• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Prinsip kerja kolektor surya pelat penyerap adalah memindahkan radiasi matahari ke fluida kerja. Radiasi matahari yang jatuh pada cover kaca sebagian akan langsung dipantulkan, lalu sebagiannya akan diserap, dan sebagiannya lagi akan diteruskan ke pelat penyerap. Radiasi yang sampai pada pelat penyerap akan diserap panasnya oleh pelat penyerap, setelah itu panas yang diserap oleh pelat penyerap akan digunakan untuk memanaskan fluida kerja yang berupa udara mengalir. Fluida yang sudah panas akan dikeluarkan dari system dan dapat digunakan untuk memanaskan material yang akan dikeringkan. Untuk proses perpindahan panas dari radiasi matahari hingga sampai pada fluida kerja terjadi melalui tiga mekanisme perpindahan panas yaitu, konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.1 Perpindahan Panas

Perpindahan panas atau heat transfer adalah ilmu yang meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan temperatur, dimana energi yang berpindah tersebut dinamakan kalor atau panas (heat). Panas akan berpindah dari medium yang bertemperatur lebih tinggi ke medium yang temperaturnya lebih rendah. Perpindahan panas ini berlangsung terus sampai ada kesetimbangan temperatur diantara kedua medium tersebut.

Perpindahan panas dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.1.1 Perpindahan Panas Konduksi

Perpindahan panas konduksi adalah merupakan perpindahan panas yang terjadi pada suatu media padat atau pada media fluida yang diam akibat adanya perbedaan temperatur antara permukaan yang satu dengan permukaan yang lain pada media tersebut.

Konsep yang ada pada konduksi adalah merupakan aktivitas atomik dan molekuler. Sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah perpindahan energi dari

(2)

partikel yang lebih energetik (molekul lebih berenergi/bertemperatur tinggi) menuju partikel yang kurang energetik (molekul kurang berenergi/ bertemperatur lebih rendah), akibat adanya interaksi antara partikel-partikel tersebut.

Untuk kondisi perpindahan panas keadaan steady melalui dinding datar satu dimensi seperti ditunjukan pada gambar 2.1:

Gambar 2.1 Perpindahan panas konduksi pada dinding datar Sumber : (Incropera, Frank P and DeWitt, David P., 1996 halaman 4)

Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier tentang Konduksi (Fourier Low of Heat Conduction), yang persamaan matematikanya sebagai berikut:

qkond = dx dT kA  ... (2.1) dimana:

qkond = laju perpindahan panas konduksi (W)

k = konduktivitas termal bahan (W/m.K)

A = luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m )

dx dT

= gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m)

Tanda negatif (-) diselipkan agar memenuhi hukum kedua termodinamika, yaitu bahwa panas mengalir dari media yang bertemperatur lebih tinggi menuju media yang temperaturnya lebih rendah.

(3)

2.1.2 Perpindahan Panas konveksi

Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi dari suatu permukaan media padat atau fluida yang diam menuju fluida yang mengalir atau bergerak atau sebaliknya akibat adanya perbedaan temperatur. Suatu fluida memiliki temperatur, T, yang bergerak dengan kecepatan , u, di atas permukaan media padat (Gambar 2.2). Temperatur media padat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka akan terjadi perpindahan panas konveksi dari media padat ke fluida yang mengalir.

Gambar 2.2 Perpindahan panas konveksi dari permukaan media padat ke fluida yang mengalir Sumber: (Incropera dan De Witt, 3rd ed. halaman 7)

Laju perpindahan panas konveksi adalah merupakan hukum Newton tentang pendinginan (Newton’s Law of Cooling) yaitu:

qkonv = h.As.(Ts - T) ... (2.2)

dimana :

qkonv = Laju perpindahan panas konveksi (W)

h = Koefisien perpindahan panas konveksi ( W/m2.K) As = Luas permukaan perpindahan panas (m2)

Ts = Temperatur permukaan (K)

T = Temperatur fluida (K)

Menurut aliran fluidanya, perpindahan panas konveksi dapat diklasiflkasikan menjadi: a. Konveksi paksa (forced convection), terjadi bila aliran fluidanya disebabkan

(4)

b. Konveksi alamiah (natural convection), terjadi bila aliran fluidanya disebabkan oleh efek gaya apungnya (buoyancy forced effect). Pada fluida, temperatur berbanding terbalik/berlawanan dengan massa jenis (density). Dimana, makin tinggi temperatur fluida maka makin rendah massa jenis fluida tersebut, sebaliknya makin rendah temperatur maka makin tinggi massa jenisnya. Fluida dengan temperatur lebih tinggi akan menjadi lebih ringan karena massa jenisnya mengecil maka akan naik mengapung di atas fluida yang lebih berat.

2.1.3 Radiasi

Energi dari medan radiasi ditransportasikan oleh pancaran atau gelombang elektromagnetik (photon), dan asalnya dari energi dalam material yang memancar. Transportasi energi pada peristiwa radiasi tidak harus membutuhkan media, justru radiasi akan lebih efektif dalam ruang hampa. Berbeda dengan perpindahan panas konduksi dan konveksi yang mutlak memerlukan media perpindahan.

Besarnya radiasi yang dipancarkan oleh permukaan suatu benda riil (nyata), qrad.g

(W), adalah :

qrad.g =  .  . Ts4 .A ... (2.3)

Sedangkan untuk benda hitam sempurna (black body), dengan emisivitas ( = 1) memancarkan radiasi, qrad.b (W), sebesar:

qrad.b =  .Ts4. A ... (2.4)

Dan untuk laju pertukaran panas radiasi keseluruhan antara permukaan dengan sekelilingnya (surrounding), dengan temperatur sekeliling, Tsur, adalah :

qrad = . . (Ts4 – Tsur4).A ... (2.5)

dimana:

qrad = Laju pertukaran panas radiasi (W)

 = Emisivitas (0    1)

 = Konstanta proporsionalitas dan disebut konstanta Stefan-boltzmann yang nilainya 5,67 x 10-8 (W/m2K4)

A = Luas bidang permukaan (m2)

(5)

Dalam hal ini semua analisis tentang temperatur dalam pertukaran panas radiasi adalah dalam temperatur absolut (mutlak) yaitu Kelvin (K).

2.2 Konstanta Matahari

Lapisan luar dari matahari yang disebut fotosfer memancarkan suatu spectrum diasi yang kontinyu. Untuk maksud yang akan dibahas kiranya cukup untuk Jmenganggap matahari sebagai sebuah benda hi tarn, sebuah radiator sempurna pada temperatur 5762 K. Skema letak bumi terhadap matahari ditunjukan oleh gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Bola matahari

Sumber : (Arismunandar, Wiranto, 1995 halaman 15)

Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari, Es, adalah sama dengan hasil

perkalian konstanta Stefan-boltzmann, pangkat empat temperatur absolut, Ts4, dan luas  .

ds2 :

Es =  .  . ds2 . Ts4 (Watt) ... (2.6)

dimana :

Es = Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari (W).

Ts = Temperatur permukaan (K)

ds = Diameter matahari (m)

Pada radiasi kesemua arah, lihat gambar 2.3, energi yang diradiasikan mencapai luas permukaan bola dengan matahari sebagai titik tengahnya. Jari-jari R adalah sama dengan jarak rata-rata antara matahari dan bumi. Luas permukaan bola adalah sama dengan 4..R2, dan fluks radiasi, G (W/m2), pada satu satuan luas dari permukaan bola tersebut dinamakan iradiasi. Dari sini didapat persamaan, yaitu :

(6)

G = 2 4 2 . 4 . . R T ds s  ... (2.7)

Dengan garis tengah matahari, ds, 1,39 x 109 m, temperatur permukaan matahari,

Ts, 5762 K, dan jarak rata-rata antara matahari dan bumi sebesar, R, 1,5 x 1011 m, maka

fluks radiasi persatuan luas dalam arah yang tegak lurus pada radiasi tepat atmosfir bumi adalah : G = 11 2 2 4 4 2 2 9 4 2 8 ) 10 5 , 1 ( 4 ) 5762 ( ) 10 39 , 1 ( ) . /( 10 67 , 5 m x x K x m x x K m W x = 1353 W/m2

Faktor konversi satuan untuk fluks radiasi yaitu 1,940 cal/cm2; 429 Btu/(jam-ft2);

4,871 MJ/(M2.jam).

2.3 Radiasi Matahari

Bila energi radiasi menimpa permukaan suatu media, maka sebagian energi radiasi tersebut akan di pantulkan (refleksi), sebagian akan diserap (absorpsi), dan sebagian lagi akan diteruskan (transmisi), seperti ditunjukan pada gambar 2.4 dibawah ini:

Gambar 2.4. Bagan pengaruh radiasi datang Sumber : (Holman J.P., 1997 halaman 343)

Fraksi yang dipantulkan dinamakan refleksivitas (), fraksi yang diserap dinamakan absorsivitas (), dan fraksi yang diteruskan dinamakan transmisivitas (). Pada media bening seperti kaca atau media transparan lainnya, Maka:

(7)

Sedangkan untuk media padat lainnya yang tidak meneruskan radiasi termal dan

transmisivitas dianggap nol, sehingga:

 +  = 1 ... (2.9)

Ada dua fenomena refleksi yang dapat diamati bila radiasi menimpa suatu permukaan. Jika sudut jatuhnya sama dengan sudut refleksi, maka dikatakan refleksi itu spekular (speculer). Dilain pihak, apa bila berkas yang jatuh itu tersebar secara merata kesegala arah sesudah refleksi, maka refleksi itu disebut refleksi baur (difuse). Kedua jenis refleksi itu digambarkan seperti gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5. Fenomena refleksi (a) spekular (b) refleksi baur. Sumber : (Holman J.P., 1997 halaman 344)

Intensitas radiasi matahari akan berkurang oleh karena penyerapan dan pantulan oleh atmosfer, sebelum mencapai permukaan bumi. Ozon di atmosfer menyerap radiasi dengan panjang gelombang pendek (ultraviolet). Sedangkan karbondioksida dan uap air menyerap sebagian radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (inframerah). Selain pengurangan radiasi bumi langsung (sorotan) oleh penyerapan tersebut, masih ada radiasi yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas, debu, dan uap air diatmosfer.

Radiasi ini akan mencapai bumi sebagai radiasi sebaran, seperti ditunjukan gambar 2.6.

(8)

Gambar 2.6. Radiasi sorotan dan radiasi sebaran Sumber : (Arismunandar, Wiranto, 1995 halaman 18)

Penjumlahan radiasi sorotan atau beam, Ib, dan radiasi sebaran atau difuse, Id,

merupakan radiasi total, I, pada permukaan horizontal per jam yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

I = Ib + Id ... (2.10)

2.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan radiasi matahari di bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan radiasi matahari pada suatu permukaan bumi adalah:

a. Posisi matahari

b. Lokasi dan kemiringan permukaan c. Waktu matahari

d. Keadaan cuaca

a. Posisi matahari

Sepanjang bumi mengelilingi matahari pada suatu lintasan yang berbentuk elips, yang biasanya disebut dengan bidang “Ekliptika”. Bidang ini membentuk sudut 23,5 ° terhadap bidang equator. Akibat dari peredaran bumi mengelilingi matahari menimbulkan perubahan-perubahan musim. Untuk di Indonesia terjadi dua perubahan musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi apabila kedudukan matahari

(9)

paling jauh diselatan untuk belahan bumi bagian utara, ini terjadi pada bulan desember. Kedudukan musim panas yaitu pada waktu kedudukan matahari berada pada titik paling utara, terjadi pada bulan juni.

b. Lokasi dan kemiringan permukaan

Lokasi dan kemiringan permukaan menentukan besarnya sudut datang radiasi pada permukaan tersebut. Hubungan geometrik antara sebuah permukaan dengan radiasi matahari yang datang dapat dinyatakan dalam beberapa sudut seperti yang ditunjukan pada gambar 2.7 dibawah:

Gambar 2.7 Sudut zenith, sudut kemiringan, sudut azimuth permukaan, sudut azimuth surya. Sumber: (Duffie dan Beckman, 1980 halaman 11)

Berikut ini adalah beberapa pengertian sudut-sudut dalam hubungannya dengan posisi bumi-surya:

 = Sudut lintang, sudut lokasi suatu tempat dipermukaan bumi terhadap equator,dimana arah utara-selatan, -90    90 dengan utara positif.

 = Sudut datang berkas sinar (angel of incident), sudut yang dibentuk antar radiasi langsung pada suatu permukaan dengan garis normal permukaan tersebut.

z = Sudut zenith, sudut antara radiasi langsung dari matahari dengan garis

(10)

 = Sudut kemiringan, yaitu sudut antara permukaan bidang yang dimaksud terhadap horisontal: 0°    180°.

 = Sudut ketinggian matahari, yaitu sudut antara radiasi langsung dari matahari dengan bidang horizontal.

 = Sudut jam (hour of angel), sudut antara bidang yang dimaksud dengan horizontal, berharga nol pada saat jam 12.00 waktu surya, setiap jam setara dengan 15, kearah pagi negatif dan kearah sore positif.

 = Sudut azimuth permukaan, antara proyeksi permukaan pada bidang horizontal dengan meridian, titik nol diselatan, negatif timur, positif barat. s = Sudut azimuth surya, adalah pergeseran angguler proyeksi radiasi

langsung pada bidang datar terhadap arah selatan.

 = Deklinasi, posisi anguler matahari dibidang equator pada saat jam 12.00 waktu matahari. Sudut deklinasi dapat juga ditentukan dengan rumus:

 = 23,45 sin        365 284 360 n

ini menurut Cooper (1969). Dimana n adalah nomer urutan hari dalam satu tahun dimulai 1 januari.

Untuk sudut pada permukaan yang dimiringkan ke selatan maupun ke utara mempunyai hubungan anguler pada seperti permukaan datar pada lintang ( - ). Untuk belahan bumi bagian utara hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Bagian bumi yang menunjukan , ,  dan (-) untuk belahan utara Sumber: (Duffie dan Beckman, 1980 halaman 14)

(11)

c. Waktu matahari

Perhitungan intensitas matahari pada saat tertentu umumnya didasarkan pada waktu matahari, yaitu waktu tertentu dalam hubungannya dengan matahari yang didasarkan pada garis bujur lokasi tersebut. Waktu matahari dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

ts= waktu standart + E + 4 (Lst-Lloc) ... (2.11)

dimana : E = 9,87 sin 2B-7 cos B – 1,5 sin B  B =

364 ) 81 ( 360 n

Lloc = Garis bujur lokasi

Lst = Garis bujur waktu standart

d. Keadaan cuaca

Jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi dipengaruhi oleh faktor transmisi kandungan atmosfer. Di atmosfer radiasi matahari diserap oleh unsur-unsur Ozon, uap air, dan karbondioksida. Disamping diserap, radiasi matahari juga dihamburkan oleh partikel-partikel seperti udara, uap air, dan debu.

Pada kenyataannya radiasi matahari sering dihalangi oleh bermacam-macam tipe awan. Masing-masing tipe awan mempunyai koefisien transmisi sendiri-sendiri. Jadi untuk meramalkan radiasi matahari di bumi perlu diketahui pula tipe awan dan ketebalannya.

2.4 Kolektor Pelat Datar Standar

2.4.1 Karakteristik Bagian-Bagian Penting Kolektor Surya Pelat Datar Standar Komponen-komponen sebuah kolektor surya pelat datar terdiri dari penutup tembus cahaya (transparan) yang berfungsi untuk menimbulkan efek rumah kaca. Gelombang radiasi yang dipancarkan matahari memiliki panjang yang mampu menembus penutup transparan, tetapi beberapa gelombang radiasi panas yang dipantulkan oleh pelat penyerap lebih pendek, sehingga akan dapat dipantulkan kembali. Perubahan sifat panjang gelombang ini sangat diharapkan, sebab dengan demikian penutup tersebut akan menjadi penghalang radiasi antara pelat penyerap dengan lingkungan yang lebih dingin, sementara masih meneruskan radiasi matahari. Permukaan “hitam” sebagai penyerap energi radiasi matahari yang kemudian dipindahkan ke fluida. Saluran fluida kerja

(12)

berfungsi untuk mengalirkan fluida yang akan dipanaskan serta isolasi untuk mengurangi kerugian panas (losses) ke lingkungan. Skema kolektor surya pelat datar ditunjukkan pada gambar 2.9.

Gambar 2.9 Skema kolektor surya pelat datar standar

Adapun krakteristik bagian-bagian penting dari kolektor surya pelat datar adalah sebagai berikut:

a. Penutup transparan

Penutup transparan di harapkan memiliki sifat transmisivitas yang tinggi dan sifat

absorsivitas serta refleksivitas serendah mungkin. Refleksivitas (daya pantul) tergantung

pada indek bias dan sudut datang yang dibentuk oleh sinar datang terhadap garis normal permukaan. Sedangkan transmisivitas suatu permukaan dapat mempengaruhi intensitas energi matahari yang diserap oleh pelat penyerap. Transmisivitas kaca akan menurun bila sudut datangnya melebihi 45° terhadap vertical. Sedangkan absorsivitas akan bertambah sebanding dengan panjang lintasan pada penutup transparan, sehingga bagian yang diteruskan menjadi berkurang.

b. Pelat penyerap

Pelat penyerap yang ideal memiliki permukaan dengan tingkat absorsivitas yang tinggi guna menyerap radiasi matahari sebanyak mungkin dan tingkat emisivitas yang serendah mungkin agar kerugian panas karena radiasi balik sekecil mungkin disamping itu pelat penyerap diharapkan memiliki konduktivitas thermal (K) yang tinggi.

(13)

c. Isolasi (Isulation)

Merupakan material dengan sifat konduktivitas termal (K) rendah, dipergunakan untuk menghindari terjadinya kehilangan panas kelingkungan.

2.4.2 Radiasi yang Diserap Kolektor Surya

Pada kolektor surya untuk pemanas udara, radiasi matahari tidak akan sepenuhnya diserap oleh pelat penyerap. Sebagian dari radiasi itu akan dipantulkan (refleksi) menuju bagian dalam penutup transparan. Dan penutup transparan ini beberapa akan dipantulkan kembali dan sebagian lainnya akan terbuang kelingkungan. Proses penyerapan radiasi matahari oleh kolektor akan diperlihatkan pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Penyerapan radiasi matahari oleh kolektor

Berkas radiasi matahari yang menimpa kolektor, pertama akan menembus penutup transparan kemudian menimpa pelat penyerap. Sebagian radiasi akan dipantulkan kembali menuju penutup dan sebagian lagi diserap pelat penyerap. Radiasi yang menuju ke penutup kemudian dipantulkan kembali menuju penyerap, sehingga terjadi proses pemantulan berulang. Simbul  menyatakan transmisivitas penutup,  menyatakan absorsivitas anguler penyerap dan d menyatakan refleksivitas radiasi

hambur dari penutup.

Dari energi yang menimpa masuk kolektor, maka (   ) adalah energi yang diserap oleh pelat penyerap, dan sebesar (1 – )  dipantulkan menuju penutup. Pantulan yang mengenai penutup tersebut merupakan radiasi hambur, sehingga energi yang

(14)

sebesar (1 – )  d kemudian dipantulkan kembali oleh penutup menuju pelat penyerap.

Proses pemantulan tersebut akan berulang terus. Dan besarnya energi maksimum yang diserap oleh kolektor adalah :

() =

d n n d     ) 1 ( 1 ) 1 ( 0    

  ... (2.12) Untuk mendekatkan perhitungan kolektor dapat digunakan:

()ave  1,01  ... (2.13)

Perkalian antara transmittance-absorptance product rata-rata ()ave,

didefinisikan sebagai perbandingan radiasi matahari yang terserap, S, terhadap radiasi matahari yang menimpa kolektor , IT. Sehingga radiasi matahari yang diserap oleh

permukaan pelat penyerap adalah:

S = ()ave .IT ... (2.14)

Seorang ilmuwan, Klein (1979) seperti dikutip dari Ref. [1], menyatakan hubungan dengan sudut datang radiasi, , pada kolektor surya yang menggunakan penutup kaca dengan indeks bias 1,526 seperti tampak pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Grafik hubungan antara sudut timpa dengan transmisivitas. Sumber: (Duffie dan Beckman, 1980 halaman 174)

(15)

2.5 Kolektor Pelat Datar Dengan Penambahan Pelat Berlubang

Rancangan kedua kolektor ini hampir sama, bedanya terdapat pada penambahan pelat berlubang di bawah pelat penyerap. Penambahan pelat berlubang ini dilakukan dengan luasan lubang yang sama dan lubang pengarah, dengan jarak peletakan lubang sama, baik antara lubang maupun dengan isolasi samping.

A. Kolektor dengan Aliran Fluida di Bawah Pelat Penyerap dan di Bawah Pelat

Berlubang

Kolektor pelat datar ini hampir sama dengan kolektor pelat datar lainnya hanya saja pada kolektor ini aliran fluida kerjanya terletak pada bagian bawah pelat penyerap dan di bawah pelat berlubang, dimana lubang-lubang biasa maupun lubang pengarah digunakan sebagai nosel sehingga akan menghasilkan aliran impinging jet.

a. Skema Kolektor

Skema kolektor dengan pelat berlubang ini ditunjukan pada gambar 2.12, yaitu:

(16)

b. Kesetimbangan Energi

- Keseimbangan energi pada penutup :

1. Konveksi dan radiasi dari cover ke lingkungan. 2. Konveksi dan radiasi dari pelat penyerap ke penutup 3. Konduksi dari cover bagian bawah ke isolasi

- Keseimbangan energi pada pelat penyarap pertama : 1. Konveksi dan radiasi dari pelat penyerap ke cover 2. Konduksi dari pelat penyerap ke pelat berlubang

3. Energi yang di transmisikan dan direfleksikan cover ke pelat penyerap - Keseimbangan energi pada pelat penyerap kedua :

1. Konduksi dari pelat penyerap ke pelat berlubang 2. Konveksi dari pelat penyerap ke pelat berlubang

2.6 Energi Berguna Dan Effisiensi Kolektor Surya

Energi yang berguna dipakai untuk menghitung seberapa besar panas yang berguna yang ditimbulkan kolektor surya. Sedangkan effisiensi digunakan untuk menghitung perfomansi atau unjuk kerja dari kolektor surya.

2.6.1 Energi Berguna Kolektor Surya

Untuk perhitungan energi yang diserap atau energi yang berguna pada kolektor surya dapat digunakan persamaan :

) .( . ,a mCp To Ti u Q    ... (2.15)

Dimana : Q ,u a = panas berguna (W)

m = laju alir massa fluida (kg/s)

Cp = kapasitas panas jenis fluida (J/kg.oC)

To = temperatur fluida keluar (oC)

(17)

2.6.2 Analisa Performansi

Effisiensi kolektor merupakan perbandingan panas yang diserap oleh fluida atau energy berguna dan intensits matahari yang mengenai kolektor. Performansi dari kolektor dapat dinyatakan dengan effisiensi termalnya. Akan tetapi, intensitas radiasi matahari berubah terhadap waktu, oleh karena itu effisiensi termal kolektor dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :

1. Instantaneous efficiency atau effisiensi sesaat adalah effisiensi keadaan

steady untuk selang waktu tertentu.

2. Long term atau all-day efficiency adalah effisiensi yang duhitung dalam

jangka waktu yang relatif lama (biasanya per hari atau per bulan).

Performansi secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh performansi dari kolektor. Oleh sebab itu, ada dua cara pengujian sistem kolektor surya, yaitu :

1. Pengujian untuk menentukan performansi kolektor

2. Pengujian untuk menentukan performansi sistem secara keseluruhan

Dalam penelitian ini pengujian dilakukan hanya untuk menentukan performansi dari kolektor saja. Metode yang digunakan adalah Long term atau all-day

efficiency adalah effisiensi yang dihitung dalam jangka waktu yang relatif lama (per hari).

Sehingga effisiensi dari kolektor dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut : AcIt Ti) .Cp.(To m AcIt u Q η      ... (2.16)

Dimana :  = effisiensi kolektor Qu = panas berguna (W)

m = laju alir massa fluida (kg/s)

Cp = kapasitas panas jenis fluida (J/kg.oC)

To = temperatur fluida keluar (oC)

Ti = temperatur fluida masuk (oC)

AC = luas bidang penyerapan kolektor (m2)

Gambar

Gambar 2.1 Perpindahan panas konduksi pada dinding datar  Sumber : (Incropera, Frank P and DeWitt, David P., 1996 halaman 4)
Gambar 2.2 Perpindahan panas konveksi dari permukaan media padat ke fluida yang mengalir  Sumber: (Incropera dan De Witt, 3rd ed
Gambar 2.4. Bagan pengaruh radiasi datang  Sumber : (Holman J.P., 1997 halaman 343)
Gambar 2.5. Fenomena refleksi (a) spekular (b) refleksi baur .
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka Pembinaan dan Pengisian Jabatan Fungsional di Iingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor

Sadiman mendefinisikan sumber belajar sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk belajar, yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar

lecanii dengan kerapatan konidia yang berbeda-beda menunjukkan hasil, semakin tinggi tingkat kerapatan konidia semakin tinggi nilai persentase mortalitas ulat

Demikian halnya dengan pendapat Suwito (1988:64) yang menyatakan bahwa interferensi adalah peristiwa pemakaian unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain yang terjadi pada

Pengembangan nilai karakter religius melalui tata tertib sudah diimplementasikan dalam kegiatan di madrasah, namun belum diimbangi dengan adanya poin pelanggaran bagi peserta

Telah dilakukan uji aktivitas antidiabetes ekstrak etanol kulit kayu manis secara oral pada mencit putih jantan galur Swiss Webster dengan menggunakan metode toleransi

Dalam proses analisis safety integrity level (SIL) dengan metode Layer of Protection Analysis (LOPA) pada unit boiler di perlu adanya batasan masalah agar permasalahan

(3) Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, forum musyawarah Desa, lembaga