• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

133

VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG

PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk dari luar. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input maupun output. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang diminta oleh produsen (privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perbedagangan bebas. Kebijakan pemerintah yang diberlakukan pada input maupun output adalah kebijakan subsidi dan pajak serta hambatan berupa tarif dan kuota (Anindita dan Michael, 2008).

6.1. Kebijakan Terhadap Input

Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah subsidi positif. Subsidi positif adalah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada penyedia tunggal suatu barang. Pada kegiatan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke, subsidi positif terdapat pada input solar, sedangkan untuk input lain seperti bibit, tenaga kerja, tali utama, pelampung dan peralatan lainnya tidak terdapat subsidi.

Pemberian subsidi bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usahatani rumput laut sehingga akan diperoleh peningkatan produksi yang optimal. Harga BBM dalam hal ini adalah solar berlaku sama diseluruh Indonesia yaitu Rp 4 500 per liter. Undang- Undang No.8 Tahun 1971 menyatakan bahwa subsidi BBM diberikan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai konsekuensi dari penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah. Pertamina melaksanakan tugas sebagai penyedia dan pelayanan BBM untuk keperluan dalam negeri sebagai tugas pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi subsidi ini secara bertahap akan dikurangi. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001, dimana dijelaskan bahwa penugasan khusus pertamina untuk menyediakan BBM dalam negeri akan berakhir tahun 2005 (Nugroho, 2004).

(2)

6.2. Kebijakan Terhadap Output

Salah satu kebijakan pemerintah yang ditetapkan pada suatu komoditas adalah kebijakan perdagangan. Kebijakan perdagangan terdiri atas kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan perdagangan yang diberlakukan pada usahatani rumput laut adalah kebijakan ekspor. Kebijakan ekspor bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia. Kebijakan perdagangan untuk komoditi ekspor dilakukan melalui penetapan pajak ekspor baik per unit barang yang di ekspor maupun secara keseluruhan dan pembatasan jumlah ekspor (kuota ekspor).

Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor Indonesia, Departemen Perdagangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.558/MPP/Kep/12/1998 jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 01/M-DAG/PER/1/2007 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor. Dalam keputusan ini ditetapkan tiga kategori tata niaga ekspor yaitu komoditi yang diatur, diawasi dan dilarang ekspornya. Komoditi rumput laut tidak termasuk dalam keputusan ini melainkan termasuk dalam kelompok barang yang bebas tata niaga ekspornya, artinya setiap badan kategori usaha atau perorangan dapat melakukan kegiatan ekspor apabila telah memiliki SIPU, TDP dan NPWP.

Meskipun komoditi rumput laut masuk dalam komoditi yang bebas tataniaga ekspornya, tetap memerlukan perhatian yang serius terutama dalam kebijakan tentang penetapan standar mutu produk mulai dari hulu sampai ke hilir (Supply Chain). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas rumput laut yang akan di ekspor sebab negara tujuan ekspor khususnya negara-negara maju sangat memperhatikan keamanan pangan yang terkait Sanitary dan Phytosanitary (SPS) dan dapat menjadi hambatan non tarif bagi negara pengekspor seperti Indonesia. Kebijakan ekspor yang perlu mendapat perhatian adalah Laboratorium Penguji Mutu baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta (Kementrian Perindustrian dan Perdagangan, 2010).

Berdasarkan kebijakan pemerintah dalam hal ekspor rumput laut, pada tahun 2010 hingga akhir 2011, pemerintah Indonesia memberlakukan pajak ekspor rumput laut khusus ke Negara China sebesar 30 persen. Hal ini dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi ekspor bahan baku rumput laut

(3)

133 kering ke Negara China secara besar-besaran, selain itu untuk memenuhi

kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan pajak ekspor tersebut berdampak terhadap volume ekspor yang menurun terutama ke negara China dan harga rumput laut dalam negeri menjadi rendah akibat banyaknya bahan baku rumput laut kering yang tidak terserap oleh pasar domestik akibat industri pengolahan rumput laut dalam negeri masih kurang. Oleh karena itu pada akhir tahun 2011 hingga sekarang, Kementerian perdagangan memutuskan untuk tidak memberlakukan kebijakan tersebut sehingga pajak ekspor rumput laut kering tetap nol persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi intervensi dalam perdagangan output rumput laut, sehingga mekanisme harga rumput laut domestik lebih ditentukan oleh mekanisme pasar.

Meskipun komoditi rumput laut termasuk dalam komoditi yang bebas tata niaga ekspornya, kebijakan yang penting mendapat perhatian adalah kebijakan tentang standar mutu produk. Kebijakan ini ditempuh untuk memenuhi keinginan negara-negara pengimpor rumput laut dari Indonesia sehingga sesuai standar yang ditetapkan.

Kebijakan pemerintah dalam mengurangi hambatan non tarif seperti Sanitary dan Phynosanitary (SPS) serta Technical Barrier To Trade (TBT) yang terkait dengan regulasi teknis, standar dan prosedur konformitas dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59/M-DAG/PER/2010 tentang penerbitan Certificate of Legal Origin (CoLo) untuk barang ekspor termasuk rumput laut. Sertifikat CoLo ini diterbitkan oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini dalam rangka mencapai ekuivalen dengan peraturan negara tujuan ekspor. Kebijakan ini menyebabkan biaya kegiatan ekspor terutama biaya legalisasi dokumen ekspor menjadi tinggi dan membutuhkan waktu yang lama.

6.3. Kebijakan Revitalisasi Rumput Laut

Indonesia merupakan salah satu negara eksportir rumput laut dunia, akan tetapi beberapa tahun terakhir ini mengalami kemunduran akibat semakin berkurangnya jumlah dan nilai ekspor rumput laut. Pencapaian produksi belum

(4)

diimbangi oleh pengembangan mata rantai pemasaran rumput laut seperti penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi belum konsisten. Harga rumput laut yang tidak menentu di pasar internasional, kualitas rumput laut yang kurang memenuhi standar dunia dan permintaan yang inelastis sehingga persaingan rumput laut dunia semakin ketat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat dalam pengembangan rumput laut di Indonesia.

Kebijakan pengembangan rumput laut meliputi kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau lokal. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mengacu pada kebijakan pemerintah pusat, sehingga kebijakan tersebut dapat bersinergi dengan program lainnya dan berkesinambungan. Adapun kebijakan nasional pengembangan rumput laut yang telah dan akan dilaksanakan adalah : (1) kebijakan peningkatan produksi rumput laut, (2) kebijakan peningkatan produk derivatif rumput laut, (3) kebijakan kelembagaan, dan (4) kebijakan intensifikasi pasar. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Kebijakan peningkatan produksi rumput laut melalui :

a. Mengoptimalkan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut. b. Mengembangkan jumlah unit lahan budidaya pada kawasan-kawasan

strategis dan potensial pengembangan rumput laut di Indonesia melalui klaster budidaya rumput laut untuk kawasan Indonesia bagian Barat (Aceh, Kepri, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jatim, Jabar dan Jateng), kawasan Indonesia bagian Tengah (Bali, NTB, NTT, Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel) sedangkan kawasan Indonesia Timur meliputi Maluku dan Papua.

c. Mengembangkan input teknologi budidaya yang secara langsung berdampak

pada peningkatan jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi.

d. Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut.

e. Kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut

f. Penyediaan pendanaan perbankan nasional seperti pemberian kredit usahatani

dan pengembangan UMKM

(5)

133 a. Memperbanyak jumlah industri pengolah rumput laut penghasil ekstrak (chip)

dan bubuk (powder) dalam negeri melalui nota kesepahaman pengembangan kawasan budidaya dan industri rumput laut di 7 provinsi yaitu Propinsi NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Maluku, MalukuUtara, Sulawesi Tenggara, dan

Sulawesi Selatan. Nota kesepahaman tersebut melibatkan 6

lembaga/kementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Kementerian PDT, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

b. Peningkatan kegiatan penelitian untuk menciptakan diversifikasi produk rumput laut

c. Pengembangan teknologi berbasis mutu dan keamanan pangan

3. Kebijakan Kelembagaan

a. Membangun kerjasama, sinergitas, persamaan persepsi dan tanggungjawab

antara seluruh steakholder dalam upaya pengembangan rumput laut nasional melalui Forum Budidaya Rumput Laut dan menjadikan Forum rumput laut nasional sebagai agenda tahunan.

b. Pengembangan dan pemantapan hubungan kerja Asosiasi Petani dan

pengusaha Rumput Laut Indonesia (ASPERLI) dengan pemerintah pusat maupun daerah.

c. Pengembangan kelembagaan penunjang seperti koperasi yang dikelola

secara professional di kawasan pengembangan rumput laut untuk menjamin pergerakan rantai pasok (Suply Chain).

d. Membentuk kemitraan usaha melalui pola inti plasma atau CSR (Cooperate

Social Responsibility) 4. Kebijakan Intensifikasi Pasar

a. Pengembangan jaringan pemasaran dalam negeri dan ekspor

b. Promosi produk-produk rumput laut Indonesia, baik dalam bentuk raw

material (rumput laut kering) dengan standar mutu yang berkualitas maupun produk turunan rumput laut.

c. Melakukan ekspansi pasar ke negara-negara yang bukan merupakan negara

(6)

6.4. Kebijakan Pemerintah Daerah

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu penghasil rumput laut terbesar di Indonesia dan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat juga melaksanakan revitalisasi rumput laut yang bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi rumput laut, memperbanyak produk turunan sehingga nilai jualnya lebih tinggi dan mengintensifkan negara tujuan ekspor rumput laut (Berita Daerah, 2009).

Provinsi Sulawesi Selatan sebagai sentra pengembangan budidaya rumput laut, sejak tahun 2009, kegiatan program pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan budidaya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pengembangan komoditas diantaranya : (1) pengembangan budidaya rumput laut, (2) peningkatan kualitas rumput laut, (3) peningkatan pemasaran, (4) peningkatan strategi regulasi, dan (5) peningkatan permodalan. Pengembangan komoditas tersebut di atas dirinci sebagai berikut :

1. Pengembangan Budidaya Rumput Laut

a. Penyaluran paket penguatan modal pengembangan budidaya di 8 kabupaten (Bulukumba, Pangkep, Wajo, Barru, Maros, Pinrang, Luwu dan Takalar) sebanyak 57 paket.

b. Penyaluran sarana produksi berupa bibit, tali no. 9, no. 5 dan pelampung di 8 kabupaten.

2. Peningkatan Kualitas Rumput laut

a. Penyediaan dan ketersediaan jumlah bibit rumput laut berkualitas dengan harga murah.

b. Pelatihan sertifikasi penangkaran bibit rumput laut kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi petani dan pedagang

3. Peningkatan Pemasaran

a. Membangun komitmen dan kesadaran para pelaku pada tingkat pedagang pengumpul terhadap kualitas SNI rumput laut.

b. Membangun dan memfungsikan lembaga pengawas mutu sehingga tindakan penyimpangan dalam pemenuhan mutu dapat dihindari.

(7)

133 Pengaturan agribisnis rumput laut (sea plan) hendaknya difokuskan pada

penetapan suatu peraturan tentang penetapan penggunaan wilayah perairan pantai khususnya peruntukan budidaya rumput laut oleh masyarakat. Perencanaan laut (sea plan) untuk memberikan kesejalasan bagi masyarakat dalam mengembangkan wilayah pantai agar tidak berbenturan dengan rencana pembangunan daerah misalnya rencana untuk pengembangan daerah wisata pantai tidak berbenturan dengan kegiatan masyarakat yang akan mengembangkan budidaya rumput laut.

5. Peningkatan Permodalan

Permodalan bagi para petani/nelayan rumput laut adalah pemberdayaan kepada aksebilitas pada lembaga keuangan mikro, sehingga petani/nelayan mampu memiliki usaha budidaya rumput laut secara mandiri. Kenyataan dilapangan menunjukkan banyak petani/nelayan rumput laut sangat bergantung kepada pedagang pengumpul karena adanya ikatan pelunasan utang yang telah dijanjikan sehingga mereka tak pernah menjadi pemilik usaha secara mandiri. Keberadaan lembaga keuangan mikro berupa koperasi, BPR, BRI unit atau keberadaan BDS (Business Development Service) mempunyai peranan yang strategis dalam hal akses permodalan tersebut.

Selain kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Sulawesi Selatan pada peningkatan industri hulu rumput laut, pemerintah juga menetapkan kebijakan untuk industri hilir atau industri pengolahan rumput laut yaitu : (1) sasaran pengembangan; dan (2) strategi pengembangan. Kebijakan tersebut dirinci sebagai berikut :

1. Sasaran Pengembangan

Sasaran Jangka Menengah (2010 – 2014) a. Meningkatnya areal tanaman rumput laut.

b. Meningkatnya produktivitas tanaman rumput laut menjadi 3 ton kering/Ha/2 bulan

c. Tumbuhnya industri Semi Refined Carragenan (SRC).

d. Tumbuhnya industri makanan dan kosmetik berbasis rumput laut. e. Meningkatnya akses pasar, khususnya pasar SRC.

(8)

Sasaran Jangka Panjang (2015 – 2025)

a. Budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian pokok masyarakat pesisir Sulawesi Selatan.

b. Meningkatnya produktivitas tanaman menjadi 4 ton kering/Ha/2 bulan.

c. Semakin tumbuh dan berkembangnya industri SRC dan industri makanan dan kosmetik berbasis rumput laut.

d. Tumbuhnya industri Refined Carragenan (RC).

e. Semakin meluasnya akses pasar SRC, RC dan produk rumput laut dan Sulawesi Selatan merupakan penghasil SRC, RC terkemuka di dunia.

2. Strategi Pengembangan

a. Peningkatan produktivitas tanaman rumput laut melalui pengembangan kultur jaringan, teknologi budidaya dan pengolahan pasca panen.

b. Pengembangan teknologi proses untuk menghasilkan SRC, RC dan produk berbasis rumput laut.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang diduga sebagai variabel yang mempengaruhi pangsa pasar ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan ekspor adalah volume ekspor rumput laut Indonesia ke

d) Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat

Grafik garis di atas nilai rata- rata kemuluran terhadap benang PA yang diawetkan dengan ekstrak kulit batang salam dengan konsentrasi 0,3 kg/liter air (perlakuan A) yaitu

Proses identifikasi potensi perikanan dan kelautan pulau-pulau kecil dibagi menjadi beberapa metode Proses identifikasi potensi perikanan dan kelautan pulau-pulau kecil dibagi

Emboli air ketuban adalah suatu gangguan kompleks yang secara klasik ditandai oleh terjadinya hipotensi akut atau henti jantung, hipoksia akut, dan koagulopati

Pada analisis jalur jika variabel yang terkait berbentuk laten (tidak bisa diukur secara langsung), maka analisis data yang lebih tepat adalah pemodelan persamaan

syirkah dilakukan baik jumlahnya sama maupun berbeda. c Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawad}ah , bahwa dalam mufawad}ah disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bah- wa: 1) Terdapat pengaruh linear ya- ng positif dan signifikan antara representasi analogi terhadap