P E N D A H U L U A N
Latar BelakangKrisis di Indonesia berlangsung panjang, karena Indonesia memiliki faktor internal yang kurang menguntungkan. Faktor internal tersebut berupa konflik kebangsaan, disintegrasi yang melanda beberapa wilayah, problem perekonomian, angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi. Di samping itu faktor keadaan khusus yang disebabkan oleh bencana alam, dan faktor eksternal yang berlangsung bersamaan. Faktor eksternal tersebut ditandai dengan globalisasi yang menghasilkan sebuah fenomena persaingan yang luar biasa.
Krisis adalah sebagai titik balik pertumbuhan ekonomi menjadi merosot, apabila berlangsung berkepanjangan akan diikuti resesi dan jika resesi tersebut sangat hebat dapat dinamakan depresi, infrastruktur perekonomian negara yang sudah dibangun puluhan tahun tiba-tiba menjadi tidak berdaya dalam waktu sekejap. Dunia usaha, sektor industri dan perbankan hancur. Kegiatan ekonomi baik kemampuan produksi (supply
side) maupun daya beli (demand side) mengalami penurunan secara drastis
Ilustrasi di atas telah memperlihatkan bagaimana kompleksitas permasalahan kemiskinan di Indonesia. Guna memecahkan permasalahan kemiskinan, tidak cukup hanya mengungkapkan permasalahan mikro ekonomi yang secara riil dihadapi masyarakat, akan tetapi makro ekonomi juga harus dipikirkan pemecahannya. Kondisi mikro dan makro ekonomi telah bersama-sama menurunkan daya beli rakyat termasuk juga menjadi sumber terjadinya disparitas pendapatan per kapita penduduk. Keadaan tersebut menjadi agenda krusial untuk segera dipecahkan, mengingat masyarakat yang paling rentan terhadap masalah kemiskinan tidak lain adalah rakyat yang berpenghasilan rendah atau pada batas marginal.
Data dari BPS (2006) memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin, yaitu dari sekitar 18 persen (1996) menjadi 24 persen (1998) dari total populasi penduduk Indonesia1. Pandangan yang menyebutkan kemiskinan sebagai obyek yang tidak memiliki informasi dan pilihan telah menempatkan
1
dominasi peran pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Pendekatan ini terbukti kurang berhasil dalam memecahkan masalah yang disebabkan bukan saja oleh rancangan kebijakan yang kurang menyentuh kebutuhan masyarakat miskin tetapi juga kurang memberikan kesempatan yang lebih luas kepada mereka untuk menyalurkan aspirasinya (komite Penanggulangan Kemiskinan, 2005). Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat menjadi pilihan strategi dalam pemecahan masalah kemiskinan. Pemberdayaan memungkinkan orang miskin berpartisipasi bukan sebatas sebagai penerima manfaat, tetapi sebagai pengupaya, penilai sekaligus pemelihara capaian-capaian pembangunan.
Pemberdayaan adalah upaya peningkatan kemampuan individu, kelompok atau komunitas agar memiliki kemampuan mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (Sharlow,1998); melalui peningkatan ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Person, dikutip Suharto, 2005). Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan adalah pemberian akses bagi masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat miskin seringkali tidak memiliki akses yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan ketrampilan dalam menjangkau dan memanfaatkan sumberdaya, dan kurangnya kesediaan pemerintah atau kelompok kuat untuk membagi sumberdaya kepada kelompok lemah. Pemberian akses ini dapat dilakukan melalui program pendampingan dan kemudahan bagi orang miskin untuk memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya dalam mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik.
Sumodiningrat (1997) secara spesifik mengemukakan bahwa kemiskinan pada masyarakat lapisan bawah antara lain disebabkan oleh keterbatasan modal. Bagi masyarakat miskin, akses terhadap sumberdaya modal ke lembaga-lembaga keuangan formal seperti bank-bank milik pemerintah atau bank-bank komersial masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh prasyarat perbankan yang dimiliki oleh masyarakat lapisan bawah umumnya dinilai dengan 5 C, yaitu character (karakter), callateral (jaminan), capacity to repay (kemampuan untuk mengembalikan pinjaman), capital (modal) dan condition of economy (kondisi ekonomi).
Pelayanan kredit dari perbankan pada umumnya berpedoman pada prinsip pelayanan keuangan modern yang ketat dengan mengutamakan syarat bankable tersebut. Akibatnya, jarak antara lembaga keuangan formal dengan masyarakat lapisan bawah semakin jauh, sehingga mereka tidak dapat mengakses pelayanan kredit dari lembaga keuangan formal.
Keterbatasan akses terhadap sumberdaya modal yang disebabkan oleh ketidak mampuan dalam menjangkau lembaga keuangan formal bukan hanya terjadi pada masyarakat miskin, tetapi juga pada orang yang bekerja di sektor informal. Syaukat dan Hendrakusumaatmaja, (2005) menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kemiskinan dan masalah yang dihadapi sektor informal dan usaha kecil adalah kurangnya akses terhadap lembaga perbankan dan finansial (kurang/tiada fasilitas kredit dari bank pemerintah dan komersial) dan lemahnya kondisi sumberdaya manusia yang disebabkan pendidikan rendah dan kurang pelatihan/ ketrampilan. Bagi orang miskin dan yang bekerja di sektor informal, keharusan memiliki jaminan dalam bentuk aset, kepemilikan modal dan syarat-syarat kondisi ekonomi seperti memiliki pekerjaan, mempunyai pendapatan tetap, dan mempunyai usaha produktif, sulit untuk memenuhinya karena pada umumnya mereka mengalami keterbatasan dalam kepemilikan aset, modal dan kondisi ekonomi yang disyaratkan untuk mengajukan kredit.
Pendekatan kelompok dalam bentuk usaha bersama merupakan strategi pemberdayaan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat yang masih tertinggal. Lewin sebagaimana dikutip oleh Soekanto(2005) menyatakan bahwa akan lebih mudah untuk mengubah pola tingkah laku individu-individu yang terkait dalam suatu kelompok daripada secara individual. Demikian pula Garvin (1986) mengemukakan bahwa kebutuhan manusia ada yang hanya dapat dipenuhi melalui kelompok dan terdapat kemampuan-kemampuan manusia yang dapat dikembangkan melalui kelompok.
Salah satu bentuk kelompok tersebut adalah kelompok masyarakat pemanfaat dana Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dimana aktivitasnya seringkali dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan sosial atau masyarakat, dapat juga lingkungan fisik atau geografis dan lingkungan politik. Untuk dapat menjaga keberlangsungannya, sebuah kelompok harus selalu beradaptasi dengan
lingkungannya, karena kelompok hanyalah salah satu sub-sistem dari sistem yang lebih besar. Sub-sistem yang lain adalah masyarakat, adat istiadat, sistem politik dan sebagainya.
Dalam penanggulangan dampak krisis ekonomi pemerintah memberlakukan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program Pengembangan Kecamatan merupakan program pemerintah yang dimaksudkan selain untuk penanggulangan kemiskinan masyarakat pedesaan melalui bantuan modal usaha dan penyediaan prasarana dan sarana yang menunjang kegiatan ekonomi pedesaan, juga merupakan proses pembelajaran bagi masyarakat dan aparat melalui kegiatan pengambilan keputusan yang demokratis, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan.
Semangat awal pembentukan PPK oleh pemerintah adalah dimaksudkan untuk mengembangkan hasil pelaksanaan program Inpres Desa Tertinggal ( IDT ) yang sudah berjalan sebelumnya. Penilaian keberhasilan program IDT ditentukan oleh motivasi masyarakat, peran aktif masyarakat serta kebebasan untuk memutuskan pilihan kegiatan secara demokratis, sehingga masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya.
Dalam PPK, proses pemberdayaan masyarakat disertai dengan proses pemberdayaan lembaga dan aparat baik di desa maupun di kecamatan yang dikoordinir oleh kecamatan. Pelaksanaan PPK sebagai wadah pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui forum kelembagaan pertemuan masyarakat yang dimulai dari Musyawarah Dusun (Musdus), Musyawarah Desa (Musdes) , serta Musyawarah Antar Desa ( MAD ). Forum-forum tersebut difasilitasi dalam bentuk pendampingan, bimbingan, dari aparat desa, kecamatan dan pihak konsultan pendamping.
Dari hasil pengamatan awal, diperoleh informasi bahwa mulai tahun 1998/1999 Kecamatan Kalibawang yang terdiri dari empat desa yakni desa Banjararum, Banjarasri, Banjaroya, Banjarharjo memperoleh bantuan dana PPK untuk fase pertama sebesar Rp.500.000.000,- dan Rp.750.000.000,- untuk fase kedua. Dalam mengelola dana PPK di tingkat desa dibentuk Tim Pelaksana Kegiatan yang berfungsi mengkoordinir pengajuan dan pencairan dana dari kelompok-kelompok yang berada di wilayah satu desa, di samping itu juga menerima konsultasi dan memberikan pembinaan untuk masing-masing
kelompok. Dalam perjalanannya sampai dengan tahun ketiga mendapat penilaian berhasil dari Bank Dunia, sehingga pada tahun 2001 mendapat reward / hadiah sebesar Rp.750.000.000,- Pada awal pengelolaan dana PPK dilakukan dengan memanfaatkan kelompok yang sudah ada seperti Dasa Wisma, PKK, Karang Taruna, serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang sudah berjalan minimum satu tahun. Tetapi sejak tahun 2004 dari hasil Musyawarah Antar Desa disepakati pemanfaatan dana, bisa melalui kelompok dengan sistem tanggungrenteng, dan bisa perorangan dengan persetujuan Kepala Dukuh serta menggunakan agunan.
Sayangnya keberhasilan tersebut tidak dialami oleh semua desa, terdapat satu desa yang tidak berhasil dalam arti mempunyai tunggakan hutang yang paling besar dibanding desa lainnya, yakni desa Banjararum, di mana mayoritas kelompok tidak berhasil dalam mengelola dana PPK, meskipun ada juga beberapa kelompok yang berhasil. Keberhasilan kelompok dalam hal ini diukur dari keberhasilan menjaga keutuhan kelompok dalam memberdayakan anggotanya melalui pemanfaatan dana PPK secara berkelanjutan, hal ini lah yang menjadi permasalahan apakah pendekatan kelompok merupakan pendekatan yang tepat dalam usaha memberdayakan masyarakat?
Strategi pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kelompok oleh Garvin (1986) dianggap sebagai strategi yang dapat mengembangkan kemampuan manusia dalam mencapai keberhasilan, terutama di pedesaan yang masyarakatnya hidup dalam kebersamaan. Kenyataannya bila diamati seringkali kelompok hanya dipakai sebagai sarana untuk mendapatkan bantuan, sedang kegiatannya dilakukan secara sendiri-sendiri, sehingga berpengaruh terhadap efektivitas kelompok dalam pencapaian tujuan program. maka melalui kajian ini perlu dipertanyakan bagaimana meningkatkan efektivitas kelompok dalam mendukung keberhasilan PPK ?
Melalui kajian ini pula perlu dicari bagaimanakah strategi yang dapat meningkatkan efektivitas kelompok dalam mendukung keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dalam bentuk suatu rancangan program, dimana keberhasilan PPK akan dilihat dari prestasi individu, prestasi kelompok dan prestasi organisasi dengan memilih lokasi di Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana efektivitas kelompok dalam mendukung keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan ?
2. Faktor – faktor apa yang berpengaruh terhadap efektivitas kelompok ?
3. Bagaimana hubungan efektivitas kelompok dengan keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan ?
4. Rancangan program yang bagaimana yang dapat dibuat untuk meningkatkan efektivitas kelompok dalam mendukung keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan?
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan efektivitas kelompok dalam mendukung keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan
2. Menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas kelompok
3. Menganalisis hubungan efektivitas kelompok dengan keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan
4. Menyusun rancangan program yang dapat meningkatkan efektivitas kelompok dalam mendukung keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan
Manfaat Kajian
Hasil kajian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan masukan untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan, sekaligus sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam menyusun program pengembangan masyarakat dengan pendekatan kelompok