• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER II TAHUN 2013/2014 MATA KULIAH HUKUM PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER II TAHUN 2013/2014 MATA KULIAH HUKUM PIDANA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER II

TAHUN 2013/2014

MATA KULIAH HUKUM PIDANA

Disusun oleh

MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN

NPM. 151000126

KELAS D

UNIVERSITY Muh_Nur_Jamal

D070AF70

16jamal

muh.jamal08

081223956738 muh.nurjamaluddin

(2)

Silakan follow ya

   muh.jamal85@yahoo.com muhnurjamaluddin.blogspot.co.id mnurjamaluddin.blogspot.co.id creativityjamal.blogspot.co.id muh.jamal1608@gmail.com SAAT INI

Jalan PH. Hasan Mustapa Nomor 28, Gang Senang Raharja, RT 02, RW 15, Kelurahan Cikutra, Kecamatan Cibeunying Kidul,

Kode POS 40124, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, Indonesia ASAL

Kampung Pasir Galuma, RT 02, RW 06, Desa Neglasari, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut,

Provinsi Jawa Barat, Indonesia

(3)

Renungan

Ya Tuhan, saya lupa

Saya benar-benat lupa, padahal sudah belajar dan menghafalnya Ingat:

Ingatlah Aku, maka akan Ku ingatkan pula semua yang kamu lupa? Ya Tuhan, karena saya lupa

Izinkan saya untuk melihat pekerjaan temanku

Izinkan pula saya untuk menyontek melalui Hand Phone Atau melalui buku yang sudah saya bawa ini

Atau melalui catatan kecil yang sudah saya siapkan ini Ingat:

Bukankah Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak ketahui? Bukankah Aku lebih dapat melihat apa yang kamu sembunyikan itu? Ya Tuhan, karena saya ingin mendapat nilai terbaik

Supaya dapat membanggakan diriku, kelurgaku dan juga yang lainnya

Izinkan saya mengahalalkan semua cara ini Ingat:

Bukankah yang memberikan nilai terbaik itu Aku? Dosen hanyalah sebagai perantara saja dariku? Jikalau kamu ingin mendapatkan kebahagian di dunia

Dan juga kebahagiaan di akhirat

Jangan pernah menghalalkan semua yang telah Aku haramkan Ingat:

Kebahagian di dunia itu hanya bersifat sementara bagimu Aku akan siapkan 99% lagi kebahagiaan untukmu kelak di akhirat

(4)

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG FAKULTAS HUKUM

Jalan Lengkong Besar Nomor 68 Bandung 40261 UJIAN AKHIR SEMESTER TAHUN AKADEMIK 2013/2014

MATA KULIAH : HUKUM PIDANA HARI, TANGGAL : RABU, 2 APRIL 2014 KELAS/SEMESTER : A-B-C-D-E-F-G-H/II

WAKTU : 90 MENIT

DOSEN : TIM DOSEN

SIFAT UJIAN : CLOSE BOOK

PILIH 5 (LIMA) DARI 9 (SEMBILAN) SOAL YANG DISEDIAKAN

Soal:

1. Soalnya, yaitu:

a. Darimana Anda dapat menyimpulkan bahwa hukum pidana termasuk hukum publik?

Jawaban:

Sebagian besar sarjana hukum melihat hukm pidana sebagai hukum publik yang mempunyai ciri-ciri:

1) mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan kepentingan perseorangan;

2) kedudukan penguasa negara lebih tinggi dari perorangan, dengan kata lain orang perorangan disubordinasikan kepada penguasa;

3) penuntutan seseorang yang telah melakukan tindak pidana(perbuatan pidana) tidak tergantung orang perseorangan yang dirugikan, tetapi pada kepentingan negara/umum dan negara melalui alat perlengkapannya wajib menuntut orang tersebut

4) hak subjektif negara terdapat pada alat atau aparat perlengkapan negara ditimbulkan oleh peraturan dalam hukum pidana obyektif atau pidana positif.

Van Hamel mellihat hukum pidana termasuk pidana sebagai hukum publik dikarenakan yang

menjalankan hukum pidan itu sepenuhnya terletak di tangan pemerintah. Kemudian

Simons berpendapat hukum pidana sebagai hukum publik karena hukum pidana tersebut

(5)

Hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan juga dijalankan hanya dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya.

Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh Utrecht yang menyatakan bahwa hak negara untuk menghukum (menjatuhkan pidana) yang disebut ius puniendi dari negara tidak berarti bahwa hukum pidana dengan sendirinya merupakan hukum publik, karena hukum publik biasa dilukiskan sebagai hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negaranya. Ada perbedaan penting antara tugas hukum pidana dan hukum publik. Dengan merujuk pendapat Van Kan, utrecht mengatakan bahwa hukum publik seperti halnya hukum privet tugasnya membuat kaedah, yaitu membuat petunjuk-petunjuk hidup yang mengarahkan tingkah laku manusia dalam pergaulannya dengan menusia lainnya dalam masyarakat. Sedangkan hukum pidana sama sekali tidak bertugas membuat petunjuk-petunjuk hidup, hukum pidana hanya membuat sanksi yang lebih keras atas pelanggaran petunjuk-petunjuk hidup yang dibuat oleh hukum privat maupun hukum publik, walaupun sering juga terjadi bahwa petunjuk-petunjuk hidup tersebut dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana yang bersangkutan.

b. Darimana Anda dapat menemukan hukum pidana materiil?

Jawaban:

Hukum Pidana Materiil ialah semua peraturan-peraturan yang menegaskan: 1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.

2) Siapa yang dapat dihukum.

3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.

Singkatnya Hukum Pidana Materiil mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. Jadi Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan hukum atau perundang-undangan yang berisi penetapan mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang untuk dilakukan (perbuatan yang berupa kejahatan/pelanggaran), siapa sajakah yang dapat dihukum, hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan/pelanggaran tersebut dan dalam hal apa sajakah terdapat pengecualian dalam penerapan hukum ini sendiri dan sebagainya yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(6)

c. Sebutkan sumber hukum pidana!

Jawaban:

Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi dan sistem di luar

kodifikasi. Sistem yang terkodifikasi adalah apa yang termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum. Namun di luar KUHP, masih terdapat pula berbagai pengaturan tentang perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum dengan sanksi pidana. Dalam hal ini,Loebby

Loqman membedakan sumber-sumber hukum pidana tertulis di Indonesia adalah;

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); 2) Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP; 3) Undang-undang Hukum Pidana Khusus;

4) Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.

Hal ini berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946. Adapun penjelasannya, yaitu:

Hubungan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 dengan KUHP yaitu penegasan diadakannya tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia. Kemudian hubungan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 dengan KUHP yaitu menyatakan berlakunya Undang-undang-Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Soalnya, yaitu:

a. Mengapa perlu dilakukan iterprestasi?

Jawaban:

Intresptasi terhadp undang-undang diperlukan karena semua undang-undang tidak memberikan penjelasan secara tegas dari tujuan diberlakukan ketentuan tersebut sehingga dibutuhkan iterprestasi. Adapun tujuan dari intreprestasi terhadap undang-undang yaitu untuk menjadikan hukum bersifat dinamis, bisa mengikuti perkembangan zaman.

(7)

b. Sebutkan macam-macam interprestasi!

Jawaban:

Macam-macam metode penafsiran, yaitu:

a. Penafsiran gramatikal (gramaticale interpetatie) merupakan penafisiran menurut tata bahasa, yaitu memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa. Contoh bila perumusan berisi kata pegawai negeri meneri suap, maka subjek atau pelaku disini adalah pegawai negeri, bukan barang siapa atau nahkoda.

b. Penafsiran sistematis merupakan metode yang dihubungkan dengan sistematis dalam perundang-undangan, apabila suatu istilah atau perkara dicantumkan dua kali dalam satu pasal atau pada suatu undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula. Misalnya, pasal 302 KUHP dicantumkan dua kali istilah binatang, maka kepada kedua-duanya istilah harus diberikan pengertiannya yang sama. Contoh lain istilah pencurian yang tercantum dalam pasal 363 KUHP, harus sama dengan pengertian istilah yang sama tercantum dalam pasal 362 KUHP.

c. Penafsiran logis yaitu penafsiran suatu istilah atau ketentuan berdasarkan atau sesuai dengan pengertian logis, wajar atau masuk akal.

d. Penafsiran mempertentangkan (redeneering/argumentum a contrario) adalah penafisiran yang menemukan kebaikan dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi. Contoh kebalikan dari ungkapan tiada pidana tanpa kesalahan adalah pidana hanya dijatuhkan kepada seorang yang padanya terdapat kesalahan Atau dilarang melakukan sesuatu tindakan tertentu. Kebalikannya ialah bahwa jika seseorang melakukan suatu tindakan yang tidk terlarang, tidak tunduk pada ketentuan tersebut.

e. Penafsiran memperluas (extensiieve interpretatie) yaitu memperluas pengertian dari suatu istilah berbeda dengan pengertiannya yang digunakan sehari-hari.

f. Penafsiran analogi yaitu memperluas cakupan atau pengertian dari ketentuan undang-undang.

g. Penafsiran historis yaitu menulusuri sejarah terjadinya undang-undang untuk mencar maksud dari pembentuk undang-undang.

h. Penafisiran teleologis yaitu mencari tujuan atau maksud dari suatu perundang-undangan. Contoh tujuan dari pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub, undang-undang No. 16 Tentang PNPS. Tahun 1963 ialah untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara khusus.

i. Penafisran mempersempit (restictive interpretatie) adalah mempersempit pengertian dari suatu istilah. Contohnya undang-undang dari arti luas yaitu semua produk

(8)

perundang-undangan seperti UUD 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Kepres, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kota. Kemudian definisi undang-undang menggunakan penafsiran restriktif (dalam arti sempit) diartikan hanya sebagai undang-undang yang dibuat Pemerintah bersama DPR.

3. Soalnya, yaitu:

a. Kesimpulan apa yang dapat Anda tarik dari Pasal 1 ayat (1) KUHP?

Jawaban:

Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung beberapa makna/kesimpulan. Berikut adalah penjelasannya:

Bunyi dari Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu: “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege

Poenali”, artinya: “Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana (dihukum) sebelum ada

undang-undang yang mengatur perbuatan tersebut.” Pasal 1 ayat (1) KUHP lebih dikenal dengan asas legalitas. Adapun makna yang terkadung dari Pasal 1 ayat (1) KUHP beserta konesekuensi yuridis dan rasio pemikirannya, yaitu:

a) Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya/terlebih dahulu. Jadi, harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan perbuatan ada sebelum akan dihukum.

b) Untuk menentukan adanya perestiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh menggunakan analogi.

c) Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Maksudnya adalah ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut (strafrecht heeftgeen terugwerkende kracht). Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru di kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tidak dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.

(9)

b. Apakah asas teritorial berlaku mutlak?

Jawaban:

Tidak, karena keharusan memperhatikan undang-undang pidana yang berlaku di negara-negara lain yang ada hubungannya pula dengan perjanjian ekstradisi. Hal ini secara tersirat terdapat dalam pasal 5 ayat (1) angka ke-2, pasal 6, dan pasal 76 ayat (2) KUHP.

4. Terangkan perkataan di bawah ini: a. No punishment without fault?

Jawaban:

No punishment without fault artinya tidak ada hukum tanpa ada kesalahan. Maksudanya

adakah bahwa hukum diterapkan kepada orang yang bersalah atau terhadap kepada orang yang melakukan pelanggaran.

b. Nulla peona sine lege?

Jawaban:

Nulla poena sine leg artinya tiada pidana tanpa undang-undang. Maksudnya adalah dalam

menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan.

c. Nulla peona sine crime?

Jawaban:

Nulla peona sine crime artinya tiada hukum pidana tanpa ada tindak pidana. Maksudnya

adalah Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

5. Jelaskan apakah KUHP mengenal hukum tidak tertulis, apa dasar hukumnya?

Jawaban:

Mengenal hukum idak tertulis, yakni kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu sehingga menjadi suatu peraturan hukum pidana adat. Keberadaan hukum pidana adat diakui dengan masih berlakunya Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951.

(10)

6. Soalnya, yaitu:

a. Jelaskan serta berikan contoh konkret terkait arti perubahan perundang-undangan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP!

Jawaban:

Aturan pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan aturan transitoir/atau aturan peralihan adalah menjadi pengecualian bagi asas legalitas yang berarti bahwa suatu saat terjadi perubahan dalam KUHP dan ketentuan perundang-undangan pidana yang lain, ini berarti bahwa dengan ketentuan pasal tersebut dimungkinkan berlaku surutnya aturan pidana, yang bila mana suatu ketika ada perkara pidana yang meringankan terdakwa, maka perundang-undangan baru yang meringankanlah yang berlaku.

b. Jelaskan terkait apa saja ketentuan yang paling menguntungkan atau yang paling meringankan, berdasarkan pasal 1 ayat (2) KUHP!

Jawaban:

Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku surut (retroaktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa.

Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu:

1) Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan. 2) Dipakai aturan yang paling menguntungkan atau meringankan.

Menurut Bambang Poernomo, 2 (dua) ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP itu menimbulkan pandangan dan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas kemanfaatan dari hukum peralihan yang peru-musannya seperti itu akan ditiadakan sama sekali dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Tidak ada hukum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hukum yang lain sehingga hukum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan lapangan hukum yang lain.

2) Dasar perubahan undang-undang yang baru adalah karena bahan perasaan/keyakinan/ kesadaran hukum rakyat, yang melalui badan pembentuk undang-undang membentuk undang-undang baru, untuk perbuatan pidana yang terjadi kemudian, sehingga perubahan undang-undang yang karena sifatnya berlaku sementara tidak termasuk perubahan di sini

(11)

3) Perubahan undang-undang yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak akan mempunyai arti, karena di dalam prakteknya hakim tetap memegang asas kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang diancam.

4) Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis adalah asas yang menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum.

c. Jelaskan apakah pasal 1 ayat (2) KUHP berlaku bagi terpidana!

Jawaban:

“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa.” (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, makan pasal 1 ayat (2) hanya berlaku bagi terdakwa.

7. Soalnya, yaitu:

a. Sebutkan, jelaskan serta berikan contoh konkret penerapan asas ruang lingkup berlakunya perundang-undangan menurut tempat!

Jawaban:

Asas-asas yang mendasari ruang berlakunya KUHP, yaitu: 1) Asas Teritorial

Asas teritorial terdapat dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undandan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia.”

Artinya undang-undang pidana di Indonesia bukan saja yang diberlakukan terhadap warga negara Indonesia (WNI), melainkan juga terhadap setiap warga negara asing (WNA) yang di dalam wilayah negara Indonesia diketahui telah melakukan suatu tindak pidana. Contohnya:

A seorang WNI melakukan pencurian di Jakarta. Ia A atau perbuatannya akan menghadapi suatu penuntutan atau penghukuman menurut perundang-undangan pidana yang berlaku di negara Indonesia.

2) Asas Personalitas/Asas Nasional Aktif

Asas personalitas/asas nasional aktif terdapat dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi:

Pasal 5 ayat (1)

Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia:

(12)

Ke-1. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II buku kedua, dan dalam pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.

Ke-2. Suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut pidana dalam undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan.

Pasal 5 ayat (2)

Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke-2 boleh juga dilakukan, jika tersangka.

Pasal 5 ini tentang asas kebangsaan disebut juga sebagai asas nasional aktif atau asas personalitas. Menurut asas ini, udang-undang pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya dimana pun mereka ini berada, bahkan juga seandainya jika mereka itu berada di luar negeri.

Contoh penerapan pasal 5 ayat (1) angka ke-1 KUHP:

A seorang warga negara Indonesia yang telah menikah di Indonesia dan baginya berlaku ketentuan pasal 27 BW. Pasal 27 BW menentukan: “Pada suatu saat yang sama seorang laki-laki itu hanya dapat terikat dalam suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang wanita itu pada saat yang sama hanya dapat terikat dalam suatu perkawinan dengan seorang laki-laki.” Oleh karena pekerjaannya, ia A dikirim ke Arab Saudi untuk waktu 3 tahun. Setalah 1 tahun berada di sana, A menikah kembali dengan seorang B seorang warga negara Saudi Arabia. Setelah menikah, B kemudian mengubah kewarganegaraan menjadi WNI.

Menurut pasal 5 ayat (1) angka ke-1 KUHP, perbuatan A dapat dituntut hukum dan dihukum menurut undang-undang pidana yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pula dalam pasal 279 ayat (1) KUHP walaupun perbuatan A dilakukan di luar negeri.

Contoh penerapan pasal 5 ayat (1) angka ke-2 KUHP:

Apakah terhadap B dapat diberlakukan ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia?

Menurut ketentuan pasal 284 ayat (1) angka ke-2 huruf b KUHP perbuatan wanita tersebut juga dapat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan, apabila ada pengaduan dari istri pertama A bahwa telah dilakukan tindak pidana seperti yang telah dirumuskan dalam pasal 279 ayat (1) angka ke-1 KUHP.

(13)

Indonesia, apabila perbuatan B itu di Idnoensia dianggap sebagai kejahatan dan di negara dimana B telah melakukan perbuatannya itu diancam dengan suatu hukuman (double

criminality harus terpenuhi). Kenyataannya perbuatan B di dilakukan di Saudi Arabia

tidak diancam dengan suatu hukuman. Maka pasal 284 ayat (1) angka ke-2 huruf b KUHP, tidak dapat diberlakukan terhadap B walaupun rumusan ketentuan pasal 5 ayat (2) KUHP telah terpenuhi.

3) Asas Perlindungan/Asas Nasional Pasif

Dalam undang-undang pidana Indonesia, asas perlindungan/asas nasional pasif ini terdapat dalam pasal 4 dan pasal 8 KUHP.

Contohnya:

A seorang mahasiswa WNI yang sedang menuntut ilmu di Jepang telah dibunuh oleh B seorang warga negara Jepang. Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan dituntut menurut undang-undang Jepang, B melarikan dri dari Jepang ke Indonesia dan menyamar sebagai turis. Kemudia ia B diketahui oleh aparat kepolisian Indonesia sebagai pelaku pembunuhan terhadap A.

Terhadap B tidak dapat dituntut atau dihukum menurut undang-undang pidana Indonesia, karena pertama pembunuhan bukanlah salah satu kejahatan yang disebutkan dalam pasal 4 KUHP. Keuda, karena ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia tidak dapat diberlakukan terhadap B. B hanya dapat dituntut dan dihukum menurut undang-undang Jepang. Selama ia B berada di Indonesia, jika pemerintah Jepang tidak meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menyerahkan B guna dituntut dan di hukum di Jepang, maka ia B bebas pergi kemana saja di Indonesia tanpa Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa. 4) Asas Universal

Menurut asas universal atau asas persamaan, setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam usaha memelihara keamanan dan ketertiban dunia dengan negara-negara lain, walaupun dengan sangat terbatas. Asas universal terdapat dalam pasal 4 ke-2 dan pasal 4 KUHP.

b. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Double Criminality dan hak ekstra teriteorial, apa dasar hukumnya, terdapat dalam asas apa, serta kepada siapa peruntukannya!

Jawaban:

Asas Double Criminality atau kriminalitas ganda,( Pasal 2 ayat 1 ) yaitu penjatuhan pidana yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dalam hukum

(14)

Indonesia, sehingga perbuatan apapun yang melanggar hukum di tempat manapun yang dilakukan oleh warga Indonesia maka tetap harus dipidana menurut hukum yang berlaku. Contoh seseorang melakukan perjudian di Negara yang mlegalkan judi, kemudian hasil judinya dibawah ke Indonesia dan digunakan untuk berbagai hal, maka dapat dilakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Meskipun judi tersebut tidak dilakukan di Indonesia tetapi UU TPPU ini menganut asas Double Criminality sehingga dapat menjerat perbuatan tersebut.

Kemudian hak ekstratorial adalah hak kebebasan diplomat terhadap daerah perwakilannya termasuk bangunan serta perlengkapannya seperti benera, lambang negara, surat-surat dan dokumen bebas sensor. Dalam hal ini polisi dan aparat keamanan tidak boleh masuk tanpa ada izin pihak perwakilan yang bersangkutan.

8. Jelaskan pemahaman saudara perihal tindak pidana dari sudut pandang monistis dan dualistis, serta apa konsekuensi dua pandangan tersebut bagi pelaku tindak pidana yang tidak mampu bertanggung jawab!

Jawaban:

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan (Criminal responbility).

Pada dasarnya pandangan ini tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai orangnya. Ada beberapa batasan atau pengertian tidak pidana dari para sarjana yang menganut pandangan Monistis. Misalnya menurut Simon. Dimana menurutnya tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simon, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan Negatif (tidak beruat);

2) diancam dengan pidana; 3) melawan hukum;

(15)

5) oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Dengan penjelasan seperti tersebut diatas, maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana. Simon tidak memisahkan antara criminal act dan Criminal responbility.

Berbeda dengan pandangan Monistis yang melihat kesalahan syarat adanya pidana telah

melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik usur perbuatan maupun unsur orangnya. Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja. Sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawab pidana. Gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis dapat terlihat dari pandangan Moeljatno yang menyatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelan untuk terjadinya perbuatan atau tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusana dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP ).

2) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).

Disamping pengertian tersebut, Moelyatno juga menegaskan bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak. Jadi peristiwanya adalah tindak pidana, tetapi apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu benar-benar dipidana atau tidak, akan dilihat bagaimana keadaan bathin orang itu dan bagaimana hubungan bathin antara perbuatan yang terjadi dengan orang itu.

Apabila perbuatan yang terjadi itu dapat dicelakan kepada orang itu, yang berarti dalam hal ini ada kesalahan dalam diri orang itu, maka orang itu dapat dijatuhi pidana, demikian sebaliknya.

(16)

9. Jelaskan oleh saudara ajaran sifat melawan hukum materil bai dalam fungsi positif dan negatif!

Jawaban:

Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila

Dalam sifat melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan:

1) Fungsi Negatif

Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.

Contoh:

Kasus pencurian nasi bungkus seharga Rp 1.500,- oleh seorang ibu yang karena keadaan terpaksa melakukan perbuatan tersebut dengan alasan anaknya sudah tidak makan dalam 3 hari dan anaknya itu sedang sakit. Perbuatan ibu tersebut secara formil memenuhi unsur pasal 362 KUHP (WvS) tantang pencurian, namun ibu tersebut dapat dibebaskan dari jeratan pasal tersebut karena adanya alasan pembenaran dari hukum yang tidak tertulis yang bersifat materiil. Karena dalam situasi dan kondisi tersebut, jika ibu tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum, dapat berakibat hilangnya nyawa anak dari ibu tersebut. Yang berhak menentukan alasan pembenaran diluar peraturan perundang-undangan adalah Hakim, namun aparat penegak hukum lainnya juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan adanya fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil ini.

(17)

2) Fungsi Positif

Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

Contoh:

Peristiwa adat carok di Madura, yang merupakan jalan terakhir penyelesaian konflik antar warga Madura dengan cara bertarung saling membunuh dengan menggunakan alat sabit, dianggap sebagai perbuatan yang wajar dilakukan untuk di lingkungan masyarakat Madura. Peristiwa ini pasti akan membawa kematian bagi salah satu pihak yang bersengketa, meski perbuatan membunuh dibenarkan oleh masyarakat setempat, namun orang yang melakukan pembunuhan tersebut tetap dapat dijerat dengan pasal 338 KUHP (WvS). Dilain sisi, hukum carok yang berlaku di masyarakat tersebut hanya dapat sebagai alas an pembenaran untuk mendapatkan keringanan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat obyek yang sudah dibuat tersebut memanggil overridden method pada parent class, kompiler Java akan melakukan invocation (pemanggilan) terhadap

Dengan mengimplementasikan interface Comparable kita hanya bisa menentukan satu cara saja untuk membandingkan object-object dari class Mahasiswa, untuk contoh sebelumnya, yang

Objek-objek yang bekerja sama membentuk suatu sistem harus saling berkomunikasi untuk menjalankan sistem tersebut. Dalam sebuah program, objek-objek berkomunikasi satu sama

Adalah sebuah method atau fungsi yang diekseskusi ketika sebuah kelas diinisialisasi, secara default sebuah Java Class memiliki 1 buah konstruktor tanpa parameter, konstruktor ini

Jaringan atau orang-orang dalam organisasi Mahasiswa mampu menjelaskan komponen- komponen bisnis  Proses Operasi  Proses Informasi  Proses Manajamen Mahasiswa mampu

Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah

Hukum Tanah Nasional yang diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Undang-Undang No 5 tahun 1960, pada Penjelasan

Partikel per dalam bilangan pecahan yang ditulis dengan huruf dituliskan serangkai dengan kata yang mengikutinya. Singkatan ialah bentuk singkat yang terdiri atas satu huruf