TREND GAYA HIDUP KONSUMTIF PADA REMAJA DALAM
PRESPEKTIF JEAN BAUDRILLARD
UJIAN AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Teori Sosial Kritis Dosen : Prof. Dr. Partini, S.U.
Oleh : Aditya Ramadhani 15/389632/PMU/08591
MANAJEMEN INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Trend Gaya Hidup Konsumtif Pada Remaja Dalam Prespektif Jean Baudrillard
Pengantar
Pada era informasi dan komunikasi serta perkembangan teknologi yang semakin canggih serta modern, masyarakat mempunyai pandangan dan pola hidup yang cenderung konsumtif, baik di kalangan atas sampai masyarakat pada kalangan bawah umumnya. Akibat dari pola hidup konsumtif tentu saja pemborosan keuangan. Jika hal tersebut terjadi di kalangan para remaja yang akan menyebabkan pola serta gaya hidup mereka juga berubah.
Tentunya terdapat pengaruh yang positif dan negatif yang mungkin bisa saja ditimbulkan bagi kalangan remaja masa kini. Dari berbagai fenomena media yang semakin berkembang seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, WhatsApp dan lain-lain. Budaya konsumerisme dari penggunaan gadget dikalangan remaja karena life style, konsumsi bukan karena segi fungsi namun tren, kesenjangan sosial, cenderung digunakan untuk hal yang tidak bermanfaat, instan, kemudahan akses, computer vision syndrome. Kecanggihan smartphone serta gadget yang dimiliki oleh para remaja sekarang ini yang digunakan untuk mengakses media sosial terlalu berlebihan akan mengakibatkan kecanduan, atau konsumsi yang berlebihan terhadap gadget serta media sosial yang akan membuat para remaja malas untuk melakukan kegiatan belajar. Disini peran orangtua juga diperlukan untuk mengontrol serta mengawasi perilaku mereka.
Pada umumnya perilaku serta pemahaman konsumsi berangkat dari fakta sosial, bahwa pada umumnya masyarakat mendambakan kenyamanan dalam kehidupan. di Indonesia sebagai dampak dari budaya konsumerisme yang dikembangkan oleh ekonomi kapitalis barat dengan menjadikan konsumsi sebagai faktor produksi. Hal tersebut merupakan paradigma baru dalam pemikiran ekonomi global yang berbeda dengan pemikiran ekonomi klasik yang memandang bahwa faktor produksi yang utama adalah modal.
Masyarakat Konsumsi dan Sarana Konsumsi
berbelanja berbagai barang produksi yang beraneka ragam yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Bahwa dalam perkembangannya kondisi tersebut dapat menciptakan budaya konsumerisme sebagai produk dari kapitalisme dan dampak perkembangan ekonomi global yang didukung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Melimpah-ruahnya barang-barang produksi menandakan adanya masyarakat pertumbuhan sebagai salah satu ciri masyarakat konsumsi yang ditandai dengan berdirinya mall, hipermarket, dan supermarket sebagai sarana konsumsi sebagai wujud globalisasi pasar dan pemasaran sebagai dampak kapitalisme global dalam era Posmodernisme (Baudrillard, 2009: 46-47). Dampak selanjutnya akan mengakibatkan kesenjangan sosial-ekonomi antara buruh dan pemilik modal.
Konsumsi
Konsumsi, menurut Yasraf , dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya. Maksudnya, bagaimana kita memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut. Definisi tersebut memberi gambaran bagi kita dalam memahami alasan mengapa orang terus menerus berkonsumsi. Objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada seseorang. Sebagai contoh banyak remaja yang merasa dirinya bisa benar-benar menjadi remaja ‘gaul’ atau remaja masa kini jika mereka mempunyai handphone atau gadget terbaru dan canggih serta update dalam sosial media mengikuti trend saat ini. Handphone atau gadget dan sosial media yang merupakan objek konsumsi, menjadi penanda identitas mereka dibanding karakter psikis, emosional ataupun penanda fisik pada tubuh mereka.
menandai relasi-relasi sosial. Saat ini objek konsumsi mampu menentukan prestise, status dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya.
Logika Sosial Konsumsi
Baudrillard dalam The Consumer Society (1998: 49) mengatakan bahwa pembahasan tentang kebutuhan sebelumnya didasarkan pada antropologi naif, bahwa kecenderungan alamiah manusia terhadap keberuntungan atau kebahagiaan (le bonheur) memiliki arti sepadan dengan keselamatan (le Salut). Persoalannya bagi Baudrillard adalah bahwa kekuatan ideologi dan pengertian dasar tentang kebahagiaan dalam peradaban modern sebenarnya tidak datang dari kecenderungan alamiah setiap individu untuk diwujudkan bagi dirinva sendiri, melainkan secara sosio-historis persoalan konsumsi muncul dari adanya kenyataan bahwa mitos kebahagiaan adalah mitos kesamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang, sehingga kebahagiaan harus terukur.
Baudrillard mempunyai perspektif unik tentang konsumsi, yaitu bahwa konsumsi dapat dipandang dalam dimensi keselamatan (salut) (Baudrillad, 1998: 60). Pandangan Baudrillard tentang konsumsi sebagai dimensi keselamatan didasarkan pada pengamatan bahwa pada umumnya objek-objek hanya sekadar tiruan yang seolah-olah hal itu merupakan inti dalam kehidupan sosial. Pada hakikatnya terdapat tujuan akhir yang diidam-idamkan oleh status, keturunan, yaitu keselamatan melalui logika kelas (Baudrillad, 1998: 60). Demikian halnya dengan prestige sebagai objek kuno yang bersumber dari tanda keturunan, seolah merupakan nilai yang tersebar secara turun temurun juga mencerminkan dimensi keselamatan dari makna konsumsi. Logika kelas inilah yang meletakkan keselamatan melalui objek (Baudrillad, 1998: 60). Demi prestige dan status sosial, orang terdorong untuk mengkonsumsi suatu objek yang menandai kelas sosialnya.
Logika sosial konsumsi berpengaruh terhadap konsep kelimpahruahan dalam masyarakat pertumbuhan dan dampak yang ditimbulkan. Kungkungan lingkungan perkotaan dan industri memunculkan hal-hal yang baru: ruang dan waktu, udara segar, pepohonan, air, dan ketenangan. Beberapa barang yang dulu gratis dan tersedia dengan berlimpah ruah menjadi barang mewah yang hanya diperoleh oleh orang-orang kaya meskipun barang-barang pabrik dan pelayanannya diberikan kepada semua orang (Baudrillad, 1998: 57).
kelas ekonomi yang satu dengan kelas ekonomi lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan peluang setiap subjek dalam kepemilikan terhadap objek-objek tersebut. Perbedaan pendidikan, gender, keturunan, pekerjaan, kedudukan, kemampuan berbelanja, berpengaruh terhadap kesempatan dan kepemilikan terhadap objek yang berbeda. Baudrillard tidak sependapat dengan pandangan ekonom idealis, bahwa produk-produk konsumsi berdasar prinsip demokratis (egaliter) tentang nilai objektif suatu benda (nilai guna). Menurut Baudrillard hanya ada satu makna dalam logika sosial konsumsi, yaitu makna pembeda (Baudrillad, 1998: 59). Baudrillard mengatakan logika sosial konsumsi sama dengan logika pemuja jimat, sebagaimana dalam pernyataannya: “this fethistic logic is, strictly, the ideology of consumption”, bahwa inilah logika pemuja jimat sebagai ideologi konsumsi yang sebenarnya (Baudrillad, 1998: 59).
Pengaburan Nilai Guna atau Use Value
Dalam sistem masyarakat konsumen, rasionalitas konsumsi telah jauh berubah. Karena saat ini, masyarakat berkonsumsi bukan sebagai upaya untuk pemeniuhan kebutuhan (needs), namun lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire). Kebutuhan mungkin dapat dipenuhi dengan konsumsi objek, sebaliknya, hasrat justru tidak akan pernah terpenuhi. Dalam Yasraf, Gilles Deleuze dan Felix Guattari menyatakan bahwa hasrat atau hawa nafsu tidak pernah terpenuhi, karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi. .Orang mempunyai hasrat akan sebuah objek tidak disebabkan kekuarangn alamiah dari objek tersebut, akan tetapi perasaan kekurangan dan ketidak puasan yang diproduksi dan direproduksi dalam diri masing-masing. Logika tersebut beroperasi dalam masyarakat konsumen saat ini. Yang dikonsumsi adalah simbol-simbol yang melekat pada suatu objek. Sehingga, objek-objek konsumsi banyak yang terkikis nilai guna dan nilai tukarnya.
Dalam sistem masyarakat saat ini, simbol dan citra memang semakin mengalahkan kenyataan. Penampakan lebih penting dari esensi. Citra mampu mengubah objek yang fungsinya sama menjadi berbeda. Citra membedakan satu objek bisa bernilai tinggi dibanding yang lainnya. Citra juga yang membuat orang rela berkorban lebih besar untuk konsumsi sebuah benda yang tidak signifikan fungsinya.
Gaya Hidup Dan Budaya Konsumerisme
sekarang ini terpengaruh budaya konsumsi Nge-mall, clubbing, fitness, hang out di cafe, penggunaan gadget mewah adalah beberapa contoh gaya hidup yang nampak menonjol saat ini. Semua aktifitas tersebut adalah perwujudan dari hingar bingar konsumsi. Baudrillard menyebut barang-barang sepele tersebut dengan istilah: gad get, kitsch, sebagai objek murahan, yaitu pernik sederhana (cindera mata) yang merupakan objek semu, meskipun bukan objek nyata, namun memberi prestige dan simbol status sosial yang memiliki makna tersendiri bagi kehidupan subjek yang bersangkutan. Hal tersebut merupakan bentuk simulasi dari masyarakat konsumsi yang dianalogkan dengan masyarakat primitif. Simulasi diartikan sebagai “objek palsu”. (Baudrillard, 2009).
Perkembangan budaya konsumen telah mempengaruhi cara-cara masyarakat mengekspresikan estetika dan gaya hidup. Dalam masyarakat konsumen, terjadi perubahan mendasar berkaitan dengan cara-cara orang mengekspresikan diri dalam gaya hidupnya. David Chaney mengemukakan bahwa gaya hidup telah menjadi ciri dalam dunia modern, sehingga masyarakat modern akan menggunakan gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri dan orang lain. Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. Karena memang, gaya hidup seseorang hanya dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya, baik konsumsi barang atau jasa. Secara literal, konsumsi berarti pemakaian komoditas untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat.
Penutup
Konsumerisme merupakan kegiatan mengkonsumsi barang-barang yang memberikan status sosial. Terkait dengan perkembangannya menciptakan mode, estetika dan gaya hidup. Baudrillard melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi hasrat, melimpahnya barag bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk memenuhi nafsu. Hasrat mengkonsumsi barang bagaikan magnet tanpa paksaan.
Budaya konsumerisme muncul sebagai dampak dari perubahan makna konsumsi yang disebabkan oleh sikap, pandangan dan pola hidup konsumtif, yaitu kegiatan konsumsi yang berlebihan demi mengejar status sosial dan harga diri (prestige).
Daftar Pustaka
Amir Piliang, Yasraf. Dia yang dilipat : Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. 2004. Bandung : Jalasutra.
Baudrillard, J.P., (1970, La Societe de Consommation), editor: Mike Featherstone, 1998, in The Consumer Society, Sage Publication Ltd, London.
Baudrillard, J.P., (1970, La Societe de Consommation), penerjemah: Wahyunto, 2009, dalam
Masyarakat Konsumsi, cet. ke-3, Kreasi Wacana, Yogyakarta.