• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work-Life Balance. pekerjaan dengan bagian-bagian lain dalam kehidupan (Gambles, 2006). Gambles

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work-Life Balance. pekerjaan dengan bagian-bagian lain dalam kehidupan (Gambles, 2006). Gambles"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

10

A. Work-Life Balance 1. Pengertian Work-Life Balance

Work-life balance adalah sebuah tantangan untuk mengombinasikan pekerjaan dengan bagian-bagian lain dalam kehidupan (Gambles, 2006). Gambles berpendapat bahwa aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, hubungan sosial, dan kesenangan pribadi perlu untuk diseimbangkan. Lazar, dkk. (2010) mengasosiasikan work-life balance dengan keseimbangan yang terjadi antara waktu dan usaha yang diberikan seseorang untuk kehidupan pribadi dan pekerjaannya.

Work-life balance didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika seseorang mengalami keterikatan dan kepuasan yang seimbang dalam perannya sebagai pekerja dan di dalam keluarga (Greenhaus, 2003). Sejalan dengan Greenhaus, Clark (2000) mendefinisikan work-life balance sebagai terjadinya kepuasan dan fungsi-fungsi yang berjalan dengan baik dalam pekerjaan serta keluarga, dengan konflik peran yang minimal. Sama seperti Clark, Frone (2003) juga mengaitkan work-life balance dengan konflik peran. Frone menyatakan bahwa work-life balance adalah tidak adanya konflik antara peran seseorang dalam keluarga dan dalam pekerjaannya.

Lockwood (2003) mendefinisikan work-life balance sebagai suatu keadaan di mana terjadi keseimbangan tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

(2)

Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan dan organisasi. Berdasarkan sudut pandang karyawan, work-life balance adalah suatu tantangan untuk mengelola tuntutan-tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab dalam keluarga. Work-life balance berdasarkan sudut pandang organisasi adalah tantangan untuk menciptakan sebuah lingkungan yang suportif sehingga karyawan fokus kepada pekerjaan mereka ketika di tempat kerja.

Work-life balance merupakan hal yang esensial karena tidak tercapainya work-life balance berakibat pada rendahnya kepuasan kerja, rendahnya kebahagiaan, work-life conflict, dan burnout pada karyawan.

Karir dan keluarga adalah dua hal yang memiliki nilai sangat penting bagi manusia. Ada beberapa motivasi dasar yang membuat manusia harus menjalankan kedua hal tersebut secara seimbang (Laird, 1961). Manusia memiliki kebutuhan fisiologis seperti bernafas, makan, tidur, dan kebutuhan akan hubungan seksual yang secara moral harus diwadahi dengan perkawinan. Manusia juga memiliki kebutuhan akan rasa aman yang berkaitan dengan asuransi dan jaminan akan perlindungan dari kriminalitas. Kebutuhan manusia yang ketiga adalah bersosialisasi. Keluarga dan teman memiliki peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan ini. Selanjutnya, manusia membutuhkan perasaan bahwa ia dihormati, dan yang terakhir kebutuhan akan pekerjaan yang disenangi.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan para ahli, dapat disimpulkan bahwa work-life balance adalah suatu keadaan ekuilibrium atau seimbang antara tuntutan dan kepuasan seseorang terhadap karir dan kehidupan

(3)

rumah tangganya sehingga konflik yang terjadi antara karir dan kehidupan rumah tangga dapat diminimalisir.

2. Aspek-aspek Work-Life Balance

Work-life balance terdiri dari beberapa aspek yang diungkap oleh beberapa ahli. Aspek-aspek yang dikemukan oleh satu ahli dengan ahli lainnya tidak berbeda jauh. Greenhaus (2003) menyatakan bahwa work-life balance terdiri dari aspek-aspek berikut:

a. Keseimbangan waktu

Keseimbangan waktu mengacu pada kesetaraan antara waktu yang diberikan seseorang untuk karirnya dengan waktu yang diberikan untuk keluarga atau aspek kehidupan selain karir.

b. Keseimbangan peran

Keseimbangan peran mengacu pada keterlibatan psikologis yang seimbang dalam karir seseorang dan keluarganya. Seseorang yang memiliki keseimbangan peran tidak akan mengalami konflik dan kebingungan dalam kedua ranah tersebut.

c. Keseimbangan kepuasan

Hal ini mengacu pada tingkat kepuasan yang seimbang seseorang terhadap karir dan keluarganya.

(4)

Tidak jauh berbeda dengan Greenhaus, Fisher (dalam Poulose, 2014) menyatakan bahwa work-life balance terdiri dari aspek-aspek berikut:

a. Waktu

Perbandingan antara waktu yang dihabiskan untuk bekerja dan waktu yang digunakan untuk aktivitas lain.

b. Perilaku

Perbandingan antara perilaku individu dalam bekerja dan dalam aspek kehidupan yang lain.

c. Ketegangan

Ketegangan yang dialami baik dalam pekerjaan maupun aspek kehidupan yang lain dapat menimbulkan konflik peran dalam diri individu

d. Energi

Perbandingan antara energi yang digunakan individu untuk menyelesaikan pekerjaannya dan energi yang digunakan dalam aspek kehidupan selain karir.

Hayman (2005) mengadaptasi aspek-aspek yang dikemukakan oleh Fisher dan menyatakan bahwa work-life balance dapat diukur melalui aspek-aspek berikut:

a. Work interference personal life (WIPL)

Aspek ini mengungkapkan adanya interferensi dari pekerjaan terhadap kehidupan pribadi. Artinya, pekerjaan mempengaruhi kehidupan pribadi seseorang. Interferensi ini memberikan efek negatif pada kehidupan pribadi. Adanya interferensi ini mengindikasikan rendahnya work-life balance seseorang.

(5)

b. Personal life interference work (PLIW)

Berkebalikan dengan aspek WIPL, aspek ini mengungkapkan adanya interferensi dari kehidupan pribadi pada pekerjaan. Artinya, kehidupan pribadi seseorang mempengaruhi pekerjaan individu tersebut. Interferensi ini menyebabkan adanya ketidakefektifan performa seseorang dalam pekerjaannya. Munculnya interferensi ini mengindikasikan rendahnya work-life balance seseorang.

c. Work-personal life enhancement (WPLE)

Aspek ini menunjukkan bahwa kehidupan pribadi dan pekerjaan saling mempengaruhi dan memberi efek positif pada kedua ranah tersebut. Terpenuhinya aspek ini menjadi salah satu indikasi tercapainya work-life balance seseorang.

Penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hayman, yaitu WIPL, PLIW, dan WLPE. Aspek-aspek tersebut dipilih karena merupakan aspek yang paling sesuai dengan subjek penelitian ini, yaitu karyawan yang menjalani commuter marriage.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work-Life Balance

Tercapainya work-life balance dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam diri individu maupun dari lingkungan. Menurut Poulose (2014), ada faktor yang mempengaruhi work-life balance terbagi menjadi empat, yaitu faktor individu, faktor organisasi, faktor lingkungan sosial, dan faktor-faktor lainnya. Keempat faktor tesebut terdiri dari faktor-faktor berikut:

(6)

1. Individu a. Kepribadian

Kepribadian adalah kumulasi dari berbagai cara seorang individu bereaksi terhadap lingkungan dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian manusia terdiri dari beberapa faktor utama yaitu ekstraversi (tingkat kesenangan terhadap hubungan), agreeableness/keramahan (tingkat kepatuhan terhadap orang lain), kesadaran/sifat berhati-hati (ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan), neurotisme (ketahanan terhadap stres), dan keterbukaan terhadap pengalaman. Ekstraversi, kesadaran, keramahan, dan keterbukaan terhadap pengalaman berkorelasi negatif dengan family conflict, sedangkan neurotisme berkorelasi positif dengan work-family conflict.

b. Psychological well-being

Psychological well-being mengacu pada sifat-sifat psikologis yang positif seperti penerimaan diri, kepuasan, harapan, dan optimisme. Psychological well-being berkorelasi positif dengan work-life balance. Pekerja dengan psychological well-being yang tinggi memiliki tingkat work-life balance yang tinggi pula.

c. Kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan adaptif seseorang dalam mengenali emosi, mengekspresikan emosi, meregulasi emosi, dan mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain. Kecerdasan emosi berkorelasi positif dengan

(7)

work-life balance. Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi memiliki work-life balance yang tinggi pula.

2. Organisasi a. Pekerjaan

Susunan pekerjaan yang fleksibel dapat membantu karyawan untuk mencapai kehidupan kerja dan non-kerja yang berjalan beriringan. Dengan kata lain, susunan pekerjaan yang fleksibel dapat meminimalisir konflik antara kehidupan kerja dan non-kerja serta meningkatkan work-life balance karyawan.

b. Work-life balance policies

Kebijakan-kebijakan dan program-program perusahaan dapat membantu karyawan untuk mencapai work-life balance. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud adalah fleksibilitas pekerjaan karyawan, cuti, jam kerja, dan fasilitas pengasuhan anak.

c. Dukungan

Dukungan dari atasan, organisasi, dan rekan kerja berhubungan positif dengan work-life balance. Semakin tinggi dukungan yang diterima oleh karyawan, semakin tinggi pula work-life balance karyawan tersebut.

d. Stres kerja

Stres kerja dapat didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap pekerjaan yang dianggapnya sebagai ancaman serta ketidaknyamanan individu di lingkungan kerjanya. Stres kerja berhubungan dengan kesehatan, work-life

(8)

conflict, serta work-life balance seseorang. Stres kerja dapat menyebabkan tidak tercapainya work-life balance.

e. Teknologi

Teknologi dapat menyebabkan tercapainya work-life balance maupun tidak tercapainya work-life balance. Teknologi memfasilitasi kemudahan akses terhadap pekerjaan, sehingga karyawan dapat bekerja kapan saja dan di mana saja. Hal ini dapat berdampak positif maupun negatif terhadap tercapainya work-life balance.

f. Peran

Konflik peran, ambiguitas peran, serta jam kerja yang berlebihan memiliki andil yang besar dalam munculnya work-life conflict. Semakin tinggi kekacauan peran yang terjadi, semakin sulit pula tercapainya work-life balance.

3. Lingkungan sosial a. Anak

Jumlah anak dan tanggung jawab akan pengasuhan anak berhubungan dengan work-life balance. Jumlah anak yang lebih banyak memicu timbulnya stres dan terjadinya konflik antara kehidupan rumah tangga dan karir.

b. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga berhubungan work-life balance. Dukungan emosional dan instrumental yang diterima seseorang dari keluarga dapat membantu tercapainya work-life balance. Pekerjaan pasangan, pertengkaran dalam

(9)

rumah tangga, serta ekspektasi akan perhatian dan penerimaan juga berhubungan dengan work-life balance.

4. Lainnya

Faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, status parental, pengalaman, employee level, tipe pekerjaan, pendapatan, serta tipe keluarga juga mempengaruhi work-life balance.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tercapanya work-life balance dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti kepribadian, pychological well-being, kecerdasan emosi, jabatan, teknologi, dukungan sosial, serta keluarga.

4. Fungsi Work-Life Balance

Menurut Poulose (2014), tercapainya work-life balance menghasilkan beberapa keluaran yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu keluaran yang berkaitan dengan pekerjaan/karir dan keluaran yang tidak terkait dengan karir. Fungsi work-life balance pada bidang pekerjaan/karir adalah:

a. Kepuasan kerja

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa work-life balance berhubungan signifikan dengan kepuasan kerja. Karyawan yang memiliki work-life balance tinggi memiliki kepuasan kerja yang tinggi pula.

b. Komitmen terhadap organisasi

Selain berhubungan dengan kepuasan kerja, work-life balance juga berhubungan positif dengan komitmen karyawan terhadap organisasi. Semakin

(10)

tinggi work-life balance seorang karyawan, semakin tinggi pula komitmen karyawan terhadap organisasi.

c. Minimnya turnover

Work-life balance telah dibuktikan berhubungan signifikan dengan turnover. Hubungan yang dimiliki antara work-life balance dan turnover adalah hubungan negatif. Semakin tinggi work-life balance yang dimiliki oleh seorang karyawan maka semakin rendah tingkat turnover karyawan tersebut.

d. Minimnya burnout

Sejalan dengan minimnya turnover, work-life balance juga berperan dalam mengurangi burnout yang terjadi pada karyawan. Semakin tinggi work-life balance seseorang, semakin rendah potensi burnout yang dimilikinya.

e. Minimnya ketidakhadiran dalam pekerjaan

Work-life balance memiliki peran dalam mengurangi ketidakhadiran karyawan dalam pekerjaannya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa work-life balance berhubungan signifikan dengan tingkat ketidakhadiran atau absen karyawan. Hubungan yang dimiliki adalah hubungan negatif, sehingga semakin tinggi work-life balance seorang karyawan maka semakin rendah tingkat ketidakhadiran karyawan tersebut.

f. Performa kerja

Work-life balance memiliki hubungan yang signifikan dengan performa kerja seorang karyawan. Seorang karyawan yang memiliki work-life balance tinggi memiliki performa kerja yang baik pula. Performa kerja yang baik dapat dilihat melalui tingginya produktivitas seorang karyawan.

(11)

Sedangkan dalam bidang di luar karir, work-life balance memiliki pengaruh terhadap hal-hal berikut:

a. Kepuasan hidup

Work-life balance memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan hidup. Semakin tinggi work-life balance seseorang maka semakin tinggi pula kepuasan hidup orang tersebut. Kepuasan hidup ini mencakup berbagai aspek, yaitu kepuasan terhadap perkawinan, kepuasan terhadap keluarga, dan kepuasan terhadap aktivitas kesenangan (leisure activity atau aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan).

b. Kesehatan

Konflik atau interferensi yang terjadi antara kehidupan rumah tangga dan karir dapat meningkatkan stres yang berkaitan dengan kesehatan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa work-life conflict berhubungan signifikan dengan kesehatan dan dimoderasi oleh stres. Semakin tinggi work-life conflict yang dialami oleh seseorang semakin rendah tingkat kesehatan orang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa work-life balance berdampak positif terhadap kesehatan.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa work-life balance memiliki banyak dampak positif terhadap kehidupan manusia, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Banyaknya fungsi work-life balance ini menjadikan work-life balance penting untuk dimiliki setiap orang.

(12)

B. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah tersedianya bantuan untuk melakukan penyesuaian adaptif dalam suatu hubungan personal yang mencakup proses sosial, emosional, kognitif, dan perilaku. Dukungan sosial dapat diberikan oleh keluarga, teman, atau individu yang memiliki persamaan masalah (Dalton, 2001).

Menurut Taylor (2011) dukungan sosial adalah informasi dari seorang terhadap individu lain bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dipandang, dan dihargai. Sejalan dengan Dalton, dkk., Taylor mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diperoleh dari orang tua, pasangan hidup, teman, komunitas sosial, bahkan melalui binatang peliharaan. Dukungan sosial dapat mengurangi respon psikologis dan neuroendokrin terhadap stres. Broadwell & Light menyatakan bahwa dukungan sosial dari pasangan hidup adalah yang paling efektif bagi pria (dalam Taylor, 2011).

Dukungan sosial merupakan pemberian informasi, pemberian bantuan tingkah laku atau materi yang didapat dari hubungan sosial yang akrab atau hanya disimpulkan darikeberadaan kelompok yang membuat individu merasa diperhatikan dan dicintai (Sarason, 1990). Sejalan dengan hal tersebut, Pender (dalam Ruikar, 2015) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah perasaaan subjektif seseorang bahwa ia dicintai, dihargai, dihormati, dan dibutuhkan. Menurut Etzion (dalam Ruikar, 2015), dukungan sosial adalah tersedianya sebuah jaringan sosial nonformal yang memberikan ekspresi-ekspresi kepedulian emosional atau empati, bantuan praktis, dukungan informasi, dan penilaian.

(13)

Dukungan sosial memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan seorang individu. Sarason (1990) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat membantu seseorang untuk memiliki pengalaman hidup yang lebih baik, harga diri yang lebih tinggi, serta pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan. Rendahnya dukungan sosial dapat menyebabkan ketidakpuasan hidup dan munculnya hambatan-hambatan dalam melakukan tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat-pendapat berbagai ahli seperti di atas, dukungan sosial adalah tersedianya sebuah bantuan secara sosial, emosional, kognitif, dan tindakan yang diberikan oleh keluarga, rekan kerja, atasan, maupun organisasi kepada seseorang.

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat dilihat melalui beberapa aspek yang dimilikinya. Sebagian besar ahli menyatakan pendapat yang nyaris sama terhadap aspek-aspek pembentuk dukungan keluarga. Schaefer (1981) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat memiliki beberapa aspek, yaitu:

a. Tangible/instrumental support, yaitu dukungan yang berbentuk konkrit dan sesuatu yang dapat dilihat seperti benda, uang, dan pelayanan.

b. Informational support, yaitu dukungan yang muncul dalam bentuk nasihat, arahan, saran dan informasi yang berguna bagi seseorang.

c. Emotional support, yaitu dukungan yang muncul dalam bentuk kehangatan, empati, cinta, penerimaan, dan perhatian.

(14)

d. Esteem support, yaitu dukungan yang memunculkan keyakinan seseorang bahwa ia dapat mengatasi suatu permasalahan atau melakukan sesuatu.

e. Network support, yaitu dukungan yang berupa informasi kepada seseorang bahwa ia merupakan bagian dari suatu kelompok yang bersedia memberikan bantuan kepada individu tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan Schaefer, House (1987) menyatakan bahwa dukungan sosial memiliki empat aspek, yaitu:

a. Dukungan emosional

Dukungan emosional dapat berupa tersedianya simpati, perhatian, rasa percaya dan kasih sayang bagi seseorang. Dukungan secara emosional dapat memberikan rasa nyaman bagi individu, sehingga memberikan dampak positif dalam mengurangi stres maupun kecemasan.

b. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental adalah tersedianya bantuan berupa benda maupun jasa bagi seseorang. Dukungan instrumental umumnya dapat dilihat secara nyata. c. Dukungan informatif

Dukungan informatif mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran-saran, dan informasi yang diberikan kepada seseorang. Dukungan ini membantu individu dalam menghadapi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu mengenai masalah yang dihadapi.

d. Dukungan evaluatitif/appraisal

Dukungan ini berupa evaluasi, penialaian, afirmasi, atau umpan balik yang diberikan kepada seseorang.

(15)

Menurut Dalton, dkk. (2001), dukungan sosial memiliki dua aspek atau bentuk, yaitu general dan spesifik.

a. Dukungan secara general merujuk pada sebuah dukungan yang diberikan terhadap seseorang baik ketika ia sedang menghadapi stressor maupun tidak. Dukungan ini dapat muncul dalam bentuk rasa memiliki (sense of belongingness) dan dukungan emosional.

b. Dukungan spesifik diberikan pada saat sebuah stressor tertentu muncul. Ada tiga bentuk dukungan yang dapat dikategorikan sebagai dukungan spesifik, yaitu encouragement (dorongan atau semangat), informasi (termasuk saran atau nasehat), dan tangible (sesuatu yang berwujud nyata).

Aspek-aspek dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang dikemukakan oleh House (1987), yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informatif, dan dukungan evaluatif.

C. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengelola emosi secara efektif untuk mencapai sebuah tujuan, mencapai produktivitas, menjalin hubungan dengan orang lain, dan mencapai kesuksesan (Patton, 1998). Meyer (dalam Martin, 2003) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memahami perasaan diri sendiri, untuk berempati terhadap perasaan orang lain, dan untuk mengatur emosi. Kecerdasan emosi ini berperan penting dalam peningkatan taraf hidup seseorang. Meyer juga menyatakan bahwa dalam dunia

(16)

kerja kecerdasan intelektual (IQ) hanya akan membawa individu melewati gerbang perusahaan, namun kecerdasan emosi yang akan membawa individu tersebut ke jenjang karir yang lebih tinggi. Tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, Kalat (2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk menyadari makna dari emosi dan menggunakannya dengan efektif dalam pemecahan masalah.

Goleman (2007) berpendapat bahwa kecerdasan emosi berperan lebih dibandingkan dengan kecerdasan intelektual. Goleman berpendapat bahwa aspek perasaan harus selalu mendahului aspek sosial. Sebuah penelitian bahkan membuktikan bahwa karyawan yang mampu mengelola emosi dengan baik bekerja 300% lebih produktif dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki kempampuan tersebut.

Patton (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosi memiliki beberapa manfaat, seorang individu dengan kecerdasan emosi yang baik akan mampu bekerja sama dengan orang lain dan menjadi anggota kelompok yang lebih baik. Seseorang dengan kecerdasan emosi yang baik juga akan memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri dan merasa mampu untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat mengelola konflik serta berkomunikasi dengan efektif, memimpin dan mengelola orang lain dengan tepat, serta menciptakan organisasi yang memiliki integritas, nilai-nilai, dan standar perilaku yang tinggi.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menanggapi

(17)

dengan tepat suasana hati, mengelola emosi, memotivasi diri, dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain.

(18)

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi memiliki beberapa apek di dalamnya. Aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Goleman (2007) adalah:

a. Mengenali emosi diri/kesadaran diri

Kemampuan mengenali emosi diri termasuk dalam ranah self-awareness atau kesadaran diri. Kemampuan ini membuat seseorang dapat menilai keadaan emosi dirinya dengan tepat. Individu harus memiliki kepekaan yang tinggi atas dirinya sendiri supaya dapat mengenal emosinya sendiri.

b. Mengelola emosi diri/pengelolaan diri

Mengelola emosi diri adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi yang sudah ia kenali pada tahap sebelumnya agar bisa diungkapkan dengan tepat. Kemampuan mengelola emosi diri membuat seseorang dapat tetap tenang dalam menghadapi masalah, sehingga orang tersebut tidak dikendalikan oleh emosinya.

c. Memotivasi diri

Memotivasi diri meliputi kepercayaan seorang individu terhadap dirinya sendiri dan kemampuan untuk menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk tujuan yang lebih besar. Kemampuan untuk memotivasi diri membuat seseorang bersikap optimis serta berkomitmen dalam mencapai sebuah tujuan. d. Mengenali emosi orang lain/empati

Mengenali emosi orang lain berarti memperluas kesadaran terhadap lingkungan sekitar. Kemampuan ini membuat seseorang mampu menangkap isyarat-isyarat emosi yang ditampilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Kemampuan

(19)

mengenali emosi orang lain mencakup empati dan kesadaran individu bahwa hal-hal yang dilakukannya dapat mempengaruhi orang lain di sekitar.

e. Mengelola hubungan dengan orang lain/keterampilan sosial

Kemampuan untuk mengelola hubungan dengan orang lain berarti menggunakan kesadaran akan emosi diri dan emosi orang lain untuk membina hubungan yang kuat dan berkualitas. Kemampuan ini mencakup kemampuan berkomunikasi, mempengaruhi dan memimpin orang lain, serta bersikap jujur tanpa menyakiti orang lain.

Salovey, dkk. (1990) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi memiliki tiga aspek, yaitu:

a. Kemampuan menilai dan mengekspresikan emosi

Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang dirinya rasakan dan mengeluarkannya dalam bentuk ekspresi dengan baik.

b. Kemampuan mengatur emosi

Kemampuan mengatur emosi dapat pula diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola apa yang ia rasakan dengan baik.

c. Kemampuan menggunakan informasi yang berkaitan dengan emosi untuk berpikir dan bertindak

Kemampuan ini memampukan seseorang untuk tidak bertindak di luar kendali hanya berdasarkan apa yang dirasakan saat itu. Seseorang dengan kecerdasan emosi yang baik mampu berpikir dengan jernih sehingga emosi yang dirasakan tidak termanifestasi dalam tindakan yang buruk.

(20)

Menurut Dulewicz (1999), kecerdasan emosi memiliki tujuh komponen yaitu:

a. Kesadaran diri (self awareness)

b. Manajemen emosi (emotional management) c. Motivasi diri (self motivation)

d. Empati (emphaty)

e. Mengelola hubungan (handling relationship)

f. Komunikasi interpersonal (interpersonal communication) g. Gaya pribadi (personal style)

Patton (1998), mengemukakan bahwa kecerdasan emosui memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

a. Mengelola emosi diri sendiri dan orang lain

b. Mengenali sebuah masalah berkaitan dengan emosi atau rasional

c. Memaksimalkan fungsi positif dari emosi seperti optimisme, persisten, dan harapan untuk mencapai sebuah tujuan

d. Memotivasi dan mendisiplinkan diri sendiri untuk mencapai produktivitas e. Memiliki empati dan perhatian terhadap orang lan

f. Memiliki integritas dan kesetiaan

Aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman, yaitu kesadaran diri, pengelolaan diri, motivasi, empati, dan kemampuan sosial. Aspek ini digunakan karena sesuai dengan subjek yang akan diambil dalam penelitian ini.

(21)

D. Commuter Marriage

Commuter marriage adalah sebuah keadaan perkawinan yang terbentuk secara sukarela yang mana pasangan sama-sama bekerja mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya (Gerstel dan Gross, dalam Van der Klis, 2009). Gerstel dan Gross menyatakan bahwa pasangan yang termasuk dalam commuter marriage adalah pasangan yang terpisah paling tidak tiga malam dalam satu minggu dan keadaan tersebut sudah berlangsung selama minimal tiga bulan. Gerstel dan Gross menyatakan bahwa commuter marriage terbagi menjadi dua jenis yaitu, adjusting couple dengan usia pernikahan 0-5 tahun dan established couple dengan usia pernikahan lebih dari 5 tahun.

Sejalan dengan Gerstel dan Gross, McBride (2014) mendefinisikan commuter marriage sebagai suatu keadaan pernikahan ketika pasangan suami istri tinggal terpisah pada hari kerja atau lebih dari itu. Bergen (dalam McBride, 2014) mendefinisikan commuter marriage sebagai sebuah tipe perkawinan yang ditandai dengan terpisahnya tempat tinggal pasangan suami istri selama hari kerja maupun periode yang lebih lama. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa situasi ini sangat banyak terjadi dalam tiga dekade terkahir. Umumnya commuter marriage dilakukan untuk mengakomodasi karir dari pasangan suami istri, sehingga kedua belah pihak dapat tetap berkarir. McBride (2014) menyatakan bahwa jumlah pasangan yang menjalani commuter marriage di Amerika Serikat terus meningkat. Terdapat 3,5 juta pasangan yang mengalami pernikahan jarak jauh pada tahun 2009 dan jumlah ini diprediksi akan terus bertambah.

(22)

Pasangan suami istri yang tinggal terpisah baik karena perang, wajib militer, imigrasi, maupun pekerjaan telah banyak ditemui. Meskipun jarak geografis antara suami dan istri bukan merupakan konsep baru, pada akhir tahun 1970-an kesempatan pria dan wanita untuk bekerja mulai setara sehingga pasangan seperti berikut semakin banyak ditemui (Rhodes, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Spruill (dalam Rhodes, 2002) menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan yang menjalani commuter marriage memiliki pendidikan tinggi dengan usia rata-rata 25 hingga 65 tahun. Anderson dan Spruill juga menyatakan bahwa 40-50% pasangan yang menjalani commuter marriage telah menikah selama 9 tahun atau lebih dan memiliki anak.

Commuter marriage memiliki beberapa manfaat sekaligus dapat memberikan akibat yang tidak baik (Rhodes, 2002). Pasangan yang menjalani

commuter marriage memiliki kesempatan yang lebih besar untuk

mengembangkan karir. Pasangan yang menjalani commuter marriage juga memiliki kebebasan yang lebih besar dibandingkan dengan pasangan pada umumnya, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam karirnya. Rhodes juga menyatakan bahwa pasangan commuter marriage lebih menghargai waktu yang dihabiskan bersama dan memiliki frekuensi argumen serta perbedaan pendapat yang lebih rendah dibandingkan dengan pasangan pada umumnya.

Rhodes (2002) berpendapat bahwa di samping beberapa manfaat seperti paparan di atas commutter marriage juga dapat menimbulkan beberapa masalah dalam perkawinan. Pasangan yang menjalani commuter marriage umumnya mengalami kesepian dan rendahnya dukungan sosial yang diterima karena

(23)

minimnya waktu yang dimiliki bersama. Lingkungan dari pasangan commutter marriage seperti teman, keluarga, dan rekan kerja juga berpotensi memiliki pandangan yang buruk terhadap keadaan perkawinan jarak jauh tersebut. Pasangan yang menjalani commuter marriage lebih berpotensi untuk memiliki stres yang lebih besar mengenai pernikahan dan keluarga dibandingkan dengan pasangan pada umumnya. Selain hal-hal yang dipaparkan sebelumnya, pasangan commuter marriage memiliki kepuasan akan kehidupan seksual yang rendah serta kehilangan momen-momen berharga bersama keluarga.

E. Hubungan antar Variabel

1. Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kecerdasan Emosi dengan Work-Life Balance pada Karyawan yang Menjalani Commuter Marriage

Work-life balance adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami keterikatan dan kepuasan yang seimbang dalam perannya sebagai pekerja dan di dalam keluarga. Tercapainya work-life balance dipengaruhi berbagai faktor, baik dari individu maupun dari lingkungan (Polouse, 2014). Faktor internal yang mempengaruhi work-life balance adalah kepribadian, well-being, dan kecerdasan emosi. Faktor eksternal yang mempengaruhi work-life balance seseorang terbagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari organisasi dan lingkungan sosial. Faktor eksternal yang berasal dari organisasi adalah dukungan atasan, dukungan rekan kerja, kebijakan-kebijakan organisasi, jenis pekerjaan, dan stres kerja. Faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sosial adalah dukungan keluarga,

(24)

pekerjaan pasangan, konflik dalam rumah tangga, dan tanggung jawab akan pengasuhan anak.

Rhodes (2002) mengatakan bahwa bertambahnya kesempatan bagi wanita untuk bekerja berdampak pada konflik internal seseorang yang harus memilih antara karir atau pernikahannya. Solusi yang konvensional adalah mengorbankan salah satu dari kedua hal tersebut, namun dewasa ini pernikahan jarak jauh lebih banyak dipilih sebagai solusi agar seseorang tetap bisa berkarir meski sudah menikah.

Seiring dengan terjadinya pernikahan jarak jauh masalah lain terkadang muncul, yaitu pembagian waktu dan peran yang harus dilakukan antara karir dan pernikahan (Shen dan Jiang, 2013). Pembagian waktu dan peran seperti disebutkan sebelumnya mempengaruhi work-life balance seseorang. Shen dan Jiang (2013) menyebutkan bahwa work-life balance memang dapat dipengaruhi oleh pembagian waktu dan peran dalam keluarga, namun dapat dipengaruhi beberapa hal lain juga seperti usia dan jenis kelamin.

Pembagian tugas rumah tangga antara suami dan istri, kebijakan perusahaan, dan kualitas dari infrastruktur sosial yang baik dapat membantu pasangan yang sama-sama bekerja untuk mencapai work-life balance (Fagan, dkk., 2012). Sejalan dengan pernyataan Fagan, Higgins, dkk. (2007) menyatakan bahwa pembagian tugas rumah tangga, termasuk melibatkan anak dalam tugas-tugas tersebut, serta dukungan dari keluarga dapat membantu pencapaian work-life balance.

(25)

Penelitian yang dilakukan oleh Van der Klis (2009) menunjukkan bahwa pasangan yang menjalani commutter marriage juga dapat mencapai work-family balance. Van der Klis menyebutkan bahwa terdapat work-family balance umumnya dicapai oleh pasangan commuter marriage dengan dua cara, yaitu tradisional dan egalitarian. Pasangan yang menggunakan cara tradisional menempatkan salah satu pihak (umumnya laki-laki) untuk bekerja sepenuhnya sedangkan pihak yang lain hanya bekerja paruh waktu atau tidak bekerja sama sekali. Pihak yang tidak bekerja bertanggung jawab sepenuhnya dalam mengelola rumah tangga dan mengurus anak. Sebaliknya, pasangan yang menggunakan cara egalitarian membagi tugas dalam berkarir dan mengelola rumah tangga secara seimbang.

Berbagai penelitian mengenai hal-hal yang mempengaruhi tercapainya work-life balance telah dilakukan. Maiya (2014) melakukan penelitian mengenai hal-hal yang mempengaruhi work-life balance, yaitu faktor personal, kemampuan untuk menyeimbangkan karir dan kehidupan pribadi, dukungan organisasi, motivasi, potensi perkembangan karir, dan faktor psikologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa work-life balance subjek yang berusia 25 tahun sampai 30 tahun dipengaruhi oleh faktor motivasi, potensi perkembangan karir, dan dukungan organisasi. Work-life balance subjek yang berusia 31 tahun sampai 35 tahun dipengaruhi oleh kemampuan untuk menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan karir, faktor personal, dan faktor psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah work-life balance dipengaruhi oleh hal-hal yang berbeda dan tergantung pada usia subjek.

(26)

Holly (2012) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa sebenarnya jam kerja tidak memiliki dampak negatif terhadap work-life balance, namun keinginan untuk mengurangi jam kerja yang menimbulkan dampak negatif pada work-life balance. Hal ini berkaitan dengan kepuasan atas jam kerja yang diberikan oleh perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jam kerja tidak memiliki hubungan signifikan dengan work-life balance, namun keinginan yang dimiliki karyawan untuk mengurangi jam kerja memiliki hubungan signifikan dengan work-life balance. Semakin tinggi keinginan untuk mengurangi jam kerja maka work-life balance karyawan tersebut akan rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Skinner (2013) menunjukkan bahwa kebijakan perusahaan juga berhubungan dengan work-life balance. Kebijakan perusahaan yang menguntungkan keluarga karyawan (family friendly policies) meningkatkan work-life balance karyawan.

Selain kebijakan perusahaan, dukungan atasan juga mempengaruhi tercapainya work-life balance. Penelitian yang dilakukan oleh Kopp (2013) menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan yang diberikan atasan untuk seorang karyawan, semakin tinggi pula work-life balance karyawan tersebut. Adanya dukungan sosial yang diterima seseorang akan mengurangi konflik yang terjadi antara kehidupan rumah tangga dan pekerjaannya (Lee, 2013). Dukungan sosial membantu mengurangi konflik tersebut dengan adanya bantuan secara emosional maupun instrumental. Minimnya work-life conflict inilah yang dapat disebut sebagai work-life balance.

(27)

Selain dukungan sosial, kecerdasan emosi juga berperan penting dalam tercapainya work-life balance. Kecerdasan emosi membantu seseorang untuk mengatasi aktivitas sehari-hari secara diplomatis dan dewasa (Akhtarsha, 2014). Mahanta (2015) menyatakan bahwa seseorang dengan kecerdasan emosi tinggi akan memiliki konflik yang rendah antara kehidupan rumah tangga dan karir.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dan kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan work-life balance. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh seseorang, semakin tinggi pula work-life balance individu tersebut. Semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang, semakin tinggi pula work-life balance seseorang.

2. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Work-Life Balance pada Karyawan yang Menjalani Commuter Marriage

Dukungan sosial adalah tersedianya sebuah bantuan secara sosial, emosional, kognitif, dan tindakan yang diberikan oleh keluarga, rekan kerja, atasan, dan organisasi. Dukungan sosial termasuk dalam salah satu faktor yang mempengaruhi work-life balance. Friedman dan Greenhaus (dalam Lockwood, 2003) menyatakan bahwa dukungan sosial, baik dari keluarga maupun atasan, sangat berpengaruh pada work-life balance seseorang. Konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga sangat mempengaruhi pencapaian seseorang dalam kedua hal tersebut.

(28)

Berbagai penelitian mengenai dukungan sosial dan hubungannya dengan work-life balance telah dilakukan. Ismail (2013) melakukan penelitian mengenai dukungan sosial dan work-family conflict. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial dari keluarga mampu mengurangi gangguan yang terjadi dari kehidupan pribadi terhadap pekerjaan. Di samping dukungan keluarga, dukungan sosial yang diberikan oleh atasan dan rekan kerja mampu mengurangi gangguan yang terjadi dari pekerjaan terhadap kehidupan pribadi karyawan. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat dukungan sosial yang tinggi mampu membantu seseorang mengurangi konflik yang terjadi antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail, Lee, dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai dukungan sosial, work-family conflict, dan kelelahan emosional. Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan signifikan dengan work-family conflict. Lee menyatakan bahwa rendahnya dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga dapat mengakibatkan munculnya konflik antara kehidupan rumah tangga dan karir. Munculnya work-family conflict merupakan sebuah indikasi bahwa seseorang memiliki tingkat work-life balance yang rendah. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan work-life balance seseorang.

Penelitian yang dilakukan oleh Malik, dkk. (2010) mengenai dukungan sosial dan work-life balance pada wanita di Pakistan, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan work-life balance.

(29)

Dukungan sosial memiliki hubungan dengan performa karyawan dan kepuasan karyawan yang dimoderasi oleh work-life balance. Semakin tinggi dukungan sosial, semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk mencapai work-life balance. Penelitian ini menyebutkan bahwa dukungan sosial datang melalui organisasi, atasan, rekan kerja, pasangan, anak, orang tua, maupun teman. Namun, dukungan dari pasangan memiliki pengaruh yang paling besar.

Sesuai dengan pendapat Malik, Huffman (2014) melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan pasangan dengan turnover. Work-family conflict menjadi mediator dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan yang mendapatkan dukungan sosial dari pasangannya memiliki konflik yang rendah antara kehidupan pribadi dan pekerjaannya. Rendahnya work-family conflict ini berdampak pada rendahnya turnover yang terjadi.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga memiliki hubungan positif dengan work-life balance. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diterima oleh seseorang, semakin tinggi pula work-life balance individu tersebut.

3. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Work-Life Balance pada Karyawan yang Menjalani Commuter Marriage

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menanggapi dengan tepat suasana hati, mengelola emosi, memotivasi diri, dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Kecerdasan emosi merupakan salah faktor dari dalam individu yang dapat membantu tercapainya work-life balance (Poulose, 2014).

(30)

Kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan penyesuaian diri/life adjustment (Sjöberg, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sjöberg menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang maka akan semakin baik pula kemampuan penyesuaian diri seseorang. Penyesuaian diri ini, dikatakan oleh Sjöberg, dapat membantu seseorang untuk menyeimbangkan antara kehidupan berkeluarga dan pekerjaan seseorang. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang maka semakin tinggi pula work-life balance indvidu tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Gupta (2014) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi berhubungan dengan work-life balance seseorang. Gupta melakukan penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dengan work-life conflict, quality of work-work-life, dan kebahagiaan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosi berhubungan negatif dengan konflik antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Kecerdasan emosi membantu seseorang untuk mengintegrasikan kehidupan pribadi dan pekerjaan tanpa menimbulkan konflik antar kedua hal tersebut. Kecerdasan emosi juga memampukan seseorang untuk memiliki kualitas yang baik dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kecerdasan emosi dapat meningkatkan work-life balance seseorang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharma (2014), terdapat hubungan signifikan antara kecerdasan emosi dengan work-life balance. Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki work-life balance yang tinggi, sedangkan individu dengan kecerdasan emosi yang rendah memiliki work-life

(31)

balance yang juga rendah. Kecerdasan emosi membantu karyawan dalam meningkatkan daya tahannya terhadap masalah sehingga meminimalisir terjadinya konflik antara kehidupan rumah tangga dan karir.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharma, Mahanta (2015) juga menemukan bahwa kecerdasan emosi dapat membantu tercapainya work-life balance. Kecerdasan emosi membuat seseorang mampu memisahkan antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan sehingga tidak terjadi interferensi antara kehidupan pribadi terhadap pekerjaan dan sebaliknya. Ketika interferensi antar keduanya tidak terjadi, work-family conflict pun tidak terjadi. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi berhubungan positif dengan work-life balance.

Kecerdasan emosi membantu seseorang untuk mengatasi aktivitas sehari-hari secara diplomatis dan dewasa (Akhtarsha, 2014). Seorang karyawan dengan kecerdasan emosi yang baik dapat memiliki kehidupan rumah tangga serta karir yang baik secara beriringan. Jadi, kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan work-life balance.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan work-life balance. Semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang, semakin tinggi pula work-life balance seseorang.

(32)

F. KERANGKA BERPIKIR

Bagan 1. Kerangka Berpikir “Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kecerdasan Emosi dengan Work-Life Balance pada Karyawan yang Menjalani Commuter

Marriage”

G. HIPOTESIS

1. Terdapat hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage. 2. Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan work-life balance pada

karyawan yang menjalani commuter marriage.

3. Terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage.

Dukungan Sosial

Kecerdasan Emosi

Work-Life Balance Karyawan yang Menjalani Commuter

Marriage 2

1

Referensi

Dokumen terkait

pagi santri sangat antusias untuk membaca Al-Qur’an pada pagi hari, para santri sangat antusias melakukannya karena dirasa sangat mudah masuk kedalam otak”.47 Gagasan tersebut

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan karyawan menyeimbangkan kehidupan kerja dan kehidupan di luar pekerjaan atau Work-life Balance memberikan pengaruh

: Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan peranan uang dan bank dalam ekonomi makro. Jumlah pertemuan : 2

Teknik pengawasan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Berikut penjelasan dari pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.. Pengawasan langsung

Hasil numerik yang diperoleh pada Gambar 2 konsentrasi timbal di dalam organisme yang hidup di habitat darat menuju 36,9315 mg, pada saat → ∞ dan konstan pada titik

Pendidikan kader Tarung Derajat dilaksanakan dengan tujuan membentuk cikal bakal pemimpin-pemimpin baru yang bukan hanya mempuni dalam kemampuan bela dirinya, akan

Perubahan dan perkembangan yang terjadi di dunia, sangat dibutuhkan sosok manusia sebagai wakil Tuhan (kepemimpinan) yang baik dan mampu mengemban amanah yang

(HR.. Dalam mengatur layout , hendaknya para pemilik toko juga memberikan kemudahan bagi para konsumen untuk melihat barang dagangannya, memilih barang yang akan