-bunyi konsonan biasanya dibedakan berdasarkan tiga kriteria, yaitu posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi. Berdasarkan posisi pita suara dibedakan adanya bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara. Bunyi bersuara terjadi apabila pita suara hanya terbuka sedikit, sedangkan bunyi tak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak lebar.
Berdasarkan tempat artikulasinya :
1. Bilabial, yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada bibis atas.
2. Labiodental, yaitu konsonan yang terjadi pada gigi bawah dan bibir atas; gigi bawah merapat pada bibir atas.
3. Laminoalveloar, yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi dimana daun lidah menempel pada gusi.
4. Dorsovelar, yaitu konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan langit-langit lunak. Berdasarkan cara artikulasinya :
1. Hambat, artikulator menutup sepenuhnya aliran udara, sehingga udara mampat dibelakang tempat penutupan itu.
2. Geseran atau frikatif, artikulator aktif mendekati artikulator pasif, membentuk celah sempit, sehingga udara yang lewat di celah itu mendapat gangguan.
3. Paduan atau frikatif, artikulator aktif menghambat sepenuhnya aliran udara, lalu membentuk celah sempit dengan artikulator pasif
4. Sengauan atau nasal, artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara melalui mulut, tetapi membiarkannya keluar melalui rongga hidung dengan bebas.
5. Getaran atau trill, artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif, sehingga getaran bunyi itu terjadi berulang-ulang.
7. Hampiran atau aproksiman, artikulator aktif dan pasif membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti dalam pembentukan vokal, tetapi tidak cukup sempit untuk menghasilkan konsonan geseran.
4.1.5 UNSUR SUPRASEGMENTAL
4.1.5.1 Tekanan atau Stres
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan tekanan lunak.
4.1.5.2 Nada atau Pitch
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi begitupun jika diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah.
4.1.5.3 Jeda atau Persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Jeda ini dapat bersifat penuh dan dapat juga bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam
dan sendi luar. Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel lainnya sedangkan sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari segmen silabel
4.1.6 Silabel
Runtunan bunyi bahasa itu, sebagai wujud dari pertuturan, dapat disegmentasikan berdasarkan jeda-jeda dan tekanan yang ada dalam runtunan bunyi itu, menjadi satuan-satuan bunyi tertentu. Salah satu dari satuan bunyi itu adalah silabel atau suku kata. Silabel atau suku kata itu adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau runtunan bunyi ujaran. Silabel sebagai satuan ritmis mempunyai puncak kenyaringan atau sonoritas yang biasanya jatuh pada sebuah vokal. Bunyi yang paling banyak menggunakan ruang resonasi itu adalah bunyi vokal. Menentukan batas silabel sebuah kata kadang-kadang memang agak sukar karena penentuan batas itu bukan hanya soal fonetik, tetapi juga soal fonemik, morfologi, dan ortografi. Bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada buah silabel yang berurutan disebut interlude. Yang dimaksud dengan onset adalah bunyi pertama pada sebuah silabel dan yang dimaksud dengan koda adalah bunyi akhir pada sebuah silabel.
Objek penelitian fonemik adalah fonem, yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna lain lebih jelasnya dalam fonemik apakah perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi tersebut kita sebut fonem, dan jika tidak membedakan makna maka itu bukan fonem.
4.2.1 Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui sebuah fonem, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem karena dia bisa membedakan makna kedua satuan bahasa itu.
4.2.2 Alofon
Bunyi-bunyi yang merupakan realisasi dari sebuah fonem disebut alofon dan identitas alofon hanya berlaku untuk satu bahasa tertentu. Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai kemiripan fonetis, artinya, banyak mempunyai kesamaan dalam pengucapannya. Tentang distribusinya, mungkin bersifat komplementer atau juga bersifat bebas. Yang dimaksud dengan distribusi komplementer adalah distribusi yang tempatnya tidak bisa dipertukarkan, meskipun dipertukarkan juga tidak akan menimbulkan perbedaan makna. Sedangkan distribusi bebas adalah bahwa alofon-alofon itu boleh digunakan tanpa persyaratan lingkungan bunyi tertentu.
4.2.3 Klasifikasi Fonem
Fonem-fonem yang berupa bunyi, yang didapat sebagai hasil segmentasi terhadap arus ujaran disebut fonem segmental. Sebaliknya fonem yang berupa unsur suprasegmental disebut fonem suprasegmental atau fonem nonsegmental.
4.2.4 Khazanah fonem
Yang dimaksud dengan khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa. Berapa jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain. Ada kemungkinan juga karena perbedaan tafsiran, maka jumlah fonem dalam suatu bahasa menjadi tidak sama banyaknya menurut pakar yang satu dengan pakar yang lain.
4.2.5 Perubahan fonem
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada lingkungannya, atau pada fonem-fonem lain yang berada di sekitarnya. Dalam beberapa kasus lain, dalam bahasa-bahasa tertentu ada dijumpai perubahan fonetik yang mengubah identitas fonem itu menjadi fonem yang lain.
Asimilasi adalah peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi yang lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya, sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya. Kalau dalam proses asimilasi menyebabkan dua bunyi yang berbeda menjadi sama, baik seluruhnya maupun sebagian dari cirinya, maka dalam proses disimilasi perubahan itu menyebabkan dua buah fonem yang sama menjadi berbeda atau berlainan.
4.2.5.2 Netralisasi dan Arkifonem
Contoh netralisasi sendiri seperti kata hard yang dilafalkan menjadi hart. Oposisi antara bunyi [d] dan [t] adalah antara bersuara dan tidak bersuara. Pada posisi akhir oposisi itu dinetralkan menjadi bunyi tak bersuara. Jadi, adanya bunyi [t] pada posisi akhir kata yang di eja hard adalah hasil netralisasi itu. Fonem [d] pada kata hard yang bisa berwujud [t] dan [d] dalam peristilahan linguistik disebut arkifonem.
4.2.5.3 Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal
Umlaut adalah perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal yang berikutnya tinggi. Ablaut adalah perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa Indo Jerman untuk menandai berbagai fungsi gramatikal. Ablaut berbeda dengan umlaut. Kalau umlaut terbatas pada peninggian vokal akibat pengaruh bunyi berikutnya, ablaut bukan akibat pengaruh bunyi berikutnya, dan bukan terbatas pada peninggian bunyi; bisa juga pada pemanjangan, pemendekan, atau penghilangan vokal. Perubahan bunyi yang disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal terdapat dalam bahasa Turki.
4.2.5.4 Kontraksi
Dalam pemendekan seperti ini, yang dapat berupa hilangnya sebuah fonem atau lebih, ada yang berupa kontraksi. Dalam kontraksi, pemendekan itu menjadi satu segmen dengan pelafalannya sendiri-sendiri.
4.2.5.5 Metatesis dan Epentesis
Proses metatesis bukan mengubah bentuk fonem menjadi fonem yang lain, melainkan mengubah urutan fonem yang terdapat dalam suatu kata. Dalam proses epentesis sebuah fonem tertentu, biasanya yang hormogan dengan lingkungannya, di sisipkan ke dalam sebuah kata.
4.2.6 Fonem dan Grafem
Fonem dianggap sebagai konsep abstrak, yang didalam pertuturan direalisasikan oleh alofon, atau alofon-alofon, yang sesuai dengan lingkungan tempat hadirnya fonem tersebut. Dalam studi fonologi, alofon-alofon yang merealisasikan sebuah fonem itu, dapat dilambangkan secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik.