• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH KOTA BATU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERINTAH KOTA BATU"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KOTA BATU

PERATURAN DAERAH KOTA BATU

NOMOR 3 TAHUN 2012

TENTANG

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA BATU,

Menimbang : bahwa agar hewan yang akan dipotong tidak menimbulkan bahaya yang tidak diinginkan bila dikonsumsi masyarakat diperlukan pengawasan dan pemeriksaan hewan di rumah potong hewan, dan berdasarkan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Rumah Potong Hewan;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang

Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang

Pembentukan Pemerintah Kota Batu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4118);

(2)

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

7. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);

8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

10.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Perundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5233);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3101);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3102);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);

(3)

15.Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

16.Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);

17.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/PERMENTAN/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant);

18.Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 12 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Batu (Lembaran Daerah Nomor II/D);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BATU

dan

WALIKOTA BATU

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kota Batu.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Batu. 3. Kepala Daerah adalah Walikota dan perangkat

daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kota Batu.

4. Pejabat yang ditunjuk adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Perpajakan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-Udangan yang berlaku.

5. Dinas Pertanian yang selanjutnya disebut Dinas Pertanian Kota Batu.

(4)

6. Kepala Dinas Pertanian yang delanjutnya disebut Kepala Dinas Pertanian Kota Batu;

7. Kas Umum Daerah adalah Kas Umum Daerah kota Batu.

8. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data obyek dan subyek retribusi, penentuan besarnya retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan retribusi kepada Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.

9. Hewan Potong adalah sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi.

10.Pemotongan Hewan Potong adalah kegiatan untuk menghasilkan daging yang terdiri dari Pemeriksaan Ante Mortem, penyembelihan, dan pemeriksaan Post Mortem.

11.Pemeriksaan Ante Mortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih. 12.Pemeriksaan Post Mortem adalah pemeriksaan

daging dan bagian-bagiannya setelah selesai penyelesaian penyembelihan.

13.Penyembelihan Hewan Potong adalah kegiatan mematikan hewan potong dengan cara menyembelihnya antara lain dengan memutus jalan nafas, jalan makanan, dan pembuluh darah secara Islam dan/atau dengan norma-norma agama yang dianut.

14.Penyelesaian Penyembelihan adalah kegiatan lebih lanjut setelah penyembelihan hewan potong guna memungkinkan pemeriksaan dagingnya.

15.Daging adalah bagian-bagian hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara selain pendinginan.

16.Hewan adalah semua hewan yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun hidup secara liar. 17.Ternak adalah hewan peliharaan yang

kehidupannya diatur dan diawasi manusia serta dipelihara khusus sebagai penghasil bahan dan jasa yang berguna bagi manusia.

18.Ternak Besar Betina Bertanduk adalah khusus sapi dan kerbau.

19.Petugas Pemeriksa adalah Dokter Hewan Pemerintah yang ditunjuk atau petugas lain yang berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab Dokter Hewan dimaksud untuk melakukan pemeriksaan Ante Mortem dan Post Mortem di rumah potong hewan dan tempat-tempat lain.

(5)

20.Rumah Potong Hewan, yang selanjutnya disebut RPH, adalah suatu bangunan atau komplek bangunan dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan termasuk unggas bagi konsumsi masyarakat luas.

21.Kandang adalah tempat untuk penambatan dan istirahat hewan yang akan dipotong.

22.Jam Dinas adalah jam kerja yang berlaku di Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

23.Jasa adalah kegiatan Pemerintah berupa usaha pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

24.Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan Pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

25.Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

26.Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu.

27.Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perijinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

28. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut SSRD adalah surat yang oleh wajib pajak Retribusi digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran Retribusi yang terutang ke Kas Daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

29. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut SKRD adalah surat Ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya pokok Retribusi.

30. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut STRD adalah Surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

31. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi Daerah dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi Daerah.

(6)

32. Penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah.

BAB II

KETENTUAN PENGGUNAAN RUMAH POTONG HEWAN

Pasal 2

(1) Setiap pemotongan hewan untuk usaha harus dilaksanakan di Rumah Potong Hewan.

(2) Dalam keadaan yang luar biasa seperti patah tulang, luka barat, penyakit berat, untuk keperluan hajat dan untuk memenuhi ketentuan acara keagamaan atau adat, pemotongan hewan dapat dilaksanakan pada tempat lain, tetapi yang bersangkutan harus segera melapor kepada petugas pemeriksa untuk diadakan pemeriksaan. (3) Tatacara pemotongan hewan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

BAB III

KETENTUAN PENGAWASAN HEWAN DAN DAGING

Pasal 3

(1) Setiap hewan yang akan dipotong harus mendapatkan Pemeriksaan (Ante Mortem) terlebih dahulu dari Petugas pemeriksa Dinas Pertanian dan Kehutanan.

(2) Setiap hewan untuk usaha yang akan dipotong harus mendapatkan istirahat paling sedikit 12 (dua belas) jam sebelum dipotong.

(3) Hewan yang telah diperiksa dan dinyatakan sehat untuk dipotong diberi tanda dan Surat Pemeriksaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

(4) Bentuk dan Tanda Surat Pemeriksaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Walikota.

(5) Setiap hewan besar (sapi, kerbau, kuda) yang akan dipotong harus dilengkapi dengan surat keterangan pemilikan ternak yang sah.

(6) Setiap hewan besaer (sapi, kerbau, kuda) yang sudah disembelih mendapat Pemeriksaan (Post Mortem) dari Petugas Pemeriksa Dinas Pertanian dan Kehutanan.

(7)

(7) Setiap pemotongan hewan besar bertanduk betina harus memenuhi tatacara Pemotongan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 4

(1) Apabila menurut petugas pemeriksa, hewan yang dipotong menderita penyakit hewan menular atau dianggap menderita penyakit menular (kecuali antarks) pemotongan dapat diijinkan dengan syarat.

(2) Dilarang memotong/menyembelih hewan betina yang masih produktif.

(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila hewan betina besar:

a. berumur lebih dari 8 (delapan) tahun; b. tidak produktif atau mandul;

c. mengalami kecelakaan yang mengancam jiwanya;

d. menderita cacat tubuh yang bersifat genetis yang dapat menurunkan pada keturunannya sehingga tidak baik untuk ternak bibit;

e. sudah beranak lebih dari 5 (lima) kali ;

f. menderita penyakit menular yang menurut Dokter Hewan Pemerintah harus dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah penyebaran penyakit;

g. membahayakan keselamatan manusia. Pasal 5

(1) Setiap daging hasil pemotongan hewan besar harus diperiksa terlebih dahulu oleh Petugas Pemeriksa.

(2) Daging hewan besar (sapi. Kerbau, kuda) yang telah mendapatkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

(3) Daging hewan besar (sapi. Kerbau, kuda) bagian-bagian yang telah diperiksa dan dinyatakan tidak baik atas perintah petugas pemeriksa harus dimusnahkan.

(4) Setiap daging yang berasal dari lain kota/kabupaten dilakukan pemeriksaan ulang (Her Keuring) oleh petugas pemeriksa.

(8)

BAB IV

PENANGANAN DAGING

Pasal 6

(1) Dalam hal pemindahan/pengangkutan Karkas atau bagian Karkas, isi rongga perut dan dada dari Rumah Potong Hewan ke tempat penyimpanan dan penjualan harus dihindarkan adanya kontaminasi.

(2) Ketentuan tata cara pengangkutan dan penjualan daging di pasar harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V

NAMA, OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI

Pasal 7

Dengan nama Retribusi Rumah Potong Hewan di pungut retribusi atas pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 8

(1)Obyek Retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas pengawasan dan pemeriksaaan hewan di rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

(2)Dikecualikan dari obyek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN,MUMD, dan pihak swasta serta pemotongan hewan yang dagingnya diperlukan untuk keperluan acara keagamaan atau adat

Pasal 9

Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menerima jasa pengawasan dan pemeriksaan hewan di rumah potong hewan dan yang memakai/ yang menggunakan fasilitas di rumah potong hewan

(9)

BAB VI

GOLONGAN RETRIBUSI

Pasal 10

Retribusi Rumah Potong Hewan ternasuk golongan retribusi jasa usaha.

BAB VII

CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA

Pasal 11

Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan dan jumlah ternak yang akan dipotong.

BAB VIII

PRINSIP YANG DIANUT DALAM PENETAPAN STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF

Pasal 12

Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

BAB IX

STRUKTUR BESARNYA TARIP RETRIBUSI

Pasal 13

Setiap penggunaan Rumah Potong Hewan dikenakan Retribusi yang besarnya sebagai berikut:

a. hewan (Sapi, Kerbau, Kuda) sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah ) per ekor;

b. hewan Kecil (Kambing, Domba) sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) per ekor.

Pasal 14

Untuk penggunaan kandang istirahat/penambatan di Rumah Potong Hewan dikenakan Retribusi yang besarnya sebagai berikut:

a. hewan (Sapi, Kerbau, Kuda) sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) per ekor per hari;

(10)

b. hewan Kecil (Kambing, Domba) sebesar Rp. 500,00 (lima ratus rupiah) per ekor per hari.

Pasal 15

(1) Besarnya Retribusi pemeriksaan hewan yang akan dipotong (Ante Mortem) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sebagai berikut:

a. hewan (Sapi, Kerbau, Kuda) sebesar Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) per

ekor;

b. hewan Kecil (Kambing, Domba) sebesar Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah) per ekor.

(2) Besarnya Retribusi pemeriksaan ulang daging dari luar kota sebagai berikut:

hewan (Sapi, Kerbau, Kambing, Kuda) sebesar Rp. 200,00 (dua ratus) per Kg;

Pasal 16

Besarnya Retribusi pemeriksa hewan potong betina bertanduk (sapi, kerbau) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (7) sebesar Rp. 12.500,00 (dua belas ribu lima ratus rupiah)per ekor.

Pasal 17

Pemotongan hewan untuk keperluan hajat dikenakan Retribusi sebesar Rp. 5.500,00 (lima ribu lima ratus rupiah) per ekor.

Pasal 18

Perubahan atas struktur dan besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 akan diatur dengan Peraturan walikota.

BAB X

WILAYAH PUNGUTAN

Pasal 19

Wajib retribusi yang terutang dipungut di wilayah Daerah.

(11)

BAB XI

MASA RETRIBUSI DAN SAAT RETRIBUSI TERUTANG

Pasal 20

Masa Retribusi adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan jangka waktu pemakaian Rumah Potong Hewan.

Pasal 21

(1) Saat Retribusi terutang adalah pada saat ditetapkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah karcis.

BAB XII

TATA CARA PEMUNGUTAN

Pasal 22

Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan. Pasal 23

(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

(2) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang dari ketentuan nominal, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang dan ditagih dengan menggunakan SKRD.

BAB XIII

TATA CARA PEMBAYARAN

Pasal 24

(1) Retribusi yang terutang harus dibayar sekaligus sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

(2) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran Retribusi diatur dengan Peraturan Walikota.

(12)

BAB XIV KEBERATAN

Pasal 25

(1) Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan–alasan yang jelas.

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu palin lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan Retribusi Daerah diterbitkan, tetapi apabila Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. (4) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban

membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.

Pasal 26

(1) Walikota dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi Keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya Retribusi terutang. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota tidak memberikan Keputusan atas keberatan yang diajukan, maka dianggap telah dikabulkan.

BAB XV

KADALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 27

(1) Hak untuk melakukan penagihan Retribusi kadaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali apabila Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.

(2) Kadaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

a. diterbitkan Surat Teguran; atau

b. ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi baik langsung maupun tidak langsung.

(13)

BAB XVI

TATA CARA PENGHAPUSAN

PIUTANG RETRIBUSI YANG KADALUWARSA

Pasal 28

(1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.

(2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Walkota.

BAB XVII PEMERIKSAAN

Pasal 29

(1) Walikota berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang Retribusi Daerah. (2) Wajib Retribusi yang diperiksa wajib:

a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan obyek retribusi yang terutang;

b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;

c. memberikan keterangan yang diperlukan.

(3) Tata cara pemeriksaan Retribusi diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB XVIII

INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 30

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.

(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur dengan Peraturan Perundang-undangan.

(14)

BAB XIX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 31

(1) Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Denda sebagaimana yang dimaksud ayat (1) merupakan penerimaan Negara.

(3) Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

BAB XX

KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 32

(1)Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagaimana Penyidik untuk melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Wewenang Penydik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut :

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkapdan jelas;

b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Retribusi; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari

orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Retribusi;

d. Memeriksa buku–buku, catatan–catatan dan dokumen–dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen–dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;

(15)

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan;

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah menurut hukum yang bertanggung jawab.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

BAB XXI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 34

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Batu.

Ditetapkan di Batu

pada tanggal 26 Januari 2012 WALIKOTA BATU,

ttd

EDDY RUMPOKO

Diundangkan di Batu pada tanggal 14 Mei 2012

SEKRETARIS DAERAH KOTA BATU

ttd

WIDODO, SH. MH Pembina Utama Muda

NIP. 19591223 198608 1 002

(16)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 3 TAHUN 2012

TENTANG

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

I. PENJELASAN UMUM

Bahwa sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka dalam rangka memantapkan penyelenggaraan Otonomi Daerah, perlu adanya penggalian Sumber Pendapatan Asli Daerah khususnya yang berasal dari Rumah Potong Hewan di Kota Batu yang selanjutnya dituangkan dalam suatu Peraturan Daerah.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Pasal ini memuat pengertian istilah yang digunakan di dalam Peraturan Daerah. Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami serta melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan, sehingga bagi Wajib Retribusi dan Aparatur dalam menjalankan hak dan kewajibannya dalam menjalankan hak dan kewajibannya dapat berjalan dengan lancar dan akhirnya dapat dicapai tertib adminitrasi. Pengertian ini diperlukan karena istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang baku dan teknis dalam retribusi daerah.

Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

(17)

Pasal 6

ayat (1)

Dalam keadaan yang kuar biasa, hewan yang patah tulang (karena kecelakaan, dipukul dan lain-lain), luka berat (karena kecelakaan) luka berat (karena kecelakaan) menderita penyakit berat antara lain radang sendi, abses, oedema, yang tidak memungkinkan untuk dibawa ke Rumah Potong Hewan dapat dipotong di tempat lain dengan cacatan yang bersangkutan harus segera melapor kepada petugas pemeriksa setempat untuk diadakan pemeriksaan. ayat (2)

Tata cara dan prosedur pemotongan hewan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 7 ayat (1) Cukup jelas. ayat (2) Cukup jelas. ayat (3) Cukup jelas. ayat (4) Cukup jelas. ayat (5) Cukup jelas. ayat (6)

Pemeriksaan Post Mortem dilakukan terhadap daging dan bagian-bagian hewan potong secara utuh. Pemeriksaan dilakukan terhadap kepala, lidah, kelenjar-kelenjar. Pemeriksaaan rongga dada meliputi oesophagus , larynx, trachea, paru-paru, jantung dan diafragma. Pemeriksaan rongga perut meliputi hati, limpa, ginjal, usus. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan terhadap alat kelamin/genitalia. Pada pemeriksaan Post Mortem tidak dilakukan terhadap darah, darah dianggap sebagai limbah yang tidak layak untuk dikonsumsi.

ayat (7)

Pemotongan hewan besar betina bertanduk (sapi , kerbau) hanya diijinkan terhadap hewan-hewan yang sudah tidak produktif, tidak layak untuk diternakkan dan tidak ekonomis bagi ternak yang masih muda, bunting tidak diijinkan untuk dipotong.

Pasal 8

ayat (1)

- Hewan potong dinyatakan diijinkan untuk disembelih tanpa syarat adalah apabila dalam pemeriksaaan Ante Mortem ternyata bahwa hewan potong tersebut sehat. - Bahwa hewan potong diijinkan untuk disembelih dengan

(18)

hewan potong tersebut menderita atau menunjukkan gejala penyakit Coryza Gangraenosa Bovum, Haemorhagic Septicemia, Piroplamosis, Surra, Influenza, Equorum, Epithelimia, Actinobacilosis, Mastitis, Septicemia, Cachexia, Hydrops Oedema, Brucellosis dan Tuberculosis;

- Hewan potong dinyatakan ditunda/ditangguhkan penyembelihannya dan diisolasi sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, apabila dalam pemeriksaan Ante Mortem ternyata bahwa hewan potong tersebut yang belum dapat ditentukan jenis penyakitnya;

- Hewan potong dinyatakan ditunda/ditangguhkan penyembelihannya dan diisolasi ambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, apabila dalam pemeriksaan Ante Mortem ternyata bahwa hewan potong tersebut yang belum dapat ditentukan penyakitnya;

- Hewan potong ditolak untuk disembelih dan kemudian dimusnahkan menurut ketentuan yang berlaku di Rumah Potong Hewan atau tempat lain yang ditunjuk, apabila dalam pemeriksaan Ante Mortem ternyata bahwa hewan potong tersebut menderita atau menunjukkan gejala penyakit Ingus jahat, Anemia, Contagiosa, Equorum, Rabies, Pleuro, Pneumonia Contagiosa Bovum, Morbus Maculosus Equorum, Rinderpest, Variola Ovina, Pestis Bovina, Blue Tangue Akut, Tetanus, Radang Limpa (Antraks), Radang Paha (Black Leg), Busung Gawat (Para Boutvuur), Sacharomycosis (Selangkang), Mycotoxicosis, Colibacilosis, Apthae epizootica (Penyakit Mulut dan Kuku), Botulismus, Listeriosis, Toxoplasmosis Akut. ayat (2) Cukup jelas. ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10

Penggolongan jenis Retribusi ini dimaksudkan guna menetapkan kebijaksaaan umum tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi.

Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas.

(19)

Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 46. Sinkronisasi tipe 2 dengan arus terapan AC.. mulai terkopel dengan kekuatan yang berbeda, propagasi kedua saraf tidak sama. Saat nilai ε bernilai sama dan

Yang dimaksud di sini adalah kewajaran biaya yang harus dibayar oleh pasien dalam menerima pelayanan di Puskesmas Rappang yang dianggap baik dengan rata-rata

(2) Satuan Kerja Perangkat daerah Kota Makassar, organisasi non Pemerintah / lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga kemasyarakatan lainnya yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: terdapat perbedaan pengaruh penguasaan konsep Biologi antara peserta didik yang menggunakan model

Dapat disimpulkan bahwa walaupun konsepsi ini dikritik terlalu luas, tetapi banyak pakar pendidikan yang menerima konsep ini, sebab kurikulum tidak hanya berupa

Dengan forum jajak pendapat yang disajikan secara online, lewat koneksi ke internet, maka diharapkan dapat diikuti oleh mereka yang telah dapat terkoneksi ke sana (dengan asumsi

Namun permasalahan yang terjadi bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan belum dilakukan secara efektif, alasannya karena pelaksanaan pemeriksaan kinerja pemerintahan

Menurut Sutrisno dalam Sugiyono (2010:203), observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai biologis dan psikologis. Dua