• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monitoring ekosistem pesisir daerah perlindungan laut (DPL) Tanjung Ayuan, Kabupaten Donggala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Monitoring ekosistem pesisir daerah perlindungan laut (DPL) Tanjung Ayuan, Kabupaten Donggala"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 1

Monitoring ekosistem pesisir daerah perlindungan laut (DPL)

Tanjung Ayuan, Kabupaten Donggala

Abigail Moore1*, Samliok Ndobe2 dan Al Ismi M. Salanggon1 1Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPL), Palu, Sulawesi Tengah 2Program Studi Budidaya Perairan Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah

*e-mail: abigail2105@yahoo.com Abstrak

Daerah Perlindungan Laut (DPL) Tanjung Ayuan, Kecamatan Damsol, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah terletak di perairan pesisir Selat Makassar. DPL tersebut terbentuk pada tahun 2006/2007 dalam rangka implementasi program MCRMP dengan SK Kepala Desa Malonas dan Desa Ponggerang. Pada tahun 2012 dilakukan penelitian sebagai upaya monitoring terhadap perkembangan DPL tersebut, terutama kondisi ekosistem pesisir dan evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan. Metode utama pada survei biofisik adalah Manta Tow, Reef Check dan Swim Survei untuk ekosistem terumbu karang, serta transek kuadrat untuk ekosistem lamun dan mangrove. Metode survei sosio-ekonomi utama mencakup Key Informant Interview (KII), studi KAP (Knowledge, Attitude and Perception) serta pemetaan partisipatif. Hasil penelitian bahwa kondisi ekosistem pesisir maupun kinerja pengelolaan meprihatinkan. Kondisi karang keras umumnya Buruk atau Sedang, biota indikator Reef Check sebagian besar tidak teramati, dan pemanfaatan teramati di zona inti. Kondisi mangrove rusak berat dan luasannya sangat sedikit sehingga kehilangan fungsi ekosistem sebagai penahan abrasi pantai. Upaya restorasi mangrove nampaknya kurang tepat dan tidak efektif. Ekosistem padang lamun didominasi spesies berukuran kecil, yaitu Genus Halodule, Halophila dan Cymodocea dengan indikasi penurunan luasan. Sarana/prasarana DPL sebagian besar hilang dan sebagian rusak, kelembagaan tidak berfungsi secara efektif. Saran pengelolaan antara lain revitalisasi kelembagaan, pendampingan, strategi penegakan hukum, rehabilitasi sarana/prasarana dan ekosistem. Hasil penelitian diharapkan berguna bagi masyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala dan stakeholders lainnya dalam mewujudkan pengelolaan lestari dan efektif DPL Tanjung Ayuan.

Kata kunci: DPL Tanjung Ayuan, monitoring, ekosistem pesisir, efektivitas pengelolaan

Pengantar

Kabupaten Donggala di Propinsi Sulawesi Tengah terletak di daerah katulistiwa (ekuatorial), wilayah pesisir di perairan Selat Makassar, dalam kawasan Segitiga Karang yang diakui sebagai pusat keanekaragaman hayati laut berstatus global. Selain memiliki nilai tinggi dari segi biodiversitas dan konservasi, sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil (KP3K) di kawasan ini penting bagi kehidupan masyarakat maupun ekonomi daerah dan negara (Dahuri dkk., 1996; Hoegh-Guldberg dkk., 2009).

Mulai tahun 2002, sebuah program pengelolaan pesisir secara terpadu yaitu

Marine and Coastal Resources Management Program (MCRMP) masuk pada

Propinsi Sulawesi Tengah, termasuk Kabupaten Donggala. Fokus program MCRMP disebut Marine and Coastal Management Area (MCMA). Lokasi di Kabupaten Donggala, mencakup 3 kecamatan yaitu Kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol. Dalam rangka implementasi program tersebut dilakukan beberapa kegiatan identifikasi dan penilaian terhadap sumberdaya alam maupun sosio-ekonomi dan budaya masyarakat. Antara lain survei terhadap ekosistem pesisir (terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun dan lainnya) dari aspek kondisi biofisik maupun pengetahaun, sikap dan persepsi masyarakat (YACL, 2002).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, direncanakan beberapa kegiatan yang terlaksana pada tahun-tahun berikut, antara lain penyusunan RENSTRA (Rencana Strategi) Pesisir dan dokumen lainnya pada tahun 2004 (BAPPEDA Propinsi

(2)

2 Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014

Sulawesi Tengah, 2004a & 2004b) dan beberapa kegiatan konservasi di bawah komponen "Small Scale Natural Resources Management" (SSNRM). Khususnya MCMA Kabupaten Donggala, RENSTRA Pesisir mengidentifikasi sebanyak 11 kawasan konservasi yang telah ditetapkan, namun hanya 2 di antarannya di Kecamatan Damsol, khususnya di lokasi bernama Bayang, berdekatan dengan perbatasan Kecamatan Damsol dan Sojol (rehabilitasi mangrove, nampaknya gagal) dan di Desa Rerang (Cagar Perikanan Laut, tidak aktif). Pada Tahun 2007, kegiatan SSNRM berpindah lokasi dan difokuskan pada dua desa tetangga di Kecamatan Damsol, yaitu Malonas dan Ponggerang.

Kegiatan SSNRM di Desa Malonas dan Ponggerang yang dilaporkan antara lain survei terhadap ekosistem-ekosistem pesisir; identifikasi isu dan perencanaan pengelolaan pesisir secara partisipatif; pemberdayaan masyarakat dari aspek kelembagaan, kemampuan penyusunan aturan (PERDES) dan kemampuan pengelolaan sumberdaya alam, pembinaan koperasi dan kelompok masyarakat, pelatihan budidaya perikanan, penangkapan ikan ramah lingkungan, kewirausahaan dan pengolahan pasca panen. Hasil dalam bentuk dokumen perencanaan dan hukum termasuk Matriks Rencana Strategis Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Desa Malonas dan Ponggerang; Keputusan Pemerintah Desa Malonas dan Ponggerang Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah Nomor: 02/KP-DPL/III/2007 tentang Penetapan Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut Tanjung Ayuan (ditetapkan untuk periode 2007-2009); Surat Keputusan (SK) Nomor: 07/SK/DS-09/III/2008 tentang Kelompok Pengelola/Pengguna Sumberdaya Desa Malonas (pembentukan 5 kelompok, termasuk Kelompok DPL); Peraturan Desa Malonas Nomor: 01/PERDES/DS-09/III/2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut; (termasuk pengaturan DPL). Hasil fisik yang tercapai termasuk konstruksi sarana air bersih dan MCK, rehabilitasi mangrove, pemasangan dan atau perbaikan tanda batas dan sarana DPL lainnya, percontohan silvofishery (wanamina) secara polikultur maupun monokultur, rumpon, percontohan budidaya rumput laut, dan percetakan brosur.

Peraturan yang disepakati antara lain bahwa semua bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan dilarang dilakukan di Daerah perlindungan Laut yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama untuk dilindungi (Zona Inti dan Zona Penyangga). Lebih khususnya, di Zona Inti: setiap penduduk desa dan atau luar desa dilarang melakukan aktivitas di laut; di Zona Penyangga: dilarang (i) Pengambilan karang hidup atau mati; (ii) Penebangan segala jenis kayu bakau/mangrove; (iii) Membuang jangkar yang berpotensi merusak terumbu karang; (iv) Pengambilan Batu, Pasir dan Kerikil; (v) Pengambilan ikan dengan menggunakan racun dan bahan peledak; (vi) Menangkap ikan dengan menggunakan peralatan tangkap moderen, segala jenis jaring/pukat, jala dan sejenisnya.

Dalam siklus manajamen adaptif yang umumnya diakui saat ini sebagai model pengelolaan berkelanjutan, salah satu bagian integral yang penting adalah tahapan monitoring dan evaluasi. Agar keberhasilan kegiatan SSNRM di DPL Tanjung Ayuan diketahui, serta untuk merancang tindak lanjut, maka dinilai perlu adanya kegiatan monitoring dan evaluasi. Kemudian saat penetapan DPL tahun 2006/2007, minim cakupan survei ekosistem pesisir di kawasan konservasi tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 2012 dilakukan survei biofisik untuk mengidentifikasi fitur-fitur konservasi berupa ekosistem-ekosistem pesisir di dan disekitar DPL Malonas/Tanjung Ayuan serta monitoring dan evaluasi terhadap pola dan efektivitas pengelolaan. Pada survei biofisik, fokus utama pada ekosistem terumbu karang, namun mencakup pula data ekosistem lamun dan mangrove. Hasil yang diperoleh

(3)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 3

diharapkan sebagai dasar penyusunan rekomendaksi kebijakan pengelolaan lestari termasuk upaya konservasi dan penilaian potensi pengembangan ekowisata.

Bahan dan Metode

Rincian metode survei tercantum pada Tabel 1. Selanjutnya, metode utama yang digunakan pada survei ekosistem terumbu karang di Tanjung Ayuan dijelaskan secara singkat.

Tabel 1. Metode survei ekosistem terumbu karang

No. Jenis Data Metode Referensi/Alat Utama

1

Koordinat batas DPL dan Luas/batas ekosistem-ekosistem pesisir di DPL

Pemetaan GPS Garmin CSx series

2 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Manta Tow Reef Check English dkk. (1997) Papan manta Peralatan snorkel GPS dan Timer Hodgson dkk. (2006) SCUBA (2 set) 3 Kondisi Ekosistem Hutan

Mangrove

Transek Kuadrat (kuadrat 10mx10m)

English dkk. (1997) GPS; Meteran 50m

4 Kondisi Ekosistem Padang Lamun Transek Kuadrat (kuadrat 1mx1m) English dkk. (1997) GPS; Kuadrat Alat snorkel/SCUBA

5 Kualitas Air Suhu; Kecerahan Salinitas; pH; DO

English dkk. (1997) Termometer; Secchi disc; Refraktometer

pH meter; DO meter 6 Keanekaragaman hayati laut Swim survei

Life Forms GCRMN

Hill & Wilkinson (2004) English dkk. (1997) SCUBA

7

Kondisi umum dan data pendukung termasuk data kelembagaan DPL dan data sosio-ekonomi lainnya

Dokumentasi Obervasi Studi KAP/KII*

Camera underwater dan darat (digital)

YACL (2002)/DFID (2002) * KAP = Knowledge, Attitide and Perception; KII = Key Informant Interview

Survei Ekosistem Terumbu Karang

Survei ekosistem terumbu karang menggunakan metode Manta Tow (MT) dan Reef Check (RC). Selain itu keanekaragaman substrat dan bentuk fungsional karang dinilai dengan menggunakan kategori Life Forms GCRMN (LF) (English dkk., 1997). Kategori substrat menggunakan ketiga metode tersebut serta hubungan di antaranya dapat dilihat pada Tabel 2.

(4)

4 Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014

Tabel 2. Kode dan kategori pengamatan substrat

Life Form LF RC MT Keterangan

Acropora bercabang ACB bentuk bercabang seperti ranting pohon

(Acropora branching) ACB HC HC Bentuk bercabang seperti ranting pohon. Acropora meja

(Acropora tabulate) ACT HC HC

Bentuk bercabang dengan arah mendatar, rata seperti meja

Acropora merayap

(Acropora encrusting) ACE HC HC Bentuk merayap. Acropora submasif

(Acropora submassive) ACS HC HC Bercabangan berbentuk kokoh. Acropora berjari

(Acropora digitate) ACD HC HC

Bentuk percabangan lurus dan terpisah seperti jari-jari tangan.

Karang bercabang

(branching coral) CB HC HC Bentuk bercabang seperti ranting pohon Karang masif

(massive coral) CM HC HC Bentuk Masif, seperti batu. Karang Sub-massif

(Sub-massive coral) CS HC HC

Bentuk kokoh dengan kolom-kolom atau tonjolan-tonjolan

Karang Lembaran

(Foliose coral) CF HC HC Bentuk menyerupai lembaran/daun Karang Merayap

(Encrusting Coral) CE HC HC Bentuk merayap Karang Jamur

(Mushroom Coral) CMR HC HC Polip soliter, menyerupai jamur

Karang Api (Fire Coral) CME HC HC Warna coklat/kuning, kulit terbakar jika di sentuh

Karang Biru

(Blue Coral/Heliopora) CHL HC HC Warna biruan pada kerangkanya AIga makro (macro algae) MA NIA OT Alga berukuran relatif besar AIga rumput

(turf algae) TA NIA OT Menyerupai rumput halus, hijau AIga karalin

(coralline algae) CA RC OT

Alga yang mangandung kapur dalam jaringan tubuhnya

Halimeda HA OT OT Alga dari marga Halimeda , beruas Kumpulan alga

(algal assemblage) AA NIA OT Beberapa jenis alga yang tumbuh bersamaan Karang Lunak (soft coral) SC SC SC Semua jenis karang lunak (ahermatypik) Sponge SP SP OT Semua jenis/bentuk Porifera

Zooanthids ZO SC OT Zooanthidae

Lain-lain (Other) OT OT OT Avertebrata sesil lainnya Karang mati

(Dead coral) DC RC DC

karang yang baru mati, berwarna putih/agak putih

Karang mati alga

(Dead coral algae) DCA RC DC

karang mati yang sudah mulai ditumbuhi alga halus

Pecahan karang mati (Rubble) R RB RB Pecahan karang berukuran sekitar 0.5 sampai 15cm

Pasir (Sand) S SD S Tenggelam ulang kalau diangkat Lumpur (Silt) SL SI S Air kabur setelah diangkat (lama) Batu (Rock) RC RKC DC Batu gunung bukan dari karang keras

Metode Manta Tow

Pengamatan substrat digunakan Metode Manta Tow (English dkk., 1997).. Pengamat mengggunakan peralatan snorkel, dan ditarik secara pelan (kecepatan sekitar 4-5 km/jam) di belakang sebuah perahu dengan memegang sebuah papan. Tali penarik panjangnya ±18 m dan papan/kertas tahan air terpasang pada papan. Perahu berhenti setiap 2 menit agar pengamat dapat mencatat hasil pengamatan selama periode waktu tersebut yang disebut sebagai satu tow. Pengamat di atas

(5)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 5

perahu mengambil data posisi (GPS) pada awal pengamatan dan pada akhir setiap

tow serta mengontrol waktu. Jumlah minimum adalah 6 tow Reef Check

Metode Reef Check (Hodgson dkk., 2006) menggunakan transek belt transect berukuran 5m x 100m, dibagi menjadi 4 segmen berukuran 5m X 20m dengan jarak 5m antar segmen. Olahan data digunakan perangkat lunak Reef Check. Pengamatan transek Reef Check menggunakan peralatan SCUBA, pada kedalaman 3-6 m dan 6-12 m, tim pengamat terdiri atas sekurangnya dua orang. Data komposisi substrat menggunakan metode PIT (Point Intercept Transect) dengan jarak 50 cm antar titik pengamatan pada tali transek (40 titik per segmen), kategori substrat sesuai Tabel 2. Pengamatan pada Belt Transect mencakup data ikan dan avertebrata indikator (Tabel 3) serta beberapa indikator lain mengenai kondisi ekosistem seperti jenis kerusakan karang, penyakit dan pemutihan (bleaching) karang, biota langka dan terancam punah dan sampah. Lembar Site Description berkaitan dengan kondisi umum wilayah dan aktivitas manusia.

Tabel 3. Skala kelimpahan organisme indikator (per ±100m2)

Jenis Biota Keterangan

Indikator

Kategori Kelimpahan Sedikit Sedang Banyak Ikan

Chaetodontidae Indikator kondisi karang dan

perikanan ikan hias 1-16 17-44 >44 Haemulidae

Indikator tekanan perikanan Ikan konsumsi/ikan hidup

1-2 3-20 >20

LuTanjunganidae 1-2 3-20 >20

Cromileptes altivelis 1 2-4 >4

Serranidae TL>30cm 1 2-4 >4

Cheilinus undulatus Sama dengan di atas dan

keseimbangan ekologis 1 2-3 >3

Bolbometopon

muricatum Indikator tekanan perikanan

Herbivora berperan penting

1 2-4 >4

Scaridae TL>20cm 1-2 3-20 >20

Muraenidae Indikator kondisi struktural dan

keseimbangan trofik 1 2-4 >4

Avertebrata

Stenopus hispidus Perikanan ikan hias, struktur 1-3 4-10 >10 Diadematidae Bioerosi dan Herbivora

Pemanfaatan avertebrata 1-4 5-19 >19 Landak Laut Pemanfaatan avertebrata (hias) 1-3 4-10 >10

Tripneustes sp. Pemanfaatan avertebrata 1-3 4-10 >10 Holothuridae Pemanfaatan avertebrata 1 2-3 >3

Acanthaster plancii Keseimbangan ekologis dan tangkap

berlebih 1 2-3 >3

Tridacnidae Pemanfaatan avertebrata bentik

(konsumsi dan hias) 1-3 4-10 >10

Charonia tritonis

Pemanfaatan avertebrata (cangkang, souvenir) dan keseimbangan

ekologis

1 2-3 >3

Palinuridae Pemanfaatan avertebrata (konsumsi,

hidup/ekspor) 1 2-3 >3

(6)

6 Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 Metode Swim Survei

Metode Swim Survey (Hill dan Wilkinson, 2004), relatif fleksibel dan memungkinkan untuk pengambilan berbagai jenis data. Pada Swim Survey (SS), sepasang penyelam (dengan peralatan SCUBA atau snorkling) berenang selama periode waktu tertentu, dan selama periode tersebut mencatat dan atau merekam hal-hal yang menjadi obyek studi. Data yang diambil pada swim survey terutama data identifikasi biota laut dan kondisi umum, termasuk dokumentasi. Identifikasi taksonomik (sedikitnya pada tingkat Famili) dari hasil pengamatan langsung (ketiga metode survei) dan dokumentasi, terutama berdasarkan Allen dan Steene (1998) serta Allen dan Adrim (2003).

Kondisi Terumbu Karang

Kondisi umum terumbu karang dinilai dengan menggunakan skala kondisi GCRMN (Global Coral Reef Monitoring Network) Tabel 3.

Tabel 3. Skala kondisi terumbu karang GCRMN

% Penutupan

Karang Keras Skala Angka

Nilai Rata-rata Kategori Deskriptif 0 10% 1 5 Sangat Buruk > 10 - 30% 2 20 Buruk > 30 - 50% 3 40 Sedang > 50-75% 4 62,5 Baik > 75% 5 87,5 Sangat Baik Sumber: English dkk. (1997)

Survei Ekosistem Padang Lamun dan Mangrove

Metode pengamatan ekosistem lamun (English dkk., 1997) dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100 cm persegi, dibagi menjadi 25 kotak (20x20 cm). Identifikasi sekurangnya pada tingkat Genus (kunci identifikasi dari Seagrass Watch, lembaga pemantauan lamun global). Dalam setiap kotak dihitung jumlah pohon dari setiap spesies lamun yang hadir di kotak tersebut. Dihitung kerapatan masing-masing spesies (pohon/m2) serta persentase penutupan.

Pengamatan ekosistem mangrove dengan metode transek kuadrat (English dkk., 1997), dengan parameter pada Tabel 4. Observasi terhadap kondisi umum ekosistem mangrove dengan menggunakan skala tingkat degradasi antropogenik dalam Adhiasto (2001), skala 0 (masih alami) sampai 4 (rusak berat). Pada metode transek kuadrat, setiap kuadrat berukuran 10m x 10m.

Tabel 4. Parameter-parameter transek kuadrat mangrove

Parameter Keterangan

Spesies Identifikasi dengan menggunakan panduan (Bengen, 2001)

Ukuran/umur Semai Anakan Pohon

Tinggi Tinggi ≤ 1m Tinggi > 1m Tinggi > 1m Diameter batang < 4 cm < 4 cm ≥ 4 cm

(7)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 7

Survei Sosio-Ekonomi

Metode pengumpulan data sosio-ekonomi (Tabel 1) merupakan tools participatory rural appraisal (PRA) yang telah digunakan pada survei MCMA tahun 2002 (YACL, 2002) dan atau 2007 (Ndobe dan Moore, 2008) di kawasan MCMA Kabupaten Donggala.

Hasil dan Pembahasan Kondisi Umum Lokasi

Data kualitas air menunjukkan perubahan dengan kedalaman, namun semua parameter pada kisaran yang mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan hewan karang, ikan dan biota ekosistem pesisir tropis lainnya (Tabel 6).

Tabel.6. Data kualitas air dan lingkungan

Parameter Satuan Kedalaman

0 meter 7 meter Suhu air º C 30 29.5 Salinitas ppt 31 – 33.8 30 – 33.7 DO ppm 5.8 6 pH - 8.26 8.16 Kecerahan meter 5 sd 15

Kondisi Terumbu Karang

Data kondisi terumbu karang (skala GCRMN, Tabel 3) berdasarkan Manta

Tow dan Reef Check tercantum pada Tabel 7. Data tersebut menunjukkan bahwa

kondisi rata-rata (29.8%) sangat dekat dengan batas antar kategori Buruk dan Sedang (30%).

Tabel 7. Data kondisi terumbu karang (GCRMN dan LCI)

Parameter Kategori GCRMN %HC

Manta Tow (5 Tows)

Kisaran Buruk - Sedang 2-3 ±15 - 40% Rata-rata Buruk – mendekati Sedang ± 29.8% Reef Check

(4 segmen)

Kisaran Buruk - Baik 2-4 ±25 – 63%

Rata-rata Sedang 3 ± 40%

Transek Reef Check yang terpasang pada bagian terbaik memiliki kondisi rata-rata Sedang. Tanda-tanda visual maupun hasil survei sosio-ekonomi menunjukkan bahwa rendahnya persentase penutupan karang keras bukan sifat alami, tetapi terjadi akibat kerusakan terhadap terumbu karang secara antropogenik, khususnya koloni-koloni karang keras. Kondisi umumnya berkisar Buruk sampai Sedang, namun sebagian kecil terumbu karang masih dalam keadaan Baik.

Komposisi Substrat

Komposisi substrat menurut kategori Manta Tow tercantum pada Gambar 1 dan menunjukkan dominasi oleh karang keras (≈ 80%) baik mati dan pecah (> 50%) maupun hidup (hampir 30%), sedangkan penutupan oleh pasir biogenik (≈7%) dan biota sesil lainnya (≈12%) tergolong rendah. Data komposisi pada

(8)

8 Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014

bagian terumbu karang terbaik menggunakan kategori Reef Check tercantum pada Gambar 2 dan menggunakan Life Form GCRMN pada Gambar 3. Karang hidup (≈40%) hampir seimbang dengan karang mati (≈45%) dan biota sesil lainnya didominasi oleh sponge (≈8%).

29.8% 7.4% 4.7% 13.0% 37.7% 7.4%

Komposisi Terumbu Karang - Data Manta Tow di DPL Tj Ayuang 2012

HC (karang keras) SC (karang lunak) OT (lain-lain

DC (karang mati utuh) RB (pecahan karang mati) S (pasir/lumpir

Gambar 1. Komposisi substrat – data Manta Tow

Gambar 2. Komposisi substrat data Reef Check – rata-rata ± se

22% 1% 2% 2% 18% 10% 26% 5% 6% 8% ACB ACT ACE ACD CM CSM CB CE CF CMR

(9)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 9

Karang hermatipik hidup didominasi oleh koloni kecil/muda dari jenis pionir cepat tumbuh (59,7%) yang menyediakan habitat bagi ikan terdiri atas Famili Acroporidae (27,4%), karang bercabang lainnya (25,8%) dan karang lembaran 6,5%. Karang pembentuk struktur terumbu hampir sepertiga (32,3%), yaitu karang masif/semi-masif (27,4%) dan merayap (4,8%). Karang jamur (polip tunggal) cukup berlimpah (8,1%) terutama di atas karang pecah (RB). Spesies pionir merekrut pada tipe substrat yang beragam dan tidak selalu tepat bagi pertumbuhan koloni karang, termasuk Rubble bekas kerusakan, dan cenderung mengalami mortalitas tinggi. Biodiversitas karang pada sebuah lokasi yang didominasi oleh spesies pionir cenderung relatif rendah, seperti teramati di Tanjung Ayuan.

Sebagian besar kerusakan karang nampaknya sebelum adanya DPL, namun terdapat kerusakan baru, meskipun pada garis transek Reef Check RKC = 0%). Pola kerusakan baru menandai terjadinya penggunaan bahan peledak dan beracun serta pembuangan jangkar di zona penyangga maupun di zona inti.

Kelimpahan Biota Indikator dan Keanekaragaman Hayati

Hasil pengamatan terhadap biota indikator Reef Check, tercantum pada Tabel 9. Ikan dan avertebrata yang teramati pada swim survey tercantum pada Tabel 10 dan 11.

Tabel 9. Biota indikator (Reef Check)

Jenis Indikator ekor/100m2 Kategori Keterangan

Ikan

Ikan Napoleon 0 Tidak teramati

Belut moray 0 Tidak teramati

Kakatua Besar 0 Tidak teramati

Kerapu tikus 0 Tidak teramati

Sunu/Kerapu > 30cm 0.25 Sedikit Beberapa juvenil

Bibir tebal 0 Tidak teramati

Bungawaru 0 Tidak teramati Teramati pada Manta Tow

Kakatua > 20cm TL 0.75 Sedikit Banyak juvenil

Kepe-kepe 7 Sedikit

Avertebrata

Udang berbeling 0.25 Sedikit

Secara umum, jumlah avertebrata rendah atau sangat rendah

Udang lobster 0 Tidak teramati

Bulu babi 0 Tidak teramati

Landak laut 0 Tidak teramati

Teripang nenas/hitan 0 Tidak teramati

Lipan laut 0 Tidak teramati

Kima 0.25 Sedikit

Triton 0 Tidak teramati

(10)

10 Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014

Tabel 10. Fauna ikan yang teramati (Swim Survei)

Famili Genus/Spesies Nama Umum Kelimpahan*

Holocentridae Myripristis Soldierfish

Sedikit

Sargocentron Squirrelfish

Scorpaenidae Pterois Lionfish

Sedikit

Scorpaenopsis Stonefish

Serranidae Pseudanthias Anthias Sedikit

Cephalopholis Sunu/coral trout

Sedikit

Epinephalus Kerapu/grouper

Apogonidae Apogon cardinalfish Sedang

LuTanjunganidae LuTanjunganus Snappers Sedang Caesionidae Caesio Lolosi/fusilier Sedang

Nemipteridae Scolposis Breams Sedikit

Mullidae Parupeneus Biji nangka/goatfish Sedikit

Ephippididae Platax Batfish Sedikit

Chaetodontidae Chaetodon Kepe-kepe/ butterflyfish

Sedikit

Heniochus Bannerfish

Zanclidae Zanclus cornutus Moorish idol Sedikit Pomacanthidae Centropyge bicolor

Pygoplites diacanthus Ikan Angel/Angelfish Sedikit

Pomacentridae Abudefduf Sergeants Sedang

Amphiprion Ikan badut/Clownfish Sedikit

Chromis Chromis Sedang

Dascyllus Dascyllus Sedikit

Pomacentrus Damselfishes Sedikit Cirrhitidae Cirrhitichthys

Hawkfish Sedikit

Parachirrhites

Labridae Labroides Cleaner wrasse

Sedang

Thalassoma lunare Moonwrasse

Halichoeres dll Wrasses

Scaridae Scarus Kakatua/parrotfish Sedikit** Gobiidae & Blenniidae Gobies & Blennies Sedikit

Acanthuridae Acanthurus Surgeons & Tangs

Sedang

Zebrasoma Tangs

Balistidae Balistapus

Pogo/triggerfishes Sedikit

Rhinecanthus

Tetraodontidae Canthigaster Pufferfish Sedikit Diodontidae Diodon Porcupinefish Sedikit

Pempheridae Pempheris Sweepers Sedang

Aulostomidae Aulostomus Trumpetfish Sedikit Carangidae Caranx Bubara/Jacks/trevallys Sedikit * Jumlah ikan juvenil/dewasa, tidak mencakup larva yang berlimpah

** Jumlah ikan dewasa sangat rendah namun jumlah juvenil tergolong sedang

Tabel 11. Fauna avertebrata yan teramati (Swim Survei)

Filum Famili/Genus/Spesies Nama Umum Kelimpahan

Ekinodermata

Acanthaster plancii Lipan laut/COTS Sedikit

Linckia laevigata Linckia Sedang

Echinaster (dll) Bintang laut/starfish Sedikit

Culcita Cushion star Sedikit

Comasteridae Lili laut/Feather stars Sedang Diadematidae

Bulubabi/sea urchins Sedikit Echinometridae

(11)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 11

Tabel 11. Lanjutan

Filum Famili/Genus/Spesies Nama Umum Kelimpahan

Moluska

Phyllidia Nudibrank/seaslug Sedikit Tridacnidae Kima/giant clams Sedikit Bivalva lainnya Kerang/bivalves Sedikit

Conus Cone shells Sedikit

Gasteropoda lainnya Siput/Gastropods Sedikit

Cnideria Sinularia Sarcophyton Lobophyton Nephtheidae Karang lunak Sedikit sd Sedang Zoanthidae Zoanthids Sedikit Ceranthidae

Anemone laut/

sea anemone Sedikit Actiiniidae

Stychodactyllidae

Plumulariidae Hydrozoans Sedikit sd Sedang Milleporidae Karang Api/fire coral

Chordata (Tunikata) Didemnidae Diazonidae Clavelinidae Polycarpa dll Ascidians/Tunicates Sedikit sd Sedang

Krustasea Cirripedia Barnacles Sedikit

Dekapoda Udang/kepiting Sedikit

Annelida Polychaeta Cacing Sedikit

Porifera Spongiidae dll Sponges Sedang

Bryozoa tidak ada data Bryozoans Sedikit

Data pada Tabel 9-11 menunjukkan bahwa sebagian besar biota indikator bernilai ekonomis dan atau berperan penting secara ekologis tidak teramati pada survei Reef Check dan hanya sedikit atau tidak teramati pada swim survey yang mencakup sebagian besar Zona Inti DPL.

Hewan langka dan dilindungi hanya beberapa individu kima dari Famili Tridacnidae, terutama Tridacna crocea. Hal positif bahwa jumlah larva ikan tinggi. Dikaitkan dengan gerakan ikan yang teramati dan hasil survei sosio-ekonomi, diduga kuat bahwa salah satu ujung patch reef yang ada di Zona Inti merupakan daerah pemijahan ikan. Dengan demikian, terlepas dari kondisi karang, gugusan terumbu Tanjung Ayuan dinilai penting dari aspek ekologi dan perikanan.

Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove di DPL Malonas semuanya berada di pesisir dalam zona penyangga DPL. Luas mangrove yang tersisa sangat terbatas (≈1,2 ha), hanya memungkinkan pemasangan satu transek dengan 3 kuadrat. Hasil pendataan transek kuadrat mangrove tercantum pada Tabel 12. Jenis yang ditemukan adalah Sonneratia alba dan Rhizophora sp. Kehadirannya Genus Rhizophora, terdiri atas anakan hasil pembibitan, bukan fitur alami. Substrat didominasi oleh pasir, dan kurang mendukung pertumbuhan bibit Rhizophora yang cenderung menyukai substrat berlumpur. Jumlah total Sonneratia alba dewasa hanya 12 pohon, dari kondisinya serta jumlah semai yang sangat rendah diduga fertiliasnya sudah berkurang. Pada transek, jumlah anakan (38 pohon) hampir 8 kali lipat dengan jumlah pohon dewasa (5 pohon).

(12)

12 Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014

Tabel 12. Data Transek Kuadrat Mangrove

Sonneratia alba Kuadrat 1 Kuadrat 2 Kuadrat 3 Transek

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Semai 0 0% 1 16,7% 2 100% 3 6,5%

Anakan 38 100% 0 0,0% 0 0% 38 82,6%

Pohon 0 0% 5 83,3% 0 0% 5 10,9%

Total 38 100% 6 100,0% 2 100% 46 100,0%

Berdasarkan skala penilaian Adhiasto (2001), kondisi adalah Rusak Berat, dimana sebagian besar kerusakan terjadi beberapa waktu lalu, penilaian yang ditunjang oleh hasil data sosio-ekonomi. Mangrove yang tersisa tidak lagi mampu menyediakan jasa-jasa ekosistem berupa perlindungan pantai, namun pohon tua Genus Sonneratia masih menyediakan tempat bersarang bagi burung, dan bersamaan dengan padang lamun nampaknya berperan sebagai daerah asuhan beberapa jenis meskipun dalam jumlah yang sedikit.

Ekosistem Padang Lamun

Ekosistem padang lamun di DPL Malonas berada ke arah selatan berbatasan dengan ekosistem mangrove. Luas padang lamun ≈1.5 ha, dengan dasar perairan berupa pasir, dan terendam air laut sepanjang survei. Terindikasi adanya penurunan luas, dimana penyebab utama adalah peningkatan sedimentasi akibat degradasi lahan hulu. Data transek kuadrat lamun tercantum pada Tabel 13.

Komunitas lamun didominasi oleh spesies-spesies berukuran relatif kecil, yaitu Genus Halodule, Halophila dan Cymodocea. Ketiga jenis tersebut disukai oleh penyu hijau Chelonia mydas dan duyung Dugong dugon (Hutchings dkk., 2008), dua spesies megafauna terancam punah (Seminoff, 2004; Marsh, 2008) yang dilindungi oleh aturan (PP No. 7/1999) tentang Pengawetan Jenis Satwa dan Tumbuhan. DPL Tanjung Ayuan berada dalam distribusi historis kedua spesies tersebut (Whitten dkk., 1987) dan menurut YACL (2002), kedua jenis masih dapat ditemukan tahun 2002 di perairan Kecamatan Damsol walaupun dalam jumlah yang sangat berkurang dibanding semulanya akibat pemanfaatan berlebihan. Khususnya penyu hijau, termasuk pemanfaatan penyu dewasa maupun pengambilan telur penyu.

Tabel 13. Data Ekosistem Padang Lamun

Halodule (HAD)

Parameter Kuadrat 1 Kuadrat 2 Kuadrat 3 Transek

Kerapatan (pohon/m2) 192 465 898 518,3

Penutupan (%) 52 96 100 82,7

Halophila (HAL)

Parameter Kuadrat 1 Kuadrat 2 Kuadrat 3 Transek

Kerapatan (pohon/m2) 0 68 337 135,0

Penutupan (%) 0 48 100 49,3

Cymodocea (CYM)

Parameter Kuadrat 1 Kuadrat 2 Kuadrat 3 Transek

Kerapatan (pohon/m2) 366 331 366 354,3

(13)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 13

Sekilas Data Sosio-Ekonomi (Kelembagaan DPL)

Kelembagaan DPL Tanjung Ayuan terbentuk resmi tahun 2006/2007 dan pada awalnya berfiungsi dengan baik. Namun sejak tahun 2007 belum pernah ada pergantian pengurus dan pada tahun 2012 diakui bahwa Kelompok tidak aktif. Pada awalnya, sarana termasuk perahu dengan katinting, dan pelampung batas lengkap di laut. Informasi dari berbagai pihak tidak konsisten dan perahu/katinting DPL tidak dapat ditemukan selama survei, sedangkan sebagian besar pelampung telah hilang. Sarana berupa pal batas di daratan masih ada.

Persepsi masyarakat bahwa di mata pemerintah DPL hanyalah proyek, habis proyek tidak diperhatikan/diberdayakan. Sejak berakhir MCRMP tidak ada dukungan finansil (dana operasional) ataupun pendampingan. Responden menginginkan adanya bantuan/pendampingan dari instansi terkait.

Pengawasan dan penegakan aturan seperti sanksi pelanggaran tidak diberlakukan. Sebagian nelayan tidak mengetahui sejarah, batas ataupun aturan DPL. Aturan DPL tidak diindahkan, penangkapan rutin di Zona Penyangga dan Zona Inti oleh nelayan Desa Malonas, desa-desa tetangga, dan dari Kabupaten/Provinsi lain. Penggunaan kompresor untuk memanah ikan kerapu teramati di Zona Inti. Selain aturan DPL, studi KAP menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap aturan negara lazim terjadi. Pemanfaatan biota langka dan dilindungi yang marak tahun 2002 (YACL, 2002) masih berlanjut, kecuali khusus biota yang telah tidak ditemukan.

Sebagian besar responden mendukung adanya DPL untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan. Namun tanpa penegakan yang efektif, pihak pendukung DPL ikut pula menangkap dengan alasan bahwa jika tidak, orang lain mendapatkan hasil, dan ikan akan tetap habis, sehingga perairan DPL Tanjung Ayuan menjadi suatu contoh permasalahan klasik yang disebut tragedy of the

commons. Kesimpulan

Ekosistem pesisir di DPL Tanjung Ayuan dalam kondisi yang memprihatinkan. Tanpa adanya tindak lanjut nyata yang efektif, kondisi ekosistem akan semakin menurun. Kondisi ekosistem karang menunjukkan adanya proses pemulihan sejak DPL terbangun namun kerusakan fisik berkembang dan terulang lagi serta dampak overfishing sangat nyata. Kondisi ekosistem mangrove kritis dan ekosistem lamun mengalami overfishing, degradasi kualitas air dan penurunan luasan. Kelembagaan tidak berjalan, sarana/prasarana sebagian besar rusak/hilang. Berbagai jenis kegiatan merusak dan atau ilegal terjadi di dalam dan atau di sekitar DPL.

Faktor positif termasuk rekrut karang dan anakan mangrove yang menunjukkan potensi pemulihan. Indikasi bahwa fungsi daerah pemijahan masih berjalan merupakan alasan utama untuk mempertahankan dan merevitalisasi DPL tersebut dalam rangka mendukung keberlanjutan sumberdaya perikanan dan kehidupan nelayan lokal. Dari aspek sosio-ekonomi, legalitas DPL dan dukungan masyarakat yang masih menunjukkan semangat untuk menghidupkan kembali DPL, termasuk aparat Desa.

DPL Tanjung Ayuan dinilai sulit berkelanjutan apabila berdiri sendiri, demikian pula DPl dan KKP kecil lainnya yang telah terbentuk di Kabupaten Donggala. Saran utama adalah pembentukan jejaring kawasan konservasi pera iran (JKKP) atau lebih dikenal sebagai MPA Network, di Selat Makassar pada tingkat Kabupaten Donggala termasuk sekurangnya Suaka Marga Satawa Pulau Pasoso dan Pulau Maputi (tempat bertelur penyu) dengan Visi/komitmen bersama yang

(14)

14 Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014

jelas, dan strategi terpadu penegakkan aturan (DPL, Daerah, Nasional) bersinergi dengan penerapan EAFM dan pengefektifan sistem pengawasan berbasis masyarakat (POKWASMAS).

Revitalisasi DPL Tanjung Ayuan dalam konteks JKKP diharap mencakup sekurangnya aspek kelembagaan, sarana/prasarana dan sumberdaya manusia, dengan partisipasi masyarakat, dukungan PEMDA termasuk pendampingan dari instansi terkait dan dukungan teknis dari perguruan tinggi. Pemulihan ekosistem diharapkan terutama pasif melalui pengelolaan yang arif, dan dimana perlu atau tepat dapat dipercepat oleh intervensi restorasi secara aktif.

Dalam konteks JKKP disarankan pula kajian ulang terhadap semua kawasan konservasi yang diuraikan atau terbentuk oleh MCRMP (BAPPEDA Sulteng, 2004a&b) dan program lainnya, pada tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, di Selat Makassar/Laut Sulawesi Provinsi Sulawesi Tengah. Mengingat antara lain bahwa populasi penyu di wilayah perairan Kabupaten Donggala hampir pasti bagian populasi di Sulu Sulawesi Marine Eosystem (SSME), dan pentingnya daerah pemijahan pada perikanan kemudian adanya perjanjian internasional IO-SEA MoU dan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF), maka jejaring KKP di Selat Makassar dapat dikembangkan pula dalam konteks regional.

Daftar Pustaka

Allen G.R. dan Adrim M. (2003). Coral Reef Fishes of Indonesia. Zoological Studies 42 (1): 1-72. Allen G.R. dan Steene R. (1998). Indo-Pacific Field Guide. Tropical Reef Research,Singapore. 378

hal

BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah. (2004a). Rencana Zonasi Propinsi Sulawesi Tengah - Marine & Coastal Management Area (MCMA). 71 hal.

BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah. (2004b). Dokumen Rencana Pengelolaan Pesisir dan Laut Propinsi Sulawesi Tengah. 90 hal

Bengen D.G. (2000). Pengenalan & Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia.

Dahuri, R., Ginting S.P., Rais J. dan Sitepu M.J. (1996). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta, Indonesia

DFID (2002). Handbook for Livelihoods Analysis (LHA) and Participatory Rural Appraisal (PRA). Research Institute for Aquaculture No.1, Ministry of Fisheries and DFID-SEA Aquatic Resources Management Programme.

English S., Wilkinson C. dan Baker V. (1997). Survei Manual for Tropical Marine Resources. 2nd Edition. Australian Institute of Marine Sciences, Townsville, Australia. 390 hal.

Hill J. dan Wilkinson C. (2004). Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia. 123 hal.

Hodgson G. dan Liebeler J. (2002) The Global Coral Reef Crisis Trends and Solutions, Reef Check, Univertsity of California at Los Angeles, Los Angeles, USA, 72 hal.

Hodgson G., Hill J., Kiene W., Maun L., Mihal, J., Liebeler J., Shuman C. dan Torres R. (2006). Reef Check Instruction Manual: A Guide to Reef Check Coral Reef Monitoring. Reef Check Foundation, California, USA. 93 hal.

Hoegh-Guldberg O., Hoegh-Guldberg H., Veron J.E.N., Gree, A., Gomez E. D., Lough J., King M., Ambariyanto, Hansen L., Cinner J., Dews G., Russ G., Schuttenberg H. Z., Penaflor E.L., Eakin C. M., Christensen T. R. L., Abbey M., Areki F., Kosaka R. A., Tewfik A., Oliver J. (2009). The Coral Triangle and Climate Change: Ecosystems, People and Societies at Risk. WWF Australia, Brisbane, 276 hal.

Hutchings P., Kingsford M. dan Hoegh-Guldberg O. (Eds.). (2008). The Great Barrier Reef: biology, environment and management. CSIRO Publishing, Collingwood, Victoria, Australia. 393 hal. Marsh H. (2008). Dugong dugon. In: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version

(15)

Simposium Nasional I Kelautan dan Perikanan, Makassar, 3 Mei 2014 15

Moore A. dan Ndobe S. (2009). Reefs at risk in Central Sulawesi, Indonesia - status and outlook. Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium, Ft. Lauderdale, Florida, 7-11 July 2008. pp. 840-844

Ndobe S. dan Moore A. (2008). Survey of the Coral Reefs and Shallow-water Ecosystems of Tambu Bay, Donggala District, Central Sulawesi. Jurnal Mitra Bahari Vol. 2(3): 68-84

Seminoff, J.A. (Southwest Fisheries Science Center, U.S.) 2004. Chelonia mydas. In: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. <www.iucnredlist.org>. [Download 09/12/ 2013].

Whitten Tony, G.S. Henderson & M Mustafa (2002) The Ecology of Sulawesi Periplus Editions (HK) ltd, Singapore, 754 hal.

YACL (2002). Laporan Final "Identifikasi Aktifitas Bagi Peningkatan Pendapatan Masyarakat Pesisir Dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Lokasi MCMA". Yayasan Adi Citra Lestari kerjasama dengan BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah, Palu, Indonesia.

Gambar

Gambar 1. Komposisi substrat – data Manta Tow

Referensi

Dokumen terkait

Sama seperti Azka dalam buku ini, ia juga kesal karena baju kesayangannya.. Bagaimana Azka menyelesaikan masalahnya, silakan membaca

Wanita yang sudah menikah ( PUS) dan yang sudah memeiliki anak yang belum menggunakan KB atau alat kontrasepsi di Desa Bera Dolu Sumba Barat NTT yang memiliki

Ikhsan Budi R, M.Si, Ak, selaku Sekretaris Program Studi Magister Sains Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia STIESIA Surabaya dan bertindak sebagai Dosen Pembimbing

Periode transisi menuju pada lingkungan laut terbuka dengan sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan sampai akhir Jura hasil

a) Posisi pengikatan dan klem baterai harus kuat agar baterai tidak goyang saat kendaraan berjalan atau bekerja, sehingga dapat retak, elektrolit tumpah.. d) Pasang terminal

Sebagai proses terakhir di hari kedua pertemuan, peserta yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil evaluasi kegiatan yang

• Bahwa berdasarkan pada keseluruhan pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat dalam menerbitkan obyektum litis secara